Isi Css
Isi Css
1
kompartemen, maka akan terjadi perpindahan cairan atau ion antar kompartmen
sehingga terjadi keseimbangan kembali. Setiap zat yang akan pindah harus dapat
menembus barier atau membran tersebut. Bila 3 unsur tersebut dapat melalui membran,
maka membran tersebut permeabel. Bila tidak dapat menembusnya, maka membran
tersebut tidak permeabel untuk unsur tersebut.
Membran disebut semipermeabel (permeabel selektif) bila beberapa partikel
dapat melaluinya tetapi partikel lain tidak dapat menembusnya. Perpindahan substansi
melalui membran ada yang secara aktif atau pasif. Transport aktif membutuhkan energi,
sedangkan transport pasif tidak membutuhkan energi. Suatu substansi yang terlarut
selalu bergerak dan cenderung menyebar dari daerah yang konsentrasinya tinggi ke
konsentrasi yang lebih rendah sehingga konsentrasi substansi partikel tersebut merata.
Perpindahan partikel seperti ini disebut difusi. Beberapa faktor yang mempengaruhi laju
difusi ditentukan sesuai dengan hukum Fick (Fick’s law of diffusion). Faktor-faktor
tersebut adalah: 1,2
1. Peningkatan perbedaan konsentrasi substansi.
2. Peningkatan permeabilitas.
3. Peningkatan luas permukaan difusi.
4. Berat molekul substansi.
5. Jarak yang ditempuh untuk difusi osmosis.
Bila suatu substansi larut dalam air, konsentrasi air dalam larutan tersebut lebih
rendah dibandingkan konsentrasi air dalam larutan air murni dengan volume yang sama.
Hal ini karena tempat molekul air telah ditempati oleh molekul substansi tersebut. Jadi
bila konsentrasi zat yang terlarut meningkat, konsentrasi air akan menurun. Bila suatu
larutan dipisahkan oleh suatu membran yang semipermeabel dengan larutan yang
volumenya sama namun berbeda konsentrasi zat yang terlarut, maka terjadi perpindahan
air/ zat pelarut dari larutan dengan konsentrasi zat terlarut yang rendah ke larutan
dengan konsentrasi zat terlarut lebih tinggi. Perpindahan seperti ini disebut dengan
osmosis.
Filtrasi terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara dua ruang yang dibatasi
oleh membran. Cairan akan keluar dari daerah yang bertekanan tinggi ke daerah
bertekanan rendah. Jumlah cairan yang keluar sebanding dengan besar perbedaan
2
tekanan, luas permukaan membran, dan permeabilitas membran. Tekanan yang
mempengaruhi filtrasi ini disebut tekanan hidrostatik.
Transport aktif diperlukan untuk mengembalikan partikel yang telah berdifusi
secara pasif dari daerah yang konsentrasinya rendah ke daerah yang konsentrasinya
lebih tinggi. Perpindahan seperti ini membutuhkan energi (ATP) untuk melawan
perbedaan konsentrasi. Contoh: Pompa Na-K.Pengaturan keseimbangan cairan perlu
memperhatikan 2 (dua) parameter penting, yaitu: volume cairan ekstrasel dan
osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel dengan
mempertahankan keseimbangan garam dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel
dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan
ini dengan mengatur keluaran garam dan air dalam urin sesuai kebutuhan untuk
mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut.1
Penurunan volume cairan ekstrasel menyebabkan penurunan tekanan darah arteri
dengan menurunkan volume plasma. Sebaliknya, peningkatan volume cairan ekstrasel
dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri dengan memperbanyak volume
plasma. Pengontrolan volume cairan ekstrasel penting untuk pengaturan tekanan darah
jangka panjang.
Keseimbangan asam-basa terkait dengan pengaturan pengaturan konsentrasi ion
H bebas dalam cairan tubuh. pH rata-rata darah adalah 7,4, pH darah arteri 7,45 dan
darah vena 7,35. Jika pH darah < 7,35 dikatakan asidosis, dan jika pH darah > 7,45
dikatakan alkalosis. Ion H terutama diperoleh dari aktivitas metabolik dalam tubuh. Ion
H secara normal dan kontinyu akan ditambahkan ke cairan tubuh dari 3 sumber, yaitu:
1. pembentukan asam karbonat dan sebagian akan berdisosiasi menjadi ion H dan
bikarbonat 2. katabolisme zat organik 3. disosiasi asam organic pada metabolisme
intermedia, misalnya pada metabolisme lemak terbentuk asam lemak dan asam laktat,
sebagian asam ini akan berdisosiasi melepaskan ion H +. Fluktuasi konsentrasi ion H+
dalam tubuh akan mempengaruhi fungsi normal sel, antara lain:1,2
1. perubahan eksitabilitas saraf dan otot; pada asidosis terjadi depresi susunan
saraf pusat, sebaliknya pada alkalosis terjadi hipereksitabilitas.
2. mempengaruhi enzim-enzim dalam tubuh.
3. mempengaruhi konsentrasi ion K Bila terjadi perubahan konsentrasi ion H
maka tubuh berusaha mempertahankan ion H seperti nilai semula dengan cara: 1.
3
mengaktifkan sistem dapar (buffer) kimia 2. mekanisme pengontrolan pH oleh sistem
pernapasan 3. mekanisme pengontrolan pH oleh sistem perkemihan Ada 4 sistem dapar
kimia, yaitu: 1. Dapar bikarbonat; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel teutama
untuk perubahan yang disebabkan oleh non-bikarbonat. 2. Dapar protein; merupakan
sistem dapar di cairan ekstrasel dan intrasel. 3. Dapar hemoglobin; merupakan sistem
dapar di dalam eritrosit untuk perubahan asam karbonat. 4. Dapar fosfat; merupakan
sistem dapar di sistem perkemihan dan cairan intrasel. Sistem dapar kimia hanya
mengatasi ketidakseimbangan asam-basa sementera.
Jika dengan dapar kimia tidak cukup memperbaiki ketidakseimbangan, maka
pengontrolan pH akan dilanjutkan oleh paru-paru yang berespons secara cepat terhadap
perubahan kadar ion H dalam darah akibat rangsangan pada kemoreseptor dan pusat
pernapasan, kemudian mempertahankan kadarnya sampai ginjal menghilangkan
ketidakseimbangan tersebut. Ginjal mampu meregulasi ketidakseimbangan ion H secara
lambat dengan mensekresikan ion H dan menambahkan bikarbonat baru ke dalam darah
karena memiliki dapar fosfat dan ammonia. 1,2
Ketidakseimbangan asam-basa Ada 4 kategori, yaitu: 1. Asidosis respiratori,
disebabkan oleh retensi CO2 akibat hipoventilasi. Pembentukan H2CO3 meningkat, dan
disosiasi asam ini akan meningkatkan konsentrasi ion H. 2. Alkalosis respiratori,
disebabkan oleh kehilangan CO2 yang berlebihan akibat hiperventilasi. Pembentukan
H2CO3 menurun sehingga pembentukan ion H menurun. 3. Asidosis metabolik,
asidosis yang bukan disebabkan oleh gangguan ventilasi paru. Diare akut, diabetes
mellitus, olahraga yang terlalu berat, dan asidosis uremia akibat gagal ginjal akan
menyebabkan penurunan kadar bikarbonat sehingga kadar ion H bebas meningkat. 4.
Alkalosis metabolik, terjadi penurunan kadar ion H dalam plasma karena defisiensi
asam non-karbonat. Akibatnya konsentrasi bikarbonat meningkat.1,2
Hal ini terjadi karena kehilangan ion H karena muntah-muntah dan minum obat-
obat alkalis. Hilangnya ion H akan menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk
menetralisir bikarbonat, sehingga kadar bikarbonat plasma meningkat. Untuk
mengkompensasi gangguan keseimbangan asam-basa tersebut, fungsi pernapasan dan
ginjal sangat penting. Kesimpulan Pengaturan keseimbangan cairan perlu
memperhatikan 2 (dua) parameter penting, yaitu: volume cairan ekstrasel dan
osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel dengan
4
mempertahankan keseimbangan garam dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel
dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan
ini dengan mengatur keluaran garam dan air dalam urin sesuai kebutuhan untuk
mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut. 2
Ginjal juga turut berperan dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa
dengan mengatur keluaran ion hidrogen dan ion bikarbonat dalam urin sesuai
kebutuhan. Selain ginjal, yang turut berperan dalam keseimbangan asam-basa adalah
paru-paru dengan mengekskresi ion hidrogen dan CO2, dan sistem dapar (buffer) kimia
dalam cairan tubuh.2
5
Konsentrasi air tidak digunakan karena hasilnya tidak signifikan dan sudah konstan.
Oleh karena itu dengan pemberian [H+] atau [OH-] konsentrasi ion lainnya dapat
dihitung.
Contoh: Jika [H+] = 10-8 nEq/L, maka [OH-] = 10-14 ÷ 10-8 = 10-6 nEq/L.
Nilai normal [H+] pada arteri adalah 40 nEq/L atau 40 x 10-9 mol/L. Konsentrasi ion
hidrogen sering dikenal sebagai pH, pH dari suatu larutan didefinisikan sebagai
logaritma negatif (base 10) dari [H+]. pH normal arteri adalah –log (40 x 10-9) = 7,40.
Konsentrasi ion hidrogen yang sesuai dalam kehidupan adalah antara 16 dan 160 nEq/L
(pH 6,8 – 7). Dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini : 3,4
Seperti disosiasi konstan lainnya, KW dipengaruhi oleh suhu. Oleh karena itu
titik elektronetralitas untuk air terjadi pada pH 7,0 dengan suhu 250C atau pada pH 6,8
dan suhu 370C; Perubahan yang terjadi karena perubahan suhu menjadi penting selama
hipotermi. Karena cairan fisiologis adalah larutan biasa yang kompleks, Faktor lain
yang mempengaruhi penguraian dari air menjadi H+ dan OH- adalah SID, PCO2, dan
ATOT.
6
konsentrasi ion hidrogen. Asam kuat merupakan substansi yang mudah dan hampir
irreversibel yang dapat memberikan H+ dan dapat meningkatkan [H+], sedangkan basa
kuat berikatan kuat dengan H+ dan menurunkan [H+]. Sebaliknya asam lemah
memberikan H+ secara reversibel; keduanya punya efek yang sedikit terhadap [H+].
Senyawa biologis termasuk asam lemah atau basa lemah. 3,4
7
Jika hanya satu proses patologis yang terjadi, gangguan asam basa dianggap sederhana.
Adanya dua atau lebih proses primer merupakan indikasi terjadinya gangguan asam
basa campuran.
Kata ”-emia” digunakan untuk menunjukkan efek dari semua proses primer dan
respon kompensasi fisiologis dari pH darah arteri. Karena pH normal darah arteri orang
dewasa 7,35-7,45, pada keadaan asidemia pH <7,35, sedangkan pada alkalemia yang
signifikan pH >7,45.
8
CaHPO4). Alkali berlebih (NaHCO3) dapat meningkatkan deposit karbonat pada
tulang.
Penyanggaan oleh bikarbonat plasma dapat terjadi segera meskipun bikarbonat
interstisial membutuhkan waktu 15-20 menit. Sebaliknya, penyanggaan dengan protein
intreseluler dan tulang berlangsung lambat (2-4 jam). Lebih dari 50-60% asam berlebih
mungkin dapat disangga oleh sistem penyangga dati tulang dan intraseluler.
a. Buffer Bikarbonat
Meskipun dalam pengertian yang jelas bahwa buffer bikarbonat terdiri dari H2CO3
dan HCO3-, tekanan CO2 (PCO2) dapat menggantikan H2CO3, karena:
Hidrasi dari CO2 ini dikatalisasi oleh karbonik anhidrase. Jika penyesuaian ini dibuat
dalam disosiasi konstan untuk buffer bikarbonat dan jika koefisien kelarutan untuk CO2
(0,03 mEq/L) dipakai, maka persamaan Henderson-Hesselbach dapat ditulis sebagai
berikut:
dimana pK = 6,1.
Jika pK tidak mendekati pH normal arteri 7,4 maka bikarbonat tidak dapat dikatakan
sebagai buffer ekstraseluler yang efisien. Sistem bikarbonat, bagaimanapun, penting
karena dua alasan: (1) Bikarbonat (HCO3-) berada dalam konsentrasi yang tinggi alam
cairan ekstraseluler, (2) Lebih penting lagi, PaCO2 dan [HCO3-] plasma diatur oleh
paru-paru dan ginjal secara terus-menerus. Kemampuan dari kedua organ ini untuk
mengubah rasio [HCO3-]/PaCO2 menyebabkan kedua organ ini memiliki pengaruh
penting terhadap pH arteri.
Cara yang praktis dan lebih sederhana dari persamaan Henderson-Hesselbach untuk
buffer bikarbonat adalah:
Persamaan ini sangat berguna secara klinis karena pH dapat dengan mudah diubah ke
[H+]. Dikatakan untuk pH dibawah 7,40, [H+] meningkat 1,25 nEq/L untuk setiapp
9
penurunan pH sebesar 0,01; Untuk pH diatas 7,40, [H+] menurun sebesar 0,8 nEq/L
untuk setiap peningkatan pH sebesar 0,01.
Tabel 2
Contoh: Jika pH arteri = 7,28 dan PaCO2 = 24 mmHg, berapakah [HCO3-] plasma?
Karenanya,
Seharusnya buffer bikarbonat efektif untuk melawan metabolik tetapi tidak untuk
melawan gangguan asam basa respirasi. Jika 3 mEq/L asam kuat nonvolatil seperti HCl
ditambahkan ke dalam cairan ekstraseluler, reaksi berikutnya:
Tercatat bahwa HCO3- bereaksi dengan H+ untuk memproduksi CO2. Selebihnya, CO2
secara normal dieliminasi oleh paru-paru sehingga PaCO2 tidak berubah. Sebagai
konsekwensi, [H+] = 24 x 40 ÷ 21 = 45,7 nEq/L dan pH = 7,34. Selanjutnya penurunan
pada [HCO3-] mempengaruhi jumlah dari asam nonvolatil yang ditambahkan.
Secara kontras, peningkatan tekanan CO2 (asam volatil) memiliki efek yang minimal
pada [HCO3-]. Jika, untuk contoh, PaCO2 meningkat dari 40 ke 80 mmHg, CO2 yang
terlarut meningkat hanya dari 1,2 mEq/L ke 2,2 mEq/L. Selebihnya, keseimbangan
konstan untuk hidrasi dari CO2 meningkat secara minimal dan membawa reaksi ke arah
kiri.
10
Jika asumsi yang sebenarnya dibuat bahwa [ HCO3–] tidak berubah, kemudian
Oleh karena meningkat sebanyak 40 nEq/L dan karena HCO3- diproduksi dalam rasio
1:1 dengan H+, [HCO3-] juga meningkat sebanyak 40 nEq/L. Karena [HCO3-]
ekstraseluler juga meningkat secara nyata dari 24 mEq/L menjadi 24.000040 mEq/L.
Oleh karena itu, buffer bikarbonat tidak efektif melawan peningkatan PaCO2 dan
perubahan dalam [HCO3-] tidak mempengaruhi keparahan dari asidosis respiratorik.
2. Kompensasi Paru-Paru
Perubahan pada ventilasi alveolar bertanggung jawab untuk kompensasi paru
dari PaCO2 yang diperantarai oleh kemoreseptor pada batang otak. Reseptor ini
berespon terhadap perubahan pada pH cairan serebrospinal. Ventilasi permenit
meningkat 1-4 L/menit untuk setiap peningkatan 1 mmHg PaCO2. Faktanya, paru-paru
bertanggung jawab untuk mengeliminasi kira-kira 15 mEq karbondioksida yang
diproduksi setiap hari sebagai produk metabolisme karbohidrat dan lemak. Respon
kompensasi paru juga penting dalam pertahanan melawan perubahan pada pH selama
gangguan metabolik.
11
a. Kompensasi Paru-Paru Selama Asidosis Metabolik
Penurunan pH darah arteri menstimulasi pusat pernafasan di medulla. Hasil dari
peningkatan ventilasi aleolar akan menurunkan PaCO2 dan cenderung menormalkan pH
arteri. Respon paru terhadap PaCO2 yang rendah terjadi secara cepat tetapi mungkin
tidak mencapai keadaan yang diinginkan sampai 12-24 jam; pH tidak pernah mencapai
normal.PaCO2 secara normal turun 1-1,5 mmHg dibawah 40 mmHg untuk setiap
penurunan [HCO3-] plasma sebesar 1 mEq/L.
b. Kompensasi Paru-Paru Selama Alkalosis Metabolik
Peningkatan pH darah arteri akan menekan pusat pernafasan. Hasilnya hipoventilasi
alveolar cenderung menaikkan PaCO2 dan mengembalikan pH arteri menjadi
normal.Respon paru terhadap alkalosis metabolik secara umum sulit diprediksi
dibandingkan respon terhadap asidosis matabolik. Hipoksemia, sebagai akibat dari
hipoventilasi yang progresif, biasanya mengaktifkan axygen-sensitive chemoreceptor;
kemudian menstimulasi ventilasi dan membatasi respon kompensasi paru.
Konsekwensinya, PaCO2 biasanya tidak pernah naik diatas 55 mmHg pada respon
terhadap alkalosis metabolik. Secara umum, PaCO2 dapat diharapkan meningkat
sebesar 0,25-1 mmHg untuk setiap peningkatan [HCO3-] sebesar 1 mEq/L.
3. Kompensasi Ginjal 3,4
Kemampuan ginjal untuk mengatur jumlah reabsorbsi HCO3- yang terfiltrasi
dari cairan tubulus, membentuk HCO3- yang baru, dan mengeliminasi H+ dalam bentuk
asam yang dapat dititrasi dan ion ammonia menyebabkan mereka memberi pengaruh
utama terhadap pH selama gangguan asam basa baik metabolik dan respiratorik.
Pada kenyataannya, ginjal bertanggung jawab untuk mengeliminasi sekitar 1
mEq/kg/hari dari asam sulfat, asam fosfat, dan sebagian asam organik yang teroksidasi
yang normalnya oleh metabolisme dari protein yang berasal dari makanan dan dari
dalam tubuh (endogen), nukleoprotein, dan fosfat organik (fosfoprotein dan fosfolipid).
Metabolisme nukleoprotein juga menghasilkan asam urat. Pembakaran tidak sempurna
dari asam lemak dan glukosa akan menghasilkan asam keton dan asam laktat. Alkali
endogen dihasilkan selama metabolisme beberapa asam amino anionik (glutamat dan
aspartat) dan senyawa organik lainnya (sitrat, asetat, dan laktat), tetapi jumlahnya tidak
mencukupi untuk mengimbangi produksi asam endogen.
12
a. Kompensasi Ginjal Selama Asidosis
Respon ginjal terhadap keadaan asam terdiri dari 3 langkah: (1) Peningkatan
reabsorbsi HCO3- yang terfiltrasi, (2) Peningkatan ekskresi asam yang dapat dicairkan,
(3) Peningkatan produksi ammonia. Meskipun mekanisme ini dapat diaktifkan segera,
efeknya secara umum tidak muncul dalam 12-24 jam dan mungkin belum maksimal
setelah lebih dari 5 hari.
b. Meningkatkan Reabsorbsi dari HCO3-
CO2 didalam sel tubulus ginjal berikatan dengan air dan membentuk karbonat
anhidrase. Asam karbonat (H2CO3) terbentuk dengan cepat dan terdisosiasi menjadi H+
dan HCO3-. Kemudian ion bikarbonat masuk ke aliran darah sementara ion H+
disekresi ke dalam tubulus ginjal, dimana H+ bereaksi dengan HCO3- yang terfiltrasi
untuk membentuk H2CO3. Karbonik anhidrase menempel ke dinding lumen dan
mengkalisasi peruabhan H2CO3 menjadi CO2 dan H2O. Kemudian CO2 dapat
berdifusi kembali kedalam sel tubulus ginjal ntuk menggantikan CO2 yang sudah
terpakai. Tubulus proksimal secara normal mereabsorbsi 80-90% bikarbonat yang
terfiltrasi bersamaan dengan sodium, sedangkan tubulus distal bertanggung jawab hanya
10-20%. Tidak seperti pompa H+ pada tubulus proksimal, pompa H+ di tubulus distal
tidak bersamaan dengan reabsorbsi sodium, dan memiliki kemampuan mengatur gradien
H+ antara cairan tubulus dan sel tubulus. pH urine dapat menurun sampai 4,4
(Bandingkan dengan pH plasma yaitu 7,4). 3,4
13
Setelah seluruh HCO3- di dalam cairan tubulus kembali lagi ke dalam darah, H+
yang disekrasi ke dalam lumen dapat berikatan dengan HPO42- membentuk H2PO4
yang tidak dapat direabsorbsikarena muatannya dan dieliminasi melalui urine. Hasil
akhirnya adalah H+ diekskresi dari tubuh dalam bentuk H2PO4, dan HCO3- dapat
masuk ke aliran darah. Dengan pK 6,8, H2PO4/HPO42- secara normal merupakan
buffer urine. Ketika pH urine mencapai 4,4, semua fosfat mencapai tubulus distal dalam
bentuk H2PO4 dan ion HPO42- sudah tidak dapat lagi mengeliminasi H+.
Gambar 4
14
Kompensasi Ginjal Selama Alkalosis 3,4
Jumlah HCO3- yang banyak secara normal difiltrasi dan kadang-kadang
direabsorbsi karen aginjal butuh akskresi bikarbonat dalam jumlah banyak jika
dibutuhkan. Sebagai haslnya, ginnjal sangat efektif dalam proteksi terhadap keadaan
metabolik alkalosis yang secara umu terjadi karena defisiensi sodium atau
mineralokortikoid berlebih. Deplesi dari sodium akan menurunkan volume cairan
ekstraseluler dan meningkatkan reabsorbsi Na+ dari tubulus proksimal ginjal. Untuk
mempertahankan keadaan netral, ion Na+ membawa ion Cl- saat melewati membran.
Karena jumlah ion Cl- menurun (<10 mEq/L di urine), maka HCO3- harus direabsorbsi.
Sebagai tambahan, peningkatan sekresi H+ sebagai pengganti untuk meningkatkan
reabsorbsi Na+ membutuhkan pembentukan HCO3- yang berkelanjutan dengan
metabolik alkalosis. Sama halnya, peningkatan aktivitas mineralokortikoid
meningkatkan reabsorbsi Na+ yang diperantarai oleh hormon aldosterone sebagai
pengganti ntuk sekresi ion H+ di tubulus distal, dan akhirnya peningkatan pementukan
HCO3- dapat menjadi pencetus atau memperberat metabolik alkalosis. Metabolik
alkalosis biasanya berhubungan dengan peningkatan aktivitas mineralokortikoid
meskipun tidak terjadi deplesi dari sodium dan klorida.
15
4. Base Excess
Base Excess adalah jumlah assam atau basa yang harus ditambahkan ke dalam
darah agar pHnya kembali menjadi 7,4 dan PaCO2 menjadi 40 mmHh pada keadaan
saturasi O2 maksimal dan suhu 370C. Ditambah lagi, pemberian ini hanya berlaku untuk
buffer yang nonkarbonik di darah. Singkatnya, base excess menggambarkan tentang
komponen metabolisme dari gangguan asam asa. Nilai positif menandakan keadaan
metabolisme alkalosis, sedangkan nilai negatif menandakan metabolisme asidosis. Base
excess biasanya dalam bentuk grafik atau secara elektronik dari normogram yang
dikembabngkan oleh Siggaard-Anderson dan membutuhkan penghitungan konsentrasi
hemoglobin.
Gambar 6
16
hemoglobin terhadap oksigen bergeser ke arah kanan. Jantung dan otot polos pembuluh
darah menjadi kurang responsif terhadap katekolamin eksogen dan endogen, dan
ambang fibrilasi ventrikel menurun. Hiperkalemia yang progresif sebagai akibat dari K+
yang keluar dari sel sebagai pengganti untuk H+ ekstraseluler juga sangat potensial
untuk menyebabkan kematian. [K+] plasma meningkat sampai kira-kira 0,6 mEq/L
untuk setiap penurunan pH sebesar 0,10. Depresi sistem saraf pusat lebih sering terjadi
pada respirasi asidosis dibandingkan metabolik asidosis. Pengaruh ini, seringkali
disebut Narkosis CO2, mungkin sebagai hasil dari hipertensi sekunder intrakranial
untuk meningkatkan aliran darah otak (Cerebral Blood Flow) dan asidosis intrasel yang
berat. Tidak seperti CO2, ion H+ tidak mudah penetrasi melalui sawar darah otak.
1. Asidosis Respiratorik
Acidosis respiratorik digambarkan sebagai peningkatan PaCO2 primer.
Peningkatan ini berdasar pada reaksi:
ke arah kanan akan menyebabkan peningkatan [H+] dan menurunkan pH arteri. Sesuai
dengan reaksi diatas, [HCO3-] sedikit sekali terpengaruh. PaCO2 menggambarkan
keseimbangan antara produksi CO2 dan pembuangan CO2
17
a. Asidosis Respiratorik Akut
Respon kompensasi terhadap peningkatan PaCO2 secara akut (6-12 jam) adalah
terbatas. Sistem penyangga yang berperan secara primer dilakukan oleh hemoglobin
dan pertukaran H+ ekstraseluler dengan Na+ dan K+ dari tulang dan kompartemen
cairan interstisial. Respon ginjal untuk mempertahankan bikarbonat dalam jumlah
lebih sangat terbatas pada keadaan yang akut. Sebagai hasilnya, [HCO3-] plasma
meningkat hanya sekitar 1 mEq/L untuk setiap peningkatan 10 mmHg dari PaCO2
di bawah 40 mmHg. 3,4
18
b. Asidosis Respiratorik Kronis
Kompensasi ginjal yang maksimal menandakan terjadinya asidosis respiratorik
kronis. Kompensasi ginjal dapat dinilai hanya setelah 12-24 jam dan mungkin
mencapai maksimal setelah 3-5 hari. Selama waktu itu, peningkatan PaCO2 yang
bertahan sejak lama menyebabkan kompensasi ginjal yang maksimal. Selama
asidosis respiratorik kronis, [HCO3-] plasma meningkat sekitar 4 mEq/L untuk
setiap peningkatan 10 mmHg dari PaCO2 dibawah 40 mmHg.
c. Terapi Asidosis Respiratorik
Asidosis respiratorik diterapi dengan mengembalikan ketidakseimbangan antara
produksi CO2 dan ventilasi alveolar. Pada kebanyakan kasus, terapi ini dilakukan
dengan meningkatkan ventilasi alveolar. Ukuran yang ditujukan pada penurunan
produksi CO2 sangat berguna hanya pada kasus-kasus yang spesifik (seperti,
dantrolene untuk hipertermi berat, paralisis otot untuk tetanus, medikasi antitiroid
untuk krisis tiroid, dan penurunan asupan kalori). Penantian yang tepat yang
ditujukan untuk meningkatkan ventilasi alveolar termasuk bronkhodilatasi,
pengembalian keadaan narkosis, pemberian stimulan pernafasan (doxapram), atau
meningkatkan kemampuan pengembangan paru (diuresis). Asidosis yang moderat
sampai berat (pH < 7,20), narkosis CO2, dan kelelahan otot pernafasan yang tiba-
tiba merupakan indikasi untuk pemasangan ventilator. Peningkatan konsentrasi
oksigen inspirasi juga diperlukan, karena hipoksemia yang menetap biasa terjadi.
NaHCO3 intravenous sangat jarang terjadi kecuali pH < 7.10 dan HCO3 < 15
mEq /L. Terapi sodium bikarbonat akan meningkatkan PaCO2
19
hipoksemi, bukan PaCO2 atau meningkatkan kemampuan death space. Sehingga
menormalisasikan PaCO2 atau relatif hiperoksia akan memicu terjadinya hipoventilasi.
2. Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik didefinisikan sebagai penurunan primer dari HCO3 . Proses
patologis akan menghasilkan asidosis metabolik melalui salah satu dari tiga mekanisme
sebagai berikut, 1. Konsumsi HCO3 dengan asam kuat nonvolatil, 2. Eksresi Renal atau
gastrointestinal dari bikarbonat, 3. Pengenceran cepat dari kompartemen cairan
ekstraseluler dengan cairan bebas bikarbonat. Penurunan dari plasma (HCO3) tanpa
diikuti dengan reduksi PaCO2 akan menurunkan pH arteri. Reaksi kompensasi
pulmonal dalam asidosis metabolik sederhana tidak akan menurunkan PaCO2 sampai
tingkat yang dapat menormalkan pH tapi kompensasi hanya berupa hiperventali nag
jelas (Kussmaul).
Tabel 30.4 menggambarkan kelainan-kelainan yang dapat menyebabkan asidosis
metabolik. Catat bahwa diferensial diagnosis yang menyebabkan asidosis metabolik
dapat diketahui melalui perhitungan anion gap. 3,4
20
a. Anion Gap3,4
Anion gap di plasma biasanya didefinisikan sebagai perbedaan antara ukuran
mayor kation dan anion.
Atau
21
Beberapa klinis memasukan kalium plasma dalam perhitungkan menggunakan
nilai normal,
Pada dasarnya, anion gap tidak dapat muncul karena tubuh selalu
mempertahankan keseimbangan elektrolit; jumlah anion sama dengan jumlah kation.
Jadi,
Kation yang tidak terukur termasuk K+, Ca++, dan Mg++, sedangkan anion yang tidak
terukur termasuk semua anion organic (termasuk proteinplasma), fosfat dan sulfat.
Albumin plasma normalnya menggambarkan fraksi terbesar anion gap (sekitar 11
mEq/l). Anion gap turun 2,5 mEq/l setiap reduksi albumin plasma 1 g/dl. Proses apapun
yang meningkatkan anion tidak terukur atau menurunkan kation tidak terukur akan
meningkatkan anion gap. Sebaliknya, proses apapun yang menurunkan anion tidak
terukur akan menurunkan anion gap.
Elevasi ringan anion gap plasma hingga 20 mEq/l tidak membantu diagnosis selama
asidosis, tetapi nilai > 30 mEq/l biasanya mengindikasikan adanya asidosis dengan
anion gap tinggi (below). Alkalosis metabolic juga dapat menyebabkan anion gap yang
tinggi karena penurunan volume elstraseluler, peningkatan pertukaran albumin, dan
peningkatan produksi laktat sebagai kompensasi. Anion gap plasma yang rrendah
mungkin disertai hipoalbumin, intoksikasi bromida atau lithium dan multiple myeloma.
b. Asidosis Metabolik Dengan Anion Gap Tinggi
Asidosis metebolik dengan anion gap tinggi ditandai dengan meningkatnya asam
nonvolatile kuat. Asam ini dilepaskan dari H+ dan menggambarkan anion; H+
membutuhkan HCO-3 untuk menghasilkan CO2, dimana anionnya (basa konjugasi)
berakumulasi dan menggantiikan HCO-3 dalam cairan ekstraseluler (anion gap tinggi).
Asam non volatile dapat dihasilkan atau digunakan (ingested) secara endogen.
c. Kegagalan Ekskresi Asam Non Volatile Endogen
Asam organik yang dihasilkan secara endogen normalnya dikeluarakanb oleh ginjal
lewat urin. GFR < 20 ml/menit (gagal ginjal) identik dengan asidosis metabolik yang
progresif yang berasal dari akumulasi asam – asam tersebut. 3,4
22
d. Peningkatan Produksi Asam Non Volatile Endogen
Hipoksia jaringan yang berat diikuti hipoksemia, hipoperfusi (iskemia) atau
ketidakmampuan menggunakan O2 (keracunan sianida) dapat menyebabkan asidosis
laktat. Asam laktat yang merupakan hasil akhir metabolisme glukosa secara anaerob
(glikolisis) secara cepat berakumulasi dalam kodisi – kondisi tersebut. Penurunan
penggunaan laktat oleh hepar penggeluaran yang sedikit oleh ginjal tidak begitu
bertangguang jawab atas terjadinya asidoss metabolik; penyebabnya termasuk
hipoperfusi, alakoholisme, dan penyakit hepar. Kadar laktat dapat dengan mudah diukur
dan normalnya 0,3 – 1,3 mEq/l. Asidosis disebabkan oleh D-lactic acid yang tidak
dikenali oleh enzim - lactat dehydogenase (dan tidak diukur dalam pemeriksaan
rutin), dapat ditemukan pada pasien dengan short bowel syndromes; D-lactic acid
dibentuk oleh bakteri colon dari makanan yang mengandung glukosa dan gandum dan
diabsorbsi seccara sistemik. Kekurangan insulin yang absolut atau relatif dapat
menimbulkan hiperglikemia dan ketoasidosis yang progresif yang berasal dari
akumulasi β-hidroksibutirat dan asam asetat. Ketoasidosis juga dapat terlihat dalam
keadaan kelaparan dan kecanduan alkohol. Patofisiologi asidosis sering berhubungan
dengan intoksikasi alkohol dan koma non ketotik hiperosmolar dan sangat kompleks
dan dapat disertai pembentukan laktat, keto dan asam tidak dikenal lainnya. Beberapa
gangguan metabolik bawaan sejak lahir, seperti maple syrup urine disease,
methylmalonic aciduria, propionic acidemia dan isovalleric acidemia, menyebabkan
asidosis metabolik dengan anion gap tinggi sebagai hasil akumulasi asam amino
abnormal.
e. Penggunaan Asam Non Volatile Eksogen
Penggunaan salisilat dalam jumlah besar sering menyebabkan asidosis metabolik.
Asam salisilat sebagaimana asam intermediate lainnya secara cepat berakumulasi dan
menimbulkan asidosis dengan anion gap. Karena salisilat juga menstimulasi langsung
pernafasan, pada kebanyakan orang dewasa asidosis metabolik disertai asidosis
respiratorik. Penggunaan metanol (methyl alcohol) sering menyebabkan asidosis dan
gangguan penglihatan (retinitis). Gejala – gejalanya baru muncul setelah oksidasi
lambat metanol oleh enzim alcohol dehydrogenase untuk membentuk asam glikolat.
Asam glikolat, penyebab utama asidosis, lebih lanjut dapat tersimpan di ginjal dan
menyebabkan gagal ginjal. 3,4
23
f. Asidosis Metabolik dengan Anion Gap Normal
Asidosis metabolik dengan anion gap normal biasanya ditandai dengan
hiperkloremia. Konsentrasi CL- di plasma meningkat, menggantikan ion HCO-3 yang
hilang. Perhitungan anion gap dalam urin dapat mewbantu diagnosis asidosis dengan
anion gap normal
Anion gap urin = ([Na+] + [K+]) – [Cl-]
Anion gap urin normalnya positif atau mendekati nol. Kation urin tidak terukur
yang utama adalah NH4+, yang seharusnya meningkat (bersamaan dengan Cl-) selama
asidosis metabolik, pada akhirnya mengahasilkan anion gap negatif. Kegagalan sekresi
H+ atau NH4+, sebagaimana terjadi pada gagal ginjal atau asidosis tubulus ginjal,
menghasilkan anion gap urin positif daripada asidosis metabolik.
g. Peningkatan Pelepasan HCO3- Gastrointestinal
Diare merupakan penyebab tersering asidosis metabolic hiperkloremik. Cairan diare
mengandung HCO3- 20 – 50 mEq/l. Usus halus, saluran empedu dan cairan pakreas
kaya akan HCO3-. Kehilangan cairan ini dalam jumlah besar dapat menyebabkan
asidosis metabolik hiperkloremik. Pasien dengan uterosigmoidostomies dan ileal loops
yang terlalu panjang atau dengan obstrksi parsial dapat mengakibatkansidosis metabolik
hiperkloremik. supan yang mengandung klorida sebagai pengganti anion resin
(cholestyramine) atau jumlah kalsium yang banyak atau magnesium klorida bisa
menunjukkan peningkatan absorbsi klorida dan kehilangan ion bikarbonat. Resin yang
tdak dapat direabsorbsi mengikat ion bikarbonat, sedangkan kalsium dan magnesium
berikatan dengan bikarbonat untuk membentuk garam yang tidak larut di dalam usus.
h. Peningkatan Pelepasan HCO-3 Ginjal
Pengeluaran HCO-3 dari ginjal bisa terjadi karena kegagalan reabsorbsi HCO-3
yang tersaring atau untuk mensekresi jumlah ion H+ yang adekuat dalam bentuk asam
yang dapat diencerkan atau ion amonium. Kelainan ini ditemuklan pada pasien yang
mengkonsumsi carbonic anhydrase inhibitor seperti asetolamid dan pada pasien yang
mempunyai asidosis tubulus ginjal. Asidosis tubulus ginjal meningkatkan kelompok
dengan kelainan nonazotemik dengan sekresi H+ oleh tubulus ginjal, menyebabkan Ph
urin yang terlalu tinggi untuk asidemia sistemik. Kelainan ini mungkin disebabkan oleh
kelainan primer di ginjal atau mungkin oleh kelainan sekunder akibat penyakit stemik.
Tempat terjadinya kelainan sekresi H+ mungkin di tubulus ginjal distal atau proksimal.
24
Hipoaldosteronisme hiporeninemia biasanya selalu mengarah ke tipe -4 asidosis tubulus
ginjal. Dengan asidosis tubulus distal ginjal, kelainan terjadi pada tempat dimana
hampir semua HCO-3 yang terfiltrasi telah direabsorbsi. Sebagai hasilnya, terjadi
kegagalan pengasaman urin, dimana jumlah asam yang diekskresi lebih rendah
dibanding jumlah asam yang diproduksi. Kelainan ini seringkali berhubungan dengan
hipokalemia, demineralisasi tulang, nefrolitiasis dan nefrokalsinosis. Terapi álcali
(NaHCO3 1 – 3 mEq/kkg/hari) biasanya cukup untuk memperbaiki efek samping – efek
samping tersebut. Dengan asidosis tubulus ginjal proksimal kurang dari biasanya,
gangguan sekresi H+ di tubulus proksimal menyebabkan pembuangan HCO-3 yang
Herat. Kelainan serupa pada reabsorbsi di tubulus untuk zat yang lain seperti glucosa,
asam amino, atau fosfat sering terjadi. Asidosisi hioperkloremi terjadi pada penurunan
volume dan hipokalemia. Penangananya termasuk pemberian álcali (sebanyak 10 – 25
mEq/kg/hari) dan suplemen potasium.
i. Penyebab Lain Terjadinya Asidosis Hiperkloremi
Asidosis hiperkloremi akibat pengenceran dapat terjadi ketika volume ekstraseluler
meningkat secara cepat dengan pemberian cairan bikarbonat bebas seperti normal
saline. HCO-3 plasma menurun sesuai jumlah cairan infus yang diberikan sebagaimana
kadar HCO-3 ekstraseluler diencerkan. Cairan infus asam amino (parenteral
hyperalimentation) mengandung kation organik yang lebih banyak daripada anion
organik dan dapat menyebabkan asidosis metabolik karena klorida pada umumnya
digunakan sebagai anion untuk asam amino kationik. Akhirnya kelebihan kuantitas dari
asam yang mengandung klorida seperti amonium klorida atau arginin hidroklorida
(biasanya diberikan untuk menangani alkalosis metabolik) dapat menyebabkan acidosis
metabolik hypercloremic. 3,4
j. Terapi asidosis metabolik
Beberapa pemeriksaan umum dapat dilakukan untuk mengetahui seberapa parah
asidemia yang terjadi hingga penyebabnya dapat diatasi.Respirasi harus dikontrol bila
perlu: PaCO2 serendah 30s dapat digunakan untuk mengembalikan PH kembali normal.
Jika PH arterial tetap di bawah 7,20, terapi alkali, biasanya digunakan NaHCO3 (dalam
larutan 7,5 % biasanya diperlukan. PaCO3 mungkin akan sedikit meningkat seiring
dengan penggunaan HCO3 oleh senyawa asam (memperlihatkan perlunya pengendalian
respirasi pada asidemia yang berat). Jumlah NaHCO3 yang diberikan ditentukan secara
25
empiris sebesar 1 mEq/kg atau dengan menghitung base excess dan bikarbonat. Pada
beberapa kasus, analisa gas darah serial diperlukan untuk menghindari komplikasi
misalnya kelebihan alkali atau overload sodium. Dan untuk mengevaluasi terapi yang
diberikan.peningkatan PH arterial > 7,25 biasanya cukup untuk mengetahui efek
samping dari asidemia. Asidemia yang refrakter mungkin memerlukan hemodialisis
dengan dialisat bikarbonat.
Penggunaan rutin NaHCO3 dalam jumlah banyak dalam penanganan henti jantung
dan low flow states tidak lagi direkomendasikan. Asidosis seluler paradoksik dapat
muncul , biasanya pada saat eliminasi CO2 terganggu. Karena CO2 yang telah terbentuk
memasuki sel sementara ion bikarbonatnya belum. Peningkatan buffer yang tidak
meningkatkan CO2 secara teoritis merupakan keadaan yang terpilih, tapi tidak terbukti
secara klinik.
Terapi spesifik untuk ketoasidodis diabetikum termasuk perbaikan defisit cairan
yang telah terjadi sebagai akibat dari diuresis osmotic hiperglikemik dilanjutkan dengan
penanganan insulin, potassium, fosfat dan magnesium. Penanganan asidosis laktat harus
diarahkan pertama kali untuk mengembalikan oksigenasi yang adekuat dan perfusi
jaringan. Alkalinisasi urin oleh NaHCO3 untuk PH yang lebih besar dari 7
meningkatkan eliminasi salisilat untuk keadaan keracunan salisilat. Infus etanol (IV 8-
10 mL/Kg 10% etanol dalam larutan D5 dalam 30 menit dibarengi dengan infuse
kontinum sebesar 0,15 mL/kg/jam untuk mencapai kadar etanol dalam darah 100-130
mg/dL) adalah indikasi untuk keadaan keracunan methanol atau etilen glikol. Etanol
berkompetisi dengan alkohol dehidrogenase dan menurunkan pembentukan asam dari
methanol glikolik dan asam oksalat dari etilen glikol.
k. Bikarbonat Space
Adalah volume HCO3 yang akan didistribusikan saat diberikan intra vena.
Walaupun secara teoritis harus menyeimbangkan dengan ruang cairan ekstraseluler
(25% dari berat badan), dalam kenyataannya dapat sebesar 25%-60% tergantung derajat
keparahan dan lamanya sidosis terjadi. Variasi ini setidaknya berkaitan dengan jumlah
buffer tulang dan intraseluler yang telah ada. Contoh menghitung jumlah NaHCO3
yang diperlukan untuk menghitung defisit basa (BD) -10mEq/L pada seorang laki-laki
70 tahun dengan bikarbonat space diperkirakan sebesar 30%:
26
dalam prakteknya, hanya 50% dari dosis yang telah dihitung (105 mEq) biasa
diberikan, setelahnya dilakukan pengukuran AGD.
27
Na+ tanpa klorida pada yang telah mengalami alkalosis metabolik karena peningkatan
sekresi H+ atau K+ yang harus diimbangi dengan absorpsi sodium. 3,4
4. ALKALOSIS
a. Efek Fisiologis Alkalosis
Alkalosis meningkatkan afinitas Hb terhadap oksigen dan pergeseran kurva
disosiasi ke kiri, menyebabkan Hb lebih sulit melepaskan oksigen ke jaringan.
Pertukaran H+ keluar sel dengan K+ ekstraseluler yang masuk ke dalam sel
menyebabkan hipokalemia. Alkalosis meningkatkan jumlah binding site kalsium pada
protein plasma, menurunkan ionisasi plasma, sehingga menyebabkan depresi sirkulasi
dan iritabilitas neuromuscular. Alkalosis respiratori menurunkan cerebral blood flow,
meningkatkan resistensi vascular sistemik dan presipitasi vasospasme koroner. Pada
pulmonal, alkalosis respiratori meningkatkan tonus otot polos bronkus
(bronkokonstriksi) namun menurunkan rsistensi vascular pulmonal.
b. Alkalosis Respiratori
Alkalosis respiratori didefenisikan sebagai menurunnya PaCO2 secara primer.
Mekanismenya adalah abnormalitas peningkatan ventilasi alveolar relative terhadap
produksi CO2. Tabel 30-5 menunjukkan penyebab alkalosis respiratori yang paling
sering. [HCO3-] plasma biasanya turun 2 mEq/L untuk setiap penurunan 10 mmHg
secara akut PaCO2 dibawah 40 mmHg. Perbedaan antara alkalosis respiratori akut dan
kronis tidak selalu ada, karena respon kompensasialkalosis sedikit bervariasi ; [HCO3-]
plasma menurun 2-5 mEq/L untuk setiap penurunan 10 mmHg PaCO2 dibawah 40
mmHg.
28
Tabel 5 Penyebab Alkalosis Respitorik
d. Alkalosis Metabolik
Alkalosis metabolic adalah peningkatan primer [HCO3-] plasma. Kasus
alkalosis metabolik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) yang berhubungan dengan
defisiensi NaCl dan deplesi cairan ekstraseluler, kadang disebut chloride sensitive, (2)
yang berhubungan dengan peningkatan aktivitas mineralokortikoid, desibut dengan
chloride resistent. 3,4
29
e. Alkalosis Metabolik Resisten Klorida
Peningkatan aktivitas mineralokortikoid biasanya berakibat alkalosis metabolik
meskipun tidak ada kaitannya dengan penurunan volume ekstraseluler. Peningkatan tak
terkendali aktivitas mineralokortikoid menyebabkan retensi sodium dan peningkatan
volume ekstraseluler. Peningkatan sekresi H+ dan K+ mengambil bagian untuk
menyeimbangkan reabsorpsi sodium yang telah ditingkatkan oleh aktivitas
mineralokortikoid., menghasilkan alkalosis metabolik dan hipokalemia. Konsentrasi
klorida urin biasanya lebih dari 20mEq/L pada kasus seperti ini.
30
f. Alkalosis Metabolik dengan penyebab lain
Alkalosis metabolik jarang ditemui pada pasien yang diberikan NaHCO3 bahkan
pada dosis yang besar kecuali ada gangguan pada ekresi HCO3-. Pemberian produk
darah dalam jumlah yang besar dan plasma protein yang mengandung koloid biasanya
berakibat alkalosis metabolik. Sitrat, laktat, dan asetat yang terkandung dalam cairan ini
dikonversi oleh hepar menjadi HCO3-. Pasien yang mendapat penisilin sodium dosis
tinggi, biasanya carbenicillin dapat berakibat alkalosis metabolik. Karena penisilin
berperan sebagai anion nonabsorbable dalam tubulus renalis, peningkatan sekresi H+
dan K+ harus diimbangi dengan absorpsi sodium. Untuk alasan yang tidak jelas,
hiperkalsemi karana sebab nonparatiroid (milk-alkali síndrome dan metastase tulang)
juga sering berkaitan dengan alkalosis metabolik. Patofisiologi alkalosis karena
refeeding juga belum diketahui.
g. Terapi Alkalosis Metabolik
Seperti kelainan asam basa lainnya, perbaikan alkalosis metabolik tak pernah
selesai kecuali penyebab utama telah ditangani. Saat ventilasi dikontrol, komponen
respirasi yang menyebabkan alkalemia harus dikoreksi dengan menurunkan minute
ventilation untuk normalisasi PaCO2. Penanganan terpilih untuk alkalosis metabolik
sensitif klorida ádalah pemberian saline IV dan potasium/KCl. Terapi blokade H-2
berguna bila penyebabnya adalah kehilangan cairan gaster. Asetazolamide dapat
berguna pada pasien yang edematous. Alkalosis dikaitkan dengan peningkatan aktivitas
mineralokortikoid memberikan respon yang baik dengan pemberian antagosis
aldosteron/spironolactone. Pada keadaan pH arterial lebih dari 7,60, penanganan dengan
hydrochlorida IV (0,1 mol/L), amonium klorida (0,1mol/L), arginine hidrokorida atau
hemodialisa harus dipertimbangkan.
h. Pertimbangan Anestesi pada pasien dengan alkalemia
Alkalosis respiratori sepertinya meningkatkan durasi depresi pernafasan yang
diinduksi dengan opioid. Iskemi serebral dapat muncul karena adanya penurunan
cerebral blood flow selama alkalosis respiratori, terutama saat hipotensi. Kombinasi dari
alkalemia dan hipokalemia dapat mempresipitasi aritmia atrium dan ventrikel yang
berat. Potensiasi blokade neuromuskular non depolarizing ditemukan pada alkalemia,
tapi lebih dikarenakan adanya hipokalemia yang terjadi bersamaan.
31
5. DIAGNOSIS GANGGUAN ASAM BASA 3,4
Interpretasi status asam basa dari analisis gas darah membutuhkan pendekatan
sistematis. Rekomendasinya adalah sebagai berikut :
1. Memeriksa pH arteri ; apakah terdapat asidemia atau alkalemia?
32
6. PENGUKURAN TEKANAN GAS DARAH DAN PH DARAH
Nilai yang didapat dari pengukuran gas darah rutin meliputi tekanan oksigen dan
karbondioksida (PO2 dan PCO2), pH, [HCO3-], base excess, hemoglobin, dan
persentasi saturasi oksigen. Seharusnya hanya PO2 , PCO2 dan pH yang diukur.
Hemoglobin dan persentase saturasi oksigen diukur dengan cooximeter. [HCO3-]
diukur dengan menggunakan persamaan Henderson-Hasselbalch dan base excess dari
nomogram Siggaard-Andersen.
a. Sumber Sampel dan Pengumpulannya
Sampel darah arteri adalah yang paling sering digunakan secara klinis, walaupun
darah vena atau kapiler dapat digunakan jika sampel terbatas. Tekanan oksigen pada
darah vena (normal 40 mmHg) menggambarkan ekstraksi jaringan bukan fungsi
pulmonal. PCO2 vena biasanya 4-6 mmHg lebih tinggi dari PaCO2. Konsekuensinya,
pH darah vena 0,05 U lebih rendah dari pH darah arteri. Walaupun begitu, darah vena
sering digunakan dalam menentukan status asam basa. Darah kapiler merepresentasikan
campuran darah arteri dan vena, dan nilai yang didapat merefleksikan hal tersebut.
sampel biasanya dikumpulkan pada syringe heparin dan harus dianalisis segera.
Gelembung udara harus ditiadakan, sampel ditutup dan diletakkan di atas es untuk
mencegah ambilan udara dari sel darah atau kehilangan udara ke atmosfer. Walaupun
heparin sangat asam, jumlah haparin yang berlebihan dalam syringe hanya menurunkan
pH secara minimal namun menurunkan PCO2 sebanding dengan persentase dilusinya,
serta memiliki efek bervariasi terhadap PO2. 3,4
33
b. Koreksi Suhu
Perubahan pada suhu mempengaruhi PCO2 dan Po2 secara langsung serta pH
secara tidak langsung. Turunnya suhu menurnunkan tekanan parsial gas pada larutan-
walaupun total gas content tidak berubah- karena kelarutan sebanding dengan suhu.
Baik PCO2 dan PO2 turun selama keadaan hipotermia, namun pH meningkat karena
suhu tidak mengubah [HCO3-] : PaCO2 menurnu, namun [HCO3-] tidak berubah.
Karena tekanan gas darah dan pH selalu diukur pada suhu 37º C, terdapat kontroversi
apakan pengukuran nilai harus disesuaikan dengan suhu pasien sebenarnya. Nilai
normal pada suhu selain 37 C tidak diketahui. Banyak klinisi menggunakan pengukuran
pada suhu 37 C, mengabaikan suhu pasien yang sebenarnya.
c. Pengukuran pH
Ketika logam diletakkan pada larutan garam, tendensi logam untuk berionisasi
ke dalam larutan menyebabkan logam bermuatan negatif. Jika dua logam yang berbeda
(elektroda) dan larutan garamnya dipisahkan oleh partisi berpori (bisa terjadi pertukaran
muatan), tendensi salah satu logam untuk larut ke dalam larutan dibandingkan logam
yang lain menyebabkan adanya sebuah gaya elektromotive antara dua elektroda. Untuk
mengukur pH, elektroda perak/ perak klorida dan elektroda merkuri/ merkuri klorida
(calomel) adalah yang paling sering digunakan. Elektroda perak kontak dengan larutan
uji melalui gelas yang sensitif terhadap pH. Elektroda calomel berhadapan dengan
larutan uji melalui larutan potassium klorida dan porous plug. Gaya elektromotive
berkembang antara dua elektroda adalah sebanding dengan [H+].
d. Pengukuran Karbondioksida
Modifikasi sistem elektroda pH dapat digunakan untuk mengukur PCO2. pada
sistem ini, (elektroda Severinghaus), dua elektroda dipisahkan oleh larutan sodium
bikarbonat dan potasium klorida. Sampel uji kontak dengan larutan bikarbonat melalui
membran teflon yang tipis yang menyebabkan keseimbangan CO2 antara keduanya.
Hasilnya, pH larutan bikarbonat merefleksikan PCO2 pada larutan uji3,4
e. Pengukuran Oksigen
PO2 paling sering diukur secara polarografis menggunakan elektroda Clark.
Pada sistem ini, hubungan platinum dengan perak/ perak klorida melalui larutan
elektrolit (NaCl dan KCl) sampel uji dipisahkan dari larutan elektrolit melalui membran
yang menyebabkan oksigen brdifuis secara bebas. Ketika voltase negatif ditambahkan
34
pada elektroda platinum, listrik yang mengalir antara dua elektroda secara langsung
berhubungan dengan PO2. pada prosesnya, molekul oksigen menangkap elektron dari
katoda dan bereaksi dengan air membentuk ion hidroksida. 3,4
35
KESIMPULAN
Keseimbangan Asam Basa Tubuh
Keseimbangan asam basa adalah homeostasis dari kadar ion hidrogen dalam
tubuh
Kadar normal ion hidrogen (H) arteri adalah: 4x10-8 atau pH = 7,4 (7,35 – 7,45)
Kadar pH darah < 6,8 atau > 7,8 tidak dapat diatasi oleh tubuh
Sistem Buffer Tubuh
Sistem buffer ECF → asam karbonat-bikarbonat (NaHCO3 dan H2CO3)
Sistem buffer ICF → fosfat monosodium-disodium (Na2HPO4 dan NaH2PO4)
36
Alkalosis respiratorik PaCO2↓ dikompensasi dengan [HCO3-] ↓
Asidosis Metabolik
Ciri: [HCO3-] ↓ < 22mEq/L dan pH < 7,35 → kompensasi dengan hiperventilasi
PaCO2↓, kompensasi akhir ginjal → ekskresi H+, sebagai NH4+ atau H3PO4
Penyebab: Penambahan asam terfiksasi: ketoasidosis diabetik, asidosis laktat
(henti jantung atau syok), overdosis aspirin Gagal ginjal mengekskresi beban
asam Hilangnya HCO3- basa → diare
37
Pemberian KCl secara IV dalam salin 0,9% → (diberikan jika Cl- urine <
10mEq/L) menghilangkan rangsangan aldosteron → ekskresi NaHCO3 Jika Cl-
urine > 20mEq/L → disebabkan aldosteron yang berlebihan → tidak dapat
diobati dengan salin IV, tapi dengan diuretic
Asidosis Respiratorik
Ciri: PaCO2 ↑ > 45mmHg dan pH < 7,35 → kompensasi ginjal retensi dan
peningkatan [HCO3-]
Penyebab: hipoventilasi (retensi CO2), inhibisi pusat nafas (overdosis sedatif,
henti jantung), penyakit dinding dada dan otot nafas (fraktur costae, miastemia
gravis), gangguan pertukaran gas (COPD), obstruksi jalan nafas atas
Kecemasan: mulut kering, palpitasi, keletihan, telapak tangan dan kaki dingin
dan berkeringat
38
Penatalaksanaan Alkalosis Respiratorik
Menghilangkan penyebab dasar
Kecemasan dapat dihilangkan dengan pernafasan kantong kertas yang dipegang
erat disekitar hidung dan mulut dapat memulihkan serangan akut
39