Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi respiratorik akut (IRA) ialah infeksi akut yang dapat terjadi di setiap
tempat sepanjang saluran pernapasan dan adneksanya (telinga tengah, kavum pleura
dan sinus paranasalis).Secara anatomik IRA dikelompokkan menjadi IRA atas seperti,
faringitis, tonsillitis.Sedangkan, IRA bawah seperti, bronkitis, bronkiolitis dan
pneumonia.Infeksi respiratorik akut atas jarang menimbulkan kematian walaupun
insidennnya jauh lebih tinggi dibandingkan IRA bawah.Pneumonia dan bronkiolitis
yang merupakan bagian dari ISPA bawah yang banyak menimbulkan kematian,
sehingga berperan besar dalam tingginya angka kematian bayi. Setiap tahun
diperkirakan 4 juta anak balita meninggal akibat ISPA (terutama akibat pneumonia
dan bronkiolitis) di negara berkembang.1
Penyakit bronkiolitis merupakan infeksi respiratorik akut bagian bawah (IRA-
B) yang sering pada bayi.Sekitar 20% anak pernah mengalami satu episode IRA-B
dengan mengi pada tahun pertama. Angka kejadian rawat inap IRA-B tiap tahun
berkisar antara 3000 sampai 50.000-80.000 bayi, kematian sekitar 2 per-100.000
bayi.2,3 Bronkiolitis bersifat musiman, pada umumnya terjadi pada usia kurang dari 2
tahun dengan puncak kejadian pada usia 6 bulan pertama, serta lebih sering pada laki-
laki.2
Bronkiolitis merupakan suatu penyakit infeksi akut yang menimbulkan
obstruksi inflamasi pada saluran napas kecil (bronkiolus). Bronkiolitis terutama
disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV) 60–90% dari kasus, dan sisanya
disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3, Influenzae B, Adenovirus tipe
1,2, dan 5, atau Mycoplasma. RSV adalah penyebab utama bronkiolitis dan
merupakan satu-satunya penyebab yang dapat menimbulkan epidemi.1,3
Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian Bronkiolitis pada anak
bayi dan balita, yakni faktor intrinsik (umur, status gizi, status imunisasi, jenis
kelamin) dan faktor ekstrinsik (perumahan, sosial ekonomi, pendidikan). Risiko akan
berlipat ganda pada anak usia dibawah dua tahun yang daya tahan tubuhnya masih

1
belum sempurna. Bronkiolitis pada anak dibawah dua tahun harus diwaspadai oleh
orang tua, karena dapat menyebabkan kematian.3,4
Oleh karena itu, laporan kasus ini dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut
mengenai bronkiolitis agar dapat melakukan penanganan awal dan diagnosis yang
tepat, serta mengurangi angka morbiditas dan mortalitas.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Bronkiolitis adalah suatu penyakit infeksi akut yang menimbulkan obstruksi


inflamasi pada saluran napas kecil (bronkiolus).Bronkiolitis adalah peradangan pada
bronkiolus yang ditandai oleh sesak napas, mengi, dan hiperinflasi paru. Bronkiolitis
memiliki karateristik yaitu inflamasi akut, edema, dan nekrosis dari sel epitel di
saluran napas kecil, dan peningkatan sekresi mukus.1,5

2.2 Epidemiologi

Bronkiolitis bersifat musiman, pada umumnya terjadi pada usia kurang dari 2
tahun dengan puncak kejadian pada usia 6 bulan pertama, serta lebih sering pada laki-
laki.Bronkiolitis merupakan penyebab tersering rawat inap pada bayi yang berusia
kurang dari 12 bulan. Pada sebuah penelitian yang disponsori oleh Centers for
Disease Control and Prevention melaporkan bahwa rata-rata rawat inap oleh karena
infeksi RSV adalah 5,2 dari 1000 anak-anak yang berusia kurang dari 24 bulan antara
tahun 2000-2005.2,5

2.3 Etiologi

Penyebab tersering bronkiolitis adalah Respiratory Syncytial Virus


(RSV).Sebesar 90% dari anak-anak terinfeksi RSV pada 2 tahun pertama
kehidupannya, 40% mengalami infeksi saluran napas bawah saat mengalami infeksi
tersebut. Infeksi RSV tidak membentuk imunitas jangka panjang, dan sering terjadi
infeksi berulang. Virus lain yang dapat menyebabkan bronkiolitis adalah human
rhinovirus, human metapneumovirus, influenza, adenovirus, coronavirus, dan virus
parainfluenza.Pada penelitian terhadap pasien rawat jalan dan rawat inap, 76% pasien
terinfeksi RSV, 39% pasien terinfeksi rhinovirus, 10% terinfeksi metapneumovirus,
dan 1% pasien terinfeksi virus parainfluenza (beberapa pasien terkena ko-infeksi).5

3
2.4 Patogenesis dan patofisiologi

Epitel pada saluran nafas merupakan tempat awal infeksi virus pada
bronkiolitis. Invasi virus dapat menyebabkan kerusakan secara langsung pada epitel
bronkiolus dengan terjadinya nekrosis serta kerusakan pada silia atau dapat
menimbulkan respon inflamasi hingga terjadi penumpukan limfosit peribronkial dan
oklusi pada saluran pernafasan. Bronkiolus menjadi edema dan mengalami obstruksi
oleh mukus dan selular debris sehingga dapat menyebabkan kolaps saluran napas
bagian distal baik parsial maupun total.6
Pada keaadaan ini juga dapat terjadi hiperreaktivitas dari saluran napas.
Produksi mukus, edema saluran napas dan hiperreaktivitas saluran napas dapat
menyebabkan peningkatan resistensi aliran udara.Berdasarkan Hukum Poiseuille
yang menyatakan bahwa resistensi aliran udara saluran napas berbanding terbalik
dengan radius saluran napas pangkat 4 maka adanya sedikit saja penyempitan lumen
saluran napas akan memberikan efek yang cukup besar pada aliran udara. Selain itu
pada anak-anak didapatkan lebih sedikit bronkilolus terminalis yang berfungsi
sebagai sirkuit paralel untuk menurunkan resisitensi saluran napas.7
Peningkatan resistensi aliran udara menyebabkan hipoventilasi dari alveoli
dan penurunan rasio ventilasi-perfusi. Hipoksemia merupakan akibat ketidakserasian
antara ventilasi dan perfusi (V/Qmismatch). Resistensi aliran udara pada saluran
napas kecil meningkat baik pada fase inspirasi maupun ekspirasi. Tetapi karena radius
saluran napas mengecil selama fase ekspirasi maka terdapat mekanisme klep (ball-
valve effect). Pada mekanisme ini maka udara akan terperangkap dan menimbulkan
overinflasi dada. Akibat overinflasi maka dapat menyebabkan penurunan daya
pengembangan paru dan peningkatan dead space fisiologis.7
Akibat obstruksi saluran napas mengakibatkan tekanan intratorakal menurun
sehingga darah yang ke jantung dan kapiler paru meningkat mengakibatkan
terjadinya ekstravasasi cairan. Hal ini menyebabkan akumulasi cairan di sekitar
alveoli dan saluran napas kecil sehingga dapat menyebabkan edema paru. Edema
paru juga dapat menyebabkan daya pengembangan paru juga berkurang. Akumulasi

4
cairan pada saluran napas kecil juga dapat merangsang reseptor ”J” sehingga
mengakibatkan bronkokonstriksi. Apabila obstruksinya total maka dapat terjadi
atelektasis sehingga menggangu pertukaran udara di paru. Sebagai kompensasinya
adalah peningkatan frekuensi napas. Total kerja pernapasan telah diteliti dan
didapatkan peningkatan sampai 6 kali anak normal pada penderita bronkiolitis
sehingga anak akan capai dan dapat menyebabkan kegagalan pernapasan.7

Bronkiolitis

Produksi mukus Edema Hiperreaktivitas

Peningkatan resistensi aliran udara

V/Q mismatch Hiperinflasi

Penurunan Pa O2 Peningkatan dead space Penurunan daya


pengembangan
paru

Peningkatan frekuensi napas


Peningkatn kerja pernapasan

Kegagalan pernapasan
Gambar2.1.Algoritma patofisiologi bronkiolitis

2.5 Manifestasi Klinis

5
Manifestasi klinis dari bronkiolitis akut biasanya didahului oleh infeksi
saluran nafas atas yang disertai dengan batuk dan pilek beberapa hari sebelum
munculnya sesak dapat disertai kenaikan suhu atau hanya sub-febris. Gejala batuk
pilek biasanya muncul 1 hingga 2 hari sebelum timbulnya sesak. Setelah RSV sampai
di bronkiolus maka dapat menyebabkan bronkiolitis dengan gejala yang ditimbulkan
akibat obstruksi yang makin meningkat dalam 2 sampai 3 hari. Batuk bersifat iritatif,
repetitif dan paroksismal. Anak akan menjadi iritabel, sulit tidur dan sulit makan dan
minum. Suhu tubuh dapat kembali normal.7,8
Pada pemeriksaan fisik dapat terlihat usaha nafas meningkat (air hunger) dan
dapat terjadi sianosis. Penggunaan otot bantu pernapasan bertambah dan dapat terlihat
adanya retraksi, anak bernafas dengan pernafasan cuping hidung disertai retraksi
interkostal dan suprasternal. Selain itu, ditemukan juga suara perkusi hipersonor. Pada
auskultasi dapat ditemukan ronki basah halus difus pada akhir inspirasi dan awal
ekspirasi. Terdengar suara napas wheezing dan ekspirasi yang memanjang. Gejala
biasanya berlangsung 3 sampai 7 hari dengan adanya perbaikan dalam 3 sampai 4
hari pertama. Secara keseluruhan akan kembali normal dalam 1 sampai 2 minggu.
Pada keadaan yang berat, suara pernafasan tidak lagi dapat didengar karena adanya
obstruksi hampir total. 7,8
2.6 Klasifikasi
Berdasarkan gejala klinis, bronkiolitis juga dibagi menjadi bronkiolitis ringan,
sedang, berat dan sangat berat dengan tanda sebagai berikut9,10 :

Tabel 2.1 Klasifikasi Bronkiolitis berdasarkan gejala klinis


Bronkiolitis
Ringan Sedang Berat Sangat Berat
 Frekuensi  Frekuensi  Pasien resiko  Apne atau henti
respirasi respirasi di tinggi napas
masih atas  Frekuensi respirasi  Tetap sianosis
dibawah ambang >70x/menit dengan pemberian
ambang batas  Retraksi yang O2
batas  Retraksi nyata  Tidak mampu
 Pertukaran sedang  Pertukaran udara mempertahankan

6
udara masih  Pemanjang yang minimal atau PaO2> 50 mmHg
baik an fase jelek dengan FiO2> 80%
 Tanpa ekspirasi  Merintih  Tidak mampu
retraksi atau dengan  Saturasi O2<94% mempertahankan
retraksi penurunan (untuk area PaCO2< 55 mmHg
minimal pertukaran setinggi  Terdapat tanda-tanda
 Tidak ada udara permukaan laut) syok
tanda-tanda atau < 90% (untuk
dehidrasi area setinggi 5000
kaki diatas
permukaan laut)
 Terdapat dehidrasi
atau tampak toksik

2.7 Diagnosis
Dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium
dan pemeriksaan penunjang lainnya.1,4,9
1. Anamnesis
Gejala awal berupa gejala respiratori atas akibat virus, seperti pilek ringan, batuk
dan demam.Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk yang disertai dengan
sesak napas.Selanjutnya dapat ditemukan wheezing, sianosis, merintih (grunting),
napas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel dan penurunan nafsu makan.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang mengarah ke diagnosis bronkhiolitis adalah adanya
takipnea, takikardia, dan peningkatan suhu di atas 38,5 °C. selain itu, dapat juga
ditemukan konjungtivitis ringan dan faringitis. Obstruksi saluran respiratori
bawah akibat respons inflamasi akut akan menimbulkan gejala ekspirasi
memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha pernapasan yang dilakukan anak
untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan napas cuping hidung dan retraksi
interkostal. Selain itu, dapat juga ditemukan ronki dari pemeriksaan auskultasi
paru.Sianosis dapat terjadi, dan bila gejala menghebat, dapat terjadi apnea,
terutama pada bayi berusia < 6 bulan.
3. Pemeriksaan Laboratorium dan Pemeriksaan Penunjang
Tes laboratorium rutin tidak spesifik.Hitung lekosit biasanya normal.Pada
pasien dengan peningkatan lekosit biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk

7
batang.Analisa gas darah dapat menunjukkan adanya hipoksia akibat V/Q
mismatch dan asidosis metabolik jika terdapat dehidrasi.
Gambaran radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis
ringan.Umumnya terlihat paru-paru mengembang (hyperaerated).Bisa juga
didapatkan bercak-bercak yang tersebar, mungkin atelektasis (patchy atelectasis)
atau pneumonia (patchy infiltrates).Pada x-foto lateral, didapatkan diameter AP
yang bertambah dan diafragma tertekan ke bawah. Pada pemeriksaan x-ray foto
dada, dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan: siluet jantung yang
menyempit, jantung terangkat, diafragma lebih rendah dan mendatar, diameter
anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horisontal,
pembuluh darah paru tampak tersebar.
Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan
aspirasi atau bilasan nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi
memerlukan waktu yang lama, dan hanya memberikan hasil positif pada 50%
kasus. Ada cara lain yaitu dengan melakukan pemeriksaan antigen RSV dengan
menggunakan cara imunofluoresen atau ELISA. Sensitifitas pemeriksaan ini
adalah 80-90%.
Beratnya penyakit ditentukan berdasarkan skala klinis.Digunakan berbagai
skala klinis, misalnya Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI) atau
modifikasinya yang mengukur laju pernapasan/respiratory rate (RR), usaha napas,
beratnya wheezing dan oksigenasi.
Skala klinis yang digunakan Abul-Ainie dan Luyt, adalah:
a. Respiratory rate (RR): dihitung manual, baik dengan palpasi dan melihat
gerakan dada, dilakukan selama 1 menit penuh, dua kali penghitungan dan
diambil rata-ratanya.
b. Heart rate (HR): diambil dari pulse oxymetry yang dibaca lima kali selama 1
menit, diambil rata-ratanya.
c. Saturari O2: diambil dari pulse oxymetry yang dibaca lima kali selama
pengamatan 1 menit dan diambil rata-ratanya.
d. Respiratory clinical status yang dinilai menggunakan RDAI menurut Lowell
dkk.
e. Status aktivitas bayi (empat tingkat: tidur, tenang, rewel, dan menangis)

8
Sedangkan Shuh, yang diadaptasi oleh Dobson, menilai skor klinis sebagai
berikut:

1. Keadaan umum: diberik skor 0 (tidur) hingga 4 (sangat rewel).


2. Penggunaan otot bantu napas: skor 0 (tidak ada retraksi) hingga 3 (retraksi
berat).
3. Wheezing: skor 0 (tidak ada) hingga 3 (wheezing hebat inspiratorik dan
ekspiratorik).

2.7 Diagnosis Banding1,5,10

a. Asma bronkial
Terdapat riwayat keluarga asma, episode berulang pada bayi yang sama, mulainya
mendadak tanpa infeksi yang mendahului, ekspirasi sangat memanjang,
eosinofilia dan respons perbaikan segera pada pemberian satu dosis albuterol
aerosol.
b. Pneumonia
Terdapat gejala batuk dengan napas cepat, tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam, adanya demam, crackels/ronkhi, pernapasan cuping hidung dan
grunting/merintih.
c. Aspirasi benda asing
Adanya gejala dengan riwayat tersedak atau wheezing tiba-tiba, wheezing
umumnya umumnya unilateral, adanya Air trapping dengan hipersonor dan
pergeseran mediastinum, dan tanda kolaps paru.

2.8 Penatalaksanaan

Infeksi virus RSV biasanya sembuh sendiri (self limited) sehingga sebagian
besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu pemberian oksigen,
minimal handling pada bayi, cairan intravena dan kecukupan cairan, penyesuaian
suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu, dan
nutrisi. Setelah itu barulah digunakan bronkodilator, antiinflamasi seperti
kortikosteroid, antiviral seperti ribavirin, dan pencegahan dengan vaksin RSV,
RSV immunoglobuline (polyclnal) atau humanized RSV monoclonal
antibody (palvizumad)12,14.

9
Bronkiolitis ringan biasanya bisa rawat jalan dan perlu diberikan cairan
peroral yang adekuat.Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat
inap. Penderita resiko tinggi harus dirawat inap, diantaranya: berusia kurang dari 3
bulan, prematur, kelainan jantung, kelainan neurologi, penyakit paru kronis, defisiensi
imun, distres napas. Tujuan perawatan di rumah sakit adalah terapi suportif,
mencegah dan mengatasi komplikasi, atau bila diperlukan pemberian antivirus18.

Pengobatan yang dapat dilakukan untuk bronkiolitis, yaitu :


1. Oksigen
Oksigenasi sangat penting untuk menjaga jangan sampai terjadi hipoksia,
sehingga memperberat penyakitnya. Hipoksia terjadi akibat gangguan perfusi
ventilasi paru-paru.12 Pemberian oksigen tambahan direkomendasikan ketika
saturasi oksigen menetap dibawah 91% dan dihentikan ketika saturasi oksigen
menetap diatas 94%.13 Oksigenasi dengan kadar oksigen 30 – 40 % sering
digunakan untuk mengoreksi hipoksia.12,18Gunakan nasal kanul (dengan
kecepatan maksimun 2L/m); masker muka atau kotak kepala.Jika mungkin
gunakan oksigen yang dilembabkan. Jika hipoksemia menetap dengan atau
tanpa distress berat, meskipun sudah diberikan oksigen dengan kecepatan
tinggi, maka segera lakukan permintaan untuk penangan ICU anak dengan
pemasangan ventilator13,14,15

2. Posisi
Pasien sebaiknya dibaringkan pada posisi setengah duduk atau pada sudut
30o.17

3. Terapi cairan
Semua anak dengan bronkiolitis perlu dilakukan penilaian terhadap status
hidrasi pasien. Adanya distres napas akan mengganggu asupan cairan dan
nutrisi membuat pasien rentan mengalami dehidrasi. Selain itu, takipneadan
demam meningkatkan kehilangan cairan, dan memperparah dehidrasi.Guna
mengatasi dehidrasi yang terjadi, usaha rehidrasi dengan cairan intravena atau
melalui nasogastric feeding dapat dilakukan. Penelitian oleh Gozal dkk (1990)

10
menemukan bahwa bronkiolitis merupakan stimulus independen pelepasan
hormon antidiuretik sehingga membuat pasien berisiko mengalami
hiponatremia iatrogenik bila diberikan cairan hipotonis, sehingga perlu
dipertimbangkan pemberian cairan isotonis. Jika tidak terjadi dehidrasi dapat
diberikan cairan rumatan.12,15,17

4. Bronkodilator
Peran bronkodilator sampai saat ini masih kontroversial.Secara umum jangan
gunakan bronkodilator pada anak usia dibawah 6 bulan.15 Bronkodilator juga
tidak dianjurkan dan sebetulnya merupakan kontra indikasi karena dapat
memperberat keadaan anak. Penderita dapat menjadi lebih gelisah dan
keperluan oksigen akan meningkat.15,16

β2-agonis masih sering digunakan dengan alasan 15 – 25 % pasien


bronkiolitis nantinya akan menjadi asma. Inhalasi β2-agonis diberikan satu
kali sebagai trial dose. Karena efek akan tampak dalam 1 jam, maka dosis
ulangan akan diberikan bila pasien menunjukkan perbaikan klinis fungsi paru
yang jelas dan menetap.15,16,17
Walaupun masih kontroversi, di Sub-bagian respirologi IKA RSUP Sanglah
diberikan salbutamol dengan dosis 0.05-0.1 mg/kgBB/kali, setiap 6jam.18

5. Kortikosteroid
Tentang pemberian kortikosteroid masih belum ada keseragaman. Masing-
masing negara melakukan pemberian kortikosteroid disesuaikan dengan
masing-masing Panduan Nasional maupun konsensus yang berdasarkan
bukti. Untuk pasien rawat jalan dengan akut bronkiolitis pemberian steroid
sistemik mungkin dapat dipertimbangkan tetapi total pemberian tidak lebih
dari 5 hari. Untuk pasien rawat inap steroid sistemik tidak rutin diberikan
tergantung dari studi penelitian. Sedangkan untuk penanganan pasien

11
pada intensive care unitdengan bronkiolitis berat pemberian steroid sistemik
dapat dipertimbangkan. Sedangkan pemberian steroid inhalasi (budesonide &
Fluticasone) sangat sedikit evidence based yang merekomendasikan15.

Walupun masih kontroversi, di Sub-bagian respirologi IKA RSUP Sanglah


diberikan deksametason dengan dosis bolus 1mg/kgBB , diikuti dengan dosis
0.5-1mg/kgBB/hari setiap 8 jam.18

6. Antibiotika
Pemberian antibiotik biasanya tidak diperlukan pada penderita bronkiolitis,
karena sebagian besar disebabkan oleh virus, kecuali jika ada tanda-tanda
infeksi sekunder dan diberikan antibiotik spektrum luas. Antibiotik bila
dicurigai adanya infeksi bakteri dapat digunakan ampisilin 100-200
mg/kgBB/harisetiap 6 jam. Bila ada konjungtivitis dan bayi berusia 1 – 4
bulan kemungkinan sekunder oleh Chlamidia trachomatis.12,15,16

2.9 Prognosis

Prognosis pasien dengan bronkiolitis biasanya baik. Kematian terjadi kurang


dari 1 % dari seluruh penderita. Kematian biasanya oleh karena apneu yang
berkepanjangan, dehidrasi berat atau bila ada kelainan seperti penyakit jantung
bawaan dan imunodefisiensi.19

2.10 Pencegahan

Pencegahan yang dapat dilakukan diantaranya adalah dengan mengurangi


kontak dengan anak yang sakit. Pasien yang menjalani rawat inap seharusnya
ditempatkan di di ruang isolasi untuk mencegah penyebaran infeksi
nosokomial.15

The American Academy of Pediatrics merekomendasikan penggunaan RSV


imunoglobulin sebagai profilaksis pada anak dengan risiko terkena infeksi RSV
termasuk diantaranya adalah bayi prematur, anak dengan displasia

12
bronkopulmonar dan pada anak yang mengalami immunocompromised.
Penggunaan RSV-IGIV 750 mg/kgBB/bulan terutama pada bulan Oktober
sampai April dapat menurangi insiden rawat inap 41-63 %. 13,15

Palivizumab, antibodi monoklonal manusia terhadap RSV, masih dipelajari


sebagai profilaksis terhadap infeksi RSV. Dari hasil penelitian didapatkan
penurunan angka insiden MRS 10,6 % pada kelompok yang mendapat plasebo
dan 4,8 % pada kelompok yang mendapat palivizumab (menurun 55 % dari
seluruh pasien yang menjalani rawat inap oleh karena infeksi RSV).14,16,17

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama :
Tanggal lahir : 12 Oktober 2016
Umur : 5 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Suku : Bali

13
Bangsa : Indonesia
Agama : Hindu
Alamat : Jalan Tunggul Ametung IV
No CM :
Tanggal MRS : 18 Maret 2017
Tanggal pemeriksaan : 20 Maret 2017

3.2 Anamnesis (Heteroanamnesis-Ibu pasien)


Keluhan Utama :sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke RSUD Wangaya pada tanggal 18 Maret 2017 diantar oleh
orang tuanya dengan keluhansesak napas sejak 2 hari sebelum masuk Rumah
Sakit (16 Maret 2017). Sesak dikatakan berupa napas cepat disertai dengan
cekungan pada dinding dada dan juga terdapat suara “ngik ngik” tanpa disertai
dengan suara “grok grok” yang dapat didengar oleh orang tua pasien. Sesak
dikatakan tidak membaik dengan perubahan posisi dari pasien dan pasien tampak
gelisah.Kebiruan pada saat sesak disangkal.
Selain itu, pasien juga dikeluhkan mengalami batuk sejak 4 hari sebelum
pasien masuk Rumah Sakit (14 Maret 2017).Batuk dikatakan disertai dengan
dahak yang sulit untuk dikeluarkan, sehingga orang tua pasien tidak dapat
mengetahui warna dari dahaknya.Pasien juga mengalami pilek bersamaan dengan
batuknya.Dimana cairan yang keluar dari hidung dikatakan bening dan
encer.Keluhan batuk disertai darah disangkal.
Pasien dikeluhkan pula mengalami demam sejak 3 hari sebelum masuk
Rumah Sakit (15 Maret 2017).Demam dikatakan sumer-sumer dan suhu tertinggi
yang sempat terukur adalah 38,7oC.Demam dikatakan membaik dengan
pemberian obat penurun panas, namun nantinya dikatakan suhu tubuh naik
kembali.
Pasien juga dikatakan sempat muntah sejak 3 hari sebelum masuk Rumah
Sakit (15 Maret 2017). Dimana, muntah timbul setelah pasien batuk yang berisi

14
cairan susu. Muntah dengan frekuensi 2 kali per hari dan volume ± ¼
gelas.Nafsu makan dan minum pasien juga dikatakan menurun semenjak pasien
sakit.Buang air besar dan buang air kecil dikatakan normal tanpa keluhan.
Saat pemeriksaan pasien dikeluhkan sesaknya sudah berkurang, akan tetapi
terkadang masih didengar suara “ngik ngik” ketika pasien bernapas.Pasien juga
masih mengeluhkan mengalami batuk, namun sudah berkurang. Selain itu, tidak
ada keluhan lain yang dikeluhkan oleh orang tua pasien mengenai keadaan pasien
saat ini. Pasien dikatakan minum ASI 3 kali dalam sehari, tetapi karena ASI tidak
lancar maka pasien lebih banyak diberikan susu formula 5 kali per hari dengan
volume 90ml tiap satu kali minum. BAK dikatakan normal baik dalam jumlah
maupun warna.BAB dikatakan bisa dengan frekuensi 4 kali sehari, dengan
konsistensi lembek, dan dikatakan memang seperti itu dari sebelum pasien sakit.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama seperti yang
dialaminya saat ini.

Riwayat Keluarga:
Nenek dari Ayah pasiendikatakan memiliki riwayat penyakit asma.Riwayat
penyakit sistemik seperti hipertensi, diabetes mellitus dan penyakit jantung
disangkal oleh orang tua pasien.
Riwayat Sosial:
Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Di lingkungan pasien
dikatakan kakak pasien sebelumnya mengalami keluhan yang sama seperti yang
dialami pasien saat ini, yaitu batuk dan pilek. Ayah pasien dikatakan tidak
merokok.Pasien dan kakaknya dikatakan sering dititipkan ke tempat penitipan
anak oleh orang tuanya, karena orang tua pasien harus bekerja.Sedangkan, untuk
lingkungan rumah pasien dikatakan dengan ventilasi yang cukup.

Riwayat Pengobatan :

15
Saat pertama kali mengalami sesak pasien sempat dibawa berobat ke dokter
spesialis anak dan diberikan uap disana, setelah itu sesak dikatakan
membaik.Namun, keesokan harinya pasien kembali mengalami sesak dan pasien
dibawa berobat kembali ke dokter spesialis anak.Oleh dokter, pasien kembali
diberikan uap dan disarankan untuk pergi ke Rumah Sakit.

Riwayat Persalinan:
Pasien lahir dengan persalinan Sectio Cesarea di RSUPSanglah dengan
indikasi letak lintang. Dimana, berat badan lahir 3500 gram,serta panjang 50 cm
dan lingkar kepala dikatakan lupa.Pasien dikatakan segera menangis saat lahir
dan tidak didapatkan kelainan kongenital.

Riwayat Imunisasi:
BCG : 1 kali
Polio : 2 kali
Hepatitis B : 2 kali
DPT : 1 kali

Riwayat Nutrisi:
ASI : sejak usia 0 bulan hingga sekarang, frekuensi on demand
Susu formula : sejak usia 2 bulan hingga sekarang, frekuensi on demand
Riwayat Tumbuh Kembang:
Menegakkan kepala : 2 bulan
Membalik badan : 4 bulan
Duduk :-
Merangkak :-
Berdiri :-
Berjalan :-
Bicara :-
Kesan dalam batas normal

16
Riwayat Alergi
Pasien belum pernah melakukan tes alergi. Namun, ibu pasien mengatakan
selama ini pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan, minuman,
ataupun obat-obatan.

3.3 Pemeriksaan Fisis (20 Maret 2017)


Status Present
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis (E3V3M3)
Nadi : 132 kali/ menit, reguler, isi cukup
Laju respirasi : 58 kali/ menit,reguler
Tempt axilla : 37,5C
Sp02 : 96% dengan udara ruangan

Status Generalis
Kepala :Normocephali,head nodding (-)
Mata : Konjungtivapucat -/-, ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor,
edema palpebra (-), mata cowong (-)
THT :
Telinga : sekret -/-
Hidung : nafas cuping hidung (-),sekret -/-
Tenggorok : faring hiperemis (-), T1/ T1hiperemis (-)
Lidah : sianosis (-)
Bibir : sianosis (-), mukosa bibir basah (+)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks :
Jantung :
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
Palpasi : iktus cordis tidak teraba
Austkultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Paru-paru :
Inspeksi : bentuk normal, simetris, retraksi (-)
Palpasi : gerakan dada simetris
Auskultasi :Bronkial +/+, ronkhi -/-, wheezing+/+
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : hepar just palpable
lien tidak teraba
nyeri tekan (-), massa (-)

17
Perkusi : timpani (+)
Kulit : Turgor kembali cepat
Genitalia : Laki-laki M 1 P 1
Ekstremitas : Akral hangat (+),edema (-), Capillary Refill Time< 2 detik

Status Antropometri :
BB : 7.3 kg
TB : 63 cm
LK : 40 cm
BBI : 7 kg
BB/U :0 - 2 SD Z score
TB/U : (-2) - 0SD Z score
BB/TB : 0 - 1 Z score
Status Gizi (Waterlow): 95% ( Gizi baik)

3.4 Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan Darah Lengkap (18 Maret 2017)

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan


WBC 14,44 103/μL 6,0 – 17,0
NEU% 40,6 % 30 – 40

LYM% 46,5 % 40 – 60

MONO% 12,3 % 2–6

EOS% 0,3 % 0–4

BASO% 0,3 % 0–1

LED 85 mm/jam 0 – 10
RBC 4,75 106/μL 3,70 – 5,20
HGB 10,6 g/dL 11,0 – 15,0
HCT 31,3 % 32 – 46
MCV 65,9 fL 70 – 86
MCH 22,3 Pg 24 – 32
MCHC 33,9 g/dL 30 – 36
RDW-CV 16,9 % 11,0 – 16,0
3
PLT 602 10 /μL 150 – 400

 Pemeriksaan Radiologi (Foto Thoraks PA, 20 Maret 2017)

18
Cor : Besar dan bentuk kesan normal (CTR < 55%)
Pulmo : Corakan bronkovaskular normal
Tampak penebalan kedua hilus
Sinus kostofrenikus kanan kiri tajam
Diaphragma kanan kiri mendatar
Tulang-tulang : Tidak tampak kelainan
Kesan :
Gambaran Bronkiolitis

3.5 Diagnosis

Bronkiolitis derajat sedang+Gizi baik

3.6 Planning
Terapi :
- MRS

19
- Kebutuhan cairan 730 ml/hari→ mampu minum 480 ml/hari

- IVFD DS ¼ NS10 tetes mikro/menit

- Kebutuhan kalori 840 kkal/hari, protein 17,5gram/hari

- ASI dilanjutkan

- Nebulisasi β2 Agonis (0,1 mg/kgBB/kali) ~ 0.7 ml + NaCl 0,9% s/d 4 ml


dapatdiulang tiap 8 jam

- Dexamethasone bolus 1mg/kg/kali ~ 7mg intravenalanjutkan 2,3 mg tiap 8 jam

- Mukolitik ambroxolsyr 1,5mg/kg/kali ~ 10mg 1/2cth tiap 8 jam per oral

- Ceftriaxone 50mg/kg/hari~ 350 mg ~ 175 mg tiap 12jam intravena

- Paracetamol drop 10 mg/kgBB/kali ~70mg ~ 0,7 cctiap 8 jam per oral apabila
suhu > 38oC

Planning Monitoring
• Distresnapas

• Vital sign

• Balance cairan

BAB IV
PEMBAHASAN

20
4.1 Anamnesis dan Diagnosis
Bronkiolitis adalah peradangan pada bronkiolus yang ditandai oleh sesak
napas, mengi, dan hiperinflasi paru.Bronkiolitis memiliki karateristik yaitu inflamasi
akut, edema, dan nekrosis dari sel epitel di saluran napas kecil, dan peningkatan
sekresi mukus.Beberapa hal yang dapat ditemukan pada kasus ini adalah sebagai
berikut.
Penegakan diagnosis bronkiolitis didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis bisa didapatkan gejala awal
berupa gejala infeksi saluran pernapasan atas akibat virus, seperti pilek ringan, batuk
dan kenaikan suhu atau hanya sub-febris. Satu hingga dua hari kemudian timbul
batuk yang disertai dengan sesak napas.Selanjutnya, dapat ditemukan wheezing,
sianosis, merintih (grunting), napas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel dan
penurunan nafsu makan.
Pada kasus, dari heteroanamnesis didapatkan data bahwapasien dikeluhkan
sesak napas sejak2hari sebelum masuk Rumah Sakit (16 Maret 2017), dimana sesak
dikatakan berupa napas cepat disertai dengan cekungan pada dinding dada dan juga
terdapat suara “ngik ngik” tanpa disertai dengan suara “grok grok” yang dapat
didengar oleh orang tua pasien. Pasien juga tampak gelisah.Selain itu, pasien juga
dikeluhkan mengalami batuk sejak 2 hari sebelum pasien mengalami sesak.Batuk
dikatakan disertai dengan dahak yang sulit untuk dikeluarkan.Pasien juga mengalami
pilek bersamaan dengan batuknya.Dimana cairan yang keluar dari hidung dikatakan
bening dan encer.Pasien dikeluhkan pula mengalami demam sejak 1 hari sebelum
pasien mengalami sesak.Demam dikatakan sumer-sumer dan suhu tertinggi yang
sempat terukur adalah 38,7oC.Pasien juga dikatakan sempat muntah. Dimana, muntah
timbul setelah pasien batuk yang berisi cairan susu. Muntah dengan frekuensi 2 kali
per hari dan volume ± ¼ gelas.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya takipnea, takikardia, dan
peningkatan suhu di atas 38,5°C. Selain itu, dapat juga ditemukan konjungtivitis
ringan dan faringitis. Obstruksi saluran respiratori bawah akibat respons inflamasi

21
akut akan menimbulkan gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha
pernapasan yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan napas
cuping hidung dan retraksi interkostal. Selain itu, dapat juga ditemukan ronki dari
pemeriksaan auskultasi paru.Sianosis dapat terjadi dan bila gejala menghebat, dapat
terjadi apnea terutama pada bayi berusia < 6 bulan.
Berdasarkan pemeriksaan fisik pada kasus didapatkanekspirasi
memanjangdan auskultasi didapatkan suara nafas bronkial disertai
denganwheezing(+/+).
Pemeriksaan penunjangbronkiolitis, yaitu pemeriksaan laboratorium dan
radiologi.Namun, hasil dari pemeriksaan laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung
lekosit biasanya normal.Pada pasien dengan peningkatan leukosit biasanya
didominasi oleh PMN dan bentuk batang.Analisa gas darah dapat menunjukkan
adanya hipoksia akibat V/Q mismatch dan asidosis metabolik jika terdapat
dehidrasi.Sedangkan, untuk gambaran radiologi mungkin masih normal bila
bronkiolitis ringan. Umumnya terlihat paru-paru mengembang (hyperaerated).Bisa
juga didapatkan bercak-bercak yang tersebar, mungkin atelektasis (patchy atelectasis)
atau pneumonia (patchy infiltrates).
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan laboratorium maupun radiologi.
Dimana hasil dari pemeriksaan laboratorium menunjukkan peningkatan neutrofil
yang tidak begitu signifikan (%NE: 40.6), penurunan kadar hemoglobin (HGB: 10.6)
dan penurunan hematokrit (HCT: 31.3).Sedangkan, hasil fotothorax didapatkan pada
pulmo tampak penebalan pada hilus dan diaphragma tampak mendatar dengan kesan
gambaran bronkiolitis.

4.2 Tatalaksana
Tatalaksana bronkiolitis,yaitu:
Semua anak dengan bronkiolitis perlu dilakukan penilaian terhadap status
hidrasi pasien. Adanya distres napas akan mengganggu asupan cairan dan nutrisi
membuat pasien rentan mengalami dehidrasi. Selain itu, takipneadan demam
meningkatkan kehilangan cairan dan memperparah dehidrasi.Jika tidak terjadi
dehidrasi dapat diberikan cairan rumatan.Pada pasien ini diberikan terapi cairan

22
berupa DS ¼ NS 10 tetes mikro/menit dengan kebutuhan cairan perharinya 730
ml/hari.

Bronkodilator inhalasi β2-agonis diberikan satu kali sebagai trial dose. Karena
efek akan tampak dalam 1 jam, maka dosis ulangan akan diberikan bila pasien
menunjukkan perbaikan klinis fungsi paru yang jelas dan menetap.Pada pasien ini
diberikan terapi bronkodilator berupa Nebulisasi β2 Agonis (0,1 mg/kgBB/kali) ~ 0.7
ml + NaCl 0,9% s/d 4 ml.
Pemberian kortikosteroid berupa Dexamethasone dengan dosis bolus
1mg/kgBB dan selanjutnya diikuti dengan dosis 0,5 - 1mg/kgBB/hari setiap 8 jam.
Pada pasien ini diberikan Dexamethasone bolus 1mg/kg/kali ~ 7 mg intravena.
Pemberian antibiotik biasanya tidak diperlukan pada penderita bronkiolitis,
karena sebagian besar disebabkan oleh virus, kecuali jika ada tanda-tanda infeksi
sekunder dan diberikan antibiotik spektrum luas. Antibiotik bila dicurigai adanya
infeksi bakteri dapat digunakan ampisilin 100-200 mg/kgBB/harisetiap 6 jam. Pada
pasien mendapatkan antibiotik berupa Ceftriaxone 50mg/kg/hari tiap 8 jam.

23
BAB V
KESIMPULAN

Bronkiolitis adalah penyakit IRA – bawah yang ditandai dengan adanya


inflamasi pada bronkiolus. Bronkiolitis sering di derita bayi dan anak kecil yang
berumur kurang dari 2 tahun, dengan puncak 2-6 bulan.Bronkiolitis sebagian besar
disebabkan olehRespiratory syncytial virus(RSV), penyebablainnya adalah
parainfluenza virus, Eaton agent (mycoplasma pneumoniae), adenovirus dan
beberapa virus lainnya. Resiko terjadinya bronkiolitis adalah jenis kelamin laki-laki,
status sosial ekonomi rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif,
berada pada tempat penitipan anak atau ke tempat-tempat umum yang ramai,
rendahnya antibodi maternal terhadap RSV dan bayi yang tidak mendapatkan air susu
ibu.
Bronkiolitis secara klinis ditandai dengan pernafasan cepat, retraksi dinding
dada dan wheezing. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang, gambaran klinis, umur penderita dan adanya epidemi
RSV di masyarakat. Diagnosis banding bronkiolitis, yaitu asma bronkiale serangan
pertama, bronkopneumonia, bronkhitis, aspirasi benda asingdan gagal jantung
kongestif.
Infeksi virus RSV biasanya sembuh sendiri (self limited) sehingga sebagian
besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu pemberian
oksigen,cairan intravena dan kecukupan cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar
konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu dan nutrisi. Setelah itu, baru
pemberian medikamentosa. Komplikasi dari bronkiolitis sangat minimal dan
tergantung dari penatalaksanaan penyakit sebelumnya. Pada beberapa kasus
didapatkan adanya gangguan fungsi paru yang menetap, dimana timbulnya wheezing
berulang dan hiperaktifitas bronkial. Pencegahan dengan imunisasi aktif dan pasif,
serta menghindari penyebaran virus RSV. Prognosis tergantung berat ringannya
penyakit, cepatnya penanganan dan adanya penyakit yang melatar belakangi
(penyakit jantung, defisiensi imun, prematuritas).

24
Daftar Pustaka

1. Rahajoe Nastiti N, Bambang Supriyatno, Darmawan Budi Setyanto. Buku


Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2010.
Hal : 333-347.
2. Kusel MMH, de Klerk NH, Kebadze T, Vohma V, Holt PG, Johnston SL, dkk.
Early-life respiratory viral infections, atopic sensitization, and risk of
subsequent development of persistent asthma. J Allergy Clin Immunol 2007;
119:1105-10.

3. Watts KD, Goodman DM. Wheezing in infants: bronchiolitis. Dalam:


Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders; 2007. h. 1773-7.
4. Pusponegoro Hardiono D, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI.2005. Hal : 348-350
5. Ralston SL, Lieberthal AS, Meissner HC, et al. Clinical Practice Guideline:
The Diagnosis, Management, and Prevention of Bronchiolitis. Pediatrics.
2014;134(5):e1474-e1502. PEDIATRICS. 2015;136(4):782-782.

6. Wainwright C. Acute viral bronchiolitis in children- a very common condition


with few therapeutic options. Pediatr. Respir. Rev. (2009),
doi:10.10106/j.prrv.2009.10.001
7. Eric W. Bronchiolitis; Pathophysiology and clinical features. Pediatr Respir
Rev. 2010 Mar; 11(1):39-45
8. Supriyatno B. Infeksi Respiratorik Bawah Akut pada Anak. Sari Pediatri, Vol.
8, No 2, September 2006:100-106
9. Magdalena Sidharta Zain, Bronkhiolitis dalam Buku Ajar Respirology Anak,
Edisi Pertama, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Badan Penerbit IDAI, 2008
10. NSW HEALTH, Infants and Children: Acute Management of Bronchiolitis.
Revision January 2012 www.health.nsw.gov.au
11. Bronkiolitis ” : overview. Didapat dari http://www.medicastore.com//. Diakses
tanggal 20 Januari 2017

25
12. Ali J, Summer WR, Levidzky MG. Pulmonary Pathophysiology. USA: Mc
Graw Hill. 1999; 12:277-280
13. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed.
Philadelphia: WB Saunders Company. 2002; 378:1415-1417
14. Crain EF and Gershel JC. Clinical Manual of Emergency Pediatrics. 4th ed.
USA: Mc Graw Hill. 2003; 20:575-578
15. Hay WW, et al. Current Pediatric Diagnosis and Treatment. 16th ed.
Singapore: Mc Graw Hill. 2003; 18:520-521
16. DeNicola LK and Gayle MO. Bronchiolitis.
http://www.jacksonvillemedicine.com/bronchiolitis/html. Last update:
September 2005. accessed: January 26th, 2006
17. Steele RW. The Clinical Handbook of Pediatrics Infectious Disease. New
York: Parthenon Publishing. 2000; 9:106-107

18. SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah. Pedoman Pelayanan Medis
Kesehatan Anak. Denpasar: 2010. p. 484-489.
19. Walter RW and Sande MA. Current Diagnosis and Treatment in Infectious
Diseases. USA: Mc Graw Hill. 2001; 10:125-128

26

Anda mungkin juga menyukai