Anda di halaman 1dari 450

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

PERPAJAKAN
INTERNASIONAL
RESUME DAN
KUMPULAN PERTANYAAN
PERPAJAKAN INTERNASIONAL
RESUME DAN KUMPULAN PERTANYAAN

UNTUK KEPENTINGAN DINAS


TIDAK UNTUK DIPERJUALBELIKAN
PERPAJAKAN INTERNASIONAL
RESUME DAN KUMPULAN PERTANYAAN

Cetakan I - Jakarta
Direktorat Peraturan Perpajakan II, Direktorat Jenderal Pajak. 2014
i

Pengantar

P
uji syukur atas rahmat dan kemudahan yang diberikan oleh Tuhan Yang
Maha Esa dalam proses penyusunan buku Perpajakan Internasional
hingga buku ini berada di tangan pembaca sekalian.

Perkembangan hubungan dan kerjasama antar otoritas perpajakan baik


secara bilateral maupun multilateral, menuntut pemahaman yang lebih
baik tentang Perpajakan Internasional. Selain untuk mencegah terjadinya
pemajakan secara berganda (double tax), yang pada akhirnya akan
membebani sektor usaha, permasalahan lebih penting lagi yang sedang
dihadapi oleh banyak otoritas perpajakan adalah upaya untuk mencegah
terjadinya penghindaran pajak atau pengelakan pajak sehingga tercipta
kondisi double non-taxation. Sejak tahun 2013, Organisation for Economic
Co-Operation and Development (OECD) memberi perhatian khusus untuk
menanggulangi isu penghindaran pajak dengan melalui program dan aksi
untuk mengatasi Base Erotion and Profit Shifting (BEPS). Proyek BEPS ini
dalam perkembangannya juga didukung oleh negara-negara non-OECD,
termasuk Indonesia yang kemudian menjadi associate pada BEPS Project.

Memperhatikan fenomena diatas, perlulah dirasa untuk menyebar


luaskan informasi tentang Perpajakan Internasional di lingkungan otoritas
perpajakan Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan dalam rangka
menyebarluaskan dan memberikan kemudahan mengakses informasi
mengenai ketentuan perpajakan internasional, yakni dengan membuat
resume dan kompilasi peraturan perundangan mengenai aspek perpajakan
internasional. Selain itu, untuk menambah wawasan kita dalam penerapan
peraturan perundangan terkait aspek perpajakan Internasional termasuk
penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B), maka kami juga
berusaha mengadaptasi beberapa permasalahan riil di tingkat operasional
ke dalam suatu bentuk tanya-jawab seputar aspek perpajakan internasional.

Untuk kemudahan penyajian dan penggunaannya, maka resume,


kompilasi dan tanya-jawab dimaksud dikemas dalam suatu buku tersendiri.
Kami mengharapkan agar buku ini dapat menjadi panduan atau buku
ii Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

saku bagi para pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dalam


melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing.

Dilihat dari tingkat kedalamannya, buku ini diharapkan dapat memberi


dasar pemahaman yang baik akan konsep Perpajakan Internasional dalam
interaksinya dengan peraturan perundangan perpajakan di Indonesia. Hal
ini akan sangat berguna khususnya dalam situasi dimana sampai dengan
saat ini, menurut kami, masih belum banyak referensi dan informasi pada
skala nasional yang dapat kita gunakan untuk memahami aspek-aspek
Perpajakan Internasional.

Akhirnya, ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kami


sampaikan kepada rekan-rekan di Direktorat Peraturan Perpajakan II, Sub-
Direktorat Perjanjian dan Kerjasama Perpajakan Internasional (PKPI) yang telah
memberikan peran dan kontribusinya dalam penyusunan buku ini. Semoga
segala keikhlasan dan kerja keras yang telah dilakukan dapat memenuhi
espektasi dalam penyusunan buku Perpajakan Internasional ini, yaitu untuk
memberikan manfaat kepada semua pihak yang menggunakannya baik
dari sisi pengetahuan maupun peningkatan kualitas pekerjaan. Manfaat ini
yang pada muaranya akan berkontribusi positif terhadap kinerja organisasi
Direktorat Jenderal Pajak yang lebih baik.

Jakarta,
Direktur Peraturan Perpajakan II

P.M. John L. Hutagaol


NIP 196511271989101001
iii

Daftar Isi

1 Pengantar Perpajakan Internasional 1


2 Subjek & Non-Subjek Pajak 7
3 Objek Pajak 13
Bentuk Usaha Tetap 13
Wajib Pajak Luar Negeri Non-BUT 15
Pelayaran dan Penerbangan Internasional 22
Kantor Perwakilan Dagang Asing 23

4 Penerapan P3B / Tax Treaty


dan Perjanjian Perpajakan Lainnya 27
P3B / Tax Treaty 27
Surat Keterangan Domisili 33
Pengembalian Atas Kelebihan Pembayaran Pajak 34
Kerjasama Perpajakan Lainnya 36

5 Exchange of Information
dan Anti Tax Avoidance 41
Exchange of Information 41
Controlled Foreign Company 51
Special Purpose Company 54
Transfer Pricing 56
iv Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Dispute Settlement dan


67 Advance Pricing Agreement 6
68 Mutual Agreement Procedure
72 Advance Pricing Agreement

78 Kumpulan Pertanyaan 7
100 Lampiran 8
101 A. Statistik P3B
119 B. Tabel Perbandingan Struktur P3B
122 C. Tabel Daftar P3B Yang Berlaku Efektif
125 D. Tabel Time Test Bentuk Usaha Tetap
132 E. Tabel Time Test Pekerjaan Bebas dan Dalam Hubungan
Kerja
138 F. Tabel Wewenang Bentuk Usaha Tetap
145 G. Tabel Objek Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap
151 H. Tabel Tarif Dividen, Bunga, Royalti, dan Jasa Teknik
160 I. Tabel Hak Pemajakan Atas Pelayaran & Penerbangan,
Pengalihan Harta, dan Penghasilan Lainnya
174 J. Tabel Hak Pemajakan Atas Penghasilan Direktur, Artis,
Olahragawan, dan Pegawai Pemerintahan
182 K. Tabel Hak Pemajakan Atas Penghasilan Individu Lainnya
195 L. Tabel Pasal Khusus, Jangka waktu pengajuan MAP dan
bantuan penagihan
199 M. Format Permohonan Surat Keterangan Domisili
212 N. Contoh Surat Keterangan Domisili Negara Lainnya
219 O. Format Permohonan Exchange of Information
Daftar Isi v

~ Lampiran Peraturan Terkait


Perpajakan Internasional 229
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak ~
Penghasilan (PPh) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
[tidak terlampir]
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-215/ 229
PMK.03/2008 tentang Penetapan Organisasi-Organisasi
Internasional dan Pejabat-Pejabat Perwakilan Organisasi
Internasional yang Tidak Termasuk Subjek Pajak
Penghasilan.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 ~
Tahun 2010 Tentang Penghitungan Penghasilan Kena
Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun
Berjalan. [tidak terlampir]
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 ~
Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Dan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. [tidak terlampir]
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor ~
79 Tahun 2010 Tentang Biaya Operasi Yang Dapat
Dikembalikan Dan Perlakuan Pajak Penghasilan Di Bidang
Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi. [tidak terlampir]
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-15/ 232
PMK.03/2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor PMK-215/PMK.03/2008 tentang
Penetapan Organisasi-Organisasi Internasional dan
Pejabat-Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional yang
Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan.
vi Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-142/ 236


PMK.03/2010 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor PMK-215/PMK.03/2008
tentang Penetapan Organisasi-Organisasi Internasional
dan Pejabat-Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional
yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan.
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-166/ 241
PMK.011/2012 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor PMK-215/PMK.03/2008
tentang Penetapan Organisasi-Organisasi Internasional
dan Pejabat-Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional
yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan.
9. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/ 247
PJ/2011 tentang Penetapan Subjek Pajak Dalam Negeri
dan Subjek Pajak Luar Negeri.
10. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/ 255
PJ/2009 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan bagi
Pekerja Indonesia di Luar Negeri.
11. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-62/ 257
PJ./1995 tentang Jenis dan Besarnya Biaya Administrasi
Kantor Pusat yang Diperbolehkan Untuk Dibebankan
Sebagai Biaya Suatu Bentuk Usaha Tetap.
12. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-82/ 259
PMK.03/2009 tentang Peraturan Menteri Keuangan
tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas
Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta di
Indonesia, Kecuali yang Diatur Dalam Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Pajak Penghasilan yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha
Tetap di Indonesia.
Daftar Isi vii

13. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-52/ 263


PJ/2009 tentang Penunjukan Pemotong, Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan
Pasal 26 Atas Penghasilan Dari Penjualan Atau Pengalihan
Harta Di Indonesia, Kecuali Yang Diatur Dalam Pasal 4 Ayat
(2) Undang-Undang Pajak Penghasilan Yang Diterima Atau
Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha
Tetap Di Indonesia.
14. Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-434/ 267
KMK.04/1999 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 26 atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh
Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap atas
Penghasilan Berupa Keuntungan dari Penjualan Saham.
15. Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-624/ 270
KMK.04/1994 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 26 atas Penghasilan Berupa Premi Asuransi dan
Premi Reasuransi yang Dibayar Kepada Perusahaan
Asuransi di Luar Negeri.
16. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-14/ 273
PMK.03/2011 tentang Perlakuan Perpajakan dari Suatu
Bentuk Usaha Tetap Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu
Bentuk Usaha Tetap.
17. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/ 279
PJ/2011 tentang Tata Cara Pemberitahuan Wajib Pajak
Bentuk Usaha Tetap atas Penanaman Kembali Penghasilan
Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak.
18. Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-417/KMK.04/ 284
1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan
Neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau
Penerbangan Luar Negeri.
viii Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

19. Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-634/ 287


KMK.04/1994 tentang Norma Penghitungan Khusus
Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang
Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia.
20. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 289
667/PJ./2001 tentang Norma Penghitungan Khusus
Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang
Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang Di Indonesia.
21. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/ 292
PJ.03/2008 tentang Penegasan atas Penerapan Norma
Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak
Luar Negeri yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang
(Representative Office/Liaison Office) di Indonesia.
22. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/ 295
PJ./2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda.
23. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/ 302
PJ./2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ./2009 tentang
Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda.
24. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 306
62/PJ./2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
25. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/ 311
PJ./2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ./2009 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda.
Daftar Isi ix

26. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-35/ 316


PJ/2010 tentang Surat Keterangan Domisili Bagi Subjek
Pajak Dalam Negeri Indonesia Dalam Rangka Penerapan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
27. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.03/2013 320
tentang Tata Cara Pengembalian Atas Kelebihan
Pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang.
28. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 332
60/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi
(Exchange Of Information).
29. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-41/ 346
PJ/2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Dalam
Rangka Pertukaran Informasi Berdasarkan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda Yang Melibatkan Otoritas
Pajak Negara Mitra.
30. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-67/ 352
PJ./2009 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi
Berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
(P3B).
31. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008 363
tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Oleh Wajib
Pajak Dalam Negeri Atas Penyertaan Modal Pada Badan
Usaha Di Luar Negeri Selain Badan Usaha Yang Menjual
Sahamnya Di Bursa Efek.
32. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140/PMK/2010 367
tentang Penetapan Wajib Pajak Sebagai Pihak Yang
Sebenarnya Melakukan Pembelian Saham Atau Aktiva
Perusahaan Melalui Pihak Lain Atau Badan Yang Dibentuk
Untuk Maksud Demikian (Special Purpose Company) Yang
x Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Mempunyai Hubungan Istimewa Dengan Pihak Lain Dan


Terdapat Ketidakwajaran Penetapan Harga.
33. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 258/PMK.03/2008 370
tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas
Penghasilan Dari Penjualan Atau Pengalihan Saham
Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 18 Ayat (3c) Undang-
Undang Pajak Penghasilan Yang Diterima Atau Diperoleh
Wajib Pajak Luar Negeri.
34. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/ 374
PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan
Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak
Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011.
35. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/ 389
PJ/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang
Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha
Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang
Mempunyai Hubungan Istimewa.
36. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 48/ 405
PJ/2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur
Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure)
Berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
37. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor ~
/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Prosedur Persetujuan Bersama Atau Mutual Agreement
Procedure. [tidak terlampir]
Daftar Isi xi

38. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-69/ 420


PJ/2010 tentang Kesepakatan Harga Transfer (Advance
Pricing Agreement).
39. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor ~
1002 /KMK.04/1984 tentang Penentuan Perbandingan
Antara Hutang Dan Modal Sendiri Untuk Keperluan
Pengenaan Pajak Penghasilan. [tidak terlampir]
40. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor ~
254/KMK.01/1985 tentang Penundaan Pelaksanaan
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
1002/KMK.04/1984 tentang Penentuan Perbandingan
Antara Hutang Dan Modal Sendiri Untuk Keperluan
Pengenaan Pajak Penghasilan. [tidak terlampir]
“Taxes are what we pay for civilized society.”
- Oliver Wendell Holmes, Jr., U.S. Supreme Court Justice
Pengantar Perpajakan
Internasional
Di dalam dunia internasional, dapat dipastikan bahwa suatu negara
akan menjalin hubungan dengan negara lain dalam berbagai bidang,
1
termasuk ekonomi. Hubungan ekonomi antar-negara tidak terbatas
melalui transaksi ekspor atau impor barang dan/atau jasa antar
negara saja, melainkan meliputi seluruh kegiatan yang dilakukan lintas
negara dan memiliki dampak berupa adanya arus uang dari suatu
negara ke negara lain baik dalam bentuk modal maupun berbagai jenis
penghasilan.

Di era globalisasi dimana batas negara semakin hilang, yang


didorong oleh kemudahan bertransaksi antar negara, kemajuan
teknologi informasi dan keinginan berbagai negara untuk berintegrasi
secara ekonomi mengakibatkan semakin meningkatnya jumlah serta
ragam bentuk transaksi ekonomi internasional, tidak terkecuali antara
Indonesia dengan berbagai negara. Di dalam transaksi ekonomi
internasional tersebut tentunya melekat aspek perpajakan yang
perlu diatur oleh setiap negara. Sebagai negara berdaulat, Indonesia
memiliki kewenangan untuk membuat peraturan, termasuk di bidang
perpajakan. Hal ini sesuai dengan amanat konstitusi kita sebagaimana
tercantum dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi
“Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur
dengan Undang-Undang,” sehingga atas dasar inilah disusun Undang-
Undang yang mengatur perpajakan.

Dalam menyusun Undang-Undang yang mengatur perpajakan


diperlukan asas-asas yang akan dijadikan landasan oleh suatu negara
dalam mengenakan pajak. Asas-asas yang dijadikan landasan adalah
asas sumber (source principle), asas domisili (domicile/residence
principle), dan asas kewarganegaraan (nationality/citizenship principle).
Dengan menjadikan asas-asas tersebut sebagai landasan, maka suatu
negara akan dapat mengenakan pajak bukan atas penduduknya saja
2 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

namun juga kepada orang pribadi atau badan yang tidak berdomisili
atau bertempat kedudukan di negara tersebut.

Indonesia mengadopsi asas domisili sekaligus asas sumber untuk


pemajakan penghasilan, hal ini dapat ditunjukkan dari ketentuan-
ketentuan yang mengatur subjek dan obyek pajak pada Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor
36 Tahun 2008 (UU PPh). Asas domisili diterapkan dalam pemajakan
terhadap penghasilan yang bersumber baik dari Indonesia maupun luar
Indonesia yang diterima oleh Subjek Pajak Dalam Negeri. Sedangkan
asas sumber diterapkan dalam pemajakan penghasilan yang
bersumber dari Indonesia yang diterima oleh Subjek Pajak Luar Negeri.
Namun demikian, Indonesia juga menerapkan asas kewarganegaraan,
walaupun hanya diterapkan secara terbatas dalam hal pengecualian
subjek pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU PPh.

Akibat dari perbedaan penerapan asas-asas pemajakan penghasilan


oleh berbagai negara, atas penghasilan Subjek Pajak Luar Negeri
yang telah dikenakan pajak berdasarkan asas domisili dapat juga
dikenakan pajak oleh negara tempat sumber penghasilan berdasarkan
asas sumber. Sebagai contoh, sebuah cabang perusahaan asing yang
beroperasi di Indonesia akan dikenakan pajak penghasilan di Indonesia
berdasarkan asas sumber. Atas penghasilan yang sama, perusahaan
asing tersebut, berdasarkan asas domisili atau asas kewarganegaraan,
dikenakan pajak oleh negara dimana perusahaan itu bertempat
kedudukan. Hal ini menunjukkan bahwa atas penghasilan yang
sama subjek pajak tersebut dapat dikenakan pajak oleh dua negara/
yurisdiksi yang berbeda.

Untuk mengatasi masalah pengenaan pajak berganda, secara


unilateral suatu negara dapat menetapkan peraturan tertentu di
dalam hukum pajak domestik, misalnya dengan mengatur ketentuan
mengenai kredit pajak luar negeri sehingga Wajib Pajak akan dapat
mengkreditkan pajak yang telah dipotong di luar negeri dan terhindar
dari pengenaan pajak berganda. Dalam hal tidak terdapat aturan yang
membatasi pengkreditan pajak, maka pendekatan ini dapat membuat
Pengantar Perpajakan Internasional 3

negara yang memiliki tarif pajak penghasilan yang lebih rendah berada
dalam posisi yang kurang diuntungkan karena tidak mendapatkan hak
pemajakan. Untuk itu, perlu diatur mengenai hak pemajakan masing-
masing negara atas suatu penghasilan.

Permasalahan lain yang dapat timbul dari transaksi lintas negara


di antaranya adalah kondisi dimana suatu transaksi tidak dipajaki oleh
negara manapun, misalnya dalam transaksi lintas negara dimana suatu
pos biaya tertentu diakui sebagai pengurang penghasilan namun di
negara pihak lawan transaksi juga tidak diakui sebagai penghasilan atau
dikecualikan dari pengenaan pajak penghasilan. Contoh lainnya adalah
permasalahan karakterisasi suatu pos biaya atau penghasilan yang
mungkin berbeda penafsiran dengan negara tertentu. Permasalahan-
permasalahan seperti ini ini tidak dapat diselesaikan dengan hukum
pajak domestik, sehingga perlu diselesaikan dengan mencapai
kesepakatan-kesepakatan baik melalui pendekatan bilateral maupun
multilateral yang hanya dapat dilaksanakan berdasarkan Hukum Pajak
Internasional.

Hukum Pajak Internasional menurut Brian J. Arnold dan Michael


J. McIntyre dalam bukunya yang berjudul “International Tax Primer”
mencakup dua dimensi yang luas, yaitu pemajakan atas penghasilan
yang diterima oleh Subjek Pajak Dalam Negeri yang bersumber dari
luar negeri dan pemajakan atas penghasilan yang diterima Subjek
Pajak Luar Negeri yang bersumber dari dalam negeri. Dengan adanya
hukum pajak internasional, permasalahan sistem pemajakan tersebut
akan dapat diatasi. Namun yang tidak boleh dilupakan adalah hukum
pajak yang berlaku dalam suatu negara hanya berlaku secara domestik
dan tidak dapat mengatur aspek-aspek internasional. Oleh karena itu
diperlukan adanya suatu alat yang dapat menjembatani hukum pajak
yaitu berupa perjanjian internasional.

Perjanjian internasional dilaksanakan oleh berbagai negara di


dunia dengan mengacu pada hasil konvensi Wina pada tahun 1969.
Menurut konvensi ini, setiap negara dapat dengan bebas melakukan
perjanjian dengan negara lainnya. Berangkat dari konvensi ini, sebagai
salah satu upaya mengatasi permasalahan di atas, secara bilateral
4 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

dibentuklah Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara


negara yang berkepentingan untuk menghindari adanya pengenaan
pajak berganda (double taxation) dan pengelakan pajak berganda
(double non-taxation).

Dengan adanya P3B, apabila ada aspek perpajakan yang melibatkan


kedua negara yang dicakup dalam Perjanjian/ Persetujuan tersebut,
maka kedua negara harus tunduk pada ketentuan yang terdapat pada
P3B sesuai dengan asas pacta sunt servanda, dimana P3B ini menjadi
hukum internasional yang mengikat dan harus dilaksanakan dengan
itikad baik oleh negara-negara yang melakukan P3B. Saat ini sudah
lebih dari 2.000 P3B yang telah ditandatangani oleh negara-negara
dimana tidak hanya diantara negara yang mempunyai hubungan
transaksi ekonomi yang kuat tetapi juga antara negara yang tidak
terlalu sering melakukan transaksi dengan salah satu alasan untuk
mendapatkan insentif di bidang perpajakan.

Dengan disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1


Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina Mengenai Hubungan
Diplomatik Beserta Protokol Opsionalnya Mengenai Hak Memperoleh
Kewarganegaraan, maka sejak saat itu Indonesia dapat melakukan atau
membuat perjanjian internasional, termasuk dalam hal perpajakan.
Berdasarkan pasal 32A UU PPh, pemerintah Indonesia berwenang
untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam
rangka penghindaran pengenaan pajak berganda dan pencegahan
pengelakan pajak. Sehubungan dengan itu, Indonesia hingga saat
ini telah memiliki 64 P3B yang telah berlaku efektif dengan berbagai
negara.

Di saat P3B menjadi instrumen hukum pajak internasional, maka


permasalahan-permasalahan terkait hak pemajakan akan dapat diatasi,
sehingga diharapkan tercipta keadilan bagi Wajib Pajak dan kedudukan
yang setara antara negara-negara yang melakukan perjanjian. Namun
demikian, untuk dapat memperoleh manfaat P3B terdapat persyaratan-
persyaratan yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak. Selain itu, perlu
diwaspadai pula upaya-upaya penyalahgunaan P3B atau pemanfaatan
P3B yang tidak sepatutnya oleh Wajib Pajak.
Pengantar Perpajakan Internasional 5

Hal-hal demikianlah diantaranya yang menyebabkan kita dituntut


untuk mempelajari dan mengerti aspek-aspek perpajakan internasional
yang meliputi pemahaman atas subjek dan obyek pajak luar negeri,
Bentuk Usaha Tetap, pemajakan atas penghasilan yang diterima subjek
pajak luar negeri, transfer pricing, penyusunan serta penerapan P3B,
dan penyelesaian masalah terkait penerapan P3B.
“The first principle of income taxation: ... income must be
taxed to him who earns it.”
- Commissioner v. Culbertson, 337 U. S. 733, 739-740 (1949).
Subjek dan
Non-Subjek Pajak

1.
Ketentuan Terkait:
Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
2
tentang Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-215/PMK.03/2008
tentang Penetapan Organisasi-Organisasi Internasional dan
Pejabat-Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional yang Tidak
Termasuk Subjek Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-166/
PMK.011/2012;
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2011
tentang Penetapan Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak
Luar Negeri;
4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2009
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Pekerja Indonesia di
Luar Negeri.

P
ajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun
pajak atau bagian tahun pajak. Subjek Pajak di Indonesia adalah
orang pribadi, warisan yang belum terbagi, badan, dan Bentuk Usaha
Tetap. Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek
Pajak Luar Negeri.

Subjek Pajak berubah statusnya menjadi Wajib Pajak apabila telah


menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia. Status Wajib Pajak dibedakan menjadi
Wajib Pajak Dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri. Pembedaan
status Wajib Pajak ini akan berpengaruh pada pengenaan pajaknya,
dimana Wajib Pajak Dalam Negeri dikenai pajak atas penghasilan
yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri. Sedangkan Wajib
8 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Pajak Luar Negeri dikenai pajak atas penghasilan yang bersumber


dari dalam negeri. Penentuan status Subjek Pajak dan Wajib Pajak
telah diatur di Undang-Undang yang berkaitan dengan perpajakan.

Bagan 2.1 skema pengidentifikasian Subjek Pajak

Subjek Pajak

SPDN SPLN

Badan
Orang Pribadi
(melalui
melalui BUT)

1) Bertempat tinggal di
Indonesia
2) Berada di Indonesia Tidak didirikan/
lebih dari 183 hari bertempat kedudukan
3) Berniat tinggal di di Indonesia
Indonesia
4) Domisili di Indonesia

Apabila tidak
idak
memenuhi, maka
status WP adalah
SPLN

Yang dimaksud dengan Subjek Pajak Dalam Negeri adalah:


1. orang pribadi yang:
a. bertempat tinggal di Indonesia;
b. berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; atau
c. dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai
Subjek & Non-Subjek Pajak 9

niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.


2. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
3. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan
yang berhak.

Subjek Pajak Dalam Negeri orang pribadi memiliki kewajiban pajak


subjektif yang dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan,
berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir
pada saat meninggal atau meninggalkan Indonesia untuk selama-
lamanya. Sedangkan untuk badan, kewajiban pajak subjektifnya
dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan
di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi
bertempat kedudukan di Indonesia.

Yang dimaksud dengan Subjek Pajak Luar Negeri adalah:


4. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; dan
5. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.

Subjek Pajak Luar Negeri baik itu orang pribadi ataupun badan
memiliki kewajiban pajak subjektif yang dimulai pada saat orang
pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan sebagaimana melalui Bentuk Usaha Tetap atau pada saat
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir
pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui Bentuk Usaha Tetap atau pada saat tidak lagi menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia.
10 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Dari pengertian di atas dapat dibedakan dua jenis Wajib Pajak


Luar Negeri, yaitu Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Bentuk
Usaha Tetap di Indonesia, dan Wajib Pajak Luar Negeri yang tidak
mempunyai Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. Selain itu, ada juga
Wajib Pajak Luar Negeri yang pengenaan pajaknya diatur khusus pada
Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan, yaitu Wajib Pajak Luar
Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia.

Subjek Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang merupakan Warga


Negara Indonesia berubah statusnya menjadi Subjek Pajak luar negeri
dalam bekerja di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh
tiga hari) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan dapat
menunjukkan salah satu dokumen tanda pengenal resmi yang masih
berlaku sebagai penduduk luar negeri yang dapat berupa:
1. Green Card;
2. identitiy card;
3. student card;
4. pengesahan alamat di luar negeri pada paspor oleh Kantor
Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri;
5. surat keterangan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia atau
Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri; atau
6. tertulis resmi di paspor oleh Kantor Imigrasi negara setempat.

Dengan perubahan status tersebut, penghasilan yang diterima


sehubungan pekerjaan yang dilakukan di luar Indonesia dan
penghasilan lainnya yang bersumber dari luar Indonesia, tidak
dikenakan pajak di Indonesia

Sedangkan yang dikategorikan tidak termasuk sebagai Subjek


Pajak adalah:
1. kantor perwakilan negara asing;
2. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-
pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan
kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-
sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan
di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar
jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan
Subjek & Non-Subjek Pajak 11

memberikan perlakuan timbal balik;


3. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
a. Indonesia menjadi anggota dari organisasi tersebut; dan
b. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman
kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para
anggota.
12 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

“[The taxpayer] cannot retain his cake and consume it as


well.”

- Eagan v. U.S., 80 F.3d 13 (1st Cir. 1996)


Objek Pajak

A. Penghasilan Yang Diterima Wajib Pajak


Bentuk Usaha Tetap Di Indonesia
3
Ketentuan Terkait:
1. Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
2. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-62/PJ./1995
tentang Jenis dan Besarnya Biaya Administrasi Kantor Pusat yang
Diperbolehkan Untuk Dibebankan Sebagai Biaya Suatu Bentuk
Usaha Tetap.

Y
ang menjadi objek pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap, yaitu
penghasilan dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki
atau dikuasai Bentuk Usaha Tetap tersebut; penghasilan kantor
pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa
di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan
oleh Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; penghasilan sebegaimana
tersebut dalam pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat,
sepanjang terdapat hubungan efektif antara Bentuk Usaha Tetap
dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.

Bentuk Usaha Tetap merupakan satu kesatuan dengan kantor


pusatnya, sehingga pembayaran oleh Bentuk Usaha Tetap kepada
kantor pusatnya seperti royalti atas penggunaan harta kantor pusat,
merupakan perputaran dana dalam satu perusahaan itu sendiri. Oleh
karena itu, jika kita mengacu pada ketentuan di atas, pembayaran berupa
royalti, imbalan jasa, dan bunga oleh dari Bentuk Usaha Tetap kepada
kantor pusatnya tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Pengecualian
dari ketentuan ini adalah apabila kantor pusat dan Bentuk Usaha
Tetapnya bergerak dalam bidang usaha perbankan, maka pembayaran
14 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

bunga pinjaman oleh Bentuk Usaha Tetap kepada kantor pusatnya


dapat dibebankan sebagai biaya.

Karena Bentuk Usaha Tetap merupakan Subjek Pajak yang


diperlakukan sama dengan Subjek Pajak badan, maka biaya yang
dapat dikurangkan atau tidak dapat dikurangkan dengan penghasilan
yang diterima mengikuti ketentuan yang terdapat pada Pasal 6 dan
Pasal 9 UU PPh.

Tabel 3.1 Perbedaan BUT dengan PT PMA

Keterangan BUT PMA (WPDN Badan)

Status hukum
Tidak berbadan hukum Berbadan hukum PT
perusahaan
Setoran pemegang
Penyertaan Modal Tidak ada
saham

Objek Pajak Pasal 5 ayat (1) UU PPh Pasal 4 ayat (1) UU PPh

Pengurang Pasal 5 ayat (2) dan (3) Pasal 6 ayat (1), Pasal 9
Penghasilan Bruto UU PPh UU PPh

Sisa kerugian
tahun-tahun Dapat diperhitungkan Dapat diperhitungkan
sebelumnya

Penghasilan Kena Pasal 16 ayat (3) UU Pasal 16 ayat (1) UU


Pajak PPh PPh
Pasal 17 ayat (1) b UU Pasal 17 ayat (1) b UU
Tarif Pajak
PPh PPh

Tidak ada terminologi


Penghasilan Kena Branch Profit yang khusus, distribution to
Pajak dikurang terutang PPh Pasal 26 shareholder (dividend)
PPh terutang ayat (4) yang terutang PPh Pasal
23/26
Objek Pajak 15

B. Penghasilan Yang Diterima Wajib Pajak


Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap Di
Indonesia
Ketentuan Terkait:
1. Pasal 26 ayat (1), ayat (2), ayat (2a), dan ayat (4) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008;
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-82/PMK.03/2009
tentang Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau
Pengalihan Harta di Indonesia, Kecuali yang Diatur Dalam Pasal
4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di
Indonesia;
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-434/KMK.04/1999
tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan
yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk
Usaha Tetap atas Penghasilan Berupa Keuntungan dari Penjualan
Saham;
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-624/KMK.04/1994
tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan
Berupa Premi Asuransi dan Premi Reasuransi yang Dibayar Kepada
Perusahaan Asuransi di Luar Negeri;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-14/PMK.03/2011
tentang Perlakuan Perpajakan dari Suatu Bentuk Usaha Tetap
Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap;
6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-52/PJ/2009
tentang Penunjukan Pemotong, Tata Cara Pemotongan, Penyetoran
Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan Dari
Penjualan Atau Pengalihan Harta Di Indonesia, Kecuali Yang Diatur
Dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan Yang
Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk
Usaha Tetap Di Indonesia;
7. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2011
tentang Tata Cara Pemberitahuan Wajib Pajak Bentuk Usaha
16 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Tetap atas Penanaman Kembali Penghasilan Kena Pajak Sesudah


Dikurangi Pajak.

P
asal 26 UU PPh mengatur tentang pemajakan atas penghasilan
yang diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha
Tetap (BUT) yang berada di Indonesia. Tarif dasar Pasal 26 ini
adalah sebesar 20% yang dihitung dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
DPP Pasal 26 terdiri dari 3 (tiga) jenis, yaitu jumlah bruto, perkiraan
penghasilan neto, dan penghasilan setelah dikurangi pajak (earning
after tax). Karena Pasal 26 adalah pemajakan terhadap Wajib Pajak
Luar Negeri selain BUT yang penghasilannya bersumber dari Indonesia,
dalam hal ketentuan P3B mengatur berbeda dari yang tertulis di Pasal
26, maka yang berlaku adalah ketentuan P3B sebagai lex specialis
dari UU PPh. Namun demikian patut diperhatikan bahwa P3B tidak
mengatur aspek pemajakan terkait objek-objek penghasilan yang
dikenakan maupun yang tidak dikenakan pajak, melainkan mengatur
pembatasan hak pemajakan suatu negara atas penghasilan yang
diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri yang bersumber dari negara
tersebut.

Sifat pengenaan pajak dalam Pasal 26 UU PPh adalah final kecuali


bagi penghasilan yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan
huruf c UU PPh dan pemotongan atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status
menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau BUT.

Undang-Undang PPh Pasal 26 ayat (1) menjelaskan bahwa:


“Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan,
atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah,
Subjek Pajak Dalam Negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk
Usaha Tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
kepada Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di
Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari
jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
1. dividen;
2. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan
Objek Pajak 17

dengan jaminan pengembalian utang;


3. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
4. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
5. hadiah dan penghargaan;
6. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
7. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
8. keuntungan karena pembebasan utang.”

Pengalihan Harta Oleh Wajib Pajak Luar Negeri

Berdasarkan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang PPh, atas


penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia yang
diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap, dipotong
Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan
penghasilan neto. Perkiraan penghasilan neto yang dimaksud di
atas adalah sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari harga jual.
Pemotongan pajak tersebut bersifat final dan atas penghasilan yang
merupakan objek pajak pada pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak
Penghasilan tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 26.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-82/PMK.03/2009


tentang Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan
Harta di Indonesia, Kecuali yang Diatur Dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-
Undang Pajak Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak
Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia mengatur bahwa
atas penjualan atau pengalihan harta yang dimaksud di atas adalah
penjualan atau pengalihan harta berupa perhiasan mewah, berlian,
emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil, motor,
kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan.

Pengecualian pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 diberikan


kepada Wajib Pajak Orang Pribadi Luar Negeri yang menerima atau
memperoleh penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta yang
besarnya tidak melebihi Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Selain
18 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

itu, untuk Wajib Pajak Luar Negeri yang berkedudukan di negara-


negara yang telah mempunyai P3B dengan Indonesia, pemotongan
pajak hanya dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak
pemajakannya berada di Indonesia.

Wajib Pajak Luar Negeri yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal


26 memperoleh bukti pemotongan yang dibuat oleh pembeli yang
ditunjuk sebagai pemotong pajak.

Pengalihan Saham Oleh Wajib Pajak Luar Negeri

Selain atas penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri


dari penjualan harta, Wajib Pajak Luar Negeri juga dikenakan pajak
atas penghasilan yang diterima dari pengalihan saham. Berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-434/KMK.04/1999
tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan
yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk
Usaha Tetap atas Penghasilan Berupa Keuntungan dari Penjualan
Saham, atas penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha
Tetap dari penjualan saham Perseroan Terbatas yang sahamnya tidak
diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia atau tidak tercatat sebagai
emiten atau perusahaan publik di Indonesia dipotong Pajak Penghasilan
yang bersifat final sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan
penghasilan neto. Perkiraan penghasilan neto yang dimaksud di atas
adalah sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari harga jual.

Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penjualan saham yang


dilakukan oleh Wajib Pajak Luar Negeri adalah pembeli yang ditunjuk
sebagai pemotong. Dalam hal pembeli adalah Wajib Pajak Luar
Negeri, maka yang menjadi pemungut pajak adalah perseroan yang
sahamnya diperjualbelikan tersebut. Pencatatan akta pemindahan
hak dilakukan apabila telah ditunjukkan asli bukti pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 26 dan telah diserahkan fotokopi bukti pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 26 kepada Perseroan.
Objek Pajak 19

Perusahaan Asuransi Luar Negeri

Sesuai dengan Pasal 26 ayat (2) dan Pasal 26 ayat (3) UU PPh,
Menteri Keuangan berwenang menetapkan besaran perkiraan
penghasilan neto atas penghasilan berupa premi yang diterima oleh
perusahaan asuransi luar negeri. Terhadap perkiraan penghasilan
neto tersebut dipotong pajak dengan tarif 20% (dua puluh persen).

Besaran perkiraan penghasilan neto yang diatur dalam KMK-


624/KMK.04/1994 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26
atas Penghasilan Berupa Premi Asuransi dan Premi Reasuransi yang
Dibayar Kepada Perusahaan Asuransi di Luar Negeri adalah sebagai
berikut:
1. atas premi dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di
luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar
50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
2. atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang
berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi yang
berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui
pialang, sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang
dibayar;
3. atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi di Indonesia
kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung
maupun melalui pialang, sebesar 5% (lima persen) dari jumlah
premi yang dibayar.

Pihak tertanggung, perusahaan asuransi yang berkedudukan di


Indonesia, atau perusahaan reasuransi di Indonesia memotong pajak
penghasilan pasal 26 atas pembayaran premi asuransi atau premi
reasuransi kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di luar
negeri dengan membuat 3 (tiga) rangkap Bukti Pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 26 dengan ketentuan:
4. lembar ke-1 untuk pihak yang dipotong penghasilannya;
5. lembar ke-2 untuk dilampirkan pada Surat Pemberitahuan (SPT)
Masa Pajak Penghasilan 26 yang disampaikan ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat pemotong terdaftar;
6. lembar ke-3 untuk arsip pemotong pajak.
20 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Perlakuan perpajakan menurut KMK-624/KMK.04/1994 tersebut


akan berbeda apabila terdapat P3B antara Indonesia dengan Negara
Mitra, sehingga atas penghasilan yang diterima perusahaan asuransi
yang berkedudukan di Negara Mitra baru dapat dikenakan pajak
dalam hal perusahaan asuransi yang berkedudukan di Negara Mitra
tersebut menjalankan kegiatan usaha dan menerima penghasilan
melalui suatu Bentuk Usaha Tetap yang berada di Indonesia.

Branch Profit

Pasal 26 ayat (4) UU PPh menjelaskan:


“Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu
Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua
puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali
di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.”

Pengecualian tersebut diberikan apabila seluruh Penghasilan Kena


Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha
Tetap ditanamkan kembali di Indonesia dalam bentuk:
1. penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan
berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;
2. penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan
berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham;
3. pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap
untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan
kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; atau
4. investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap
untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan
kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.

Untuk mendapatkan pengecualian dimaksud di atas, terdapat


dua persyaratan utama untuk dipenuhi oleh Bentuk Usaha Tetap,
yaitu:
1. penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada
akhir tahun pajak berikutnya, setelah tahun pajak diperolehnya
Objek Pajak 21

penghasilan tersebut bagi BUT yang bersangkutan; dan


2. BUT yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara
tertuis mengenai bentuk penanaman modal, realisasi penanaman
kembali yang telah dilakukan dan/atau saat mulai berproduksi
secara komersial bagi perusahaan yang baru didirikan, yang
dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib
Pajak terdaftar.

Selain persyaratan utama yang telah disebutkan di atas, terdapat


juga persyaratan tambahan terhadap masing-masing jenis penanaman
modal kembali yang dilakukan oleh BUT yang bersangkutan, yaitu:
1. Untuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan
berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri,
perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia
secara aktif telah melakukan kegiatan usaha sesuai dengan akta
pendiriannya paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut
didirikan dan BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan
pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka
waktu 2 (dua) tahun sejak perusahaan baru dimaksud berproduksi
komersial;
2. Untuk penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan
dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham,
perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia
mempunyai kegiatan usaha aktif di Indonesia dan BUT yang
bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan
modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak
penyertaan modal.
3. Untuk pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk
Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau
melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia atau investasi
berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk
menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan
Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, BUT yang bersangkutan tidak
boleh melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau
pengalihan atas investasi berupa aktiva tidak berwujud paling
sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak perolehan aktiva
tetap atau investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan.
22 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (4) ini diperlakukan


seperti pengenaan pajak atas dividen yang melekat pada Wajib Pajak
Badan, tetapi subjek pemotongnya adalah Bentuk Usaha Tetap yang
berada di Indonesia.

C. Pelayaran Dan Penerbangan Internasional


Ketentuan Terkait:
1. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-417/KMK.04/1996
Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak
Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri.

P
ada dasarnya dalam P3B hak pemajakan atas perusahaan
pelayaran dan/atau penerbangan dengan jalur lalu lintas
internasional adalah di negara dimana tempat manajemen
efektif perusahaan itu berada. Dalam ketentuan domestik perpajakan
di Indonesia, perlakuan perpajakan untuk perusahaan pelayaran dan/
atau penerbangan luar negeri diatur dengan norma penghitungan
khusus yang terdapat pada pasal 15 UU PPh, dan diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996.

Perlu diperhatikan bahwa Indonesia berhak mengenakan pajak


atas penghasilan yang diterima oleh perusahaan pelayaran dan/atau
penerbangan luar negeri atas penghasilan yang diterima dari kegiatan
operasional jalur lintas domestik dan jalur lintas internasional yang
berasal dari Indonesia. Hal ini di karenakan sumber penghasilannya
berasal dari Indonesia. Sedangkan atas penghasilan dari kegiatan
operasional jalur lalu lintas internasional yang berasal dari luar negeri
ke wilayah Indonesia maka Indonesia tidak berhak mengenakan pajak.

Dalam KMK-417/KMK.04/1996 diatur bahwa penghasilan neto


Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar
Negeri adalah sebesar 6% (enam persen) dari peredaran bruto, yaitu
Objek Pajak 23

semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran
dan/atau Penerbangan Luar Negeri dari pengangkutan orang dan/
atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di
Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar
negeri. Besarnya Pajak Penghasilan yang dikenakan terhadap Wajib
Pajak tersebut adalah sebesar 2,64% (dua koma enam puluh empat
persen) dari peredaran bruto Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/
atau Penerbangan Luar Negeri dan bersifat final.

Dengan adanya P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra,


maka dalam mengaplikasikan pengenaan pajak terhadap Perusahaan
Pelayaran dan/atau Penerbangan Asing sudah tentu harus melihat
isi dari P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra tersebut terutama
pada article General Definitions dan article Shipping and Air Transport
karena tidak setiap P3B mengaplikasikan hak pemajakan yang sama
antara satu dengan yang lainnya.

D. Kantor Perwakilan Dagang Asing


Ketentuan Terkait:
1. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-634/KMK.04/1994
tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib
Pajak Luar Negeri yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di
Indonesia;
3. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 667/PJ./2001
tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib
Pajak Luar Negeri yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang Di
Indonesia;
4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ.03/2008
tentang Penegasan atas Penerapan Norma Penghitungan Khusus
Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang Mempunyai
Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia.
24 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

W
ajib Pajak Luar Negeri yang memiliki Kantor Perwakilan
Dagang di Indonesia dikenakan pajak sesuai dengan Pasal
15 UU PPh jo. KMK-634/KMK.04/1994. Pengenaan pajak
melalui norma penghitungan didasari untuk menghindari kesukaran
dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak Kantor Perwakilan
Dagang Asing tersebut.

Sesuai dengan KMK-634/KMK.04/1994, penghasilan neto dari


Wajib Pajak Luar Negeri yang memiliki Kantor Perwakilan Dagang
di Indonesia ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari nilai ekspor
bruto, dan pelunasan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Luar Negeri
tersebut adalah sebesar 0,44% (empat puluh empat per seribu) dari
nilai ekspor bruto. Nilai ekspor bruto adalah semua nilai pengganti atau
imbalan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri yang
mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia dari penyerahan
barang kepada orang pribadi atau badan yang berada atau bertempat
kedudukan di Indonesia.

Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Edaran Nomor SE-2/


PJ.03/2008 memberikan penegasan atas pertanyaan yang timbul
terhadap pengenaan paajak kepada Wajib Pajak Luar Negeri yang
mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia. Dalam suratnya,
Direktur Jenderal Pajak menegaskan bahwa Wajib Pajak Luar Negeri
yang dimaksud dalam KEP-667/PJ./2001 tersebut adalah Wajib Pajak
Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia
yang berasal dari negara yang belum mempunyai Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Sedangkan untuk Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor


Perwakilan Dagang di Indonesia yang berasal dari Negara Mitra atau
yurisdiksi mitra P3B, besarnya tarif pajak yang terutang disesuaikan
dengan tarif Branch Profit Tax dari suatu Bentuk Usaha Tetap tersebut
sebagaimana dimaksud dalam P3B terkait. Untuk Kantor Perwakilan
Dagang yang yang dikecualikan dari Bentuk Usaha Tetap sesuai
dengan P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra atau yurisdiksi
mitra, maka hak pemajakannya berada di negara domisili dimana
Wajib Pajak Luar Negeri tersebut terdaftar sebagai resident.
Objek Pajak 25

Dengan demikian, pengenaan pajak kepada Kantor Perwakilan


Dagang Asing yang berasal dari negara mitra P3B dapat dilakukan
serpanjang kegiatan yang dilakukan oleh Kantor Perwakilan Dagang
Asing dimaksud tidak termasuk pada kegiatan yang dikecualikan
sebagai bentuk usaha tetap, sebagaimana diatur dalam P3B yang
berlaku.
“Elimination of double taxation is] admittedly the
objective of the foreign tax credit. But ... this objective
cannot always be fully achieved.”

- Perkin-Elmer Corp. v. Commr., 103 T.C. 464 (1994).


Penerapan P3B / Tax
Treaty dan Perjanjian
Perpajakan Lainnya

A. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda


4
(P3B)
Ketentuan Terkait:
1. Pasal 32A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ./2009
tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ./2010;
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ./2009
tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ./2010.

P
ersetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian
pajak antara 2 (dua) negara (bilateral) yang mengatur mengenai
pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh
atau diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua negara yang
melakukan perjanjian (both Contracting States). Pembagian hak
pemajakan tersebut diatur dengan tujuan untuk mencegah seminimal
mungkin terjadinya pengenaan pajak berganda. Pencegahan pajak
berganda tersebut diatur dengan membatasi hak pemajakan dari
negara sumber atas penghasilan yang timbul dari wilayah juridiksinya.

Tujuan diadakannya P3B adalah:


1. Mencegah terjadinya pemajakan berganda, serta mencegah
terjadinya penghindaran pajak (tax avoidance) dan pengelakan
pajak (tax evasion);
28 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

2. Memberikan kedudukan yang setara dalam hal pemajakan antar


kedua Negara;
3. Peningkatan investasi dan Sumber Daya Manusia;
4. Pertukaran informasi melalui Exchange Of Information (EOI) guna
mencegah penghindaran pajak; dan
5. Penyelesaian sengketa melalui Mutual Agreement Procedure (MAP),
dan bantuan dalam penagihan pajak.

Undang-Undang PPh Pasal 32A menjelaskan bahwa:


“Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan
pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak
berganda dan pencegahan pengelakan pajak.”

Kedudukan P3B adalah lex specialist terhadap Undang-undang


domestik (aturan hukum khusus akan mengesampingkan aturan hukum
umum). Artinya jika ada ketentuan dalam undang-undang domestik yang
bertentangan dengan ketentuan dalam P3B maka yang dimenangkan
adalah ketentuan P3B. Dalam menentukan hak pemajakan, azas yang
digunakan adalah sumber penghasilan, status kewarganegaraan, dan
status kependudukan.

Bagan 4.1 Skema interaksi Undang-undang PPh dengan P3B

Start

Ya
P3B P3B Konflik
diterapkan? dng UU PPh?
Identifikasi Transaksi
Internasional,, seperti:
Internasional
Subjek & Objek Pajak Ya
Tidak

Tentukan Perlakuan Ya
Pajak menurut UU Perlakuan Pajak
PPh menurut P3B,
khusus untuk isu
Perlakuan Pajak yang berkonflik.
menurut UU PPh
JALAN TERUS!!!

Ada PPh
terutang? Untuk hal-hal lain
yang tidak berkonflik
dengan P3B: UU PPh
JALAN TERUS!!!
Tidak

Stop
Penerapan P3B / Tax Treaty dan Perjanjian Perpajakan Lainnya 29

Dalam perpajakan internasional, terdapat 3 (tiga) metode hak


pemajakan. Pertama, pemajakan unilateral dimana hak pemajakan di
dalam wilayah kedaulatan Indonesia diatur sepenuhnya oleh pemerintah
Indonesia dan berlaku bagi seluruh masyarakat atau badan internasional
yang ada di wlilayah Indonesia. Kedua, metode pemajakan bilateral (tax
treaty) dimana hak pemajakan diatur melalui perjanjian antara kedua
negara yang mengatur hak pemajakan atas penghasilan dan warga
negara kedua belah pihak. dan ketiga, metode pemajakan multilateral
(tax convention) yang didasari oleh konvensi internasional dimana
ketentuan atau ketetapan atau keputusan yang dihasilkan digunakan
untuk kepentingan negara-negara tersebut.

Hal-hal yang diatur dalam perjanjian P3B diantaranya adalah:


1. subjek pajak yaitu pengaturan terhadap Subjek Pajak Dalam Negeri,
Luar Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT);
2. objek pajak yaitu antara lain penghasilan atas kegiatan usaha,
penghasilan atas penjualan saham dan aset, dividen, bunga, royalti,
dan penghasilan atas jasa tertentu;
3. jenis pajak, tarif, dan kondisi khusus lainnya yang secara umum
menjadi sengketa atau rentan terjadi pemajakan berganda; serta
4. prosedur dalam melaksanakan MAP, EOI, dan bantuan penagihan
pajak.

Sedangkan metode penghindaran pajak berganda yang digunakan


yaitu dengan pembebasan/pengecualian pajak, kredit pajak, dan
metode lainnya seperti pembagian/pengurangan tarif dan pemajakan
dengan jumlah tetap. Model perjanjian yang digunakan di Indonesia
adalah:
1. Model OECD (Organization for Economic Cooperation and
Development)
Merupakan model P3B untuk negara-negara maju. Model ini
mengedepankan asas domisili Negara yang memberikan jasa atau
menanamkan modal.
2. Model UN (United Nation);
Merupakan model P3B untuk negara-negara berkembang. Model
ini lebih mengedepankan asas sumber penghasilan, dimana hak
pemajakan berada pada Negara yang memberi penghasilan.
30 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Kedua model perjanjian diatas adalah dasar dari pembuatan P3B


Indonesia dengan negara mitra, namun pada pelaksanaannya, bentuk
P3B yang digunakan dibuat berdasarkan kondisi dan kepentingan
Indonesia pada saat perjanjian berlangsung. sehingga bentukP3B
Indonesia tidak baku dan merupakan gabungan dari kedua model
perjanjian diatas.

Treaty Shopping dan pencegahan penyalahgunaan P3B:

Treaty Shopping adalah salah satu bentuk penyalahgunaan P3B,


dimana seseorang bertindak melalui suatu entity di negara mitra lainnya
dengan tujuan hanya untuk memanfaatkan keuntungan yang ada
dalam P3B, yang sebenarnya tidak dapat dimanfaatkan oleh seseorang
tersebut.

Kriteria sebuah transaksi digolongkan sebagai penyalahgunaan


P3B apabila:
1. Transaksi tersebut tidak mempunyai substansi ekonomi & semata-
mata untuk memperoleh manfaat P3B;
2. Transaksi yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan
substansi ekonomisnya (economic substance) & semata-mata
untuk memperoleh manfaat P3B; atau
3. Penerima penghasilan bukan pemilik yang sebenarnya atas manfaat
ekonomis penghasilan (beneficial owner/BO), khusus untuk
penghasilan yang pasal dalam tax treaty-nya memuat klausul BO.

Pihak yang tidak termasuk dalam penyalahgunaan P3B adalah:

1. dalam hal WPLN adalah orang pribadi, WPLN tidak bertindak


sebagai Agen atau Nominee; atau
2. dalam hal WPLN adalah badan, WPLN merupakan perusahaan yang
sahamnya terdaftar di Pasar Modal dan diperdagangkan secara
teratur; atau
3. dalam hal WPLN adalah badan:
a. bagi penghasilan yang di dalam P3B terkait tidak memuat
persyaratan beneficial owner, WPLN menjawab bahwa pendirian
Penerapan P3B / Tax Treaty dan Perjanjian Perpajakan Lainnya 31

perusahaan di Negara Mitra P3B atau pengaturan struktur/


skema transaksi tidak ditujukan untuk pemanfaatan P3B; atau
b. bagi penghasilan yang di dalam P3B terkait memuat persyaratan
beneficial owner, WPLN menjawab:
1) pendirian perusahaan di Negara Mitra P3B atau pengaturan
struktur/skema transaksi tidak ditujukan untuk pemanfaatan
P3B; dan
2) kegiatan usaha dikelola oleh manajemen sendiri yang
mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan
transaksi; dan
3) perusahaan mempunyai pegawai yang memadai; dan
4) mempunyai kegiatan atau usaha aktif; dan
5) penghasilan yang bersumber dari Indonesia terutang pajak
di negara penerimanya; dan
6) tidak menggunakan lebih dari 50% (lima puluh persen) dari
total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada
pihak lain dalam bentuk, seperti: bunga, royalti, atau
imbalan lainnya.

Bagan 4.2 skema pengidentifikasian penyalahgunaan P3B

START

Yes Relief at source


Masuk dalam Low-risk
Low risk
(PER-24/PJ/2010)
Safe Harbor? transaction

No

Memenuhi No
kriteria Subject to further Refund method
penyalahgu- verification (PMK-10/PJ/2013)
END
naan?

Yes

No treaty UU PPh diterapkan


Treaty Shopping
relief sepenuhnya
32 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Kewajiban Pemotong/Pemungut Pajak dan Wajib Pajak


Luar Negeri (WPLN) dalam pelaksanaan P3B:

Pemotong/Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan atau


pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B,
dalam hal:
1. penerima penghasilan bukan Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia;
2. persyaratan administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur
dalam P3B telah dipenuhi; dan
3. tidak terjadi penyalahgunaan P3B oleh WPLN sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan tentang pencegahan dan penyalahgunaan P3B.

Apabila ketentuan tersebut diatas tidak dapat dipenuhi, Pemotong/


Pemungut Pajak wajib memotong atau memungut pajak yang terutang
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak
Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008.

Sedangkan bagi Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) untuk dapat


memperoleh manfaat P3B harus memenuhi syarat administratif yaitu:
1. Menggunakan formulir Form-DGT 1 dan Form-DGT 2, mengisi
dengan lengkap dan menandatanganinya,;
2. Formulir tersebut telah disahkan oleh pejabat yang berwenang
(Competent Authority) di Negara tempat WPLN terdaftar sebagai
Subjek Pajak Dalam Negeri; dan
3. Menyampaikan kepada Pemotong/Pemungut Pajak sebelum
berakhirnya batas waktu penyampaian SPT masa untuk masa
terutangnya pajak.

Yang dimaksud formulir Form-DGT 1 dan Form-DGT 2 diatas


adalah formulir yang ditetapkan dalam Lampiran II (Form - DGT 1) atau
Lampiran III (Form - DGT 2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-
24/PJ/2010 tentang perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-61/PJ./2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda. Form-DGT 2 digunakan dalam hal:
1. WPLN menerima atau memperoleh penghasilan melalui Kustodian
sehubungan dengan penghasilan dari transaksi pengalihan saham
atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal
Penerapan P3B / Tax Treaty dan Perjanjian Perpajakan Lainnya 33

di Indonesia, selain bunga dan dividen;


2. WPLN bank; atau
3. WPLN yang berbentuk dana pensiun yang pendiriannya sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan di Negara Mitra P3B
Indonesia dan merupakan Subjek Pajak di Negara Mitra P3B
Indonesia.

Yang dimaksud Kustodian diatas adalah pihak yang memberikan


jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta
jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain,
menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang
menjadi nasabahnya.

B. Surat Keterangan Domisili (SKD)


Ketentuan Terkait:
1. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-35/PJ/2010
Tentang Surat Keterangan Domisili Bagi Subjek Pajak Dalam Negeri
Indonesia Dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda;

S
urat Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate of Residence
(COD) digunakan untuk membuktikan bahwa Wajib Pajak
tertentu adalah Subjek Pajak Dalam Negeri (resident) dari suatu
Negara tertentu yang menandatangani P3B. SKD adalah persyaratan
administratif bagi WPLN untuk menggunakan fasilitas yang ada dalam
P3B, apabila WPLN tidak dapat melampirkan SKD yang diterbitkan oleh
otoritas negaranya dalam laporan perpajakannya di Indonesia, maka
pemotong/pemungut pajak wajib memotong/memungut pajak atas
penghasilan yang diperoleh di Indonesia sesuai peraturan perpajakan
yang berlaku di Indonesia. Begitu pula dengan WPDN Indonesia yang
memperoleh penghasilan dari Negara Mitra, apabila WPDN Indonesia
tidak dapat melampirkan SKD yang diterbitkan oleh otoritas Indonesia
maka WPDN tersebut akan dikenakan pajak atas penghasilan dari
Negara Mitra sesuai peraturan perpajakan yang berlaku di Negara
Mitra tersebut.
34 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

SKD diterbitkan atau disahkan oleh Direktur Jenderal Pajak melalui


KPP Domisili berdasarkan permohonan Wajib Pajak. Yang dimaksud
dengan KPP domisili adalah Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal atau domisili Wajib Pajak orang pribadi
terdaftar atau tempat kedudukan Wajib Pajak badan terdaftar. KPP
Domisili menerbitkan SKD dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja
setelah menerima permohonan Wajib Pajak secara lengkap. Formulir
SKD yang diterbitkan adalah form DGT-7 sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran II PER-35/PJ/2010 atau menggunakan formulir khusus yang
digunakan oleh Negara Mitra P3B. masa berlaku SKD adalah 12 bulan
sejak tanggal disahkan.

Isi SKD menerangkan bahwa Wajib Pajak bersangkutan adalah Wajib


Pajak Dalam Negeri Indonesia, yang berdomisili/menjalankan usahanya
di wilayah KPP domisili dan telah melaporkan SPT Tahunan PPh pada
Tahun Pajak yang dimaksud. Bagi Wajib Pajak luar negeri, SKD yang
diterbitkan Negara Mitra adalah sesuai kelaziman di Negara tempat
WPLN berkedudukan, namun sekurang-kurangnya harus menyatakan
bahwa WPLN yang bersangkutan benar bekedudukan di Negara
tersebut sesuai dengan peraturan P3B yang berlaku, disertai dengan
tanggal dan tanda tangan pejabat yang menerbitkan SKD tersebut.

C. Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran


Pajak (Refund) yang Seharusnya Tidak
terutang
Ketentuan Terkait:

1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.03/2013 Tentang


Tata Cara Pengembalian Atas Kelebihan Pembayaran Pajak Yang
Seharusnya Tidak Terutang.

W
ajib Pajak Luar Negeri dapat mengajukan permohonan
pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang tidak
seharusnya terutang dalam hal:
1. terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang
Penerapan P3B / Tax Treaty dan Perjanjian Perpajakan Lainnya 35

mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar


daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut berupa:
a. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang
mengakibatkan Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut
lebih besar daripada Pajak Penghasilan yang seharusnya
dipotong atau dipungut, termasuk yang diatur dalam P3B;
b. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan atas
penghasilan yang diterima oleh bukan subjek pajak;
c. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai terhadap bukan
Pengusaha Kena Pajak yang lebih besar daripada pajak yang
seharusnya dipungut; atau
d. pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap
Pengusaha Kena Pajak atau bukan Pengusaha Kena Pajak yang
lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut.
2. terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan
merupakan objek pajak:
a. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang
seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut;
b. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya tidak
dipungut; atau
c. pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
seharusnya tidak dipungut.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.03/


2013 , Wajib Pajak yang berhak mengajukan permohonan pengembalian
atas kelebihan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang
karena kesalahan pemotongan atau pemungutan dan telah disetorkan
dan dilaporkan adalah Wajib Pajak Dalam Negeri atau Pengusaha Kena
Pajak dan Wajib Pajak Luar Negeri yang yang menjalankan kegiatan atau
usaha melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. Sedangkan bila pihak
yang dipotong atau dipungut merupakan Wajib Pajak Luar Negeri yang
tidak menjalankan kegiatan atau usaha melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia, permohonan pengembalian dapat dilakukan melalui Wajib
Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan pemungutan.
36 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Permohonan pengembalian diajukan atas suatu bukti pembayaran,


bukti pemotongan/pemungutan pajak, faktur pajak atau dokumen lain
yang dipersamakan dengan faktur pajak. Diajukan secara tertulis dalam
bahasa Indonesia dengan menggunakan format sesuai peraturan
beserta lampiran terkait dan ditandatangani oleh Wajib Pajak terkait ke
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak pemohon terdaftar.

Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak


melalui KPP terkait melakukan verifikasi atas permohonan dan dapat
meminta dokumen pendukung yang diperlukan kepada Wajib Pajak.
Berdasarkan hasil Verifikasi tersebut, kelebihan pembayaran akan
dikembalikan melalui Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

D. Bentuk Kerjasama Perpajakan Lainnya


Ketentuan Terkait

1. Pasal 32A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak


Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Tax Information Exchange Agreement (TIEA)

TIEA atau Persetujuan Pertukaran Informasi Berkenaan Dengan


Keperluan Perpajakan adalah perjanjian yang telah dinegosiasikan dan
ditandatangani oleh dua negara untuk membangun sistem yang resmi
dalam pertukaran informasi berkenaan dengan keperluan perpajakan.
Sistem tersebut diharapkan dapat menjembatani perbedaan ketentuan
dan peraturan masing-masing negara dalam menyediakan pertukaran
informasi. TIEA dibuat untuk mendukung proses pertukaran informasi
untuk negara non mitra P3B khususnya bagi wilayah yurisdiksi seperti
Aruba, Bermuda, Bahrain, Cayman Islands, Cyprus, Isle of Man, Malta,
Mauritius, the Netherlands Antilles, the Seychelles dan San Marino.
TIEA diprakarsai oleh OECD dengan negara-negara G-20 sebagai
anggotanya. Sehingga bentuk perjanjiannya berdasarkan OECD
Penerapan P3B / Tax Treaty dan Perjanjian Perpajakan Lainnya 37

model agreement tahun 2002 dan mencakup perjanjian bilateral dan


multilateral.

Berbeda dengan Exchange of Information yang diatur dalam P3B


dimana pertukaran informasi perpajakan dapat dilakukan berdasarkan
permintaan, spontan, dan otomatis; TIEA hanya mengatur pertukaran
informasi berdasarkan permintaan (by request). Persetujuan
pertukaran informasi ini dilakukan dalam hal terdapat dugaan Wajib
Pajak melakukan transaksi untuk menghindari pengenaan pajak atau
melakukan pengelakan pajak. Bukan untuk memperoleh informasi
yang bersifat spekulatif dan tidak memiliki hubungan yang jelas dengan
dasar permintaan Informasi (fishing expedition), tidak didasari atas
kecurigaan (allegation) yang memadai atau yang berhubungan dengan
rahasia perdagangan/usaha dan rahasia negara.

Saat ini Indonesia telah melakukan kerjasama TIEA dengan 5 (lima)


pemerintah yurisdiksi yaitu Bermuda/Somers Isles, the Bailiwick of
Guernsey, Isle of Man/Mann, the Bailiwick of Jersey, dan Republik
San Marino (belum diratifikasi).

The Multilateral Convention On Mutual Administrative


Assistance In Tax Matters (MAC)

MAC atau Perjanjian Multilateral tentang Bantuan Administratif


Bersama di Bidang Perpajakan adalah perjanjian multilateral dengan
63 (enam puluh tiga) negara/yurisdiksi baik dari anggota OECD, G20,
BRIICS, dan negara berkembang lainnya. Konvensi ini diprakarsai
oleh negara anggota OECD dengan Dewan Eropa pada tahun 1988
dan diubah berdasarkan protokol pada tahun 2010 dan dibuat untuk
menjawab tantangan dari G20 di London Summit pada bulan April
2009 untuk membuat standar internasional dalam pertukaran informasi
berdasarkan permintaan (by request) agar dapat digunakan oleh setiap
negara, dan juga membuka pintu kepada negara-negara berkembang
untuk mendapatkan informasi dan bantuan dalam melakukan penagihan
pajak khususnya dalam hal memerangi penggelapan dan penghindaran
pajak.
38 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Konvensi ini menyediakan standar administratif dalam kerjasama


pertukaran informasi antar otoritas pajak khususnya atas kerjasama
pertukaran informasi (berdasarkan permintaan, spontan, dan otomatis),
simultaneous tax examinations, tax examinations abroad, assistance in
recovery and measures of conservancy, joint audits, serta keseragaman
dalam administrasi dan dokumentasi perpajakan.

Manfaat yang diberikan oleh konvensi MAC ini pada anggotanya


adalah memberikan standardisasi prosedur dan administrasi
pertukaran informasi dan memberikan cakupan perpajakan yang lebih
luas dibandingkan dengan tax treaty secara bilateral. Serta MAC dapat
memberikan asistensi pada anggotanya dalam sengketa atas kasus
perpajakan internasional melalui badan koordinasi (Coordinating Body).

Hingga Bulan Oktober 2014, sudah ada 84 Negara dan wilayah


yurisdiksi yang menandatangani perjanjian ini. Indonesia menandatangi
konvensi MAC pada tanggal 03 November 2011 namun sampai saat ini
belum dilakukan ratifikasi, sehingga pelaksanaan konvensi MAC masih
belum dapat dilaksanakan.

Berikut adalah daftar negara dan yurisdiksi yang telah menjadi


anggota MAC dengan statusnya:

1. Telah menandatangani dan meratifikasi:


Albania, Anguilla, Argentina, Aruba, Australia, Austria, Belize,
Bermuda, British Virgin Island, Canada, Cayman Island, Colombia,
Costa Rica, Croatia, Curaçao, Czech Republic, Denmark, Estonia,
Faroe Island, Finland, France, Georgia, Ghana, Gibraltar, Greece,
Greenland, Iceland, India, Ireland, Isle Of Man, Italy, Japan, Jersey,
South Korea, Latvia, Lithuania, Luxembourg, Malta, Mexico,
Moldova, Montserrat, Netherlands, New Zealand, Norway, Poland,
Romania, Sint Maarten, Slovak Republic, Slovenia, South Africa,
Spain, Sweden, Tunisia, Turks & Caicos Island, Ukraine, dan United
Kingdom.
Penerapan P3B / Tax Treaty dan Perjanjian Perpajakan Lainnya 39

2. Telah menandatangani namun belum meratifikasi:


Andorra, Azerbaijan, Belgium, Brazil, Cameroon, Chile, China,
Cyprus, Gabon, Germany, Guatemala, Hungary, Indonesia,
Kazakhstan, Liechtenstein, Monaco, Morocco, Nigeria, Philippines,
Portugal, Russia, San Marino, Saudi Arabia, Singapore, Switzerland,
dan United States of America.
“Transactions between related parties merit extra
scrutiny.”
- Merck & Co. v. U.S., ___ F.3d ___ (3d Cir. 2011)
Exchange of
Information dan Anti
tax Avoidance
A. EXCHANGE OF INFORMATION
5
Ketentuan terkait:
1. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 60/
PMK.03/2014 Tentang Tata Cara Pertukaran Informasi (Exchange
Of Information);
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-41/PJ/2011 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Dalam Rangka Pertukaran
Informasi Berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Yang Melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra;
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-67/PJ./2009
Tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

P
ertukaran Informasi atau Exchange of Information (EOI) adalah
fasilitas pertukaran informasi perpajakan yang terdapat didalam
P3B yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia dan
Pemerintah Negara Mitra P3B untuk upaya pencegahan penghindaran
pajak (tax avoidance), pengelakan pajak (tax evasion), dan
penyalahgunaan P3B oleh pihak-pihak yang tidak berhak (tax treaty
abuse).

Yang dimaksud dengan informasi adalah kumpulan angka, huruf,


kata, dan/atau citra, yang bentuknya dapat berupa surat, dokumen,
buku, atau catatan serta keterangan tertulis, yang dapat memberikan
petunjuk mengenai penghasilan dan/atau kekayaan/harta, termasuk
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas orang pribadi atau badan.
Sedangkan yang dimaksud dengan informasi perpajakan adalah
keterangan yang tersedia berdasarkan Undang-Undang Perpajakan
pada masing-masing negara dalam aturan administrasi yang lazim dan
42 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

tidak dimaksudkan untuk mengungkapkan rahasia perdagangan, usaha,


industri, perniagaan atau keahlian, atau tata cara perdagangan atau
informasi yang pengungkapannya akan bertentangan dengan kebijakan
umum yang diberikan atau diterima oleh Pemerintah Indonesia kepada
Negara Mitra P3B atau sebaliknya.

Pertukaran Informasi dengan Negara Mitra P3B dapat dilakukan


oleh setiap unit Direktorat Jenderal Pajak dalam hal sedang dilakukan
penelitian, pemeriksaan, penyidikan, dan penelaahan atas permohonan
keberatan Wajib Pajak yang terkait dengan transaksi internasional;
dan adanya dugaan bahwa transaksi tersebut dilaksanakan untuk
menghindari pengenaan pajak di Indonesia atau hanya untuk
memanfaatkan fasilitas P3B. Pejabat yang berwenang dalam melakukan
kegiatan pertukaran informasi dengan Negara Mitra adalah Direktur
Peraturan Perpajakan II sebagai Competent Authority.

Fungsi EOI adalah untuk memastikan penerapan yang benar dari


ketentuan P3B (konteks internasional) dan/atau administrasi atau
penegakan hukum domestik dari kedua negara yang melakukan
perjanjian.
1. Penerapan Ketentuan P3B – Hak untuk memperoleh manfaat P3B:
a. memastikan residensi seseorang pada satu atau kedua negara
perjanjian;
b. memastikan alokasi yang benar terhadap laba dan dalam
mengidentifikasi kemungkinan manipulasi harga transfer;
c. memastikan penerima manfaat (beneficial owner): dividen,
royalti dan bunga.
2. Administrasi atau Penegakan Hukum Domestik:
a. membuktikan dugaan kecurangan oleh Wajib Pajak di negara
yang meminta informasi;
b. penghasilan/properti legal atau ilegal yang tidak dilaporkan;
c. pemalsuan/penggelembungan beban/biaya;
d. manipulasi/pengalokasian yang salah atas laba;
e. dividen terselubung;
f. ketidakwajaran harga (non arm’s length price);
g. tax planning yang agresif.
Exchange of Information & Anti Tax Avoidance 43

Prinsip-prinsip dalam permintaan EOI:


1. Tidak memindahkan beban pencarian informasi kepada negara/
yurisdiksi mitra;
2. Telah melakukan segala upaya untuk mencari informasi di dalam
negeri dan menggunakan websites publik dan komersial / atau
mengoptimalkan pemanfaatan informasi publik yang tersedia (mis.
Website pemerintah / swasta) (Exhausted);
3. Adanya kondisi apabila informasi tidak diperoleh maka proses
administrasi atau penegakan hukum perpajakan tidak dapat
berlangsung/berhenti (Foreseeable Relevance);
4. Adanya keyakinan bahwa Wajib Pajak telah melakukan penghindaran/
pengelakan pajak atau tax treaty abuse (Allegation);
5. Adanya fakta, kondisi dan asumsi yang menjadi dasar atas tuduhan
bahwa Wajib Pajak telah melakukan penghindaran/pengelakan
pajak atau tax treaty abuse;
6. Adanya hal-hal yang mendasari keyakinan bahwa informasi yang
diminta tersedia di negara/yurisdiksi mitra.

Dalam rangka melaksanakan pertukaran informasi, Menteri


Keuangan telah telah menunjuk Direktur Jenderal Pajak sebagai
Competent Tax Authority yang bertindak sebagai koordinator untuk
melakukan perjanjian pertukaran informasi untuk tujuan perpajakan
(Exchange of Information/EOI). Direktur Jenderal Pajak melimpahkan
pelaksanaan pertukaran informasi tersebut kepada Direktur Peraturan
Perpajakan II, sehingga semua permintaan EOI dari dan kepada
negara/yurisdiksi mitra harus melalui Direktur Peraturan Perpajakan II,
sesuai dengan KMK Nomor 188/KMK.01/2013 dan PMK Nomor 60/
PMK.03/2014.

Berdasarkan PMK 60/PMK.03/2014, pertukaran informasi tersebut


berdasarkan ketentuan dari perjanjian bilateral P3B; dan perjanjian
multilateral yaitu Tax Information Exchange Agreement (TIEA), dan
The Multilateral Convention On Mutual Administrative Assistance In
Tax Matters (MAC). Pertukaran Informasi dilakukan:
1. Berdasarkan permintaan;
EOI dilakukan berdasarkan permintaan dari otoritas pajak Indonesia,
atau berdasarkan permintaan otoritas berwenang Negara Mitra
44 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

atas informasi perpajakan dalam hal terdapat dugaan Wajib


Pajak melakukan transaksi untuk menghindari pengenaan pajak,
melakukan pengelakan pajak atau semata-mata hanya untuk
memanfaatkan fasilitas P3B.

2. Secara spontan;
Pertukaran Informasi secara spontan kepada Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra dilakukan sebagai tindak lanjut hasil pemeriksaan,
pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan yang dilakukan oleh unit di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak terhadap kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang
terkait dengan transaksi internasional.

3. Secara Otomatis.
Dalam rangka pelaksanaan Pertukaran Informasi secara otomatis,
unit di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang mengelola dan
mengadministrasikan informasi perpajakan secara sistematik
dan periodik, memberikan informasi perpajakan tertentu kepada
Direktur Peraturan Perpajakan II.

Dalam rangka Pertukaran Informasi dengan Negara Mitra atau


Yurisdiksi Mitra, Direktur Jenderal Pajak berdasarkan Undang-Undang
dapat meminta Informasi kepada Wajib Pajak atau pihak lain mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan yang dipertukarkan.
Dan setiap Informasi yang dipertukarkan wajib diperlakukan secara
rahasia sesuai dengan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang KUP.

Pertukaran Informasi berdasarkan permintaan

Unit di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang membutuhkan


Informasi menyampaikan usulan kepada Direktur Peraturan Perpajakan
II sebagai Competent Authority untuk melakukan permintaan Informasi
kepada Otoritas Pajak Negara/Yurisdiksi Mitra. Usulan permintaan
informasi tersebut dapat dilakukan dalam hal terdapat dugaan
Wajib Pajak melakukan transaksi untuk menghindari pengenaan
pajak, melakukan pengelakan pajak atau semata-mata hanya untuk
Exchange of Information & Anti Tax Avoidance 45

memanfaatkan fasilitas P3B, dan Wajib Pajak:


1. sedang dilakukan analisis dan pengembangan atas informasi, data,
laporan dan pengaduan yang diterima oleh Direktorat Jenderal
Pajak, verifikasi, pemeriksaan, penagihan, pemeriksaan bukti
permulaan, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan terhadap
kewajiban perpajakan yang terkait dengan transaksi internasional;
atau
2. sedang dalam proses pengurangan atau pembatalan ketetapan
pajak, keberatan, banding, peninjauan kembali, dan/atau prosedur
persetujuan bersama (Mutual Agreement Procedure) terhadap
kewajiban perpajakan yang terkait dengan transaksi internasional.

Direktur Peraturan Perpajakan II sebagai Competent Authority


menolak permohonan pertukaran informasi apabila:
1. Informasi yang diminta tersedia di dalam negeri;
2. Informasi yang diminta bersifat spekulatif dan tidak memiliki
hubungan yang jelas dengan dasar Permintaan Informasi (fishing
expedition);
3. Informasi yang diminta tidak didasari atas kecurigaan (allegation)
yang memadai;
4. Informasi yang diminta dapat mengakibatkan terungkapnya rahasia
perdagangan, usaha, industri, perniagaan atau keahlian; dan/atau
5. Informasi yang diminta berhubungan dengan rahasia negara,
kebijakan publik, kedaulatan, keamanan negara atau kepentingan
nasional.

Permintaan Informasi yang diterima dari Otoritas Pajak Negara Mitra


atau Yurisdiksi Mitra tidak dapat dipenuhi dalam hal:
1. perlu dilakukan tindakan administratif yang bertentangan dengan
praktik administrasi atau ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. dalam kondisi serupa, Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra tidak
menyediakan informasi yang diminta pada saat Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra tersebut berkedudukan sebagai negara yang
diminta informasi; dan/atau
3. Informasi yang diminta berhubungan dengan rahasia negara,
kebijakan publik, kedaulatan, keamanan negara, atau kepentingan
nasional.
46 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Bagan 5.1 skema Permohonan outbound EOI

CA Indonesia
Unit KPP Direktorat Peraturan
Perpajakan II

Terms and
conditions
apply

Treaty Partner Country/Jurisdiction

CA

Bagan 5.2 skema Permohonan inbound EOI

Treaty Partner Country/Jurisdiction

CA

Terms and conditions


apply

Counselling

Verification

Assessment for other


purposes
CA Indonesia
Unit(s) within DGT

Information Database
Exchange of Information & Anti Tax Avoidance 47

Pertukaran Informasi secara spontan

Pertukaran Informasi secara spontan kepada Negara Mitra atau


Yurisdiksi Mitra dilakukan sebagai tindak lanjut hasil pemeriksaan,
pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan yang dilakukan oleh unit di lingkungan Direktorat Jenderal
Pajak terhadap kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang terkait dengan
transaksi internasional. Pertukaran Informasi secara spontan dilakukan
tanpa didahului permintaan informasi dari Otoritas Pajak Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra. Hasil pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan,
atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan terhadap kewajiban
perpajakan Wajib Pajak yang terkait dengan transaksi internasional
dapat berupa:
1. terdapat indikasi hilangnya potensi pajak yang signifikan di Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
2. terdapat pembayaran kepada Wajib Pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra yang diduga tidak dilaporkan di Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra;
3. terdapat pengurangan atau pembebasan pajak di Indonesia yang
diterima oleh Wajib Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang
dapat menambah kewajiban perpajakan di Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra; dan/atau
4. terdapat transaksi antara Wajib Pajak Indonesia dengan Wajib Pajak
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra melalui satu atau lebih negara
lain, sedemikian rupa sehingga mengakibatkan berkurangnya nilai
pajak yang terutang dari Wajib Pajak dimaksud di Indonesia dan/
atau di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.

Informasi tersebut diberikan oleh Unit di lingkungan Direktorat


Jenderal Pajak yang melakukan pemeriksaan, pemeriksaan bukti
permulaan, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
terhadap kewajiban perpajakan Wajib Pajak kepada DIrektur Peraturan
Perpajakan II.
48 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Pertukaran Informasi secara otomatis

Dalam rangka pelaksanaan Pertukaran Informasi secara otomatis,


unit di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang mengelola dan
mengadministrasikan informasi perpajakan secara sistematik dan
periodik, memberikan informasi perpajakan tertentu kepada Direktur
Peraturan Perpajakan II berupa informasi:
1. perubahan tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dari
satu negara ke negara lain;
2. kepemilikan atau penghasilan dari harta;
3. dividen;
4. bunga;
5. royalti;
6. keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta;
7. gaji, upah, dan remunerasi;
8. penghasilan direktur dan penghasilan lainnya yang sejenis;
9. penghasilan yang diperoleh para seniman dan olahragawan,
pensiun, dan penghasilan lainnya yang sejenis;
10. penghasilan dari gaji, upah, dan remunerasi yang berkaitan dengan
jabatan dalam pemerintahan;
11. hal-hal lain yang berkaitan dengan pajak tidak langsung; dan
12. komisi dan pembayaran lainnya yang sejenis.

Orang/badan yang dicakup dalam EOI adalah sebagai berikut:


1. P3B:
Pertukaran Informasi tidak terbatas pada informasi yang berkaitan
dengan penduduk negara pada perjanjian meskipun dalam pasal
1 P3B disebutkan bahwa cakupan P3B adalah hanya untuk orang/
badan yang merupakan penduduk dari satu atau kedua negara
perjanjian.
2. TIEA:
Pertukaran Informasi tidak terbatas pada informasi yang berkaitan
dengan penduduk negara pada perjanjian.
3. Konvensi/MAC:
Pertukaran Informasi tidak terbatas pada informasi yang berkaitan
dengan penduduk negara pada perjanjian
Exchange of Information & Anti Tax Avoidance 49

Pajak yang dicakup dalam EOI dalam berbagai perjanjian/agreement


adalah sebagai berikut:
1. P3B:
Pajak yang dicakup dalam Pasal 2 P3B: Pajak Penghasilan yang
diatur oleh UU PPh.
2. OECD Model:
Tidak terbatas pada Pasal 2 (Tax Covered). Dapat dimintakan atas
semua jenis pajak kecuali Bea (Customs).
3. TIEA:
PPh dan PPN.
4. Konvensi/MAC:
PPh, PPN, PPnBM, dan PBB (Pertambangan, Perkebunan,
Perhutanan).

Periode pajak yang dicakup EOI adalah sebagai berikut:


1. P3B:
Tergantung dengan isi P3B tetapi hampir semua P3B dapat berlaku
retroactive (berlaku surut sebelum tanggal efektif perjanjian).
2. TIEA:
Sesuai Tahun Pajak yang diperiksa, dengan ketentuan telah
melewati tanggal berlakunya (entry into force) TIEA, kecuali untuk
pidana pajak (dapat berlaku surut).
3. Konvensi/MAC:
Sesuai Tahun Pajak yang diperiksa, dengan ketentuan telah
melewati tanggal berlakunya (entry into force) konvensi, kecuali
disetujui secara bersama untuk berlaku surut.

Tax Examination Abroad

Permintaan tax examination abroad dapat diajukan oleh Direktur


Jenderal Pajak, atau oleh Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra dengan dilampiri surat pernyataan mengenai kesediaan melakukan
tax examination abroad secara resiprokal. Permintaan tax examination
abroad dapat diajukan dalam hal Pertukaran Informasi yang sedang
atau telah dilaksanakan, namun berdasarkan penelitian Direktorat
Jenderal Pajak:
50 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

1. Informasi tersebut kurang memadai;


2. diperlukan Infomasi tambahan; dan/atau
3. diperlukan percepatan perolehan Informasi.

Pelaksanaan tax examination abroad yang disetujui oleh Direktur


Peraturan Perpajakan II sebagai Competent Authority dilakukan melalui
pemeriksaan untuk tujuan lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan. Pemeriksaan untuk tujuan
lain tersebut dilaksanakan dengan melibatkan wakil dari Otoritas Pajak
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dengan status sebagai pendamping
tim pemeriksa pajak. Dalam pelaksanaannya, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan melalui tim
pemeriksa pajak, wakil dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra dapat:
1. meminjam buku, catatan, dan/atau dokumen yang terkait dengan
Informasi yang dimintakan;
2. mengunduh data yang dikelola secara elektronik yang terkait
dengan Informasi yang dimintakan;
3. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak; dan/
atau
4. meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak
ketiga yang mempunyai  hubungan dengan Wajib Pajak yang
diperiksa melalui kepala unit pelaksana pemeriksaan.

Simultaneous Tax Examination

Simultaneous tax examination dapat dilakukan berdasarkan


permintaan dari Direktorat Jenderal Pajak dan/atau satu atau lebih
Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sesuai dengan
kesepakatan bersama. dengan kondisi:
1. terdapat hubungan mengenai masalah perpajakan antara Wajib
Pajak yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia
dengan Wajib Pajak yang bertempat tinggal atau berkedudukan di
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
2. terdapat kepentingan bersama antara Direktorat Jenderal Pajak
dengan satu atau lebih Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi
Exchange of Information & Anti Tax Avoidance 51

Mitra terkait dengan masalah perpajakan;


3. terdapat dugaan bahwa transaksi dilaksanakan untuk menghindari
pengenaan pajak atau melakukan pengelakan pajak; dan
4. Direktorat Jenderal Pajak dan satu atau lebih Otoritas Pajak Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra berpendapat bahwa proses Pertukaran
Informasi atas masalah perpajakan sebagaimana dimaksud pada
huruf a yang dilaksanakan secara tertulis tidak cukup memadai,
efektif, dan efisien.

Simultaneous tax examination dilaksanakan oleh Direktorat


Jenderal Pajak dan satu atau lebih Otoritas Pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra melalui pemeriksaan di masing-masing negara atau
yurisdiksinya secara bersamaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan.

B. CONTROLLED FOREIGN COMPANY


Ketentuan Terkait
1. Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008 tentang
Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Oleh Wajib Pajak Dalam
Negeri Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha Di Luar Negeri
Selain Badan Usaha Yang Menjual Sahamnya Di Bursa Efek.

C
ontrolled Foreign Corporation adalah perusahaan yang
berkedudukan di luar negeri (offshore company) yang
kepemilikannya dikuasai oleh Wajib Pajak Dalam Negeri.
CFC dibuat sebagai alat untuk menangguhkan kewajiban pajak
atas penghasilan dari operasi perusahaan tersebut dengan cara
menangguhkan pendistribusian dividen ke pemegang saham.
52 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Untuk menghadapi penghindaran pajak tersebut, Undang-Undang


PPh Pasal 18 ayat (2) menjelaskan bahwa :

“Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya


dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas penyertaan modal
pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang
menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak Dalam Negeri
tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah
saham yang disetor; atau
2. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak Dalam Negeri
lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima
puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.”

Ketentuan tersebut kemudian diatur lebih lanjut melalui PMK Nomor


256/PMK.03/2008 yang mengatur saat diperolehnya dividen oleh
Wajib Pajak Dalam Negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di
luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek.
Saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak tersebut adalah ditentukan
sebagai berikut:
1. pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban
penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan
badan usaha di luar negeri tersebut untuk tahun pajak yang
bersangkutan; atau
2. pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir apabila badan usaha
di luar negeri tersebut tidak memiliki kwajiban untuk menyampaikan
surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan atau tidak ada
ketentuan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan
Pajak Penghasilan.

Sedangkan besarnya dividen yang wajib dihitung oleh Wajib Pajak


Dalam Negeri adalah sebesar jumlah dividen yang menjadi haknya
terhadap laba setelah pajak yang sebanding dengan penyertaannya
pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual
sahamnya di bursa efek, kecuali dividen tersebut telah dibagikan oleh
perusahaan luar negeri sebelum batas waktu yang ditentukan dalam
Exchange of Information & Anti Tax Avoidance 53

peraturan dan atas penghasilan tersebut wajib dilaporkan oleh Wajib


Pajak di Surat Pemberitahuan Tahunan PPh-nya untuk tahun pajak
dibagikannya dividen tersebut.

Pajak atas dividen yang telah dibayar atau dipotong di luar negeri
dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, ketentuan ini menerangkan
bahwa pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan
dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri
dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-
undang PPh dalam tahun pajak yang sama, dan besarnya kredit pajak
tersebut adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang
di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang
terutang berdasarkan Undang-undang PPh.

Bagan 5.3 skema contoh kasus CFC


Income: $
Sebelum ada CFC
1. Income dari DN dan LN dikenakan pajak
di Indonesia sekaligus melalui SPT yang
Income: Rp disampaikan PT ABC.
PT ABC 2. PT ABC bermaksud menunda pajak atas
Income dari LN di Indonesia.

Setelah ada CFC Income: $

1. WPDN mendirikan CFC di “low-tax juris- 2 CFC


diction”,
2. Income dari LN dialihkan ke CFC, LN 3 Low-tax
jurisdiction
3. WPDN tidak meminta haknya atas laba 1
bersih CFC untuk menunda pajak. Indonesia

Penyertaan
Income: Rp

PT ABC
Dividen?
54 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

C. SPECIAL PURPOSE COMPANY


Ketentuan Terkait
1. Pasal 18 ayat (3b) dan (3c) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140/PMK/2010 Tentang
Penetapan Wajib Pajak Sebagai Pihak Yang Sebenarnya Melakukan
Pembelian Saham Atau Aktiva Perusahaan Melalui Pihak Lain Atau
Badan Yang Dibentuk Untuk Maksud Demikian (Special Purpose
Company) Yang Mempunyai Hubungan Istimewa Dengan Pihak
Lain Dan Terdapat Ketidakwajaran Penetapan Harga;
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 258/PMK.03/2008 tentang
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan Dari
Penjualan Atau Pengalihan Saham Sebagaimana Dimaksud Dalam
Pasal 18 Ayat (3c) Undang-Undang Pajak Penghasilan Yang Diterima
Atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri.

S
pecial Purpose Company adalah adalah sebuah perusahaan
dengan tujuan atau fokus yang terbatas. Perusahaan ini
dibentuk oleh suatu badan hukum untuk melakukan aktivitas
khusus atau bersifat sementara. Perusahaan ini biasanya, walaupun
tidak perlu, dikuasai hampir sepenuhnya oleh badan hukum yang
menjadi sponsornya. SPC dapat digunakan sebagai suatu saluran
(conduit) dalam menghindari pembayaran pajak atas penghasilan yang
diperoleh dengan cara mendirikan perusahaan di salah satu Negara
Mitra P3B (treaty shopping). Tujuan pembentukan SPC tersebut tidak
selalu untuk mendapatkan harga saham atau aktiva di bawah harga
pasar, yang paling sering adalah sebagai perusahaan “bentukan” untuk
memanfaatkan dan menikmati fasilitas perpajakan yang disediakan
dalam P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra.

UU PPh pasal 18 ayat (3b) menjelaskan:


“Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva
Exchange of Information & Anti Tax Avoidance 55

perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk


maksud demikian (special purpose company), dapat ditetapkan
sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut
sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai Hubungan
Istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat
ketidakwajaran penetapan harga.”

Peraturan tersebut kemudian diatur lebih lanjut melalui PMK


Nomor 140/PMK/2010 yang menjelaskan bahwa pembelian saham
atau aktiva Wajib Pajak badan dalam negeri oleh suatu pihak atau
badan yang dibentuk khusus untuk maksud demikian (special purpose
company) dapat ditetapkan sebagai pembelian yang dilakukan oleh
Wajib Pajak Dalam Negeri lainnya sebagai pihak yang sebenarnya
melakukan pembelian dimaksud sepanjang Wajib Pajak Dalam Negeri
yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian
tersebut mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak atau badan
yang dibentuk untuk maksud melakukan pembelian saham atau aktiva
perusahaan (special purpose company); dan terdapat ketidakwajaran
penetapan harga pembelian.

Sedangkan saham yang dimaksud pada paragraf diatas adalah:


1. Saham atau aktiva yang sebelumnya dimiliki dan/atau dijaminkan
oleh Wajib Pajak Dalam Negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang
sebenarnya melakukan pembelian, sehubungan dengan perjanjian
utang piutang; atau
2. Aktiva yang merupakan aset kredit (piutang) kepada Wajib Pajak
Dalam Negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya
melakukan pembelian, sehubungan dengan perjanjian utang
piutang.

Penjualan atau pengalihan saham SPC

UU PPh pasal 18 ayat (3c) menjelaskan:


“Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit
company atau special purpose company) yang didirikan atau
bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan
56 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

pajak (tax haven country) yang mempunyai Hubungan Istimewa


dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dapat ditetapkan
sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan
atau bertempat kedudukan di Indonesia atau Bentuk Usaha Tetap
di Indonesia.”

Peraturan tersebut kemudian diatur lebih lanjut melalui PMK


Nomor 258/PMK.03/2008 yang menjelaskan bahwa atas penghasilan
dari penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara tersebut
dikenakan PPh final sebesar 20% dari penghasilan netto yaitu 25%
dari harga jual. Apabila saham tersebut dibeli oleh Wajib Pajak Luar
Negeri, maka pihak yang ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah
badan yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia yang sahamnya
diperjualbelikan oleh pemegang saham Wajib Pajak Luar Negeri di luar
Bursa Efek; dan harus mencatat akta pemindahan hak atas saham
yang dijual.

D. TRANSFER PRICING
Ketentuan Terkait
1. Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011 Tentang Penerapan
Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara
Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

D
alam suatu perusahaan yang terpusat, output dari suatu divisi
baik berupa penyerahan barang atau jasa digunakan sebagai
input bagi divisi lain sebagai penerima barang atau jasa tersebut.
Transaksi antar divisi di dalam satu perusahaan ini menimbulkan apa
yang dikenal sebagai Transfer Pricing atau penentuan harga transfer.
Exchange of Information & Anti Tax Avoidance 57

Secara umum, Transfer Pricing atau Hubungan Istimewa pada dasarnya


adalah penentuan harga atau biaya yang dibebankan atas pemindahan
(transfer) suatu barang atau jasa dari satu divisi ke divisi lain dalam suatu
perusahaan (transaksi antar divisi secara internal perusahaan). Terkait
dengan perpajakan, Transfer Pricing merupakan terminologi yang
merujuk pada upaya yang dilakukan otoritas pajak untuk menentukan
harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa. Sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat(3) UU PPh, yang
menyebutkan bahwa :
“Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali
besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan
utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan
Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai Hubungan
Istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran
dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh Hubungan
Istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga
antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali,
metode biaya-plus, atau metode lainnya.”

Pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa lazimnya


melakukan penentuan harga transfer (Transfer Pricing) dengan
merekayasa alokasi keuntungan antar beberapa perusahaan dalam
satu grup perusahaan multinasional dengan tujuan untuk tindakan
meminimalisir pajak dan penghindaran pajak. Modus Transfer Pricing
oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa ini dapat terjadi
atas harga penjualan, harga pembelian, overhead cost, bunga atas
pinjaman kepada pemegang saham (shareholder-loan), pembayaran
royalti, imbalan jasa, penjualan melalui pihak ketiga yang tidak ada
usaha (special purpose company).

Dengan adanya ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU PPh tersebut


diharapkan akan mencegah terjadinya penghindaran pajak karena
adanya Transfer Pricing antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa. Apabila terdapat Hubungan Istimewa, kemungkinan dapat
terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun
pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian,
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali
58 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan kondisi seandainya


di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat Hubungan Istimewa.

Yang dimaksud dengan Hubungan Istimewa tersebut diatur dalam


pasal 18 ayat (4) UU PPh dan pasal 2 ayat (2) UU PPN, yaitu:
1. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak
langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib
Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau
lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang
disebut terakhir;
2. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih
Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung
maupun tidak langsung; atau
3. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam
garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.

Perlakuan terhadap Transfer Pricing diatur lebih lanjut dalam


Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 sebagaimana
diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 32/PJ/2011,
yang ruang lingkupnya mengatur Transfer Pricing atas transaksi-
transaksi yang dilakukan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha
Tetap di Indonesia dengan Wajib Pajak Luar Negeri diluar Indonesia.
Apabila lawan transaksi tersebut adalah Wajib Pajak Dalam Negeri
atau BUT, maka peraturan tersebut hanya berlaku untuk perlakuan
pengenaan Pajak Penghasilan final atau tidak final pada sektor usaha
tertentu; perlakuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
atau transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak
Kerja Sama Migas.

Wajib Pajak dalam melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang


mempunyai Hubungan Istimewa wajib menerapkan Prinsip Kewajaran
dan Kelaziman Usaha. Prinsip ini mengatur bahwa apabila kondisi
dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba
Exchange of Information & Anti Tax Avoidance 59

dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai


Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang
harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding. Prisip
ini mendasarkan pada norma bahwa harga atau laba atas transaksi
yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi tersebut
mencerminkan harga pasar yang wajar (Fair Market Value/FMV).

Kecuali bagi pengusaha yang bertransaksi dengan pihak-pihak yang


memiliki Hubungan Istimewa dengan nilai transaksi dibawah 10 Milyar
Rupiah dalam setahun untuk setiap lawan transaksi, wajib menerapkan
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha yaitu dengan cara:
1. melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding;
2. menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
3. menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan
hasil Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer
yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak
dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; dan
4. mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga
Wajar atau Laba Wajar sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku.

Analisis Kesebandingan dan data pembanding

Untuk membuktikan bahwa transaksi tersebut masih dalam harga


wajar, perlu dilakukan pembuktian melalui Analisis Kesebandingan.
Analisis dilakukan dengan membandingkan transaksi tersebut dengan
transaksi yang sama/serupa dengan pihak lain yang tidak memiliki
Hubungan Istimewa. Syaratnya adalah tidak terdapat perbedaan kondisi
yang material atau signifikan yang dapat mempengaruhi harga atau
laba dari transaksi yang diperbandingkan; atau terdapat perbedaan
kondisi, namun dapat dilakukan penyesuaian untuk menghilangkan
pengaruh yang material atau signifikan dari perbedaan kondisi tersebut
terhadap harga atau laba.
60 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Data pembanding tersebut diatas dapat berasal dari data


pembanding internal (transaksi WP dengan pihak lain tanpa Hubungan
Istimewa) atau data pembanding eksternal (transaksi WP lain dengan
pihak lain tanpa Hubungan Istimewa). Faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat kesebandingan antara lain karakteristik barang/harta berwujud
dan barang/harta tidak berwujud yang diperjualbelikan termasuk jasa;
fungsi masing-masing pihak yang melakukan transaksi; ketentuan-
ketentuan dalam kontrak/perjanjian; keadaan ekonomi; dan strategi
usaha.

Metode Penentuan Harga Transfer

Dalam penentuan metode Harga Wajar atau Laba Wajar wajib


dilakukan kajian untuk menentukan metode Penentuan Harga Transfer
yang paling sesuai (The Most Appropriate Method). Kajian ini dilakukan
dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. kelebihan dan kekurangan setiap metode;
2. kesesuaian metode dengan sifat dasar transaksi antar pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa, yang ditentukan berdasarkan
analisis fungsional;
3. ketersediaan informasi yang handal (sehubungan dengan transaksi
antar pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa) untuk
menerapkan metode yang dipilih dan/atau metode lain;
4. tingkat kesebandingan antara transaksi antar pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi antar pihak
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, termasuk kehandalan
penyesuaian yang dilakukan untuk menghilangkan pengaruh yang
material dari perbedaan yang ada.

Metode-metode tersebut adalah:


1. Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP);
Kondisi yang tepat untuk menerapkan metode ini adalah apabila
barang atau jasa yang ditransaksikan memiliki karakteristik yang
identik dalam kondisi yang sebanding; atau kondisi transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa
Exchange of Information & Anti Tax Avoidance 61

dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa


adalah identik atau memiliki tingkat kesebandingan yang tinggi
untuk menghilangkan pengaruh dari perbedaan kondisi yang timbul.

2. Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM);


Kondisi yang tepat untuk menerapkan metode ini adalah apabila
transaksi antara Wajib Pajak yang mempunyai Hubungan Istimewa
(controlled transactions) dengan transaksi antara Wajib Pajak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa (uncontrolled transactions)
memiliki tingkat kesebandingan yang tinggi, khususnya berdasarkan
hasil analisis fungsi, meskipun barang atau jasa yang diperjualbelikan
berbeda; kondisi lainnya adalah apabila pihak penjual kembali
(reseller) tidak memberikan nilai tambah yang signifikan atas barang
atau jasa yang diperjualbelikan.

3. Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method/CPM);


Kondisi yang tepat untuk menerapkan metode ini adalah apabila
barang setengah jadi dijual kepada pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa; terdapat kontrak/perjanjian penggunaan
fasilitas bersama (joint facility agreement) atau kontrak jual-beli
jangka panjang (long term buy and supply agreement) antara pihak-
pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; atau bentuk transaksi
adalah penyediaan jasa.

4. Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM);


Kondisi yang tepat untuk menerapkan metode ini adalah apabila
transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa
sangat terkait satu sama lain sehingga tidak dimungkinkan untuk
dilakukan kajian secara terpisah; atau terdapat barang tidak
berwujud yang unik antara pihak-pihak yang bertransaksi yang
menyebabkan kesulitan dalam menemukan data pembanding yang
tepat.

5. Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin


method/TNMM).
Kondisi yang tepat untuk menerapkan metode ini adalah apabila
salah satu pihak dalam transaksi Hubungan Istimewa melakukan
62 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

kontribusi yang khusus; atausalah satu pihak dalam transaksi


Hubungan Istimewa melakukan transaksi yang kompleks dan
memiliki transaksi yang berhubungan satu sama lain.

Harga Wajar atau Laba Wajar ditentukan dalam bentuk harga atau
laba tunggal (single price) atau dalam bentuk Rentang Harga Wajar
atau Laba Wajar (arm’s length principle/ALP). Rentang Harga Wajar atau
Laba Wajar tersebut adalah rentangan harga atau laba dalam transaksi
TP hasil pengujian data pembanding dengan menggunakan metode
Penentuan Harga Transfer yang sama. Rentangan tersebut adalah
rentangan pada kwartil satu dan ketiga yang dapat digunakan apabila
transaksi atau data pembanding yang digunakan dapat diandalkan dan
didukung dengan bukti/penjelasan yang memadai bahwa penetapan
harga atau laba tunggal tidak dapat dilakukan.

Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha

Dalam melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai


hubungan istimewa, Wajib Pajak harus menerapkan prinsip kewajaran
dan kelaziman usaha dimana hal tersebut dilakukan dengan menerapkan
hasil analisis kesebandingan dan penerapan metode penentuan harga
transfer yang tepat ke dalam transaksi tersebut. Terhadap transaksi
berupa jasa dan atas pemanfaatan dan pengalihan harta tidak
berwujud, terdapat ketentuan tambahan mengenai prinsip kewajaran
dan kelaziman usaha, sehingga dimasukkan dalam kategori transaksi
khusus yang memiliki pengaturan tambahan di dalamnya.

Untuk transaksi jasa selain memenuhi ketentuan umum dalam


penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, juga harus memenuhi
ketentuan bahwa penyerahan atau perolehan jasa benar-benar terjadi
dan nilai transaksi jasa antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa sama dengan nilai transaksi jasa yang dilakukan antara pihak-
pihak yang tidan mempunyai hubungan istimewa yang mempunyai
kondisi yang sebanding atau yang dilakukan wajib pajak sendiri untuk
keperluannya.
Exchange of Information & Anti Tax Avoidance 63

Atas kegiatan jasa karena terdapat kepemilikan perusahaan induk


pada salah satu atau beberapa perusahaan yang berada dalam satu
kelompok usaha, hal ini termasuk:
1. biaya/pengeluaran yang terjadi sehubungan dengan kegiatan yang
dilakukan oleh perusahaan induk seperti biaya rapat pemegang
saham dan biaya pengurus perusahaan induk;
2. kewajiban pelaporan perusahaan induk, termasuk laporan keuangan
konsolidasi perusahaan induk; serta
3. perolehan dana/modal yang dipergunakan untuk pengambilalihan
kepemilikan perusahaan dalam kelompok usaha.

Sedangkan transaksi atas pemanfaatan dan pengalihan Harta


Tidak Berwujud adalah pemanfaatan dan pengalihan aktiva yang
umumnya memiliki masa manfaat yang panjang, tidak mempunyai
wujud fisik, dan memiliki kegunaan dalam kegiatan operasional dalam
fungsi perdagangan (trade intangibles) dan fungsi pemasaran (market
intangibles) dan tidak untuk dijual kembali seperti paten, lisensi, hak
cipta atau merk dagang.

Secara umum, transaksi atas pemanfaatan atau pengalihan Harta


Tidak Berwujud yang dilakukan oleh WP dengan pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dianggap memenuhi ALP apabila transaksi tersebut
benar-benar terjadi; terdapat manfaat ekonomis dan komersial; dan nilai
pemanfaatan atau pengalihan tersebut sama dengan nilai transaksi
yang dilakukan dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa. Sedangkan dalam melakukan Analisis Kesebandingan harus
mempertimbangkan:
1. keterbatasan geografis dalam pemanfaatan hak atas Harta Tidak
Berwujud;
2. eksklusifitas hak yang dialihkan; dan
3. keberadaan hak pihak yang memperoleh Harta Tidak Berwujud
untuk turut serta dalam pengembangan harta tersebut.
64 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Dokumentasi Penerapan Prinsip Kewajaran dan


Kelaziman Usaha

Kewajiban untuk melakukan dokumentasi atas transaksi yang


dilakukan dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa
terdapat pada Pasal 28 UU PPh jo.Pasal 10 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011. Dalam penentuan Harga Wajar atau
Laba Wajar, Wajib Pajak dapat menentukan sendiri jenis dan bentuk
dokumen yang disesuaikan dengan bidang usahanya sepanjang
dokumen tersebut mendukung penggunaan metode penentuan Harga
Wajar atau Laba Wajar yang dipilih, dan Wajib Pajak wajib menyediakan
serta mendokumentasikan dokumen terkait yaitu:
1. gambaran perusahaan secara rinci seperti struktur kelompok
usaha, struktur kepemilikan, struktur organisasi, aspek-aspek
operasional kegiatan usaha, daftar pesaing usaha, dan gambaran
lingkungan usaha;
2. kebijakan penetapan harga dan/atau penetapan alokasi biaya;
3. hasil Analisis Kesebandingan atas karakteristik produk yang
diperjualbelikan, hasil analisis fungsional, kondisi ekonomi,
ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian, dan strategi usaha.
4. pembanding yang terpilih;
5. catatan mengenai penerapan metode penentuan Harga Wajar atau
Laba Wajar yang dipilih oleh Wajib Pajak serta alasan penolakan
metode yang tidak dipilih.

Kewenangan Direktorat Jenderal Pajak

DJP berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan


pengurangan pajak untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan
Kena Pajak pada transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa dengan mempertimbangkan metode
dan dokumen penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang diterapkan
oleh Wajib Pajak. Apabila Wajib Pajak tidak dapat menunjukkan
dokumen pendukung dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar,
maka DJP berwenang menentapkan Harga Wajar atau Laba Wajar
berdasarkan dokumen dan metode yang dinilai tepat.
Exchange of Information & Anti Tax Avoidance 65

Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyesuaian


(correlative adjustment) terhadap penghitungan Penghasilan Kena
Pajak Wajib Pajak sebagai tindak lanjut atas suatu penyesuaian (primary
adjustment) yang dilakukan oleh:
1. Direktur Jenderal Pajak atas penghitungan penghasilan dan
pengurangan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri lainnya
termasuk Bentuk Usaha Tetap yang menjadi lawan transaksi Wajib
Pajak; atau
2. otoritas pajak negara lain atas penghitungan penghasilan dan
pengurangan yang dilakukan oleh Wajib Pajak negara tersebut
yang menjadi lawan transaksi Wajib Pajak Dalam Negeri termasuk
Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
“The calculation of earnings and profits is not easy or
obvious.”
- Welle v. Commr., 140 T.C. __ (2013)
Dispute Settlement
dan Advance Pricing
Agreement 6
D
alam ketentuan domestik telah diatur mengenai proses
penyelesaian sengketa antara Wajib Pajak dengan Direktur
Jenderal Pajak atas ketetapan yang diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 menjelaskan tiga cara dalam menyelesaikan sengketa
yang timbul antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak, Pasal 16,
Pasal 25 dan Pasal 36.

Pasal 16 mengatur tentang pembetulan atas ketetapan yang


diterbitkan Direktur Jenderal Pajak yang dalam peneribitannya
mengandung kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau terdapat
kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Pasal 25 mengatur tentang hak
Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak
yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau atas pemotongan
atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. Pasal 36 mengatur
mengenai kewenangan Direktur Jenderal Pajak baik secara jabatan
maupun atas permohonan Wajb Pajak untuk:
1. mengurangkan atau menghapus sanksi administrasi berupa bunga,
denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal tersebut
dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena
kesalahannya;
2. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang
tidak benar;
3. mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak
yang tidak benar; atau
4. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak.
68 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Oleh karena itu, untuk Wajib Pajak Dalam Negeri dan BUT di Indonesia,
telah memiliki prosedur untuk menyelesaikan sengketa yang timbul
atas ketetapan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Terkait
dengan transaksi internasional, di dalam P3B antara Indonesia dengan
negara mitra, terdapat pasal yang mengatur prosedur penyelesaian
sengketa pajak yang timbul yang berakibat pengenaan pajak berganda
maupun pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan P3B. Dengan
adanya pasal di P3B tersebut, maka terdapat satu jalan baru dalam
menyelesaikan sengketa pajak yang timbul, proses penyelesaian yang
meilbatkan dua otoritas pajak tersebut dikenal dengan istilah Mutual
Agreement Procedures.

A. MUTUAL AGREEMENT PROCEDURES


Ketentuan Terkait
1. Pasal 32A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 48/PJ/2010
Tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama
(Mutual Agreement Procedure) Berdasarkan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda.

M
utual Agreement Procedure (MAP) merupakan alternatif bagi
Wajib Pajak untuk menyelesaikan sengketa yang menimbulkan
pemajakan berganda, atau apabila terdapat indikasi bahwa
tindakan otoritas Negara Mitra menyebabkan pengenaan pajak yang
tidak sesuai dengan P3B. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan
asistensi kepada Direktur Jenderal Pajak sebagai Competent Authority
atas sengketa yang timbul dari pemajakan berganda dengan Negara
Mitra P3B antara lain berasal dari penyesuaian akibat koreksi Transfer
Pricing, permasalahan berkaitan dengan keberadaan BUT (permanent
establishment), karakterisasi atas suatu penghasilan, tindakan lain
yang tidak sesuai dengan peraturan dalam P3B.
Dispute Settlement dan Advance Pricing Agreement 69

MAP dilaksanakan dalam hal terdapat :


1. permintaan yang diajukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia;
2. permintaan yang diajukan oleh Warga Negara Indonesia yang telah
menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B sehubungan
dengan ketentuan non diskrimasi (non-discrimination) dalam P3B
yang berlaku;
3. permintaan yang diajukan oleh Negara Mitra P3B; atau
4. hal yang dianggap perlu oleh dan atas inisiatif Direktur Jenderal
Pajak.

Jangka waktu pengajuan permohonan MAP diatur berdasarkan


P3B yang berlaku dengan Negara Mitra.

Permintaan MAP yang diajukan oleh Wajib Pajak Dalam


Negeri Indonesia

Permintaan untuk melaksanakan MAP yang diajukan oleh Wajib


Pajak Dalam Negeri dilakukan antara lain dalam hal:
1. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia dikenakan pajak atau akan
dikenakan pajak karena melakukan praktik Transfer Pricing
sehubungan adanya transaksi dengan Wajib Pajak Dalam Negeri
Negara Mitra P3B yang mempunyai Hubungan Istimewa;
2. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia menganggap bahwa tindakan
Negara Mitra P3B mengakibatkan atau akan mengakibatkan
pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B
sehubungan dengan keberadaan atau penghasilan Bentuk Usaha
Tetap yang dimiliki oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia di
Negara Mitra P3B;
3. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia menganggap bahwa tindakan
Negara Mitra P3B mengakibatkan atau akan mengakibatkan
pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B
sehubungan dengan pemotongan pajak di Negara Mitra P3B; atau
4. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang juga merupakan Wajib
Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B meminta pelaksanaan
konsultasi dalam rangka MAP untuk menentukan status dirinya
sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri dari salah satu negara tersebut.
70 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Permohonan pengajuan MAP sekurang-kurangnya memuat:


1. nama, alamat, dan kegiatan usaha Warga Negara Indonesia yang
mengajukan permintaan;
2. tindakan atau pengenaan pajak yang telah dilakukan oleh otoritas
pajak Negara Mitra P3B yang dianggap lebih berat dibandingkan
dengan tindakan atau pengenaan pajak yang dilakukan oleh otoritas
pajak Negara Mitra P3B dimaksud kepada warga negaranya sendiri;
3. Tahun Pajak sehubungan dengan permintaan yang dilakukan;
4. pihak yang dapat dihubungi oleh Direktur Jenderal Pajak dalam
rangka tindak lanjut atas permohonan yang telah disampaikan oleh
yang bersangkutan; dan
5. nama kantor pajak Negara Mitra P3B, jika memungkinkan nama
unit vertikal kantor pajak Negara Mitra P3B yang terkait dalam hal
diketahui oleh yang bersangkutan.

DJP dapat menolak permohonan Wajib Pajak apabila:


1. permintaan disampaikan setelah melewati batas waktu penyampaian
sebagaimana diatur dalam P3B yang berlaku dengan Negara Mitra;
2. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia mengajukan permohonan
keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas permasalahan
yang dimintakan MAP dan tidak mencabut permohonan keberatan
dimaksud; atau
3. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia mengajukan permohonan
banding kepada badan peradilan pajak atas permasalahan yang
dimintakan MAP dan tidak mencabut permohonan Banding
dimaksud;

Permintaan MAP yang diajukan oleh Negara Mitra P3B

Permintaan untuk melaksanakan MAP yang diajukan oleh Negara


Mitra P3B dilakukan antara lain dalam hal:
1. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas
Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia yang dianggap
tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B;
2. terjadi koreksi Transfer Pricing di Indonesia atas Wajib Pajak Luar
Dispute Settlement dan Advance Pricing Agreement 71

Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui


Bentuk Usaha Tetap di Indonesia;
3. Negara Mitra P3B meminta dilakukan Corresponding Adjustments
sehubungan dengan koreksi Transfer Pricing yang dilakukan
otoritas Pajak negara yang bersangkutan atas Wajib Pajak Dalam
Negerinya yang melakukan transaksi Hubungan Istimewa dengan
Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia;
4. terjadi pemotongan pajak oleh Wajib Pajak di Indonesia sehubungan
dengan penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang dianggap
tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B; atau
5. penentuan negara domisili dari Wajib Pajak yang mempunyai status
sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia dan Wajib Pajak Dalam
Negeri Negara Mitra P3B (Dual Residence).

DJP dapat menolak permohonan Negara Mitra P3B apabila:


1. permintaan MAP disampaikan oleh Negara Mitra P3B setelah batas
waktu pelaksanaan MAP sebagaimana diatur dalam P3B yang
berlaku;
2. pokok permohonan yang diajukan oleh Negara Mitra P3B tidak
termasuk ke dalam ruang lingkup MAP sebagaimana diatur dalam
P3B yang berlaku;
3. Negara Mitra P3B membatalkan permintaan MAP;
4. permintaan melaksanakan MAP terkait dengan Bentuk Usaha
Tetap di Indonesia dan Bentuk Usaha Tetap dimaksud mengajukan
permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atau
permohonan banding kepada Badan Peradilan Pajak;
5. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang terkait dengan permintaan
MAP sehubungan dengan koreksi Transfer Pricing yang dilakukan
oleh otoritas pajak Negara Mitra P3B atas Wajib Pajak Dalam
Negerinya, tidak mengajukan permohonan MAP;
6. Wajib Pajak yang diterbitkan surat ketetapan pajak oleh Direktorat
Jenderal Pajak yang menjadi fokus dari permintaan MAP tidak
memberikan seluruh dokumen yang diperlukan;
7. Direktorat Jenderal Pajak tidak mungkin untuk mengumpulkan
dokumen-dokumen yang diperlukan untuk melaksanakan konsultasi
dalam rangka MAP karena telah terlewatinya waktu yang lama
setelah penerbitan surat ketetapan pajak di Indonesia; atau
72 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

8. terdapat indikasi kuat bahwa pelaksanaan konsultasi dalam rangka


MAP tidak akan menghasilkan keputusan yang tepat.

Permintaan MAP yang diajukan atas inisiatif Direktur


Jenderal Pajak

Permintaan untuk melaksanakan MAP yang diajukan atas inisiatif


Direktur Jenderal Pajak dilakukan antara lain dalam hal:
1. meninjau ulang (me-review) Persetujuan Bersama yang telah
disepakati sebelumnya karena terdapat indikasi ketidakbenaran
informasi atau dokumen yang diajukan oleh Wajib Pajak Dalam
Negeri Indonesia maupun Negara Mitra P3B;
2. meminta dilakukan Corresponding Adjustments atas koreksi
Transfer Pricing yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak
kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia sehubungan dengan
transaksi Hubungan Istimewa dengan Wajib Pajak Dalam Negeri
Negara Mitra P3B;
3. membuat penafsiran atas suatu ketentuan tertentu dalam P3B
yang diperlukan dalam pelaksanaan P3B yang bersangkutan; atau
4. melaksanakan hal-hal lain yang diperlukan.

B. ADVANCED PRICING AGREEMENT


Ketentuan Terkait
1. Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-69/PJ/2010
tentang Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement).

K
esepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) adalah
perjanjian antara Direktorat Jenderal Pajak dan Wajib Pajak dan/
atau otoritas pajak negara lain untuk menyepakati kriteria-kriteria
dan/atau menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar dimuka para
Dispute Settlement dan Advance Pricing Agreement 73

pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa. Kriteria-kriteria tersebut


diantaranya penentuan metode Transfer Pricing dan faktor-faktor
yang digunakan dalam analisis asumsi kritikal (critical assumptions).
Tujuan Kesepakatan Harga Transfer adalah untuk memberikan sarana
kepada Wajib Pajak guna menyelesaikan permasalahan Transfer
Pricing. Ruang lingkup Kesepakatan Harga Transfer meliputi seluruh
atau sebagian transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa.

Undang-Undang PPh Pasal 18 ayat (3a) menjelaskan bahwa:


“Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan
Wajib Pajak dan bekerjasama dengan pihak otoritas pajak negara
lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa, yang berlaku selama suatu
periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan
renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.”

Keuntungan dari Advance Pricing Agreement (APA) selain untuk


memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak,
Fiskus tidak perlu lagi melakukan koreksi dalam pemeriksaan atas
harga jual dan keuntungan produk yang dijual WP kepada perusahaan
dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan
kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau
bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas
perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di
wilayah yurisdiksinya.

Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada


Direktorat Jenderal Pajak melalui Direktur Peraturan Perpajakan II
dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak domisili
untuk melakukan pembicaraan awal (prelodgement) menggunakan
formulir APA-1 dengan melampirkan persyaratan sesuai ketentuan
yang berlaku.

Tahapan pembahasan APA:


1. pembicaraan awal (prelodgement meeting) antara Direktur Jenderal
Pajak dan Wajib Pajak;
74 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

2. penyampaian permohonan formal Kesepakatan Harga Transfer


oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil
pembicaraan awal;
3. pembahasan Kesepakatan Harga Transfer antara Direktur Jenderal
Pajak dan Wajib Pajak;
4. penerbitan surat Kesepakatan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal
Pajak; dan
5. pelaksanaan dan evaluasi Kesepakatan Harga Transfer.

Pembahasan APA

Topik yang dibahas dalam APA antara lain:


1. ruang lingkup transaksi dan Tahun Pajak yang akan dicakup oleh
Kesepakatan Harga Transfer;
2. Analisis Kesebandingan, pemilihan dan penentuan data
pembanding;
3. penentuan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
4. kondisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan metode
Penentuan Harga Transfer; dan
5. perlu atau tidaknya diadakan Kesepakatan Harga Transfer dengan
negara/jurisdiksi lain.

Dalam hal Wajib Pajak menganggap bahwa Kesepakatan Harga


Transfer dapat menyebabkan terjadinya pengenaan pajak berganda,
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada
Direktur Jenderal Pajak untuk mengadakan Prosedur Persetujuan
Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) dengan otoritas pajak
dari negara/jurisdiksi mitra P3B.

Tindak lanjut pelaksanaan hasil APA

Kesepakatan Harga Transfer dapat diberlakukan untuk Tahun Pajak


sebelum Kesepakatan Harga Transfer disepakati sepanjang Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak untuk Tahun
Pajak dimaksud belum pernah dilakukan pemeriksaan; belum pernah
Dispute Settlement dan Advance Pricing Agreement 75

diajukan keberatan atau banding oleh Wajib Pajak; dan tidak terdapat
indikasi tindak pidana di bidang perpajakan.

Dalam pelaksanaan hasil Kesepakatan Harga Transfer, Wajib Pajak


wajib menyampaikan laporan tahunan (annual compliance report)
yang menggambarkan kesesuaian pelaksanaan Kesepakatan Harga
Transfer dalam kegiatan atau usaha Wajib Pajak kepada Kepala KPP
Domisili paling lambat 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. Yang
didalamnya memuat:
1. kepatuhan Wajib Pajak menerapkan metode Penentuan Harga
Transfer dalam transaksi yang dicakup dalam Kesepakatan Harga
Transfer;
2. penjelasan rinci mengenai keakuratan dan konsistensi penerapan
metode Penentuan Harga Transfer; dan
3. penjelasan rinci mengenai keakuratan faktor-faktor yang
mempengaruhi (critical assumptions) penerapan metode
Penentuan Harga Transfer.
“Unlike some other kinds of legislation, tax laws are not
enacted for the ages, but for the special exigencies of a
particular time and discrete circumstances. Change in
the tax laws is a way of life.”

- Feldman v. Commissioner, 791 F.2d 781 (9th Cir. 1986)


Kumpulan
Pertanyaan
1. Bagaimana pengenaan pajak berganda pada transaksi
internasional dapat terjadi?
7
Pengenaan pajak berganda timbul akibat pengenaan pajak oleh
lebih dari satu Negara terhadap Wajib Pajak yang sama dan atas
objek pajak yang sama pada periode waktu tertentu. Pengenaan
pajak berganda tersebut dapat terjadi pada kondisi sebagai
berikut:
1. Negara A mengenakan pajak pada penduduknya atas
penghasilan yang berasal dari Negara B, sementara atas
penghasilan yang sama Negara B mengenakan pajak karena
bersumber di negara tersebut.
2. Negara A dan Negara B mengenakan pajak atas suatu
penghasilan, karena masing-masing negara mengklaim
bahwa penghasilan tersebut bersumber di negaranya.
3. Negara A dan Negara B mengenakan pajak terhadap seorang
Wajib Pajak, karena masing-masing negara mengklaim
sebagai penduduk di negaranya.

2. Secara umum apa yang dimaksud PPh Pasal 26?


Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/
dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang
diterima atau diperoleh Subjek Pajak Luar Negeri selain Bentuk
Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Bentuk Usaha Tetap merupakan
Subjek Pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan
Subjek Pajak badan.

3. Siapa Pemotong PPh Pasal 26?


Badan pemerintah, Subjek Pajak Dalam Negeri, penyelenggara
kegiatan, Bentuk Usaha Tetap (BUT), atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya.
78 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

4. Pada tanggal 1 Juni 2014, Tuan A yang merupakan Wajib


Pajak dalam negeri Indonesia meninggalkan Indonesia untuk
bekerja di luar negeri. Selama bekerja di luar negeri Tuan A
tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia. Bagaimana
status tuan A sebagai Wajib Pajak dalam negeri Indonesia pada
tahun 2014, dan bagaimana pemajakan atas penghasilan yang
diterima di luar negeri?
Tuan A masih merupakan subjek pajak dalam negeri Indonesia
sepanjang yang bersangkutan masih memiliki tempat tinggal
tetap di Indonesia dan sebaliknya belum memiliki tempat tinggal
resmi di luar negeri, hal ini ditunjukan dengan adanya salah satu
dokumen tanda pengenal resmi yang masih berlaku sebagai
penduduk di luar negeri. Dalam hal tuan A masih merupakan
subjek pajak dalam negeri Indonesia, maka atas penghasilan yang
diperoleh Tuan A di luar negeri dikenakan pajak di Indonesia.
Dalam hal terdapat P3B, maka penentuan status subjek pajak tuan
A dapat ditentuan berdasarkan ketentuan mengenai penduduk
(residence) dalam P3B antara Indonesia dengan Negara tersebut.

Ref. Peraturan Direktur Dirjen Pajak PER- 43/PJ/2011 tentang


Penetapan Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar
Negeri

5. Untuk orang pribadi yang berkewarganegaraan asing (WNA)


namun bertempat tinggal di Indonesia dalam jangka waktu
lebih dari 183 hari dalam 12 bulan kemudian WNA tersebut
sudah memiliki NPWP dan bukan merupakan BUT, apakah
memungkinkan untuk WNA tersebut dapat dikategorikan sebagai
Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dan dapat memperoleh Surat
Keterangan Domisili (SKD) dari Indonesia apabila dia mendapat
penghasilan lain dari negara selain Indonesia?
WNA yang telah memenuhi syarat sebagai Subjek Pajak Dalam
Negeri sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) UU PPh dan telah memiliki
NPWP, dapat mengajukan permohonan penerbitan SKD sepanjang
permohonan yang diajukan tersebut telah memenuhi ketentuan
dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-35/PJ/2010.
Kumpulan Pertanyaan 79

Ref. Peraturan Direktur Dirjen Pajak PER- 43/PJ/2011 tentang


Penetapan Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar
Negeri

6. X co. sebuah perusahaan di Negara S menjual mesin


produksinya kepada PT ABC di Indonesia. Untuk membantu
PT ABC mengoperasikan mesin tersebut didirikan BUT X co. di
Indonesia. PT ABC membayar fee kepada BUT X Co. atas jasa
asistensi pengoperasian mesin produksi tersebut. Karena atas
pembelian mesin tersebut termasuk desain layout produksi, PT
ABC membayar royalti kepada X Co. Selain kepada PT ABC, X
Co. juga memperoleh fee dari PT MNO yang berasal dari jasa
asistensi atas pengoperasian mesin produksi X Co. Diketahui
bahwa PT MNO juga membayar royalty kepada X Co. atas
penggunaan mesin tersebut. Penghasilan apa yang menjadi
objek pajak dari BUT X Co.?
Berdasarkan UU PPh, yang menjadi objek pajak BUT X Co. adalah:
1. Fee yang diterima BUT X Co. dari PT ABC atas jasa asistensi
penggunaan mesin (Pasal 5 ayat (1) huruf a)
2. Fee yang diterima X Co. atas jasa asistensi dari PT MNO (Pasal
5 ayat (1) huruf b)
3. Royalti yang dibayarkan oleh PT ABC kepada X Co. (Pasal 5
ayat (1) huruf c)
Dalam hal Indonesia dan Negara S mempunyai P3B, maka
penentuan objek pajak BUT X Co. dapat ditentukan berdasarkan
ketentuan mengenai bentuk usaha tetap dalam P3B dimaksud.

Ref. Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 7


Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008

7. Penentuan BUT menggunakan time test dilihat berdasarkan


keadaan fisik yang sebenarnya atau berdasarkan kontrak?
BUT adalah suatu sarana bagi non-resident taxpayer untuk
melakukan usaha di Negara lain. Secara umum BUT dibagi
menjadi tiga, yaitu BUT asset, BUT aktivitas, dan BUT keagenan.
80 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Dalam hal terdapat BUT yang bersifat asset seperti cabang,


kantor, tempat kedudukan manajemen, atau pabrik maka asset
tersebut akan menjadi BUT tanpa memperhitungkan adanya time
test. Hal tersebut juga berlaku atas BUT yang bersifat keagenan,
ketika aktifitas keagenan sebagaimana yang dimaksud Article 5
Paragraph (5) UN Model Double Taxation Convention maka akan
timbul BUT. Time test berlaku untuk BUT yang bersifat aktivitas
sebagaimana diatur dalam Article 5 Paragraph (3) UN Model/
OECD Model Double Taxation Convention, dengan memperhatikan
fakta yang sebenarnya.

Ref. Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983


tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008

8. WPDN memiliki kontrak dengan perusahaan Singapura.


Perusahaan Singapura memberikan jasa melalui karyawannya
dalam 2 kontrak tetapi berganti-ganti orang. Pertanyaannya
apakah penentuan BUT 90 hari itu dihitung berdasarkan kontrak
atau berdasarkan masing-masing orang?
Penentuan timbulnya BUT harus dilihat dari jasa yang dikerjakan
oleh perusahaan Singapura tersebut. Sesuai dengan Pasal 5
P3B RI-Singapura terdapat dua jenis BUT aktivitas, yaitu jasa
konstruksi, instalasi dan perakitan dengan time test 183 hari;
dan kegiatan jasa (furnishing of services) dengan time test 90
hari. Pergantian orang yang melakukan jasa tidak memengaruhi
penghitungan time test yang dilakukan sepanjang perusahaan
di Singapura yang sama memberikan jasa kepada perusahaan
di Indonesia maka time test dimulai saat perusahaan tersebut
pertama kali memberikan jasa di Indonesia.

Ref. Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983


tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008
Kumpulan Pertanyaan 81

9. Bagaimana pemotongan PPh atas penghasilan yang dibayarkan


kepada kantor cabang (BUT) Wajib Pajak luar negeri yang berada
di negara yang berbeda dengan negara tempat kedudukan
kantor pusatnya?
Pemotongan atas penghasilan tersebut mengacu pada SKD (form
DGT-1 atau form DGT-2) yang diterbitkan otoritas perpajakan
dimana kantor pusatnya berkedudukan, sehingga memudahkan
pemotong/pemungut mengidentifikasi residensi WPLN yang
menerima penghasilan dan memudahkan menentukan P3B yang
relevan untuk diterapkan.

10. PT IAB membayar bunga atas pinjaman kepada cabang Bank


RNI di Singapura. Bank RNI merupakan bank yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia. Apakah pembayaran bunga
tersebut dipotong PPh Pasal 26?
Bank RNI cabang Singapura bukan merupakan entitas yang
terpisah dengan PT Bank RNI yang merupakan subjek pajak
dalam negeri Indonesia. Sehingga Bank RNI cabang Singapura
tidak termasuk sebagai penduduk (residence) Singapura. Atas
pembayaran bunga yang bersumber dari Indonesia kepada Bank
RNI cabang Singapura merupakan objek PPh Pasal 23, namun
atas pembayaran tersebut dibebaskan dari pemotongan PPh Pasal
23 karena penghasilan bunga tersebut dibayarkan atau terutang
kepada bank sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (4) huruf a
UU PPh.

11. Apakah kegiatan usaha yang dilakukan melalui website


internet dimana website tersebut terdapat di luar negeri dapat
menimbulkan bentuk usaha tetap?
Website internet belum menunjukan suatu tempat yang dapat
didefinisikan sebagai tempat usaha tetap (fixed place of business)
yang dapat berupa tempat tertentu, mesin atau peralatan,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai bentuk usaha
tetap (permanent establishment) dalam P3B. Penggunaan website
internet tidak menimbulkan bentuk usaha tetap.
82 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Ref. Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983


tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008

12. Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) memiliki 20% saham PT. A
(Wajib Pajak Badan Dalam Negeri) kemudian WPLN tersebut
menjual semua saham yang dimilikinya kepada WPLN lainnya,
transaksi penjualan saham ini terjadi di luar negeri, apakah atas
transaksi ini terutang PPh di Indonesia?
Penghasilan yang diterima atas pengalihan saham di Indonesia
dikenakan PPh sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto,
sesuai dengan Pasal 26 ayat (2) UU PPh dan KMK-434/
KMK.04/1999 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal
26 atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak
Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap atas Penghasilan Berupa
Keuntungan dari Penjualan Saham. Dalam hal terdapat P3B, maka
hak pemajakannya berdasarkan ketentuan P3B yang berlaku,
dan tata cara penerapan P3B diatur dalam PER-61/PJ/2009
sebagaimana telah diubah dengan PER-24/PJ/2010 tentang Tata
Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.

13. Houston Co., perusahaan yang berdomisili Australia, memiliki


50% saham PT FMN yang sebagian besar asetnya berupa aktiva
tetap. Pada tahun 2014, Houston Co. menjual kepemilikan
sahamnya kepada Phoenix Co. yang juga merupakan perusahaan
Australia sebesar 25% dan sisanya sebesar 25% dijual kepada
PT SPH, yang berdomisili di Indonesia. Bagaimana pemajakan
terhadap transaksi penjualan tersebut?
Berdasarkan Pasal 13 ayat (4) P3B Indonesia – Australia, hak
pemajakan atas transaksi pengalihan saham perusahaan yang
asetnya sebagian besar berupa aktiva tetap, berada pada negara
dimana aktiva tetap tersebut berada. Sehingga terhadap transaksi
yang pertama, yaitu penjualan kepada Phoenix Co., penghasilan
dari penjualan saham tersebut terutang pajak PPh Pasal 26
final sebesar 5% dari harga jual, yang dipotong, disetorkan dan
dilaporkan oleh PT FMN. Sementara atas transaksi yang kedua,
Kumpulan Pertanyaan 83

yaitu penjualan kepada PT SPH, atas penghasilan yang diterima


Houston Co. dipotong PPh pasal 26 final sebesar 5% dari harga jual
oleh PT SPH. PT SPH juga berkewajiban menyetor dan melaporkan
PPh Pasal 26 atas transaksi tersebut.

Ref. Keputusan Menteri Keuangan KMK-434/KMK.04/1999


tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas
Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar
Negeri selain Bentuk Usaha Tetap atas Penghasilan Berupa
Keuntungan dari Penjualan Saham

14. Penjualan saham di bursa efek oleh penjual yang berstatus


Warga Negara Asing, apakah dilakukan pemotongan PPh Pasal
26?
Saham yang diperjualbelikan di bursa efek sudah dikenakan PPh
final Pasal 4 ayat (2) berdasarkan PP No.14 Tahun 1997 dan KMK-
282/KMK.04/1997.

15. Perusahaan asuransi di Indonesia melakukan reasuransi di


Singapura, dalam reasuransi ini dia menggunakan broker
Singapura. Seluruh pembayaran dilakukan kepada broker, bukan
kepada pihak tempat dia melakukan reasuransi Pihak manakah
(pihak broker atau tempat reasuransi) yang harus mengisi form
DGT nya?
Pihak yang harus mengisi DGT untuk dapat menerapkan P3B
adalah pihak yang menandatangani kontrak dengan perusahaan
asuransi di Indonesia. Jika pembayaran seluruhnya dilakukan
kepada broker, maka brokerlah yang harus mengisi form DGT nya,
namun biasanya broker hanya bertindak sebagai perantara. Tetapi
jika ada pembayaran kepada pihak broker dan juga pembayaran
kepada perusahaan reasuransi, maka yang mengisi DGT adalah
broker dan juga perusahaan reasuransi. Sehingga dalam kasus ini
harus diperhatikan terlebih dahulu posisi broker nya.

16. PT. A mengadakan kontrak hedging atas komoditas minyak


dengan pihak bank di Singapura. Atas transaksi lindung nilai ini
sudah dibayarkan preminya, Bagaimana perlakuan perpajakan
84 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

atas transaksi ini?


Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya merupakan objek
pemotongan PPh Pasal 26 ayat (1) huruf g UU PPh. Jika pihak
Singapura dapat menyerahkan form DGT, maka harus dilihat
ketentuan tentang business profit dalam P3B RI- Singapura.

17. BUT WXY adalah perusahaan yang berkantor pusat di British


Virgin Island; dan usaha BUT WXY adalah persewaan pesawat
terbang (carter) kepada WP di Indonesia. Atas penghasilan yang
diperoleh dari persewaan tersebut telah dipotong PPh pasal 15
sebesar 2,64%. Apakah BUT WXY masih harus menyetorkan
PPh pasal 26 ayat (4) atas branch profit tax?
Besarnya Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Perusahaan
Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri sebesar 2,64% (dua
koma enam puluh empat persen) dari peredaran bruto bersifat
final dan Tarif Pajak Penghasilan sebasar 2,64 tersebut sudah
termasuk pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4).

Ref. Keputusan Menteri Keuangan KMK-417/KMK.04/1996 Norma


Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak
Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri

18. PT RST menggunakan jasa pengangkutan kapal laut dari


perusahaan pelayaran di Singapura, MBS Pte. Ltd., untuk
mengangkut bahan baku produksi dari Jakarta ke Singapura.
Pengoperasian kapal tetap dilakukan oleh MBS Pte. Ltd.
Bagaimana pemajakan atas pembayaran dari PT RST kepada
MBS Pte. Ltd.?
Atas pembayaran dari PT RST kepada MBS Pte. Ltd. di potong PPh
Pasal 15 UU PPh dengan memperhatikan ketentuan mengenai
pelayaran dan penerbangan internasional dalam P3B Indonesia -
Singapura, apabila MBS Pte. Ltd menjalankan usaha melalui BUT
di Indonesia atau melalui agen di Indonesia yang kedudukannya
tidak bebas.
Dalam hal MBS Pte. Ltd. tidak menjalankan usaha melalui BUT
atau melalui agen yang keudukannya tidak bebas, pemajakan
terhadap imbalan tersebut berdasarkan Pasal 26 ayat (1) UU PPh.
Kumpulan Pertanyaan 85

Ref. Keputusan Menteri Keuangan KMK-417/KMK.04/1996 Norma


Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak
Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri

19. A Co., Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) dari negara A mendirikan
kantor perwakilan dagang (representative office/KPA) di
Indonesia; dan A Co. mengekspor/menjual produknya di pasar
Indonesia. Atas penjualan tersebut, bagaimana pemajakan PPh
terhadap KPA A Co. di Indonesia?
Pemajakan terhadap WPLN yang mempunyai kantor perwakilan
dagang di Indonesia mengacu pada KMK-634/KMK.04/1994.
Atas penghasilan neto ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari
nilai ekspor bruto, dan pelunasan Pajak Penghasilan bagi Wajib
Pajak Luar Negeri tersebut adalah sebesar 0,44% (empat puluh
empat per seribu) dari nilai ekspor bruto.

20. A Co. sebagaimana kondisi pada soal nomor 1, dimana KPA dari
A Co. tidak melakukan kegiatan penjualan di Indonesia namun
hanya sebagai pihak yang memberikan informasi tentang produk
yang akan dijual A Co. di Indonesia. Indonesia dan Negara A
mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
Bagaimana pemajakan PPh terhadap KPA A Co.?
Pemajakan terhadap A Co. apabila berasal dari negera atau
yurisdiksi mitra P3B, pelaksanaan ketentuan Undang-Undang PP
harus memperhatikan ketentuan tentang penentuan bentuk usaha
tetap dan pemajakan atas penghasilan usaha (business profit)
pada P3B terkait. Dalam hal kegiatan KPA A Co. termasuk dalam
kegiatan yang dikecualikan sebagai bentuk usaha tetap, maka
KPA A Co. bukan merupakan subjek pajak dan tidak dikenakan
pajak atas penjualan/ekspor A Co. di Indonesia.

Ref. • Keputusan Menteri Keuangan KMK-634/KMK.04/1994


tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto
Bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang Mempunyai Kantor
Perwakilan Dagang di Indonesia
• Pasal 5 ayat (4) Persetujuan Penghindaran pajak
berganda (P3B) OECD Model
86 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

21. Bagaimana jika tarif pemotongan/pemungutan pajak atas


bunga atau royalti dalam P3B lebih besar dibandingkan dengan
tarif menurut ketentuan domestik?
Tarif dalam P3B bukan dimaksudkan untuk mengatur tarif
pemajakan sebagaimana dalam ketentuan domestik (UU PPh), P3B
hanya membagi hak pemajakan antara negara yang melakukan
perjanjian. Dalam hal tarif yang diatur dalam P3B lebih tinggi,
maka ketentuan domestik yang berlaku.

22. Mr. FN adalah seorang warga negara Australia. Pada tahun


2013 ia menikah dengan seorang warga negara Indonesia
dan dikarunia seorang anak. Ia membeli sebuah apartemen di
Indonesia untuk keluarganya tinggal. Seluruh penghasilannya
diperoleh dari Australia. Dalam tahun 2013 ia berada di
Indonesia selama 120 hari, selebihnya Mr. FN tinggal di Australia.
Bagaimana status subjek pajak Mr. FN di Indonesia pada tahun
2013?
Mr. FN dapat ditetapkan sebagai subjek pajak dalam negeri
Indonesia, dengan mempertimbangkan bahwa Mr. FN berada di
Indonesia pada suatu waktu dan mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia.
Dalam hal pemerintah Australia juga mengklaim bahwa Mr. FN
merupakan subjek pajak dalam negeri Australia, maka penentuan
subjek pajak dilakukan berdasarkan ketentuan mengenai
penduduk (residence) dalam P3B Indonesia-Australia dengan
memperhatikan klausul tie-breaker rules. Dalam P3B Indonesia-
Australia diatur bahwa apabila seorang merupakan penduduk di
kedua Negara, maka statusnya akan ditentukan sebagai berikut:
1. orang tersebut akan dianggap sebagal penduduk Negara
di mana ia mempunyai tempat tinggal tetap yang tersedia
baginya;
2. apabila Ia mempunyai tempat tinggal tetap yang tersedia
baginya di kedua Negara atau tidak mempunyai tempat tinggal
tetap dikedua negara, ia akan dianggap sebagai penduduk di
salah satu negara di mana ia menurut kebiasaannya berdiam;
3. apabila ia mempunyai kebiasaan berdiam di kedua Negara
atau tidak mempunyai tempat dimana ia biasanya berdiam, ia
Kumpulan Pertanyaan 87

akan dianggap sebagai Penduduk dalam negeri dari Negara


dimana ia mempunyai hubungan pribadi dan hubungan
ekonomi yang lebih erat.

Ref. • Peraturan Direktur Dirjen Pajak PER-43/PJ/2011 tentang


Penetapan Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak
Luar Negeri
• Pasal 4 tentang Penduduk (Residence) P3B Indonesia –
Australia

23. PT. A bergerak di bidang usaha pelayaran di jalur internasional.


Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di kapal, PT. A
memanfaatkan jasa outsourcing tenaga kerja dari perusahaan
di Singapura, sebut saja X. Ltd. Atas jasa yang diberikannya,
X Ltd memberikan tagihan kepada PT A dengan rincian gaji
tenaga kerja dan fee. Bagaimana perlakuan PPh atas biaya gaji
dan fee nya?
Jika tagihan atas fee dan gaji digabung, dan perusahaan
outsourcing di Singapura dapat menyerahkan SKD (form DGT)
maka harus dilihat ketentuan mengenai business profit (Article
7 P3B RI-Singapura). Jika perusahaan outsourcing tersebut
tidak memiliki BUT di Indonesia, maka Indonesia tidak memiliki
hak pemajakan atas semua tagihan. Dalam hal gaji tenaga kerja
dibayarkan dan ditanggung PT A (terpisah dari fee) maka harus
memerhatikan ketentuan tentang dependent personal service
dalam P3B RI- Singapura.

24. PT X menyewa barang bergerak berupa mesin dari perusahaan


di Singapura, dimana perusahaan di Singapura tersebut
mempunyai main business bukan di bidang sewa menyewa
mesin, tetapi di bidang perdagangan, bagaimana perlakuan
PPh atas sewa mesin tersebut?
Untuk penghasilan yang diterima oleh perusahaan di Singapura,
jika menggunakan ketentuan yang terdapat dalam P3B maka akan
menggunakan ketentuan Pasal 5 tentang Bentuk Usaha Tetap
(BUT) dan Pasal 7 tentang business profit.
88 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

25. PT QRS melakukan pembelian jasa di luar negeri berupa jasa


engineering kepada BHP Inc. yang berkedudukan di Kanada.
Pelaksanaan jasa engineering tersebut dilakukan di Kanada.
Apakah atas pembayaran jasa kepada BHP Inc. terutang pajak
di Indonesia?
Pembayaran kepada BHP Inc. terutang pajak di Kanada sepanjang
transaksi yang terjadi adalah penyerahan jasa oleh BHP Inc. yang
berkedudukan di Kanada dan jasa tersebut tidak dilakukan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.

26. PT DEF membayar bunga atas pinjaman kepada Bank JNB yang
berkedudukan di Jepang. Bank JNB tidak mempunyai kantor
cabang (BUT) yang didirikan di Indonesia. Atas pembayaran
bunga tersebut, apakah PT DEF mengacu pada ketentuan
tentang laba usaha (business profit) atau ketentuan mengenai
bunga (interest) dalam P3B Indonesia-Jepang?
Dalam Pasal 7 ayat (7) P3B Indonesia-Jepang disebutkan bahwa
jika dalam jumlah laba usaha termasuk unsur-unsur pendapatan
yang diatur secara tersendiri oleh pasal-pasal lain dari Persetujuan
ini, maka ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal itu tidak akan
terpengaruh oleh ketentuan-ketentuan dalam pasal ini.
Walaupun pembayaran bunga tersebut merupakan laba usaha
(business profit) Bank JNB, PT DEF dalam kasus ini mengacu pada
Pasal 11 tentang bunga (interest) dalam P3B Indonesia-Jepang.

27. PT XD bergerak di bidang Teknologi Informasi dimana salah satu


jenis usahanya adalah melakukan distribusi/penjualan software
berlisensi. PT XD tidak memiliki hak/kuasa dari pemilik Hak Cipta
untuk dapat menggandakan dan/atau menggunakan secara
komersil terhadap software berlisensi tersebut. Atas kegiatan
penjualan software berlisensi tersebut, apakah merupakan
objek pemotongan PPh Pasal 23 atas royalty?
Atas kegiatan penjualan software berlisensi sepanjang disertai
dengan pemberian hak untuk menggunakan Hak Cipta, dan/atau
pemberian lisensi dari pemegang Hak Cipta maka atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan penjualan
software tersebut termasuk dalam pengertian penghasilan
Kumpulan Pertanyaan 89

berupa royalti yang dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% (lima


belas persen).
Atas transaksi penjualan software dari PT XD kepada reseller
maupun kepada pemakai akhir (end-user), dalam hal royalti atas
penggunaan atau hak menggunakan Hak Cipta atas software
dimaksud sudah dibayarkan kepada pemegang Hak Cipta, maka
atas penjualan berikutnya tidak terdapat kewajiban pemotongan
PPh atas royalti. Penghasilan yang diterima atas penjualan
software tersebut merupakan objek pajak yang harus dilaporkan
dalam SPT PPh.

Ref. • Pasal 4 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun


1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008
• Pasal 12 tentang Royalti Persetujuan Penghindaran
pajak berganda (P3B) OECD Model

28. Mr. J, Warga Negara Amerika Serikat, dikirim oleh perusahaannya


XYZ Co. yang merupakan subjek Pajak dalam negeri Amerika
Serikat, untuk bekerja di BUT XYZ di Indonesia. Selama bekerja
di BUT XYZ, gaji dan remunerasi Mr. J dibayarkan oleh XYZ
Co. (Amerika Serikat). Terdapat P3B antara Indonesia dengan
Amerika Serikat dan Indonesia dengan China. Bagaimana
kewajiban perpajakan BUT XYZ terhadap Mr. J?
Dalam P3B Indonesia – Amerika Serikat, ketentuan mengenai
pekerjaan dalam hubungan kerja (dependent personal services)
mengatur bahwa penghasilan yang diperoleh penduduk suatu
Negara dalam suatu hubungan kerja yang dilakukan di Negara
lainnya, hanya akan dikenakan pajak di Negara yang disebut
pertama, apabila memenuhi kondisi sebagai berikut:
1. penerima penghasilan berada di Negara lainnya tersebut
dalam suatu masa atau masa-masa yang jumlahnya tidak
melebihi 183 hari dalam tahun pajak bersangkutan; dan
2. penghasilan tersebut dibayarkan oleh, atau atas nama majikan
yang bukan merupakan penduduk Negara lain tersebut; dan
3. penghasilan tersebut tidak menjadi beban bentuk usaha tetap
90 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

atau tempat tetap yang dimiliki oleh majikan itu di Negara lain
tersebut.
Apabila salah satu atau lebih dari kondisi tersebut tidak terpenuhi,
hak pemajakan atas penghasilan Mr. J berada di Indonesia dan
BUT XYZ wajib memotong pajak atas penghasilan yang diterima
oleh Mr.J, dan menyetor serta melaporkan sesuai ketentuan
perpajakan yang berlaku.

Ref. Pasal 16 tentang pekerjaan dalam hubungan kerja (dependent


personal services) P3B Indonesia – Amerika Serikat

29. Mr. CR, warga Negara Australia, dikontrak oleh PT MFG untuk
memberikan konsultasi terkait profesinya sebagai ahli hukum/
lawyer. Mr CR pada tahun 2013 berada di Indonesia selama
150 hari. Bagaimana pemotongan pajak yang harus dilakukan
oleh PT MFG?
Menurut P3B Indonesia-Australia, karena keberadaan Mr. CR di
Indonesia telah melewati 120 hari, maka hak pemajakan terhadap
fee yang dibayarkan oleh PT MFG kepada Mr. CR berada di
Indonesia. PT MFG memotong PPh Pasal 26 atas penghasilan
yang diterima Mr. CR.

Ref. Pasal 16 tentang pekerjaan bebas (independent personal


services) P3B Indonesia – Australia

30. Di dalam Pasal 7 PER-35/PJ./2010 disebutkan masa berlaku


dari SKD yang diterbitkan oleh KPP Domisili adalah 1 (satu)
tahun, tetapi untuk Wajib Pajak bank hanya disebutkan seperti
ini: “kecuali bagi Wajib Pajak bank sepanjang Wajib Pajak bank
tersebut mempunyai alamat yang sama dengan SKD yang telah
diterbitkan.” Apakah ini berarti, jika Wajib Pajak bank tidak ada
perubahan alamat, maka tidak ada batasan untuk masa berlaku
SKD nya (bisa lebih dari 1 (satu) tahun dan tidak perlu meminta
SKD kembali, jika tidak ada perubahan alamat)?
SKD yang diterbitkan oleh KPP Domisili kepada Wajib Pajak bank,
memiliki masa berlaku seterusnya sejak tanggal SKD tersebut
diterbitkan, sepanjang Wajib Pajak bank tersebut masih berdomisili
Kumpulan Pertanyaan 91

pada alamat sebagaimana tercantum pada SKD tersebut.

31. Atas lembaga yang disebutkan dalam perjanjian P3B atau


yang selanjutnya disepakati oleh pejabat yang berwenang dari
masing-masing Negara Mitra, apakah masih perlu melampirkan
SKD?
Tidak perlu.

32. Dapatkah SKD digunakan sebagai dokumen pelengkap


permohonan restitusi PPh pasal 26 sehubungan dengan
penerapan ketentuan P3B?
Tidak, dokumen yang diperlukan dalam permohonan pengajuan
restitusi PPh pasal 26 sehubungan dengan penerapan ketentuan
P3B adalah Surat Keterangan Tarif (SKT) dan Surat Keterangan
Bebas (SKB). Apabila Wajib Pajak tidak melampirkan SKT & SKB,
Wajib Pajak dapat melampirkan surat keterangan dari pejabat
yang berwenang yang ditunjuk oleh Negara Mitra yang isinya
menerangkan bahwa pihak yang menerima atau memperoleh
penghasilan tersebut saat penghasilan diterima adalah Wajib
Pajak Dalam Negeri Negara Mitra bersangkutan.

33. Bagaimana apabila Pejabat yang berwenang Negara Mitra


menolak untuk mengesahkan Form-DGT 1 dan Form-DGT 2?
berdasarkan persetujuan pemerintah Indonesia dengan Negara
Mitra, SKD atau surat surat keterangan lain serupa yang
diterbitkan oleh pejabat yang berwenang Negara Mitra dapat
menjadi pengganti sertifikasi dalam Form-DGT 1 dan Form-DGT 2.
Dimana surat keterangan tersebut menggunakan bahasa inggris,
menerangkan bahwa WPLN bersangkutan adalah Wajib Pajak di
Negara Mitra, dan diterbitkan sesuai dengan kelaziman di Negara
tempat WPLN berkedudukan.

34. Bagaimana agar Wajib Pajak luar negeri yang tidak terdaftar di
pasar modal dapat memperoleh manfaat P3B dalam pengisian
Form DGT-1?
Pada Form-DGT 1 Part V “To be Completed if the Income
Recipient is Non Individual”, dalam hal WPLN menjawab “No”
92 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

untuk pertanyaan pada butir 6, WPLN tetap diperkenankan untuk


menerapkan ketentuan dalam P3B, sepanjang jawaban pada butir
7 sampai dengan butir 12 dijawab “Yes”. Hal ini dimaksudkan
agar ketentuan dalam P3B dapat diterapkan bukan hanya kepada
WPLN yang mendaftarkan sahamnya di pasar modal, namun juga
kepada perusahaan yang secara substantif merupakan pemilik
manfaat yang sebenarnya atas penghasilan tersebut.

35. Apakah SKD yang diterbitkan berlaku sejak tanggal 1 bulan


tersebut?
Masa berlakunya SKD dipertimbangkan mengikuti masa
penyampaian SPT masa. Sebagai contoh atas SKD yang diterbitkan
pada tanggal 8 Februari 2013, SKD tersebut dapat diterapkan
untuk penghasilan yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 2013.
Sedangkan atas penerbitan SKD tanggal 23 Februari 2013, SKD
dapat diterapkan atas penghasilan yang diperoleh sejak tanggal 1
Februari 2013.

36. Bagaimana perlakuan atas WPLN yang terlambat melampirkan


SKD dari negaranya?
Bagi WPLN yang tidak dapat memenuhi persyaratan administratif,
WPLN akan diperlakukan sama dengan WP dalam negeri Indonesia
dan Pemotong/Pemungut Pajak wajib mengenakan pajak
sesuai peraturan PPh yang berlaku. Bagi WPLN yang terlambat
melampirkan SKD, maka dapat mengajukan pengembalian
(refund) atas pajak yang tidak seharusnya dipotong/dipungut
sesuai ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 10/PMK.03/2013 atau melalui MAP.

37. Dalam rangka memperoleh data/informasi terkait pemeriksaan


terhadap Wajib Pajak atas transaksi yang terjadi di luar negeri,
Pemeriksa pajak di KPP berniat meminta informasi, salah
satunya kepada otoritas perpajakan Swiss. Bagaimana prosedur
permintaan informasi tersebut?
P3B antara Pemerintah Indonesia dan Swiss tidak memuat klausul
mengenai pertukaran informasi (Exchange of Information),
sehingga otoritas perpajakan Indonesia (DJP) tidak dapat meminta
Kumpulan Pertanyaan 93

informasi sebagaimana biasanya dalam rangka pertukaran


informasi.
Dalam hal dapat diindikasikan terjadinya penghindaran pajak,
maka DJP dapat meminta informasi dimaksud melalui proses
Mutual Agreement Procedure.

Ref. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor


60/PMK.03/2014 Tentang Tata Cara Pertukaran Informasi
(Exchange Of Information)

38. PT JKL mendirikan anak perusahaan (Cayman JKL Co.) yang


dimiliki 100% di Cayman Island untuk menampung penghasilan
dari luar negeri. Di negara tersebut tidak terdapat pajak atas
penghasilan dan penghasilan yang dikirim ke luar negeri
(outbound income) tidak dikenakan pajak. Pada tahun 2013,
PT JKL memperoleh penghasilan neto dalam negeri sebesar
1.000, sementara pada tahun yang sama Cayman JKL Co.
memperoleh penghasilan neto sebesar 500. Apabila PT JKL
tidak meminta deviden, berapa beban pajak yang ditanggung
oleh PT JKL pada tahun 2013?
Cayman JKL Co. dapat ditetapkan sebagai Controlled Foreign
Company (CFC), yang didirikan sebagai alat untuk menangguhkan
kewajiban pajak atas penghasilan dari operasi perusahaan
tersebut dengan cara menangguhkan pendistribusian dividen ke
pemegang saham. Penghasilan yang diperoleh Cayman JKL Co.
dapat ditetapkan sebagai dividen yang seharusnya diterima oleh
PT JKL.

Besarnya beban pajak PT JKL Tahun 2013 adalah:


Penghasilan netto dalam negeri 1.000
Penghasilan penetapan dividen LN 500
Penghasilan Kena Pajak 1.500
Tarif Pajak 25%
Pajak terutang 375

Ref. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008


tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Oleh Wajib
94 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Pajak Dalam Negeri Atas Penyertaan Modal Pada Badan


Usaha Di Luar Negeri Selain Badan Usaha Yang Menjual
Sahamnya Di Bursa Efek

39. Berdasarkan kondisi pada pertanyaan nomor 38, dalam hal CFC
didirikan di Singapura (tarif pajak 18%, dan outbound income
dalam bentuk dividen tidak dikenakan pajak). Berapakah beban
pajak yang ditanggung oleh PT JKL pada tahun 2013?
Besarnya beban pajak PT JKL Tahun 2013 adalah:
Penghasilan netto dalam negeri 1.000
Penghasilan penetapan dividen LN 410
Penghasilan Kena Pajak 1.410
Tarif Pajak 25%
Pajak terutang 352,5

Ref. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008


tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Oleh Wajib
Pajak Dalam Negeri Atas Penyertaan Modal Pada Badan
Usaha Di Luar Negeri Selain Badan Usaha Yang Menjual
Sahamnya Di Bursa Efek

40. Bagaimana sebuah perusahaan disebut melakukan thinly


capitalized? Apa tujuan sebuah perusahaan melakukan thinly
capitalized tersebut?
Suatu perusahaan disebut thinly capitalized apabila terdapat
perbandingan yang tinggi antara modal hutang (debt capital)
dan modal ekuitas (equity capital). Tujuan dari thin capitalization
adalah untuk memperoleh tingkat penghasilan kena pajak yang
rendah karena adanya tambahan beban bunga hutang/pinjaman,
sehinga beban pajak yang ditanggung sebuah perusahaan menjadi
lebih kecil.

41. Bagaimana transfer pricing digunakan sebagai sarana


penghindaran atau pengelakan pajak?
Dalam suatu transaksi bisnis, harga yang dikenakan oleh salah satu
perusahaan di Negara A ke perusahaan lain di Negara B tercermin
dalam laba-rugi dari kedua perusahaan, baik sebagai penghasilan
Kumpulan Pertanyaan 95

atau pengeluaran. Dengan demikian harga yang dikenakan juga


berdampak pada pajak yang dibayarkan oleh kedua perusahaan
tersebut.
Dengan beralih ke harga transfer, perusahaan-perusahaan yang
terafiliasi dapat mengurangi beban pajak secara global dengan
mentransfer pendapatan yang lebih tinggi untuk yurisdiksi pajak
rendah atau pengeluaran yang lebih besar untuk yurisdiksi di
mana tarif pajak sangat tinggi.

Sebagai contoh, tarif pajak yang berlaku bagi perusahaan Wajib


Pajak dalam negeri di Indonesia adalah 25 persen. Perusahaan A
terletak di Indonesia dan Perusahaan B di Negara XYZ. Perusahaan
A dan Perusahaan B merupakan perusahaan yang terafiliasi atau
memiliki hubungan istimewa. Jika tarif pajak di Negara XYZ adalah
15 persen, maka Perusahaan B akan mentransfer bahan baku
untuk Perusahaan A dengan harga sedikit lebih tinggi. Hal ini akan
memungkinkan Perusahaan A untuk menunjukkan pengeluaran
yang lebih tinggi dan mengurangi laba fiskal tersebut. Di sisi lain,
pendapatan sedikit lebih tinggi tidak akan merugikan Perusahaan
B sebanyak tarif pajak di negaranya sangat rendah. Dengan
demikian kelompok global secara keseluruhan akan mendapatkan
keuntungan dari penghematan pajak.

42. Apa yang membedakan harga berdasarkan harga pasar (fair


market value) dan arm length’s pricing (ALP) ?

No. Karakteristik Harga Pasar (FMV) Arm Length’s Price


1. Definisi Harga atas barang atau Harga yang ditentukan
jasa yang didapatkan di berdasarkan harga pada
pasar terbuka transaksi independen
2. Mekanisme Tidak terdapat Mekanismenya ditentukan
Penghitungan mekanisme yang spesifik berdasarkan 5 metode
yang telah ditetapkan
3. Nilai Transaksi Setiap titik harga pasar Rata-rata statistik
dapat diperlakukan dari beberapa harga
sebagai FMV yang sebanding dapat
diperlakukan sebagai ALP
96 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

No. Karakteristik Harga Pasar (FMV) Arm Length’s Price


4. Ukuran Sampel Satu pembanding dapat Diperlukan ukuran sampel
Pembanding ditetapkan sebagai FMV pembanding yang lebih
besar untuk menentukan
ALP

Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-32/PJ/2011


Tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-43/PJ/2010 Tentang Penerapan Prinsip Kewajaran
Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak
Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa, 5 metode
yang ditetapkan untuk menetukan Arm Length’s Price adalah:
• Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled
Price/CUP)
• Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM)
• Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method/CPM)
• Metode Pembagian Laba (Profi t Split Method/PSM)
• Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin
Method/TNMM)

43. Apa yang dapat dilakukan Wajib Pajak apabila yang bersangkutan
merasa dibebani pemajakan berganda atau hal lain yang
menyalahi perjanjian P3B?
Atas hal-hal yang diindikasikan melanggar perjanjian P3B,
Wajib Pajak dapat mengajukan permintaan pelaksanaan Mutual
Agreement Procedure (MAP) melalui pejabat yang berwenang di
negaranya untuk melaksanaan persetujuan persama pejabat yang
berwenang Negara Mitra untuk menyelesaikan sengketa tersebut.

Ref. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 48/PJ/2010


Tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan
Bersama (Mutual Agreement Procedure) Berdasarkan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

44. Dalam rangka pengawasan kepatuhan perpajakan, PT ZTE


diperiksa oleh KPP Madya Jakarta Pusat. Berdasarkan hasil
pemeriksaan, terdapat biaya pembelian barang kepada
Kumpulan Pertanyaan 97

induk perusahaan yaitu ZTE co. di Jepang yang dikoreksi


oleh pemeriksa pajak. PT ZTE tidak menyetujui koreksi dalam
pemeriksaan tersebut, apakah PT ZTE dapat mengajukan
Mutual Agreement Procedure (MAP) kepada DJP terkait koreksi
tersebut?
PT ZTE tidak dapat mengajukan permintaan MAP kepada DJP terkait
hasil pemeriksaan oleh KPP Madya Jakarta Pusat. Apabila PT ZTE
tidak menyetujui hasil pemeriksaan, PT ZTE dapat mengajukan
keberatan atas surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan dimaksud
sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku. Sebaliknya ZTE Co.
dapat mengajukan permintaan MAP melalui otoritas perpajakan
Jepang kepada DJP.

Ref. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 48/PJ/2010


Tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan
Bersama (Mutual Agreement Procedure) Berdasarkan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

45. Bpk. Rachmad mempunyai penghasilan dari luar negeri yang


berasal dari persewaan propertinya. Pada tahun 2013, karena
terjadi kerusakan, Bp. Rachmad mengeluarkan banyak biaya
untuk perbaikan sehingga pada tahun 2013 usaha persewaan
propertinya di luar negeri mengalami kerugian. Apakah kerugian
sewa property di luar negeri harus dilaporkan dalam SPT PPh
Tahun 2013? Bp Rachmad tidak menyelenggarakan pembukuan
di Indonesia.
Kerugian di luar negeri tidak dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh.

46. Dalam pasal-pasal P3B antara Indonesia dengan negara mitra


yang mengatur hak pemajakan terkait dengan penghasilan
berupa dividen, bunga dan royalti, terdapat klausul yang
menyebutkan persyaratan beneficial owner. Apa yang dimaksud
dalam ketentuan tersebut?
Dalam P3B terkait dengan hak pemajakan atas penghasilan yang
dibayarkan dari Indonesia ke negara mitra P3B berupa dividen,
bunga dan royalti pada umumnya diatur bahwa Indonesia
memiliki hak pemajakan atas penghasilan tersebut sesuai dengan
98 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

ketentuan domestiknya (PPh Pasal 26 dengan tarif 20%). Akan


tetapi, apabila beneficial owner dari penghasilan tersebut adalah
residen dari negara mitra P3B, maka pajak yang dipotong tidak
boleh melebihi tarif yang disepakati (biasanya 10%).
Ketentuan tersebut bermakna bahwa Indonesia tidak diwajibkan
untuk memberikan manfaat P3B berupa tarif yang lebih rendah
semata-mata karena terdapat penghasilan berupa dividen, bunga
atau royalti yang diterima oleh residen negara mitra P3B. Untuk
dapat memanfaatkan tarif yang lebih rendah dalam P3B, beneficial
owner dari penghasilan tersebutlah yang harus merupakan residen
dari negara mitra P3B.

47. Seringkali dijumpai modus di mana Wajib Pajak Luar Negeri


menggunakan perusahaan antara (conduit company) di negara
yang memiliki P3B dengan Indonesia sebagai perantara untuk
menerima penghasilan dividen, bunga atau royalti dengan
tujuan untuk memanfaatkan P3B antara Indonesia dengan
negara mitra P3B di mana perusahaan conduit tersebut berada.
Apakah atas manfaat P3B yang diterima oleh perusahaan
conduit tersebut dapat dibatalkan dengan alasan perusahaan
conduit tersebut bukan merupakan beneficial owner dari
penghasilan dimaksud?
Secara umum, untuk dapat memanfaatkan tarif yang lebih
rendah dalam P3B untuk penghasilan berupa dividen, bunga dan
royalti, beneficial owner dari penghasilan tersebutlah yang harus
merupakan residen dari negara mitra P3B. Hal ini juga dapat
diterapkan dalam kasus yang melibatkan perusahaan conduit, di
mana terjadi penyalahgunaan P3B sehingga manfaat dalam P3B
tidak dapat diberikan.

48. Bagaimana pasal 9 ayat 1 P3B mengatur pemajakan atas


transaksi dari pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa
yang merupakan penduduk di negara yang berbeda?
pemajakan atas transaksi dari pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa berdasarkan pada prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha (arm’s length principle).
Kumpulan Pertanyaan 99

49. Apakah manfaat yang dapat diperoleh bagi Wajib Pajak dengan
mengajukan Advance Pricing Agreement (APA)?
APA dapat memberikan kepastian harga dan/atau metode
transfer pricing yang akan diadopsi untuk transaksi antar
perusahaan terafiliasi. Selanjutnya, bilateral/multilateral APA juga
menghilangkan risiko potensial pengenaan pajak berganda yang
timbul dari transaksi antar perusahaan terafiliasi. Keuntungan
utama dari APA dapat diringkas sebagai berikut:
• Kepastian sehubungan dengan hasil transaksi antar perusahaan
terafiliasi selama masa APA
• Biaya pelaporan tahunan rendah
• Pengurangan resiko / biaya yang terkait dengan audit dan
banding dalam jangka APA
• Memberikan fleksibilitas dalam mengembangkan pendekatan
praktis untuk kasus transfer pricing yang kompleks.

50. Apakah yang dimaksud dengan asumsi kritis (critical


assumptions) dalam APA?
Asumsi kritis mengacu pada situasi Wajib Pajak terkait fakta dan
kriteria ekonomi makro (seperti industri, bisnis, kondisi ekonomi,
dll), kelangsungan hidup yang bersifat material untuk mendukung
posisi dalam menyimpulkan APA.
Perubahan materi di salah satu asumsi kritis dapat mengakibatkan
revisi APA, atau bahkan terminasi.
“Taxation depends on actual events, not on what might
have happened.”
- J.E. Seagram Corp, f.k.a. Seagold Vineyards Holding Corporation v. Commissioner 104 TC
75 (January 24, 1995)
Lampiran
A. Statistik P3B
8
Tahun Penandatangan
Tahun* Jumlah Keterangan
Negara
<1990 24 -

1991-2000 30 Termasuk Mauritius yang perjanjiannya sudah


tidak berlaku sejak tanggal 1 Januari 2005
2001> 18 Termasuk perjanjian yang belum di ratifikasi yaitu
Armenia, Belarus, Laos, Serbia, Tajikistan,
Zimbabwe.
Keterangan:
* tahun yang dimaksud adalah tahun penandatanganan perjanjian (tidak
menghitung penandatanganan renegosiasi).

Entry into Force


Tahun Jumlah Keterangan
Negara
<1990 16 tahun yang dimaksud adalah tahun saat
berlaku efektif sesuai dengan Surat Edaran
1991-2000 27 Direktur Jenderal Pajak tentang Pemberitahuan
Berlakunya P3B Indonesia Dengan Negara Mitra
2001> 22 Terkait berdasarkan Keputusan Presiden Tentang
Pengesahan P3B Indonesia Dengan Negara Mitra
Tersebut.

Status Ratifikasi & Pemberlakuan, Inisiasi, dan Penghentian


(termination) P3B
Keterangan Jumlah Keterangan
Negara
Telah Diratifikasi dan 65 termasuk Papua Nugini yang berlaku
berlaku efektif efektif mulai Januari 2015
102 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Keterangan Jumlah Keterangan


Negara
Belum diratifikasi dan 6 Armenia, Belarus, Laos, Serbia, Tajikistan,
belum berlaku efektif Zimbabwe
Sedang dalam proses 25 Albania, Azerbaijan, Bahrain, Barbados,
inisiasi pembentukan Cyprus, Boznia Herzegovina, Ekuador,
P3B Estonia, Ethiopia, Georgia, Irak, Ireland,
Kazakhstan, Latvia, Malta, Macedonia,
Moldova, Monaco, Myanmar, Mozambique,
Nigeria, Peru, Senegal, Solomon Island,
Yunani
Terminasi 1 Mauritius

Status inisiasi dan Pemberlakuan Renegosiasi


Keterangan Jumlah Keterangan
Negara
Telah dilakukan 10 Belgia, Kanada, Jerman, Belanda, Swiss,
Renegosiasi Thailand, Inggris, Amerika Serikat, India,
Malaysia
Inisiasi dan sedang 8 Luxemburg, Finlandia, Seychelles,
dalam proses Singapore, Inggris, Jerman, Korea Selatan,
renegosiasi Jepang
Renegosiasi belum 1 India (tahun 2012)
diratifikasi dan berlaku
efektif

Keterangan Khusus – Perjanjian dengan Kerajaan Saudi Arabia


Uraian

Berbeda dengan perjanjian P3B Indonesia dengan negara mitra lainnya, P3B
dengan Kerajaan Saudi Arabia hanya mengatur persetujuan tentang pemajakan
atas angkutan udara di lalu lintas internasional (pasal 8), remunerasi atas
awak pesawat di penerbangan lalu lintas internasional (pasal 15), dan
Mutual Agreement Procedure (pasal 25). Sehingga atas pasal lainnya yang tidak
tercantum dalam perjanjian lainnya tidak disertakan dalam resume ini.
Lampiran 103

Pasal 4 – Resident Tie Breaker (Individual)


Tie Breaker Jumlah Keterangan
Negara
MAP 1 MAP (Mutual Agreement Procedures)
PH (Permanent Home)
PH; COVI; HA; C; MAP 1
COVI (Centre of Vital Interests)
PH; COVI; HA; MAP 39 HA (Habitual Abode)
N (Nationality)
PH; COVI; HA; N; MAP 22
C (Citizenship)
PH; HA; COVI 1

Pasal 4 – Resident Tie Breaker (Persons other than individual)


Tie Breaker Jumlah Keterangan
Negara
MAP 29 MAP (Mutual Agreement Procedures)
POCM (Place of Control and Manage-
POCM; MAP 1 ment)
POEM (Place of Effective Management)
POEM 26
POI (Place of Incorporation)
POEM; MAP 2 POO (Place of where it is organised)

POI 3

POO or POI 1

Pasal 5 – Permanent Establishment (Time Test)


Uraian 90 120 183 3 bln 4 bln 5 bln 6 bln 12 N/A
hari hari hari bln
Tempat kerja & 1 4 9 7 - 1 41 1 -
Konstruksi
Instalasi 1 4 8 9 1 1 38 1 1

Perakitan 1 4 8 9 1 1 37 1 2

Pengawasan 1 3 9 7 - 1 40 1 2
104 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Keterangan

Yang tidak mencantumkan ketentuan time test adalah:


1. Instalasi: Perancis
2. Perakitan: Jerman, Jepang
3. Pengawasan: Australia, Jerman

Uraian Time test Jumlah Keterangan


Negara
Jasa Lainnya 1bln/12bln 1 Yordania

60hr/12bln 1 Maroko

90hr/12bln 2 Singapura, Sri Lanka

Jasa Lainnya 91hr/12bln 7

120hr/12bln 8

183hr/12bln 6 Hong Kong, Iran, Perancis,


Portugal, Syria, Turki
3bln/12bln 24

4bln/12bln 3 Hongaria, Romania, Ukraina

6bln 1 Uni Emirat Arab

6bln/12bln 4 Korea Utara, Qatar, Thailand,


China
6bln/tahun pajak 1 Jepang

Tanpa batas waktu 1 Rusia

Tidak mengatur 5 Jerman, Luxembourg, Paki-


stan, Swiss, Venezuela

Pasal 5 – Permanent Establishment (Exploration)


Uraian

Negara yang menyebutkan time test untuk Pengeboran Lepas Pantai (Drilling
Rig or Working Ship) adalah Amerika, Australia, Kroasia (120 hari); Hong Kong
(183 hari); Sri Lanka (90 hari); dan Cina (6 bulan)
Lampiran 105

Pasal 5 – Permanent Establishment (Dependent agent)


Uraian YES NO

Memiliki Wewenang Untuk Menutup Kontrak Atas Nama 64 -


Perusahaan
Mengelola Dan Melakukan Pengiriman Barang Dagangan Milik 55* 9
Perusahaan
*Keterangan:
Belanda, Inggris, Jepang, Malaysia, Polandia, Suriname
hanya menyebutkan ketentuan mengelola barang (tidak
menyebutkan melakukan pengiriman barang); Uni Emirat Arab
menyebutkan ketentuan mengelola dan menjual barang (tanpa
menyebutkan melakukan pengiriman barang).
Membuat Atau Mengolah Barang Atau Barang Dagangan Milik 22 42
Perusahaan
Melakukan Pesanan Untuk Perusahaan Atau Yang Mempunyai 10* 54
Hub. Istimewa Dengan Perusahaan
*Keterangan:
Sri Lanka menyebutkan syarat proporsi BUT tersebut melakukan
pesanan diatas adalah sebesar 60% dari kegiatan usahanya

Pasal 5 – Permanent Establishment (Insurance clause)


Uraian YES N/A

Insurance clause 44 20

Pasal 6 – Immovable Property


Uraian

Seluruh perjanjian yang disepakati oleh Pemerintah Indonesia memberikan hak


pemajakan atas penghasilan dari immovable property kepada negara di mana
immovable property tersebut berada (where the immovable property situated).
Khusus perjanjian dengan Kuwait, hak pemajakan di negara di mana immovable
property berada, dikurangi 50%.
106 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Pasal 7 – Business Profits


Pasal Uraian YES NO

Pasal 7 – Kegiatan Dari BUT (Factual Attribution) 64 -


Business Profit
Pasal 7 – Penjualan Barang Yang Sama (Force of 49 15
Business Profit Attraction)
Pasal 7 – Kegiatan Lain Yang Sama (Effectively 46 18
Business Profit Connected)
Pasal 10,11,12 Hubungan Efektif untuk Penghasilan Pasif 64 -
(Effectively Connected for Passive Income)

Pasal 9 – Associated Enterprises


Uraian NO N/A YES

Corresponding Adjustment 19 1 44

Keterangan

Dari 43 perjanjian yang memasukkan ketentuan corresponding adjustment,


terdapat:
 17 perjanjian yang secara jelas mancantumkan bahwa contracting states tidak
dapat melakukan penyesuaian atas transaksi yang dilakukan oleh associated
enterprises jika jangka waktu sebagaimana terdapat dalam (domestic) tax laws
sudah terlampaui. yaitu China, Korea Utara, Kroasia, Luxembourg, Meksiko,
Mesir, Polandia, Qatar, Seychelles, Slovakia, Sudan, Syria, Ukraina, Uni
Emirat Arab, Uzbekistan, Vietnam, Yordania.
 3 perjanjian yang secara jelas mencantumkan bahwa contracting states tidak
dapat melakukan penyesuaian atas transaksi yang dilakukan oleh associated
enterprises jika terkait kasus penipuan/penggelapan pajak. yaitu Meksiko,
Slovakia, Yordania.

Pasal 8 – Shipping and Air Transport (Taxing rights)


Uraian Negara Sumber Negara domisili
(Effective Man-
agement)
Shipping 17 47
Lampiran 107

Uraian Negara Sumber Negara domisili


(Effective Man-
agement)
Air Transport 1 64

Keterangan

 Pada prinsipnya, hak pemajakan atas operasi kapal laut dan pesawat di
kawasan internasional berada di negara domisili tempat manajemen efektif
berada. Namun atas kegiatan pelayaran 17 negara menyebutkan dapat
dikenakan di negara sumber dengan ketentuan tertentu yaitu Austria,
Bangladesh, Brunei Darussalam, China, Filipina, Hongkong, Hongaria,
India, Malaysia, Pakistan, Qatar, Romania, Rusia, Singapura, Sri Lanka,
Swiss, dan Thailand.
 Pada prinsipnya, hak pemajakan atas operasi kapal laut dan pesawat di kawasan
internasional berada di negara domisili tempat manajemen efektif berada.
Namun atas kegiatan pelayaran 17 negara menyebutkan dapat dikenakan
di negara sumber dengan ketentuan tertentu yaitu Austria, Bangladesh,
Brunei Darussalam, China, Filipina, Hongkong, Hongaria, India, Malaysia,
Pakistan, Qatar, Romania, Rusia, Singapura, Sri Lanka, Swiss, dan Thailand.
 Selain laba atas partisipasi di pool, joint business & agency internasional;
14 negara menyebutkan sumber penghasilan lain yang termasuk dalam pasal
ini yaitu laba atas penggunaan, sewa dan perawatan container; serta rental
on bare boat basis yaitu Afrika Selatan, Amerika Serikat, India, Kroasia,
Maroko, Portugal, Arab Saudi, Slovakia, Syria, Turki, Ukraina, Uni Emirat
Arab, dan Uzbekistan.
 Sedangkan perjanjian yang mengatur pengecualian atas pengasilan tertentu
adalah Australia, Denmark, Malaysia, Meksiko, Korea Selatan, Norwegia,
Romania, Swedia, Syria, dan Venezuela.

Pasal 10 – Dividen (Tarif and holding thresholds)


Tarif portfolio Jumlah negara Tarif penyertaan Jumlah negara
langsung
7% 1 5% 1

10% 20 7% 1

12% 1 10% 45

15% 39 12% 1

20% 2 12,5% 1
108 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Tarif portfolio Jumlah negara Tarif penyertaan Jumlah negara


langsung
15%/20% 1 15% 14

15%/20% 1

Pasal 10 – Dividen (Branch Profit Tax)


Jumlah
Tarif Keterangan
Negara
5% 3 Negara mitra yang mencantumkan
ketentuan pengecualian atas kontrak bagi
7% 1 hasil (PSC) adalah sejumlah 38.

10% 31

12% 2

12,5% 3

15% 11

Domestic Law 2

No BPT 11

Pasal 11 – Interest
Jumlah
Tarif Keterangan
Negara
5% 2 Kuwait, Uni Emirat Arab

10% 46

12% 1 Tunisia

12,5% 2 Ceko, Romania

15% 12
Lampiran 109

Jumlah
Tarif Keterangan
Negara
15%; 10%/25% 1 Thailand

Pasal 11 – Royalties
Jumlah
Tarif Keterangan
Negara
5% 3 Hongkong, Qatar, Uni Emirat Arab

10% 27

12% 1 Iran

12,5% 3 Ceko, Luxembourg, Swiss

12,5%; 15% 1 Romania

15% 17

15%; 10% 7

20% 2

20%; 15% 2 Filipina, Syria

Pasal 11 – Jasa Teknik


Jumlah
Tarif Keterangan
Negara
7,5% 1 Jerman

10% 3 Luxembourg, Venezuela, Papua Nugini

15% 2 Pakistan, Taiwan

Tidak mengatur 58
110 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Pasal 13 – Capital Gain


Jumlah
Uraian Keterangan
Negara
Harta tidak bergerak:
Negara Domisili - Kuwait mengatur pengurangan pajak
50%
Negara Sumber 64
N/A -
Harta terkait BUT:
Negara Domisili - Yang tidak mengatur adalah Singapura
Negara Sumber 63
N/A 1
Ships, Aircraft and moveable property operated in international traffic:
Negara Domisili 60
Negara Sumber -
Tidak mengatur, 3 Luxemburg, Perancis, Rusia
mengacu pada
ketentuan harta lainnya
N/A 1 Singapura
Saham:
Negara Sumber 16
Dapat dipajaki di kedua 2 Thailand, Vietnam
negara
Tidak mengatur, 45
mengacu pada
ketentuan harta lainnya
N/A 1 Singapura
Harta lainnya:
Negara Domisili 58
Negara Sumber 3 Mesir, Pakistan, Yordania
Lainnya 2 Australia berdasarkan ketentuan
domestik, Amerika Serikat berdasarkan
MAP
N/A 1 Singapura
Lampiran 111

Pasal 14 – Independent Personal Services


Time Test Jumlah Keterangan
Negara
61hr/12bln 1

90hr/12bln 19 • 61 Negara mitra kecuali Rusia, dan


Swiss mengatur ketentuan tempat
90hr/tahun kalender 1 tetap.
• 6 Negara yang tidak mengatur time test
90hr/tahun Pajak 1
ini adalah Iran, Malaysia, Perancis,
91hr/12bln 9 Rusia, Swiss, dan Uni Emirat Arab

91hr/tahun kalender 1

91hr/tahun pajak 4

120hr/12bln 5

120hr/tahun pajak 3

183hr/12bln 11

183hr/tahun kalender 1

183hr/tahun pajak 2

Tidak mengatur 6

Pasal 15 – Dependent Personal Services


Time Test Jumlah Keterangan
Negara
90hr/12bln 4 64 negara mengatur penghasilan dalam
hubungan kerja dikenakan pajak di negara
90hr/tahun kalender 1 sumber, apabila tidak melebihi time test,
dibayar oleh SPDN atau BUT Indonesia
91hr/12bln 1 maka hak pemajakannya berada di negara
domisili
91hr/tahun kalender 1

120hr/12bln 3
112 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Time Test Jumlah Keterangan


Negara
183hr/12bln 38

183hr/tahun kalender 6

183hr/tahun pajak 10

Pasal 15 – Employment excercised aboard a ship or aircraft


operated in international traffic
Jumlah
Uraian Keterangan
Negara
Negara Domisili 63 • Qatar, Kuwait, Saudi Arabia mengatur
ketentuan tambahan.
Negara Sumber -
• Sudan & Inggris tidak menyebutkan
ketentuan ini.
Tidak mengatur 2

Pasal 16 – Gaji Direktur


Keterangan

63 negara mitra mengatur pembayaran gaji direktur hak pemajakannya di negara


sumber. Sedangkan ruang lingkup jabatan adalah Dewan Direktur atau organ lain
yang serupa.
Yang tidak mengatur adalah Amerika Serikat.

Pasal 17 – Artist & Sportsman


Hak Pemajakan Jumlah Keterangan
Negara
Di tempat kegiatan 63 Yang tidak menyebutkan pasal ini adalah
berlangsung perjanjian dengan Rusia.
N/A 1
Lampiran 113

Pasal 18 – Pensiun dari kegiatan usaha


Hak Pemajakan Jumlah Keterangan
Negara
Negara Sumber 62  40 negara menyebutkan aturan tentang
Annuity;
Negara Domisili 0  4 negara mengatur tentang Alimony
yaitu Amerika Serikat, Australia,
Denmark, Norwegia;
Kedua negara 2  11 Negara mengatur tentang Social
Security yaitu Amerika Serikat,
Belanda, China, Denmark, Hong Kong,
Iran, Kanada, Norwegia, Perancis,
Filipina, Spanyol.

Pasal 19 – Government Service


Keterangan

Pada dasarnya hak pemajakan atas government service berada di negara sumber.
Kecuali atas penerima yang bukan berasal dari negara sumber hak pemajakannya
akan diberikan ke negara domisili

Pasal 19 – Pensiun dari Government Service


Hak Pemajakan Jumlah Keterangan
Negara
Negara Sumber 5 Amerika Serikat, Australia, Malaysia,
Norwegia, Perancis
Negara Domisili -

Negara Sumber/Negara 53 Pada dasarnya hak pemajakan atas


Domisili pensiun dari government service berada
di negara sumber. Kecuali atas penerima
yang bukan berasal dari negara sumber
hak pemajakannya akan diberikan ke
negara domisili
114 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Hak Pemajakan Jumlah Keterangan


Negara
Tidak mengatur 6 • 6 negara tidak mengatur secara spesifik,
sehingga ketentuannya mengacu pada
aturan pensiun dari kegiatan usaha.
• Negara tesebut adalah Iran, Kanada,
Mesir, Rusia, Singapura, Srilanka

Pasal 20 – Professors, Teachers, And Researchers


Hak Pemajakan Jumlah Keterangan
Negara
Dikecualikan di negara 56 Dikecualikan selama penghasilan atas
tempat kegiatan kegiatan tersebut dibayarkan berasal dari
berlangsung luar negara tempat kegiatan berlangsung
Tidak mengatur 9 dengan jangka waktu tertentu.

Jangka waktu Jumlah Keterangan


Negara
Exempt kurang dari 53
2thn
Exempt kurang dari 2 Qatar, Uni Emirat Arab
3thn
Jangka waktu Jumlah Keterangan
Negara
Tanpa batas waktu 1 Italia

Tidak mengatur 8 Afrika Selatan, Finlandia, Hong Kong,


Inggris, Kanada, Norwegia, Swiss, Tunisia

Pasal 21 – Student, Scholarship, and Trainees


Keterangan

Dikecualikan di negara tempat kegiatan berlangsung selama penghasilan yang


dibayarkan atas kegiatan tersebut berasal dari luar negara tempat kegiatan
berlangsung.
Lampiran 115

Pasal 21 – Time test Student, Scholarship, and Trainees


Student/scholarship Jumlah Keterangan
time test Negara
2 tahun 1 Kroasia

5 Tahun 6 Amerika Serikat, Bangladesh, India,


Jepang, Pakistan, Philipina
MAP 1 Belanda

Tanpa batas waktu 56

Trainee time test Jumlah Keterangan


Negara
12 bulan 1 Amerika Serikat

2 tahun 2 Kroasia, Philipina

4 tahun 1 Brunei Darussalam

5 tahun 3 India, Jepang, Pakistan

MAP 1 Belanda

Tanpa Batas waktu 53

Tidak mengatur 4 Australia, Bangladesh, Hongkong, Arab


Saudi
Aturan tambahan lainnya

 Secara umum, pasal tentang time test penerimaan hibah/beasiswa


(scholarship) diatur dalam pasal yang sama dengan time test siswa/student.
Namun beberapa negara mengatur time test yang berbeda bagi hibah/
beasiswa, yaitu Bangladesh (Tanpa batas waktu), Belanda (3 Tahun), Inggris
(2 tahun), Philipina (2 tahun), dan Uni Emirat Arab (selama program beasiswa
tersebut berlaku)
 Finlandia dan Ceko mengatur time test bagi siswa di universitas dan lembaga
pendidikan yang lebih tinggi selama 183 hari
 Inggris, Jepang, dan Swiss mengatur time test khusus selama 12 bulan
116 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Pasal 22 – Other incomes


Hak Pemajakan Jumlah
Negara
Negara Sumber 58*

mengacu sesuai UU domestik masing-masing negara 3

Tidak mengatur 3

Keterangan

 Yang mengatur hak pemajakan agar mengacu sesuai UU domestik masing-


masing negara adalah Singapura, Sri Lanka, Venezuela.
 Yang tidak mengatur pasal ini adalah Amerika Serikat, Inggris, Swiss.
Keterangan

 Atas pengecualian bagi penghasilan dalam bentuk hadiah dan lotere, Hongkong
juga menambahkan pengecualian atas Alimony; Suriah menambahkan
pengecualian atas insurance dan reinsurance premium; Ukraina menambahkan
pengecualian atas transfer or acquisition of the right on ownership or
management of property.
Aturan Khusus Jumlah
Negara
* Dapat dikenakan di kedua negara (both contracting states) 18

Pengecualian bagi BUT 16

Dapat dikenakan di kedua negara, dan Pengecualian bagi BUT 15

Pengecualian bagi hadiah dan lotere 13

Pasal 25 – Mutual Agreement Procedures


Time Limitation Jumlah Keterangan
Negara
2 tahun 32

3 tahun 28

60 hari 1 Saudi Arabia


Lampiran 117

Time Limitation Jumlah Keterangan


Negara
Tanpa batasan waktu 4 Brunei Darussalam, Ceko, Inggris, Turki

Pasal 26 – Exchange of Information (EoI)


Uraian Yes No Keterangan

Exchange of 63 1 • Swiss tidak mengatur tentang EoI.


Information • Negara yang mengatur EoI secara
terbatas (restricted) adalah Austria,
Jepang, Jerman, Malaysia, Singapura.

Pasal 27 – Assistance in Collection


Uraian Yes No Keterangan

Assistance in 9 55 perjanjian yang mengandung ketentuan ini


Collection adalah Aljazair, Amerika Serikat, Belgia,
Filipina, Mesir, Suriname, Yordania,
Venezuela, Vietnam

Aturan Tambahan
Negara Pasal Khusus

Aljazair tax on capital

Amerika Serikat Source of Income; Related persons; Social securities


payment; general rules of taxation
Australia Source of Income; miscellaneous rules

Austria tax on capital

Bangladesh tax on capital

Belanda Offshore activities; territorial extensions

Belgia Limitation of the effects of the agreement


118 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Negara Pasal Khusus

Brunei Darussalam Income of Government

Bulgaria miscellaneous rules

Ceko miscellaneous rules

Filipina miscellaneous rules

Hong Kong miscellaneous rules

Inggris Partnership

Italia Refunds

Jepang miscellaneous rules

Jerman tax on capital

Kanada tax on capital; Miscellaneous Rules

Korea Selatan miscellaneous rules

Kuwait Tax on Capital; miscellaneous rules

Luxembourg tax on capital; miscellaneous rules; exclusion of certain


companies
Mesir Miscellaneous Rules

Norwegia tax on capital; offshore activities

Perancis tax on capital; Territorial scope

Romania Commision; miscellaneous rules

Rusia Adjustment of taxable income; limitation of benefits

Singapura Limitation of Relief

Spanyol tax on capital

Sri Lanka miscellaneous rules

Swedia miscellaneous rules

Swiss Payment for services


Lampiran 119

Negara Pasal Khusus

Thailand miscellaneous rules

B. Perbandingan Struktur P3B


OECD Model 2010 UN Model 2011 INDONESIAN Model *

SUMMARY OF THE SUMMARY OF THE SUMMARY OF THE


CONVENTION CONVENTION AGREEMENT
TITLE AND PREAMBLE TITLE AND PREAMBLE TITLE AND PREAMBLE

CHAPTER I CHAPTER I CHAPTER I


Scope of the Scope of the
Scope of the Convention Convention
Convention
Art. 1 Persons Covered Art. 1 Persons Covered Art. 1 Persons Covered

Art. 2 Taxes Covered Art. 2 Taxes Covered Art. 2 Taxes Covered

CHAPTER II CHAPTER II CHAPTER II


Definitions
Definitions Definitions
Art. 3 General Definitions Art. 3 General Definitions Art. 3 General Definitions

Art. 4 Resident Art. 4 Resident Art. 4 Resident

Art. 5 Permanent Art. 5 Permanent Art. 5 Permanent


Establishment Establishment Establishment
CHAPTER III CHAPTER III CHAPTER III
Taxation of income Taxation of income Taxation of income
Art. 6 Income from Art. 6 Income from Art. 6 Income from
immovable property immovable property immovable property
Art. 7 Business profits Art. 7 Business profits Art. 7 Business profits

Art. 8 Shipping, inland Art. 8 Shipping, inland Art. 8 Shipping and air
waterways tranport and waterways tranport and transport
air transport air transport
Art. 9 Associated Art. 9 Associated Art. 9 Associated
enterprises enterprises enterprises
120 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

OECD Model 2010 UN Model 2011 INDONESIAN Model *

Art. 10 Dividends Art. 10 Dividends Art. 10 Dividends

Art. 11 Interest Art. 11 Interest Art. 11 Interest

Art. 12 Royalties Art. 12 Royalties Art. 12 Royalties

Art. 13 Capital Gains Art. 13 Capital Gains Art. 13 Capital Gains

Art. 14 [ Deleted ] Art. 14 Independent Art. 14 Independent


personal services personal services
Art. 15 Income from Art. 15 Dependent Art. 15 Dependent
employment personal services personal services
Art. 16 Director’s fees Art. 16 Director’s fees Art. 16 Director’s fees
and remuneration of top-
level managerial officials
Art.17 Artistes and Art.17 Artistes and Art.17 Artistes and
sportsmen sportspersons sportsmen
Art. 18 Pensions Art. 18 Pensions and Art. 18 Pensions
social security payments
Art. 19 Government Art. 19 Government Art. 19 Government
Service Service Service
Art. 20 Students Art. 20 Students Art. 20 Teachers and
researchers
Art. 21 Other income Art. 21 Other income Art. 21 Students and
trainees
Art. 22 Other Income

CHAPTER IV CHAPTER IV CHAPTER IV


Taxation of capital Taxation of capital Taxation of capital
Art. 22 Capital Art. 22 Capital Art. 23 Method for
elimination of double
taxation
Art.24 Non-discrimination

Art. 25 Mutual agreement


procedure
Art. 26 Exchange of
information
Art. 27 Members of
diplomatic missions and
consular posts
Lampiran 121

OECD Model 2010 UN Model 2011 INDONESIAN Model *

CHAPTER V CHAPTER V CHAPTER V


Methods for elimination Methods for elimination Final provisions
of double taxation of double taxation
Art. 23A Exemption Art. 23A Exemption Art. 28 Entry into force
method method
Art. 23B Credit method Art. 23B Credit method Art. 29 Termination

CHAPTER VI CHAPTER VI CHAPTER VI


Special provisions Special provisions Special provisions
Art.24 Non-discrimination Art.24 Non-discrimination Art. 23 Method for
elimination of double
taxation
Art. 25 Mutual agreement Art. 25 Mutual agreement Art.24 Non-discrimination
procedure procedure
Art. 26 Exchange of Art. 26 Exchange of Art. 25 Mutual agreement
information information procedure
Art. 27 Assistance in the Art. 27 Assistance in the Art. 26 Exchange of
collection of taxes collection of taxes information
Art. 27 Members of Art. 27 Members of Art. 27 Members of
diplomatic missions and diplomatic missions and diplomatic missions and
consular posts consular posts consular posts
Art. 29 Territorial
extension
CHAPTER VII CHAPTER VII
Final provisions Final provisions
Art. 30 Entry into force Art. 30 Entry into force

Art. 31 Termination Art. 31 Termination

Keterangan:

*) Model perjanjian Indonesia bersifat tidak baku, dan dibuat sesuai dengan kondisi
dan kebijakan pada saat perjanjian berlangsung seperti ekonomi, politik, dan
kepentingan lain yang memberikan keuntungan pada Indonesia.
122 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

C. Daftar P3B Yang Berlaku Efektif


No Negara Tanggal Ditandatangani Saat Berlaku
Efektif
1 Afrika Selatan Jakarta, 15-Jul-1997 01/01/1999

2 Aljazair Jakarta, 28-Apr-1995 01/01/2001

3 Amerika Serikat Jakarta, 11-Jul-1988 01/02/1991

4 Australia Jakarta, 22-Apr-1992 01/07/1993

5 Austria Vienna, 24-Jul-1986 01/01/1989

6 Bangladesh Dhaka, 19-Jun-2003 01/01/2007

7 Belanda Jakarta, 05-Mar-1973 01-01-1971

8 Belgia Brussels, 13-Nov-1973 01/01/1975

9 Brunei Darussalam Bandar Seri Begawan, 27-Feb- 01/01/2003


2000
10 Bulgaria Sofia, 11-Jan-1991 01/01/1993

11 Czech Jakarta, 04-Okt-1994 01/01/1997

12 Denmark Jakarta, 28-Des-1985 01/01/1987

13 Filipina Manila, 18-Jun-1981 01/01/1983

14 Finlandia Jakarta, 15-Okt-1987 01/01/1990

15 Hong Kong Jakarta, 23-Mar-2010 01/01/2013

16 Hongaria Jakarta, 19-Okt-1989 01/01/1994

17 India Jakarta, 07-Agu-1987 01/01/1988

18 Inggris Jakarta, 13-Mar-1974 01/01/1976

19 Iran Jakarta, 30-Apr-2004 01/01/2011

20 Italia Jakarta, 18-Feb-1990 01/01/1996

21 Jepang Tokyo, 03-Mar-1982 01/01/1983


Lampiran 123

No Negara Tanggal Ditandatangani Saat Berlaku


Efektif
22 Jerman Bonn, 02-Sep-1977  01/01/1992

23 Kanada Jakarta, 16-Jan-1979 01/01/1980

24 Korea Selatan Jakarta, 10-Nov-1988 01/01/1990

25 Korea Utara Jakarta, 11-Jul-2002 01/01/2005

26 Kroasia Jakarta, 15-Feb-2002 01/01/2013

27 Kuwait Kuwait, 23-Apr-1997 01/01/1999

28 Luxembourg Luxembourg, 14-Jan-1993 01/01/1995

29 Malaysia Kuala Lumpur, 12-Sep-1991  01/01/1987

30 Maroko Rabat, 08-Jun-2008 01/01/2013

31 Meksiko Los Cabos, 06-Sep-2002 01/01/2005

32 Mesir Kairo, 13-Mei-1998 01/01/2003

33 Mongolia Ulan Bator, 02-Jul-1996 01/01/2001

34 Norway Jakarta, 19-Jul-1988 01/01/1991

35 Pakistan Islamabad, 07-Okt-1990 01/01/1991

36 Papua Nugini Port Moresby, 12-Mar-2010 01/01/2015

37 Perancis Jakarta, 14-Sep-1979 01/01/1981

38 Polandia Warsaw, 06-Okt-1992 01/01/1994

39 Portugal Lisbon, 09-Jul-2003 01/01/2008

40 Qatar Doha, 30-Apr-2006 01/01/2008

41 Romania Jakarta, 03-Jul-1996 01/01/2000

42 Rusia Jakarta, 12-Mar-1999 01/01/2003

43 Saudi Arabia Riyadh, 09-Mar-1991 01/01/1993


124 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

No Negara Tanggal Ditandatangani Saat Berlaku


Efektif
44 Selandia Baru Wellington, 25-Mar-1987 01/01/1989

45 Seychelles New York, 27-Sep-1999 01/01/2001

46 Singapura Singapura, 08-Mei-1990 01/01/1992

47 Slovakia Jakarta, 12-Okt-2000 01/01/2002

48 Spanyol Jakarta, 30-Mei-1995 01/01/2000

49 Sri Lanka Colombo, 03-Feb-1993 01/01/1995

50 Sudan Khartoum, 10-Feb-1998 01/01/2001

51 Suriname Paramaibo, 14-Okt-2003 01/01/2014

52 Swedia Stockholm, 28-Feb-1989 01/01/1990

53 Swiss Bern, 29-Agu-1988 01/01/1990

54 Syria Jakarta, 27-Jun-1997 01/01/1999

55 Taiwan Taipei, 01-Mar-1995 01/01/1996

56 Thailand Bangkok, 25-Mar-1981 01/01/1983

57 Tiongkok (China) Jakarta, 07-Nov-2001 01/01/2004

58 Tunisia Denpasar, 13-Mei-1992 01/01/1994

59 Turki Jakarta, 25-Feb-1997 01/01/2001

60 Ukraina Jakarta, 11-Apr-1966 01/01/1999

61 Uni Emirat Arab Jakarta, 30-Nov-1995 01/01/2000

62 Uzbekistan Jakarta, 27-Agu-1996 01/01/1999

63 Venezuela Jakarta, 27-Feb-1997 01/01/2001

64 Vietnam Hanoi, 22-Des-1997 01/01/2000

65 Yordania Amman, 12-Nov-1996 01/01/1999


D. Tabel Time Test Bentuk Usaha Tetap
No. Negara Time Test Bentuk Usaha Tetap
Tempat Kerja Instalasi Perakitan Kegiatan Pen- Jasa Lainnya Pengeboran
Lampiran

& Konstruksi gawasan Lepas Pantai


(Drilling Rig
or Working
Ship)
1 Afrika Selatan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 120 hari/12 tidak mengatur
bulan dimulai/
berakhir di
tahun fiskal
terkait
2 Aljazair 3 bulan 3 bulan 3 bulan 3 bulan 3 bulan/12 tidak mengatur
bulan
3 Amerika 120 hari 120 hari 120 hari 120 hari 120 hari/12 120 hari
Serikat bulan dgn
ketentuan
khusus
4 Australia 120 hari 120 hari 120 hari tidak mengatur 120 hari/12 120 hari
bulan
5 Austria 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan/12 tidak mengatur
bulan
6 Bangladesh 183 hari 183 hari 183 hari 183 hari 91 hari/12 tidak mengatur
bulan
7 Belanda 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan/12 tidak mengatur
bulan
125
No. Negara Time Test Bentuk Usaha Tetap 126
Tempat Kerja Instalasi Perakitan Kegiatan Pen- Jasa Lainnya Pengeboran
& Konstruksi gawasan Lepas Pantai
(Drilling Rig
or Working
Ship)
8 Belgia 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3bulan/12 tidak mengatur
bulan
9 Brunei 183 hari 3 bulan 3 bulan 183 hari 3 bulan/12 tidak mengatur
Darussalam bulan
10 Bulgaria 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 120 hari/12 tidak mengatur
bulan
11 Ceko 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan/12 tidak mengatur
bulan
12 Denmark 6 bulan 3 bulan 3 bulan 6 bulan 3 bulan/12 tidak mengatur
bulan
13 Filipina 3 bulan 3 bulan 3 bulan 3 bulan 91 hari/12 tidak mengatur
bulan
14 Finlandia 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan/12 tidak mengatur
bulan
15 Hong Kong 183 hari 183 hari 183 hari 183 hari 183 hari/12 183 hari
bulan
16 Hongaria 3 bulan 3 bulan 3 bulan 3 bulan 4 bulan/12 tidak mengatur
bulan
17 India 183 hari 183 hari 183 hari 183 hari 91 hari/12 tidak mengatur
bulan
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
No. Negara Time Test Bentuk Usaha Tetap
Tempat Kerja Instalasi Perakitan Kegiatan Pen- Jasa Lainnya Pengeboran
& Konstruksi gawasan Lepas Pantai
(Drilling Rig
Lampiran

or Working
Ship)
18 Inggris 183 hari 183 hari 183 hari 183 hari 91 hari/12 tidak mengatur
bulan
19 Iran 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 183 hari/12 tidak mengatur
bulan
20 Italia 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan/12 tidak mengatur
bulan
21 Jepang 6 bulan 6 bulan tidak mengatur 6 bulan 6 bulan/tahun tidak mengatur
pajak
22 Jerman 6 bulan 6 bulan tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur

23 Kanada 120 hari 120 hari 120 hari 120 hari 120 hari/12 tidak mengatur
bulan
24 Korea Selatan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan/12 tidak mengatur
bulan
25 Korea utara 12 bulan 12 bulan 12 bulan 12 bulan 6 bulan/12 tidak mengatur
bulan
26 Kroasia 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan/12 120 Hari
bulan
27 Kuwait 3 bulan 3 bulan 3 bulan 3 bulan 3 bulan/12 tidak mengatur
bulan
127
No. Negara Time Test Bentuk Usaha Tetap 128
Tempat Kerja Instalasi Perakitan Kegiatan Pen- Jasa Lainnya Pengeboran
& Konstruksi gawasan Lepas Pantai
(Drilling Rig
or Working
Ship)
28 Luxembourg 5 bulan 5 bulan 5 bulan 5 bulan tidak mengatur tidak mengatur

29 Malaysia 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan/12 tidak mengatur


bulan
30 Maroko 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 60 hari/12 tidak mengatur
bulan
31 Meksiko 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 91 hari/12 tidak mengatur
bulan
32 Mesir 6 bulan 4 bulan 4 bulan 6 bulan 3 bulan/12 tidak mengatur
bulan
33 Mongolia 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan/12 tidak mengatur
bulan
34 Norwegia 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan/12 tidak mengatur
bulan
35 Pakistan 3 bulan 3 bulan 3 bulan 3 bulan tidak mengatur tidak mengatur

36 Papua Nugini 120 hari 120 hari 120 hari 120 hari 120 hari/12 tidak mengatur
bulan
37 Perancis 6 bulan tidak mengatur 6 bulan 183 hari/12 183 hari/12 tidak mengatur
bulan bulan
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
No. Negara Time Test Bentuk Usaha Tetap
Tempat Kerja Instalasi Perakitan Kegiatan Pen- Jasa Lainnya Pengeboran
& Konstruksi gawasan Lepas Pantai
(Drilling Rig
Lampiran

or Working
Ship)
38 Polandia 183 hari 183 hari 183 hari 183 hari 120 hari/12 tidak mengatur
bulan
39 Portugal 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 183 hari/12 tidak mengatur
bulan
40 Qatar 6 bulan 6 Bulan 6 Bulan 6 Bulan 6 Bulan/12 tidak mengatur
bulan
41 Romania 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 4 bulan/12 tidak mengatur
bulan
42 Rusia 3 bulan 3 bulan 3 bulan 3 bulan tanpa batas tidak mengatur
waktu
43 Saudi Arabia tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur

44 Selandia Baru 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan/12 tidak mengatur


bulan
45 Seychelles 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan/12 tidak mengatur
bulan
46 Singapura 183 hari 183 hari 183 hari 6 bulan 90 hari/12 tidak mengatur
bulan
47 Slovakia 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 91 hari/12 tidak mengatur
bulan
129
No. Negara Time Test Bentuk Usaha Tetap 130
Tempat Kerja Instalasi Perakitan Kegiatan Pen- Jasa Lainnya Pengeboran
& Konstruksi gawasan Lepas Pantai
(Drilling Rig
or Working
Ship)
48 Spanyol 183 hari 183 hari 183 hari 183 hari 3 bulan/12 tidak mengatur
bulan
49 Sri Lanka 90 hari 90 hari 90 hari 90 hari 90 hari/12 90 hari
bulan
50 Sudan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan/12 tidak mengatur
bulan
51 Suriname 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 91 hari/12 tidak mengatur
bulan
52 Swedia 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan/12 tidak mengatur
bulan
53 Swiss 183 hari 183 hari 183 hari 183 hari tidak mengatur tidak mengatur

54 Syria 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 183 hari/12 tidak mengatur


bulan
55 Taiwan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 120 hari/12 tidak mengatur
bulan
56 Thailand 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 Bulan/12 tidak mengatur
bulan
57 Tiongkok 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan/12 6 bulan
(China) bulan
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
No. Negara Time Test Bentuk Usaha Tetap
Tempat Kerja Instalasi Perakitan Kegiatan Pen- Jasa Lainnya Pengeboran
& Konstruksi gawasan Lepas Pantai
(Drilling Rig
Lampiran

or Working
Ship)
58 Tunisia 3 bulan 3 bulan 3 bulan 3 bulan 3 bulan/12 tidak mengatur
bulan
59 Turki 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 183 hari/12 tidak mengatur
bulan
60 Ukraina 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 4 bulan/12 tidak mengatur
bulan
61 Uni Emirat 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan tidak mengatur
Arab
62 Uzbekistan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan/12 tidak mengatur
bulan
63 Venezuela 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan Tidak tidak mengatur
Mengatur
64 Vietnam 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan/12 tidak mengatur
bulan
65 Yordania 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 1 bulan/12 tidak mengatur
bulan
131
E. Tabel Time Test Pekerjaan Bebas & Hubungan Kerja 132
No. Negara Time Test Pekerjaan Bebas Dipajaki Pekerjaan dalam Hubungan Kerja Dipajaki di Negara
di Negara Sumber, bila: Sumber, bila:
Tempat Time Test Time Test Remunerasi Remunerasi
Tetap Dibayar Dibebankan
Oleh SPDN Pada BUT Di
Indonesia Indonesia
1 Afrika Selatan ya 120 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya
dimulai/berakhir di tahun
fiskal terkait
2 Aljazair Ya 91 hari/12 bulan 91 hari/12 bulan Ya Ya

3 Amerika Ya 120 hari/12 bulan 120 hari/12 bulan Ya Ya


Serikat
4 Australia Ya 120 hari/12 bulan 120 hari/12 bulan Ya Ya

5 Austria Ya 90 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya

6 Bangladesh Ya 183 hari/tahun pajak 183 hari/tahun pajak Ya Ya

7 Belanda Ya 91 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya


dimulai/berakhir di tahun
fiskal terkait
8 Belgia Ya 91 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya

9 Brunei Ya 183 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya


Darussalam
10 Bulgaria Ya 91 hari/tahun pajak 183 hari/tahun pajak Ya Ya
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
No. Negara Time Test Pekerjaan Bebas Dipajaki Pekerjaan dalam Hubungan Kerja Dipajaki di Negara
di Negara Sumber, bila: Sumber, bila:
Tempat Time Test Time Test Remunerasi Remunerasi
Tetap Dibayar Dibebankan
Lampiran

Oleh SPDN Pada BUT Di


Indonesia Indonesia
11 Ceko Ya 91 hari/tahun pajak 183 hari/12 bulan Ya Ya

12 Denmark Ya 91 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya

13 Filipina Ya 91 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya

14 Finlandia Ya 90 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya

15 Hong Kong Ya 183 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya

16 Hongaria Ya 90 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya

17 India ya 91 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya

18 Inggris Ya 91 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya

19 Iran ya Tidak Mengatur 183 hari/12 bulan Ya Ya

20 Italia ya 90 hari/12 bulan 183 hari/tahun pajak Ya Ya

21 Jepang ya 183 hari/tahun kalender 183 hari/tahun kalender Ya Ya

22 Jerman Ya 120 hari/tahun pajak 183 hari/tahun pajak Ya Ya


133
No. Negara Time Test Pekerjaan Bebas Dipajaki Pekerjaan dalam Hubungan Kerja Dipajaki di Negara 134
di Negara Sumber, bila: Sumber, bila:
Tempat Time Test Time Test Remunerasi Remunerasi
Tetap Dibayar Dibebankan
Oleh SPDN Pada BUT Di
Indonesia Indonesia
23 Kanada Ya 120 hari/12 bulan 120 hari/12 bulan dan Ya Ya
tidak melebihi 5.000
dolar Kanada
24 Korea Selatan ya 90 hari/tahun kalender 183 hari/tahun pajak Ya Ya

25 Korea utara ya 183 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya

26 Kroasia Ya 90 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya

27 Kuwait ya 183 hari/12 bulan 183 hari/tahun kalender Ya Ya

28 Luxembourg ya 91 hari/tahun pajak 183 hari/tahun pajak Ya Ya

29 Malaysia Ya Tidak Mengatur 183 hari/tahun kalender Ya Ya

30 Maroko Ya 61 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya


dimulai/berakhir di tahun
fiskal terkait
31 Meksiko Ya 91 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya
dimulai/berakhir di tahun dimulai/berakhir di tahun
fiskal terkait fiskal terkait
32 Mesir Ya 90 hari/12 bulan 90 hari/12 bulan Ya Ya
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
No. Negara Time Test Pekerjaan Bebas Dipajaki Pekerjaan dalam Hubungan Kerja Dipajaki di Negara
di Negara Sumber, bila: Sumber, bila:
Tempat Time Test Time Test Remunerasi Remunerasi
Tetap Dibayar Dibebankan
Lampiran

Oleh SPDN Pada BUT Di


Indonesia Indonesia
33 Mongolia Ya 91 hari/tahun kalender 91 hari/tahun kalender Ya Ya

34 Norwegia Ya 90 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya

35 Pakistan Ya 90 hari/12 bulan 90 hari/12 bulan Ya Ya

36 Papua Nugini Ya 183 hari/12 bulan 183 hari/tahun kalender Ya Ya

37 Perancis Ya tidak mengatur 183 hari/12 bulan Ya Ya

38 Polandia ya 91 hari/tahun pajak 183 hari/tahun pajak Ya Ya

39 Portugal ya 183 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya

40 Qatar ya 183 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya

41 Romania ya 120 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya

42 Rusia tidak tidak mengatur 90 hari/tahun kalender Ya Ya


mengatur
43 Saudi Arabia Tidak Tidak Mengatur Tidak Mengatur Tidak Tidak
Mengatur Mengatur Mengatur
135
No. Negara Time Test Pekerjaan Bebas Dipajaki Pekerjaan dalam Hubungan Kerja Dipajaki di Negara 136
di Negara Sumber, bila: Sumber, bila:
Tempat Time Test Time Test Remunerasi Remunerasi
Tetap Dibayar Dibebankan
Oleh SPDN Pada BUT Di
Indonesia Indonesia
44 Selandia Baru Ya 90 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya

45 Seychelles ya 90 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya

46 Singapura ya 90 hari/12 bulan 183 hari/tahun kalender Ya Ya

47 Slovakia ya 90 hari/tahun pajak 183 hari/12 bulan Ya Ya

48 Spanyol Ya 90 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya

49 Sri Lanka Ya 90 hari/12 bulan 90 hari/12 bulan Ya Ya

50 Sudan Ya 90 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya

51 Suriname Ya 91 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya

52 Swedia Ya 90 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya

53 Swiss tidak tidak mengatur 183 hari/12 bulan Ya Ya


mengatur
54 Syria Ya 183 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya

55 Taiwan Ya 120 hari/tahun pajak 183 hari/tahun pajak Ya Ya


Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
No. Negara Time Test Pekerjaan Bebas Dipajaki Pekerjaan dalam Hubungan Kerja Dipajaki di Negara
di Negara Sumber, bila: Sumber, bila:
Tempat Time Test Time Test Remunerasi Remunerasi
Tetap Dibayar Dibebankan
Lampiran

Oleh SPDN Pada BUT Di


Indonesia Indonesia
56 Thailand Ya 183 hari/tahun pajak 183 hari/tahun pajak Ya Ya

57 Tiongkok Ya 183 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya


(China)
58 Tunisia Ya 120 hari/tahun pajak 183 hari/tahun kalender Ya Ya

59 Turki Ya 183 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya

60 Ukraina Ya 183 hari/12 bulan 183 hari/tahun kalender Ya Ya

61 Uni Emirat Ya Tidak Mengatur 183 hari/tahun pajak Ya Ya


Arab
62 Uzbekistan Ya 90 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya

63 Venezuela Ya 90 hari/12 bulan dgn 183 hari/12 bulan Ya Ya


fiscal gross melebihi
US$2.500
64 Vietnam Ya 90 hari/12 bulan 90 hari/12 bulan Ya Ya

65 Yordania ya 90 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan Ya Ya


137
F. Tabel Wewenang Bentuk Usaha Tetap 138

No. Negara Memiliki mengelola Membuat Atau Melakukan Asuransi


Wewenang Barang Atau Mengolah Pesanan Untuk
Untuk Menutup Barang Barang Atau Perusahaan
Kontrak Dagangan Milik Barang Atau Yang
Atas Nama Perusahaan Dagangan Milik Mempunyai
Perusahaan dan melakukan Perusahaan Hub. Istimewa
pengiriman Dengan
Perusahaan
1 Afrika Selatan Ya tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur

2 Aljazair Ya Ya Ya tidak mengatur Ya

3 Amerika Serikat Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

4 Australia Ya Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur

5 Austria Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

6 Bangladesh Ya Ya Ya Ya tidak mengatur

7 Belanda Ya hanya mengelola tidak mengatur ya Ya


barang
8 Belgia Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur

9 Brunei Darussalam Ya Ya Ya tidak mengatur Ya


Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
No. Negara Memiliki mengelola Membuat Atau Melakukan Asuransi
Wewenang Barang Atau Mengolah Pesanan Untuk
Untuk Menutup Barang Barang Atau Perusahaan
Kontrak Dagangan Milik Barang Atau Yang
Lampiran

Atas Nama Perusahaan Dagangan Milik Mempunyai


Perusahaan dan melakukan Perusahaan Hub. Istimewa
pengiriman Dengan
Perusahaan
10 Bulgaria Ya tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur

11 Ceko Ya tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur Ya

12 Denmark Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

13 Filipina Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

14 Finlandia Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

15 Hong Kong ya ya tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur

16 Hongaria Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

17 India Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

18 Inggris Ya hanya mengelola tidak mengatur ya Ya


barang
19 Iran Ya tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur
139
No. Negara Memiliki mengelola Membuat Atau Melakukan Asuransi 140
Wewenang Barang Atau Mengolah Pesanan Untuk
Untuk Menutup Barang Barang Atau Perusahaan
Kontrak Dagangan Milik Barang Atau Yang
Atas Nama Perusahaan Dagangan Milik Mempunyai
Perusahaan dan melakukan Perusahaan Hub. Istimewa
pengiriman Dengan
Perusahaan
20 Italia Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

21 Jepang Ya hanya mengelola tidak mengatur ya Ya


barang
22 Jerman Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

23 Kanada Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

24 Korea Selatan Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

25 Korea utara Ya tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur Ya

26 Kroasia ya tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur

27 Kuwait Ya Ya Ya Ya Ya

28 Luxembourg Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

29 Malaysia Ya hanya mengelola Ya Ya tidak mengatur


barang
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
No. Negara Memiliki mengelola Membuat Atau Melakukan Asuransi
Wewenang Barang Atau Mengolah Pesanan Untuk
Untuk Menutup Barang Barang Atau Perusahaan
Kontrak Dagangan Milik Barang Atau Yang
Lampiran

Atas Nama Perusahaan Dagangan Milik Mempunyai


Perusahaan dan melakukan Perusahaan Hub. Istimewa
pengiriman Dengan
Perusahaan
30 Maroko ya Ya Ya tidak mengatur Ya

31 Meksiko Ya Ya Ya tidak mengatur Ya

32 Mesir Ya tidak mengatur Ya tidak mengatur Ya

33 Mongolia Ya Ya Ya tidak mengatur Ya

34 Norwegia Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

35 Pakistan Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

36 Papua Nugini Ya Ya Ya Tidak Mengatur Tidak mengatur

37 Perancis Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

38 Polandia Ya hanya mengelola Ya ya Ya


barang
39 Portugal Ya tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur
141
No. Negara Memiliki mengelola Membuat Atau Melakukan Asuransi 142
Wewenang Barang Atau Mengolah Pesanan Untuk
Untuk Menutup Barang Barang Atau Perusahaan
Kontrak Dagangan Milik Barang Atau Yang
Atas Nama Perusahaan Dagangan Milik Mempunyai
Perusahaan dan melakukan Perusahaan Hub. Istimewa
pengiriman Dengan
Perusahaan
40 Qatar Ya Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur

41 Romania Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

42 Rusia Ya Ya Ya tidak mengatur Ya

43 Saudi Arabia tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur

44 Selandia Baru Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur

45 Seychelles Ya Ya Ya Tidak Mengatur Tidak Mengatur

46 Singapura Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

47 Slovakia Ya Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur

48 Spanyol Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya


Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
No. Negara Memiliki mengelola Membuat Atau Melakukan Asuransi
Wewenang Barang Atau Mengolah Pesanan Untuk
Untuk Menutup Barang Barang Atau Perusahaan
Kontrak Dagangan Milik Barang Atau Yang
Lampiran

Atas Nama Perusahaan Dagangan Milik Mempunyai


Perusahaan dan melakukan Perusahaan Hub. Istimewa
pengiriman Dengan
Perusahaan
49 Sri Lanka Ya Ya tidak mengatur Ya, dengan Ya
ketentuan
tertentu
50 Sudan Ya Ya Ya tidak mengatur Ya

51 Suriname ya hanya mengelola Ya tidak mengatur Ya


barang
52 Swedia Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

53 Swiss Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

54 Syria Ya Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur

55 Taiwan Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur

56 Thailand Ya Ya tidak mengatur Ya Ya

57 Tiongkok (China) Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya


143
No. Negara Memiliki mengelola Membuat Atau Melakukan Asuransi 144
Wewenang Barang Atau Mengolah Pesanan Untuk
Untuk Menutup Barang Barang Atau Perusahaan
Kontrak Dagangan Milik Barang Atau Yang
Atas Nama Perusahaan Dagangan Milik Mempunyai
Perusahaan dan melakukan Perusahaan Hub. Istimewa
pengiriman Dengan
Perusahaan
58 Tunisia Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

59 Turki Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur

60 Ukraina Ya Ya Ya tidak mengatur tidak mengatur

61 Uni Emirat Arab Ya mengelola dan tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur
menjual barang
62 Uzbekistan Ya tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur Ya

63 Venezuela Ya Ya tidak mengatur Ya Ya

64 Vietnam Ya Ya Ya tidak mengatur Ya

65 Yordania Ya Ya Ya tidak mengatur Ya


Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
G. Tabel Objek PPh Bentuk Usaha Tetap
No. Negara Kegiatan Dari BUT Penjualan Barang Kegiatan Lain Yang Hubungan Efektif
(Factual Attribution) Yang Sama (Force of Sama (Effectively untuk Penghasilan
Lampiran

Attraction) Connected) Pasif (Effectively


Connected for Pas-
sive Income)
1 Afrika Selatan Ya Ya Ya Ya

2 Aljazair Ya Ya Ya Ya

3 Amerika Serikat Ya Ya Ya Ya

4 Australia Ya Ya Ya Ya

5 Austria Ya Ya Ya Ya

6 Bangladesh Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

7 Belanda Ya Ya Ya Ya

8 Belgia Ya Ya Ya Ya

9 Brunei Darussalam Ya Ya Ya Ya

10 Bulgaria Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya


145
No. Negara Kegiatan Dari BUT Penjualan Barang Kegiatan Lain Yang Hubungan Efektif 146
(Factual Attribution) Yang Sama (Force of Sama (Effectively untuk Penghasilan
Attraction) Connected) Pasif (Effectively
Connected for Pas-
sive Income)
11 Ceko Ya Ya Ya Ya

12 Denmark Ya Ya Ya Ya

13 Filipina Ya Ya Ya Ya

14 Finlandia Ya Ya Ya Ya

15 Hong Kong Ya Ya Ya Ya

16 Hongaria Ya Ya Ya Ya

17 India Ya Ya tidak mengatur Ya

18 Inggris Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

19 Iran Ya Ya Ya Ya

20 Italia Ya Ya Ya Ya

21 Jepang Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya


Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
No. Negara Kegiatan Dari BUT Penjualan Barang Kegiatan Lain Yang Hubungan Efektif
(Factual Attribution) Yang Sama (Force of Sama (Effectively untuk Penghasilan
Attraction) Connected) Pasif (Effectively
Connected for Pas-
Lampiran

sive Income)
22 Jerman Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

23 Kanada Ya Ya Ya Ya

24 Korea Selatan Ya Ya Ya Ya

25 Korea utara Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

26 Kroasia Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

27 Kuwait Ya Ya Ya Ya

28 Luxembourg Ya Ya Ya Ya

29 Malaysia Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

30 Maroko Ya Ya Ya Ya

31 Meksiko Ya Ya tidak mengatur Ya

32 Mesir Ya Ya Ya Ya
147
No. Negara Kegiatan Dari BUT Penjualan Barang Kegiatan Lain Yang Hubungan Efektif 148
(Factual Attribution) Yang Sama (Force of Sama (Effectively untuk Penghasilan
Attraction) Connected) Pasif (Effectively
Connected for Pas-
sive Income)
33 Mongolia Ya Ya Ya Ya

34 Norwegia Ya Ya Ya Ya

35 Pakistan Ya Ya Ya Ya

36 Papua Nugini Ya Ya Ya Ya

37 Perancis Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

38 Polandia Ya Ya Ya Ya

39 Portugal Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

40 Qatar Ya Ya Ya Ya

41 Romania Ya Ya Ya Ya

42 Rusia Ya Ya Ya Ya

43 Saudi Arabia tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur tidak mengatur
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
No. Negara Kegiatan Dari BUT Penjualan Barang Kegiatan Lain Yang Hubungan Efektif
(Factual Attribution) Yang Sama (Force of Sama (Effectively untuk Penghasilan
Attraction) Connected) Pasif (Effectively
Connected for Pas-
Lampiran

sive Income)
44 Selandia Baru Ya Ya Ya Ya

45 Seychelles Ya Tidak Mengatur Tidak Mengatur Ya

46 Singapura Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

47 Slovakia Ya Ya Ya Ya

48 Spanyol Ya Ya Ya Ya

49 Sri Lanka Ya Ya Ya Ya

50 Sudan Ya Ya Ya Ya

51 Suriname Ya Ya Ya Ya

52 Swedia Ya Ya Ya Ya

53 Swiss Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

54 Syria Ya Ya Ya Ya
149
No. Negara Kegiatan Dari BUT Penjualan Barang Kegiatan Lain Yang Hubungan Efektif 150
(Factual Attribution) Yang Sama (Force of Sama (Effectively untuk Penghasilan
Attraction) Connected) Pasif (Effectively
Connected for Pas-
sive Income)
55 Taiwan Ya Ya tidak mengatur Ya

56 Thailand Ya Ya Ya Ya

57 Tiongkok (China) Ya tidak mengatur tidak mengatur Ya

58 Tunisia Ya Ya Ya Ya

59 Turki Ya Tidak Mengatur Tidak Mengatur Ya

60 Ukraina Ya Ya Ya Ya

61 Uni Emirat Arab Ya Ya Ya Ya

62 Uzbekistan Ya Ya Ya Ya

63 Venezuela Ya Ya Ya Ya

64 Vietnam Ya Ya Ya Ya

65 Yordania Ya Ya Ya Ya
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
H. Tabel Tarif Dividen, BPT, Bunga, Royalti, dan Jasa Teknik
No. Negara Dividen Branch Profit Tax Bunga Royalti Jasa
Portfolio Penyer- Tarif Exempt- Umum Khusus Umum Khusus Teknik
Lampiran

taan Peru-
angsung sahaan
PSC
1 Afrika Sela- 15% 10%, 10% Ya 10% - 10% - tidak
tan min 10% mengatur
kepemi-
likan
2 Aljazair 15% 15% 10% tidak 15% - 15% - tidak
mengatur mengatur
3 Amerika 15% 10%, 10% Ya, khu- 10% - 10% - tidak
Serikat min 25% sus di mengatur
kepemi- indonesia
likan
4 Australia 15% 15% 15% Ya 10% - 15% 10% tidak
mengatur
5 Austria 15% 10%, 15% Ya, khu- 10% - 10% - tidak
min 25% sus di mengatur
kepemi- Indonesia
likan sebelum
31 Des
1983
6 Bangladesh 15% 10%, tidak tidak 10% - 10% - tidak
min 10% mengatur mengatur mengatur
kepemi-
likan
151
No. Negara Dividen Branch Profit Tax Bunga Royalti Jasa 152
Portfolio Penyer- Tarif Exempt- Umum Khusus Umum Khusus Teknik
taan Peru-
angsung sahaan
PSC
7 Belanda 10% 10% 10% tidak 10% - 10% - tidak
mengatur mengatur
8 Belgia 15% 10%, 10% Ya, khu- 10% - 10% - tidak
min 25% sus di mengatur
kepemi- Indonesia
likan sebelum
31 Des
1983
9 Brunei 15% 15% 10% Ya 15% - 15% - tidak
Darussalam mengatur
10 Bulgaria 15% 15% 15% tidak 10% - 10% - tidak
mengatur mengatur
11 Ceko 15% 10%, 12,5% Ya 12,5% - 12,5% - tidak
min 20% mengatur
kepemi-
likan
12 Denmark 20% 10%, 15% ya 10% - 15% - tidak
min 25% mengatur
kepemi-
likan
13 Filipina 20% 15%, 15% Ya 15% - 20% 15% tidak
min 25% mengatur
kepemi-
likan
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
No. Negara Dividen Branch Profit Tax Bunga Royalti Jasa
Portfolio Penyer- Tarif Exempt- Umum Khusus Umum Khusus Teknik
taan Peru-
angsung sahaan
Lampiran

PSC
14 Finlandia 15% 10%, 15% ya 10% - 15% 10% tidak
min 25% mengatur
kepemi-
likan
15 Hong Kong 10% 5%, min 5% tidak 10% - 5% - tidak
25% mengatur mengatur
kepemi-
likan
16 Hongaria 15% 15% tidak tidak 15% - 15% - tidak
mengatur mengatur mengatur
17 India 15% 10%, tidak tidak 10% - 15% - tidak
min 25% mengatur mengatur mengatur
kepemi-
likan
18 Inggris 15% 10%, 10% Ya 10% - 15% 10% tidak
min 15% mengatur
kepemi-
likan
19 Iran 7% 7% 7% tidak 10% - 12% - tidak
mengatur mengatur
20 Italia 15% 10%, 12% Ya 10% - 15% 10% tidak
min 25% mengatur
kepemi-
likan
153
No. Negara Dividen Branch Profit Tax Bunga Royalti Jasa 154
Portfolio Penyer- Tarif Exempt- Umum Khusus Umum Khusus Teknik
taan Peru-
angsung sahaan
PSC
21 Jepang 15% 10%, tidak tidak 10% - 10% - tidak
min 25% mengatur mengatur mengatur
kepemi-
likan
22 Jerman 15% 10%, 10% tidak 10% - 15% 10% 7,5%
min 25% mengatur
kepemi-
likan
23 Kanada 15% 10%, 10% tidak 10% - 10% - tidak
min 25% mengatur mengatur
kepemi-
likan
24 Korea Sela- 15% 10%, 10% Ya, sebe- 10% - 15% - tidak
tan min 25% lum 31 mengatur
kepemi- Des 1983
likan
25 Korea utara 10% 10% 10% tidak 10% - 10% - tidak
mengatur mengatur
26 Kroasia 10% 10% 10% Ya 10% - 10% - tidak
mengatur
27 Kuwait 10% 10% 10%, Ya, khu- 5% - 20% - tidak
dengan sus di mengatur
keten- indonesia
tuan khu-
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

sus
No. Negara Dividen Branch Profit Tax Bunga Royalti Jasa
Portfolio Penyer- Tarif Exempt- Umum Khusus Umum Khusus Teknik
taan Peru-
angsung sahaan
Lampiran

PSC
28 Luxembourg 15% 10%, 10% Ya 10% - 12,50% - 10%
min 25%
kepemi-
likan
29 Malaysia 10% 10% tidak Ya, khu- 10% - 10% - tidak
mengatur sus di mengatur
indonesia
30 Maroko 10% 10% 10% Ya 10% - 10% - tidak
mengatur
31 Meksiko 10% 10% 10% Ya 10% - 10% - tidak
mengatur
32 Mesir 15% 15% 15% Ya 15% - 15% - tidak
mengatur
33 Mongolia 10% 10% 10% Ya 10% - 10% - tidak
mengatur
34 Norwegia 15% 15% 15% Ya 10% - 15% 10% tidak
mengatur
35 Pakistan 15% 10%, 10% tidak 15% - 15% - 15%
min 25% mengatur
kepemi-
likan
36 Papua 15% 15% 15% Ya 10% - 10% - 10%
Nugini
155
No. Negara Dividen Branch Profit Tax Bunga Royalti Jasa 156
Portfolio Penyer- Tarif Exempt- Umum Khusus Umum Khusus Teknik
taan Peru-
angsung sahaan
PSC
37 Perancis 15% 10%, 10% tidak 15% 10% 10% - tidak
min 25% mengatur mengatur
kepemi-
likan
38 Polandia 15% 10%, 10% Ya 10% - 15% - tidak
min 20% mengatur
kepemi-
likan
39 Portugal 10% 10% 10% Ya, khu- 10% - 10% - tidak
sus di mengatur
Indonesia
40 Qatar 10% 10% 10% Ya 10% - 5% - tidak
mengatur
41 Romania 15% 12,5%, 12,5% tidak 12,50% 10% 12,50% 15% tidak
min 25% mengatur (komisi) mengatur
kepemi-
likan
42 Rusia 15% 15% 12,5% Ya 15% - 15% - tidak
mengatur
43 Saudi Arabia tidak tidak tidak tidak tidak tidak tidak tidak tidak
mengatur mengatur mengatur mengatur mengatur mengatur mengatur mengatur mengatur
44 Selandia 15% 15% tidak tidak 10% - 15% - tidak
Baru mengatur mengatur mengatur
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
No. Negara Dividen Branch Profit Tax Bunga Royalti Jasa
Portfolio Penyer- Tarif Exempt- Umum Khusus Umum Khusus Teknik
taan Peru-
angsung sahaan
Lampiran

PSC
45 Seychelles 10% 10% Tidak tidak 10% - 10% - tidak
Mengatur mengatur mengatur
46 Singapura 15% 10%, tidak tidak 10% - 15% - tidak
min 25% mengatur mengatur mengatur
kepemi-
likan
47 Slovakia 10% 10% 10% Ya 10% - 15% 10% tidak
mengatur
48 Spanyol 15% 10%, 10% Ya, khu- 10% - 10% - tidak
min 25% sus di mengatur
kepemi- Indonesia
likan sebelum
31 Des
1983
49 Sri Lanka 15% 15% sesuai tidak 15% - 15% - tidak
UU do- mengatur mengatur
mestik
50 Sudan 10% 10% 10% Ya, khu- 15% - 10% - tidak
sus di mengatur
indonesia
51 Suriname 15% 15% 15% Ya, khu- 15% - 15% - tidak
sus di mengatur
indonesia
157
No. Negara Dividen Branch Profit Tax Bunga Royalti Jasa 158
Portfolio Penyer- Tarif Exempt- Umum Khusus Umum Khusus Teknik
taan Peru-
angsung sahaan
PSC
52 Swedia 15% 10%, 15% Ya, khu- 10% - 15% 10% tidak
min 25% sus di mengatur
kepemi- Indonesia
likan sebelum
31 Des
1983
53 Swiss 15% 10%, 10% tidak 10% - 12,50% - tidak
min 25% mengatur mengatur
kepemi-
likan
54 Syria 10% 10% Tidak tidak 10% - 20% 15% tidak
Mengatur mengatur mengatur
55 Taiwan 10% 10% 5% Ya 10% - 10% - 15%

56 Thailand 15%/ 15%/ sesuai uu tidak 15% bagi 10%/ 15% - tidak
20% 20% domestik mengatur Indonesia 25% bagi mengatur
thailand
57 Tiongkok 10% 10% 10% tidak 10% - 10% - tidak
(China) mengatur mengatur
58 Tunisia 12% 12% 12% Ya 12% - 15% - tidak
mengatur
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
No. Negara Dividen Branch Profit Tax Bunga Royalti Jasa
Portfolio Penyer- Tarif Exempt- Umum Khusus Umum Khusus Teknik
taan Peru-
angsung sahaan
Lampiran

PSC
59 Turki 15% 10%, Tidak tidak 10% - 10% - tidak
min 25% Mengatur mengatur mengatur
kepemi-
likan
60 Ukraina 15% 10%, 10% Ya 10% - 10% - tidak
min 20% mengatur
kepemi-
likan
61 Uni Emirat 10% 10% 5% tidak 5% - 5% - tidak
Arab mengatur mengatur
62 Uzbekistan 10% 10% 10% Ya 10% - 10% - tidak
mengatur
63 Venezuela 15% 10%, 10% Ya, khu- 10% - 20% - 10%
min 10% sus di
kepemi- indonesia
likan
64 Vietnam 15% 15% 10% Ya 15% - 15% - tidak
mengatur
65 Yordania 10% 10% Tidak tidak 10% - 10% - tidak
Mengatur mengatur mengatur
159
I. Tabel Hak Pemajakan Atas Pelayaran & Penerbangan, 160

Pengalihan Harta, dan penghasilan lainnya


No. Negara Hak Pemajakan Pelayaran dan Penerbangan Keuntungan dari Pengalihan Harta
internasional
Pelayaran Pener- Aturan remuner- Harta Harta Harta Saham Harta
(Ship- bangan khusus asi crew Tidak bergerak Bergerak, Lainnya
ping) dan on board Bergerak Terkait pesawat
pengec- BUT/ & kapal
ualian pekerjaan
bebas
1 Afrika Selatan Negara Negara ada Negara Negara Negara Negara Menga- Negara
Domisili Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili cu pada Domisili
pengali-
han harta
lainnya
2 Aljazair Negara Negara tidak Negara Negara Negara Negara Menga- Negara
Domisili Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili cu pada Domisili
pengali-
han harta
lainnya
3 Amerika Negara Negara ada Negara Negara Negara Negara Menga- MAP
Serikat Domisili Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili cu pada
pengali-
han harta
lainnya
4 Australia Negara Negara ada Negara Negara Negara Negara negara Ketentuan
Domisili Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili sumber Domestik
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
No. Negara Hak Pemajakan Pelayaran dan Penerbangan Keuntungan dari Pengalihan Harta
internasional
Pelayaran Pener- Aturan remuner- Harta Harta Harta Saham Harta
(Ship- bangan khusus asi crew Tidak bergerak Bergerak, Lainnya
Lampiran

ping) dan on board Bergerak Terkait pesawat


pengec- BUT/ & kapal
ualian pekerjaan
bebas
5 Austria Negara Negara tidak Negara Negara Negara Negara Menga- Negara
Sumber Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili cu pada Domisili
dengan pengali-
50% han harta
Potongan lainnya
Pajak
6 Bangladesh Negara Negara tidak Negara Negara Negara Negara Menga- Negara
Sumber Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili cu pada Domisili
dengan pengali-
50% han harta
Potongan lainnya
Pajak
7 Belanda Negara Negara tidak Negara negara negara Negara Menga- Negara
Domisili Domisili Domisili sumber sumber Domisili cu pada Domisili
pengali- dengan
han harta aturan
lainnya tertentu
8 Belgia Negara Negara ada Negara Negara Negara Negara Menga- Negara
Domisili Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili cu pada Domisili
pengali-
han harta
lainnya
161
No. Negara Hak Pemajakan Pelayaran dan Penerbangan Keuntungan dari Pengalihan Harta 162
internasional
Pelayaran Pener- Aturan remuner- Harta Harta Harta Saham Harta
(Ship- bangan khusus asi crew Tidak bergerak Bergerak, Lainnya
ping) dan on board Bergerak Terkait pesawat
pengec- BUT/ & kapal
ualian pekerjaan
bebas
9 Brunei Darus- Negara Negara tidak Negara Negara Negara Negara Menga- Negara
salam Sumber Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili cu pada Domisili
dengan pengali-
50% han harta
Potongan lainnya
Pajak
10 Bulgaria Negara Negara tidak Negara Negara Negara Negara Menga- Negara
Domisili Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili cu pada Domisili
pengali-
han harta
lainnya
11 Ceko Negara Negara tidak Negara Negara Negara Negara Menga- Negara
Domisili Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili cu pada Domisili
pengali-
han harta
lainnya
12 Denmark Negara Negara ada Negara Negara Negara Negara Menga- negara
Domisili Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili cu pada domisili
pengali-
han harta
lainnya
13 Filipina Negara Negara tidak Negara negara negara Negara negara Negara
Sumber Sumber Domisili sumber sumber Domisili sumber Domisili
dengan dengan
ketentuan ketentuan
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

tertentu tertentu
No. Negara Hak Pemajakan Pelayaran dan Penerbangan Keuntungan dari Pengalihan Harta
internasional
Pelayaran Pener- Aturan remuner- Harta Harta Harta Saham Harta
(Ship- bangan khusus asi crew Tidak bergerak Bergerak, Lainnya
Lampiran

ping) dan on board Bergerak Terkait pesawat


pengec- BUT/ & kapal
ualian pekerjaan
bebas
14 Finlandia Negara Negara tidak Negara Negara Negara Negara Negara negara
Domisili Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili Sumber domisili

15 Hong Kong Negara Negara tidak Negara negara negara negara negara negara
Sumber Domisili Domisili sumber sumber domisili sumber domisili
dengan dengan
50% ketentuan
Potongan tertentu
Pajak
16 Hongaria Negara Negara tidak Negara Negara Negara Negara Menga- negara
Sumber Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili cu pada domisili
dengan pengali-
50% han harta
Potongan lainnya
Pajak
17 India Negara Negara ada Negara negara negara Negara Menga- Negara
Sumber Domisili Domisili sumber sumber Domisili cu pada Domisili
dengan pengali-
50% han harta
Potongan lainnya
Pajak
18 Inggris Negara Negara tidak tidak men- Negara Negara Negara Menga- negara
Domisili Domisili gatur Sumber Sumber Domisili cu pada domisili
pengali-
han harta
lainnya
163
No. Negara Hak Pemajakan Pelayaran dan Penerbangan Keuntungan dari Pengalihan Harta 164
internasional
Pelayaran Pener- Aturan remuner- Harta Harta Harta Saham Harta
(Ship- bangan khusus asi crew Tidak bergerak Bergerak, Lainnya
ping) dan on board Bergerak Terkait pesawat
pengec- BUT/ & kapal
ualian pekerjaan
bebas
19 Iran Negara Negara tidak Negara negara negara Negara Negara Negara
Domisili Domisili Domisili sumber sumber Domisili Sumber Domisili

20 Italia Negara Negara tidak Negara Negara Negara Negara Menga- negara
Domisili Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili cu pada domisili
pengali-
han harta
lainnya
21 Jepang Negara Negara tidak Negara negara negara Negara Menga- Negara
Domisili Domisili Domisili sumber sumber Domisili cu pada Domisili
pengali-
han harta
lainnya
22 Jerman Negara Negara tidak Negara Negara Negara Negara Menga- negara
Domisili Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili cu pada domisili
pengali-
han harta
lainnya
23 Kanada Negara Negara tidak Negara Negara Negara Negara Negara Negara
Domisili Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili Sumber Domisili/
negara
sumber
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
No. Negara Hak Pemajakan Pelayaran dan Penerbangan Keuntungan dari Pengalihan Harta
internasional
Pelayaran Pener- Aturan remuner- Harta Harta Harta Saham Harta
(Ship- bangan khusus asi crew Tidak bergerak Bergerak, Lainnya
Lampiran

ping) dan on board Bergerak Terkait pesawat


pengec- BUT/ & kapal
ualian pekerjaan
bebas
24 Korea Selatan Negara Negara ada Negara negara negara Negara Menga- Negara
Domisili Domisili Domisili sumber sumber Domisili cu pada Domisili
pengali-
han harta
lainnya
25 Korea utara Negara Negara tidak Negara negara negara Negara Negara Negara
Domisili Domisili Domisili sumber sumber Domisili Sumber Domisili

26 Kroasia Negara Negara ada Negara Negara Negara Negara Negara negara
Domisili Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili Sumber domisili

27 Kuwait Negara Negara tidak Negara negara negara Negara Menga- Negara
Domisili Domisili Domisili, sumber sumber Domisili cu pada Domisili
dengan (tidak (tidak pengali-
ketentuan lebih dari lebih dari han harta
tertentu 50%) 50%) lainnya
28 Luxembourg Negara Negara tidak Negara Negara Negara Menga- Menga- negara
Domisili Domisili Domisili Sumber Sumber cu pada cu pada domisili
pengali- pengali-
han harta han harta
lainnya lainnya
165
No. Negara Hak Pemajakan Pelayaran dan Penerbangan Keuntungan dari Pengalihan Harta 166
internasional
Pelayaran Pener- Aturan remuner- Harta Harta Harta Saham Harta
(Ship- bangan khusus asi crew Tidak bergerak Bergerak, Lainnya
ping) dan on board Bergerak Terkait pesawat
pengec- BUT/ & kapal
ualian pekerjaan
bebas
29 Malaysia Negara Negara ada Negara negara negara Negara Negara Negara
Sumber Domisili Domisili sumber sumber Domisili Sumber Domisili
dengan
50%
Potongan
Pajak
30 Maroko Negara Negara ada Negara negara negara Negara negara Negara
Domisili Domisili Domisili sumber sumber Domisili sumber Domisili

31 Meksiko Negara Negara ada Negara negara negara Negara negara Negara
Domisili Domisili Domisili sumber sumber Domisili sumber Domisili

32 Mesir Negara Negara tidak Negara Negara Negara negara Negara negara
Domisili Domisili Domisili Sumber Sumber domisili Sumber sumber

33 Mongolia Negara Negara tidak Negara negara negara Negara Menga- Negara
Domisili Domisili Domisili sumber sumber Domisili cu pada Domisili
pengali-
han harta
lainnya
34 Norwegia Negara Negara ada Negara negara negara Negara Negara Negara
Domisili Domisili Domisili sumber sumber Domisili, Sum- Domisili
dengan ber (jika
pengec- sahamnya
ualian >30%)
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

bagi SAS
No. Negara Hak Pemajakan Pelayaran dan Penerbangan Keuntungan dari Pengalihan Harta
internasional
Pelayaran Pener- Aturan remuner- Harta Harta Harta Saham Harta
(Ship- bangan khusus asi crew Tidak bergerak Bergerak, Lainnya
Lampiran

ping) dan on board Bergerak Terkait pesawat


pengec- BUT/ & kapal
ualian pekerjaan
bebas
35 Pakistan Negara Negara tidak Negara negara negara Negara Menga- negara
Sumber Domisili Domisili sumber sumber Domisili cu pada sumber
sesuai pengali-
ketentuan han harta
domestik lainnya
36 Papua Nugini Negara Negara tidak Negara Negara Negara Negara Menga- Negara
Domisili Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili cu pada Domisili
pengalu-
han harta
lainnya
37 Perancis Negara Negara tidak Negara Negara Negara Menga- Menga- negara
Domisili Domisili Domisili Sumber Sumber cu pada cu pada domisili
pengali- pengali-
han harta han harta
lainnya lainnya
38 Polandia Negara Negara tidak Negara negara negara Negara Menga- Negara
Domisili Domisili Domisili sumber sumber Domisili cu pada Domisili
pengali-
han harta
lainnya
39 Portugal Negara Negara ada Negara negara negara Negara Menga- Negara
Domisili Domisili Domisili sumber sumber Domisili cu pada Domisili
pengali-
han harta
lainnya
167
No. Negara Hak Pemajakan Pelayaran dan Penerbangan Keuntungan dari Pengalihan Harta 168
internasional
Pelayaran Pener- Aturan remuner- Harta Harta Harta Saham Harta
(Ship- bangan khusus asi crew Tidak bergerak Bergerak, Lainnya
ping) dan on board Bergerak Terkait pesawat
pengec- BUT/ & kapal
ualian pekerjaan
bebas
40 Qatar Negara Negara tidak Negara negara negara Negara Menga- Negara
Domisili, Domisili, Domisili, sumber sumber Domisili cu pada Domisili
dapat dapat dengan pengali-
dikenakan dikenakan ketentuan han harta
di Negara di Negara tertentu lainnya
Sumber Sumber
41 Romania Negara Negara ada Negara negara negara Negara Menga- Negara
Sumber Domisili Domisili sumber sumber Domisili cu pada Domisili
dengan pengali-
ketentuan han harta
tertentu lainnya
42 Rusia Negara Negara tidak Negara negara negara Menga- Menga- Negara
Sumber Domisili Domisili sumber sumber cu pada cu pada Domisili
dengan pengali- pengali-
50% han harta han harta
Potongan lainnya lainnya
Pajak
43 Saudi Arabia Tidak Negara ada Negara Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
mengatur Domisili Domisili Mengatur Mengatur Mengatur Mengatur Mengatur
dengan
ketentuan
tertentu
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
No. Negara Hak Pemajakan Pelayaran dan Penerbangan Keuntungan dari Pengalihan Harta
internasional
Pelayaran Pener- Aturan remuner- Harta Harta Harta Saham Harta
(Ship- bangan khusus asi crew Tidak bergerak Bergerak, Lainnya
Lampiran

ping) dan on board Bergerak Terkait pesawat


pengec- BUT/ & kapal
ualian pekerjaan
bebas
44 Selandia Baru Negara Negara tidak Negara negara negara Negara Menga- Negara
Domisili Domisili Domisili sumber sumber Domisili cu pada Domisili
pengali-
han harta
lainnya
45 Seychelles Negara Negara tidak Negara negara negara Negara Menga- Negara
Domisili Domisili Domisili sumber sumber Domisili cu pada Domisili
pengali-
han harta
lainnya
46 Singapura Negara Negara tidak Negara negara Tidak Tidak Tidak Tidak
Sumber Domisili Domisili sumber Mengatur Mengatur Mengatur Mengatur
dengan
50%
Potongan
Pajak
47 Slovakia Negara Negara ada Negara Negara Negara Negara Menga- Negara
Domisili Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili cu pada Domisili
pengali-
han harta
lainnya
48 Spanyol Negara Negara tidak Negara Negara Negara Negara Menga- Negara
Domisili Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili cu pada Domisili
pengali-
han harta
lainnya
169
No. Negara Hak Pemajakan Pelayaran dan Penerbangan Keuntungan dari Pengalihan Harta 170
internasional
Pelayaran Pener- Aturan remuner- Harta Harta Harta Saham Harta
(Ship- bangan khusus asi crew Tidak bergerak Bergerak, Lainnya
ping) dan on board Bergerak Terkait pesawat
pengec- BUT/ & kapal
ualian pekerjaan
bebas
49 Sri Lanka Negara Negara tidak Negara negara negara Negara Menga- Negara
Sumber Domisili Domisili sumber sumber Domisili cu pada Domisili
dengan pengali-
50% han harta
Potongan lainnya
Pajak
50 Sudan Negara Negara tidak Tidak Negara Negara Negara Menga- Negara
Domisili Domisili Mengatur Sumber Sumber Domisili cu pada Domisili
pengali-
han harta
lainnya
51 Suriname Negara Negara tidak Negara Negara Negara Negara Menga- Negara
Domisili Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili cu pada Domisili
pengali-
han harta
lainnya
52 Swedia Negara Negara ada Negara Negara Negara Negara Menga- Negara
Domisili Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili, cu pada Domisili
dengan pengali-
pengec- han harta
ualian lainnya
bagi SAS
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
No. Negara Hak Pemajakan Pelayaran dan Penerbangan Keuntungan dari Pengalihan Harta
internasional
Pelayaran Pener- Aturan remuner- Harta Harta Harta Saham Harta
(Ship- bangan khusus asi crew Tidak bergerak Bergerak, Lainnya
Lampiran

ping) dan on board Bergerak Terkait pesawat


pengec- BUT/ & kapal
ualian pekerjaan
bebas
53 Swiss Negara Negara tidak Negara Negara Negara Negara Menga- Negara
Sumber Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili cu pada Domisili
dengan pengali-
50% han harta
Potongan lainnya
Pajak
54 Syria Negara Negara ada Negara Negara Negara Negara Menga- Negara
Domisili Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili cu pada Domisili
pengali-
han harta
lainnya
55 Taiwan Negara Negara tidak Negara negara negara Negara Menga- Negara
Domisili Domisili Domisili sumber sumber Domisili cu pada Domisili
pengali-
han harta
lainnya
56 Thailand Negara Negara tidak Negara negara negara Negara dapat Negara
Sumber Domisili Domisili sumber sumber Domisili dipajaki Domisili
dengan di kedua
50% negara
Potongan
Pajak
171
No. Negara Hak Pemajakan Pelayaran dan Penerbangan Keuntungan dari Pengalihan Harta 172
internasional
Pelayaran Pener- Aturan remuner- Harta Harta Harta Saham Harta
(Ship- bangan khusus asi crew Tidak bergerak Bergerak, Lainnya
ping) dan on board Bergerak Terkait pesawat
pengec- BUT/ & kapal
ualian pekerjaan
bebas
57 Tiongkok Negara Negara tidak Negara Negara Negara negara Negara negara
(China) Sumber Domisili Domisili Sumber Sumber domisili Sumber domisili
dengan
50%
Potongan
Pajak
58 Tunisia Negara Negara tidak Negara Negara Negara Negara Menga- Negara
Domisili Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili cu pada Domisili
pengali-
han harta
lainnya
59 Turki Negara Negara ada Negara Negara Negara Negara Menga- Negara
Domisili Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili cu pada Domisili/
pengali- negara
han harta sumber
lainnya dengan
ketentuan
khusus
60 Ukraina Negara Negara ada Negara Negara Negara Negara Negara Negara
Domisili Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili Sumber Domisili

61 Uni Emirat Negara Negara ada Negara negara negara Negara Menga- Negara
Arab Domisili Domisili Domisili sumber sumber Domisili cu pada Domisili
pengali-
han harta
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

lainnya
No. Negara Hak Pemajakan Pelayaran dan Penerbangan Keuntungan dari Pengalihan Harta
internasional
Pelayaran Pener- Aturan remuner- Harta Harta Harta Saham Harta
(Ship- bangan khusus asi crew Tidak bergerak Bergerak, Lainnya
Lampiran

ping) dan on board Bergerak Terkait pesawat


pengec- BUT/ & kapal
ualian pekerjaan
bebas
62 Uzbekistan Negara Negara ada Negara negara negara Negara Menga- Negara
Domisili Domisili Domisili sumber sumber Domisili cu pada Domisili
pengali-
han harta
lainnya
63 Venezuela Negara Negara ada Negara Negara Negara Negara negara Negara
Domisili Domisili Domisili Sumber Sumber Domisili sumber Domisili

64 Vietnam Negara Negara tidak Negara negara negara Negara dapat Negara
Domisili Domisili Domisili sumber sumber Domisili dipajaki Domisili
di kedua
negara
dengan
ketentuan
tertentu
65 Yordania Negara Negara tidak Negara negara negara Negara Menga- Negara
Domisili Domisili Domisili sumber sumber Domisili cu pada sumber
pengali-
han harta
lainnya
173
J. Tabel Hak Pemajakan Atas Penghasilan Direktur, Artis, 174

olahragawan, dan Pegawai Pemerintahan


No. Negara Direktur Artis Olahragawan Pegawai Pemer-
Hak Pemajakan Ruang Lingkup intah
Direktur
1 Afrika Sela- negara sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
tan atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
2 Aljazair Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
3 Amerika Tidak Mengatur Tidak Mengatur negara tem- negara tem- Negara Pembayar
Serikat pat kegiatan pat kegiatan dengan Ketentuan
berlangsung berlangsung Tertentu
(jika melebihi (jika melebihi
$2000/12 bulan) $2000/12 bulan)
4 Australia Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
5 Austria Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
6 Bangladesh Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
7 Belanda negara sumber Pengurus/Komis- Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
aris atau bestuud- Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

er/commisaris langsung langsung Tertentu


No. Negara Direktur Artis Olahragawan Pegawai Pemer-
Hak Pemajakan Ruang Lingkup intah
Direktur
Belgia Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
Lampiran

8
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
9 Brunei Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
Darussalam atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
10 Bulgaria Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
11 Ceko Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
12 Denmark Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
13 Filipina negara sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
14 Finlandia Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
15 Hong Kong Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
16 Hongaria Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
175

yang serupa langsung langsung Tertentu


No. Negara Direktur Artis Olahragawan Pegawai Pemer- 176
Hak Pemajakan Ruang Lingkup intah
Direktur
17 India Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
18 Inggris negara sumber Pengurus atau negara tempat negara tempat Negara Pembayar
komisaris kegiatan ber- kegiatan ber- dengan Ketentuan
langsung langsung Tertentu
19 Iran Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
20 Italia Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
21 Jepang Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
22 Jerman Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
23 Kanada Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
24 Korea Sela- Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
tan atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
25 Korea utara Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

yang serupa langsung langsung Tertentu


No. Negara Direktur Artis Olahragawan Pegawai Pemer-
Hak Pemajakan Ruang Lingkup intah
Direktur
Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
Lampiran

26 Kroasia
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
27 Kuwait Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
28 Luxembourg Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
29 Malaysia Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
30 Maroko negara sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
31 Meksiko negara sumber Dewan Direksi, Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
Dewan Pengawas, Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
dan anggota de- langsung langsung Tertentu
wan komisaris
32 Mesir Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
33 Mongolia negara sumber Dewan Direksi/ Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
Similiar Organ, Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
negara sumber langsung langsung Tertentu
177
No. Negara Direktur Artis Olahragawan Pegawai Pemer- 178
Hak Pemajakan Ruang Lingkup intah
Direktur
34 Norwegia negara sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
35 Pakistan negara sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
36 Papua Nugini Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
37 Perancis Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
38 Polandia negara sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
39 Portugal negara sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
40 Qatar negara sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
41 Romania negara sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
No. Negara Direktur Artis Olahragawan Pegawai Pemer-
Hak Pemajakan Ruang Lingkup intah
Direktur
negara sumber Dewan Direktur tidak mengatur tidak mengatur Negara Pembayar
Lampiran

42 Rusia
atau organ lain dengan Ketentuan
yang serupa Tertentu
43 Saudi Arabia Tidak Mengatur Tidak Mengatur Tidak Mengatur Tidak Mengatur Tidak Mengatur

44 Selandia negara sumber dewan direksi Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
Baru Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
langsung langsung Tertentu
45 Seychelles negara sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
46 Singapura negara sumber Board Of Director Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
langsung langsung Tertentu
47 Slovakia negara sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
48 Spanyol negara sumber dewan direksi Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ yang Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
serupa langsung langsung Tertentu
49 Sri Lanka negara sumber dewan direksi Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ yang Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
serupa langsung langsung Tertentu
50 Sudan negara sumber dewan direksi Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ yang Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
serupa langsung langsung Tertentu
179
No. Negara Direktur Artis Olahragawan Pegawai Pemer- 180
Hak Pemajakan Ruang Lingkup intah
Direktur
51 Suriname negara sumber dewan direksi Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ yang Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
serupa langsung langsung Tertentu
52 Swedia negara sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
53 Swiss negara sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
54 Syria negara sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
55 Taiwan negara sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
56 Thailand negara sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
57 Tiongkok Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
(China) atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
58 Tunisia Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
No. Negara Direktur Artis Olahragawan Pegawai Pemer-
Hak Pemajakan Ruang Lingkup intah
Direktur
Negara Sumber Dewan Direktur negara tempat negara tempat Negara Pembayar
Lampiran

59 Turki
kegiatan ber- kegiatan ber- dengan Ketentuan
langsung langsung Tertentu
60 Ukraina negara sumber Dewan Direktur negara tempat negara tempat Negara Pembayar
atau organ lain kegiatan ber- kegiatan ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
61 Uni Emirat Negara Sumber Dewan Direktur negara tempat negara tempat Negara Pembayar
Arab atau organ lain kegiatan ber- kegiatan ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
62 Uzbekistan Negara Sumber Dewan Direktur negara tempat negara tempat Negara Pembayar
atau organ lain kegiatan ber- kegiatan ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
63 Venezuela negara sumber Dewan Direktur negara tempat negara tempat Negara Pembayar
atau organ lain kegiatan ber- kegiatan ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
64 Vietnam negara sumber Dewan Direktur negara tempat negara tempat Negara Pembayar
atau organ lain kegiatan ber- kegiatan ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
65 Yordania Negara Sumber Dewan Direktur Negara Tempat Negara Tempat Negara Pembayar
atau organ lain Kegiatan Ber- Kegiatan Ber- dengan Ketentuan
yang serupa langsung langsung Tertentu
181
K. Tabel Hak Pemajakan Atas Penghasilan Individu Lainnya 182

No. Negara Pensiunan Pelajar & trainee Guru, Dosen dan Pemajakan atas
lainnya Pemerintah Peneliti Penghasilan
Lainnya
1 Afrika Selatan Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai tidak mengatur Negara Sumber
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara
Tertentu tempat belajar
dengan ketentuan
tertentu
2 Aljazair Kedua Negara Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara kecuali bagi BUT
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
3 Amerika Kedua Negara Negara Sumber Tidak dikenai Tidak dikenai tidak mengatur
Serikat dengan ketentuan pajak di negara pajak di negara
tertentu tempat belajar tempat kegiatan
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
4 Australia Negara Pembayar Negara Sumber Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun pajak di negara pajak di negara dapat dikenakan
tempat belajar tempat kegiatan di kedua negara,
dengan ketentuan dengan ketentuan kecuali bagi BUT
tertentu tertentu
5 Austria Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara dapat dikenakan
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan di kedua negara,
dengan ketentuan dengan ketentuan kecuali bagi BUT
tertentu tertentu
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
No. Negara Pensiunan Pelajar & trainee Guru, Dosen dan Pemajakan atas
lainnya Pemerintah Peneliti Penghasilan
Lainnya
6 Bangladesh Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Lampiran

Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara kecuali bagi BUT
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
7 Belanda Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara kecuali bagi BUT
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
8 Belgia Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara dapat dikenakan
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan di kedua negara,
dengan ketentuan dengan ketentuan kecuali bagi BUT
tertentu tertentu
9 Brunei Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber
Darussalam Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
10 Bulgaria Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara dapat dikenakan
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan di kedua negara,
dengan ketentuan dengan ketentuan kecuali bagi BUT
tertentu tertentu
183
No. Negara Pensiunan Pelajar & trainee Guru, Dosen dan Pemajakan atas 184
lainnya Pemerintah Peneliti Penghasilan
Lainnya
11 Ceko Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara dapat dikenakan
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan di kedua negara
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
12 Denmark Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara dapat dikenakan
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan di kedua negara,
dengan ketentuan dengan ketentuan kecuali bagi BUT
tertentu tertentu
13 Filipina Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara dapat dikenakan
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan di kedua negara
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
14 Finlandia Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai tidak mengatur Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara dapat dikenakan
Tertentu tempat belajar di kedua negara,
dengan ketentuan kecuali bagi BUT
tertentu
15 Hong Kong Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak Mengatur Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara dapat dikenakan
Tertentu tempat belajar di kedua negara,
dengan ketentuan kecuali bagi BUT
tertentu
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
No. Negara Pensiunan Pelajar & trainee Guru, Dosen dan Pemajakan atas
lainnya Pemerintah Peneliti Penghasilan
Lainnya
16 Hongaria Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Lampiran

Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara dapat dikenakan


Tertentu tempat belajar tempat kegiatan di kedua negara
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
17 India Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara dapat dikenakan
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan di kedua negara,
dengan ketentuan dengan ketentuan kecuali bagi BUT
tertentu tertentu
18 Inggris Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai tidak mengatur tidak mengatur
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara
Tertentu tempat belajar
dengan ketentuan
tertentu
19 Iran Negara Pembayar Tidak Mengatur, Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun mengacu pada pajak di negara pajak di negara dapat dikenakan
aturan pensiun tempat belajar tempat kegiatan di kedua negara,
lainnya dengan ketentuan dengan ketentuan kecuali bagi BUT
tertentu tertentu
20 Italia Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara dapat dikenakan
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan di kedua negara
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
185
No. Negara Pensiunan Pelajar & trainee Guru, Dosen dan Pemajakan atas 186
lainnya Pemerintah Peneliti Penghasilan
Lainnya
21 Jepang Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara dapat dikenakan
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan di kedua negara,
dengan ketentuan dengan ketentuan kecuali bagi BUT
tertentu tertentu
22 Jerman Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara dapat dikenakan
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan di kedua negara
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
23 Kanada Negara Pembayar Tidak Mengatur, dikecualikan di Tidak Mengatur Negara Sumber,
Pensiun dengan mengacu pada negara tempat dapat dikenakan
ketentuan aturan pensiun belajar atas di kedua negara
tertentu lainnya pembayaran
dari luar negara
tersebut
24 Korea Selatan Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara kecuali bagi BUT
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
25 Korea utara Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara kecuali bagi BUT
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
No. Negara Pensiunan Pelajar & trainee Guru, Dosen dan Pemajakan atas
lainnya Pemerintah Peneliti Penghasilan
Lainnya
26 Kroasia Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Lampiran

Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara kecuali bagi BUT
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
27 Kuwait Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
28 Luxembourg Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara dapat dikenakan
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan di kedua negara
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
29 Malaysia Negara Pembayar Negara Sumber Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun pajak di negara pajak di negara dapat dikenakan
tempat belajar tempat kegiatan di kedua negara
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
30 Maroko Negara Pembayar Negara Pembayar dikecualikan di Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan negara tempat pajak di negara kecuali bagi BUT
Tertentu belajar atas tempat kegiatan
pembayaran dengan ketentuan
dari luar negara tertentu
tersebut
187
No. Negara Pensiunan Pelajar & trainee Guru, Dosen dan Pemajakan atas 188
lainnya Pemerintah Peneliti Penghasilan
Lainnya
31 Meksiko Negara Pembayar Negara Pembayar dikecualikan di Tidak dikenai negara sumber
Pensiun dengan Ketentuan negara tempat pajak di negara
Tertentu belajar atas tempat kegiatan
pembayaran dengan ketentuan
dari luar negara tertentu
tersebut
32 Mesir Negara Pembayar Tidak Mengatur, dikecualikan di Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun mengacu pada negara tempat pajak di negara dapat dikenakan
aturan pensiun belajar tempat kegiatan di kedua negara
lainnya dengan ketentuan
tertentu
33 Mongolia Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara dapat dikenakan
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan di kedua negara
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
34 Norwegia Negara Pembayar Negara Sumber Tidak dikenai tidak mengatur Negara Sumber,
Pensiun pajak di negara dapat dikenakan
tempat belajar di kedua negara,
dengan ketentuan kecuali bagi BUT
tertentu
35 Pakistan Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara dapat dikenakan
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan di kedua negara,
dengan ketentuan dengan ketentuan kecuali bagi BUT
tertentu tertentu
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
No. Negara Pensiunan Pelajar & trainee Guru, Dosen dan Pemajakan atas
lainnya Pemerintah Peneliti Penghasilan
Lainnya
36 Papua Nugini Negara Pembayar Negara Sumber Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Lampiran

Pensiun pajak di negara pajak di negara kecuali bagi BUT


tempat belajar tempat kegiatan
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
37 Perancis Negara Pembayar Negara Sumber Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun pajak di negara pajak di negara kecuali bagi BUT
tempat belajar tempat kegiatan
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
38 Polandia Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara dapat dikenakan
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan di kedua negara
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
39 Portugal Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara kecuali bagi BUT
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
40 Qatar Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara dapat dikenakan
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan di kedua negara,
dengan ketentuan dengan ketentuan kecuali bagi BUT
tertentu tertentu
189
No. Negara Pensiunan Pelajar & trainee Guru, Dosen dan Pemajakan atas 190
lainnya Pemerintah Peneliti Penghasilan
Lainnya
41 Romania Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
42 Rusia Negara Pembayar Tidak Mengatur, Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber
Pensiun mengacu pada pajak di negara pajak di negara
aturan pensiun tempat belajar tempat kegiatan
lainnya dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
43 Saudi Arabia Tidak Mengatur Tidak Mengatur Tidak Mengatur Tidak Mengatur Tidak Mengatur

44 Selandia Baru Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara dapat dikenakan
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan di kedua negara
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
45 Seychelles Negara Pembayar Negara Pembayar dikecualikan di Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan negara tempat pajak di negara kecuali bagi BUT
Tertentu belajar atas tempat kegiatan
pembayaran dengan ketentuan
dari luar negara tertentu
tersebut
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
No. Negara Pensiunan Pelajar & trainee Guru, Dosen dan Pemajakan atas
lainnya Pemerintah Peneliti Penghasilan
Lainnya
46 Singapura Negara Pembayar Tidak Mengatur, Tidak dikenai Tidak dikenai Mengacu ke
Lampiran

Pensiun mengacu pada pajak di negara pajak di negara hukum pajak


aturan pensiun tempat belajar tempat kegiatan domestik
lainnya dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
47 Slovakia Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara kecuali bagi BUT
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
48 Spanyol Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara dapat dikenakan
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan di kedua negara
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
49 Sri Lanka Negara Pembayar Tidak Mengatur, Tidak dikenai Tidak dikenai Mengacu ke
Pensiun mengacu pada pajak di negara pajak di negara hukum pajak
aturan pensiun tempat belajar tempat kegiatan domestik
lainnya dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
50 Sudan Negara Pembayar Negara Pembayar dikecualikan di Tidak dikenai Negara Sumber
Pensiun dengan Ketentuan negara tempat pajak di negara
Tertentu belajar atas tempat kegiatan
pembayaran dengan ketentuan
dari luar negara tertentu
tersebut
191
No. Negara Pensiunan Pelajar & trainee Guru, Dosen dan Pemajakan atas 192
lainnya Pemerintah Peneliti Penghasilan
Lainnya
51 Suriname Negara Pembayar Negara Pembayar dikecualikan di Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan negara tempat pajak di negara kecuali bagi BUT
Tertentu belajar atas tempat kegiatan
pembayaran dengan ketentuan
dari luar negara tertentu
tersebut
52 Swedia Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara dapat dikenakan
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan di kedua negara
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
53 Swiss Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai tidak mengatur tidak mengatur
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara
Tertentu tempat belajar
dengan ketentuan
tertentu
54 Syria Negara Pembayar Negara Pembayar dikecualikan di Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan negara tempat pajak di negara kecuali bagi BUT
Tertentu belajar atas tempat kegiatan
pembayaran dengan ketentuan
dari luar negara tertentu
tersebut
55 Taiwan Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai negara sumber
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
No. Negara Pensiunan Pelajar & trainee Guru, Dosen dan Pemajakan atas
lainnya Pemerintah Peneliti Penghasilan
Lainnya
56 Thailand Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai negara sumber
Lampiran

Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara


Tertentu tempat belajar tempat kegiatan
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
57 Tiongkok Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
(China) Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara dapat dikenakan
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan di kedua negara,
dengan ketentuan dengan ketentuan kecuali bagi BUT
tertentu tertentu
58 Tunisia Negara Pembayar Negara Pembayar dikecualikan di Tidak Mengatur Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan negara tempat dapat dikenakan
Tertentu belajar atas di kedua negara
pembayaran
dari luar negara
tersebut dengan
aturan tertentu
59 Turki Negara Pembayar Negara Pembayar dikecualikan di Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan negara tempat pajak di negara dapat dikenakan
Tertentu belajar atas tempat kegiatan di kedua negara
pembayaran dengan ketentuan
dari luar negara tertentu
tersebut
60 Ukraina Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara kecuali bagi BUT
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
193
No. Negara Pensiunan Pelajar & trainee Guru, Dosen dan Pemajakan atas 194
lainnya Pemerintah Peneliti Penghasilan
Lainnya
61 Uni Emirat Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Arab Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara kecuali bagi BUT
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
62 Uzbekistan Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara dapat dikenakan
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan di kedua negara,
dengan ketentuan dengan ketentuan kecuali bagi BUT
tertentu tertentu
63 Venezuela Negara Pembayar Negara Pembayar dikecualikan di Tidak dikenai Mengacu ke
Pensiun dengan Ketentuan negara tempat pajak di negara hukum pajak
Tertentu belajar atas tempat kegiatan domestik
pembayaran dengan ketentuan
dari luar negara tertentu
tersebut
64 Vietnam Negara Pembayar Negara Pembayar Tidak dikenai Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan pajak di negara pajak di negara dapat dikenakan
Tertentu tempat belajar tempat kegiatan di kedua negara
dengan ketentuan dengan ketentuan
tertentu tertentu
65 Yordania Negara Pembayar Negara Pembayar dikecualikan di Tidak dikenai Negara Sumber,
Pensiun dengan Ketentuan negara tempat pajak di negara dapat dikenakan
Tertentu belajar atas tempat kegiatan di kedua negara
pembayaran dengan ketentuan
dari luar negara tertentu
tersebut
Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
Lampiran 195

L. Tabel Pasal Khusus, Jangka Waktu


Pengajuan MAP, dan Bantuan Penagihan
No. Negara Pasal khusus Mutual Assistance in
Agreement collection
Procedure
1 Afrika Selatan Tidak Mengatur 2 thn tidak mengatur

2 Aljazair tax on capital 2 thn ya

3 Amerika Source of Income; Related 3 thn ya


Serikat persons; Social securities
payment; general rules of
taxation
4 Australia Source of Income; 3 thn tidak mengatur
miscellaneous rules
5 Austria tax on capital 2 thn tidak mengatur

6 Bangladesh tax on capital 3 thn tidak mengatur

7 Belanda Offshore activities; territorial 3 thn tidak mengatur


extensions
8 Belgia Limitation of the effects of 3 thn ya
the agreement
9 Brunei Income of Government tanpa batas tidak mengatur
Darussalam waktu
10 Bulgaria miscellaneous rules 2 thn tidak mengatur

11 Ceko miscellaneous rules tanpa batas tidak mengatur


waktu
12 Denmark territorial extensions 3 thn tidak mengatur

13 Filipina miscellaneous rules 2 thn ya

14 Finlandia Tidak Mengatur 3 thn tidak mengatur

15 Hong Kong miscellaneous rules 3 thn tidak mengatur


196 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

No. Negara Pasal khusus Mutual Assistance in


Agreement collection
Procedure
16 Hongaria Tidak Mengatur 2 thn tidak mengatur

17 India Tidak Mengatur 3 thn tidak mengatur

18 Inggris Partnership tanpa batas tidak mengatur


waktu
19 Iran Tidak Mengatur 2 thn tidak mengatur

20 Italia Refunds 2 thn tidak mengatur

21 Jepang miscellaneous rules 3 thn tidak mengatur

22 Jerman tax on capital 2 thn tidak mengatur

23 Kanada tax on capital; Miscellaneous 2 thn tidak mengatur


Rules
24 Korea Selatan miscellaneous rules 3 thn tidak mengatur

25 Korea utara Tidak Mengatur 2 thn tidak mengatur

26 Kroasia Tidak Mengatur 3 thn tidak mengatur

27 Kuwait Tax on Capital; 3 thn tidak mengatur


miscellaneous rules
28 Luxembourg tax on capital; miscellaneous 2 thn tidak mengatur
rules; exclusion of certain
companies
29 Malaysia Tidak Mengatur 3 thn tidak mengatur

30 Maroko Tidak Mengatur 3 thn tidak mengatur

31 Meksiko Tidak Mengatur 3 thn tidak mengatur

32 Mesir Miscellaneous Rules 2 thn ya


Lampiran 197

No. Negara Pasal khusus Mutual Assistance in


Agreement collection
Procedure
33 Mongolia Tidak Mengatur 3 thn tidak mengatur

34 Norwegia tax on capital; offshore 3 thn tidak mengatur


activities
35 Pakistan Tidak Mengatur 2 thn tidak mengatur

36 Papua Nugini Tidak mengatur 3 thn tidak mengatur

37 Perancis tax on capital; Territorial 3 thn tidak mengatur


scope
38 Polandia Tidak Mengatur 2 thn tidak mengatur

39 Portugal Tidak Mengatur 2 thn tidak mengatur

40 Qatar Tidak Mengatur 2 thn tidak mengatur

41 Romania Commision; miscellaneous 2 thn tidak mengatur


rules
42 Rusia Adjustment of taxable 2 thn tidak mengatur
income; limitation of benefits
43 Saudi Arabia Tidak Mengatur 60 hari tidak mengatur

44 Selandia Baru Tidak Mengatur 2 thn tidak mengatur

45 Seychelles Tidak Mengatur 2 thn tidak mengatur

46 Singapura Limitation of Relief 3 thn tidak mengatur

47 Slovakia Tidak Mengatur 3 thn tidak mengatur

48 Spanyol tax on capital 2 thn tidak mengatur

49 Sri Lanka miscellaneous rules 2 thn tidak mengatur


198 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

No. Negara Pasal khusus Mutual Assistance in


Agreement collection
Procedure
50 Sudan Tidak Mengatur 2 thn tidak mengatur

51 Suriname Tidak Mengatur 2 thn ya

52 Swedia miscellaneous rules 3 thn tidak mengatur

53 Swiss Payment for services 2 thn tidak mengatur

54 Syria Tidak Mengatur 2 thn tidak mengatur

55 Taiwan Tidak Mengatur 3 thn tidak mengatur

56 Thailand miscellaneous rules 2 thn tidak mengatur

57 Tiongkok Tidak Mengatur 3 thn tidak mengatur


(China)
58 Tunisia Tidak Mengatur 3 thn tidak mengatur

59 Turki Tidak Mengatur tanpa batas tidak mengatur


waktu
60 Ukraina Tidak Mengatur 2 thn tidak mengatur

61 Uni Emirat Tidak Mengatur 2 thn tidak mengatur


Arab
62 Uzbekistan Tidak Mengatur 2 thn tidak mengatur

63 Venezuela Tidak Mengatur 3 thn ya

64 Vietnam Tidak Mengatur 3 thn ya

65 Yordania Tidak Mengatur 2 thn ya


Lampiran 199

M. Format Surat Keterangan Domisili


200 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
Lampiran 201
202 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
Lampiran 203
204 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
Lampiran 205

INSTRUCTIONS
FOR CERTIFICATE OF DOMICILE OF NON RESIDENT FOR INDONESIA TAX
WITHHOLDING (FORM-DGT 1)

Number 1:
Please fill in the name of the country of income recipient.

Part I Information of Income Recipient:


Number 2:
Please fill in the income recipient’s taxpayer indetification number in country
where the claimant is registered as a resident taxpayer.
Number 3:
Please fill in the income recipient’s name.
Number 4:
Please fill in the income recipient’s address.
Number 5:
Please fill in the Indonesia withholding agent’s taxpayer identification number.
Number 6:
Please fill in the Indonesia withholding agent’s name.
Number 7:
Please fill in the Indonesia withholding agent’s address.

Part II Declaration by the Income Recipient:


Number 8:
In case the income recipient is not an individual this form shall be filled by
the management of the income recipient. Please fill in the name of person
authorized to sign on behalf the income recipient. If the income recipient is
an individual, please fill in the name as stated in Number 3.
Number 9:
The income recipient or his representative (for non individual) shall sign this
form.
Number 10:
Please fill in the place and date of signing.
Number 11:
Please fill in the capacity of the claimant or his representative who signs this
form.
Number 12:
206 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Please fill in the contact number of person who signs this form.

Part III Certification by Competent Authority of the Country of Residence:


Number 13 and 14:
Please fill in the name of country where the income recipients is registered
as a resident taxpayer.
Number 15 and 16:
The Competent Authorities or his authorized representative should certify
this for by signing it. The position of the signor should be filled in Number 16.
Number 17:
Please fill in the date when the form is signed by the Competent Authorities
or his authorized representative.
Number 18:
Please fill in the office address of the Competent  Authority or  authorized
representative.

Part IV to be completed if the Income Recipient is an individual:


Number 19:
Please fill in the income recipient’s full name.
Number 20:
Please fill in the income recipient’s date of birth.
Number 21:
Please check the appropriate box. You are acting as an agent if you act as
an intermediary or act for and on behalf of other party in relation with the
income source in Indonesia. You are acting as a nominee if you are the legal
owner of income or of assets that the income is generated and you are not
the real owner of the income or assets.
Number 22:
Please fill in the income recipient’s address.
Number 23:
Please check the appropriate box. If your permanent home is in Indonesia,
you are considered as Indonesian resident taxpayer according to the Income
Tax Law and if you are receive income from Indonesia, the Double Tax
Conventions shall not be applied.
Number 24:
Please fill in the name of country where you ordinarily reside.
Number 25:
Lampiran 207

Please check the appropriate box. In case you have ever been resided in
Indonesia, please fill the period of your stay and address where you are
resided.
Number 26:
Please check the appropriate box.  In case you have any offices, or other
place of business in Indonesia, please fill in the address of the offices, or
other place of business in Indonesia

Part V To be Completed if the income Recipient is non Individual:


Number 27:
Please fill in the country where the entity is registered or incorporeted.
Number 28:
Please fill in the country where the entity is controlled or where its management
is situated.
Number 29:
Please fill in the address of the entity’s Head Office.
Number 30:
Please fill in the address of any branches, offices, or other place of business
of the entity situated in Indonesia.
Number 31:
Please fill in the nature of business of the claimant.
Number 32-38:
Please check the appropriate box in accordance with the claimant’s facts
and circumstances.

Part VI for Income Earned from Indonesia in Respect to which relief is


claimed:
Number 39:
Please fill in the type of income (e.g. dividend, interest, or royalities).
Number 40:
Please fill in the amount of Income liable to withholding tax under Indonesian
law.
Number 41:
Please fill in the type of income from rendering services (including
professional).
Number 42:
Please fill in the amount of income liable to withholding tax under Indonesian
208 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Law.
Number 43:
In case your income is arising from rendering service, please fill in the periode
when the service is provided.
Number 44:
Please fill in the type of income.
Number 45:
Please fill in the amount of Income liable to withholding tax under Indonesian
Law.
Lampiran 209
210 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

INSTRUCTIONS
FOR CERTIFICATE OF DOMICILE OF NON RESIDENT FOR INDONESIA TAX
WITHHOLDING (FORM-DGT 2)

Number 1:
Please fill in the name of the country of income recipient.

Number 2:
Please fill in the name of the income recipient.

Number 3:
Please fill in the income recipient’s taxpayer identification number in
country where the income recipient is registered as a resident taxpayer.

Number 4:
Please fill in the income recipient’s address.

Number 5:
This form shall filled be by the management of the claimant. Please fill in
the name of country where income recipient is registered as a resident
taxpayer.

Number 6:
The claimant or his representative (for non individual) shall sign this form.

Number 7:
Please fill in the place and date of signing.

Number 8:
Please fill in the capacity of the claimant or his representative who signs
this form.

Number 9:
Please fill in the contact number of person who signs this form.

Number 10 and 11:


Please fill in the name of country where the claimant is registered as a
Lampiran 211

resident taxpayer.

Number 12 and 13:


The Competent Authorities or his authorized representative should certify
this form by signing it. The position of the signor should be filled in Number
13.

Number 14:
Please fill in the date when the form is signed by the Competent Authorities
or his authorized representative.

Number 15:
Please fill in the office address of the Competent Authority or authorized
representative.
212 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

N. Contoh Surat Keterangan Domisili Negara


Lainnya
Lampiran 213
214 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
Lampiran 215
216 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
Lampiran 217
218 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan
Lampiran 219

O. Format Permohonan Exchange of Infor-


mation
220 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Keterangan:
1. Diisi dengan nomor surat
2. Diisi dengan tanggal surat
3. Diisi sesuai jumlah lampiran
4. Diisi dengan masalah pokok surat
5. Diisi dengan kegiatan yang dilakukan KPP (verifikasi, pemeriksaan, proses
keberatan)
6. Diisi dengan nama Wajib Pajak yang dimintakan informasi (Wajib Pajak
Indonesia)
7. Diisi dengan NPWP Wajib Pajak
8. Diisi dengan nama Entitas luar negeri
9. Diisi dengan alamat Entitas luar negeri (termasuk e-mail atau situs internet jika
diketahui)
10. Diisi dengan masa pajak dan/atau tahun pajak yang dipertanyakan
11. Diisi dengan nomor pasal dalam P3B yang mengatur tentang pertukaran
informasi
12. Diisi dengan nama negara/yurisdiksi mitra tujuan permintaan
13. Diisi dengan menyebutkan alasan informasi tidak ditemukan dan/atau
diperoleh
14. Diisi dengan alasan kesegeraan dipenuhinya permintaan informasi (jika ada)
15. Diisi dengan batas waktu penggunaan informasi (jika terdapat batas waktu
penggunaan informasi dan/atau informasi tidak dapat lagi digunakan)
16. Diisi dengan nama pejabat yang menandatangani surat
17. Diisi dengan NIP pejabat yang menandatangani surat
18. Diisi dengan Kepala Kantor Wilayah DJP terkait
Lampiran 221

LAMPIRAN I
Surat Kepala KPP
…………….
Nomor :
……………………….
Tanggal:
……………………….

Skema Transaksi (1)


Skema Organisasi (2)
Struktur Kepemilikan (3)
222 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Keterangan:

1. diisi dengan skema transaksi yang menjelaskan hubungan antara pihak-pihak


yang terlibat

2. diisi dengan skema organisasi yang menjelaskan hubungan antara pihak-pihak


yang terlibat

3. diisi dengan struktur kepemilikan yang menjelaskan hubungan antara pihak-


pihak yang terlibat
Lampiran 223

LAMPIRAN II
Surat Kepala KPP …………….
Nomor : ……………………….
Tanggal: ……………………….

Wajib Pajak Indonesia


Nama Wajib Pajak : …………………....(1)
NPWP : …………………....(2)
Alamat Wajib Pajak : ………………..…..(3)
Bidang/kegiatan Usaha : ……………..……..(4)

Entitas Luar Negeri:


Nama : ………….….……..(5)
Tax Identification Number (TIN) : ……………..……..(6)
Nomor Registrasi Usaha : …………..............(7)
Alamat : ……….................(8)

1. Uraian Transaksi ……. (9)*


2. Hal –hal yang dicurigai …….. (10)
3. Informasi dan/atau data yang diminta …… (11)
224 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Keterangan:
1. Diisi dengan nama Wajib Pajak yang dimintakan informasi (Wajib Pajak
Indonesia)
2. Diisi dengan NPWP Wajib Pajak
3. Diisi dengan alamat Wajib Pajak (termasuk email atau situs internet jika
diketahui)
4. Diisi dengan bidang/kegiatan usaha Wajib Pajak
5. Diisi dengan nama Entitas luar negeri
6. Diisi dengan TIN Entitas luar negeri
7. Diisi dengan nomor registrasi usaha (jika diketahui)
8. Diisi dengan alamat Entitas luar negeri (termasuk e-mail atausitus internet jika
diketahui)
9. Diisi dengan penjelasan mengenai latar belakang dan tujuan permintaan
informasi.
* Dalam hal Informasi yang diminta melibatkan pihak lain, perlu mencantumkan
keterangan mengenai semua identitas pihak lain yang terkait antara lain nama
TIN, nomor registrasi usaha (jika diketahui).
* Dalam hal informasi yang diminta terkait dengan informasi di bidang
perbankan, perlu mencantumkan identitas rekening bank antara lain nama
pemilik, nomor rekening ban, dan/atau nama bank (jika diketahui)
* Khusus untuk permintaan informasi ke HongKong, agar dicantumkan tanggal
mulai dilakukannya kegiatan administrasi perpajakan (contoh: penelitian,
pemeriksaan, proses keberatan). Permintaan informasi ke Hong Kong berlaku
mulai tahun pajak 2013.
10. Diisi dengan hal-hal yang patut dicurigai sehingga perlu dimintakan informasi
11. Diisi dengan informasi yang diminta disertai dengan alasan permintaan
informasi
Lampiran 225

LAMPIRAN III
Surat Kepala KPP …………….
Nomor : ……………………….
Tanggal: ……………………….

Salinan Dokumen Pendukung (1)

Keterangan:
1. Diisi apabila terdapat informasi atau data yang relevan yang dimiliki KPP seperti
antara lain fotokopi faktur dan kontrak.
226 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Checklist yang dapat digunakan dalam memeriksa kelengkapan


materi muatan dalam usulan permintaan informasi kepada negara
mitra atau yurisdiksi mitra oleh unit kerja di lingkungan DJP

Keterangan ADA TIDAK


1.  Identitas Wajib Pajak dalam negeri yang sedang dimintakan  
informasi:  
  a. Nomor Pokok Wajib Pajak    
  b. Alamat Wajib Pajak ( termasuk email atau website jika  
diketahui)  
2.  Identitas Wajib Pajak luar negeri, termasuk entitas luar  
negeri yang dimintakan informasi :  
  a. Tax Identification Number (TIN)    
  b. Nomor Registrasi Usaha (jika diketahui)    
  c. Alamat (termasuk email dan website jika diketahui)    
3.  Hubungan wajib pajak dalam negeri dengan wajib pajak  
luar negeri termasuk entitas luar negeri yang dimintakan
informasi :  
  a. Bagan atau diagram organisasi    
  b. Dokumen lain yang menjelaskan hubungan para pihak  
(e.g. skema transaksi)  
4. Apabila informasi yang diminta menyangkut pembayaran  
atau transaksi melalui perantara, mencantumkan identitas
perantara antara lain:      
  a.  Nama Perantara    
  b. Tax Identification Number (TIN)    
  c. Nomor Registrasi Usaha (jika diketahui)    
d. Identitas rekening bank mencakup nama pemilik, nomor  
  rekening dan/atau nama bank (jika diketahui)  
  e. Alamat (termasuk email atau website (jika diketahui))    
5.  Penjelasan mengenai latar belakang dan tujuan permintaan  
informasi  
6.  Informasi yang diminta, disertai dengan alasan permintaan  
informasi  
7.  Jenis pajak yang dipertanyakan    
8.  Masa Pajak dan/atau tahun pajak yang dipertanyakan    
9.  Penjelasan mengenai hal-hal yang patut dicurigai sehingga  
perlu dimintakan informasi (pilih bentuk kecurigaan)  
  a. Dugaan transaksi untuk menghindari pengenaan pajak    
Lampiran 227

Keterangan ADA TIDAK


  b. Melakukan pengelakan pajak    
  c. Semata-mata memanfaatkan fasilitas P3B    
  d. Sedang dilakukan analisis dan pengembangan atas  
informasi, data, laporan dan pengaduan yang diterima
oleh Direktorat Jenderal Pajak, verifikasi, pemeriksaan,
penagihan, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan
tindak pidana dibidang perpajakan terhadap kewajiban
perpajakan yang terkait dengan transaksi internasional  
  e. Sedang dalam proses pengurangan atau pembatalan  
ketetapa pajak, keberatan, banding, peninjauan kembali,
dan/atau prosedur persetujuan bersama (Mutual
Agreement Procedure) terhadap kewajiban perpajakan
yang terkait dengan transaksi internasional  
10.  Hal-hal yang mendasari unit di lingkungan Direktorat  
Jenderal Pajak meyakini bahwa informasi dimaksud dimiliki
atau merupakan wewenang pihak negara mitra atau yurisdiksi
mitra yang dimintakan informasi  
11.  Alasan kesegeraan dipenuhinya permintaan informasi    
12.  Batas waktu penggunaan, berupa tanggal saat informasi  
dimaksud terlampaui batas waktu penggunaan dan/atau tidak
dapat lagi digunakan (Dalam hal informasi dimaksud terdapat
batas waktu penggunaan)  
13.  Penjelasan mengenai upaya-upaya yang telah dilakukan  
oleh unit di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak untuk mencari
Informasi di dalam negeri yang membuktikan bahwa informasi
dimaksud tidak ditemukan  
14.  Dalam hal informasi yang diperlukan terkait dengan  
informasi di bidang perbankan, dicantumkan Identitas
rekening bank (nama pemilik, nomor rekening bank, dan/atau
nama bank (jika ada))  
15. Identifikasi informasi yang relevan yang dimiliki oleh unit  
di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (jika ada), antara lain
fotokopi faktur dan kontrak.  
“The hardest thing to understand in the world is the
income tax”
- Albert Einstein
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 229

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 215/PMK.03/2008

TENTANG

PENETAPAN ORGANISASI-ORGANISASI INTERNASIONAL DAN PEJABAT-PEJABAT


PERWAKILAN ORGANISASI INTERNASIONAL YANG TIDAK TERMASUK
SUBJEK PAJAK PENGHASILAN

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7


Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan perubahannya, Menteri Keuangan
menetapkan organisasi internasional dan pejabat perwakilan organisasi
internasional yang tidak termasuk Subjek Pajak Penghasilan;
b. bahwa dalam rangka lebih memberikan kepastian hukum mengenai perlakuan
perpajakan bagi organisasi internasional dan pejabat perwakilan organisasi
internasional perlu mengatur kembali organisasi-organisasi internasional dan
pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang tidak termasuk sebagai
Subjek Pajak Penghasilan;
c. bahwa berdasarkan surat Nomor B-9980/Setneg/Setmen/KTLN/08/2007
tanggal 3 Agustus 2007 dan surat Nomor B-10929/Setneg/Setmen/KTLN
/05/2008 tanggal 22 Mei 2008, Sekretariat Negara telah menyampaikan
rekomendasi dan data kegiatan serta data pendukung dalam rangka penetapan
organisasi internasional dan pejabat perwakilan organisasi internasional yang
tidak termasuk Subjek Pajak Penghasilanl;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penetapan
Organisasi-organisasi Internasional dan Pejabat-pejabat Perwakilan Organisasi
Internasional Yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
2. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
230 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENETAPAN ORGANISASI-ORGANISASI


INTERNASIONAL DAN PEJABAT-PEJABAT PERWAKILAN ORGANISASI INTERNASIONAL
YANG TIDAK TERMASUK SUBJEK PAJAK PENGHASILAN.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:


1. Organisasi Internasional adalah organisasi/badan/lembaga/asosiasi/
perhimpunan/forum antar pemerintah atau non-pemerintah yang bertujuan untuk
meningkatkan kerjasama internasional dan dibentuk dengan aturan tertentu atau
kesepakatan bersama.
2. Pejabat perwakilan organisasi internasional adalah pejabat yang diangkat atau
ditunjuk langsung oleh induk organisasi internasional yang bersangkutan untuk
menjalankan tugas atau jabatan pada kantor perwakilan organisasi internasional
tersebut di Indonesia.

Pasal 2

(1) Organisasi-organisasi internasional yang tidak termasuk Subjek Pajak


Penghasilan apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
b. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan
dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada Pemerintah yang
dananya berasal dari iuran para anggota.
(2) Organisasi-organisasi internasional yang berbentuk kerjasama teknik dan atau
kebudayaan tidak termasuk Subjek Pajak Penghasilan apabila memenuhi syarat
sebagai berikut :
a. kerjasama teknik tersebut memberi manfaat pada Negara/Pemerintah
Indonesia;
b. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan
dari Indonesia.
(3) Organisasi-organisasi internasional yang memenuhi syarat sebagai tidak
termasuk Subjek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri
Keuangan ini yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri Keuangan ini.
(4) Pejabat-pejabat perwakilan dari organisasi internasional sebagaimana,
dimaksud pada ayat (3) tidak termasuk Subjek Pajak Penghasilan apabila
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 231

memenuhi syarat sebagai berikut :


a. bukan Warga Negara Indonesia; dan
b. tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Pasal 3

Dalam hal organisasi-organisasi internasional dan atau pejabat-pejabat perwakilan


dari organisasi internasional sebagaimana ditetapkan tidak termasuk Subjek Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini
tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, penetapan
tersebut dicabut oleh Menteri Keuangan.

Pasal 4

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 574/KMK.04/2000tentang Organisasi-organisasi Internasional dan Pejabat
Perwakilan Organisasi Internasional Yang Tidak Termasuk Sebagai Subjek Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 87/PMK.03/2007, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 5

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri


Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


232 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 15/PMK.03/2010

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 215/PMK.03/2008


TENTANG PENETAPAN ORGANISASI-ORGANISASI INTERNASIONAL DAN PEJABAT-
PEJABAT PERWAKILAN ORGANISASI INTERNASIONALYANG TIDAK TERMASUK
SUBJEK PAJAK PENGHASILAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983


tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 juncto Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 215/PMK.03/2008 tentang Organisasi-organisasi Internasional
dan Pejabat-pejabat Perwakilan Organisasi Internasional Yang Tidak Termasuk
Subjek Pajak Penghasilan,
b. Menteri Keuangan menetapkan organisasi internasional dan pejabat perwakilan
organisasi internasional yang memenuhi syarat sebagai tidak termasuk Subjek
Pajak Penghasilan;
c. bahwa melalui surat Nomor B-13520/Setneg/Setmen/07/2009 tanggal 14 Juli
2009 dan surat Nomor B-9796/Setneg/Setmen/ KTLN/05/2009 tanggal 27
Mei 2009, Sekretariat Negara telah menyampaikan rekomendasi dalam rangka
penetapan Japan External Trade Organization (JETRO) sebagai Organisasi
Internasional yang tidak termasuk subjek Pajak Penghasilan dan perubahan
nama Plan International Inc.;
d. bahwa berdasarkan hasil penelitian Direktorat Jenderal Pajak, Japan External Trade
Organization (JETRO) dan Plan International Inc. telah memenuhi persyaratan
untuk ditetapkan sebagai Organisasi Internasional yang tidak termasuk sebagai
Subjek Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
huruf a;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf
b, dan huruf c di atas, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2008 tentang
Organisasi-organisasi Internasional dan Pejabat-pejabat Perwakilan Organisasi
Internasional Yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan;
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 233

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
2. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2008 tentang Organisasi-
organisasi Internasional dan Pejabat-pejabat Perwakilan Organisasi Internasional
Yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN


MENTERI KEUANGAN NOMOR 215/PMK.03/2008 TENTANG ORGANISASI-
ORGANISASI INTERNASIONAL DAN PEJABAT-PEJABAT PERWAKILAN ORGANISASI
INTERNASIONAL YANG TIDAK TERMASUK SUBJEK PAJAK PENGHASILAN.

Pasal I

Mengubah Lampiran angka romawi IV butir 5 dan menambah 1 (satu) butir menjadi
butir 63 dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2008 tentang
Penetapan Organisasi-organisasi Internasional dan Pejabat-pejabat Perwakilan
Organisasi Internasional yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan, sehingga
Lampiran angka romawi IV berbunyi sebagai berikut:

IV. Organisasi -Organisasi Internasional Lainnya:


1. Asean Secretariat
2. SEAMEO (South East Asian Minister of Education Organization)
3. ACE (The ASEAN Centre for Energy)
4. NORAD (The Norwegian Agency for International Development)
5. Plan International Inc.
6. PCI (Project Concern International)
7. IDRC (The International Development Research Centre)
8. Kerjasama Teknik di bidang Perkoperasian antara DMTCI/CLUSA-
Republik Indonesia
9. NLRA (The Netherlands Leprosy Relief Association)
10. The Commission of The European Communities
11. OISCA INT. (The Organization for Industrial, Spiritual and Cultural
234 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Advancement International)
12. World Relief Cooperation
13. APCU (The Asean Heads of Population Coordination Unit)
14. SIL (The Summer Institute of Linguistics, Inc.)
15. IPC (The International Pepper Community)
16. APCC (Asian Pacific Coconut Community)
17. INTELSAT (International Telecommunication Satellite Organization)
18. People Hope of Japan (PHJ) dan Project Hope
19. CIP (The International Potato Centre)
20. ICRC (The International Committee of Red Cross)
21. Terre Des Hommes Netherlands
22. Wetlands International
23. HKI (Helen Keller International, Inc.)
24. Taipei Economic and Trade Office
25. Vredeseilanden Country Office (VECO) Belgia
26. KAS (Konrad Adenauer Stiftung)
27. Program for Appropriate Technology in Health, USA-PATH
28. Save the Children-US dan Save the Children-UK
29. CIFOR (The Center for International Forestry Research)
30. Islamic Development Bank
31. Kyoto University-Jepang
32. ICRAF (the International Centre for Research in Agroforestry)
33. Swisscontact - Swiss Foundation for Technical Cooperation
34. Winrock International
35. Stichting Tropenbos
36. The Moslem World League (Rabithah)
37. NEDO (The New Energy and Industrial Technology Development
Organization)
38. HSF (Hans Seidel Foundation)
39. DAAD (Deutscher Achademischer Austauschdienst)
40. WCS (The Wildlife Conservation Society)
41. BORDA (The Bremen Overseas Research and Development Association)
42. ASEAN Foundation
43. SOCSEA (Sub Regional Office of CIRDAP in Southeast Asia)
44. IMC (International Medical Corps)
45. KNCV (Koninklijke Nederlands Centrale Vereniging tot Bestrijding der
Tuberculosis)
46. Asia Foundation
47. The British Council
48. CARE (Cooperative for American Relief Everywhere Incorporation)
49. CCF (Christian Children’s Fund)
50. CRS (Catholic Relief Service)
51. CWS (Church World Service)
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 235

52. The Ford Foundation


53. FES (Friedrich Ebert Stiftung)
54. FNS (Friedrich Neumann Stiftung)
55. IRRI (International Rice Research Institute)
56. Leprosy Mission
57. OXFAM (Oxford Committee for Famine Relief)
58. WE (World Education, Incorporated, USA)
59. JICA (Japan International Cooperations Agency)
60. JBIC (Japan Bank for International Cooperation)
61. KOICA (Korea International Cooperation Agency)
62. ERIA (Economic Research Institute for ASEAN and East Asia)
63. JETRO (Japan External Trade Organization)

Pasal II

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri


Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 2010
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 32


236 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 142/PMK.03/2010

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 215/


PMK.03/2008 TENTANG PENETAPAN ORGANISASI-ORGANISASI INTERNASIONAL
DAN PEJABAT-PEJABAT PERWAKILAN ORGANISASI INTERNASIONAL YANG TIDAK
TERMASUK SUBJEK PAJAK PENGHASILAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983


tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 juncto Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 215/PMK.03/2008 tentang Organisasi-organisasi Internasional
dan Pejabat-pejabat Perwakilan Organisasi Internasional yang Tidak Termasuk
Subjek Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 15/PMK.03/2010, Menteri Keuangan menetapkan organisasi
internasional dan pejabat perwakilan organisasi internasional yang memenuhi
syarat sebagai tidak termasuk subjek Pajak Penghasilan;
b. bahwa melalui surat Nomor B-49/UKP-PPP/07/2010 tanggal 1 Juli 2010,
Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan
menyampaikan permintaan agar International Federation of Red Cross and Red
Crescent Societies (IFRC) dapat ditetapkan sebagai organisasi internasional
yang tidak termasuk subjek Pajak Penghasilan, mengingat kegiatan International
Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC) telah mendukung
upaya pembangunan kembali wilayah Aceh dan Nias yang terkena bencana
gempa bumi dan tsunami;
c. bahwa berdasarkan surat Sekretaris Menteri Sekretaris Negara Nomor: B-4660/
Setneg/Sesmen/7/2010 tanggal 28 Juli 2010, Sekretariat Negara telah
menyampaikan rekomendasi dalam rangka penetapan International Federation
of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC) sebagai organisasi internasional
yang tidak termasuk sebagai subjek Pajak Penghasilan;
d. bahwa berdasarkan hasil penelitian Direktorat Jenderal Pajak, International
Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC) telah memenuhi
persyaratan untuk ditetapkan sebagai organisasi internasional yang tidak
termasuk sebagai subjek Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan sebagaimana
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 237

dimaksud pada huruf a;


e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d di atas, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
215/PMK.03/2008 tentang Organisasi-organisasi Internasional dan Pejabat-
pejabat Perwakilan Organisasi Internasional yang Tidak Termasuk Subjek Pajak
Penghasilan;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata


Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2008 tentang Organisasi-
organisasi Internasional dan Pejabat-pejabat Perwakilan Organisasi Internasional
Yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2010;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN


MENTERI KEUANGAN NOMOR 215/PMK.03/2008 TENTANG ORGANISASI-
ORGANISASI INTERNASIONAL DAN PEJABAT-PEJABAT PERWAKILAN ORGANISASI
INTERNASIONAL YANG TIDAK TERMASUK SUBJEK PAJAK PENGHASILAN.

Pasal I

Mengubah Lampiran angka romawi IV dengan menambah 1 (satu) butir menjadi butir
64 dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2008 tentang Penetapan
Organisasi-organisasi Internasional dan Pejabat-pejabat Perwakilan Organisasi
Internasional yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan sebagaimana telah
238 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2010, sehingga


Lampiran angka romawi IV berbunyi sebagai berikut:

IV. Organisasi -Organisasi Internasional Lainnya:


1. Asean Secretariat
2. SEAMEO (South East Asian Minister of Education Organization)
3. ACE (The ASEAN Centre for Energy)
4. NORAD (The Norwegian Agency for International Development)
5. Plan International Inc.
6. PCI (Project Concern International)
7. IDRC (The International Development Research Centre)
8. Kerjasama Teknik Di Bidang Perkoperasian antara DMTCI/CLUSA-
Republik Indonesia
9. NLRA (The Netherlands Leprosy Relief Association)
10. The Commission of The European Communities
11. OISCA INT. (The Organization for Industrial, Spiritual and Cultural
Advancement International)
12. World Relief Cooperation
13. APCU (The Asean Heads of Population Coordination Unit)
14. SIL (The Summer Institute of Linguistics, Inc.)
15. IPC (The International Pepper Community)
16. APCC (Asian Pacific Coconut Community)
17. INTELSAT (International Telecommunication Satellite Organization)
18. People Hope of Japan (PHJ) dan Project Hope
19. CIP (The International Potato Centre)
20. ICRC (The International Committee of Red Cross)
21. Terre Des Hommes Netherlands
22. Wetlands International
23. HKI (Helen Keller International, Inc.)
24. Taipei Economic and Trade Office
25. Vredeseilanden Country Office (VECO) Belgia
26. KAS (Konrad Adenauer Stiftung)
27. Program for Appropriate Technology in Health, USA-PATH
28. Save the Children-US dan Save the Children-UK
29. CIFOR (The Center for International Forestry Research)
30. Islamic Development Bank
31. Kyoto University-Jepang
32. ICRAF (the International Centre for Research in Agroforestry)
33. Swisscontact - Swiss Foundation for Technical Cooperation
34. Winrock International
35. Stichting Tropenbos
36. The Moslem World League (Rabithah)
37. NEDO (The New Energy and Industrial Technology Development
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 239

Organization)
38. HSF (Hans Seidel Foundation)
39. DAAD (Deutscher Achademischer Austauschdienst)
40. WCS (The Wildlife Conservation Society)
41. BORDA (The Bremen Overseas Research and Development Association)
42. ASEAN Foundation
43. SOCSEA (Sub Regional Office of CIRDAP in Southeast Asia)
44. IMC (International Medical Corps)
45. KNCV (Koninklijke Nederlands Centrale Vereniging tot Bestrijding der
Tuberculosis)
46. Asia Foundation
47. The British Council
48. CARE (Cooperative for American Relief Everywhere Incorporation)
49. CCF (Christian Children’s Fund)
50. CRS (Catholic Relief Service)
51. CWS (Church World Service)
52. The Ford Foundation
53. FES (Friedrich Ebert Stiftung)
54. FNS (Friedrich Neumann Stiftung)
55. IRRI (International Rice Research Institute)
56. Leprosy Mission
57. OXFAM (Oxford Committee for Famine Relief)
58. WE (World Education, Incorporated, USA)
59. JICA (Japan International Cooperations Agency)
60. JBIC (Japan Bank for International Cooperation)
61. KOICA (Korea International Cooperation Agency)
62. ERIA (Economic Research Institute for ASEAN and East Asia)
63. JETRO (Japan External Trade Organization)
64. International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC)

Pasal II

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri


Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Agustus 2010
MENTERI KEUANGAN,
240 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

ttd.

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 Agustus 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 398


Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 241

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 166/PMK.011/2012

TENTANG

PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 215/


PMK.03/2008 TENTANG PENETAPAN ORGANISASI-ORGANISASI INTERNASIONAL
DAN PEJABAT-PEJABAT PERWAKILAN ORGANISASI INTERNASIONAL YANG TIDAK
TERMASUK SUBJEK PAJAK PENGHASILAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun


1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 juncto Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2008 tentang Organisasi-organisasi
Internasional dan Pejabat-pejabat Perwakilan Organisasi Internasional yang
Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 142/PMK.03/2010,
Menteri Keuangan menetapkan organisasi internasional dan pejabat perwakilan
organisasi internasional yang memenuhi syarat sebagai tidak termasuk subjek
Pajak Penghasilan;
b. bahwa berdasarkan hasil penelitian Direktorat Jenderal Pajak, Catholic Relief
Services (CRS) tidak lagi memenuhi persyaratan untuk ditetapkan sebagai
organisasi internasional yang tidak termasuk sebagai subjek Pajak Penghasilan
sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a, sehingga Catholic Relief
Services (CRS) perlu dicabut dari daftar organisasi internasional yang tidak
termasuk sebagai subjek Pajak Penghasilan;
c. bahwa berdasarkan surat Kepala Biro Kerjasama Teknik Luar Negeri atas nama
Sekretaris Menteri Sekretaris Negara Nomor B-15625/Kemsetneg/Setmen/
KTLN/KL.05/08/2012 tanggal 27 Agustus 2012, Sekretariat Negara telah
menyampaikan rekomendasi antara lain agar Islamic Corporation for Development
of the Private Sector (ICD) dimasukkan dalam daftar organisasi internasional
yang tidak termasuk sebagai subjek Pajak Penghasilan;
d. bahwa berdasarkan perjanjian yang telah ditandatangani oleh Pemerintah
Indonesia sebagai hasil perundingan antara negara-negara anggota The Islamic
Development Bank (IDB), dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden
Nomor 75 Tahun 2002, tercantum klausula bahwa kegiatan Islamic Corporation
for Development of the Private Sector (ICD) dapat diberikan fasilitas di bidang
242 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

perpajakan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf d dan dalam rangka mendukung
pengembangan ekonomi melalui pembiayaan pengembangan sektor swasta
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, serta untuk mengoptimalkan manfaat
keikutsertaan Indonesia dalam Islamic Corporation for Development of the
Private Sector (ICD), Menteri Keuangan telah menyetujui pemberian fasilitas
Pajak Penghasilan untuk Islamic Corporation for Development of the Private
Sector (ICD);
f. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun
2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak
Penghasilan daIam Tahun Berjalan Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk
memberikan fasilitas Pajak Penghasilan dalam rangka perjanjian internasional;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f di atas, serta untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan,
perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Ketiga atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2008 tentang Penetapan
Organisasi-Organisasi Internasional dan Pejabat-Pejabat Perwakilan Organisasi
Internasional yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan;

Mengingat :

1. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan


Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 161 Tahun 2010, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5183);
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2008 tentang Penetapan
Organisasi-Organisasi Internasional dan Pejabat-Pejabat Perwakilan Organisasi
Internasional yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 142/
PMK.03/2010;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN


MENTERI KEUANGAN NOMOR 215/PMK.03/2008 TENTANG PENETAPAN ORGANISASI-
ORGANISASI INTERNASIONAL DAN PEJABAT-PEJABAT PERWAKILAN ORGANISASI
INTERNASIONAL YANG TIDAK TERMASUK SUBJEK PAJAK PENGHASILAN.
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 243

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2008


tentang Penetapan Organisasi-organisasi Internasional dan Pejabat-pejabat
Perwakilan Organisasi Internasional yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan
yang telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan :
1. 1. Nomor 15/PMK.03/2010;
2. 2. Nomor 142/PMK.03/2012,

diubah sebagai berikut :

1. Di antara Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (2a)
dan ayat (2b), dan ayat (3) diubah, sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 2
(1) Organisasi-organisasi internasional yang tidak termasuk Subjek Pajak
Penghasilan apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
b. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan
dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada Pemerintah yang
dananya berasal dari iuran para anggota.
(2) Organisasi-organisasi internasional yang berbentuk kerjasama teknik dan atau
kebudayaan tidak termasuk Subjek Pajak Penghasilan apabila memenuhi syarat
sebagai berikut :
a. kerjasama teknik tersebut memberi manfaat pada Negara/Pemerintah
Indonesia;
b. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan
dari Indonesia.
(2a) Dalam hal terdapat ketentuan perpajakan yang diatur dalam perjanjian
internasional yang berbeda dengan ketentuan perpajakan yang diatur dalam
Undang-Undang Pajak Penghasilan, perlakuan perpajakannya didasarkan pada
ketentuan dalam perjanjian tersebut sampai dengan berakhirnya perjanjian
dimaksud, dengan syarat perjanjian tersebut telah sesuai dengan Undang-
Undang tentang Perjanjian Internasional.
(2b) Pelaksanaan perlakuan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a)
dilakukan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
(3) Organisasi-organisasi internasional yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan organisasi-organisasi internasional
yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan ayat
(2b), adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri ini
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(4) Pejabat-pejabat perwakilan dari organisasi internasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) tidak termasuk subjek Pajak Penghasilan apabila memenuhi
244 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

syarat sebagai berikut :


a. bukan Warga Negara Indonesia; dan
b. tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia.

2. Mengubah Lampiran angka Romawi IV dengan menghapus butir 50 dan


menambah 1 (satu) butir menjadi butir 65, sehingga Lampiran angka Romawi IV
berbunyi sebagai berikut:

IV. Organisasi-Organisasi InternasionaI Lainnya :


1. Asean Secretariat
2. SEAMEO (South East Asian Minister of Education Organization)
3. ACE (The ASEAN Centre for Energy)
4. NORAD (The Norwegian Agency for International Development)
5. Plan International Inc.
6. PCI (Project Concern International)
7. IDRC (The International Development Research Centre)
8. Kerjasama Teknik di bidang Perkoperasian antara DMTCI/CLUSA-
Republik Indonesia
9. NLRA (The Netherlands Leprosy Relief Association)
10. The Commission of The European Communities
11. OISCA INT. (The Organization for Industrial, Spiritual and Cultural
Advancement International)
12. World Relief Cooperation
13. APCU (The Asean Heads of Population Coordination Unit)
14. SIL (The Summer Institute of Linguistics, Inc.)
15. IPC (The International Pepper Community)
16. APCC (Asian Pacific Coconut Community)
17. INTELSAT (International Telecommunication Satellite Organization)
18. People Hope of Japan (PHJ) dan Project Hope
19. CIP (The International Potato Centre)
20. ICRC (The International Committee of Red Cross)
21. Terre Des Hommes Netherlands
22. Wetlands International
23. HKI (Helen Keller International, Inc.)
24. Taipei Economic and Trade Office
25. Vredeseilanden Country Office (VECO) Belgia
26. KAS (Konrad Adenauer Stiftung)
27. Program for Appropriate Technology in Health, USA-PATH
28. Save the Children-US dan Save the Children-UK
29. CIFOR (The Center for International Forestry Research)
30. Islamic Development Bank
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 245

31. Kyoto University-Jepang


32. ICRAF (the International Centre for Research in Agroforestry)
33. Swisscontact-Swiss Foundation for Technical Cooperation
34. Winrock International
35. Stichting Tropenbos
36. The Moslem World League (Rabithah)
37. NEDO (The New Energy and Industrial Technology Development
Organization)
38. HSF (Hans Seidel Foundation)
39. DAAD (Deutscher Achademischer Austauschdienst)
40. WCS (The Wildlife Conservation Society)
41. BORDA (The Bremen Overseas Research and Development Association)
42. ASEAN Foundation
43. SOCSEA (Sub Regional Office of CIRDAP in Southeast Asia)
44. IMC (International Medical Corps)
45. KNCV (Koninklijke Nederlands Centrale Vereniging tot Bestrijding der
Tuberculosis)
46. Asia Foundation
47. The British Council
48. CARE (Cooperative for American Relief Everywhere Incorporation)
49. CCF (Christian Children’s Fund)
50. dihapus
51. CWS (Church World Service)
52. The Ford Foundation
53. FES (Friedrich Ebert Stiftung)
54. FNS (Friedrich Neumann Stiftung)
55. IRRI (International Rice Research Institute)
56. Leprosy Mission
57. OXFAM (Oxford Committee for Famine Relief)
58. WE (World Education, Incorporated, USA)
59. JICA (Japan International Cooperations Agency)
60. JBIC (Japan Bank for International Cooperation)
61. KOICA (Korea International Cooperation Agency)
62. ERIA (Economic Research Institute for ASEAN and East Asia)
63. JETRO (Japan External Trade Organization)
64. IFRC (International Federation of Red Cross and Red Cresent Societies)
65. ICD (Islamic Corporation for Development of the Private Sector)
246 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Pasal II

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri


ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2012
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK
INDONESIA,

ttd.

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 1051


Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 247

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 43/PJ/2011

TENTANG

PENENTUAN SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI DAN SUBJEK PAJAK LUAR NEGERI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum dalam penentuan status subjek
pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri, serta untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 2A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
tentang Penentuan Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata


Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENENTUAN SUBJEK PAJAK


DALAM NEGERI DAN SUBJEK PAJAK LUAR NEGERI.
248 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:


(1) Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-
Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(2) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B
adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara
mitra atau jurisdiksi mitra untuk mencegah terjadi pengenaan pajak berganda
dan pengelakan pajak.

Pasal 2

(1) Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi, warisan yang belum terbagi
sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, badan, dan bentuk usaha
tetap.
(2) Subjek Pajak dapat dibedakan atas subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak
luar negeri sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
PPh.

Pasal 3

(1) Subjek pajak dalam negeri adalah:


a. orang pribadi yang:
1) bertempat tinggal di Indonesia, atau
2) berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau
3) dalam suatu Tahun Pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat
untuk bertempat tinggal di Indonesia.
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, dan
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak.
(2) Orang pribadi atau badan yang tidak memenuhi kriteria sebagai subjek pajak
dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan subjek pajak
luar negeri.
(3) Orang pribadi yang merupakan subjek pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak
dalam negeri, apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia dan besarnya penghasilan
melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(4) Badan yang merupakan subjek pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak
dalam negeri, sejak saat didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
dan menerima penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 249

maupun dari luar Indonesia.

Pasal 4

(1) Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia:
a. yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia; atau
b. yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak
dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia.
(2) Pengertian “yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia” sebagaimana terdapat pada ayat (1) huruf b meliputi pula yang
tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Pasal 5

(1) Subjek pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dapat
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
(2) Bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tempat
usaha yang bersifat permanen yang dipergunakan oleh subjek pajak luar
negeri, orang pribadi atau badan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) untuk menjalankan kegiatan atau usaha di Indonesia.

Pasal 6

(1) Pemenuhan kewajiban perpajakan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 5 ayat (1) dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan
Wajib Pajak badan dalam negeri.
(2) Pemenuhan kewajiban perpajakan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dimulai sejak menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang
bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Pasal 7

(1) Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 1) adalah orang pribadi yang:
a. mempunyai tempat tinggal (place of residence) di Indonesia yang
digunakan oleh orang pribadi sebagai tempat untuk:
1) berdiam (permanent dwelling place), yang tidak bersifat sementara
250 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

dan tidak sebagai tempat persinggahan,


2) melakukan kegiatan sehari-hari atau menjalankan kebiasaanya
(ordinary course of life),
3) tempat menjalankan kebiasaan (place of habitual abode), atau
b. mempunyai tempat domisili (place of domicile) di Indonesia, yaitu orang
pribadi yang dilahirkan di Indonesia yang masih berada di Indonesia.
(2) Tempat tinggal orang pribadi sbagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. dapat ditempati sendiri oleh orang pribadi atau bersama-sama dengan
keluarganya, yang dapat dimiliki, disewa, atau tersedia untuk digunakannya;
dan
b. berdasarkan pada keadaan yang sebenarnya.
(3) Orang pribadi dianggap mempunyai tempat berdiam (permanent dwelling
place) di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1)
dalam hal orang pribadi mempunyai tempat di Indonesia yang dipakai untuk
kediaman, yang bersifat tidak sementara dan bukan sebagai persinggahan.
(4) Orang pribadi dianggap mempunyai tempat melakukan kegiatan sehari-
hari atau menjalankan kebiasaannya (ordinary course of life) di Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2) dalam hal orang pribadi
mempunyai tempat di Indonesia yang digunakan untuk melakukan kegiatan
sehari-hari terkait dengan urusan ekonomi, keuangan atau sosial pribadinya,
antara lain turut serta dalam kegiatan-kegiatan di masyarakat, turut serta
dalam kegiatan, keanggotaan, atau kepengurusan suatu organisasi, kelompok
atau perkumpulan di Indonesia.
(5) Orang pribadi dianggap mempunyai tempat menjalankan kebiasaan (place
of habitual abode) di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a angka 3) dalam hal orang pribadi mempunyai tempat di Indonesia yang
digunakan untuk melakukan kebiasaan atau kegiatan, baik yang bersifat rutin,
sering ataupun tidak, antara lain melakukan aktivitas yang menjadi kegemaran
atau hobi.

Pasal 8

(1) Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia sebagaimana dimaksud pada
Pasal 7 ayat (1) yang kemudian pergi keluar negeri tetap dianggap bertempat
tinggal di Indonesia, apabila keberadaannya di luar negeri berpindah-pindah
dan berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
(2) Orang pribadi Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri dianggap
tidak bertempat tinggal di Indonesia apabila bertempat tinggal tetap di luar
negeri yang dibuktikan dengan salah satu dokumen tanda pengenal resmi
yang masih berlaku sebagai penduduk di luar negeri, yaitu:
a. Green Card,
b. identity card,
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 251

c. student card,
d. pengesahan alamat di luar negeri pada paspor oleh Kantor Perwakilan
Republik Indonesia diluar negeri,
e. surat keterangan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia atau Kantor
Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, atau
f. tertulis resmi di paspor oleh Kantor Imigrasi negara setempat.

Pasal 9

Yang dimaksud dengan berada di Indonesia bagi Subjek Pajak orang pribadi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 1), angka 3), dan Pasal
4 ayat (1) adalah Subjek Pajak orang pribadi berdasarkan keadaan yang sebenarnya
berada di dalam wilayah negara Republik Indonesia pada suatu waktu.

Pasal 10

Jangka waktu 183 (seratus delapan puluh tiga) hari sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 2) ditentukan dengan menghitung lamanya Subjek
Pajak orang pribadi berada di Indonesia, yang keberadaannya di Indonesia dapat
secara terus menerus atau terputus-putus, dan bagian dari hari dihitung penuh 1
(satu) hari.

Pasal 11

Subjek Pajak orang pribadi dianggap mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 3) dalam hal:
a. Subjek Pajak orang pribadi menunjukkan niatnya secara tegas untuk bertempat
tinggal di Indonesia, yang dapat dibuktikan dengan dokumen berupa:
1) Visa bekerja, atau
2) Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS), lebih dari 183 hari (seratus delapan
puluh tiga) hari atau kontrak/perjanjian untuk melakukan pekerjaan, usaha,
atau kegiatan yang dilakukan di Indonesia selama lebih 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari.
b. Subjek Pajak orang pribadi melakukan tindakan yang menunjukkan bahwa
dirinya akan bertempat tinggal di Indonesia atau bersiap untuk bertempat tinggal
di Indonesia, seperti menyewa atau mengontrak tempat, termasuk menyewa
tempat tinggal di Indonesia, memindahkan anggota keluarga atau memperoleh
tempat yang disediakan oleh pihak lain.

Pasal 12

(1) Orang pribadi yang merupakan Warga Negara Indonesia yang bekerja di luar
negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
252 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

(dua belas) bulan merupakan subjek pajak luar negeri.


(2) Orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap merupakan subjek
pajak dalam negeri apabila tidak memiliki atau tidak dapat menunjukkan salah
satu dokumen tanda pengenal resmi yang masih berlaku sebagai penduduk di
luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2).
(3) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sehubungan dengan pekerjaannya di luar Indonesia dan
penghasilannya bersumber dari luar Indonesia, tidak dikenai Pajak Penghasilan
di Indonesia.
(4) Dalam hal orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menerima atau
memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia, penghasilan tersebut
dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang
perpajakan yang berlaku.

Pasal 13

(1) Subjek pajak orang pribadi dalam negeri yang meninggalkan Indonesia untuk
selama-lamanya dan orang pribadi Warga Negara Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) menjadi subjek pajak luar negeri sejak
meninggalkan Indonesia.
(2) Orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap diwajibkan
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkan jumlah pajak yang sebenarnya
terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam Tahun Pajak
atau Bagian Tahun Pajak terakhir dalam statusnya sebagai subjek pajak dalam
negeri sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan
yang berlaku.
(3) Bagi subjek pajak orang pribadi dalam negeri yang meninggalkan Indonesia
untuk selama-lamanya harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan paling lambat saat meninggalkan Indonesia.

Pasal 14

Subjek Pajak badan yang didirikan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) huruf b adalah badan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009,
tidak termasuk bentuk usaha tetap, yang pendirian atau pembentukannya:
a. berdasarkan ketentuan perundang-undangan di Indonesia,
b. didaftarkan di Indonesia berdasarkan ketentuan perundang-undangan di
Indonesia, atau
c. di dalam wilayah hukum Indonesia.
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 253

Pasal 15

(1) Badan yang bertempat kedudukan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 3 ayat (1) huruf b adalah Subjek Pajak badan yang:
a. mempunyai tempat kedudukan berada di Indonesia sebagaimana
tercantum dalam akta pendirian badan,
b. mempunyai kantor pusat di Indonesia,
c. mempunyai tempat kedudukan pusat administrasi dan/atau pusat
keuangan di Indonesia,
d. mempunyai tempat kantor pimpinan yang berada di Indonesia yang
melakukan pengendalian,
e. pengurusnya melakukan pertemuan di Indonesia untuk membuat
keputusan strategis, atau
f. pengurusnya bertempat tinggal atau berdomisili di Indonesia.
(2) Tempat kedudukan badan sebagaimana dimaksud ayat (1) ditentukan
berdasarkan keadaan atau kenyataan yang sebenarnya.

Pasal 16

(1) Subjek pajak luar negeri dapat menjalankan kegiatan atau usaha melalui suatu
bentuk usaha tetap di Indonesia dalam hal mempunyai tempat kedudukan
manajemen yang berada di Indonesia.
(2) Tempat kedudukan manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
tempat kedudukan manajemen yang menjalankan kegiatan/operasi perusahaan
sehari-hari atau secara rutin yang tidak melakukan pengendalian atas seluruh
perusahaan dan tidak membuat keputusan yang bersifat strategis.
(3) Dalam hal tempat kedudukan manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) melakukan pengendalian atas seluruh perusahaan atau tempat membuat
keputusan yang bersifat strategis, subjek pajak luar negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tersebut diperlakukan sebagai subjek pajak dalam
negeri sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (1).
(4) Tempat kedudukan manajemen efektif yang terdapat dalam Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda dapat diartikan sebagai tempat:
a. keputusan manajemen dan komersial yang signifikan dibuat, atau
b. pengurus membuat keputusan untuk kepentingan badan.

Pasal 17

Saat berakhir dan saat dimulainya kewajiban pajak subjektif bagi subjek pajak dalam
negeri dan subjek pajak luar negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 2A Undang-
Undang PPh diterapkan kepada Subjek Pajak setelah status Subjek Pajak orang
pribadi atau badan ditentukan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 dan Pasal 4.
254 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Pasal 18

Dalam hal orang pribadi atau badan merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara
mitra/jurisdiksi mitra P3B dan subjek pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3, status subjek pajak orang pribadi atau badan dimaksud ditentukan
berdasarkan ketentuan dalam P3B yang terkait.

Pasal 19

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur


Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2011
DIREKTUR JENDERAL

ttd

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 255

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 2/PJ/2009

TENTANG

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN BAGI PEKERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum atas perlakuan Pajak Penghasilan
bagi orang pribadi yang merupakan Warga Negara Indonesia yang bekerja di luar
negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Perlakuan
Pajak Penghasilan Bagi Pekerja Indonesia di Luar Negeri;

Mengingat :

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 133; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERLAKUAN PAJAK


PENGHASILAN BAGI PEKERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI.

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan Pekerja
Indonesia di Luar Negeri adalah orang pribadi Warga Negara Indonesia yang bekerja
di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan.
256 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Pasal 2

Pekerja Indonesia di Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan


Subjek Pajak Luar Negeri.

Pasal 3

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pekerja Indonesia di Luar Negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 sehubungan dengan pekerjaannya di luar
negeri dan telah dikenai pajak di luar negeri, tidak dikenai Pajak Penghasilan di
Indonesia.

Pasal 4

Dalam hal Pekerja Indonesia di Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia maka atas penghasilan
tersebut dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan yang berlaku.

Pasal 5

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur


Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Januari 2009
DIREKTUR JENDERAL,

ttd,

DARMIN NASUTION
NIP 130605098
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 257

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR KEP - 62/PJ./1995

TENTANG

JENIS DAN BESARNYA BIAYA ADMINISTRASI KANTOR PUSAT YANG DIPERBOLEHKAN


UNTUK DIBEBANKAN SEBAGAI BIAYA SUATU BENTUK USAHA TETAP

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) huruf a Undang-undang Nomor


7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, biaya administrasi yang
dikeluarkan oleh kantor pusat boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha
tetap di Indonesia sepanjang digunakan untuk menunjang usaha atau kegiatan
bentuk usaha tetap tersebut;
b. bahwa oleh karena itu, dipandang perlu untuk menetapkan jenis dan besarnya
biaya administrasi kantor pusat yang boleh dikurangkan dari penghasilan suatu
bentuk usaha tetap dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak;

Mengingat :

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara


Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459), dan dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG JENIS DAN BESARNYA BIAYA


ADMINISTRASI KANTOR PUSAT YANG DIPERBOLEHKAN UNTUK DIBEBANKAN
SEBAGAI BIAYA SUATU BENTUK USAHA TETAP
258 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Pasal 1

Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari


penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh suatu bentuk usaha tetap di Indonesia
adalah biaya administrasi yang dikeluarkan oleh kantor pusat yang berkaitan dan
dalam rangka untuk menunjang usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap yang
bersangkutan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

Pasal 2

Besarnya biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan


dari penghasilan bruto di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 setinggi-
tingginya adalah sebanding dengan besarnya peredaran usaha atau kegiatan
bentuk usaha tetap di Indonesia terhadap seluruh peredaran usaha atau kegiatan
perusahaan di seluruh dunia.

Pasal 3

(1) Bentuk usaha tetap di Indonesia yang mengurangkan biaya administrasi kantor
pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, wajib menyampaikan laporan
keuangan konsolidasi atau kombinasi dari kantor pusat yang meliputi seluruh
usaha dan/atau kegiatan perusahaan di seluruh dunia untuk tahun pajak
yang bersangkutan sebagai lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.
(2) Laporan Keuangan konsolidasi atau kombinasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus sudah diaudit oleh akuntan publik dan mengungkapkan rincian
peredaran usaha atau kegiatan perusahaanserta jenis dan besarnya biaya
administrasi yang dibebankan kepada masing-masing bentuk usaha tetap di
negara tempat perusahaan yang bersangkutan melakukan usaha atau kegiatan.

Pasal 4

Keputusan ini mulai berlaku untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak tahun
pajak 1995.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Juli 1995
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd

FUAD BAWAZIER
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 259

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 82/PMK.03/2009

TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN


PASAL 26 ATAS PENGHASILAN DARI PENJUALAN ATAU PENGALIHAN HARTA DI
INDONESIA, KECUALI YANG DIATUR DALAM PASAL 4 AYAT (2) UNDANG-UNDANG
PAJAK PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR NEGERI
SELAIN BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7


Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, atas penghasilan dari
penjualan atau pengalihan harta di Indonesia kecuali yang diatur dalam Pasal 4
ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar
20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan
dalam rangka melaksanakan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas
Penghasilan dari Penjualan Atau pengalihan Harta Di Indonesia, Kecuali yang
Diatur Dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang Diterima
Atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Urnum dan Tata


Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
260 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara


Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN


PASAL 26 ATAS PENGHASILAN DARI PENJUALAN ATAU PENGALIHAN HARTA DI
INDONESIA, KECUALI YANG DIATUR DALAM PASAL 4 AYAT (2) UNDANG-UNDANG
PAJAK PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR NEGERI
SELAIN BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:


1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
2. Pajak Penghasilan Pasal 26 adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 2

(1) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali
yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap
(BUT), dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen)
dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final.
(2) Terhadap Wajib Pajak Luar Negeri yang berkedudukan di negara-negara yang
telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan
Indonesia, pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak pemajakannya ada pada
pihak Indonesia.
(3) Besarnya perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah 25 % (dua puluh lima persen) dari harga jual.
(4) Penjualan atau pengalihan harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
penjualan atau pengalihan harta berupa perhiasan mewah, berlian, emas,
intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar,
dan/atau pesawat terbang ringan.
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 261

Pasal 3

(1) Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1), dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh pembeli yang ditunjuk
sebagai pemotong pajak dan kepada Wajib Pajak Luar Negeri selaku penjual
diberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26.
(2) Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Luar Negeri yang menerima atau memperoleh
penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta yang besarnya tidak melebihi
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap jenis transaksi, dikecualikan
dari pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1).

Pasal 4

(1) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3


ayat (1) wajib memotong dan menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 26 yang
terutang dengan menggunakan nama Wajib Pajak Luar Negeri yang menjual
atau mengalihkan harta paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya
setelah bulan terjadinya transaksi pada Kantor Pos atau bank yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan.
(2) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) wajib melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 26 yang dipotong kepada
Direktur Jenderal Pajak paling lama tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya.
(3) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan ini dikenai sanksi
sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 5

Ketentuan lebih lanjut mengenai penunjukan pemotong, tata cara pemotongan,


penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penghasilan dari
penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4
Ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, diatur dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 6

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


262 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri


Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 April 2009
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 263

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 52/PJ/2009

TENTANG

PENUNJUKAN PEMOTONG, TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN


PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN DARI PENJUALAN
ATAU PENGALIHAN HARTA DI INDONESIA, KECUALI YANG DIATUR DALAM PASAL 4
AYAT (2) UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH
WAJIB PAJAK LUAR NEGERI SELAIN BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan


Nomor 82/PMK.03/2009 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas
Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta di Indonesia, Kecuali yang diatur
dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, perlu
menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Penunjukan Pemotong,
Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 26
atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta di Indonesia, Kecuali yang
Diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap di lndonesia;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata


Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999),
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009 tentang Pemotongan
264 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan


Harta di Indonesia, Kecuali yang Diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang
Pajak Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain
Bentuk Usaha Tetap di Indonesia;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENUNJUKAN PEMOTONG,


TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN
PASAL 26 ATAS PENGHASILAN DARI PENJUALAN ATAU PENGALIHAN HARTA DI
INDONESIA, KECUALI YANG DIATUR DALAM PASAL 4 AYAT (2) UNDANG-UNDANG
PAJAK PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR NEGERI
SELAIN BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA.

Pasal 1

(1) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di lndonesia, kecuali
yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap
(BUT), dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen)
dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final.
(2) Terhadap Wajib Pajak Luar Negeri yang berkedudukan di negara-negara yang
telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan
Indonesia, pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak pemajakannya ada pada
pihak Indonesia.
(3) Besarnya perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah 25% (dua puluh lima persen) dari harga jual.
(4) Penjualan atau pengalihan harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
penjualan atau pengalihan harta berupa perhiasan mewah, berlian, emas,
intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar,
dan/atau pesawat terbang ringan.

Pasal 2

(1) Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 ayat (1), dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh pembeli yang ditunjuk
sebagai pemotong pajak dan kepada Wajib Pajak Luar Negeri selaku penjual
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 265

diberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26.


(2) Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Luar Negeri yang menerima atau memperoleh
penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta yang besarnya tidak melebihi
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap jenis transaksi, dikecualikan
dari pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (1 ).

Pasal 3

(1) Pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) adalah badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya dan orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang
ditunjuk sebagai pemotong pajak.
(2) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang ditunjuk sebagai
pemotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai, dan
Aktuaris, yang melakukan pekerjaan bebas;
b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan
pembukuan.

Pasal 4

Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi Wajib Pajak Dalam Negeri
terdaftar menerbitkan Surat Keputusan Penunjukan Orang Pribadi Wajib Pajak Dalam
Negeri sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2) dengan menggunakan bentuk formulir sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 5

(1) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3


ayat (1) wajib:
a. memotong Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang pada saat dilakukan
pembayaran atau saat terutangnya penghasilan, tergantung peristiwa
mana yang terjadi lebih dahulu; dan
b. menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 26 dengan menggunakan nama
Wajib Pajak Luar Negeri yang menjual atau mengalihkan harta paling lama
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah bulan terjadinya transaksi
ke kas negara melalui Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan.
(2) Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional,
266 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

maka saat penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.


(3) Penyetoran Pajak Penghasilan dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran
Pajak.
(4) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) memberikan tanda bukti pemotongan kepada Wajib Pajak Luar Negeri
selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang dipotong Pajak Penghasilan setiap
melakukan pemotongan.

Pasal 6

(1) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3


ayat (1) wajib melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 26 yang dipotong dengan
Surat Pemberitahuan Masa kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar paling lama tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya.
(2) Dalam hal tanggal jatuh tempo pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, maka
saat pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Pasal 7

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Direktur


Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 September 2009
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

MOCHAMAD TJIPTARDJO
NIP 060044911
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 267

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 434/KMK.04/1999

TENTANG

PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN YANG


DITERIMA ATAU DIPEROLEH
WAJIB PAJAK LUAR NEGERI SELAIN BENTUK USAHA TETAP ATAS PENGHASILAN
BERUPA KEUNTUNGAN DARI PENJUALAN SAHAM

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) jo. ayat (3) Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, terhadap penghasilan
dari penjualan harta di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar
Negeri (WPLN) selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) dipotong Pajak Penghasilan
(PPh) sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan netto yang
pelaksanaannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
b. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud huruf a di atas, untuk
memberikan kepastian mengenai pengenaan pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh WPLN selain BUT dari penjualan saham, dipandang
perlu mengatur pemotongan PPh atas penghasilan tersebut dengan Keputusan
Menteri Keuangan.

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3262), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3567);
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3587);
4. Keputusan Presiden Nomor 122/M Tahun 1998;
268 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMOTONGAN


PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK
LUAR NEGERI SELAIN BENTUK USAHA TETAP ATAS PENGHASILAN BERUPA
KEUNTUNGAN DARI PENJUALAN SAHAM.

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud Perseroan adalah Perseroan Terbatas Dalam
Negeri yang sahamnya diperjualbelikan oleh pemegang saham Wajib Pajak
Luar Negeri (WPLN) dan tidak berstatus sebagai Emiten atau Perusahaan Publik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal.

Pasal 2

(1) Atas penghasilan dari penjualan saham Perseroan yang diperoleh WPLN selain
Bentuk Usaha Tetap (BUT) dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari
perkiraan penghasilan netto.
(2) Terhadap WPLN berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, maka
pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan
apabilan berdasarkan P3B yang berlaku, hak pemajakannya ada pada pihak
Indonesia.
(3) Besarnya perkiraan penghasilan netto sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah 25 % (dua puluh lima persen) dari harga jual, sehingga besarnya PPh
Pasal 26 adalah 20 % x 25 % atau 5 % (lima persen) dari harga jual.
(4) Pembayaran PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final.

Pasal 3

(1) Penghasilah dari penjualan saham di dalam negeri yang diperoleh atau diterima
WPLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dipotong pajak oleh
pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak dan kepadanya diberikan bukti
pemotongan PPh Pasal 26.
(2) Perseroan hanya mencatat akta pemindahan hak atas saham yang dijual
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila kepadanya dibuktikan oleh WPLN
bahwa PPh Pasal 26 yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 telah
dibayar lunas dengan menyerahkan fotokopi bukti pemotongan PPh Pasal 26
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 269

dengan menunjukkan aslinya.


(3) Dalam hal pembelinya adalah WPLN, maka yang ditunjuk sebagai pemungut
pajak adalah Perseroan.

Pasal 4

(1) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib
memotong dan menyetorkan PPh Pasal 26 yang terutang selambat-lambatnya
tanggal 10 (sepuluh) bulan takwin berikutnya setelah bulan saat terutangnya
pajak di Bank Persepsi atau Kantor Pos, dan melaporkannya kepada Direktur
Jenderal Pajak selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak
berakhir.
(2) Pelaksanaan pemungutan dan penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3) dilakukan oleh Perseroan dengan menggunakan nama WPLN
pemegang saham selambat-labatnya tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim
berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak di Bank Persepsi atau Kantor
Pos, dan melaporkannya kepada Direktur Jenderal Pajak selambat- lambatnya
20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(3) Pemotong/pemungut pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Keputusan ini dikenakan sanksi sesuai peraturan perpajakan
yang berlaku.

Pasal 5

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.

Pasal 6

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini


dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Agustus 1999
MENTERI KEUANGAN,

ttd

BAMBANG SUBIANTO
270 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 624/KMK.04/1994

TENTANG

PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN BERUPA


PREMI ASURANSI DAN PREMI REASURANSI YANG DIBAYAR KEPADA PERUSAHAAN
ASURANSI DI LUAR NEGERI

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) jo. ayat (3) Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1994, atas penghasilan berupa premi asuransi termasuk premi
reasuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar negeri dipotong
pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto;
b. bahwa agar pemotongan pajak tersebut dapat dilaksanakan dengan baik maka
dipandang perlu untuk mengatur pelaksanaan pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 26 atas penghasilan tersebut, dengan Keputusan Menteri Keuangan;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3262), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
9 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun
1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3459) dan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara
Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
3. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1983 tentang Pembentukan Kabinet
Pembangunan VI;
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 271

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMOTONGAN


PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN BERUPA PREMI ASURANSI
DAN PREMI REASURANSI YANG DIBAYAR KEPADA PERUSAHAAN ASURANSI DI LUAR
NEGERI

Pasal 1

(1) Atas pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi kepada perusahaan
asuransi di luar negeri dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26
sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
(2) Besarnya perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah sebagai berikut :
a. atas premi dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri
baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima puluh
persen) dari jumlah premi yang dibayar;
b. atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di
Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung
maupun melalui pialang, sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi
yang dibayar;
c. atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di
Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung
maupun melalui pialang, sebesar 5% (lima persen) dari jumlah premi yang
dibayar.

Pasal 2

Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1


dilakukan oleh :
a. tertanggung, dalam hal dilakukan pembayaran premi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (2) huruf a;
b. perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia, dalam hal dilakukan
pembayaran premi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf b;
c. perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia, dalam hal dilakukan
pembayaran premi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf c.

Pasal 3

(1) Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 1 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran premi atau pada
272 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

akhir bulan terutangnya premi asuransi tersebut.


(2) Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh pemotong selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah saat
terutangnya pajak dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
(3) Pemotong pajak wajib membuat Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal
26, dalam rangkap 3 (tiga) :
- Lembar 1, untuk pihak yang dipotong penghasilannya;
- Lembar 2, untuk dilampirkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak
Penghasilan 26 yang disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat
pemotong pajak terdaftar;
- Lembar 3, untuk arsip pemotong pajak.

Pasal 4

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.

Pasal 5

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini


dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di JAKARTA
Pada tanggal 27 Desember 1994
MENTERI KEUANGAN,

ttd

MAR’IE MUHAMMAD
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 273

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 14/PMK.03/2011

TENTANG

PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK SESUDAH


DIKURANGI PAJAK DARI SUATU BENTUK USAHA TETAP

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum mengenai perlakuan perpajakan


atas penanaman kembali Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak
Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.03/2008 tentang Perlakuan Perpajakan
atas Penghasilan Kena Pajak sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha
Tetap, perlu mengatur kembali perlakuan perpajakan atas penanaman kembali
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk
Usaha Tetap;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan
Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata


Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
274 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS


PENGHASILAN KENA PAJAK SESUDAH DIKURANGI PAJAK DARI SUATU BENTUK
USAHA TETAP.

Pasal 1

(1) Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu
Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(2) Dalam hal Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari
suatu Bentuk Usaha Tetap ditanamkan kembali di Indonesia, penghasilan
dimaksud dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Pengecualian dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diberikan apabila seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi
Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap ditanamkan kembali di
Indonesia dalam bentuk:
a. penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan
di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;
b. penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan
di Indonesia sebagai pemegang saham;
c. pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk
menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk
Usaha Tetap di Indonesia; atau
d. investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk
menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk
Usaha Tetap di Indonesia.

Pasal 2

(1) Seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu
Bentuk Usaha Tetap yang ditanamkan kembali di Indonesia yang dikecualikan
dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(3), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 275

a. penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir


Tahun Pajak berikutnya, setelah Tahun Pajak diperolehnya penghasilan
tersebut bagi Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan
secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal, realisasi penanaman
kembali yang telah dilakukan dan/atau saat mulai berproduksi komersial
bagi perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2) Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf a, selain persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara
aktif telah melakukan kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya, paling
lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan
atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun
sejak perusahaan baru dimaksud berproduksi komersial.
(3) Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf b, selain persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia
mempunyai kegiatan usaha aktif di Indonesia; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan
atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun
sejak penyertaan modal.
(4) Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk:
a. pembelian aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3)
huruf c; atau
b. investasi berupa aktiva tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (3) huruf d, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan
pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas investasi
berupa aktiva tidak berwujud, paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun sejak perolehan aktiva tetap atau investasi aktiva tidak berwujud
yang bersangkutan.
(5) Dalam hal persyaratan-persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4), tidak lagi dipenuhi, atas Penghasilan Kena Pajak
sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang
terkait, dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(1) terhitung sejak diperolehnya Penghasilan Kena Pajak yang bersangkutan,
dan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan
276 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

yang berlaku.

Pasal 3

(1) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan di Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3), wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal yang
dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar,
dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak
diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.
(2) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai realisasi penanaman
kembali yang telah dilakukan, kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat
Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan
untuk Tahun Pajak saat dilakukan realisasi penanaman kembali tersebut.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit meliputi
hal-hal sebagai berikut:
a. jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari
Bentuk Usaha Tetap dan Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
b. bentuk penanaman kembali, jumlah realisasi penanaman kembali, dan
Tahun Pajak dilakukan realisasi penanaman kembali.

Pasal 4

(1) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan di Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf a wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis mengenai saat mulai berproduksi komersial.
(2) Saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah saat
perusahaan yang baru didirikan tersebut telah mulai memproduksi barang untuk
dijual bagi perusahaan manufaktur atau saat perusahaan mulai melakukan
penjualan barang dan/atau jasa bagi perusahaan selain manufaktur.
(3) Keputusan tentang saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
Bentuk Usaha Tetap terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan
hasil penelitian Kantor Pelayanan Pajak dimaksud, paling lama 6 (enam) bulan
setelah Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap meyampaikan pemberitahuan secara
tertulis mengenai saat berproduksi komersial.
(4) Penetapan saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan berdasarkan keadaan sebenarnya dengan memperhatikan saat mulai
berproduksi komersial yang disampaikan oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap
yang bersangkutan.
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 277

(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah lewat dan
Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat keputusan tentang saat
berproduksi komersial, saat berproduksi komersial adalah berdasarkan
pemberitahuan tertulis yang disampaikan oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap
yang bersangkutan.

Pasal 5

Dalam hal induk perusahaan dari Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap adalah Wajib Pajak
dalam negeri dari negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda dengan Indonesia, besarnya tarif untuk menghitung Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah sebagaimana ditentukan
dalam Persetujuan Penghindaran Pajak yang berlaku.

Pasal 6

Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Bentuk
Usaha Tetap dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final, dasar pengenaan Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah Penghasilan Kena
Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dilakukan koreksi fiskal,
dikurangi dengan jumlah Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Pasal 7

Tata cara pemberitahuan secara tertulis oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 8

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 257/PMK.03/2008 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena
Pajak sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.

Pasal 9

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


278 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri


Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Januari 2011
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan Di Jakarta
pada tanggal 24 Januari 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

ttd.

PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 33


Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 279

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 16/PJ/2011

TENTANG

TATA CARA PEMBERITAHUAN WAJIB PAJAK BENTUK USAHA TETAP ATAS


PENANAMAN KEMBALI PENGHASILAN KENA PAJAK SESUDAH DIKURANGI PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 7 Peraturan Menteri Keuangan


Nomor 14/PMK.03/2011 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena
Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pemberitahuan Wajib Pajak
Bentuk Usaha Tetap Atas Penanaman Kembali Penghasilan Kena Pajak Sesudah
Dikurangi Pajak;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata


Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999) ;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893) ;
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2011 tentang Perlakuan
Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu
Bentuk Usaha Tetap;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

TATA CARA PEMBERITAHUAN WAJIB PAJAK BENTUK USAHA TETAP ATAS


PENANAMAN KEMBALI PENGHASILAN KENA PAJAK SESUDAH DIKURANGI PAJAK.
280 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Pasal 1

(1) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk
Usaha Tetap yang seluruhnya ditanamkan kembali di Indonesia, dikecualikan
dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008.
(2) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali atas
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2011 tentang
Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak
Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, wajib menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

Pasal 2

(1) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) meliputi :


a. pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman kembali;
b. pemberitahuan secara tertulis mengenai realisasi penanaman kembali
yang telah dilakukan; dan/atau
c. pemberitahuan secara tertulis mengenai saat mulai berproduksi komersial
bagi perusahaan yang baru didirikan.
(2) Pemberitahuan Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, disampaikan dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan
Tahunan untuk Tahun Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang
bersangkutan dan sedikitnya memuat hal-hal sebagai berikut:
a. identitas Wajib Pajak meliputi nama Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP), alamat Wajib Pajak, dan Jenis Usaha Wajib Pajak;
b. identitas Wajib Pajak luar negeri induk Bentuk Usaha Tetap meliputi nama
Wajib Pajak, Nomor Identitas Wajib Pajak sesuai ketentuan yang berlaku
di negara yang bersangkutan, alamat Wajib Pajak dan Jenis Usaha Wajib
Pajak;
c. jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari
Bentuk Usaha Tetap dan tahun pajak yang bersangkutan;
d. bentuk penanaman kembali.
(3) Pemberitahuan Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, disampaikan dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan
Tahunan untuk Tahun Pajak saat dilakukan realisasi penanaman kembali dan
sedikitnya memuat hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditambah
dengan informasi sebagai berikut:
a. jumlah realisasi penanaman kembali;
b. tahun dilakukan realisasi penanaman kembali.
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 281

(4) Penanaman kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus sudah
dilakukan paling lama pada akhir tahun pajak berikutnya setelah diperolehnya
Penghasilan Kena Pajak yang bersangkutan.
(5) Dalam hal Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap melakukan penanaman kembali
berupa penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan
berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditambah dengan informasi mengenai
perusahaan yang baru didirikan, meliputi :
a. identitas perusahaan baru meliputi nama perusahaan, Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP), alamat perusahaan, dan jenis usaha perusahaan;
b. nomor, tanggal dan nama notaris akte pendirian perusahaan, beserta foto
kopi akte pendirian perusahaan dimaksud;
c. jumlah penyertaan modal pada perusahaan baru;
d. saat perusahaan aktif melakukan kegiatan usaha dan/atau saat perusahaan
mulai berproduksi komersial .
(6) Dalam hal Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap melakukan penanaman kembali
berupa penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan
berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham, informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditambah dengan informasi mengenai :
a. identitas perusahaan yang dilakukan penyertaan modal meliputi nama
perusahaan, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), alamat perusahaan, dan
jenis usaha perusahaan;
b. nomor, tanggal dan nama notaris akte penyertaan modal, beserta foto kopi
akte penyertaan modal dimaksud;
c. foto kopi dokumen pendukung yang relevan apabila tidak terdapat akte
penyertaan modal;
d. jumlah penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan; dan
e. saat perusahaan aktif melakukan kegiatan usaha.
(7) Dalam hal Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap melakukan penanaman kembali
berupa pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk
menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha
Tetap di Indonesia, informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditambah
dengan informasi mengenai:
a. jenis dan alamat/lokasi aktiva tetap;
b. kuantitas dan nilai/harga perolehan aktiva tetap;
c. bukti kepemilikan atas aktiva tetap;
d. nomor dan tanggal perjanjian pembelian aktiva tetap; dan
e. foto kopi bukti kepemilikan atas aktiva tetap dan perjanjian pembelian atas
aktiva tetap dimaksud.
(8) Dalam hal Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap melakukan penanaman kembali
berupa investasi dalam bentuk aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha
Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan
Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
282 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

(3)ditambah dengan informasi mengenai :


a. jenis aktiva tidak berwujud;
b. nilai investasi aktiva tidak berwujud; dan
c. foto kopi dokumen pendukung mengenai investasi dalam bentuk aktiva
tidak berwujud.
(9) Saat perusahaan aktif melakukan kegiatan usaha dan/atau saat perusahaan
mulai berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf d,
harus diberitahukan paling lama pada akhir tahun pajak berikutnya setelah
tahun dilakukan realisasi penanaman kembali.

Pasal 3

(1) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditandatangani


oleh Wajib Pajak atau oleh pihak lain yang diberi kuasa oleh Wajib Pajak.
(2) Dalam hal pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani
oleh pihak lain yang diberi kuasa oleh Wajib Pajak, harus dilampiri dengan surat
kuasa khusus.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) disampaikan
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a
disampaikan dengan melampirkan pemberitahuan tersebut pada Surat
Pemberitahuan Tahunan untuk tahun pajak diterima atau diperolehnya
penghasilan yang bersangkutan.
(5) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b dan
huruf c disampaikan dengan melampirkan pemberitahuan tersebut pada Surat
Pemberitahuan Tahunan untuk tahun pajak berikutnya setelah diterima atau
diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.
(6) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib dilakukan
Wajib Pajak minimal dalam 3 (tiga) tahun berturut-turut sejak tahun realisasi
penyertaan modal, perolehan aktiva tetap, atau investasi aktiva tidak berwujud
yang bersangkutan.

Pasal 4

(1) Wajib Pajak harus menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 2 ayat (1) secara lengkap.
(2) Dalam hal pemberitahuan tidak disampaikan atau tidak diisi secara lengkap,
maka Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan dianggap tidak
memenuhi persyaratan untuk dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/
PMK.03/2011 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak
Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap.
(3) Dalam hal pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak tidak diisi secara
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 283

lengkap, Kepala Kantor Pelayanan Pajak penerima pemberitahuan tersebut


memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak tentang kekurangan dalam
pemberitahuan tersebut.
(4) Wajib Pajak dapat membetulkan atau melengkapi pemberitahuan tersebut
selambat lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal pemberitahuan dari Kepala
Kantor Pelayanan Pajak tersebut dikirim.
(5) Dalam hal Wajib Pajak tidak membetulkan atau melengkapi pemberitahuan
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka atas
penghasilan tersebut dikenakan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Pasal 5

Bentuk Pemberitahuan Penanaman Kembali Penghasilan Kena Pajak Sesudah


Dikurangi Pajak Bagi Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap adalah sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 6

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Direktur


Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 Juni 2011
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

A. Fuad Rahmany
NIP 195411111981121001
284 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 417/KMK.04/1996

TENTANG

NORMA PENGHITUNGAN KHUSUS PENGHASILAN NETO BAGI WAJIB PAJAK


PERUSAHAAN PELAYARAN DAN/ATAU PENERBANGAN LUAR NEGERI

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa sesuai dengan Pasal 15 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagai


telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, untuk
menghitung besarnya penghasilan kena Pajak bagi Wajib Pajak tertentu, perlu
ditetapkan norma penghitungan khusus tentang penghasilan neto;
b. bahwa dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri keuangan nomor: 416/
KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996 tentang Norma Penghitungan khusus
Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran Dalam Negeri, perlu
dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam
Keputusan Menteri Keuangan nomor : 181/KMK.04/1995 tanggal 1 Mei 1995
tentang Norma Penghitungan Khusus penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak yang
Bergerak di Bidang usaha pelayaran dan/atau penerbangan;
c. Bahwa untuk kepastian hukum, masih perlu ditetapkan norma penghitungan
khusus penghasilan neto bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dan/atau
penerbangan luar negeri;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut dipandang perlu untuk mengatur
kembali ketentuan mengenai Norma penghitungan khusus penghasilan neto bagi
Wajib pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri, dengan
Keputusan Menteri keuangan.

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran


Negara 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan lembaran Negara Nomor 3459) dan
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1991 (Lembaran Negara Tahun
1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
2. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang pembentukan Kabinet
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 285

Pembangunan VI;
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 416/KMK.04/1996 tentang Norma
penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran
Dalam Negeri;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG NORMA


PENGHITUNG-AN KHUSUS PENGHASILAN NETO BAGI WAJIB PAJAK PERUSAHAAN
PELAYARAN DAN/ ATAU PENERBANGAN LUAR NEGERI.

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan peredaran bruto adalah semua imbalan
atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri dari pengangkutan
orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di
Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri.

Pasal 2

(1) Penghasilan neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan
Luar Negeri ditetapkan sebesar 6% (enam persen) dari peredaran bruto
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1.
(2) Besarnya Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau
Penerbangan luar negeri adalah sebesar 2,64% (dua koma enam puluh empat
persen) dari peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1.
(3) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat final.

Pasal 3

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan keputusan ini ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.

Pasal 4

Dengan berlakunya keputusan ini maka keputusan Menteri keuangan Nomor 181/
KMK.04/1995 tanggal 1 Mei 1995 dinyatakan tidak berlaku lagi.
286 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Pasal 5

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman keputusan ini


dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Juni 1996
MENTERI KEUANGAN,

ttd

MAR’IE MUHAMMAD
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 287

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 634/KMK.04/1994

TENTANG

NORMA PENGHITUNGAN KHUSUS PENGHASILAN NETO BAGI WAJIB PAJAK LUAR


NEGERI YANG MEMPUNYAI KANTOR PERWAKILAN DAGANG DI INDONESIA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa sesuai dengan Pasal 15 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana


telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak tertentu perlu
ditetapkan Norma Penghitungan Khusus tentang Penghasilan neto;
b. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk menetapkan Norma Penghitungan
Khusus bagi Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang
di Indonesia dengan Keputusan Menteri Keuangan;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Lembaran


Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263),
sebagaimana telah diubah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3459) dan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara
Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
2. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet
Pembangunan VI;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG NORMA


PENGHITUNGAN KHUSUS PENGHASILAN NETO BAGI WAJIB PAJAK LUAR NEGERI
YANG MEMPUNYAI KANTOR PERWAKILAN DAGANG DI INDONESIA.
288 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan nilai ekspor bruto adalah semua nilai
pengganti atau imbalan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang
mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada
orang pribadi atau badan yang berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Pasal 2

(1) Penghasilan neto dari Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor
perwakilan dagang di Indonesia ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari nilai
ekspor bruto.
(2) Pelunasan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah sebesar 0,44% (empat puluh empat per seribu) dari nilai ekspor
bruto dan bersifat final.

Pasal 3

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.

Pasal 4

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini


dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 1994
MENTERI KEUANGAN,

ttd

MAR’IE MUHAMMAD
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 289

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR KEP - 667/PJ./2001

TENTANG

NORMA PENGHITUNGAN KHUSUS PENGHASILAN NETO BAGI WAJIB PAJAK LUAR


NEGERI YANG MEMPUNYAI KANTOR PERWAKILAN DAGANG DI INDONESIA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 634/


KMK.04/1994 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib
Pajak Luar Negeri Yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang Di Indonesia, perlu
menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Norma Penghitungan
Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar Negeri Yang Mempunyai Kantor
Perwakilan Dagang Di Indonesia;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 634/KMK.04/1994 tentang Norma
Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar Negeri Yang
Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang Di Indonesia;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL TENTANG NORMA PENGHASILAN NETO BAGI


WAJIB PAJAK LUAR NEGERI YANG MEMPUNYAI KANTOR PERWAKILAN DAGANG DI
INDONESIA.

Pasal 1

Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan nilai ekspor
bruto adalah semua nilai pengganti atau imbalan yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia dari
290 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan yang berada atau bertempat
kedudukan di Indonesia.

Pasal 2

(1) Penghasilan neto dari Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor
perwakilan dagang di Indonesia ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari nilai
ekspor bruto.
(2) Pelunasan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah sebesar 0,44% (empat puluh empat per seribu) dari nilai ekspor
bruto dan bersifat final.

Pasal 3

Pembayaran dan pelaporan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud Pasal 2 oleh


Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia
dan pengadministrasiannya di Kantor Pelayanan Pajak dilakukan sebagai berikut:
a. Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia
wajib membayar Pajak Penghasilan yang terutang dalam suatu masa Pajak ke
bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya tanggal 15 (lima
belas) bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan,
dengan menggunakan satu Surat Setoran Pajak (SSP) Final;
b. Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia
wajib melaporkan pembayaran Pajak Penghasilan yang dilakukan ke Kantor
Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 (duapuluh) bulan berikut setelah
bulan diterima atau diperolehnya penghasilan, dengan menggunakan bentuk
sebagaimana pada lampiran I dan dilampiri dengan lembar ke-3 SSP Final.
c. Lembar ke-3 SSP sebagaimana dimaksud pada butir b di atas pada Kantor
Pelayanan Pajak diadministrasikan pada seksi PPh Badan.

Pasal 4

Atas penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud Pasal 2 yang diterima


atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang
di Indonesia dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Pasal 6

Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 291

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur


Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2001
DIREKTUR JENDERAL

ttd

HADI POERNOMO
292 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 2/PJ.03/2008

TENTANG

PENEGASAN ATAS PENERAPAN NORMA PENGHITUNGAN KHUSUS PENGHASILAN


NETO BAGI WAJIB PAJAK LUAR NEGERI YANG MEMPUNYAI KANTOR PERWAKILAN
DAGANG (REPRESENTATIVE OFFICE/LIAISON OFFICE) DI INDONESIA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan adanya pertanyaan mengenai penerapan norma penghitungan


khusus penghasilan neto bagi Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai Kantor
Perwakilan Dagang (representative office/liaison office) di Indonesia sebagaimana
diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-667/PJ./2001 tentang
Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar Negeri Yang
Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang Di Indonesia, dengan ini ditegaskan bahwa :
1. KEP-667/PJ./2001 tersebut mengatur :
a. “Pasal 2 Ayat (1)
Penghasilan neto dari Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor
perwakilan dagang di Indonesia ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari
nilai ekspor bruto”.
b. “Pasal 2 Ayat (2)
Pelunasan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah sebesar 0,44% (empat puluh empat per seribu) dari
nilai ekspor bruto dan bersifat final”.
c. Adapun dasar penghitungan 0,44% adalah sebagai berikut :
PPh atas penghasilan kena pajak 30% x 1% = 0.30%
terutang
Penghasilan kena pajak sesudah 20% x (1-0,3)% = 0,14%
dikurangi pajak dari suatu Bentuk
Usaha Tetap (branch profit tax/BPT)
(tarif 20%)
Total 0,44%

2. Wajib Pajak luar negeri yang dimaksud dalam KEP-667/PJ./2001 tersebut


adalah Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang
(representative office/liaison office), selanjutnya disingkat KPD, di Indonesia
yang berasal dari negara yang belum mempunyai Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia.
3. Untuk KPD dari negara-negara mitra P3B dengan Indonesia, maka besarnya tarif
pajak yang terutang disesuaikan dengan tarif BPT dari suatu Bentuk Usaha Tetap
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 293

tersebut sebagaimana dimaksud dalam P3B terkait.


a. Contoh 1: Penghitungan untuk KPD yang berasal dari Spanyol.
Tarif BPT dalam P3B Indonesia dengan Spanyol (Spain, nomor 43 dari tabel
terlampir) sebesar 10%. Dengan demikian tarif pajak yang terutang adalah
sebagai berikut:

PPh atas penghasilan kena pajak 30% x 1% = 0.30%


terutang
Penghasilan kena pajak sesudah 10% x (1-0,3)% = 0,7%
dikurangi pajak dari suatu Bentuk
Usaha Tetap (branch profit tax/BPT)
(tarif 10%)
Total 0,37%

b. contoh 2: penghitungan untuk KPD yang berasal dari Australia.


Tarif BPT dalam P3B Indonesia dengan Australia (nomor 2 dari tabel
terlampir) sebesar 15%. Dengan demikian tarif pajak yang terutang adalah
sebagai berikut :

PPh atas penghasilan kena pajak 30% x 1% = 0.30%


terutang
Penghasilan kena pajak sesudah 15% x (1-0,3)% = 0,105%
dikurangi pajak dari suatu Bentuk
Usaha Tetap (branch profit tax/BPT)
(tarif 15%)
Total 0,405%

Demikian untuk mendapat perhatian Saudara dan dilaksanakan sebagaimana


mestinya.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Juli 2008
Direktur Jenderal,

ttd.

Darmin Nasution
NIP 130605098
294 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Tembusan :
1. Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan;
2. Inspektur Jenderal Departemen Keuangan;
3. Kepala Biro Hukum Departemen Keuangan;
4. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;
5. Para Direktur di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak;
6. Para Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 295

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 61/PJ/2009

TENTANG

TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 32A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983


tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 diatur bahwa pemerintah
berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam
rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b. bahwa berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Pemerintah
Indonesia dengan negara lain, antara lain diatur mengenai hak pemajakan
pemerintah Indonesia atas penghasilan-penghasilan tertentu yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak luar negeri dengan ketentuan yang berlaku;
c. bahwa diperlukan adanya pedoman untuk memberi kepastian hukum dalam
penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata


Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENERAPAN


296 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA.

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan :


1. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah
perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain dalam
rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
2. Wajib Pajak luar negeri selanjutnya disebut WPLN adalah Subjek Pajak luar
negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, baik orang pribadi maupun badan, yang
menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia
atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari
Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
3. Pemotong/Pemungut Pajak adalah badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya yang diwajibkan untuk melakukan pemotongan atau pemungutan
pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN sesuai ketentuan
yang berlaku.
4. Surat Keterangan Domisili yang selanjutnya disebut SKD adalah formulir yang
diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang telah diisi dengan lengkap dan
telah ditandatangani oleh WPLN, serta telah disahkan oleh pejabat pajak yang
berwenang di negara mitra P3B.
5. Surat Pemberitahuan Masa yang selanjutnya disebut SPT Masa adalah Surat
Pemberitahuan yang digunakan oleh Pemotong/Pemungut Pajak untuk
melaporkan penyetoran atas pemotongan atau pemungutan pajak yang telah
dilakukan untuk suatu masa tertentu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 2

Pemotong/Pemungut Pajak wajib memotong atau memungut pajak yang terutang


atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008.

Pasal 3

(1) Pemotong/Pemungut Pajak harus melakukan pemotongan atau pemungutan


pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B, dalam hal :
a. Penerima penghasilan bukan SUbjek Pajak dalam negeri Indonesia,
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 297

b. Persyaratan administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam


P3B telah dipenuhi; dan
c. Tidak terjadi penyalahgunaan P3B oleh WPLN sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan tentang pencegahan penyalahgunaan P3B.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi,
Pemotong/Pemungut Pajak wajib memotong atau memungut pajak yang
terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Pasal 4

(1) Dokumen SKD yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah formulir sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran II (Form - DGT 1) atau Lampiran III (Form - DGT 2)
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Dokumen SKD yang ditetapkan dalam Lampiran III (Form - DGT 2) Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini digunakan dalam hal :
a. WPLN menerima atau memperoleh penghasilan melalui Kustodian
sehubungan dengan penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau
obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia,
selain bunga dan dividen; atau
b. WPLN bank.
(3) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b
adalah SKD yang disampaikan oleh WPLN kepada Pemotong/Pemungut Pajak :
a. menggunakan formulir yang telah ditetapkan dalam Lampiran II atau
Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
b. telah diisi oleh WPLN dengan lengkap;
c. telah ditandatangani oleh WPLN;
d. telah disahkan oleh pejabat pajak yang berwenang di negara mitra P3B,
dan
e. disampaikan sebelum berakhirnya batas waktu dengan penyampaian SPT
Masa untuk masa pajak terutangnya pajak.
(4) Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a adalah pihak yang
memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta
jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan
transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
(5) Lembaga yang namanya disebutkan secara tegas dalam P3B atau yang telah
disepakati oleh pejabat yang berwenang di Indonesia dan di negara mitra P3B
tidak perlu menyampaikan SKD.

Pasal 5

(1) SKD yang menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II


298 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

(Form - DGT 1) yang disampaikan kepada Pemotong/Pemungut Pajak setelah


berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya
pajak, tidak dapat dipertimbangkan sebagai dasar penerapan ketentuan yang
diatur dalam P3B.
(2) Formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III (Form - DGT 2) yang
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
digunakan sebagai dasar penerapan ketentuan yang diatur dalam P3B sejak
tanggal SKD tersebut disahkan oleh pejabat pajak yang berwenang dari negara
mitra P3B dan berlaku selama 12 (dua belas) bulan.

Pasal 6

WPLN dapat menyampaikan permohonan pengembalian kelebihan pajak yang tidak


seharusnya terutang sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hal manfaat P3B
tidak diberikan akibat persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (1) huruf b tidak terpenuhi, tetapi WPLN menganggap pemotongan atau
pemungutan pajak tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B.

Pasal 7

Tata cara penerapan P3B oleh Pemotong/Pemungut Pajak ditetapkan dalam Lampiran
I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 8

(1) Bukti pemotongan/pemungutan pajak wajib dibuat oleh Pemotong/Pemungut


Pajak sesuai dengan ketentuan dan tata cara yang berlaku.
(2) Dalam hal terdapat penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN tetapi
tidak terdapat pajak yang dipotong atau dipungut di Indonesia berdasarkan
ketentuan yang diatur dalam P3B, Pemotong/Pemungut Pajak tetap diwajibkan
untuk membuat bukti pemotongan/pemungutan pajak.

Pajak 9

(1) Pemotong/Pemungut Pajak wajib menyampaikan fotokopi SKD yang diterima


dari WPLN sebagai lampiran SPT Masa.
(2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus melakukan penelitian kebenaran pelaporan
atas jumlah pajak yang dipotong dan melakukan perekaman SKD dan bukti
pemotongan/pemungutan yang dilaporkan oleh Pemotong/Pemungut Pajak.
(3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus melakukan penelitian mengenai ada
atau tidaknya bentuk usaha tetap dari WPLN yang berada di Indonesia sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam P3B.
(4) Dalam hal terdapat indikasi bahwa WPLN menjalankan kegiatan atau usaha
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 299

di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud


pada ayat (3) dan belum terdaftar sebagai Wajib Pajak, Kantor Pelayanan
Pajak memberitahukan Kantor Pelayanan Pajak tempat bentuk usaha tetap
seharusnya terdaftar untuk dikirimi Surat Himbauan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.

Pasal 10

Pada saat berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, maka :


1. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29
Maret 1996 tentang Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B);
2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.101/1996 tanggal 28
Mei 1996 tentang Masa Transisi Penerapan SE-03/PJ.101/1996; dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 11

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 5 November 2009
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

MOCHAMAD TJIPTARDJO
NIP 060044911
300 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 61/PJ/2009

TENTANG

RALAT PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: PER-61/PJ/2009


TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK
BERGANDA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Berhubung dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009


tanggal 5 November 2009 terdapat Lampiran II dan III yang perlu disempurnakan
untuk menghindari kesalahan dalam penafsiran dan penerapan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak dimaksud, maka perlu dibuat ralat sebagai berikut :
1. mengganti beberapa frase yang terdapat dalam formulir dan instruksi pengisian
pada Lampiran II dan Lampiran III, yaitu :
a. “Competent Authority” menjadi “Competent Authority or Authorized Tax
Office”;
b. “Competent Authority or his authorized representative” menjadi
“Competent Authority or his authorized representative or authorized tax
office”;
2. menghapus frase “Please note that this submitted form must bear the original
endorsement of the Competent Authority”, yang terdapat dalam Form DGT-1
lembar kesatu;
3. menghapus frase “concerning the types of income mentioned in Part V” yang
terdapat dalam Form DGT-1 lembar kesatu Part III;
4. mengganti keterangan yang terdapat pada lembar kedua Form-DGT 1 mengenai
pengesahan oleh Competent Authority menjadi pernyataan oleh penerima
penghasilan;
5. memberlakukan Form-DGT 1 lembar kesatu selama 12 (dua belas) bulan sejak
formulir tersebut disahkan oleh pejabat yang Berwenang di luar negeri;
6. memberlakukan Form-DGT 1 lembar kedua untuk menyatakan penghasilan yang
diterima Wajib Pajak luar negeri dalam 1 (satu) bulan (Masa Pajak);
7. Sehubungan dengan ralat pada butir 1 sampai dengan butir 6, Lampiran II dan
III disesuaikan menjadi sebagaimana terdapat pada Lampiran Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
8. Surat Keterangan Domisili yang diterbitkan oleh Pejabat yang Berwenang
di luar negeri sesuai dengan format dan kelaziman di negara masing-masing
dapat diterima untuk menerapkan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda atas pajak penghasilan yang terutang oleh WP luar negeri
yang pelunasannya dilakukan bukan melalui mekanisme pemotongan atau
pemungutan pajak oleh Pemotong/Pemungut Pajak.
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 301

Dengan ralat ini, maka Lampiran II dan Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-61/PJ/2009 menjadi sebagaimana terlampir.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 15 Desember 2009
DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

MOCHAMAD TJIPTARDJO
NIP 060044911
302 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 24/PJ/2010

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-61/


PJ./2009 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN
PAJAK BERGANDA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa dalam rangka memberikan kepastian dalam penerapan Persetujuan


Penghindaran Pajak Berganda, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009
tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata


Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN


DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-61/PJ/2009 TENTANG TATA CARA
PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 303

Pasal I

Ketentuan Pasal 4 dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009


tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 4

(1) Dokumen SKD yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah formulir sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran II [Form-DGT 1] atau Lampiran III [Form-DGT 2]
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Dokumen SKD yang ditetapkan dalam Lampiran III [Form-DGT 2] Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini digunakan dalam hal:
a. WPLN menerima atau memperoleh penghasilan melalui Kustodian
sehubungan dengan penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau
obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia,
selain bunga dan dividen;
b. WPLN bank; atau
c. WPLN yang berbentuk dana pensiun yang pendiriannya sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan di negara mitra P3B Indonesia dan
merupakan subjek pajak di negara mitra P3B Indonesia.
(3) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf
b adalah SKD yang disampaikan oleh WPLN kepada Pemotong/Pemungut
Pajak:
a. menggunakan formulir yang telah ditetapkan dalam Lampiran II atau
Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
b. telah diisi oleh WPLN dengan lengkap;
c. telah ditandatangani oleh WPLN atau diberi tanda yang setara dengan
tanda tangan sesuai dengan kelaziman di negara mitra P3B;
d. telah disahkan oleh pejabat yang berwenang, wakilnya yang sah, atau
pejabat kantor pajak yang berwenang di negara mitra P3B, yang dapat
berupa tanda tangan atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan
sesuai dengan kelaziman di negara mitra P3B; dan
e. disampaikan sebelum berakhirnya batas waktu dengan penyampaian SPT
Masa untuk masa pajak terutangnya pajak.
(4) Dalam hal WPLN tidak dapat memenuhi ketentuan pada ayat (3) butir d, WPLN
dianggap memenuhi persyaratan administratif apabila ketentuan-ketentuan
pada ayat (3) butir a, b, c, dan e dipenuhi, dan WPLN melampirkan surat
keterangan domisili yang lazim disahkan atau diterbitkan oleh negara mitra
P3B yang memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. menggunakan bahasa Inggris;
b. diterbitkan pada atau setelah tanggal 1 Januari 2010;
c. berupa dokumen asli atau dokumen fotokopi yang telah dilegalisasi oleh
304 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Kantor Pelayanan Pajak tempat salah satu Pemotong/Pemungut Pajak


terdaftar sebagai Wajib Pajak;
d. sekurang-kurangnya mencantumkan informasi mengenai nama WPLN;
dan
e. mencantumkan tanda tangan pejabat yang berwenang, wakilnya yang sah,
atau pejabat kantor pajak yang berwenang di negara mitra P3B atau tanda
yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan kelaziman di negara mitra
P3B dan nama pejabat dimaksud.
(5) Persyaratan tidak terjadi penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) dianggap terpenuhi apabila dalam lembar kedua Lampiran II
[Form-DGT 1] :
a. dalam hal WPLN adalah orang pribadi, WPLN tidak bertindak sebagai Agen
atau Nominee; atau
b. dalam hal WPLN adalah badan, WPLN merupakan perusahaan yang
sahamnya terdaftar di Pasar Modal dan diperdagangkan secara teratur;
atau
c. dalam hal WPLN adalah badan :
1) bagi penghasilan yang di dalam P3B terkait tidak memuat persyaratan
beneficial owner, WPLN menjawab bahwa pendirian perusahaan di
negara mitra P3B atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak
ditujukan untuk pemanfaatan P3B; atau
2) bagi penghasilan yang di dalam P3B terkait memuat persyaratan
beneficial owner, WPLN menjawab :
a) pendirian perusahaan di negara mitra P3B atau pengaturan
struktur/skema transaksi tidak ditujukan untuk pemanfaatan
P3B; dan
b) kegiatan usaha dikelola oleh manajemen sendiri yang mempunyai
kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi; dan
c) perusahaan mempunyai pegawai yang memadai; dan
d) mempunyai kegiatan atau usaha aktif; dan
e) penghasilan yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di
negara penerimanya; dan
f) tidak menggunakan lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total
penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain
dalam bentuk, seperti : bunga, royalti, atau imbalan lainnya.
(6) Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a adalah pihak yang
memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta
jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan
transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
(7) Dalam hal terdapat ketentuan dalam suatu P3B yang mengatur bahwa
pemerintah negara mitra P3B, bank sentral atau lembaga-lembaga yang
dikecualikan dari pengenaan pajak di negara sumber atas penghasilan tertentu,
maka pemerintah negara mitra P3B, bank sentral atau lembaga dimaksud tidak
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 305

perlu menyampaikan SKD untuk keperluan penerapan ketentuan dalam P3B


tersebut .

Pasal II

Ketentuan Pasal 5 dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009


tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 5

(1) SKD yang menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II


[Form-DGT 1] yang disampaikan kepada Pemotong/Pemungut Pajak setelah
berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya
pajak, tidak dapat dipertimbangkan sebagai dasar penerapan ketentuan yang
diatur dalam P3B.
(2) SKD yang menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran
II [Form-DGT 1] lembar pertama dan dalam Lampiran III [Form-DGT 2]
yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
mempunyai masa berlaku sebagai dasar penerapan P3B sampai dengan 12
(dua belas) bulan sejak bulan SKD disahkan atau setelah bulan surat keterangan
domisili yang lazim diterbitkan oleh negara mitra P3B diterbitkan atau disahkan.

Pasal III

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 April 2010
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

MOCHAMAD TJIPTARDJO
NIP 060044911
306 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 62/PJ./2009

TENTANG

PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN
PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 32A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983


tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 diatur bahwa pemerintah
berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam
rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b. bahwa berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Pemerintah
Indonesia dengan negara lain telah diatur mengenai ruang lingkup dan pihak
yang berhak memperoleh manfaat perjanjian;
c. bahwa diperlukan adanya pedoman untuk memberi kepastian hukum dalam
penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dalam rangka pencegahan
penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;

Mengingat :

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENCEGAHAN


PENYALAHGUNAAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 307

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:


(1) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah
perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain dalam
rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
(2) Subjek Pajak dalam negeri selanjutnya disebut SPDN adalah subjek pajak dalam
negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(3) Wajib Pajak luar negeri selanjutnya disebut WPLN adalah Subjek Pajak luar
negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, baik orang pribadi maupun
badan, yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber
dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang
bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(4) Pemotong/Pemungut Pajak adalah badan pemerintah, SPDN, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
yang diwajibkan untuk melakukan pemotongan atau pemungutan pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN sesuai ketentuan yang berlaku.
(5) Agen (agent) adalah orang atau badan yang bertindak sebagai perantara dan
melakukan tindakan untuk dan/atau atas nama pihak lain.
(6) Nominee adalah orang atau badan yang secara hukum memiliki (legal owner)
suatu harta dan/atau penghasilan untuk kepentingan atau berdasarkan amanat
pihak yang sebenarnya menjadi pemilik harta dan/atau pihak yang sebenarnya
menikmati manfaat atas penghasilan.

Pasal 2

(1) Orang pribadi atau badan yang dicakup dalam P3B adalah orang pribadi atau
badan yang merupakan SPDN dan/atau subjek pajak dalam negeri dari negara
mitra P3B.
(2) P3B tidak diterapkan dalam hal terjadi penyalahgunaan P3B, meskipun
penerima penghasilan telah sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).

Pasal 3

Penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (2) dapat terjadi
dalam hal :
a. transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan
menggunakan struktur/skema sedemikian rupa dengan maksud semata-mata
308 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

untuk memperoleh manfaat P3B;


b. transaksi dengan struktur/skema yang format hukumnya (legal form) berbeda
dengan substansi ekonomisnya (economic substance) sedemikian rupa dengan
maksud semata-mata untuk memperolehmanfaat P3B; atau
c. penerima penghasilan bukan merupakan pemilik yang sebenarnya atas manfaat
ekonomis dari penghasilan (beneficial owner).

Pasal 4

(1) Yang dimaksud dengan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c adalah penerima
penghasilan yang:
a. bertindak tidak sebagai Agen;
b. bertindak tidak sebagai Nominee; dan
c. bukan Perusahaan Conduit.
(2) Orang pribadi atau badan yang dicakup dalam P3B sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) yang tidak dianggap melakukan penyalahgunaan P3B
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3:
a. Individu yang bertindak tidak sebagai Agen atau Nominee;
b. lembaga yang namanya disebutkan secara tegas dalam P3B atau yang
telah disepakati oleh pejabat yang berwenang di Indonesia dan di negara
mitra P3B;
c. WPLN yang menerima atau memperoleh penghasilan melalui Kustodian
sehubungan dengan penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau
obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia,
selain bunga dan dividen, dalam hal WPLN bertindak tidak sebagai Agen
atau sebagai Nominee;
d. perusahaan yang sahamnya terdaftar di Pasar Modal dan diperdagangkan
secara teratur;
e. bank; atau
f. perusahaan yang memenuhi persyaratan:
1) pendirian perusahaan di negara mitra P3B atau pengaturan struktur/
skema transaksi tidak semata-mata ditujukan untuk pemanfaatan
P3B; dan
2) kegiatan usaha dikelola oleh manajemen sendiri yang mempunyai
kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi; dan
3) perusahaan mempunyai pegawai; dan
4) mempunyai kegiatan atau usaha aktif; dan
5) penghasilan yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di negara
penerimanya;dan
6) tidak menggunakan lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total
penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain dalam
bentuk, seperti: bunga, royalti, atau imbalan lainnya.
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 309

(3) Perusahaan conduit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah
suatu perusahaan yang memperoleh manfaat dari suatu P3B sehubungan
dengan penghasilan yang timbul di negara lain, sementara manfaat ekonomis
dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang-orang di negara lain yang tidak
akan dapat memperoleh hak pemanfaatan P3B apabila penghasilan tersebut
diterima langsung.
(4) Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c adalah pihak yang
memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta
jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan
transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
(5) Pasar modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c adalah pasar modal
yang pendiriannya berdasarkan ketentuan yang berlaku di negara tempat pasar
modal berada.

Pasal 5

(1) Dalam hal terjadi penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3:
a. Pemotong/Pemungut Pajak tidak diperkenankan untuk menerapkan
ketentuan yang diatur dalam P3B dan wajib memotong atau memungut
pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008; dan
b. WPLN yang melakukan penyalahgunaan P3B tidak dapat mengajukan
permohonan pengembalian kelebihan pajak yang tidak seharusnya
terutang.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan antara format hukum (legal form) suatu struktur/
skema dengan substansi ekonomisnya (economic substance), maka perlakuan
perpajakan diterapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku berdasarkan
substansi ekonomisnya (substance over form).

Pasal 6

Dalam hal WPLN dikenakan pajak tidak berdasarkan ketentuan yang diatur dalam
P3B, WPLN dapat meminta pejabat yang berwenang di negaranya untuk melakukan
penyelesaian melalui prosedur persetujuan bersama (mutual agreement procedure)
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B.

Pasal 7

Pada saat berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, maka :


1. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-17/PJ./2005 tanggal 1 Juni
310 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

2005 tentang Petunjuk Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pasal 11 Tentang


Bunga Pada Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Antara Indonesia
Dengan Belanda;
2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.03/2008 tanggal 22
Agustus 2008 tentang Penentuan Status Beneficial Owner Sebagaimana
Dimaksud Dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Antara Indonesia
Dengan Negara Mitra; dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 8

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 5 November 2009
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

MOCHAMAD TJIPTARDJO
NIP 060044911
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 311

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 25/PJ/2010

TENTANG

PERUBAHAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-62/PJ/2009


TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN
PAJAK BERGANDA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa dalam rangka memberikan kepastian dalam penerapan Persetujuan


Penghindaran Pajak Berganda, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009
tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;

Mengingat :

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERUBAHAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL NOMOR PER-62/PJ/2009 TENTANG


PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK
BERGANDA

Pasal I

Ketentuan Pasal 3 dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009


tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda,
diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 3

(3) Penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dapat
312 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

terjadi dalam hal :


a. transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan
menggunakan struktur/skema sedemikian rupa dengan maksud semata-
mata untuk memperoleh manfaat P3B;
b. transaksi dengan struktur/skema yang format hukumnya (legal form)
berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic substance) sedemikian
rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B; atau
c. penerima penghasilan bukan merupakan pemilik yang sebenarnya atas
manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial owner).
(2) Kriteria beneficial owner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c hanya
diterapkan untuk penghasilan yang di dalam pasal P3B terkait memuat
persyaratan beneficial owner.

Pasal II

Ketentuan Pasal 4 dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009


tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda,
diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 4

(1) Yang dimaksud dengan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c adalah penerima
penghasilan yang :
a. bertindak tidak sebagai Agen;
b. bertindak tidak sebagai Nominee; dan
c. bukan Perusahaan Conduit.
(2) Orang pribadi atau badan yang dicakup dalam P3B sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) yang dianggap tidak melakukan penyalahgunaan P3B
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 :
a. Individu yang bertindak tidak sebagai Agen atau Nominee;
b. lembaga yang namanya disebutkan secara tegas dalam P3B atau yang
telah disepakati oleh pejabat yang berwenang di Indonesia dan di negara
mitra P3B;
c. WPLN yang menerima atau memperoleh penghasilan melalui Kustodian
sehubungan dengan penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau
obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia,
selain bunga dan dividen, dalam hal WPLN bertindak tidak sebagai Agen
atau sebagai Nominee;
d. perusahaan yang sahamnya terdaftar di Pasar Modal dan diperdagangkan
secara teratur;
e. dana pensiun yang pendiriannya sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan di negara mitra P3B dan merupakan subjek pajak di negara
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 313

mitra P3B;
f. bank; atau
g. perusahaan yang memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1) bagi perusahaan yang menerima atau memperoleh penghasilan yang
di dalam pasal P3B terkait tidak mengatur persyaratan beneficial
owner, yaitu : pendirian perusahaan atau pengaturan struktur/skema
transaksi tidak semata-mata ditujukan untuk pemanfaatan P3B;
2) bagi perusahaan yang menerima atau memperoleh penghasilan yang
di dalam pasal P3B terkait mengatur persyaratan beneficial owner,
yaitu :
i) pendirian perusahaan atau pengaturan struktur/skema transaksi
tidak semata-mata ditujukan untuk pemanfaatan P3B; dan
ii) kegiatan usaha dikelola oleh manajemen sendiri yang mempunyai
kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi; dan
iii) perusahaan mempunyai pegawai; dan
iv) mempunyai kegiatan atau usaha aktif; dan
v) penghasilan yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di
negara penerimanya; dan
vi) tidak menggunakan lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total
penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain
dalam bentuk, seperti : bunga, royalti, atau imbalan lainnya.
(3) Perusahaan Conduit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah
suatu perusahaan yang memperoleh manfaat dari suatu P3B sehubungan
dengan penghasilan yang timbul di negara lain, sementara manfaat ekonomis
dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang-orang di negara lain yang tidak
akan dapat memperoleh hak pemanfaatan P3B apabila penghasilan tersebut
diterima langsung.
(4) Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c adalah pihak yang
memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta
jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan
transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
(5) Pasar modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d adalah pasar modal
yang pendiriannya berdasarkan ketentuan yang berlaku di negara tempat pasar
modal berada.
(6) Pengertian “kegiatan atau usaha aktif” sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf g angka 2) butir iv) diartikan sesuai dengan keadaan WPLN dan dapat
mempunyai makna kegiatan atau usaha yang dilakukan secara aktif oleh WPLN
yang ditunjukkan dengan adanya biaya yang dikeluarkan, upaya yang dilakukan,
atau pengorbanan yang terjadi, yang berkaitan secara langsung dengan
usaha atau kegiatan dalam rangka mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, termasuk dalam hal WPLN melakukan kegiatan yang signifikan
yang dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan entitas.
(7) Pengertian “penghasilan yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di
314 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

negara penerimanya” sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g angka 2)


butir v) adalah kondisi WPLN berdasarkan ketentuan perundang-undangan
perpajakan di negaranya, dimana WPLN merupakan subjek yang terutang pajak
di negaranya dan penghasilan yang bersumber dari luar negeri merupakan
objek pajak, meskipun pada akhirnya subjek pajak tersebut tidak terutang
pajak secara legal, antara lain karena penghasilan tersebut terkena tarif pajak
0%, dibebaskan dari pengenaan pajak oleh ketentuan yang spesifik dengan
memenuhi persyaratan tertentu, atau secara ekonomis tidak menanggung
beban pajak, antara lain karena pajak yang terutang ditanggung oleh pemerintah
di luar negeri, ditangguhkan, atau tidak dipungut.
(8) Pengertian “tidak menggunakan lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total
penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain” sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf g angka 2) butir vi) adalah tidak lebih 50%
dari seluruh penghasilan WPLN, dalam jenis apapun atau sumber manapun,
sebagaimana diungkapkan dalam laporan keuangan entitas WPLN sendiri (non
konsolidasi) yang digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain,
tidak termasuk pemberian imbalan kepada karyawan yang diberikan secara
wajar dalam hubungan pekerjaan dan biaya-biaya lain yang lazim dikeluarkan
oleh WPLN dalam menjalankan usahanya dan pembagian keuntungan dalam
bentuk dividen kepada pemegang saham.

Pasal III

Ketentuan Pasal 6 dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009


tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda,
diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 6

(1) Dalam hal WPLN tidak melakukan penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3, WPLN berhak memperoleh manfaat P3B.
(2) Dalam hal WPLN dikenakan pajak tidak berdasarkan ketentuan yang diatur
dalam P3B, WPLN dapat meminta pejabat yang berwenang di negaranya
untuk melakukan penyelesaian melalui prosedur persetujuan bersama
(mutualagreement procedure) sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
P3B.
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 315

Pasal IV

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 April 2010
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

MOCHAMAD TJIPTARDJO
NIP 060044911
316 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 35/PJ/2010

TENTANG

SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI INDONESIA


DALAM RANGKA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 32A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983


tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 diatur bahwa pemerintah
berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam
rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b. bahwa dalam menerapkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, orang
atau badan yang berhak untuk memperoleh manfaat merupakan subjek pajak
dalam negeri dari salah satu atau kedua negara yang membuat persetujuan;
c. bahwa dalam rangka memberikan kepastian dan kemudahan bagi Wajib Pajak
dalam negeri Indonesia untuk menikmati manfaat Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda di negara mitra perjanjian;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b,
dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Surat
Keterangan Domisili Bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia Dalam Rangka
Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata


Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 317

MEMUTUSKAN :
Menetapkan:

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG SURAT KETERANGAN DOMISILI


BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI INDONESIA DALAM RANGKA PENERAPAN
PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA.

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan :


1. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah
perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara/jurisdiksi lain
dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
2. Surat Keterangan Domisili yang selanjutnya disebut SKD adalah Surat Keterangan
Domisili yang diterbitkan bagi Wajib Pajak dalam negeri yang isinya menerangkan
bahwa Wajib Pajak adalah subjek pajak dalam negeri Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang PPh dalam rangka memperoleh manfaat P3B
di 1 (satu) negara mitra P3B.
3. Kantor Pelayanan Pajak Domisili yang selanjutnya disebut KPP Domisili adalah
Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau
domisili Wajib Pajak orang pribadi terdaftar atau tempat kedudukan Wajib Pajak
badan terdaftar.
4. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang
PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberpa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2008.

Pasal 2

(1) SKD diterbitkan atau disahkan oleh Direktur Jenderal Pajak melalui KPP Domisili
berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
(2) SKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan Form-DGT 7
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini atau menggunakan formulir khusus yang diterbitkan oleh negara mitra P3B.

Pasal 3

Wajib Pajak yang dapat memperoleh SKD adalah Wajib Pajak yang :
a. berstatus subjek pajak dalam negeri Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang PPh;
b. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
c. bukan berstatus subjek pajak luar negeri, termasuk bentuk usaha tetap,
318 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang PPh.

Pasal 4

Permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui KPP Domisili
dengan menggunakan Form-DGT 6 sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
b. Form-DGT 6 sebagaimana dimaksud pada huruf a telah diisi dengan benar,
lengkap dan jelas;
c. memuat nama negara/jurisdiksi mitra P3B tempat penghasilan bersumber;
d. memuat penjelasan mengenai penghasilan dan pajak yang akan dikenakan di
negara mitra P3B atas penghasilan dimaksud;
e. ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan
f. dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
Undang-Undang KUP, dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib
Pajak.

Pasal 5

(1) KPP Domisili menerbitkan SKD dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja
setelah menerima permohonan Wajib Pajak secara lengkap.
(2) Direktur Jenderal Pajak melalui KPP Domisili menolak permohonan Wajib Pajak
dalam hal :
a. Wajib Pajak yang mengajukan permohonan tidak memenuhi ketentuan
Pasal 3;
b. permohonan Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan yang di atur dalam
Pasal 4; atau
c. Wajib Pajak belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
meskipun batas waktu penyampaian telah terlewati dan tidak Wajib Pajak
menyampaikan pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan sesuai ketentuan perundang-undangan.
(3) Penolakan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus diberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak paling lama 5 (lima) hari
kerja setelah permohonan Wajib Pajak diterima.

Pasal 6

Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Pajak Penghasilan dan masih
memerlukan SKD, Wajib Pajak harus menyampaikan kembali permohonan kepada
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 319

Direktur Jenderal Pajak melalui KPP Domisili.

Pasal 7

Masa berlaku SKD yang diterbitkan oleh KPP Domisili sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) adalah 1 (satu) tahun sejak tanggal diterbitkan kecuali bagi Wajib
Pajak bank sepanjang Wajib Pajak bank tersebut mempunyai alamat yang sama
dengan SKD yang telah diterbitkan.

Pasal 8

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Juli 2010
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd.

MOCHAMAD TJIPTARDJO
NIP 195104281975121002
320 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 10/PMK.03/2013

TENTANG

TATA CARA PENGEMBALIAN ATAS KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG


SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa ketentuan mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran


pajak yang seharusnya tidak terutang telah diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan
Pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang;
b. bahwa dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011
tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, perlu
dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai tata cara pengembalian
kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana
dimaksud pada huruf a;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan
huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (2), Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2009, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata
Cara Pengembalian Atas Kelebihan Pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak
Terutang;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata


Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak
dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5268);
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 321

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN ATAS


KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:


1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya
disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
2. Surat Pemberitahuan yang selanjutnya disingkat SPT adalah surat yang oleh
Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran
pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. SPT Masa adalah SPT untuk suatu Masa Pajak.
4. SPT Tahunan adalah SPT untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
5. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar
daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
6. Verifikasi adalah serangkaian kegiatan pengujian pemenuhan kewajiban
subjektif dan objektif atau penghitungan dan pembayaran pajak, berdasarkan
permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan data dan informasi perpajakan yang
dimiliki atau diperoleh Direktur Jenderal Pajak, dalam rangka menerbitkan surat
ketetapan pajak, menerbitkan/menghapus Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
mengukuhkan/mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
7. Wajib Pajak Luar Negeri yang selanjutnya disingkat WPLN adalah Subjek Pajak
luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
8. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disingkat P3B
adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra
atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan
pengelakan pajak.
9. Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, Denda
Administrasi, Bunga, dan Pajak dalam rangka impor, yang selanjutnya disingkat
322 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

SPKPBM adalah formulir penagihan untuk menagih bea masuk, cukai, denda
administrasi, bunga, dan pajak dalam rangka impor yang tidak atau kurang
dibayar oleh importir, pengangkut, pengusaha tempat penimbunan sementara,
pengusaha tempat penimbunan berikat, atau pengusaha pengurusan jasa
kepabeanan, yang diterbitkan oleh pejabat bea dan cukai sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara penagihan
piutang bea masuk, cukai, denda administrasi, bunga, dan pajak dalam rangka
impor.
10. Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean, yang selanjutnya disingkat SPTNP
adalah surat penetapan pejabat bea dan cukai sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara penetapan tarif,
nilai pabean, dan sanksi administrasi, serta penetapan Direktur Jenderal Bea dan
Cukai atau pejabat bea dan cukai.
11. Surat Penetapan Pabean, yang selanjutnya disingkat SPP adalah surat penetapan
pejabat bea dan cukai sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan
yang mengatur mengenai tata cara penetapan tarif, nilai pabean, dan sanksi
administrasi, serta penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat bea
dan cukai.
12. Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean, yang selanjutnya disingkat
SPKTNP adalah surat penetapan pejabat bea dan cukai sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara penetapan
tarif, nilai pabean, dan sanksi administrasi, serta penetapan Direktur Jenderal
Bea dan Cukai atau pejabat bea dan cukai

BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 2

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan


pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang kepada Direktur Jenderal Pajak
dalam hal:
a. terdapat pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang bukan merupakan objek pajak
yang terutang atau yang seharusnya tidak terutang;
b. terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak
yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya
dipotong atau dipungut;
c. terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan merupakan objek
pajak; atau
d. terdapat kelebihan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang terkait dengan
pajak-pajak dalam rangka impor.
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 323

Pasal 3

(1) Pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dapat berupa:
a. pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang lebih besar dari pajak yang
terutang;
b. pembayaran pajak atas transaksi yang dibatalkan;
c. pembayaran pajak yang seharusnya tidak dibayar; atau
d. pembayaran pajak oleh Wajib Pajak terkait dengan permintaan penghentian
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP yang tidak disetujui.
(2) Kesalahan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 huruf b dapat berupa:
a. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan
Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada Pajak
Penghasilan yang seharusnya dipotong atau dipungut, termasuk yang
diatur dalam P3B;
b. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang
diterima oleh bukan subjek pajak;
c. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai terhadap bukan Pengusaha Kena
Pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut; atau
d. pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap Pengusaha
Kena Pajak atau bukan Pengusaha Kena Pajak yang lebih besar daripada
pajak yang seharusnya dipungut.
(3) Kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan merupakan objek pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dapat berupa:
a. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang seharusnya tidak
dipotong atau tidak dipungut;
b. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya tidak dipungut;
atau
c. pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang seharusnya tidak
dipungut.
(4) Kelebihan pembayaran pajak yang terkait dengan pajak-pajak dalam rangka
impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d meliputi Pajak Penghasilan
Pasal 22 impor, Pajak Pertambahan Nilai impor, dan/atau Pajak Penjualan
Barang Mewah impor yang telah dibayar dan tercantum dalam:
a. SPTNP atau SPKTNP;
b. SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan keputusan keberatan;
c. SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan keputusan keberatan dan
putusan banding;
d. SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan keputusan keberatan,
putusan banding, dan putusan peninjauan kembali;
e. SPKTNP yang telah diterbitkan putusan banding;
f. SPKTNP yang telah diterbitkan putusan banding dan putusan peninjauan
324 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

kembali; atau
g. dokumen yang berisi pembatalan impor yang telah disetujui oleh pejabat
yang berwenang, yang menyebabkan terjadinya kelebihan pembayaran
pajak.

Pasal 4

(1) Dalam hal terjadi pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf a atau huruf d, pembayaran tersebut dapat diminta kembali
oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dengan mengajukan permohonan.
(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Wajib Pajak badan
dan Wajib Pajak orang pribadi.
(3) Ketentuan untuk mengajukan permohonan untuk memperoleh pengembalian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi orang pribadi atau
badan yang tidak diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

Pasal 5

(1) Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dan huruf c dan pajak yang dipotong atau
dipungut tersebut telah disetorkan dan dilaporkan, Wajib Pajak yang melakukan
pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
pemungutan tidak dapat meminta kembali pajak yang dipotong atau dipungut
tersebut.
(2) Dalam hal kesalahan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terjadi terhadap Pajak Penghasilan, pajak yang dipotong atau
dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang dipotong atau
dipungut dengan mengajukan permohonan.
(3) Dalam hal kesalahan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi
terhadap Pajak Pertambahan Nilai, pajak yang dipungut tersebut dapat diminta
kembali oleh bukan Pengusaha Kena Pajak yang dipungut dengan mengajukan
permohonan.
(4) Dalam hal kesalahan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi
terhadap Pajak Penjualan atas Barang Mewah, pajak yang dipungut tersebut
dapat diminta kembali oleh Pengusaha Kena Pajak atau bukan Pengusaha Kena
Pajak yang dipungut dengan mengajukan permohonan.
(5) Dalam hal kesalahan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf b dan huruf c dilakukan terhadap WPLN, pemotongan
atau pemungutan tersebut hanya dapat diminta kembali oleh WPLN yang
menjalankan kegiatan atau usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
dengan mengajukan permohonan.
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 325

Pasal 6

(1) Pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang berdasarkan permohonan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), ayat (3), ayat (4), atau ayat
(5), dapat dilakukan melalui Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau
pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan, dalam
hal:
a. pihak yang dipotong atau dipungut merupakan orang pribadi atau badan
yang tidak diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; atau
b. pihak yang dipotong atau dipungut merupakan WPLN yang tidak
menjalankan kegiatan atau usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(2) Dalam hal Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat ditemukan yang disebabkan
antara lain karena pembubaran usaha, permohonan diajukan langsung oleh
pihak yang dipotong atau dipungut.

BAB III
PERMOHONAN

Pasal 7

(1) Permohonan untuk memperoleh pengembalian atas kelebihan pembayaran


pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diajukan atas suatu bukti
pembayaran, bukti pemotongan/pemungutan pajak, faktur pajak atau dokumen
lain yang dipersamakan dengan faktur pajak.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam
bahasa Indonesia dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus ditandatangani oleh
Wajib Pajak atau pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan
Pasal 6.
(4) Dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dengan surat kuasa
khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP.

Pasal 8

(1) Dalam hal permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak


yang seharusnya tidak terutang diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan
pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, permohonan tersebut
disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau ke
326 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan berdomisili dalam
hal orang pribadi atau badan tersebut tidak diwajibkan memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak.
(2) Dalam hal permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran Pajak
Penghasilan yang seharusnya tidak terutang diajukan oleh Wajib Pajak yang
dipotong atau dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2),
permohonan tersebut disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib
Pajak yang dipotong atau dipungut terdaftar.
(3) Dalam hal permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran Pajak
Pertambahan Nilai yang seharusnya tidak terutang diajukan oleh bukan
Pengusaha Kena Pajak yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (3), permohonan tersebut disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat
pihak yang dipungut terdaftar.
(4) Dalam hal permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang seharusnya tidak terutang diajukan oleh
Pengusaha Kena Pajak atau bukan Pengusaha Kena Pajak yang dipungut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4), permohonan tersebut
disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pihak yang dipungut terdaftar.
(5) Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya
tidak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 disampaikan ke Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau
pemungutan terdaftar atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan
dikukuhkan.

Pasal 9

(1) Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya


tidak terutang yang diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus dilampiri dengan dokumen berupa:
a. Untuk pembayaran yang terkait dengan Pasal 2 huruf a:
1) asli bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Pajak atau sarana
administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak;
2) perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
3) alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak
yang seharusnya tidak terutang.
b. Untuk pembayaran yang terkait dengan Pasal 2 huruf d:
1) fotokopi bukti pembayaran pajak berupa surat setoran pabean cukai
dan pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan
surat setoran pabean cukai dan pajak;
2) fotokopi keputusan keberatan, putusan banding, dan putusan
peninjauan kembali yang terkait dengan SPTNP, SPKTNP, SPKPBM,
SPP, atau dokumen yang berisi pembatalan impor yang telah disetujui
oleh pejabat yang berwenang;
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 327

3) perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan


4) alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak
yang seharusnya tidak terutang.
(2) Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran Pajak Penghasilan
yang seharusnya tidak terutang yang diajukan oleh Wajib Pajak yang dipotong
atau dipungut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) harus dilampiri dengan dokumen berupa:
a. asli bukti pemotongan/pemungutan pajak;
b. perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
c. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang.
(3) Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan
Nilai yang seharusnya tidak terutang yang diajukan oleh bukan Pengusaha
Kena Pajak yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) harus
dilampiri dengan dokumen berupa:
a. asli bukti pemungutan pajak atau faktur pajak atau dokumen lain yang
dipersamakan dengan faktur pajak;
b. perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
c. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang.
(4) Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang seharusnya tidak terutang yang diajukan oleh Pengusaha
Kena Pajak atau bukan Pengusaha Kena Pajak yang dipungut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) harus dilampiri dengan dokumen berupa:
a. asli bukti pemungutan pajak atau faktur pajak atau dokumen lain yang
dipersamakan dengan faktur pajak;
b. perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
c. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang.
(5) Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya
tidak terutang yang diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan pemotongan
atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen
berupa:
a. asli bukti pemotongan/pemungutan pajak atau faktur pajak atau dokumen
lain yang dipersamakan dengan faktur pajak;
b. perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
c. surat permohonan dari pihak yang dipotong atau dipungut kepada Wajib
Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan pemungutan;
d. surat kuasa dari pihak yang dipotong atau dipungut kepada Wajib Pajak
yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena
Pajak yang melakukan pemungutan; dan
328 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

e. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang


seharusnya tidak terutang.
(6) Dalam hal pemotong atau pemungut tidak dapat ditemukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), permohonan dilakukan langsung oleh pihak
yang dipotong atau dipungut harus dilampiri dengan dokumen berupa:
a. asli bukti pemotongan/pemungutan pajak, faktur pajak atau dokumen lain
yang dipersamakan dengan faktur pajak;
b. perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
c. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang.

Pasal 10

(1) Penyampaian permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat dilakukan:
a. secara langsung dengan bukti penerimaan surat;
b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman
surat.
(2) Bukti penerimaan surat atau bukti pengiriman surat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan bukti penerimaan surat permohonan.

BAB IV
PROSES PENYELESAIAN PERMOHONAN

Pasal 11

(1) Direktur Jenderal Pajak melakukan Verifikasi terhadap permohonan


pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak
terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(2) Dalam hal untuk melakukan Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diperlukan tambahan dokumen pendukung lainnya yang terkait dengan
permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya
tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen tersebut
kepada Wajib Pajak atau pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5,
dan Pasal 6.
(3) Dalam hal pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang terkait dengan
pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, pengembalian
tersebut dapat diberikan apabila memenuhi ketentuan:
a. pajak yang seharusnya tidak terutang telah dibayar atau disetor ke kas
negara; dan
b. pajak yang seharusnya tidak terutang telah dibayar atau disetor
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 329

sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak dikreditkan dalam SPT.


(4) Dalam hal pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang terkait dengan
pembayaran pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf d, pengembalian tersebut dapat diberikan apabila memenuhi ketentuan:
a. pajak yang seharusnya tidak terutang telah dibayar atau disetor ke kas
negara;
b. dalam hal pajak yang telah dibayar atau disetor sebagaimana dimaksud
pada huruf a terkait dengan PPh Pasal 22 impor, pajak tersebut tidak
dikreditkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan;
c. dalam hal pajak yang telah dibayar atau disetor sebagaimana dimaksud
pada huruf a terkait dengan PPN impor, pajak tersebut tidak dikreditkan
dalam SPT Masa PPN, tidak dibebankan sebagai biaya dalam SPT Tahunan
Pajak Penghasilan, atau tidak dikapitalisasi dalam harga perolehan; dan
d. dalam hal pajak yang telah dibayar atau disetor sebagaimana dimaksud
pada huruf a terkait dengan PPnBM impor, pajak tersebut tidak
dibebankan sebagai biaya dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan atau
tidak dikapitalisasi dalam harga perolehan.
(5) Dalam hal pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang terkait dengan
pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2), pengembalian tersebut dapat diberikan apabila
memenuhi ketentuan:
a. pajak yang seharusnya tidak terutang telah disetor ke kas negara;
b. dalam hal pajak yang telah disetor sebagaimana dimaksud pada huruf a
terkait dengan pemotongan atau pemungutan yang bersifat tidak final,
Pajak Penghasilan tersebut tidak dikreditkan pada SPT Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut;
c. pajak yang dipotong atau dipungut telah dilaporkan oleh pemotong atau
pemungut dalam SPT Masa Wajib Pajak pemotong atau pemungut; dan
d. pajak yang dipotong atau dipungut tidak diajukan keberatan oleh Wajib
Pajak yang dipotong atau dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
ayat (1) huruf e Undang-Undang KUP.
(6) Dalam hal pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang terkait dengan
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (3), pengembalian tersebut dapat diberikan apabila memenuhi ketentuan:
a. pajak yang seharusnya tidak terutang telah disetor ke kas negara;
b. pajak yang telah disetor sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak
dikreditkan dalam SPT Masa PPN, tidak dibebankan sebagai biaya dalam
SPT Tahunan Pajak Penghasilan, atau tidak dikapitalisasi dalam harga
perolehan;
c. pajak yang dipungut telah dilaporkan oleh pemungut dalam SPT Masa PPN
Wajib Pajak pemungut; dan
d. pajak yang dipungut tidak diajukan keberatan oleh Wajib Pajak yang
dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf e Undang-
330 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Undang KUP.
(7) Dalam hal pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang terkait dengan
pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (4), pengembalian tersebut dapat diberikan apabila memenuhi
ketentuan:
a. pajak yang seharusnya tidak terutang telah disetor ke kas negara;
b. pajak yang telah disetor sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak
dibiayakan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang
dipungut atau tidak dikapitalisasi dalam harga perolehan;
c. pajak yang dipungut telah dilaporkan oleh pemungut dalam SPT Masa PPN
Wajib Pajak pemungut; dan
d. pajak yang dipungut tidak diajukan keberatan oleh Wajib Pajak yang
dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf e Undang-
Undang KUP.
(8) Dalam hal pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang terkait dengan
pemotongan atau pemungutan pajak terhadap WPLN sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (5), pengembalian tersebut dapat diberikan apabila
memenuhi ketentuan:
a. pajak yang seharusnya tidak terutang yang telah dibayar atau disetor ke
kas negara; dan
b. pajak yang seharusnya tidak terutang telah dibayar atau disetor
sebagaimana dimaksud pada huruf a telah dilaporkan dalam SPT Masa
Wajib Pajak pemotong atau pemungut.
(9) Dalam hal berdasarkan laporan hasil Verifikasi terdapat kelebihan pembayaran
pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
(10) Dalam hal berdasarkan laporan hasil Verifikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (9) tidak terdapat pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal
Pajak menyampaikan secara tertulis kepada pemohon.

Pasal 12

Dalam hal permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang diajukan
oleh orang pribadi atau badan yang tidak diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar diterbitkan dengan mengisi kolom Nomor Pokok Wajib Pajak dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. untuk badan, pada 2 (dua) digit pertama dicantumkan angka 01 (nol satu);
b. untuk orang pribadi, pada 2 (dua) digit pertama dicantumkan angka 04 (nol
empat);
c. pada 7 (tujuh) digit berikutnya dicantumkan angka 0 (nol);
d. pada 3 (tiga) digit berikutnya dicantumkan angka kode Kantor Pelayanan Pajak
tempat permohonan diajukan; dan
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 331

e. pada 3 (tiga) digit terakhir dicantumkan angka 0 (nol).

Pasal 13

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor
190/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
Yang Seharusnya Tidak Terutang, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 14

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Februari 2013.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri


ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 2013
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK
INDONESIA,

ttd.

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 13


332 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 60/PMK.03/2014

TENTANG

TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI (EXCHANGE OF INFORMATION)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 32A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983


tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 diatur bahwa Pemerintah
berwenang untuk melakukan perjanjian dengan Pemerintah negara lain dalam
rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b. bahwa sesuai ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda,
Persetujuan untuk Pertukaran Informasi Berkenaan dengan Keperluan Perpajakan
(Tax Information Exchange Agreement/TIEA), dan Perjanjian Multilateral tentang
Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan (Convention on Mutual
Administrative Assistance in Tax Matters) diatur bahwa Pemerintah Indonesia dan
pemerintah negara atau yurisdiksi mitranya diharuskan melakukan pertukaran
informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 59 Peraturan Pemerintah
Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan
Kewajiban Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Tata Cara Pertukaran Informasi (Exchange of Information);

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata


Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 333

Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara


Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak
dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5268);
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Keuangan;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI


(EXCHANGE OF INFORMATION).

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:


1. Undang-Undang adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang.
2. Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra adalah negara atau yurisdiksi yang terikat
dengan Pemerintah Indonesia dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda,
Persetujuan untuk Pertukaran Informasi Berkenaan dengan Keperluan Perpajakan
(Tax Information Exchange Agreement), atau Perjanjian Multilateral tentang
Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan (Convention on Mutual
Administrative Assistance in Tax Matters).
3. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah
perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan
pengelakan pajak.
4. Persetujuan untuk Pertukaran Informasi Berkenaan dengan Keperluan
Perpajakan (Tax Information Exchange Agreement) yang selanjutnya disebut
TIEA adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra untuk memberikan bantuan administratif perpajakan
melalui pertukaran informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah
334 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

perpajakan.
5. Perjanjian Multilateral tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang
Perpajakan (Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters)
yang selanjutnya disebut Perjanjian Multilateral adalah perjanjian multilateral
atau konvensi antara Pemerintah Indonesia dengan beberapa pemerintah Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra untuk memberikan bantuan administratif satu sama
lain dalam bidang perpajakan antara lain melalui pertukaran informasi mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan.
6. Otoritas Pajak Negara Mitra atau Otoritas Pajak Yurisdiksi Mitra yang selanjutnya
disebut sebagai Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra adalah otoritas
perpajakan pada Negara Mitra atau otoritas perpajakan pada Yurisdiksi Mitra
yang berwenang melaksanakan ketentuan dalam P3B, TIEA, atau Perjanjian
Multilateral.
7. Data dan/atau Informasi yang selanjutnya disebut Informasi adalah kumpulan
angka, huruf, kata, dan/atau citra, yang bentuknya dapat berupa surat, dokumen,
buku, atau catatan serta keterangan tertulis, yang dapat memberikan petunjuk
mengenai penghasilan dan/atau kekayaan/harta orang pribadi atau badan,
termasuk kegiatan usaha atau pekerjaan bebas orang pribadi atau badan.
8. Pertukaran Informasi atau Exchange of Information (EOI) yang selanjutnya
disebut Pertukaran Informasi adalah pertukaran informasi mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan masalah perpajakan sebagai pelaksanaan P3B, TIEA atau
Perjanjian Multilateral, untuk mencegah penghindaran pajak (tax avoidance),
pengelakan pajak (tax evasion), dan/atau penyalahgunaan P3B oleh pihak-pihak
yang tidak berhak.

BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 2

(1) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan Pertukaran Informasi dengan Otoritas
Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
(2) Pertukaran Informasi dengan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Direktur Peraturan
Perpajakan II, yang bertindak sebagai pejabat yang berwenang atau competent
authority di Indonesia.
(3) Pertukaran Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam:
a. P3B;
b. TIEA; atau
c. Perjanjian Multilateral.
(4) Pertukaran Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku terhadap
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 335

P3B, TIEA, atau Perjanjian Multilateral yang berlaku efektif sebelum, sejak, atau
setelah berlakunya Peraturan Menteri ini.

Pasal 3

(1) Pertukaran Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi:


a. Pertukaran Informasi berdasarkan permintaan;
b. Pertukaran Informasi secara spontan;
c. Pertukaran Informasi secara otomatis.
(2) Pertukaran Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus bersifat
resiprokal dan dilakukan dalam bentuk Pertukaran Informasi ke dalam negeri
maupun Pertukaran Informasi ke luar negeri.
(3) Dalam rangka pelaksanaan Pertukaran Informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan tax examination abroad
atau simultaneous tax examinations.

BAB III
PERTUKARAN INFORMASI BERDASARKAN PERMINTAAN

Bagian Kesatu
Pertukaran Informasi Berdasarkan Permintaan kepada Otoritas Pajak Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra

Pasal 4

(1) Unit di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang membutuhkan Informasi


menyampaikan usulan kepada Direktur Peraturan Perpajakan II untuk melakukan
permintaan Informasi kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
(2) Usulan permintaan Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan dalam hal terdapat dugaan Wajib Pajak melakukan transaksi untuk
menghindari pengenaan pajak, melakukan pengelakan pajak atau semata-
mata hanya untuk memanfaatkan fasilitas P3B, dan Wajib Pajak:
a. sedang dilakukan analisis dan pengembangan atas informasi, data, laporan
dan pengaduan yang diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak, verifikasi,
pemeriksaan, penagihan, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan terhadap kewajiban perpajakan yang terkait
dengan transaksi internasional; atau
b. sedang dalam proses pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak,
keberatan, banding, peninjauan kembali, dan/atau prosedur persetujuan
bersama (Mutual Agreement Procedure) terhadap kewajiban perpajakan
yang terkait dengan transaksi internasional.
(3) Permintaan Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah
336 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

unit di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak mengupayakan untuk mencari


Informasi di dalam negeri dan Informasi dimaksud tidak ditemukan.
(4) Usulan permintaan Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, setelah Direktur
Peraturan Perpajakan II melakukan penelitian atas pemenuhan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3).
(5) Usulan permintaan Informasi yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak ditindaklanjuti oleh Direktur Peraturan
Perpajakan II, dalam hal terdapat kondisi sebagai berikut:
a. Informasi yang diminta tersedia di dalam negeri;
b. Informasi yang diminta bersifat spekulatif dan tidak memiliki hubungan
yang jelas dengan dasar permintaan Informasi (fishing expedition);
c. Informasi yang diminta tidak didasari atas kecurigaan (allegation) yang
memadai;
d. Informasi yang diminta dapat mengakibatkan terungkapnya rahasia
perdagangan, usaha, industri, perniagaan atau keahlian; dan/atau
e. Informasi yang diminta berhubungan dengan rahasia negara, kebijakan
publik, kedaulatan, keamanan negara atau kepentingan nasional.

Bagian Kedua
Pertukaran Informasi Berdasarkan Permintaan dari
Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra

Pasal 5

(1) Direktur Peraturan Perpajakan II menerima permintaan Informasi dari Otoritas


Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
(2) Direktur Peraturan Perpajakan II melakukan penelitian terhadap permintaan
Informasi yang diterima dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penelitian terhadap permintaan Informasi yang diterima dari Otoritas Pajak
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan untuk menguji pemenuhan ketentuan sebagai berikut:
a. ditandatanganinya permintaan Informasi oleh pejabat yang berwenang
atau competent authority di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
b. terdapat dugaan bahwa atas transaksi yang dimintakan Pertukaran
Informasi dilaksanakan untuk menghindari pengenaan pajak, melakukan
pengelakan pajak atau semata-mata hanya untuk memanfaatkan fasilitas
P3B di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dan/atau di Indonesia; dan
c. dipenuhinya ketentuan sebagaimana tercantum dalam P3B, TIEA, atau
Perjanjian Multilateral.
(4) Dalam hal permintaan Informasi yang diterima dari Otoritas Pajak Negara Mitra
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 337

atau Yurisdiksi Mitra belum jelas, Direktur Peraturan Perpajakan II dapat meminta
penjelasan tambahan kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra
yang bersangkutan.
(5) Permintaan Informasi yang diterima dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra tidak dapat dipenuhi dalam hal:
a. perlu dilakukan tindakan administratif yang bertentangan dengan praktik
administrasi atau ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. dalam kondisi serupa, Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra tidak menyediakan
informasi yang diminta pada saat Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra
tersebut berkedudukan sebagai negara yang diminta Informasi; dan/atau
c. Informasi yang diminta berhubungan dengan rahasia negara, kebijakan
publik, kedaulatan, keamanan negara, atau kepentingan nasional.
(6) Dalam hal permintaan Informasi dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan tidak
diperlukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, dan/atau
tidak terdapat kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dan/atau
huruf c, permintaan Informasi tersebut ditindaklanjuti sebagai berikut:
a. untuk Informasi yang sudah tersedia, Direktur Peraturan Perpajakan II
menyampaikan Informasi tersebut kepada Otoritas Pajak Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra;
b. untuk Informasi yang belum tersedia, Direktur Peraturan Perpajakan II
meminta Informasi dimaksud kepada unit terkait di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak.
(7) Dalam hal unit terkait di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak telah
menyampaikan Informasi yang diminta sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
huruf b, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan Informasi dimaksud
kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.

BAB IV
PERTUKARAN INFORMASI SECARA SPONTAN

Bagian Kesatu
Pertukaran Informasi Secara Spontan kepada
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra

Pasal 6

(1) Pertukaran Informasi secara spontan kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra dilakukan sebagai tindak lanjut hasil pemeriksaan, pemeriksaan bukti
permulaan, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan
oleh unit di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak terhadap kewajiban perpajakan
Wajib Pajak yang terkait dengan transaksi internasional.
338 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

(2) Pertukaran Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa
didahului permintaan Informasi dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra.
(3) Hasil pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan terhadap kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang
terkait dengan transaksi internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa:
a. terdapat indikasi hilangnya potensi pajak yang signifikan di Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra;
b. terdapat pembayaran kepada Wajib Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra yang diduga tidak dilaporkan di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
c. terdapat pengurangan atau pembebasan pajak di Indonesia yang diterima
oleh Wajib Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang dapat menambah
kewajiban perpajakan di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra; dan/atau
d. terdapat transaksi antara Wajib Pajak Indonesia dengan Wajib Pajak Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra melalui satu atau lebih negara lain, sedemikian
rupa sehingga mengakibatkan berkurangnya nilai pajak yang terutang dari
Wajib Pajak dimaksud di Indonesia dan/atau di Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra.
(4) Unit di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang melakukan pemeriksaan,
pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan terhadap kewajiban perpajakan Wajib Pajak, harus memberikan
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Direktur Peraturan
Perpajakan II.
(5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian Direktur Peraturan Perpajakan II,
Informasi yang diberikan oleh unit di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Peraturan
Perpajakan II:
a. tidak menyampaikan Informasi dimaksud kepada Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra; dan
b. menyampaikan pemberitahuan kepada unit di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak yang memberikan Informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).
(6) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian Direktur Peraturan Perpajakan II,
Informasi yang diberikan oleh unit di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Peraturan
Perpajakan II menyampaikan Informasi dimaksud kepada Otoritas Pajak Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan.
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 339

Bagian Kedua
Pertukaran Informasi Secara Spontan dari
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra

Pasal 7

(1) Direktur Peraturan Perpajakan II menerima Informasi dalam rangka Pertukaran


Informasi secara spontan dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
(2) Direktur Peraturan Perpajakan II melakukan penelitian mengenai kelengkapan
dan validitas Informasi yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
Informasi lengkap dan valid, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan
Informasi dimaksud kepada unit di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang
dapat memanfaatkan Informasi dimaksud.

BAB V
PERTUKARAN INFORMASI SECARA OTOMATIS

Bagian Kesatu
Pertukaran Informasi Secara Otomatis kepada
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra

Pasal 8

(1) Dalam rangka pelaksanaan Pertukaran Informasi secara otomatis, unit di


lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang mengelola dan mengadministrasikan
informasi perpajakan secara sistematik dan periodik, memberikan informasi
perpajakan tertentu kepada Direktur Peraturan Perpajakan II.
(2) Informasi perpajakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. perubahan tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dari satu
negara ke negara lain;
b. kepemilikan atau penghasilan dari harta;
c. dividen;
d. bunga;
e. royalti;
f. keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta;
g. gaji, upah, dan remunerasi;
h. penghasilan direktur dan penghasilan lainnya yang sejenis;
i. penghasilan yang diperoleh para seniman dan olahragawan, pensiun, dan
penghasilan lainnya yang sejenis;
j. penghasilan dari gaji, upah, dan remunerasi yang berkaitan dengan jabatan
340 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

dalam pemerintahan;
k. hal-hal lain yang berkaitan dengan pajak tidak langsung; dan
l. komisi dan pembayaran lainnya yang sejenis.
(3) Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan informasi perpajakan tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang perpajakan.

Bagian Kedua
Pertukaran Informasi Secara Otomatis dari
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra

Pasal 9

(1) Direktur Peraturan Perpajakan II menerima Informasi dalam rangka Pertukaran


Informasi secara otomatis dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
(2) Direktur Peraturan Perpajakan II melakukan penelitian mengenai kelengkapan
dan validitas Informasi yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
Informasi lengkap dan valid, Direktur Peraturan Perpajakan II meneruskan
Informasi dimaksud kepada unit di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang
dapat memanfaatkan Informasi dimaksud.

BAB VI
TAX EXAMINATION ABROAD

Bagian Kesatu
Pelaksanaan Tax Examination Abroad
di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra

Pasal 10

(1) Permintaan tax examination abroad di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dapat
diajukan dalam hal Pertukaran Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4, Pasal 7, dan Pasal 9 sedang atau telah dilaksanakan, namun berdasarkan
penelitian Direktorat Jenderal Pajak:
a. Informasi tersebut kurang memadai;
b. diperlukan Infomasi tambahan; dan/atau
c. diperlukan percepatan perolehan Informasi.
(2) Tax examination abroad di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Direktorat Jenderal Pajak
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 341

dalam bentuk pendampingan atau bentuk lain yang disetujui oleh Otoritas Pajak
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.

Bagian Kedua
Pelaksanaan Tax Examination Abroad yang Diajukan
Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra

Pasal 11

(1) Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dapat mengajukan permintaan
tax examination abroad kepada Direktur Peraturan Perpajakan II, dengan
dilampiri surat pernyataan mengenai kesediaan melakukan tax examination
abroad secara resiprokal.
(2) Permintaan tax examination abroad sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diajukan dalam hal Pertukaran Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5, Pasal 6, dan Pasal 8 sedang atau telah dilaksanakan, namun berdasarkan
pertimbangan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra:
a. Informasi tersebut kurang memadai;
b. diperlukan Infomasi tambahan; dan/atau
c. diperlukan percepatan perolehan Informasi.
(3) Direktur Peraturan Perpajakan II bersama dengan unit di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak terkait melakuan penelitian terhadap permintaan tax examination
abroad sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur
Peraturan Perpajakan II menentukan permintaan tax examination abroad
disetujui atau ditolak.
(5) Terhadap permintaan tax examination abroad yang disetujui, Direktur Peraturan
Perpajakan II menyampaikan pemberitahuan kepada Otoritas Pajak Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra mengenai persetujuan pelaksanaan tax examination
abroad dimaksud.
(6) Terhadap permintaan tax examination abroad yang ditolak, Direktur Peraturan
Perpajakan II menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai
penolakan tersebut kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra
dengan menyebutkan alasan penolakan.
(7) Pelaksanaan tax examination abroad yang disetujui dilakukan melalui
pemeriksaan untuk tujuan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan.

Pasal 12

(1) Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka menindaklanjuti permintaan tax
examination abroad sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (7) dilakukan
342 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

dengan melibatkan wakil dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
(2) Keterlibatan wakil dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan status sebagai
pendamping tim pemeriksa pajak.
(3) Dalam mendampingi tim pemeriksa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), melalui tim pemeriksa pajak, wakil dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra dapat:
a. meminjam buku, catatan, dan/atau dokumen yang terkait dengan Informasi
yang dimintakan;
b. mengunduh data yang dikelola secara elektronik yang terkait dengan
Informasi yang dimintakan;
c. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak; dan/atau
d. meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang
mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala
unit pelaksana pemeriksaan.
(4) Pelaksanaan pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

BAB VII
SIMULTANEOUS TAX EXAMINATIONS

Pasal 13

(1) Simultaneous tax examinations dapat dilakukan berdasarkan permintaan dari


Direktorat Jenderal Pajak dan/atau satu atau lebih Otoritas Pajak Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra.
(2) Simultaneous tax examinations sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilaksanakan sepanjang terdapat kondisi sebagai berikut:
a. terdapat hubungan mengenai masalah perpajakan antara Wajib Pajak yang
bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia dengan Wajib Pajak
yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra;
b. terdapat kepentingan bersama antara Direktorat Jenderal Pajak dengan
satu atau lebih Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra terkait
dengan masalah perpajakan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. terdapat dugaan bahwa transaksi dilaksanakan untuk menghindari
pengenaan pajak atau melakukan pengelakan pajak; dan
d. Direktorat Jenderal Pajak dan satu atau lebih Otoritas Pajak Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra berpendapat bahwa proses Pertukaran Informasi
atas masalah perpajakan sebagaimana dimaksud pada huruf a yang
dilaksanakan secara tertulis tidak cukup memadai, efektif, dan efisien.
(3) Simultaneous tax examinations sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 343

dilaksanakan berdasarkan kesepakatan bersama antara Direktorat Jenderal


Pajak dengan satu atau lebih Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
(4) Berdasarkan kesepakatan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
simultaneous tax examinations dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak
dan satu atau lebih Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra melalui
pemeriksaan di masing-masing negara atau yurisdiksinya secara bersamaan.
(5) Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan dalam rangka simultaneous tax
examinations sebagaimana dimaksud pada ayat (4), sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

BAB VIII
PERMINTAAN INFORMASI KEPADA WAJIB PAJAK ATAU PIHAK LAIN

Pasal 14

(1) Dalam rangka Pertukaran Informasi dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra,
Direktur Jenderal Pajak berdasarkan Undang-Undang dapat meminta Informasi
kepada Wajib Pajak atau pihak lain mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
masalah perpajakan yang dipertukarkan.
(2) Wajib Pajak atau pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi permintaan informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
masalah perpajakan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak atau pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terikat oleh kewajiban merahasiakan, kewajiban merahasiakan tersebut
ditiadakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan, melalui permintaan secara tertulis dari:
a. Direktur Jenderal Pajak; atau
b. Menteri Keuangan kepada Gubernur Bank Indonesia dalam hal Informasi
yang diminta terikat kerahasiaan sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perbankan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak atau pihak lain tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3), Wajib Pajak atau pihak lain dikenai sanksi
sesuai dengan Undang-Undang.

BAB IX
KERAHASIAAN INFORMASI

Pasal 15

(1) Setiap Informasi yang dipertukarkan wajib diperlakukan secara rahasia sesuai
dengan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang.
344 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

(2) Ketentuan tentang kerahasiaan atas Informasi yang dipertukarkan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) juga diberlakukan bagi wakil Otoritas Pajak Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra yang melakukan tax examination abroad di Indonesia.

BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 16

(1) Tata cara Pertukaran Informasi berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 4 dan Pasal 5 adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) Tata cara Pertukaran Informasi secara spontan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 dan Pasal 7 adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) Tata cara Pertukaran Informasi secara otomatis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 dan Pasal 9 adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(4) Tata cara pelaksanaan tax examination abroad sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 adalah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 17

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 345

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Maret 2014
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK
INDONESIA,

ttd.

MUHAMAD CHATIB BASRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 April 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 404


346 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 41/PJ/2011

TENTANG

PETUNJUK PELAKSANAAN PEMERIKSAAN DALAM RANGKA PERTUKARAN


INFORMASI BERDASARKAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK
BERGANDA YANG MELIBATKAN OTORITAS PAJAK NEGARA MITRA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 32A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983


tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan diatur
bahwa Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan Pemerintah
negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan
pengelakan pajak;
b. bahwa berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara
Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Negara Mitra, antara lain diatur mengenai
pertukaran informasi yang dapat dimanfaatkan untuk pencegahan penghindaran
pajak berganda, pencegahan pengelakan pajak, dan penyalahgunaan P3B oleh
pihak-pihak yang tidak berhak;
c. berdasarkan Pasal 25 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan
Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan antara lain diatur bahwa Direktur
Jenderal Pajak dapat melaksanakan kesepakan dengan negara mitra dalam
rangka pertukaran informasi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Dalam Rangka Pertukaran Informasi
Berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Yang Melibatkan Otoritas
Pajak Negara Mitra;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata


Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 347

telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun


2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Pemerintah Republik Indonesia
dengan Pemerintah Negara Mitra;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Pajak
Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2011 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007 tentang Tata Cara
Pemeriksaan Pajak;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK PETUNJUK PELAKSANAAN PEMERIKSAAN


DALAM RANGKA PERTUKARAN INFORMASI BERDASARKAN PERSETUJUAN
PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA YANG MELIBATKAN OTORITAS PAJAK NEGARA
MITRA.

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan :


1. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah
Perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Negara Mitra atau
yurisdiksi untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan
pajak.
2. Pertukaran Informasi (Exchange of information) yang selanjutnya disebut EoI
adalah fasilitas pertukaran informasi perpajakan yang terdapat di dalam P3B yang
dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Negara Mitra
P3B untuk upaya pencegahan penghindaran pajak (tax avoidance), pengelakan
pajak (tax evasion), dan penyalahgunaan P3B oleh pihak-pihak yang tidak berhak
348 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

(tax treaty abuse).


3. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,
keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional
berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
4. Pemeriksa Pajak adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal
Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, yang diberi
tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan Pemeriksaan.
5. Tim Pejabat Pajak yang melaksanakan Pemeriksaan Pajak di Luar Negeri terdiri
dari Pemeriksa Pajak Indonesia dan Competent Authority Indonesia atau
perwakilannya, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
6. Negara Mitra P3B adalah negara atau yurisdiksi yang mempunyai P3B dengan
Indonesia yang sudah berlaku efektif.
7. Competent Authority yang selanjutnya disebut CA adalah Direktur Jenderal
Pajak dan Direktur Peraturan Perpajakan II yang diberi kewenangan oleh Menteri
Keuangan Republik Indonesia untuk melakukan pertukaran informasi sesuai
dengan P3B.

Pasal 2

(1) Pemeriksaan dalam rangka pertukaran informasi berdasarkan P3B yang


melibatkan otoritas pajak negara mitra dapat dilaksanakan oleh Direktorat
Jenderal Pajak melalui Direktur Peraturan Perpajakan II.
(2) Pemeriksa Pajak Indonesia yang berwenang hadir dalam Pemeriksaan ke Luar
Negeri adalah Pemeriksa Pajak yang diusulkan oleh Direktur Pemeriksaan dan
Penagihan dan di tetapkan oleh CA Indonesia.
(3) Pemeriksa Pajak Negara Mitra P3B yang berwenang hadir dalam Pemeriksaan
di Dalam Negeri adalah Pemeriksa Pajak dari Negara Mitra P3B yang ditunjuk
oleh CA Negara Mitra P3B dan disetujui oleh CA Indonesia.
(4) Setiap informasi dan data yang dipertukarkan wajib diperlakukan secara rahasia
dan hanya diungkapkan kepada orang atau badan yang berwenang dan terkait
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 dan ketentuan P3B terkait.
(5) Petunjuk pelaksanaan pemeriksaan yang dilakukan dalam rangka permintaan
informasi dilakukan berdasarkan peraturan perundang- undangan tentang
pemeriksaan pajak yang berlaku.

Pasal 3

(1) Pemeriksaan ke Luar Negeri adalah pendampingan yang dilakukan oleh


Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 349

Pemeriksa Pajak Indonesia atas pemeriksaan yang dilakukan oleh Negara


Mitra P3B dalam rangka pemenuhan permintaan informasi oleh Pemerintah
Indonesia.
(2) Pemeriksaan ke Luar Negeri dapat dilaksanakan terhadap Wajib Pajak Negara
Mitra P3B yang memperoleh penghasilan dari Indonesia atau Wajib Pajak
Negara Mitra P3B yang transaksinya terkait dengan Wajib Pajak Indonesia yang
sedang diperiksa di Indonesia dalam hal terkait upaya penghindaran pajak (tax
avoidance), pengelakan pajak (tax evasion), dan penyalahgunaan P3B oleh
pihak-pihak yang tidak berhak (tax treaty abuse).
(3) Dalam hal dianggap perlu untuk dilakukan Pemeriksaan ke Luar Negeri, unit
DJP dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Peraturan Perpajakan II.
(4) Direktur Peraturan Perpajakan II melakukan koordinasi dengan Direktur
Pemeriksaan dan Penagihan atas permohonan Pemeriksaan ke Luar Negeri
yang diajukan Unit DJP terkait.
(5) Direktur Peraturan Perpajakan II meneruskan permohonan kepada Negara
Mitra P3B.
(6) Dalam hal Pemeriksaan ke Luar Negeri dapat dilaksanakan, Pejabat Pajak
Indonesia yang melakukan Pemeriksaan ke Luar Negeri harus melaporkan hasil
Pemeriksaan ke Luar Negeri tersebut kepada Direktur Peraturan Perpajakan II
dan ditembuskan kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.
(7) Direktur Peraturan Perpajakan II membuat surat pemberitahuan atas hasil
Pemeriksaan ke luar negeri dan mengirimkannya kepada Negara Mitra P3B
tempat pemeriksaan pajak dilaksanakan.

Pasal 4

Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan ke Luar Negeri diatur sebagaimana ditetapkan


dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 5

Informasi atau data-data yang harus dicantumkan oleh Unit DJP yang mengusulkan
Pemeriksaan ke Luar Negeri diatur sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 6

(1) Dalam rangka memenuhi permintaan informasi dari Negara Mitra P3B, Direktur
Jenderal Pajak dapat melaksanakan pemeriksaan untuk tujuan lain.
(2) Dalam hal dilaksanakan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka pemenuhan
permintaan informasi dari Negara Mitra P3B tersebut, Pemeriksa Pajak Negara
Mitra P3B dapat melakukan pendampingan Pemeriksaan di Dalam Negeri.
(3) (3) Pemeriksaan di Dalam Negeri dapat dilaksanakan terhadap Wajib
350 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Pajak Indonesia yang memperoleh penghasilan dari Negara Mitra P3B atau
Wajib Pajak Indonesia yang transaksinya terkait dengan Wajib Pajak Negara
Mitra P3B yang sedang diperiksa oleh Negara Mitra P3B dalam hal terkait upaya
penghindaran pajak (tax avoidance), pengelakan pajak (tax evasion), dan
penyalahgunaan P3B oleh pihak-pihak yang tidak berhak (tax treaty abuse).
(4) Direktorat Jenderal Pajak dapat menentukan apakah permintaan Pemeriksaan
di Dalam Negeri sesuai dengan ketentuan terkait Exchange of Information
dalam P3B Indonesia dengan Negara Mitra P3B.
(5) Direktur Peraturan Perpajakan II berkoordinasi dengan Direktur Pemeriksaan
dan Penagihan mengenai kemungkinan pelaksanaan Pemeriksaan di Dalam
Negeri.
(6) Dalam hal Pemeriksaan di Dalam Negeri dapat dilaksanakan, Direktur Peraturan
Perpajakan II memberitahukan kepada Negara Mitra P3B tentang tata cara
pemeriksaan di Indonesia serta waktu pelaksanaan pemeriksaan.
(7) Pemeriksa Pajak Negara Mitra P3B dapat menghadiri pelaksanaan Pemeriksaan
di Dalam Negeri paling lama 10 (sepuluh) hari kerja.
(8) Hasil Pemeriksaan di Dalam Negeri harus dilaporkan oleh Tim Pemeriksa Pajak
Indonesia yang melaksanakan Pemeriksaan di Dalam Negeri kepada Direktur
Peraturan Perpajakan II dan ditembuskan kepada Direktur Pemeriksaan dan
Penagihan.
(9) Terhadap Hasil Pemeriksaan di Dalam Negeri, Direktur Peraturan Perpajakan
II memberikan informasi dan data yang diperoleh kepada Negara Mitra P3B
pengirim sesuai dengan kebutuhan informasi yang diminta melalui prosedur
Exchange of Information.

Pasal 7

Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak di Dalam Negeri diatur sebagaimana


ditetapkan dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 8

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 351

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur


Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Desember 2011
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001
352 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 67/PJ/2009

TENTANG

TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI BERDASARKAN PERSETUJUAN


PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B)

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan pasal 32A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983


tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 diatur bahwa Pemerintah berwenang untuk
melakukan perjanjian dengan Pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran
pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b. bahwa berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara
Pemerintah Indonesia dengan negara lain, antara lain diatur mengenai pertukaran
informasi yang dapat dimanfaatkan untuk pencegahan penghindaran pajak
berganda, pencegahan pengelakan pajak, dan penyalahgunaan P3B oleh pihak-
pihak yang tidak berhak;
c. bahwa dalam rangka pemanfaatan fasilitas pertukaran informasi tersebut
diperlukan perangkat peraturan dan standar operasional prosedur yang mengatur
tata cara dan mekanisme pertukaran informasi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang
Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B).

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata


Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
49; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3984);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 133; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4893);
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 353

3. Keputusan Presiden Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas


dan Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden
Nomor 35 Tahun 2004;
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Departemen Keuangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.01/2009;
5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-45/PJ/2009 tentang Pedoman
Administrasi Pembangunan, Pengelolaan dan Pengawasan Data, khususnya
mengenai Pengawasan Pengelolaan Basis Data.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI BERDASARKAN PERJANJIAN PENGHINDARAN


PAJAK BERGANDA (P3B)

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan :


1. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty) yang selanjutnya
disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah
Negara Mitra P3B dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan
pengelakan pajak;
2. Pertukaran Informasi (Exchange of Information) yang selanjutnya disebut EOI
adalah fasilitas pertukaran informasi perpajakan yang terdapat didalam P3B yang
dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Negara Mitra
P3B untuk upaya pencegahan penghindaran pajak (tax avoidance), pengelakan
pajak (tax evasion), dan penyalahgunaan P3B oleh pihak-pihak yang tidak berhak
(tax treaty abuse);
3. Competent Authority yang selanjutnya disebut CA adalah Direktur Jenderal
Pajak dan Direktur Peraturan Perpajakan II yang diberi kewenangan oleh Menteri
Keuangan Republik Indonesia untuk melakukan pertukaran informasi sesuai
dengan P3B;
4. Informasi perpajakan adalah keterangan yang tersedia berdasarkan Undang-
Undang Perpajakan pada masing-masing negara dalam aturan administrasi yang
lazim dan tidak dimaksudkan untuk mengungkapkan rahasia perdagagan, usaha,
industri, perniagaan atau keahlian, atau tata cara perdagangan atau informasi
354 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

yang pengungkapannya akan bertentangan dengan kebijakan umum yang


diberikan atau diterima oleh Pemerintah Indonesia kepada Negara Mitra P3B atau
sebaliknya;
5. Pertukaran Informasi ke Dalam Negeri adalah pertukaran informasi perpajakan
yang diterima oleh Pemerintah Indonesia dari Negara Mitra P3B;
6. Pertukaran Informasi ke Luar Negeri adalah pertukaran informasi perpajakan
yang dikirim oleh Pemerintah Indonesia kepada Negara Mitra P3B;
7. Pertukaran Informasi atas Permintaan adalah pertukaran informasi berdasarkan
permintaan dari Pemerintah Indonesia kepada Negara Mitra P3B atau sebaliknya
yang terkait dengan pemeriksaan pajak dan/atau penyidikan pajak terhadap
kewajiban perpajakan Wajib Pajak tertentu pada tahun tertentu pajak tertentu
atau informasi perpajakan lainnya;
8. Pertukaran Informasi Secara Otomatis atau Rutin adalah pertukaran informasi
yang dilakukan secara otomatis dan rutin mengenai berbagai jenis penghasilan
yang diterima oleh Wajib Pajak berupa dividen, bunga, royalti, gaji, pensiun,
dan penghasilan lainnya yang dikirimkan secara sistematik dan periodik oleh
CA negara tempat pemberi penghasilan atau negara sumber kepada CA negara
tempat penerima penghasilan berkedudukan atau bertempat tinggal atau negara
domisili;
9. Pertukaran Informasi Secara Spontan adalah pertukaran informasi yang dilakukan
secara spontan dari Pemerintah Indonesia kepada Negara Mitra P3B atau
sebaliknya yang mana informasi tersebut didapat dari hasil pemeriksaan pajak
dan/atau penyidikan pajak dari negara pengirim informasi;
10. Unit Pemanfaat Informasi adalah unit DJP yang membutuhkan atau menerima
informasi atau data untuk pemeriksaan pajak dan/atau penyidikan pajak terhadap
kewajiban perpajakan Wajib Pajak atau informasi perpajakan lainnya.

Pasal 2

(1) Pertukaran informasi atau data mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
masalah perpajakan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Negara
Mitra P3B dapat dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui Direktur
Peraturan Perpajakan II;
(2) Pertukaran informasi dengan Negara Mitra P3B dapat dilakukan oleh setiap unit
Direktorat Jenderal Pajak dalam hal:
a. sedang dilakukan penelitian, pemeriksaan, penyidikan, dan penelaahan
atas permohonan keberatan Wajib Pajak yang terkait dengan transaksi
internasional;
b. adanya dugaan bahwa transaksi tersebut dilaksanakan untuk menghindari
pengenaan pajak di Indonesia atau hanya untuk memanfaatkan fasilitas
P3B;
(3) Setiap informasi dan data yang dipertukarkan wajib diperlakukan secara rahasia
dan hanya diungkapkan kepada orang atau badan yang berwenang dan terkait
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 355

sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 6


Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 dan ketentuan dalam P3B terkait.

BAB II
PERMINTAAN PERTUKARAN INFORMASI

Pasal 3
Permintaan Pertukaran Informasi Kepada Negara Mitra P3B

Prosedur yang wajib dilakukan dalam melaksanakan Permintaan Pertukaran Informasi


kepada Negara Mitra P3B adalah sebagai berikut :
a. Unit DJP yang membutuhkan informasi dari Negara Mitra P3B mengirimkan surat
permintaan untuk mendapatkan informasi sesuai dengan kebutuhan kepada
Direktur Peraturan Perpajakan II;
b. Direktur Peraturan Perpajakan II mempelajari permintaan informasi tersebut dan
dalam hal informasi yang diminta telah sesuai dan memenuhi syarat-syarat yang
dibutuhkan sebagaimana dimaksud dengan Pasal 4 maka dipersiapkan konsep
surat Permintaan Informasi kepada Negara Mitra P3B paling lambat 14 (empat
belas hari) kerja semenjak surat permintaan diterima;
c. Dalam hal Negara Mitra P3B mengirim jawaban atas Permintaan Informasi
tersebut, Direktur Peraturan Perpajakan II akan meneruskan jawaban dari Negara
Mitra P3B tersebut kepada Unit DJP yang meminta informasi paling lambat 14
(empat belas hari) kerja semenjak jawaban diterima;
d. Unit DJP wajib melaporkan hasil pemanfaatan informasi tersebut kepada Direktur
Peraturan Perpajakan II;
e. Direktur Peraturan Perpajakan II membuat surat berisi feedback atas informasi
yang diterima dan mengirimnya kepada Negara Mitra P3B pengirim informasi.

Pasal 4

Informasi atau data - data yang harus dicantumkan oleh Unit DJP yang mengajukan
Permintaan Informasi kepada Negara Mitra P3B adalah sebagai berikut :
a. Identitas Wajib Pajak dalam negeri yang sedang diperiksa atau disidik, yaitu :
nama Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan alamat Wajib Pajak
termasuk email atau alamat internet bila diketahui;
b. Identitas Wajib Pajak atau entitas luar negeri yang dimintakan informasinya,
yaitu nama Wajib Pajak, Tax Identification Number (TIN), dan alamat Wajib Pajak
termasuk email atau alamat internet bila diketahui, nomor registrasi perusahaan
bila diketahui, hubungan Wajib Pajak luar negeri tersebut dengan Wajib Pajak
dalam negeri yang sedang diperiksa atau disidik, bagan atau diagram organisasi
356 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

bila diketahui, atau dokumen lain yang menjelaskan hubungan antara pihak-
pihak yang terlibat;
c. Dalam hal informasi yang diminta menyangkut pembayaran atau transaksi
melalui perantara, cantumkan nama, alamat, dan Tax Identification Number (TIN)
perantara dimaksud termasuk nama bank, alamat bank, serta nomor rekening
bank dalam hal informasi bank diperlukan;
d. Latar belakang yang relevan termasuk tujuan dalam bidang perpajakan atas
informasi yang diminta, alasan meminta informasi, hal-hal yang dicurigai, dan
hal-hal yang mendasari pemohon meyakini bahwa informasi dimaksud dimiliki
atau merupakan wewenang pihak dalam yuridis negara mitra yang dimintakan
informasi;
e. Informasi yang diminta serta alasan diperlukannya informasi tersebut bagi unit
instansi yang membutuhkan informasi;
f. Identifikasikan pula informasi yang relevan yang dimiliki oleh unit instansi yang
membutuhkan informasi (misalnya fotokopi faktur, kontrak, dan sebagainya);
g. Jenis pajak yang dipertanyakan, periode pemeriksaan pajak dan periode pajak
atas informasi yang diminta;
h. Kesegeraan jawaban dengan menyebutkan alasan permintaan informasi ini perlu
segera dijawab;
i. Cantumkan tanggal kadaluarsa saat informasi tersebut tidak dapat lagi digunakan.

Pasal 5
Permintaan Pertukaran Informasi ke Dalam Negeri

Prosedur yang wajib dilakukan dalam menjawab Permintaan Pertukaran Informasi ke


Dalam Negeri oleh Negara Mitra P3B adalah sebagai berikut :
a. Direktur Peraturan Perpajakan II melakukan pengecekan terhadap validitas dan
kelengkapan dari surat permintaan pertukaran informasi yang diterima dari
Negara Mitra P3B;
b. Dalam hal informasi/data yang diperoleh tidak/kurang valid dan/atau lengkap
maka harus diinformasikan dan dikembalikan kepada Negara Mitra P3B pengirim
paling lambat 14 (empat belas hari) kerja semenjak surat permintaan pertukaran
informasi diterima;
c. Dalam hal informasi/data yang diminta telah valid dan lengkap maka Direktur
Peraturan Perpajakan II melakukan akses data pada aplikasi Pedoman Administrasi
Pembangunan, Pengelolaan dan Pemanfaatan Data, dan apabila informasi/data
yang diminta belum tersedia di aplikasi Pedoman Administrasi Pembangunan,
Pengelolaan dan Pemanfaatan Data maka dipersiapkan konsep surat Direktur
Peraturan Perpajakan II untuk meneruskan surat permintaan tersebut kepada
pihak terkait yang berwenang untuk menindaklanjuti isi dari permintaan informasi
tersebut, yaitu :
1. Direktorat Intelijen dan Penyidikan, dalam hal informasi yang dibutuhkan
mengenai Wajib Pajak yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 357

dan harus ditindaklanjuti dengan pemeriksaan dan/atau penyidikan;


2. Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan, dalam hal informasi yang
dibutuhkan berkaitan dengan data-data Wajib Pajak secara umum atau
informasi wajib Pajak lainnya;
3. Kantor Pelayanan Pajak dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah
DJP terkait, dalam hal informasi yang dibutuhkan berkaitan dengan data
dan informasi Wajib Pajak yang terdapat pada wilayah Kantor Pelayanan
Pajak terkait.
d. Dalam hal Direktorat atau Kantor Wilayah DJP atau Kantor Pelayanan Pajak
menerima secara langsung permintaan informasi dari Negara Mitra P3B maka
unit-unit tersebut wajib menyampaikan surat permintaan informasi tersebut
terlebih dahulu kepada Direktur Peraturan Perpajakan II untuk ditindaklanjuti
sebagaimana dimaksud Pasal 5 butir (a), butir (b), dan butir (c);
e. Hasil informasi yang berhasil dikumpulkan oleh Direktorat Intelijen dan Penyidikan
atau Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan atau Kantor Wilayah DJP atau
Kantor Pelayanan Pajak wajib dikirimkan kepada Direktur Peraturan Perpajakan II;
f. Direktur Peraturan Perpajakan II mempelajari hasil informasi tersebut dan dalam
hal informasi yang diperoleh telah sesuai dengan permintaan, maka dipersiapkan
konsep jawaban surat Permintaan Pertukaran Informasi ke Dalam Negeri kepada
Negara Mitra P3B paling lambat 14 (empat belas hari) kerja semenjak surat
jawaban diterima dari unit DJP;
g. Negara Mitra P3B melakukan pemanfaatan informasi dan mengirim feedback
berupa laporan pemanfaatan informasi kepada Direktur Peraturan Perpajakan II
dan diteruskan kepada unit DJP yang memproses permintaan informasi.

Pasal 6

Informasi atau data-data yang harus dicantumkan dalam menjawab Permintaan


Pertukaran Informasi ke Dalam Negeri adalah sebagai berikut :
a. Referensi dasar hukum dalam menyediakan informasi yang diminta;
b. Referensi surat permintaan informasi dari negara mitra pengirim permintaan;
c. Langkah-langkah yang telah dilakukan DJP untuk mendapatkan informasi
dimaksud;
d. Informasi yang diperoleh oleh DJP, termasuk fotokopi dokumen (seperti catatan,
kontrak, faktur) dan juga informasi lain yang tidak secara khusus diminta tapi
berguna sehubungan dengan informasi yang diminta;
e. Diberikan penjelasan dan alasan, dalam hal informasi tidak dapat disediakan atau
tidak dapat ditampilkan dengan format yang diminta oleh Negara Mitra P3B;
f. Untuk informasi jumlah uang, cantumkan mata uangnya, keterangan apakah nilai
tersebut telah dipotong/dipungut pajak, tarif pemotongan/pemungutan pajak
dan jumlah pajak yang telah dipotong/dipungut;
g. Periode pajak atas informasi dimaksud;
h. Keterangan mengenai ada atau tidaknya pemberitahuan atas pertukaran
358 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

informasi ini kepada Wajib Pajak atau pihak ketiga dan bila ada apakah ada pihak
yang berkeberatan tentang pertukaran informasi ini;
i. Pernyataan perlu atau tidaknya feedback dari Negara Mitra P3B atas pemanfaatan
informasi yang diberikan.

Pasal 7

Tata cara tindak lanjut terhadap informasi yang diminta oleh Negara Mitra P3B yang
diteruskan kepada Direktorat Intelijen dan Penyidikan dan/atau Direktorat Teknologi
Informasi Perpajakan dan/atau Kantor Wilayah DJP dan/atau Kantor Pelayanan Pajak
diatur sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Keputusan Direktur Jenderal Pajak
ini.

BAB III
PROSEDUR PERTUKARAN INFORMASI SECARA SPONTAN
KEPADA NEGARA MITRA P3B

Pasal 8
Prosedur Pertukaran Informasi Secara Spontan Kepada Negara Mitra P3B

Prosedur yang wajib dilakukan dalam mengirim Pertukaran Informasi Secara Spontan
kepada Negara Mitra P3B adalah :
a. Unit DJP mengirimkan surat usulan kepada Direktur Peraturan Perpajakan II
untuk melakukan pertukaran informasi secara spontan terhadap informasi
yang diperoleh dari hasil pemeriksaan pajak dan/atau penyidikan pajak yang
menyangkut Wajib Pajak Negara Mitra P3B dan dirasakan bermanfaat bagi
Negara Mitra P3B;
b. Direktur Peraturan Perpajakan II mempelajari informasi tersebut dan dalam
hal informasi yang diperoleh telah sesuai dan memenuhi syarat-syarat yang
dibutuhkan sebagaimana dimaksud dengan Pasal 9 maka dipersiapkan konsep
surat Pertukaran Informasi Secara Spontan kepada Negara Mitra P3B paling
lambat 14 (empat belas hari) kerja semenjak surat usulan diterima;
c. Direktur Peraturan Perpajakan II mengirimkan data pertukaran informasi secara
spontan kepada Negara Mitra P3B;
d. Negara Mitra P3B melakukan proses pemanfaatan data dan memberikan feedback
atas data dan informasi yang diterima kepada Direktur Peraturan Perpajakan II;
e. Direkur Peraturan Perpajakan II meneruskan feedback kepada unit DJP pengirim
informasi.

Pasal 9

Informasi atau data-data yang harus dicantumkan dalam mengirim Pertukaran


Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 359

Informasi Secara Spontan kepada Negara Mitra P3B, yaitu :


a. Identitas entitas atau Wajib Pajak luar negeri yang dimaksud dalam informasi,
yaitu : nama Wajib Pajak, Tax Identification Number (TIN), dan alamat (termasuk
email atau alamat internet bila diketahui);
b. Identitas entitas atau Wajib Pajak dalam negeri asal informasi diperoleh : nama
Wajib Pajak, NPWP, alamat (termasuk email atau alamat internet bila diketahui),
nomor registrasi perusahaan (bila diketahui), hubungannya dengan entitas atau
Wajib Pajak luar negeri yang dimaksud dalam informasi yang diberikan, bagan,
diagram atau dokumen lain yang menjelaskan hubungan antara pihak-pihak yang
terlibat;
c. Dalam hal informasi yang dibuat menyangkut pembayaran atau transaksi melalui
perantara, cantumkan nama perantara, alamat, NPWP perantara dimaksud;
d. Dalam hal terdapat informasi bank, cantumkan pula nama Bank, alamat, dan
nomor rekening bank;
e. Informasi yang diperoleh dan penjelasan mengapa informasi tersebut dirasakan
akan berguna bagi Negara Mitra P3B penerima informasi;
f. Untuk informasi jumlah uang, cantumkan mata uangnya, keterangan apakah nilai
tersebut telah dipotong/dipungut pajak, tarif pemotongan/pemungutan pajak
dan jumlah pajak yang telah dipotong/dipungut;
g. Keterangan tentang bagaimana informasi tersebut diperoleh dan identifikasikan
sumber informasi tersebut (misalnya : Surat Pemberitahuan Masa, Surat
Pemberitahuan Tahunan, informasi pihak ketiga, dan sebagainya);
h. Keterangan mengenai ada atau tidaknya pemberitahuan atas pertukaran
informasi ini kepada Wajib Pajak atau pihak ketiga dan bila ada apakah ada pihak
yang berkeberatan tentang pertukaran informasi ini;
i. Penyataan perlu atau tidaknya feedback dari Negara Mitra P3B penerima
informasi atas pemanfaatan informasi yang diberikan.

Pasal 10
Prosedur Pertukaran Informasi Secara Spontan
Yang Diterima Dari Negara Mitra P3B

Prosedur yang wajib dilakukan dalam menerima dan memanfaatkan Pertukaran


Informasi Secara Spontan dari Negara Mitra P3B adalah :
a. Direktur Peraturan Perpajakan II menerima informasi atau data secara spontan
dari Negara Mitra P3B;
b. Direktur Peraturan Perpajakan II mempelajari informasi tersebut dan dalam hal
informasi yang diperoleh tersebut dirasakan akan berguna maka dipersiapkan
konsep surat penyampaian informasi yang diperoleh secara spontan tersebut
kepada unit DJP yang terkait paling lambat 14 (empat belas hari) kerja semenjak
surat diterima;
c. Unit DJP terkait yang berwenang untuk menindaklanjuti isi dari informasi
tersebut, yaitu :
360 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

1. Direktorat Intelijen dan Penyidikan, dalam hal informasi yang diperoleh


mengenai Wajib Pajak yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
dan harus ditindaklanjuti dengan pemeriksaan dan/atau penyidikan;
2. Kantor Pelayanan Pajak dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah
DJP terkait, dalam hal informasi yang diperoleh berkaitan dengan data
dan informasi dengan Wajib Pajak yang terdapat pada wilayah Kantor
Pelayanan Pajak yang berada di luar Jakarta.
d. Unit DJP melakukan penelitian, pemeriksaan dan/atau penyidikan terhadap
informasi atau data yang diterima;
e. Unit DJP membuat laporan hasil pemanfaatan informasi dan mengirimkan
laporan tersebut kepada Direktur Peraturan Perpajakan II;
f. Direktur Peraturan Perpajakan II membuat dan mengirim surat berisi feedback
atas pemanfaatan data dan informasi yang diterima kepada Negara Mitra P3B
pengirim informasi.

Pasal 11

Tata cara tindak lanjut terhadap pertukaran informasi secara spontan yang diperoleh
dari Negara Mitra P3B yang diteruskan kepada Direktorat Intelijen dan Penyidikan
atau Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan dan/atau Kantor Wilayah DJP dan/
atau Kantor Pelayanan Pajak diatur sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II
Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini.

BAB IV
PERTUKARAN INFORMASI SECARA OTOMATIS ATAU RUTIN

Pasal 12
Pertukaran Informasi Secara Otomatis Dari Negara Mitra P3B

Prosedur yang wajib dilakukan dalam menerima dan memanfaatkan Pertukaran


Informasi secara Otomatis dari Negara Mitra P3B adalah sebagai berikut :
a. Direktur Peraturan Perpajakan II menerima data atau informasi secara otomatis
dari Negara Mitra P3B dalam bentuk softcopy;
b. Direktur Peraturan Perpajakan II mempelajari dan meneruskan data tersebut
kepada Direktur Informasi Perpajakan untuk ditindaklanjuti dengan tembusan
kepada Direktorat Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan;
c. Direktur Teknologi Informasi Perpajakan menindaklanjuti surat permintaan
informasi dari Negara Mitra P3B sesuai dengan Pedoman Administrasi
Pembangunan, Pengelolaan, dan Pengawasan Data;
d. Direktur Peraturan Perpajakan II membuat dan mengirim surat berisi feedback
atas pemanfaatan data dan informasi yang diterima kepada Negara Mitra P3B
pengirim informasi.
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 361

Pasal 13

Tata cara pengolahan Pertukaran Informasi secara Otomatis dari Negara Mitra P3B
pada Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan diatur sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran III Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 16

Informasi atau data yang dapat disampaikan dalam Pertukaran Informasi secara
Otomatis atau Rutin, yaitu :
a. Perubahan tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dari satu negara
ke negara lain;
b. Kepemilikan atau penghasilan dari harta tak bergerak;
c. Dividen;
d. Bunga;
e. Royalti;
f. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta;
g. Gaji, upah, remunerasi;
h. Penghasilan Direktur;
i. Penghasilan yang diperoleh para seniman dan olahragawan, pensiun dan
penghasilan sejenis;
j. Penghasilan dari gaji, upah dan remunerasi yang berkaitan dengan jabatan dalam
pemerintahan;
k. Penghasilan lain seperti berasal dari judi, Restitusi Pajak Pertambahan Nilai,
cukai, pembayaran jaminan kesejahteraan sosial; dan
l. Komisi dan pembayaran sejenis.

Pasal 17

Contoh surat Jawaban Permintaan Pertukaran Informasi dari Negara Mitra P3B
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 18

Contoh surat Permintaan Pertukaran Informasi ke Luar Negeri sebagaimana


ditetapkan dalam Lampiran V Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 19

Formulir Laporan Pemanfaatan Informasi sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran


VI Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
362 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Pasal 20

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Desember 2009
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd.

MOCHAMAD TJIPTARDJO
NIP. 060044911
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 363

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 256/PMK.03/2008

TENTANG

PENETAPAN SAAT DIPEROLEHNYA DIVIDEN OLEH WAJIB PAJAK DALAM NEGERI


ATAS PENYERTAAN MODAL PADA BADAN USAHA DI LUAR NEGERI SELAIN BADAN
USAHA YANG MENJUAL SAHAMNYA DI BURSA EFEK MENTERI KEUANGAN REPUBLIK
INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang


Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Oleh
Wajib Pajak Dalam Negeri Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha di Luar Negeri
Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata


Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262), sebagaimana
telah beberapa kali diubah terahir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara repulik
Indonesia Nomor 4983);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENETAPAN SAAT DIPEROLEHNYA


DIVIDEN OLEH WAJIB PAJAK DALAM NEGERI ATAS PENYERTAAN MODAL PADA
BADAN USAHA DI LUAR NEGERI SELAIN BADAN USAHA YANG MENJUAL SAHAMNYA
364 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

DI BURSA EFEK.

Pasal 1

Saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal
pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di
bursa efek adalah:
a. pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian
surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan badan usaha di luar negeri
tersebut untuk tahun pajak yang bersangkutan; atau
b. pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir apabila badan usaha di luar negeri
tersebut tidak memiliki kwajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan
tahunan Pajak Penghasilan atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian
surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan.

Pasal 2

Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah Wajib Pajak
dalam negeri yang:
a. memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah
saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri; atau
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki
penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham
yang disetor pada badan usaha di luar negeri.

Pasal 3

(1) Besarnya dividen yang wajib dihitung oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebesar jumlah dividen yang menjadi haknya
terhadap laba setelah pajak yang sebanding dengan penyertaannya pada badan
usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila sebelum
batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, badan usaha di luar negeri
dimaksud sudah membagikan dividen yang menjadi hak Wajib Pajak.
(3) Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau pada ayat (2) wajib
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun
pajak saat dividen tersebut dianggap diperoleh.

Pasal 4

(1) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
menerima pembagian dividen dalam jumlah yang melebihi jumlah dividen
yang dilaporkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), atas kelebihan
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 365

jumlah dividen tersebut wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan


Pajak Penghasilan pada tahun pajak dibagikannya dividen tersebut.
(2) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri menerima pembagian dividen selain
dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), dividen tersebut wajib
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan pada tahun
pajak dibagikannya dividen tersebut.

Pasal 5

(1) Pajak atas dividen yang telah dibayar atau dipotong di luar negeri dapat
dikreditkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008.
(2) Pengkreditan pajak yang dibayar atau dipotong sebagimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan pada tahun pajak dibayarnya atau dipotongnya pajak
tersebut.

Pasal 6

Ketentuan mengenai:
a. tata cara pelaporan penerimaan dividen dari luar negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1;
b. tata cara perhitungan besarnya pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak dalam
negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; dan
c. tata cara pengkreditan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, diatur
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 7

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 650/KMK.04/1994 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen
Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha di Luar negeri yang Sahamnya Tidak
Diperdagangkan di Bursa Efek, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 8

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
366 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri


Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 367

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 140/PMK.03/2010

TENTANG

PENETAPAN WAJIB PAJAK SEBAGAI PIHAK YANG SEBENARNYA MELAKUKAN


PEMBELIAN SAHAM ATAU AKTIVA PERUSAHAAN MELALUI PIHAK LAIN ATAU
BADAN YANG DIBENTUK UNTUK MAKSUD DEMIKIAN (SPECIAL PURPOSE COMPANY)
YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA DENGAN PIHAK LAIN DAN TERDAPAT
KETIDAKWAJARAN PENETAPAN HARGA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (3b) Undang-Undang Nomor 7


Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 diatur bahwa Wajib Pajak
yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain
atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special purpose company),
dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut
sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa
dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan
harga;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (3e) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Penetapan Wajib Pajak sebagai Pihak
yang Sebenarnya Melakukan Pembelian Saham atau Aktiva Perusahaan Melalui
Pihak Lain atau Badan yang Dibentuk untuk Maksud Demikian (special purpose
company) yang Mempunyai Hubungan Istimewa Dengan Pihak Lain dan Terdapat
Ketidakwajaran Penetapan Harga;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata


Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
368 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);


2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENETAPAN WAJIB PAJAK SEBAGAI


PIHAK YANG SEBENARNYA MELAKUKAN PEMBELIAN SAHAM ATAU AKTIVA
PERUSAHAAN MELALUI PIHAK LAIN ATAU BADAN YANG DIBENTUK UNTUK MAKSUD
DEMIKIAN (SPECIAL PURPOSE COMPANY) YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA
DENGAN PIHAK LAIN DAN TERDAPAT KETIDAKWAJARAN PENETAPAN HARGA.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:


1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
2. Hubungan Istimewa adalah hubungan istimewa sebagaimana diatur Pasal 18 ayat
(4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, atau hubungan istimewa sebagaimana
diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dan Pencegahan
Pengelakan Pajak (P3B) antara Indonesia dengan negara mitra yang berlaku.

Pasal 2

(1) Pembelian saham atau aktiva Wajib Pajak badan dalam negeri oleh suatu pihak
atau badan yang dibentuk khusus untuk maksud demikian (special purpose
company) dapat ditetapkan sebagai pembelian yang dilakukan oleh Wajib Pajak
dalam negeri lainnya sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian
dimaksud sepanjang:
a. Wajib Pajak dalam negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya
melakukan pembelian tersebut mempunyai Hubungan Istimewa dengan
pihak atau badan yang dibentuk untuk maksud melakukan pembelian
saham atau aktiva perusahaan (special purpose company); dan
b. Terdapat ketidakwajaran penetapan harga pembelian.
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 369

(2) Saham atau aktiva perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Saham atau aktiva yang sebelumnya dimiliki dan/atau dijaminkan oleh
Wajib Pajak dalam negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya
melakukan pembelian, sehubungan dengan perjanjian utang piutang; atau
b. Aktiva yang merupakan aset kredit (piutang) kepada Wajib Pajak dalam
negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan
pembelian, sehubungan dengan perjanjian utang piutang.
(3) Pihak atau badan yang dibentuk untuk maksud melakukan pembelian saham
atau aktiva perusahaan (special purpose company) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan pihak atau badan yang tidak mempunyai substansi
usaha dan yang dibentuk oleh Wajib Pajak dalam negeri yang bertujuan antara
lain untuk membeli saham atau aktiva Wajib Pajak dalam negeri lainnya.

Pasal 3

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada saat diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri


Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Agustus 2010
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Agustus 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 386


370 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 258/PMK.03/2008

TENTANG

PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN DARI


PENJUALAN ATAU PENGALIHAN SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL
18 AYAT (3c) UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU
DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR NEGERI

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 7


Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, atas penghasilan
dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (3c) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2008 dipotong pajak sebesar 20 % (dua puluh persen) dari perkiraan
penghasilan neto;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan dalam
melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26
atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Saham Sebagaimana Dimaksud
Dalam Pasal 18 Ayat (3c) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak Luar Negri;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata


Cara Perpajakan (Lembaran Negara Replubik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Replubik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 (Lembaran Negara Replubik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan
Lembaran Negara Replubik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Replubik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Replubik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 371

Replubik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara


Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN


PASAL 26 ATAS PENGHASILAN DARI PENJUALAN ATAU PENGALIHAN SAHAM
SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 18 AYAT (3c) UNDANG-UNDANG PAJAK
PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR NEGERI.

Pasal 1

(1) Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (special purpose company
atau conduit company), dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan
saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, atau
penjualan atau pengalihan bentuk usaha tetap di Indonesia.
(2) perusahaan antara (special purpose company atau conduit company)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perusahaan antara (special
purpose company atau conduit company) yang di bentuk untuk tujuan penjualan
atau pengalihan saham perusahaan yang didirikan atau bertempat kedudukan
di Negara yang memberikan perlindungan pajak (Tax heaven Country) yang
mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.
(3) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dipotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari
perkiraan penghasilan neto.
(4) Besarnya penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah 25%
(dua puluh lima persen) dari harga jual.
(5) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah bersifat final.
(6) Terhadap penjual yang berstatus sebagai Wajib Pajak Luar Negeri yang
merupakan penduduk dari Negara yang telah mempunyai Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, pemotongan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dilakukan apabila hak pemajakan
berdasarkan P3B berada pada pihak Indonesia.

Pasal 2

(1) Penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 1 ayat (4) kepada Wajib Pajak Dalam Negeri, dipotong pajak oleh
372 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

pembeli Wajib Pajak Dalam Negeri dan kepada Wajib Pajak Luar Negeri tersebut
diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 26.
(2) Dalam hal saham dibeli oleh Wajib Pajak Luar Negeri, berlaku ketentuan sebagai
berikut:
a. pihak yang dtunjuk sebagai pemungut pajak adalah badan yang didirikan
atau berkedudukan di Indonesia yang sahamnya diperjualbelikan oleh
pemegang saham Wajib Pajak Luar Negeri di luar Bursa Efek; dan
b. badan sebagaimana dimaksud pada huruf a harus mencatat akta
pemindahan hak atas saham yang dijual.

Pasal 3

(1) Pajak yang telah dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib
disetorkan ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan oleh
pemotong Pajak Penghasilan paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya
setelah terjadinya transaksi pengalihan.
(2) Pemotong Pajak Penghasilan wajib melaporkan pajak yang telah dipotong
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Surat Pemberitahuan Masa paling
lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(3) Pajak yang telah dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib
disetorkan ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan oleh
pemungut Pajak Penghasilan paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya
setelah terjadinya transaksi pengalihan.
(4) Pemungut Pajak Penghasilan wajib melaporkan pajak yang telah dipungut
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam Surat Pemberitahuan Masa paling
lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

Pasal 4

Pemotong Pajak Penghasilan dan/atau pemungut Pajak Penghasilan yang tidak


memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikenai sanksi sesuai
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 5

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 373

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri


Keuangan ini ditempatkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


374 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 43/PJ/2010

TENTANG

PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA DALAM TRANSAKSI


ANTARA WAJIB PAJAK DENGAN PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

1. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 32A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983


tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 diatur bahwa pemerintah
berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam
rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
2. bahwa berdasarkan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009;
3. bahwa berdasarkan huruf a dan b di atas dan untuk memberikan kepastian dan
kelancaran dalam penerapan kewajaran dan kelaziman usaha, perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang
Mempunyai Hubungan Istimewa;

Mengingat :

4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata


Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 375

6. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang


dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5069);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENERAPAN PRINSIP


KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA DALAM TRANSAKSI ANTARA WAJIB PAJAK
DENGAN PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:


7. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya
disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
8. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang
PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2008.
9. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
10. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah
perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara/jurisdiksi lain
dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
11. Hubungan Istimewa adalah hubungan antara Wajib Pajak dengan pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh atau Pasal
2 ayat (2) Undang-Undang PPN.
12. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (arm’s length principle/ALP) merupakan
376 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding
dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau
laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau
laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding.
13. Harga Wajar atau Laba Wajar adalah harga atau laba yang terjadi dalam transaksi
yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
dalam kondisi yang sebanding, atau harga atau laba yang ditentukan sebagai
harga atau laba yang memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
14. Analisis Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak
atau Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan
antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk
diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-
pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dan melakukan identifikasi
atas perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud.
15. Penentuan Harga Transfer (transfer pricing) adalah penentuan harga dalam
transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
16. Data Pembanding Internal adalah data Harga Wajar atau Laba Wajar dalam
transaksi sebanding yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
17. Data Pembanding Eksternal adalah data Harga Wajar atau Laba Wajar dalam
transaksi sebanding yang dilakukan oleh Wajib Pajak lain dengan pihak-pihak
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
18. Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable
uncontrolled price/CUP) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang
dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi yang dilakukan antara
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga dalam transaksi
yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
dalam kondisi atau keadaan yang sebanding.
19. Metode harga penjualan kembali (resale price method/RPM) adalah metode
Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam
transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah dikurangi
laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas penjualan
kembali produk tersebut kepada pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa atau penjualan kembali produk yang dilakukan dalam kondisi wajar.
20. Metode biaya-plus (cost plus method/CPM) adalah metode Penentuan Harga
Transfer yang dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang
diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 377

perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa pada harga pokok penjualan yang telah sesuai dengan
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
21. Metode pembagian laba (profit split method/PSM) adalah metode Penentuan
Harga Transfer berbasis laba transaksional (transactional profit method) yang
dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi yang akan
dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa tersebut dengan
menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi yang memberikan
perkiraan pembagian laba yang selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari
kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
22. Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method/TNMM) adalah
metode Penentuan Harga Transfer yang c dilakukan dengan membandingkan
persentase laba bersih operasi terhadap biaya, terhadap penjualan, terhadap
aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas transaksi antara pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa dengan persentase laba bersih operasi yang
diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak lain yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa atau persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas
transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa lainnya.
23. Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) adalah
prosedur administratif yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang dari Indonesia
dengan pejabat yang berwenang dari negara mitra P3B untuk menyelesaikan
sengketa perpajakan yang timbul sehubungan dengan penerapan P3B.

BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 2

(1) Ruang lingkup Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini adalah transaksi yang
dilakukan Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa.
(2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat mengakibatkan
pelaporan jumlah penghasilan dan pengurangan untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak tidak sesuai dengan Prinsip Kewajaran
dan Kelaziman Usaha meliputi antara lain :
a. penjualan, pengalihan, pembelian atau perolehan barang berwujud
maupun barang tidak berwujud;
b. sewa, royalti, atau imbalan lain yang timbul akibat penyediaan atau
pemanfaatan harta berwujud maupun harta tidak berwujud;
c. penghasilan atau pengeluaran sehubungan dengan penyerahan atau
pemanfaatan jasa;
378 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

d. alokasi biaya; dan


e. penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan,
dan penghasilan atau pengeluaran yang timbul akibat penyerahan atau
perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan dimaksud.

BAB III
PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA
SERTA ANALISIS KESEBANDINGAN

Pasal 3

(1) Wajib Pajak dalam melakukan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa wajib menerapkan
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
(2) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut :
a. melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding;
b. menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
c. menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil
Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat
ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa; dan
d. mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau
Laba Wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku.
(3) Transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa yang mempunyai nilai penghasilan atau pengeluaran tidak
melampaui Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) tidak diwajibkan memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), namun Wajib Pajak tetap
diwajibkan memenuhi ketentuan Pasal 28 Undang-Undang KUP.

Pasal 4

(1) Dalam melakukan Analisis Kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


3 ayat (2) huruf a harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dianggap sebanding dengan transaksi yang dilakukan
antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam hal :
1) tidak terdapat perbedaan kondisi yang material atau signifikan
yang dapat mempengaruhi harga atau laba dari transaksi yang
diperbandingkan; atau
2) terdapat perbedaan kondisi, namun dapat dilakukan penyesuaian
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 379

untuk menghilangkan pengaruh yang material atau signifikan dari


perbedaan kondisi tersebut terhadap harga atau laba;
b. dalam hal tersedia Data Pembanding Internal dan Data Pembanding
Eksternal dengan tingkat kesebandingan yang sama, maka Wajib Pajak
wajib menggunakan Data Pembanding Internal untuk penentuan Harga
Wajar atau Laba Wajar.
(2) Wajib Pajak wajib mendokumentasikan langkah-langkah, kajian, dan hasil
kajian dalam melakukan analisis Kesebandingan dan penentuan pembanding,
penggunaan Data Pembanding Internal dan/atau Data Pembanding Eksternal
serta menyimpan buku, dasar catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.

Pasal 5

(1) Dalam melaksanakan Analisis Kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 4 ayat (1) harus dilakukan analisis atas faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi tingkat kesebandingan antara lain:
a. karakteristik barang/harta berwujud dan barang/harta tidak berwujud
yang diperjualbelikan, termasuk jasa;
b. fungsi masing-masing pihak yang melakukan transaksi;
c. ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian;
d. keadaan ekonomi; dan
e. strategi usaha .
(2) Wajib Pajak wajib mendokumentasikan langkah-langkah, kajian, dan hasil kajian
atas faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyimpan buku,
dasar catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 6

(1) Dalam menilai dan menganalisis karakteristik barang/harta berwujud dan barang/
harta tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a,
harus dilakukan analisis terhadap jenis barang atau jasa yang diperjualbelikan,
dialihkan, atau diserahkan, baik oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa maupun oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Dalam menilai dan menganalisis karakteristik barang berwujud sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), harus dipertimbangkan antara lain :
a. ciri-ciri fisik barang;
b. kualitas barang;
c. daya tahan barang;
d. tingkat ketersediaan barang; dan
e. jumlah penawaran barang.
(3) Dalam menilai dan menganalisis karakteristik barang tidak berwujud
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dipertimbangkan antara lain :
380 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

a. jenis transaksi;
b. jenis barang tidak berwujud yang diserahkan;
c. jangka waktu dan tingkat perlindungan yang diberikan; dan
d. potensi manfaat yang dapat diperoleh dari penggunaan barang tidak
berwujud tersebut.
(4) Dalam menilai dan menganalisis karakteristik jasa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), harus dipertimbangkan antara lain :
a. sifat dan jenis jasa; dan
b. cakupan pemberian jasa.

Pasal 7

(1) Dalam melakukan penilaian dan analisis fungsi (functional analysis) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, harus dilakukan analisis dengan
mengidentifikasi dan membandingkan kegiatan ekonomi yang signifikan dan
tanggung jawab utama yang diambil atau akan diambil oleh pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa.
(2) Kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap signifikan
dalam hal kegiatan tersebut berpengaruh secara material pada harga yang
ditetapkan dan/atau laba yang diperoleh dari transaksi yang dilakukan.
(3) Dalam melakukan penilaian dan analisis fungsi, harus dipertimbangkan antara
lain :
a. struktur organisasi;
b. fungsi-fungsi utama yang dijalankan oleh suatu perusahaan seperti desain,
pengolahan, perakitan, penelitian, pengembangan, pelayanan, pembelian,
distribusi, pemasaran, promosi, transportasi, keuangan, dan manajemen;
c. jenis aktiva yang digunakan atau akan digunakan seperti tanah, bangunan,
peralatan, dan harta tidak berwujud, serta sifat dari aktiva tersebut seperti
umur, harga pasar, dan lokasi;
d. risiko yang mungkin timbul dan harus ditanggung oleh masing-masing
pihak yang melakukan transaksi seperti risiko pasar, risiko kerugian
investasi, dan risiko keuangan.

Pasal 8

Dalam melakukan penilaian dan analisis atas ketentuan-ketentuan dalam kontrak/


perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c, harus dilakukan
analisis terhadap tingkat tanggung jawab, risiko, dan keuntungan yang dibagi antara
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk dibandingkan dengan
ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa, yang meliputi ketentuan tertulis dan tidak
tertulis.
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 381

Pasal 9

Dalam melakukan penilaian dan analisis keadaan ekonomi sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d, harus diidentifikasi kondisi ekonomi yang relevan,
seperti keadaan geografis, luas pasar, tingkat persaingan, tingkat permintaan dan
penawaran, serta tingkat ketersediaan barang atau jasa pengganti pada transaksi
yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan
transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.

Pasal 10

Penilaian dan analisis atas strategi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) huruf e, harus dilakukan antara lain dengan mengidentifikasi inovasi dan
pengembangan produk baru, tingkat diversifikasi barang/jasa, tingkat penetrasi
pasar, dan kebijakan-kebijakan usaha lainnya, yang terjadi pada pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa dan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa.

BAB IV
METODE PENENTUAN HARGA WAJAR ATAU LABA WAJAR

Pasal 11

(1) Dalam penentuan metode harga wajar atau laba wajar wajib dilakukan kajian
untuk menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang paling tepat.
(2) Metode Penentuan Harga Transfer yang dapat diterapkan adalah :
a. metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable
uncontrolled price/CUP);
b. metode harga penjualan kembali (resale price method/RPM) atau metode
biaya-plus (cost plus method/CPM);
c. metode pembagian laba (profit split method/PSM) atau metode laba bersih
transaksional (transactional net margin method/TNMM).
(3) Dalam menerapkan metode Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), wajib diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. penerapan metode Penentuan Harga Transfer dilakukan secara hirarkis
dimulai dengan menerapkan metode perbandingan harga antar pihak yang
independen (comparable uncontrolled price/CUP) sesuai dengan kondisi
yang tepat;
b. dalam hal metode perbandingan harga antar pihak yang independen
(comparable uncontrolled price/CUP) tidak tepat untuk diterapkan, wajib
diterapkan metode penjualan kembali (resale price method/RPM) atau
382 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

metode biaya-plus (cost plus method/CPM) sesuai dengan kondisi yang


tepat;
c. dalam hal metode penjualan kembali (resale price method/RPM) atau
metode biaya-plus (cost plus method/CPM) tidak tepat untuk diterapkan,
dapat diterapkan metode pembagian laba (profit split method/PSM) atau
metode laba bersih transaksional (transactional net margin method/
TNMM).
(4) Kondisi yang tepat dalam menerapkan metode perbandingan harga antar pihak
yang independen (comparable uncontrolled price/CUP) adalah:
a. barang atau jasa yang ditransaksikan memiliki karakteristik yang identik
dalam kondisi yang sebanding; atau
b. kondisi transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak memiliki Hubungan
Istimewa identik atau memiliki tingkat kesebandingan yang tinggi atau
dapat dilakukan penyesuaian yang akurat untuk menghilangkan pengaruh
dari perbedaan kondisi yang timbul.
(5) Kondisi yang tepat dalam menerapkan metode penjualan kembali (resale price
method/RPM) adalah :
a. tingkat kesebandingan yang tinggi antara transaksi antara Wajib Pajak
yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi antara Wajib
Pajak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, khususnya tingkat
kesebandingan berdasarkan hasil analisis fungsi, meskipun barang atau
jasa yang diperjualbelikan berbeda; dan
b. pihak penjual kembali (reseller) tidak memberikan nilai tambah yang
signifikan atas barang atau jasa yang diperjualbelikan.
(6) Kondisi yang tepat dalam menerapkan metode biaya-plus (cost plus method/
CPM) adalah:
a. barang setengah jadi dijual kepada pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa;
b. terdapat kontrak/perjanjian penggunaan fasilitas bersama ( joint facility
agreement) atau kontrak jual-beli jangka panjang (long term buy and supply
agreement) antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; atau
c. bentuk transaksi adalah penyediaan jasa.
(7) Metode pembagian laba (profit split method/PSM) secara khusus hanya dapat
diterapkan dalam kondisi sebagai berikut :
a. transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sangat
terkait satu sama lain sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukan kajian
secara terpisah; atau
b. terdapat barang tidak berwujud yang unik antara pihak-pihak yang
bertransaksi yang menyebabkan kesulitan dalam menemukan data
pembanding yang tepat.
(8) Penerapan metode Penentuan Harga Transfer secara hirarkis harus didasarkan
pada kondisi yang tepat untuk setiap metode Penentuan Harga Transfer
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 383

sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7).
(9) Wajib Pajak wajib mendokumentasikan kajian yang dilakukan dan menyimpan
buku, dasar catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 12

Dalam hal kondisi-kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) tidak
terpenuhi maka metode laba bersih transaksional (transactional net margin
method/TNMM) dapat diterapkan.

BAB V
HARGA WAJAR ATAU LABA WAJAR

Pasal 13

(1) Harga Wajar atau Laba Wajar berdasarkan metode-metode Penentuan Harga
Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dapat ditentukan
dalam bentuk harga atau laba tunggal (single price) atau dalam bentuk Rentang
Harga Wajar atau Laba Wajar (arm’s length range/ALR).
(2) Rentang Harga Wajar atau Laba Wajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan rentangan antara kuartil pertama dan ketiga yang harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a. transaksi atau data pembanding yang digunakan dapat diandalkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a; dan
b. didukung dengan bukti-bukti dan penjelasan yang memadai bahwa
penetapan harga atau laba tunggal tidak dapat dilakukan.
(3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat
dipenuhi, maka Rentang Harga Wajar atau Laba Wajar tidak dapat dipergunakan.
(4) Yang dimaksud dengan Rentang Harga Wajar atau Laba Wajar (arm’s length
range/ALR) adalah rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa, yang merupakan
hasil pengujian beberapa data pembanding dengan menggunakan metode
Penentuan Harga Transfer yang sama.

BAB VI
TRANSAKSI KHUSUS

Pasal 14

(1) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha wajib diterapkan atas transaksi jasa
yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan
384 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Istimewa.
(2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap memenuhi Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi ketentuan :
a. penyerahan atau perolehan jasa benar-benar terjadi;
b. terdapat manfaat ekonomis atau komersial dari perolehan jasa; dan
c. nilai transaksi jasa antara pihak-pihak yang mempunyai mempunyai
Hubungan Istimewa sama dengan nilai transaksi jasa yang dilakukan antara
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai
kondisi yang sebanding, atau yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak untuk
keperluannya;
(3) Transaksi jasa antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa dianggap tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
dalam hal transaksi jasa terjadi hanya karena terdapat kepemilikan perusahaan
induk pada salah satu atau beberapa perusahaan yang berada dalam satu
kelompok usaha.
(4) Transaksi jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk biaya atau
pengeluaran yang terjadi sehubungan dengan :
a. kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan induk, seperti rapat pemegang
saham perusahaan induk, penerbitan saham oleh perusahaan induk, dan
biaya pengurus perusahaan induk;
b. kewajiban pelaporan perusahaan induk, termasuk laporan keuangan
konsolidasi perusahaan induk, kecuali terdapat bukti mengenai adanya
manfaat yang terukur yang dinikmati oleh Wajib Pajak; dan
c. perolehan dana/modal yang dipergunakan untuk pengambilalihan
kepemilikan perusahaan dalam kelompok usaha, kecuali pengambilalihan
tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak dan manfaatnya dinikmati oleh Wajib
Pajak.

Pasal 15

Dalam hal transaksi jasa yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa dapat dilakukan identifikasi jenis transaksinya
secara spesifik, langkah-langkah penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib diterapkan untuk setiap jenis
transaksi jasa.

Pasal 16

(1) Dalam hal transaksi jasa dilakukan bersama-sama antara Wajib Pajak dan pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa dan tidak dapat dilakukan identifikasi
atas transaksi jasa yang diserahkan kepada masing-masing pihak, maka beban
jasa harus dialokasikan berdasarkan manfaat yang diterima oleh masing-
masing pihak.
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 385

(2) Kriteria yang digunakan untuk mengalokasikan beban jasa sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dianggap memadai dalam hal menerapkan kriteria
yang terukur dan dapat diandalkan berdasarkan :
a. sifat jasa, kondisi pada saat jasa diserahkan, dan manfaat yang diperoleh;
atau
b. kriteria lain yang berkaitan dengan transaksi yang tidak dilakukan oleh
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.

Pasal 17

(1) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha wajib diterapkan atas transaksi
pemanfaatan dan pengalihan harta tidak berwujud yang dilakukan oleh Wajib
Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Transaksi pemanfaatan harta tidak berwujud yang dilakukan antara Wajib
Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap memenuhi
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi ketentuan :
a. transaksi pemanfaatan harta tidak berwujud benar-benar terjadi;
b. terdapat manfaat ekonomis atau komersial; dan
c. transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai mempunyai Hubungan
Istimewa mempunyai nilai yang sama dengan transaksi yang dilakukan
antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang
mempunyai kondisi yang sebanding dengan menerapkan Analisis
Kesebandingan dan menerapkan metode Penentuan Harga Transfer yang
tepat ke dalam transaksi.
(3) Transaksi pengalihan harta tidak berwujud yang dilakukan antara Wajib Pajak
dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap memenuhi
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi ketentuan :
a. transaksi pengalihan harta tidak berwujud benar-benar terjadi; dan
b. nilai pengalihan harta tidak berwujud antara pihak-pihak yang mempunyai
mempunyai Hubungan Istimewa sama dengan nilai pengalihan harta
tidak berwujud yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa yang mempunyai kondisi yang sebanding.
(4) Dalam melakukan Analisis Kesebandingan untuk transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus dipertimbangkan antara lain :
a. keterbatasan geografis dalam pemanfaatan hak atas harta tidak berwujud;
b. eksklusifitas hak yang dialihkan; dan
c. keberadaan hak pihak yang memperolah harta tak berwujud untuk turut
serta dalam pengembangan harta dimaksud.

BAB VII
DOKUMEN DAN KEWAJIBAN PENGISIAN
SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN
386 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Pasal 18

(1) Wajib Pajak wajib menyelenggarakan dan menyimpan buku, catatan, dan
dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Undang-Undang KUP dan peraturan
pelaksanaannya.
(2) Termasuk dalam pengertian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi dokumen yang menjadi dasar penerapan Prinsip Kewajaran
dan Kelaziman Usaha pada transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa.
(3) Dokumen penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang harus disediakan oleh
Wajib Pajak sekurang-kurangnya mencakup :
a. gambaran perusahaan secara rinci seperti struktur kelompok usaha,
struktur kepemilikan, struktur organisasi, aspek-aspek operasional kegiatan
usaha, daftar pesaing usaha, dan gambaran lingkungan usaha;
b. kebijakan penetapan harga dan/atau penetapan alokasi biaya;
c. hasil Analisis Kesebandingan atas karakteristik produk yang diperjualbelikan,
hasil analisis fungsional, kondisi ekonomi, ketentuan-ketentuan dalam
kontrak/perjanjian, dan strategi usaha;
d. pembanding yang terpilih; dan
e. catatan mengenai penerapan metode penentuan Harga Wajar atau Laba
Wajar yang dipilih oleh Wajib Pajak.
(4) Wajib Pajak dapat menentukan sendiri jenis dan bentuk dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) yang harus diselenggarakan disesuaikan dengan
bidang usahanya sepanjang dokumen tersebut pendukung penggunaan
metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih.

Pasal 19

Wajib Pajak wajib melaporkan transaksi yang dilakukannya dengan pihak-pihak


yang mempunyai Hubungan Istimewa dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku.

BAB VIII
KEWENANGAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

Pasal 20

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan


dan pengurangan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak pada
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 387

Istimewa.
(2) Penghitungan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan metode dan
dokumen penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang diterapkan oleh Wajib
Pajak .
(3) Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat memberikan penjelasan yang memadai
dan/atau menunjukkan dokumen pendukung penerapan Prinsip Kewajaran
dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam peraturan ini, maka
Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan Harga Wajar atau Laba Wajar
berdasarkan data atau dokumen lain dan metode penentuan Harga Wajar atau
Laba Wajar yang dinilai tepat oleh Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan
kewenangan berdasarkan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang KUP.
(4) Kewenangan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dilakukan apabila Wajib Pajak telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha dalam transaksi yang dilakukan dengan pihak-pihak yang
memiliki Hubungan Istimewa.
(5) Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang memiliki
Hubungan Istimewa yang terindikasi sebagai tindak pidana di bidang perpajakan,
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyidikan sebagaimana diatur
dalam Pasal 44 Undang-Undang KUP.

Pasal 21

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyesuaian (correlative


adjustment) terhadap penghitungan Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak
sebagai tindak lanjut atas suatu penyesuaian (primary adjustment) yang
dilakukan oleh :
a. Direktur Jenderal Pajak atas penghitungan penghasilan dan pengurangan
yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri lainnya yang menjadi lawan
transaksi Wajib Pajak; atau
b. otoritas pajak negara lain atas penghitungan penghasilan dan pengurangan
yang dilakukan oleh Wajib Pajak negara tersebut yang menjadi lawan
transaksi Wajib Pajak dalam negeri Indonesia.
(2) Atas penyesuaian yang dilakukan oleh otoritas pajak negara lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, Wajib Pajak tidak diperkenankan untuk
melakukan sendiri penyesuaian penghitungan pajaknya.

BAB IX
HAK-HAK WAJIB PAJAK

43
388 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Pasal 22

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual


Agreement Procedure/MAP) kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai ketentuan
dalam P3B untuk menyelesaikan sengketa perpajakan yang menyangkut penerapan
ketentuan dalam P3B sesuai dengan ketentuan yang berlaku, termasuk dalam hal
Wajib Pajak tidak menyetujui penyesuaian yang dilakukan oleh otoritas pajak di
negara mitra P3B terhadap Wajib Pajak yang menjadi lawan transaksinya.

Pasal 23

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Transfer


(Advance Pricing Agreement/ APA) kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, sebagai upaya menghindari permasalahan
yang mungkin timbul dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah perjanjian tertulis antara Direktur Jenderal
Pajak dengan Wajib Pajak atau antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas
perpajakan negara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a)
Undang-Undang PPh.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 24

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 6 September 2010
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd.

MOCHAMAD TJIPTARDJO
NIP 195104281975121002
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 389

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 32/PJ/2011

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-43/


PJ/2010 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA
DALAM TRANSAKSI ANTARA WAJIB PAJAK DENGAN PIHAK YANG MEMPUNYAI
HUBUNGAN ISTIMEWA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

1. bahwa dalam rangka memberikan kepastian dan kelancaran dalam penerapan


prinsip kewajaran dan kelaziman usaha antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa, dipandang perlu melakukan perubahan
beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/
PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam
Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa;
2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas,
perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan atas
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak
Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata


Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik
390 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5069);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN


DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-43/PJ/2010 TENTANG PENERAPAN
PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA DALAM TRANSAKSI ANTARA WAJIB
PAJAK DENGAN PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/


PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi
Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan
Istimewa, diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:


1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya
disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
2. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang
PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2008.
3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 391

4. Hubungan Istimewa adalah hubungan antara Wajib Pajak dengan pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh atau Pasal
2 ayat (2) Undang-Undang PPN.
5. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm’s length principle/ALP) merupakan
prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan
kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa
harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi
yang dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang
menjadi pembanding.
6. Harga Wajar atau Laba Wajar adalah harga atau laba yang terjadi dalam transaksi
yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
dalam kondisi yang sebanding, atau harga atau laba yang ditentukan sebagai
harga atau laba yang memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
7. Analisis Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak
atau Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan
antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk
diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-
pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dan melakukan identifikasi
atas perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud.
8. Penentuan Harga Transfer (transfer pricing) adalah penentuan harga dalam
transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.

2. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2

(1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku untuk Penentuan Harga Transfer
(Transfer Pricing) atas transaksi yang dilakukan Wajib Pajak Dalam Negeri
atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dengan Wajib Pajak Luar Negeri diluar
Indonesia.
(2) Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa yang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk
Usaha Tetap di Indonesia, Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini hanya berlaku
untuk transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa untuk memanfaatkan perbedaan tarif pajak
yang disebabkan antara lain:
a. perlakuan pengenaan Pajak Penghasilan final atau tidak final pada sektor
usaha tertentu;
b. perlakuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; atau
392 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

c. transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja


Sama Migas.

3. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3

(1) Wajib Pajak dalam melakukan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa wajib menerapkan
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
(2) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
a. melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding;
b. menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
c. menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil
Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat
ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa; dan
d. mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau
Laba Wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku.
(3) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm’s Length Principle/ALP)
mendasarkan pada norma bahwa harga atau laba atas transaksi yang dilakukan
oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa ditentukan oleh
kekuatan pasar, sehingga transaksi tersebut mencerminkan harga pasar yang
wajar (Fair Market Value/FMV).
(4) Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dengan nilai seluruh transaksi tidak melebihi Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak untuk
setiap lawan transaksi, dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).

4. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4

(1) Dalam melakukan Analisis Kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


3 ayat (2) huruf a harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dianggap sebanding dengan transaksi yang dilakukan
antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam hal :
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 393

1) tidak terdapat perbedaan kondisi yang material atau signifikan


yang dapat mempengaruhi harga atau laba dari transaksi yang
diperbandingkan; atau
2) terdapat perbedaan kondisi, namun dapat dilakukan penyesuaian
untuk menghilangkan pengaruh yang material atau signifikan dari
perbedaan kondisi tersebut terhadap harga atau laba;
b. dalam hal tersedia Data Pembanding Internal dan Data Pembanding
Eksternal dengan tingkat kesebandingan yang sama, maka Wajib Pajak
wajib menggunakan Data Pembanding Internal untuk penentuan Harga
Wajar atau Laba Wajar.
c. dalam hal Data Pembanding Internal yang tersedia sebagaimana dimaksud
pada huruf b bersifat insidental, maka Data Pembanding Internal dimaksud
hanya dapat dipergunakan dalam transaksi yang bersifat insidental antara
Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Wajib Pajak wajib mendokumentasikan langkah-langkah, kajian, dan hasil
kajian dalam melakukan Analisis Kesebandingan dan penentuan pembanding,
penggunaan Data Pembanding Internal dan/atau Data Pembanding Eksternal
serta menyimpan buku, dasar catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.

5. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A sehingga
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4A

(1) Data Pembanding Internal adalah data Harga Wajar atau Laba Wajar dalam
transaksi sebanding yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Data Pembanding Eksternal adalah data Harga Wajar atau Laba Wajar dalam
transaksi sebanding yang dilakukan oleh Wajib Pajak lain dengan pihak-pihak
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
(3) Data Pembanding Internal dan Data Pembanding Eksternal harus memenuhi
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesebandingan.
(4) Dalam hal Data Pembanding Internal telah memenuhi faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi tingkat kesebandingan, maka Data Pembanding Eksternal tidak
diperlukan.
(5) Data Pembanding Eksternal dapat diperoleh dari database komersial maupun
database lainnya.

6. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


394 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Pasal 7

(1) Dalam melakukan penilaian dan analisis fungsi (functional analysis) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, harus dilakukan analisis dengan
mengidentifikasi dan membandingkan kegiatan ekonomi yang signifikan dan
tanggung jawab utama yang diambil atau akan diambil oleh pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa.
(2) Kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap signifikan
dalam hal kegiatan tersebut berpengaruh secara material pada harga yang
ditetapkan dan/atau laba yang diperoleh dari transaksi yang dilakukan.
(3) Dalam melakukan penilaian dan analisis fungsi, harus dipertimbangkan antara
lain:
a. struktur organisasi dan posisi perusahaan yang diuji dalam kelompok
usaha serta manajemen mata rantai (supply chain management) kelompok
usaha;
b. fungsi-fungsi utama yang dijalankan oleh suatu perusahaan seperti
desain, pengolahan, perakitan, penelitian, pengembangan, pelayanan,
pembelian, distribusi, pemasaran, promosi, transportasi, keuangan, dan
manajemen serta karakteristik utama perusahaan seperti jasa maklon (toll
manufacturing), manufaktur dengan fungsi dan risiko terbatas (contract
manufacturing), dan manufaktur dengan fungsi dan risiko penuh (fully
fledge manufacturing);
c. jenis aktiva yang digunakan atau akan digunakan seperti tanah, bangunan,
peralatan, dan Harta Tidak Berwujud, serta sifat dari aktiva tersebut seperti
umur, harga pasar, dan lokasi;
d. risiko yang mungkin timbul dan harus ditanggung oleh masing-masing
pihak yang melakukan transaksi seperti risiko pasar, risiko kerugian
investasi, dan risiko keuangan.

7. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8

(1) Dalam melakukan penilaian dan analisis atas ketentuan-ketentuan dalam


kontrak/perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c, harus
dilakukan analisis terhadap tingkat tanggung jawab, risiko, dan keuntungan
yang dibagi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk
dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, yang
meliputi ketentuan tertulis dan tidak tertulis.
(2) Dalam hal tidak terdapat dokumen tertulis, hubungan kontrak para pihak dapat
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 395

ditentukan dari peran/perilaku para pihak atau prinsip ekonomi, yang


umumnya mengatur hubungan para pihak tersebut.

8. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9

(1) Analisis keadaan ekonomi diperlukan untuk memperoleh tingkat kesebandingan


dalam pasar tempat beroperasinya para pihak yang melakukan transaksi.
(2) Keadaan ekonomi yang harus diidentifikasi untuk menentukan tingkat
kesebandingan pasar mencakup:
a. Lokasi geografis;
b. ukuran pasar;
c. tingkat persaingan dalam pasar serta posisi persaingan antara penjual dan
pembeli;
d. ketersediaan barang atau jasa pengganti;
e. tingkat permintaan dan penawaran dalam pasar baik secara keseluruhan
maupun regional;
f. daya beli konsumen;
g. sifat dan cakupan peraturan pemerintah dalam pasar;
h. biaya produksi termasuk biaya tanah, upah tenaga kerja, dan modal; biaya
transportasi; dan tingkatan pasar;
i. tanggal dan waktu transaksi; dan sebagainya.

9. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11

(1) Dalam penentuan metode Harga Wajar atau Laba Wajar wajib dilakukan kajian
untuk menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang paling sesuai (The
Most Appropiate Method).
(2) Metode Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
dapat diterapkan adalah :
a. Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP);
b. Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM);
c. Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method);
d. Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM); atau
e. Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method/
TNMM).
(3) Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan
396 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP) adalah metode Penentuan


Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi
yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa
dengan harga barang atau jasa dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-
pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi atau keadaan
yang sebanding.
(4) Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM) adalah metode
Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam
transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah
dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas
penjualan kembali produk tersebut kepada pihak lain yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa atau penjualan kembali produk yang dilakukan dalam
kondisi wajar.
(5) Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method) adalah metode Penentuan Harga
Transfer yang dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang
diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh
perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa pada harga pokok penjualan yang telah sesuai dengan
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
(6) Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM) adalah metode Penentuan
Harga Transfer berbasis Laba Transaksional (Transactional Profit Method
Based) yang dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi
afiliasi yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa
tersebut dengan menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi
yang memberikan perkiraan pembagian laba yang selayaknya akan terjadi
dan akan tercermin dari kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa, dengan menggunakan Metode Kontribusi (Contribution
Profit Split Method) atau Metode Sisa Pembagian Laba (Residual Profit Split
Method).
(7) Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin method/
TNMM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan
membandingkan presentase laba bersih operasi terhadap biaya, terhadap
penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas transaksi antara
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan presentase laba
bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak lain yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau persentase laba bersih operasi
yang diperoleh atas transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa lainnya.
(8) Dalam menerapkan metode Penentuan Harga Transfer yang paling sesuai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), wajib diperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 397

a. kelebihan dan kekurangan setiap metode;


b. kesesuaian metode Penentuan Harga Transfer dengan sifat dasar transaksi
antar pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa, yang ditentukan
berdasarkan analisis fungsional;
c. ketersediaan informasi yang handal (sehubungan dengan transaksi antar
pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa) untuk menerapkan
metode yang dipilih dan/atau metode lain;
d. tingkat kesebandingan antara transaksi antar pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dengan transaksi antar pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa, termasuk kehandalan penyesuaian yang dilakukan
untuk menghilangkan pengaruh yang material dari perbedaan yang ada.
(9) Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Perbandingan Harga antara
pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled
Price/CUP) antara lain adalah:
a. barang atau jasa yang ditransaksikan memiliki karakteristik yang identik
dalam kondisi yang sebanding; atau
b. kondisi transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak memiliki Hubungan
Istimewa Identik atau memiliki tingkat kesebandingan yang tinggi atau
dapat dilakukan penyesuaian yang akurat untuk menghilangkan pengaruh
dari perbedaan kondisi yang timbul.
(10) Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Harga Penjualan Kembali
(Resale Price Method/RPM) antara lain adalah:
a. tingkat kesebandingan yang tinggi antara transaksi antara Wajib Pajak
yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi antara Wajib
Pajak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, khususnya tingkat
kesebandingan berdasarkan hasil analisis fungsi, meskipun barang atau
jasa yang diperjualbelikan berbeda; dan
b. pihak penjual kembali (reseller) tidak memberikan nilai tambah yang
signifikan atas barang atau jasa yang diperjualbelikan.
(11) Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method)
antara lain adalah:
a. barang setengah jadi dijual kepada pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa;
b. terdapat kontrak/perjanjian penggunaan fasilitas bersama ( joint facility
agreement) atau kontrak jual-beli jangka panjang (long term buy and supply
agreement) antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; atau
c. bentuk transaksi adalah penyediaan jasa.
(12) Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM) secara khusus hanya dapat
diterapkan dalam kondisi sebagai berikut:
a. transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sangat
terkait satu sama lain sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukan kajian
secara terpisah; atau
398 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

b. terdapat barang tidak berwujud yang unik antara pihak-pihak yang


bertransaksi yang menyebabkan kesulitan dalam menemukan data
pembanding yang tepat.
(13) Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Laba Bersih Transaksional
(Transactional Net Margin Method/TNMM) antara lain adalah:
a. salah satu pihak dalam transaksi Hubungan Istimewa melakukan kontribusi
yang khusus; atau
b. salah satu pihak dalam transaksi Hubungan Istimewa melakukan transaksi
yang kompleks dan memiliki transaksi yang berhubungan satu sama lain.
(14) Wajib Pajak wajib mendokumentasikan kajian yang dilakukan dan menyimpan
buku, dasar catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

10. Pasal 12 dihapus.

11. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14

(1) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha wajib diterapkan atas transaksi jasa
yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa.
(2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap memenuhi Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi ketentuan:
c. penyerahan atau perolehan jasa benar-benar terjadi;
d. nilai transaksi jasa antara pihak-pihak yang mempunyai mempunyai
Hubungan Istimewa sama dengan nilai transaksi jasa yang dilakukan antara
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai
kondisi yang sebanding, atau yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak untuk
keperluannya;
(3) Penyerahan atau perolehan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a dianggap benar-benar terjadi apabila terdapat manfaat ekonomis atau
komersial yang dapat menambah nilai atas penyerahan atau perolehan jasa
dimaksud.
(4) Dalam menentukan nilai transaksi jasa sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b harus diterapkan melalui Analisis Kesebandingan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal
10.
(5) Transaksi jasa antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa dianggap tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
dalam hal transaksi jasa terjadi hanya karena terdapat kepemilikan perusahaan
induk pada salah satu atau beberapa perusahaan yang berada dalam satu
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 399

kelompok usaha.
(6) Transaksi jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk biaya atau
pengeluaran yang terjadi sehubungan dengan:
a. kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan induk, seperti rapat pemegang
saham perusahaan induk, penerbitan saham oleh perusahaan induk, dan
biaya pengurus perusahaan induk;
b. kewajiban pelaporan perusahaan induk, termasuk laporan keuangan
konsolidasi perusahaan induk, kecuali terdapat bukti mengenai adanya
manfaat yang terukur yang dinikmati oleh Wajib Pajak;
c. perolehan dana/modal yang dipergunakan untuk pengambilalihan
kepemilikan perusahaan dalam kelompok usaha, kecuali pengambilalihan
tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak dan manfaatnya dinikmati oleh Wajib
Pajak.

12. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17

(1) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha wajib diterapkan atas transaksi
pemanfaatan dan pengalihan Harta Tidak Berwujud yang dilakukan oleh Wajib
Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Harta Tak Berwujud (Intangibles) adalah suatu aktiva yang pada umumnya
memiliki masa manfaat yang panjang dan tidak mempunyai bentuk fisik serta
memiliki kegunaan dalam kegiatan operasi perusahaan dan penggunaannya
tidak untuk dijual kembali, seperti paten, hak cipta atau merek dagang.
(3) Harta Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi Harta
Tidak Berwujud sehubungan dengan Fungsi Perdagangan (Trade Intangibles)
dan Harta Tidak Berwujud sehubungan dengan Fungsi Pemasaran (Marketing
Intangibles).
(4) Harta Tidak Berwujud sehubungan dengan Fungsi Perdagangan (Trade
Intangibles) pada umumnya terjadi melalui kegiatan riset dan pengembangan
yang berisiko dan mahal, sehingga pemiliknya berusaha mengganti pengeluaran
tersebut melalui penjualan barang, perjanjian lisensi atau kontrak jasa.
(5) Harta Tidak Berwujud sehubungan dengan Fungsi Pemasaran (Marketing
Intangibles) meliputi antara lain merek dagang atau nama dagang yang
membantu meningkatkan pemasaran dari barang dan jasa, daftar pelanggan,
dan saluran distribusi.
(6) Merek Dagang adalah nama, simbol atau gambar yang unik yang dimiliki
sebagai identitas dari suatu barang atau jasa tertentu yang dihasilkan oleh
pabrikan atau dealer, dimana penggunaannya oleh pihak lain diatur oleh hukum
domestik atau hukum internasional.
(7) Transaksi pemanfaatan Harta Tidak Berwujud yang dilakukan antara Wajib
400 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap memenuhi


Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi ketentuan :
a. transaksi pemanfaatan Harta Tidak Berwujud benar-benar terjadi;
b. terdapat manfaat ekonomis atau komersial; dan
c. transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai mempunyai Hubungan
Istimewa mempunyai nilai yang sama dengan transaksi yang dilakukan
antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang
mempunyai kondisi yang sebanding dengan menerapkan Analisis
Kesebandingan dan menerapkan metode Penentuan Harga Transfer yang
tepat ke dalam transaksi.
(8) Transaksi pengalihan Harta Tidak Berwujud yang dilakukan antara Wajib Pajak
dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap memenuhi
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi ketentuan :
a. transaksi pengalihan Harta Tidak Berwujud benar-benar terjadi; dan
b. nilai pengalihan Harta Tidak Berwujud antara pihak-pihak yang mempunyai
mempunyai Hubungan Istimewa sama dengan nilai pengalihan Harta
Tidak Berwujud yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa yang mempunyai kondisi yang sebanding.
(9) Dalam melakukan Analisis Kesebandingan untuk transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9) harus dipertimbangkan antara lain :
a. keterbatasan geografis dalam pemanfaatan hak atas Harta Tidak Berwujud;
b. eksklusifitas hak yang dialihkan; dan
c. keberadaan hak pihak yang memperolah Harta Tak Berwujud untuk turut
serta dalam pengembangan harta dimaksud.

13. Diantara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 17A
sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17A

(1) Kesepakatan Kontribusi Biaya (Cost Contribution Arrangements) adalah


kesepakatan yang dibuat oleh para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa
untuk berbagi risiko dari mengembangkan, menghasilkan atau mendapatkan
aset, jasa atau hak, dan untuk menentukan fungsi dan peranan para pihak
dalam kesepakatan atas aset, jasa atau hak dimaksud.
(2) Para pihak dalam Kesepakatan Kontribusi Biaya (Cost Contribution
Arrangements) berhak untuk mendapatkan manfaat pelaksanaan Kesepakatan
Kontribusi Biaya (Cost Contribution Arrangements) sebagai pemilik efektif
(effective owners).
(3) Dalam hal terdapat Kesepakatan Kontribusi Biaya (Cost Contribution
Arrangements), maka kontribusi biaya antara para pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa harus sama dibandingkan dengan kontribusi biaya
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 401

dalam kesepakatan yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai


Hubungan Istimewa.

14. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18

(1) Wajib Pajak wajib menyelenggarakan dan menyimpan buku, catatan, dan
dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Undang-Undang KUP dan peraturan
pelaksanaannya.
(2) Termasuk dalam pengertian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi dokumen yang menjadi dasar penerapan Prinsip Kewajaran
dan Kelaziman Usaha pada transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa.
(3) Wajib Pajak wajib menyampaikan dokumentasi dalam melaporkan transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang terdiri dari satu set dokumen induk
dan satu set lampiran dari dokumen induk.
(4) Wajib Pajak dapat menentukan sendiri jenis dan bentuk dokumen yang
disesuaikan dengan bidang usahanya sepanjang dokumen tersebut mendukung
penggunaan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih,
termasuk laporan keuangan yang tersegmentasi.
(5) Dokumen penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang harus disediakan oleh
Wajib Pajak sekurang-kurangnya mencakup:
a. gambaran perusahaan secara rinci seperti struktur kelompok usaha,
struktur kepemilikan, struktur organisasi, aspek-aspek operasional kegiatan
usaha, daftar pesaing usaha, dan gambaran lingkungan usaha;
b. kebijakan penetapan harga dan/atau penetapan alokasi biaya;
c. hasil Analisis Kesebandingan atas karakteristik produk yang diperjualbelikan,
hasil analisis fungsional, kondisi ekonomi, ketentuan-ketentuan dalam
kontrak/perjanjian, dan strategi usaha.
d. pembanding yang terpilih;
e. catatan mengenai penerapan metode penentuan Harga Wajar atau Laba
Wajar yang dipilih oleh Wajib Pajak serta alasan penolakan metode yang
tidak dipilih.

15. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan


402 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

dan pengurangan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak pada


transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa.
(2) Kewenangan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dilakukan apabila Wajib Pajak telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha dalam transaksi yang dilakukan dengan pihak-pihak yang
memiliki Hubungan Istimewa.
(3) Penghitungan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan metode dan
dokumen penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang diterapkan oleh Wajib
Pajak.
(4) Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat memberikan penjelasan yang memadai dan/
atau menunjukkan dokumen pendukung penerapan Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini, Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan Harga Wajar atau
Laba Wajar berdasarkan data atau dokumen lain dan metode penentuan Harga
Wajar atau Laba Wajar yang dinilai tepat oleh Direktorat Jenderal Pajak sesuai
dengan kewenangan berdasarkan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang KUP.

16. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 21

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyesuaian (correlative


adjustment) terhadap penghitungan Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak
sebagai tindak lanjut atas suatu penyesuaian (primary adjustment) yang
dilakukan oleh :
a. Direktur Jenderal Pajak atas penghitungan penghasilan dan pengurangan
yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri lainnya termasuk Bentuk
Usaha Tetap yang menjadi lawan transaksi Wajib Pajak; atau
b. otoritas pajak negara lain atas penghitungan penghasilan dan pengurangan
yang dilakukan oleh Wajib Pajak negara tersebut yang menjadi lawan
transaksi Wajib Pajak dalam negeri termasuk Bentuk Usaha Tetap di
Indonesia.
(2) Atas penyesuaian yang dilakukan oleh otoritas pajak negara lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, Wajib Pajak tidak diperkenankan untuk
melakukan sendiri penyesuaian penghitungan pajaknya.

17. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 403

Pasal 22

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Prosedur Persetujuan Bersama


(Mutual Agreement Procedure/MAP) kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai
ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau P3B untuk
menyelesaikan sengketa perpajakan yang menyangkut penerapan ketentuan
dalam P3B sesuai dengan ketentuan yang berlaku, termasuk dalam hal Wajib
Pajak tidak menyetujui penyesuaian yang dilakukan oleh otoritas pajak di
negara mitra P3B terhadap Wajib Pajak yang menjadi lawan transaksinya.
(2) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah
perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara/jurisdiksi
lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan
pajak.
(3) Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah prosedur administratif yang
dilakukan oleh pejabat yang berwenang dari Indonesia dengan pejabat yang
berwenang dari negara mitra P3B untuk menyelesaikan sengketa perpajakan
yang timbul sehubungan dengan penerapan P3B.

18. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 23

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Transfer


(Advance Pricing Agreement/APA) kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, sebagai upaya menghindari permasalahan
yang mungkin timbul dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah perjanjian tertulis antara Direktur Jenderal
Pajak dengan Wajib Pajak atau antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas
perpajakan negara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a)
Undang-Undang PPh.
404 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Pasal II

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 11 November 2011
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 405

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 48/PJ/2010

TENTANG

TATA CARA PELAKSANAAN PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA


(MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE) BERDASARKAN
PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan Pasal 32A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang


Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 diatur bahwa Pemerintah berwenang
untuk melakukan perjanjian dengan Pemerintah negara lain dalam r a n g k a
penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b. bahwa dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Pemerintah
Indonesia dengan Pemerintah negara mitra diatur mengenai Prosedur Persetujuan
Bersama atau lazim disebut dengan Mutual Agreement Procedure (MAP);
c. bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda mengenai Prosedur Persetujuan Bersama dimaksud, perlu ditetapkan
prosedur baku sebagai petunjuk teknis pelaksanaannya;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b,
dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata
Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure)
Berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata


Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang 16 Tahun 2009 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
406 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN


PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA (MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE)
BERDASARKAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan :


1. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah
perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah negara atau yurisdiksi
mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan
pajak.
2. Prosedur Persetujuan Bersama atau Mutual Agreement Procedure yang
selanjutnya disebut MAP adalah prosedur administratif yang diatur dalam P3B
untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B.
3. Pejabat yang Berwenang adalah pejabat sebagaimana dimaksud dalam P3B.
4. Negara Mitra P3B adalah negara atau yurisdiksi yang mempunyai P3B dengan
Indonesia yang sudah berlaku efektif .
5. Persetujuan Bersama atau Mutual Agreement adalah hasil yang telah disepakati
oleh Pejabat yang Berwenang dari Indonesia dan Negara Mitra P3B sehubungan
dengan MAP yang telah dilaksanakan.
6. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia adalah Subjek Pajak dalam negeri
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008, yang menerima atau memperoleh penghasilan
yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang tersebut.
7. Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B adalah Subjek Pajak dalam negeri
Negara Mitra P3B berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku di negara yang bersangkutan, yang menerima atau memperoleh
penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan di negara tersebut.
8. Wajib Pajak Luar Negeri adalah Subjek Pajak luar negeri berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008, yang menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenakan pajak
berdasarkan undang-undang tersebut.
9. Warga Negara Indonesia adalah Warga Negara Indonesia berdasarkan ketentuan
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 407

perundang-undangan di bidang kewarganegaraan.


10. Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang
selanjutnya disebut Undang-Undang KUP, adalah Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009.
11. Transfer Pricing adalah penentuan harga yang dilakukan dalam transaksi antara
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
12. Corresponding Adjustments yaitu koreksi atau penyesuaian atas jumlah pajak
yang terutang bagi Wajib Pajak suatu negara yang mempunyai hubungan
istimewa dengan Wajib Pajak negara mitra, yang dilakukan oleh otoritas pajak
negara yang bersangkutan sehubungan dengan koreksi Transfer Pricing yang
dilakukan oleh otoritas pajak negara mitra (primary adjustments), sehingga
alokasi keuntungan pada dua negara atau yurisdiksi tersebut konsisten, dengan
tujuan untuk menghilangkan pengenaan pajak berganda.
13. Dual Residence adalah kondisi yang dihadapi oleh satu subjek pajak yang
melakukan transaksi lintas negara atau yurisdiksi pada saat yang sama dianggap
menjadi subjek pajak dalam negeri di masing-masing negara atau yurisdiksi
berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku di
masing-masing negara atau yurisdiksi dimaksud.

Pasal 2

MAP dilaksanakan dalam hal terdapat :


a. permintaan yang diajukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia;
b. permintaan yang diajukan oleh Warga Negara Indonesia yang telah menjadi
Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B sehubungan dengan ketentuan non
diskrimasi (non-discrimination) dalam P3B yang berlaku;
c. permintaan yang diajukan oleh Negara Mitra P3B; atau
d. hal yang dianggap perlu oleh dan atas inisiatif Direktur Jenderal Pajak.

BAB II
TATA CARA PENGAJUAN DAN PELAKSANAAN MAP DARI WAJIB PAJAK DALAM
NEGERI INDONESIA ATAU WARGA NEGARA INDONESIA YANG MENJADI WAJIB
PAJAK DALAM NEGERI NEGARA MITRA P3B

Pasal 3

(1) Permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2


huruf a dilakukan antara lain dalam hal :
a. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia dikenakan pajak atau akan dikenakan
pajak karena melakukan praktik Transfer Pricing sehubungan adanya
transaksi dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B yang
408 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

mempunyai hubungan istimewa;


b. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia menganggap bahwa tindakan Negara
Mitra P3B mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak
yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B sehubungan dengan keberadaan
atau penghasilan bentuk usaha tetap yang dimiliki oleh Wajib Pajak Dalam
Negeri Indonesia di Negara Mitra P3B;
c. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia menganggap bahwa tindakan Negara
Mitra P3B mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak
yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B sehubungan dengan pemotongan
pajak di Negara Mitra P3B; atau
d. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang juga merupakan Wajib Pajak
Dalam Negeri Negara Mitra P3B meminta pelaksanaan konsultasi dalam
rangka MAP untuk menentukan status dirinya sebagai Wajib Pajak dalam
negeri dari salah satu negara tersebut.
(2) Permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf b dilakukan dalam hal Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib
Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B dikenakan atau akan dikenakan pajak di
Negara Mitra P3B yang lebih berat dibandingkan dengan yang dikenakan oleh
Negara Mitra P3B kepada warganegaranya (kasus non diskriminasi berdasarkan
ketentuan P3B yang berlaku).
(3) Permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B yang
berlaku.

Pasal 4

(1) Permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal


2 huruf a disampaikan dengan permohonan secara tertulis kepada Direktur
Jenderal Pajak melalui Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar dengan menyampaikan informasi sekurang-kurangnya mengenai:
a. nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat, dan jenis usaha Wajib Pajak
Dalam Negeri Indonesia yang mengajukan permintaan;
b. nama, Nomor Identitas Wajib Pajak, alamat, dan jenis usaha Wajib Pajak
di Negara Mitra P3B yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib
Pajak yang mengajukan permintaan, khusus dalam hal terkait dengan
transaksi Transfer Pricing;
c. tindakan yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra
P3B atau otoritas pajak Negara Mitra P3B, yang telah dianggap tidak sesuai
dengan ketentuan P3B oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia;
d. penjelasan apakah Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia telah mengajukan
atau akan mengajukan permohonan pembetulan, keberatan, permohonan
banding kepada badan peradilan pajak, atau permohonan pengurangan
atau pembatalan surat ketetapan pajak, sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 409

Pasal 16 ayat (1), Pasal 25 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), atau Pasal 36 ayat
(1) huruf b Undang-Undang KUP, atas hal-hal yang dimintakan MAP;
e. Tahun Pajak sehubungan dengan permintaan yang dilakukan oleh Wajib
Pajak Dalam Negeri Indonesia;
f. penjelasan mengenai transaksi yang telah dilakukan koreksi oleh otoritas
pajak Negara Mitra P3B, yang meliputi substansi transaksi, nilai koreksi,
dan dasar dilakukannya koreksi;
g. pendapat Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia sehubungan dengan koreksi
yang telah dilakukan oleh otoritas Negara Mitra P3B Indonesia;
h. pihak yang dapat dihubungi oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka
tindak lanjut atas permintaan untuk melaksanakan MAP yang telah
disampaikan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia;
i. nama kantor pajak Negara Mitra P3B, jika memungkinkan nama unit vertikal
kantor pajak negara Mitra P3B yang terkait dalam hal diketahui oleh Wajib
Pajak Dalam Negeri Indonesia yang mengajukan permintaan MAP; dan
j. ketentuan dalam P3B yang menurut Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia
tidak diterapkan secara benar dan pendapat Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia atas penerapan dari ketentuan P3B tersebut, apabila permintaan
MAP berkaitan dengan penerapan ketentuan P3B yang tidak semestinya.
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditandatangani oleh
Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau wakilnya yang sah berdasarkan
ketentuan Undang-Undang KUP, dan dalam hal ditandatangani oleh kuasa,
wajib dilampiri surat kuasa khusus.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan
dokumen-dokumen pendukung dan disampaikan dalam jangka waktu yang
ditetapkan dalam P3B yang berlaku, yang dihitung setelah Wajib Pajak Dalam
Negeri Indonesia dikenakan atau akan dikenakan pajak yang tidak sesuai
dengan ketentuan dalam P3B.
(4) Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib meneliti kelengkapan permintaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan melengkapi dengan dokumen-
dokumen perpajakan yang terkait yang terdapat dalam administrasi Kantor
Pelayanan Pajak, untuk selanjutnya diteruskan kepada Direktur Peraturan
Perpajakan II paling lama dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender
sejak permintaan untuk melaksanakan MAP diterima lengkap.
(5) Dalam hal permintaan MAP disampaikan tidak lengkap, Kepala Kantor
Pelayanan Pajak memberikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak paling
lama dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kalender sejak permintaan untuk
melaksanakan MAP diterima, yang menyatakan bahwa permintaan untuk
melaksanakan MAP tidak lengkap dan meminta Wajib Pajak untuk melengkapi
hal-hal yang belum lengkap.
(6) Direktur Peraturan Perpajakan II meneliti dan mempertimbangkan permintaan
untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(7) Dalam hal permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diproses
410 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

lebih lanjut untuk dikonsultasikan dengan Pejabat yang Berwenang di Negara


Mitra P3B, Direktur Peraturan Perpajakan II mengirimkan permintaan MAP
secara tertulis kepada Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra P3B.
(8) Direktur Peraturan Perpajakan II atas nama Direktur Jenderal Pajak menolak
permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dalam hal :
a. permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah
melewati batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
b. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia mengajukan permohonan keberatan
kepada Direktur Jenderal Pajak atas permasalahan yang dimintakan MAP
dan tidak mencabut permohonan keberatan dimaksud; atau
c. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia mengajukan permohonan banding
kepada badan peradilan pajak atas permasalahan yang dimintakan MAP
dan tidak mencabut permohonan Banding dimaksud; paling lama dalam
jangka waktu 15 (lima belas) hari kalender sejak permintaan untuk
melaksanakan MAP diterima dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak atau
sejak diketahui Wajib Pajak yang bersangkutan mengajukan permohonan
keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atau permohonan banding
kepada badan peradilan pajak.
(9) Direktur Peraturan Perpajakan II dapat meminta penjelasan lebih lanjut kepada
Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia, termasuk meminta dokumen-dokumen
pendukung dan informasi yang diperlukan, serta dapat meminta informasi
atau bantuan dari direktorat lain, unit pelaksana teknis dan/atau unit vertikal di
lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

Pasal 5

(1) Permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal


2 huruf b disampaikan dengan permohonan secara tertulis kepada Direktur
Jenderal Pajak c.q. Direktur Peraturan Perpajakan II dengan menyampaikan
informasi sekurang-kurangnya mengenai :
a. nama, alamat, dan kegiatan usaha Warga Negara Indonesia yang
mengajukan permintaan;
b. tindakan atau pengenaan pajak yang telah dilakukan oleh otoritas pajak
Negara Mitra P3B yang dianggap lebih berat dibandingkan dengan tindakan
atau pengenaan pajak yang dilakukan oleh otoritas pajak Negara Mitra P3B
dimaksud kepada warga negaranya sendiri;
c. Tahun Pajak sehubungan dengan permintaan yang dilakukan;
d. pihak yang dapat dihubungi oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam
rangka tindak lanjut atas permohonan yang telah disampaikan oleh yang
bersangkutan; dan
e. nama kantor pajak Negara Mitra P3B, jika memungkinkan nama unit vertikal
kantor pajak Negara Mitra P3B yang terkait dalam hal diketahui oleh yang
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 411

bersangkutan.
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan
dokumen-dokumen pendukung dan disampaikan dalam jangka waktu yang
ditetapkan dalam P3B yang berlaku, yang dihitung setelah yang bersangkutan
dikenakan atau akan dikenakan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan
dalam P3B.
(3) Direktur Peraturan Perpajakan II meneliti dan mempertimbangkan permintaan
untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diproses
lebih lanjut untuk dikonsultasikan dengan Pejabat yang Berwenang di Negara
Mitra P3B, Direktur Peraturan Perpajakan II mengirimkan permintaan secara
tertulis untuk melaksanakan MAP kepada Pejabat yang Berwenang di Negara
Mitra P3B.
(5) Direktur Peraturan Perpajakan II atas nama Direktur Jenderal Pajak menolak
permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal permintaan untuk
melaksanakan MAP disampaikan setelah melewati jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) atau permintaan untuk melaksanakan MAP dimaksud
tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B Indonesia yang berlaku, paling lama
dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kalender sejak permintaan untuk
melaksanakan MAP diterima.

Pasal 6

(1) Dalam hal Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang mengajukan permintaan
untuk melaksanakan MAP juga mengajukan permohonan pembetulan atau
permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) atau Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-
Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak dapat memproses pengajuan permintaan
MAP.
(2) Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama sebelum
dikeluarkannya keputusan atas permohonan pembetulan atau permohonan
pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Persetujuan Bersama dimaksud dituangkan dalam keputusan
Direktur Jenderal Pajak atas permohonan pembetulan atau permohonan
pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak.
(3) Dalam hal pelaksanaan MAP belum menghasilkan Persetujuan Bersama
dan Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang bersangkutan mengajukan
permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atau permohonan
banding kepada badan peradilan pajak, Direktur Jenderal Pajak menghentikan
pelaksanaan MAP dan memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak,
paling lama dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kalender sejak diketahui
Wajib Pajak yang bersangkutan mengajukan permohonan keberatan kepada
Direktur Jenderal Pajak atau permohonan banding kepada badan peradilan
412 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

pajak.

Pasal 7

(1) Dalam hal dipandang perlu, Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan
pertemuan konsultasi dengan Pejabat yang Berwenang dari Negara Mitra P3B
untuk menindaklanjuti permintaan MAP yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam
Negeri Indonesia atau Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak
Dalam Negeri Negara Mitra P3B.
(2) Sebelum dicapainya Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak terlebih
dahulu menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak Dalam
Negeri Indonesia atau Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak
Dalam Negeri Negara Mitra P3B mengenai isi rancangan Persetujuan Bersama
untuk memperoleh konfirmasi bahwa yang bersangkutan dapat menerima isi
rancangan Persetujuan Bersama.
(3) Direktur Jenderal Pajak menyepakati Persetujuan Bersama dengan Negara Mitra
P3B setelah Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau Warga Negara Indonesia
yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B memberikan
konfirmasi bahwa yang bersangkutan dapat menerima kesepakatan dimaksud.
(4) Konfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diberikan paling
lama dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak pemberitahuan
sebagaimana dimaksud pada ayat 2 disampaikan.
(5) Dalam hal Persetujuan Bersama mengakibatkan perubahan besarnya pajak
yang terutang di Indonesia sebagaimana tercantum dalam surat ketetapan
pajak, Surat Keputusan Pembetulan, dan Surat Keputusan Pengurangan atau
Surat Keputusan Pembatalan surat ketetapan pajak, Direktur Jenderal Pajak
melakukan pembetulan, pengurangan atau pembatalan atas surat ketetapan
pajak atau surat keputusan dimaksud sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(6) Direktur Jenderal Pajak menyampaikan Persetujuan Bersama kepada Wajib
Pajak secara tertulis.

Pasal 8

(1) Direktur Jenderal Pajak menghentikan pelaksanaan MAP dalam hal :


a. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau Warga Negara Indonesia
yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B yang
menyampaikan permintaan untuk melaksanakan MAP :
1) menyampaikan surat pembatalan permintaan MAP kepada Direktur
Jenderal Pajak;
2) tidak menyetujui isi rancangan Persetujuan Bersama;
3) tidak memenuhi seluruh permintaan data, informasi, atau dokumen
yang diperlukan oleh Direktur Jenderal Pajak;
4) menyampaikan informasi yang tidak benar kepada Direktur Jenderal
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 413

Pajak; atau
b. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang menyampaikan permintaan untuk
melaksanakan MAP mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur
Jenderal Pajak atau permohonan banding kepada badan peradilan pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada
Wajib Pajak mengenai penghentian pelaksanaan MAP, paling lama dalam
jangka waktu 15 (lima belas) hari kalender sejak penghentian diputuskan.

Pasal 9

Tata Cara Pengajuan dan Pelaksanaan MAP dari Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia
atau Warga Negara Indonesia yang Menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra
P3B adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini yang merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan.

BAB III
TATA CARA PENANGANAN PERMINTAAN MAP
DARI NEGARA MITRA P3B

Pasal 10

(1) Permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2


huruf c dilakukan antara lain dalam hal :
a. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas Wajib
Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia yang dianggap tidak sesuai
dengan ketentuan dalam P3B;
b. terjadi koreksi Transfer Pricing di Indonesia atas Wajib Pajak Luar Negeri
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia;
c. Negara Mitra P3B meminta dilakukan Corresponding Adjustments
sehubungan dengan koreksi Transfer Pricing yang dilakukan otoritas
Pajak negara yang bersangkutan atas Wajib Pajak dalam negerinya yang
melakukan transaksi hubungan istimewa dengan Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia;
d. terjadi pemotongan pajak oleh Wajib Pajak di Indonesia sehubungan
dengan penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang dianggap tidak
sesuai dengan ketentuan dalam P3B; atau
e. penentuan negara domisili dari Wajib Pajak yang mempunyai status sebagai
Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia dan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara
Mitra P3B (Dual Residence).
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menolak permintaan MAP yang diajukan oleh
Negara Mitra P3B yang berkaitan dengan koreksi Transfer Pricing yang
414 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

dilakukan oleh Negara Mitra P3B yang bersangkutan, dalam hal tidak terdapat
ketentuan mengenai Corresponding Adjustments dalam P3B Indonesia yang
berlaku.
Pasal 11

(1) Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Peraturan Perpajakan II memberitahukan


permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf c kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak yang terkait
dengan permintaan dimaksud terdaftar.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi informasi
mengenai :
a. nama Negara Mitra P3B yang mengajukan permintaan untuk melaksanakan
MAP;
b. tanggal diterimanya permintaan MAP;
c. nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan alamat bentuk usaha tetap atau
Wajib Pajak dalam negeri yang terkait;
d. nama dan alamat Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B yang terlibat,
dalam hal terjadi kasus Transfer Pricing; dan
e. nama dan alamat Wajib Pajak terkait serta Tahun Pajak yang akan dibahas
dalam kasus Dual Residence.

Pasal 12

(1) Direktur Jenderal Pajak menolak permintaan MAP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf c untuk permintaan MAP sehubungan dengan Corresponding
Adjusments dalam hal Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang terkait tidak
mengajukan permintaan MAP kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Direktur Peraturan Perpajakan II atas nama Direktur Jenderal Pajak meminta
pernyataan secara tertulis dari Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia untuk
memastikan bahwa yang bersangkutan tidak mengajukan permintaan MAP.

Pasal 13

Dalam hal pokok permintaan MAP dari Negara Mitra P3B adalah pemotongan atau
pemungutan Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak di Indonesia yang dianggap tidak
sesuai dengan ketentuan P3B, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan secara
tertulis kepada Wajib Pajak dimaksud mengenai permintaan MAP dari Negara Mitra
P3B dan dapat meminta penjelasan mengenai dasar pemotongan atau pemungutan
pajak, substansi transaksi, dan meminta dokumen yang diperlukan melalui Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 415

Pasal 14

Dalam menindaklanjuti permintaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2


huruf c, Direktur Peraturan Perpajakan II dapat meminta informasi atau bantuan dari
direktorat lain, unit pelaksana teknis dan/atau unit vertikal di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak.

Pasal 15

(1) Dalam hal permintaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c terkait
dengan bentuk usaha tetap di Indonesia dan bentuk usaha tetap dimaksud
juga mengajukan permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan
atau pembatalan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1) atau Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal
Pajak dapat melaksanakan MAP dan memproses permohonan pembetulan
atau permohonan pengurangan, atau pembatalan surat ketetapan pajak.
(2) Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama sebelum
dikeluarkannya keputusan atas permohonan pembetulan atau permohonan
pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Persetujuan Bersama dimaksud dituangkan dalam keputusan
Direktur Jenderal Pajak atas permohonan pembetulan atau permohonan
pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak.
(3) Dalam hal pelaksanaan MAP belum menghasilkan Persetujuan Bersama
dan Wajib Pajak yang terkait dengan permintaan untuk melaksanakan MAP
mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atau
permohonan banding kepada badan peradilan pajak, Direktur Jenderal Pajak
menghentikan pelaksanaan MAP dan memberitahukan secara tertulis kepada
Negara Mitra P3B yang mengajukan permintaan MAP.

Pasal 16

(1) Dalam hal dipandang perlu atau atas permintaan Negara Mitra P3B Indonesia,
Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan pertemuan konsultasi dengan
Pejabat yang Berwenang dari Negara Mitra P3B yang bersangkutan untuk
menindaklanjuti permohonan MAP yang dilakukan oleh negara mitra dimaksud.
(2) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak menyepakati Persetujuan Bersama dengan
Negara Mitra P3B, Direktur Peraturan Perpajakan II segera menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat
Wajib Pajak yang terkait terdaftar.
(3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak segera menyampaikan Persetujuan Bersama
secara tertulis kepada Wajib Pajak terkait.
(4) Dalam hal Persetujuan Bersama mengakibatkan perubahan besarnya pajak
yang terutang di Indonesia dalam surat ketetapan pajak, Surat Keputusan
416 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

Pembetulan, dan Surat Keputusan Pengurangan atau Surat Keputusan


Pembatalan surat ketetapan pajak, Direktur Jenderal Pajak melakukan
pembetulan, pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak atau surat
keputusan dimaksud sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(5) Dalam hal Persetujuan Bersama berkaitan dengan pemotongan atau
pemungutan Pajak Penghasilan di Indonesia, tindak lanjutnya dapat dilakukan
berdasarkan prosedur atau tata cara pengembalian pajak yang seharusnya
tidak terutang, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 17

(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menolak atau menghentikan pelaksanaan MAP
dalam hal :
a. permintaan MAP disampaikan oleh Negara Mitra P3B setelah batas waktu
pelaksanaan MAP sebagaimana ditetapkan dalam P3B;
b. pokok permohonan yang diajukan oleh Negara Mitra P3B tidak termasuk
ke dalam ruang lingkup MAP sebagaimana diatur dalam P3B yang berlaku;
c. Negara Mitra P3B membatalkan permintaan MAP;
d. permintaan melaksanakan MAP terkait dengan bentuk usaha tetap di
Indonesia dan bentuk usaha tetap dimaksud mengajukan permohonan
keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atau permohonan banding
kepada badan peradilan pajak;
e. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang terkait dengan permintaan
MAP sehubungan dengan koreksi Transfer Pricing yang dilakukan oleh
otoritas pajak Negara Mitra P3B atas Wajib Pajak Dalam Negerinya, tidak
mengajukan permohonan MAP;
f. Wajib Pajak yang diterbitkan surat ketetapan pajak oleh Direktorat Jenderal
Pajak yang menjadi fokus dari permintaan MAP tidak memberikan seluruh
dokumen yang diperlukan;
g. Direktorat Jenderal Pajak tidak mungkin untuk mengumpulkan dokumen-
dokumen yang diperlukan untuk melaksanakan konsultasi dalam rangka
MAP karena telah terlewatinya waktu yang lama setelah penerbitan surat
ketetapan pajak di Indonesia; atau
h. terdapat indikasi kuat bahwa pelaksanaan konsultasi dalam rangka MAP
tidak akan menghasilkan keputusan yang tepat.
(2) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak dan Pejabat yang Berwenang dari Negara
Mitra P3B bersepakat untuk menghentikan pelaksanaan MAP, Direktur Peraturan
Perpajakan II menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak
terkait.

Pasal 18

Tata Cara Penanganan Permintaan MAP dari Negara Mitra P3B adalah sebagaimana
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 417

tercantum dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang merupakan
satu bagian yang tidak terpisahkan.

BAB IV
PELAKSANAAN MAP ATAS INISIATIF DIREKTUR JENDERAL PAJAK

Pasal 19

Direktur Jenderal Pajak dapat mengajukan permintaan untuk melaksanakan MAP


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d tanpa berdasarkan permintaan dari
Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau dari Negara Mitra P3B, untuk:
a. meninjau ulang (me-review) Persetujuan Bersama yang telah disepakati
sebelumnya karena terdapat indikasi ketidakbenaran informasi atau dokumen
yang diajukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia maupun Negara Mitra
P3B;
b. meminta dilakukan Corresponding Adjustments atas koreksi Transfer Pricing
yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia sehubungan dengan transaksi hubungan istimewa dengan Wajib Pajak
Dalam Negeri Negara Mitra P3B;
c. membuat penafsiran atas suatu ketentuan tertentu dalam P3B yang diperlukan
dalam pelaksanaan P3B yang bersangkutan; atau
d. melaksanakan hal-hal lain yang diperlukan dalam rangka melaksanakan ketentuan
P3B.

Pasal 20

Direktur Peraturan Perpajakan II dapat meminta dokumen dan/atau informasi


tambahan yang terkait dengan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, dari
Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat
Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia tersebut terdaftar.

Pasal 21

(1) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak mengajukan permintaan untuk melaksanakan
MAP kepada Negara Mitra P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 yang
berkaitan dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia, Direktur Peraturan
Perpajakan II memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia yang terkait mengenai :
a. tanggal pengajuan permintaan untuk melaksanakan MAP;
b. nama Negara Mitra P3B yang terkait;
c. pokok-pokok yang diajukan dalam surat permintaan MAP;
418 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

d. argumentasi pengajuan permintaan MAP; dan


e. informasi lain yang diperlukan.
(2) Dalam hal dipandang perlu, Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan
pertemuan konsultasi dengan Pejabat yang Berwenang dari Negara Mitra P3B
untuk menindaklanjuti MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
(3) Dalam hal tercapai Persetujuan Bersama dengan Negara Mitra P3B yang
berkaitan dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia, Direktur Peraturan
Perpajakan II menyampaikan Persetujuan Bersama secara tertulis kepada Wajib
Pajak Dalam Negeri Indonesia terkait.
(4) Dalam hal pelaksanaan MAP yang berkaitan dengan Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia dihentikan tanpa menghasilkan Persetujuan Bersama dengan Negara
Mitra P3B, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan pemberitahuan
penghentian MAP kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia terkait.

Pasal 22

Tata Cara Pelaksanaan MAP atas Inisiatif Direktur Jenderal Pajak adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang merupakan
satu bagian yang tidak terpisahkan.

BAB V
PELAKSANAAN KONSULTASI DALAM RANGKA MAP

Pasal 23

(1) Pelaksanaan pertemuan konsultasi dalam rangka MAP sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), dan Pasal 21 ayat (2) dilakukan oleh
Direktorat Peraturan Perpajakan II atau oleh Tim Pelaksana/Delegasi Perunding
yang dibentuk oleh Direktur Jenderal Pajak dengan mempertimbangkan
masukan dari Direktur Peraturan Perpajakan II.
(2) Direktur Peraturan Perpajakan II memberi masukan kepada Direktur Jenderal
Pajak mengenai direktorat, unit pelaksana teknis, dan/atau unit vertikal di
lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang terkait dengan permasalahan
yang akan dibahas dalam pelaksanaan MAP untuk menjadi bagian dari Tim
Pelaksana/Delegasi Perunding.
(3) Direktorat Peraturan Perpajakan II atau Tim Pelaksana/Delegasi Perunding
menyiapkan posisi Direktorat Jenderal Pajak dalam pelaksanaan MAP dan
melaksanakan MAP sesuai dengan posisi yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.

Pasal 24

(4) Dalam hal permintaan untuk melaksanakan MAP terkait dengan koreksi Transfer
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 419

Pricing, Direktur Jenderal Pajak dapat membentuk Tim Khusus yang mempunyai
tugas menyiapkan posisi (position paper) Direktorat Jenderal Pajak, melakukan
koordinasi serta supervisi atas unit-unit yang terkait dengan permintaan untuk
melaksanakan MAP yang terkait dengan koreksi Transfer Pricing, dan menjadi
anggota delegasi perunding dalam pelaksanaan pertemuan konsultasi dalam
rangka MAP.
(5) Tim Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari perwakilan
Direktorat Peraturan Perpajakan II, Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, dan
unit pelaksana pemeriksaan yang terkait dengan koreksi Transfer Pricing yang
akan dibahas dalam pelaksanaan pertemuan konsultasi dalam rangka MAP.
(6) Tim Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meminta data, informasi
atau dokumen yang diperlukan terkait dengan koreksi Transfer Pricing kepada
Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang terkait dengan permintaan untuk
melaksanakan MAP.
(7) Dalam hal Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia tidak memenuhi seluruh
permintaan data, informasi atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), Direktur Jenderal Pajak dapat menghentikan pelaksanaan MAP tersebut.

Pasal 25

Direktur Jenderal Pajak mengembalikan dokumen Wajib Pajak yang disampaikan


dalam rangka pelaksanaan MAP dalam hal :
a. pelaksanaan MAP batal untuk dilaksanakan atau dihentikan; atau
b. telah dicapai Persetujuan Bersama dengan Negara Mitra P3B.

Pasal 26

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 3 November 2010
Direktur Jenderal,

ttd.

Mochamad Tjiptardjo
NIP 195104281975121002
420 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 69/PJ/2010

TENTANG

KESEPAKATAN HARGA TRANSFER (ADVANCE PRICING AGREEMENT)

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang


Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Kesepakatan Harga Transfer (Advance
Pricing Agreement);

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata


Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262), sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG KESEPAKATAN HARGA


TRANSFER (ADVANCE PRICING AGREEMENT).

BAB I
KETENTUAN UMUM
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 421

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:


1. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang
PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
36 tahun 2008.
2. Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) adalah perjanjian
antara Direktorat Jenderal Pajak dan Wajib Pajak dan/atau otoritas pajak negara
lain untuk menyepakati kriteria-kriteria dan/atau menentukan Harga Wajar atau
Laba Wajar dimuka para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
3. Kriteria-kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2), termasuk diantaranya
penentuan metode transfer pricing dan faktor-faktor yang digunakan dalam
analisis asumsi kritikal (critical assumptions).
4. Yang dimaksud dengan Harga Wajar atau Laba Wajar adalah harga atau laba
yang terjadi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi yang sebanding, atau harga atau
laba yang ditentukan sebagai harga atau laba yang memenuhi Prinsip Kewajaran
dan Kelaziman Usaha.
5. Hubungan Istimewa adalah hubungan antara Wajib Pajak dengan pihak yang
mempunyai hubungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-
Undang PPh atau Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang PPN.
6. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (arm’s length principle/ALP) merupakan
prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding
dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau
laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau
laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding.
7. Penentu Harga Transfer (transfer pricing) adalah penentuan harga dalam
transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
8. Analisa Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak
atau Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan
antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk
diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-
pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dan melakukan identifikasi
atas perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud.
422 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

BAB II
TUJUAN DAN RUANG LINGKUP

Pasal 2

(1) Tujuan Kesepakatan Harga Transfer adalah untuk memberikan sarana kepada
Wajib Pajak guna menyelesaikan permasalahan transfer pricing.
(2) Kesepakatan Harga Transfer mencakup perjanjian tertulis antara Wajib Pajak
dan Direktur Jenderal atau antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas
pajak Negara lain yang melibatkan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang PPh.
(3) Ruang lingkup Kesepakatan Harga Transfer meliputi seluruh atau sebagian
transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa.
BAB III
TAHAPAN KESEPAKATAN HARGA TRANSFER

Pasal 3

(1) Tahapan-tahapan yang harus ditempuh dalam pembentukan Kesepakatan


Harga Transfer adalah:
a. pembicaraan awal (pre-lodgement meeting) antara Direktur Jenderal Pajak
dan Wajib Pajak yang bertujuan antara lain untuk:
1) membahas perlu atau tidaknya diadakan Kesepakatan Harga Transfer;
2) memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk menjelaskan
penentuan metode Penentuan harga Transfer yang diusulkannya;
3) membahas kemungkinan pembentukan Kesepakatan Harga Transfer
yang melibatkan otoritas pajak negara lain;
4) membahas dokumentasi dan analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak;
5) menyepakati rencana waktu pelaksanaan pembentukan Kesepakatan
harga Transfer; dan
6) membahas hal-hal lain yang relevan dengan pembentukan dan
penerapan Kesepakatan Harga Transfer.
b. penyampaian permohonan formal Kesepakatan Harga Transfer oleh Wajib
Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil pembicaraan awal
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. pembahasan Kesepakatan Harga Transfer antara Direktur Jenderal Pajak
dan Wajib Pajak;
d. penerbitan surat Kesepakatan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak;
dan
e. pelaksanaan dan evaluasi Kesepakatan Harga Transfer.
(2) Wajib Pajak dapat mengajukan penghentian pelaksanaan pembicaraan awal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau menarik permohonan
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 423

formal Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b sebelum surat Kesepakatan Harga Transfer diterbitkan dengan menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak beserta alasan-
alasannya.
BAB IV
PEMBICARAAN AWAL

Pasal 4

(1) Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal
Pajak melalui Direktur Peraturan Perpajakan II dengan tembusan kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak domisili untuk melakukan pembicaraan awal
sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dengan menggunakan
Formulir APA-1 sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini yang dilengkapi dengan dokumen pendukung.
(2) Yang dimaksud dengan Kantor Pelayanan Pajak Domisili adalah Kantor
Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau domisili
Wajib Pajak orang pribadi terdaftar atau tempat kedudukan Wajib Pajak badan
terdaftar.
(3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
akta pendirian dan perubahan Wajib Pajak, atau sejenisnya;
a. penjelasan rinci mengenai kegiatan dan usaha Wajib Pajak;
b. struktur perusahaan yang meliputi antara lain struktur kelompok usaha,
struktur kepemilikan dan struktur organisasi;
c. penjelasan rinci mengenai pemegang saham dan penjelasan rinci mengenai
transaksi yang dilakukan oleh pemegang saham dengan Wajib Pajak;
d. penjelasan rinci mengenai pihak-pihak lainnya yang mempunyai Hubungan
Istimewa dengan Wajib Pajak dan penjelasan rinci mengenai transaksi
yang dilakukan pihak-pihak lain tersebut dengan Wajib Pajak;
e. transaksi yang diusulkan untuk dibahas dan dicakup dalam Kesepakatan
Harga Transfer dan penjelasan rinci mengenai transaksi tersebut;
f. metode Penentuan Harga Transfer yang diusulkan oleh Wajib Pajak
dan dokumentasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak mengenai Analisis
Kesebandingan, analisis fungsional, pemilihan dan penentuan pembanding,
dan penentuan metode Harga Transfer;
g. penjelasan rinci mengenai situasi atau keadaan dalam kegiatan atau usaha
Wajib Pajak yang perubahannya dapat mempengaruhi secara material
kesesuaian metode Penentuan Harga Transfer Wajib Pajak;
h. penjelasan rinci mengenai sistem akuntansi, proses produksi, dan proses
pembuatan keputusan;
i. penjelasan rinci mengenai pihak lain yang menjadi pesaing yang
mempunyai jenis kegiatan atau usaha atau produk yang sama atau sejenis
dengan Wajib Pajak, termasuk penjelasan mengenai karakteristik dan
424 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

pangsa pasar pesaing;


j. fotokopi Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dan Laporan
Keuangan Wajib Pajak yang telah diaudit Akuntan Publik selama 3 (tiga)
tahun terakhir;
k. dokumen lain yang dianggap oleh Wajib Pajak relevan untuk disampaikan.

Pasal 5

Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP


dalam hal permohonan ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak.

Pasal 6

(1) Atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1),
Direktur Jenderal Pajak melakukan evaluasi dan menentukan jadwal untuk
pembicaraan awal dengan Wajib Pajak.
(2) Pembicaraan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan lebih
dari satu kali.
(3) Direktur Jenderal Pajak dapat meminta keterangan kepada Wajib Pajak dan/
atau melakukan peninjauan ke tempat kegiatan usaha Wajib Pajak untuk
melengkapi data atau informasi yang diperlukan.

Pasal 7

Pelaksanaan pembicaraan awal tidak mengikat Direktur Jenderal Pajak atau Wajib
Pajak untuk membuat Kesepakatan Harga Transfer.

Pasal 8

(1) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak diterimanya permohonan
Wajib Pajak secara lengkap, Direktur Jenderal Pajak memberitahukan secara
tertulis kepada Wajib Pajak tentang persetujuan atau penolakan untuk
membahas lebih lanjut tentang Kesepakatan Harga Transfer.
(2) Dengan diterbitkannya penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Wajib Pajak tidak dapat meminta untuk meneruskan pembahasan
ke tahap selanjutnya.
(3) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan baru sebagaimana dimaksud
dalam pasal 4 atas permohonan yang telah diterbitkan penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).

BAB V
PENYAMPAIAN PERMOHONAN FORMAL
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 425

Pasal 9

(1) Berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 8, Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan formal untuk
membentuk Kesepakatan Harga Transfer kepada Direktur Jenderal Pajak
melalui Direktur Peraturan Perpajakan II.
(2) Permohonan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan
menggunakan Formulir APA-2 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang harus dilengkapi dengan dokumen
pendukung.
(3) Dokumen-dokumen serta penjelasan yang diperlukan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) meliputi:
a. penjelasan mengenai ikhtisar hasil pembicaraan awal yang telah dilakukan
sebelumnya antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak;
b. penjelasan rinci mengenai metode Penentuan Harga Transfer yang
diusulkan oleh Wajib Pajak, termasuk dokumentasi yang telah dilakukan
oleh Wajib Pajak;
c. penjelasan rinci mengenai kondisi yang membentuk metode Penentuan
Harga Transfer;
d. penjelasan rinci dan dokumentasi yang menunjukkan bahwa penerapan
metode Penentuan Harga Transfer yang diusulkan oleh Wajib Pajak
memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha; dan
e. penjelasan rinci mengenai analisis asumsi kritikal (critical assumptions).
(4) Yang dimaksud dengan asumsi kritikal sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf e antara lain :
a. perubahan ketentuan perundang-undangan perpajakan dan aturan
pelaksanaannya;
b. perubahan tarif dan bea masuk;
c. perubahan ketentuan perundang-undangan di bidang usaha yang terkait;
d. peristiwa di luar kekuasaan dan kendali manusia/perusahaan (force
majeur);
e. munculnya pesaing baru yang mempengaruhi struktur harga pasar secara
signifikan;
f. keluarnya kebijakan pemerintah yang dapat mempengaruhi kegiatan Wajib
Pajak;
g. perubahan kondisi ekonomi yang dapat mempengaruhi volume penjualan,
unit produksi, atau pangsa pasar secara signifikan;
h. perubahan kegiatan usaha Wajib Pajak, seperti restrukturisasi perusahaan;
atau
i. perubahan nilai tukar mata uang yang signifikan.
426 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

BAB VI
PEMBAHASAN KESEPAKATAN HARGA TRANSFER

Pasal 10

(1) Berdasarkan permohonan formal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 9 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak melakukan pembahasan Kesepakatan
Harga Transfer pada waktu yang telah disepakati bersama antara Direktur
Jenderal Pajak dan Wajib Pajak.
(2) Pembahasan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi antara lain:
a. ruang lingkup transaksi dan Tahun Pajak yang akan dicakup oleh
Kesepakatan Harga Transfer;
b. Analisis Kesebandingan, pemilihan dan penentuan data pembanding;
c. penentuan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
d. kondisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan metode
Penentuan Harga Transfer; dan
e. perlu atau tidaknya diadakan Kesepakatan Harga Transfer dengan negara/
jurisdiksi lain.
(3) Direktur Jenderal Pajak dapat meminta Wajib Pajak untuk memberikan data dan
informasi lain yang diperlukan selama pelaksanaan pembahasan Kesepakatan
Harga Transfer.

Pasal 11

(1) Dalam hal Wajib Pajak menganggap bahwa Kesepakatan Harga Transfer
dapat menyebabkan terjadinya pengenaan pajak berganda, Wajib Pajak
dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal
Pajak untuk mengadakan Prosedur Persetujuan Bersama (MutuaI Agreement
Procedure/MAP) dengan otoritas pajak dari negara/jurisdiksi mitra Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda.
(2) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pembahasan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) tetap dilanjutkan.
(3) Penyampaian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilakukan berdasarkan PER-48/PJ/2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) Berdasarkan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.

Pasal 12

(1) Kesepakatan Harga Transfer dapat diberlakukan untuk jangka waktu paling
lama 3 (tiga) Tahun Pajak yang dihitung sejak Tahun Pajak saat Kesepakatan
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 427

Harga Transfer disepakati.


(2) Kesepakatan Harga Transfer dapat diberlakukan untuk Tahun Pajak sebelum
Kesepakatan Harga Transfer disepakati sepanjang Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak dimaksud:
a. belum pernah dilakukan pemeriksaan;
b. belum pernah diajukan Keberatan atau Banding oleh Wajib Pajak; dan
c. tidak terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan.
(3) Kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak mengenai Tahun Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus dituangkan secara
jelas dan tegas di dalam Kesepakatan Harga Transfer.

BAB VII
NASKAH KESEPAKATAN HARGA TRANSFER

Pasal 13

(1) Berdasarkan kesepakatan yang dicapai dalam pembahasan Kesepakatan Harga


Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Direktur Jenderal Pajak dan
Wajib Pajak menyusun naskah Kesepakatan Harga Transfer.
(2) Naskah Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat sekurang-kurangnya:
a. nama, NPWP, serta alamat perusahaan yang mempunyai Hubungan
Istimewa dengan Wajib Pajak yang terkait dengan Kesepakatan Harga
Transfer;
b. ruang lingkup transaksi yang dicakup;
c. Tahun Pajak yang dicakup;
d. ketentuan umum yang digunakan dalam Kesepakatan Harga transfer;
e. metode Penentuan Harga Transfer yang disepakati;
f. faktor-faktor yang mempengaruhi asumsi kritikal (critical assumptions)
penerapan metode Penentuan Harga Transfer;
g. Harga Wajar atau Laba Wajar, atau Rentang Harga Wajar atau rentang
Laba Wajar untuk setiap jenis barang/jasa atau transaksi yang dicakup;
h. kewajiban yang harus dilaksanakan dalam penerapan Kesepakatan Harga
Transfer dan kewajiban pelaporan;
i. konsekuensi hukum;
j. kerahasiaan informasi;
k. peninjauan kembali dan pembatasan; dan
l. mekanisme penyelesaian masalah yang timbul dalam penerapan;
(3) Naskah Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dibuat dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari kerja setelah pembahasan
Kesepakatan Harga Transfer diselesaikan dan ditandatangani oleh Direktur
Jenderal Pajak dan Wajib Pajak.
428 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

BAB VIII
PELAKSANAAN DAN EVALUASI KESEPAKATAN HARGA TRANSFER

Pasal 14

Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)


mengikat Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak.

Pasal 15

(1) Transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa yang telah mengikuti atau memenuhi kriteria-kriteria yang
telah disepakati dalam Kesepakatan Harga Wajar antara Direktur Jenderal Pajak
dan Wajib Pajak, dianggap telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman
Usaha.
(2) Dalam hal Kesepakatan Harga Transfer akan diberlakukan untuk Tahun Pajak
sebelum disepakatinya Kesepakatan Harga Transfer dan Surat Pemberitahuan
yang dilaporkan oleh Wajib Pajak untuk Tahun Pajak dimaksud belum
mencerminkan hasil Kesepakatan Harga Transfer, Wajib Pajak dapat melakukan
penyesuaian (compensating adjustment) dengan membetulkan Surat
Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku.
(3) Dalam hal penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyebabkan
Surat Pemberitahuan menjadi lebih bayar, maka Direktur Jenderal Pajak
berwenang melakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku.
(4) Dalam hal penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyebabkan
Surat Pemberitahuan menjadi kurang bayar, sanksi administrasi dikenakan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku atas
kekurangan pembayaran pajak dimaksud.

Pasal 16

(1) Wajib Pajak wajib menyampaikan laporan tahunan (annual compliance report)
yang menggambarkan kesesuaian pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer
dalam kegiatan atau usaha Wajib Pajak kepada Kepala KPP Domisili paling
lambat 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat:
a. kepatuhan Wajib Pajak menerapkan metode Penentuan Harga Transfer
dalam transaksi yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer;
b. penjelasan rinci mengenai keakuratan dan konsistensi penerapan metode
Penentuan Harga Transfer; dan
Lampiran Peraturan Terkait Perpajakan Internasional 429

c. penjelasan rinci mengenai keakuratan faktor-faktor yang mempengaruhi


(critical assumptions) penerapan metode Penentuan Harga Transfer.

Pasal 17

(1) Direktur Jenderal Pajak melakukan evaluasi atas penerapan Kesepakatan


Harga Transfer oleh Wajib Pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat meninjau kembali atau membatalkan Kesepakatan
Harga Transfer dalam hal:
a. Wajib Pajak tidak mematuhi Kesepakatan Harga Transfer;
b. Wajib Pajak menyampaikan data/informasi yang tidak benar kepada
Direktur Jenderal Pajak;
c. Wajib Pajak tidak menyampaikan laporan tahunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) atau menyampaikan laporan tahunan namun tidak
memenuhi ketentuan dalam Pasal 16 ayat (2);
d. terdapat perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi (critical assumptions)
penerapan metode Penentuan Harga Transfer; atau
e. ditemukan fakta bahwa Kesepakatan Harga Transfer memuat kesalahan;
f. Wajib Pajak telah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
(3) Kondisi yang menyebabkan Direktur Jenderal Pajak dapat meninjau atau
membatalkan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) atau kondisi lainnya harus dicantumkan dalam Kesepakatan Harga Transfer.
(4) Dalam hal terjadi pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Direktur
Jenderal Pajak akan memberitahukan pembatalan dimaksud kepada Wajib
Pajak secara tertulis.

Pasal 18

(1) Kesepakatan Harga Transfer tidak menghalangi Direktur Jenderal Pajak


melaksanakan pemeriksaan pajak sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku.
(2) Dalam hal Kesepakatan Harga Transfer diberlakukan untuk transaksi antara
Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa di dalam
negeri (domestic transfer pricing), maka penyesuaian (secondary adjustment)
pada Wajib Pajak dalam negeri lainnya dapat dilakukan dengan persetujuan
Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 19

(1) Buku, catatan, dokumen, atau informasi yang disampaikan oleh Wajib Pajak
dalam pembentukan Kesepakatan Harga Transfer merupakan kerahasiaan
Wajib Pajak yang tidak dapat diungkapkan kepada pihak lain sebagaimana
430 Perpajakan Internasional: Resume dan Kumpulan Pertanyaan

dimaksud dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang


Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
(2) Dalam hal proses pembentukan Kesepakatan Harga Transfer tidak mencapai
kesepakatan atau Kesekapatan Harga Transfer yang telah disepakati dibatalkan,
buku, catatan, dokumen, atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikembalikan kepada Wajib Pajak dan tidak digunakan sebagai dasar untuk
melakukan pemeriksaan atau penyidikan pajak.

BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 20

Pembentukan Kesepakatan Harga Transfer dilaksanakan oleh Tim yang dibentuk


berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 21

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Desember 2010
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd.

MOCHAMAD TJIPTARDJO
NIP 195104281975121002
Tim penyusun

PERPAJAKAN INTERNASIONAL
RESUME DAN KUMPULAN PERTANYAAN

Jakarta - 2014

Pengarah:
Poltak Maruli John Liberty Hutagaol

Editor:
Leli Listianawati

Koordinator:
M. Taufiq Hidayatullah Al Mahdy
Joko Galungan
Abdul Gafur

Tim Penyusun:
Gerrits P. Tampubolon
Oktana Wahyu Perdana
Mampe Tua Hasiholan S.
Firman Ibrahim
Normanthias
Indra K. Ariyadi
Andi Setya Purnomo
Huger Dhanu Anggoro
Ibnu Wijaya
Anung Andang Wiratama
Seluruh Rekan di
SUBDIT PERJANJIAN DAN KERJASAMA
PERPAJAKAN INTERNASIONAL (PKPI)
PERPAJAKAN INTERNASIONAL
RESUME DAN KUMPULAN PERTANYAAN

B
uku ini membahas ketentuan perpajakan atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh dari transaksi antar negara
sebagaimana diatur dalam perjanjian-perjanjian bilateral
yang dibuat oleh Indonesia dengan negara-negara lain tentang
penghindaran pajak berganda, pencegahan pengelakan pajak,
kerjasama pertukaran informasi (Exchange of Information), dan
dispute settlement. Materi yang dibahas adalah resume singkat
tentang subjek dan non-subjek pajak, objek pajak, Perjanjian
Penghindaran Pengenaan Pajak Berganda (P3B/tax treaty),
Exchange of Information, anti tax avoidance (Controlled Foreign
Company, Special Purpose Company, dan Transfer Pricing),
dispute settlement (Mutual Agreement Procedure dan Advance
Pricing Agreement), serta perjanjian multilateral lainnya (TIEA &
MAC). Selain itu, buku ini juga memuat kumpulan pertanyaan
terkait Perpajakan Internasional serta lampiran yaitu:
1. Narasi statistik dan tabel aspek yang dibahas dalam P3B/
tax treaty:
• Bentuk usaha tetap (BUT)/Permanent Establishment;
• Time Test BUT, pekerjaan bebas dan hubungan kerja;
• Tarif dividen, bunga, royalti, branch profit tax, dan
jasa teknik;
• hak pemajakan penghasilan atas kegiatan usaha,
penerbangan & pelayaran Internasional, pengalihan
harta bergerak & tidak bergerak, imbalan direktur,
siswa, guru & peneliti, pensiun & remunerasi
pemerintahan, seniman & olahragawan, dan
penghasilan lainnya.
2. Format permohonan Exchange of Information, Form DGT
1 & 2, formulir Surat Keterangan Domisili; dan
3. Peraturan terkait perpajakan internasional.

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK


DIREKTORAT PERATURAN PERPAJAKAN II
Jl. Jend. Gatot Subroto No. 40-42, Jakarta 12190
021-5250208, 5251609 ext. 51141

Anda mungkin juga menyukai