Anda di halaman 1dari 6

Nana Wulan Sari

NIM: 0503100442-41
Teknik kimia /1a

Ipal Tangki AG, Solusi Atasi Limbah Domestik

BILA kita rajin menelusuri sungai atau parit kecil yang membelah
perumahan di kota-kota besar, seperti Kota Bandung, pemandangan
yang langsung kita lihat adalah: Di pinggir sungai bersembulan pipa
saluran pembuangan limbah rumah tangga. Air yang keluar dari pipa
itu kotor, berbusa dan terkadang hitam pekat. Bukan hanya itu, sungai
pun tak jarang ditempatkan sebagai septiktank, untuk pembuangan
kotoran manusia. Biasanya pipa pembuangannya ditanam agak ke
dalam sungai, tempatnya tersembunyi, setidaknya tidak begitu
kelihatan secara mencolok. Hanya aromanya yang tak sedap yang
muncul di sekitar situ.

INSTALASI pengolahan limbah (Ipal) cair


rumah tangga sistem tangki AG yang dibangun
di Kelurahan Batununggal, Kecamatan
Bandung Kidul, Kotamadya Bandung, terletak
di pinggir Sungai Cikapundung. NANANG
S./Galura

"Begitulah, keadaan sungai di kita dianggap tidak lebih dari tempat


pembuangan berbagai limbah dan kotoran," ujar Agus Gunarto,
pemerhati dan penggiat lingkungan hidup yang tinggal di Malang,
Jawa Timur. Akibatnya sungai menjadi tercemar, kotor, dan bila
musim kemaru menjadi sarang penyakit.

Pemerhati dan pencinta lingkungan hidup sudah lama tergugah untuk


memperbaiki kualitas sungai. Berbagai upaya dilakukan, misalnya
dengan mendirikan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
bergerak dalam advokasi mengenai pencemaran sungai. Sasarannya
adalah pemerintah, masyarakat, dan industriawan.

"Tetapi usaha-usaha tersebut belum menyentuh persoalan utama yang


dihadapi masyarakat," ujar Agus. Persoalan utama yang dimaksud
adalah tidak tersedianya tempat pembuangan limbah yang bisa
dipakai secara kolektif. "Ada memang instalasi pengolahan limbah
yang biasa dimiliki perorangan, tapi harganya mahal," kata Agus.

Menurut Agus, pencemaran sungai merupakan cermin


ketidakberdayaan kita dalam mengatasi permasalahan semakin
meningkatnya limbah akibat pertambahan penduduk di daerah urban
(perkotaan). "Lalu, kenapa tidak kita coba membuat sistem
pengolahan limbah yang praktis, efesien dan murah?" ujarnya.

Berangkat dari situ alumni Fakultas Ekonomi Universitas Merdeka


Malang (1983) ini dengan biaya sendiri mulai tahun 1985 sampai
tahun 1986 mengadakan penelitian dan percobaan untuk mengatasi
permasalahan pencemaran sungai yang disebabkan oleh limbah,
terutama limbah cair domestik (rumah tangga).

"Terus terang saya merasa sedih melihat keadaan sungai di kota-kota


besar, termasuk di Malang," ujar Agus. Sungai di Malang, selain
penuh sampah, jika pagi hari juga penuh kotoran manusia. "Keadaan
ini tidak bisa dibiarkan, harus ditanggulangi," kata Agus yang harus
mengeluarkan biaya sendiri untuk percobaannya ini.

Awal tahun 1987 hasil inovasinya direalisasikan di tempat tinggalnya,


Tlogomas, Malang. Untuk biaya pembangunannya, Agus melalui
musyawarah menarik iuran dari masyarakat. "Mendengar penjelasan
saya mengenai instalasi pengolahan air limbah (Ipal) cair yang akan
saya buat, warga tertarik dan mau mengeluarkan dana," ujarnya.

Waktu itu Agus memerlukan biaya sebesar Rp 6,5 juta. "Dari sekira
100 kepala keluarga, semula ada 25 kepala keluarga yang tertarik,
masing-masing keluarga ditarik iuran Rp 35.000 dicicil selama 2
tahun," ujarnya. Karena melihat Ipal yang dibuatnya cukup berhasil,
ke-75 keluarga tadi kemudian ikut memanfaatkan Ipal tersebut.

Dengan IPAL buatannya, masyarakat, menurut Agus, tidak


dipusingkan lagi dengan pembuangan air dari kamar mandi, cucian,
dan WC. "Semuanya dibuang dalam satu pembuangan dan tidak
mengotori lingkungan," ujarnya. Oleh karena itu Ipal buatannya
sering disebut MCK (mandi, cuci, kakus) terpadu.

Masyarakat, kata Agus, tidak akan kesulitan membangun Ipalhasil


ciptaannya. "Sederhana, tidak rumit, tidak memerlukan mesin, dan
tidak memakai zat kimia, sehingga bisa dikerjakan oleh masyarakat
sendiri," ujarnya. Selain itu tidak memerlukan perawatan husus.
"Hanya perlu dijaga sampah jangan masuk ke Ipal," kata Agus.

Tangki AG, begitu nama yang diberikan masyarakat pada instalasi


pengolahan limbah rumah tangga yang ditemukan Agus Gunarto ini
(AG diambil dari nama Agus Gunarto) terdiri dari tangki beton, dan
enam bak penampungan. "Air bekas cucian, mandi dan pembuangan
dari WC bisa dibersihkan di instalasi ini," ujar Agus.

Tangki betonnya berdiameter 1,20 meter dan tingginya 2 meter. Di


dalamnya disekat menjadi dua bagian. Penyekatnya beton setebal 10
sentimeter yang berlubang-lubang. "Penyekat ini dimaksudkan untuk
menghancurkan kotoran yang dibawa limbah cair dari perumahan,
katakanlah sebagai saringan," ujar Agus.

Dari setiap rumah, limbah cair ini dialirkan melalui pipa berdiameter
3 inci, kemudian menyatu dan disalurkan ke dalam tangki AG dengan
menggunakan pipa berdiameter 4 inci. "Tangki ini mampu
menampung dan menyaring limbah cair, termasuk kotoran, dari 200
rumah," ujar Agus Gunarto.

Proses penyaringannya tidak memerlukan peralatan apa-apa, selain


balok beton dan balok saringan tadi. Juga tidak dengan digerakkan
atau memakai zat kimia. "Saya memanfaatkan gaya grafitasi," ujar
Agus. Penyaringan dan penghancuran kotoran ini memanfaatkan sifat
air yang mengalir deras kalau disalurkan dari atas ke bawah.

Karena itulah tangki AG harus dibangun lebih rendah dari


perumahan. Kemiringan pipa-pipa saluran pembuangan limbah,
termasuk pipa sentral minimal 30 derajat. "Pipa sentral ini masuk ke
dalam tangki dari sebelah atas supaya airnya jatuh ke atas balok
beton, sehingga kotorannya akan lumat dan masuk ke dalam
saringan," kata Agus.

Air limbah yang telah disaring dan kotorannya sudah dihancurkan ini
tidak langsung dibuang ke sungai, tapi diproses lagi di dalam kolam
penampungan yang berukuran panjang 10 meter, lebar 3, dan
dalamnya 1 meter. Dasarnya berplester semen, serta pinggirnya
ditembok beton supaya kuat dan tahan lama.

Kolam tersebut disekat-sekat menjadi 5 bak; tiga bak untuk


pengendapan, satu untuk penampungan limbah, dan satu lagi untuk
pemanfaatan air sebelum dibuang ke sungai. Bak untuk pengendapan
pertama, ukurannya lebih besar, dan untuk penampungan limbah
berukuran kecil, bak pengendapan kedua dan ketiga berukuran
sedang.

"Di bak pengendapan kedua dan ketiga ini setengahnya harus


ditanami eceng gondok," tutur Agus. Gunanya eceng gondok untuk
menetralisasi air limbah. "Sehingga air yang masuk ke bak
penampungan terakhir sudah benar-benar aman untuk dibuang ke
sungai. Paling tidak kandungan limbahnya dalam batas ambang
normal," ujar Agus.

Menurutnya, air dari hasil akhir instalasi pengelohan limbah cair


dengan memakai sistem Tangki AG yang ditampung di bak terakhir
sudah diuji oleh beberapa laboratorium dan perguruan tinggi. Hasil
penelitian Universitas Brawijaya, Malang, umpamanya, menunjukkan
air yang telah diolah tidak mengandung zat yang berbahaya.

"Di bak terakhir kita bisa memelihara ikan, terutama ikan lele.
Bahkan ikannya cepat gede," kata Agus. Karena itulah bak terakhir
dimaksudkan untuk pemanfaatan air hasil pengolahan Tangki AG.
"Jadi Tangki AG secara langsung dapat memberikan nilai ekonomis,
yakni memelihara ikan, minimal untuk konsumsi sendiri," ujar Agus.

Perlu dikuras bak pengendapannya? "Memang perlu dikuras. Tapi


dalam jangka waktu yang lama, enam atau sepuluh taun sekali," ujar
Agus yang sekarang bekerja di Unit Pelaksana Teknis Daerah
(UPTD) Pengolahan Sampah dan Air Limbah Dinas Kebersihan
Pemerintah Kotamadya (Pemkot) Malang.

Lumpur pada bak pengendapan, terutama pada bak pengendapan


pertama, menurut Agus, sangat bagus untuk pupuk. "Endapan ini di
antaranya sangat kaya bahan organik dan natrium, zat yang sangat
berguna untuk menyuburkan tanaman, demikian juga untuk
memelihara kesuburan tanah," ujarnya.

Karena hasilnya cukup memuaskan, instalasi pengolahan (Ipal)


limbah cair rumah tangga buah inovasi Agus ini, sekarang sudah
dipakai di beberapa daerah lainnya di Jawa Timur, Singosari,
Pasuruan, dan Bangil. Begitu juga di luar Pulau Jawa, umpamanya di
Sulawesi Tenggara. Di Malang sendiri telah dibangun 6 Ipal dengan
sistem AG. (Nanag S./Teti RK-"Galura")***

Anda mungkin juga menyukai