BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Luka kronis adalah luka yang berlangsung lama, sering timbul kembali
(rekuren) atau terjadi gangguan pada proses penyembuhan yang biasanya
disebabkan oleh masalah multi faktor dari penderita. 3 Ada yang mengatakan bila
luka tidak sembuh dalam waktu 3 bulan maka disebut luka kronik.4
Pada luka kronik, luka gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan,
tidak berespon baik terhadap terapi dan punya tendensi untuk timbul kembali.
Contohnya adalah ulkus tungkai, ulkus vena, ulkus arteri (iskemi), penyakit
vaskular perifer ulkus dekubitus, neuropati perifer ulkus dekubitus.3
A. Ulkus Dekubitus
1. Definisi
Ulkus dekubitus merupakan suatu luka di mana terjadi kerusakan
pada kulit akibat penekanan yang lama atau iritasi pada suatu lokasi yang
terdapat penonjolan tulang, yang menyebabkan aliran darah terhambat
sehingga dapat terjadi iskemia lokal dan nekrosis. Ulkus dekubitus berasal
dari bahasa latin “decumbere” yang berarti berbaring. Nama lain dari ulkus
dekubitus adalah bed ridden, bed rest injury, air-filled beds, air-filled sitting
device, low-airloss bed, low air-loss bed, air-fluidized bed, chronic
ulceration, pressure ulceration, dan decubitus ulceration. Ulkus dekubitus
atau luka baring adalah tipe luka tekan (Anders et al., 2010).
Bagian tubuh yang sering mengalami ulkus dekubitus adalah
bagian di mana terdapat penonjolan tulang, yaitu siku, tumit, pinggul,
pergelangan kaki, bahu, punggung, dan kepala bagian belakang. Ulkus
dekubitus terjadi jika tekanan yang terjadi pada bagian tubuh melebihi
kapasitas tekanan pengisian kapiler dan tidak ada usaha untuk mengurangi
atau memperbaikinya sehingga terjadi kerusakan jaringan yang menetap.
Bila tekanan yang terjadi kurang dari 32 mmHg atau ada usaha untuk
memperbaiki aliran darah ke daerah tersebut maka ulkus dekubitus dapat
dicegah (Wong et al., 2015).
4. Patofisologi
Ulkus dekubitus dapat terbentuk karena ada beberapa faktor yang
mempengaruhi. Mmekanisme terbentuknya ulkus dekubitus berdasarkan
faktor yang mempengaruhinya dapat dibagi menjadi patomekanikal dan
patofisiologi (Crowe dan Brockbank, 2009).
a. Patomekanikal
Patomekanikal merupakan faktor ekstrisik atau faktor primer
terbentuknya ulkus dekubitus. Patomekanikal ulkus dekubitus meliputi:
1) Tekanan yang Lama
Faktor yang paling penting dalam pembentukan ulkus
dekubitus adalah tekanan yang tidak terasa nyeri. Tekanan lama
yang melampaui tekanan kapiler jaringan pada jaringan yang
iskemik akan mengakibatkan terbentuknya ulkus dekubitus. Hal ini
karena tekanan yang lama akan mengurangi asupan oksigen dan
nutrisi pada jaringan tersebut sehingga akan menyebabkan iskemik
dan hipoksia kemudian menjadi nekrosis dan ulserasi.
Pada keadaan iskemik, sel-sel akan melepaskan substansia H
yang mirip dengan histamine. Adanya substansi H dan akumulasi
metabolit seperti kalium, adenosine diphosphat (ADP), hidrogen dan
asam laktat akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Reaksi
kompensasi sirkulasi akan tampak sebagai hiperemia dan reaksi
tersebut masih efektif bila tekanan dihilangkan sebelum periode
kritis terjadi yaitu 1-2 jam. Suatu penelitian histologis
memperlihatkan bahwa tanda-tanda kerusakan awal terjadi di dermis
antara lain berupa dilatasi kapiler dan vena serta edema dan
kerusakan sel-sel endotel. Selanjutnya akan terbentuk perivaskuler
infiltrat, agregat platelet yang kemudian berkembang menjadi
hemoragik perivaskuler. Hal yang menarik, pada tahap awal ini, di
epidermis tidak didapatkan tanda-tanda nekrosis oleh karena sel-sel
epidermis memiliki kemampuan untuk bertahan hidup pada keadaan
tanpa oksigen dalam jangka waktu yang cukup lama. Selain itu,
perubahan patologis oleh karena tekanan eksternal tersebut terjadi
lebih berat pada lapisan otot daripada pada lapisan kulit dan
subkutaneus.
Sumbatan total pada kapiler masih bersifat reversibel bila
kurang dari 2 jam. Seorang yang terpaksa berbaring berminggu-
minggu tidak akan mengalami ulkus dekubitus selama dapat
mengganti posisi beberapa kali perjamnya.
2) Tekanan antar Permukaan
Tekanan antarpermukaan adalah tekanan tegak lurus setiap
unit daerah antara tubuh dan permukaan sandaran. Tekanan
antarpermukaan dipengaruhi oleh kekakuan dan komposisi jaringan
tubuh, bentuk geometrik tubuh yang bersandar dan karakteristik
pasien. Tekanan antarpermukaan yang melebihi 32 mmHg akan
menyebabkan mudahnya penutupan kapiler dan iskemik.
Faktor yang juga berpengaruh terhadap tekanan
antarpermukaan adalah kolagen. Pada penderita sklerosis amiotropik
lateral risiko untuk terjadinya ulkus dekubitus berkurang karena
adanya penebalan kulit dan peningkatan kolagen dan densitasnya.
3) Luncuran
Luncuran merupakan tekanan mekanik yang langsung paralel
terhadap permukaan bidang. Luncuran mempunyai pengaruh
terhadap terbentuknya ulkus dekubitus terutama pada daerah sakrum.
Adanya gerakan anguler dan vertikal atau posisi setengah berbaring
akan mempengaruhi jaringan dan pembuluh darah daerah sacrum
sehingga berisiko untuk mengalami kerusakan. Penggunaan tempat
tidur yang miring seperti pada bedah kepala dan leher akan
meningkatkan tekanan luncuran sehingga memudahkan terjadinya
ulkus dekubitus.
4) Gesekan
Gesekan adalah gaya antar dua permukaan yang saling
berlawanan. Gesekan dapat menjadi faktor untuk terjadinya ulkus
dekubitus karena gesekan antar penderita dengan sandarannya akan
menyebabkan trauma makroskopis dan mikroskopis. Kelembaban,
maserasi dan kerusakan jaringan akan meningkatkan tekanan pada
kulit. Kelembaban yang terjadi akibat kehilangan cairan dan
inkontinensia alvi dan urin akan menyebabkan terjadinya maserasi
jaringan sehingga kulit cenderung lebih mudah menjadi rusak.
5) Immobilitas
Seorang penderita immobil pada tempat tidurnya secara pasif
dan berbaring di atas kasur busa maka tekanan daerah sakrum akan
mencapai 60-70 mmHg dan daerah tumit mencapai 30-45 mmHg.
Tekanan eksternal 40-60 mmHg pada posisi terlentang ini
merupakan tekanan yang paling berpotensi untuk terbentuk ulkus
pada daerah sacrum, maleolus lateralis dan oksiput. Sedangkan pada
pasien posisi telungkup, thoraks dan genu mudah terjadi ulkus pada
tekanan 50 mmHg. Pada pasien posisi duduk, mudah terjadi ulkus
bila tekanan berkisar 100 mmHg terutama pada tuberositas ischii.
Tekanan akan menimbulkan daerah iskemik dan bila berlanjut terjadi
nekrosis jaringan kulit.
Gambar 1. Patofisologi terbentuknya Ulkus Dekubitus (Anders et al., 2010)
Pada penderita dengan paralisis, kelaian neurologi, atau
dalam anestesi yang lama, syaraf aferen tidak mampu untuk
memberikan sistem balik sensoromotor. Akibatnya, tanda-tanda tidak
menyenangkan dari daerah yang tertekan tidak diterima, sehingga
tidak melakukan perubahan posisi.
Berbeda dengan orang tidur, untuk mengatasi tekanan yang
lama pada daerah tertentu secara otomatis akan terjadi perubahan
posisi tubuh setiap 15 menit. Gerakan perubahan posisi pada orang
tidur biasanya lebih dari 20 kali setiap malam. Bila kurang dari 20
kali, maka akan berisiko untuk terjadinya ulkus dekubitus (Kumar et
al., 2014).
b. Patofisiologi
Faktor patofisiologi merupakan faktor intrinsik atau sekunder
dalam terbentuknya ulkus dekubitus. Faktor intrinsik meliputi demam,
anemia, infeksi, iskemik, hipoksemia, hipotensi, malnutrisi, trauma
medula spinalis, penyakit neurologi, kurus, usia yang tua, dan
metabolisme yang tinggi (Ausili et al., 2013).
Selama penuaan, regenerasi sel pada kulit menjadi lebih lambat
sehingga kulit akan tipis. Kandungan kolagen pada kulit yang berubah
menyebabkan elastisitas kulit berkurang sehingga rentan mengalami
deformasi dan kerusakan. Kemampuan sistem kardiovaskuler yang
menurun dan sistem arteriovenosus yang kurang kompeten menyebabkan
penurunan perfusi kulit secara progresif. Sejumlah penyakit yang
menimbulkan ulkus dekubitus seperti DM yang menunjukkan insufisiensi
kardiovaskuler perifer dan penurunan fungsi kardiovaskuler seperti pada
sistem pernapasan menyebabkan tingkat oksigenisasi darah pada kulit
menurun. Gizi yang kurang dan anemia memperlambat proses
penyembuhan pada ulkus dekubitus (Rappl et al., 2009).
Hipoalbuminemia yang mempermudah terjadinya dekubitus dan
memperjelek penyembuhan dekubitus, sebaliknya bila ada dekubitus
akan menyebabkan kadar albumin darah menurun. Pada orang malnutrisi,
ulkus dekubitus lebih mudah terbentuk daripada orang normal. Oleh
karena itu, faktor nutrisi ini juga penting dalam patofisiologi
terbentuknya ulkus dekubitus (Rappl et al., 2009).
5. Gejala
Bagian tubuh yang paling sering terjadi ulkus dekubitus adalah
daerah tekanan dan penonjolan tulang. Bagian tubuh yang sering terkena
ulkus dekubitus adalah tuberositas ischi (30%), trochanter mayor (20%),
sacrum (15%), tumit (10%), lutut, maleolus, siku, jari kaki, scapulae dan
processus spinosus vertebrae. Tingginya frekuensi tersebut tergantung pada
posisi penderita (Dharmarajan et al., 2002).
Gejala klinik yang tampak oleh penderita, biasanya berupa kulit
yang kemerahan sampai terbentuknya suatu ulkus. Kerusakan yang terjadi
dapat meliputi epidermis, dermis, jaringan otot sampai tulang. Berdasarkan
gejala klinis, NPUAP mengklasifikasikan ulkus dekubitus menjadi empat
grade (Anders et al., 2010).
a. Grade 1
Ulserasi terbatas pada epidermis dan dermis dengan eritema pada
kulit. Penderita dengan sensibilitas baik akan mengeluh nyeri. Stadium
ini umumnya reversibel dan dapat sembuh dalam 5 - 10 hari.
b. Grade 2
Ulserasi mengenai epidermis, dermis dan meluas sampai ke
jaringan adiposa. Terlihat eritema dan indurasi. Stadium ini dapat sembuh
dalam 10 - 15 hari.
c. Grade 3
Ulserasi meluas sampai ke lapisan lemak subkutis, dan otot sudah
mulai terganggu dengan adanya edema, inflamasi, infeksi dan hilangnya
struktur fibril. Tepi ulkus tidak teratur dan terlihat hiperpigmentasi atau
hipopigmentasi dengan fibrosis. Kadang-kadang terdapat anemia dan
infeksi sistemik. Biasanya sembuh dalam 3-8 minggu.
d. Grade 4
Ulserasi dan nekrosis meluas mengenai fasia, otot, tulang serta
sendi. Dapat terjadi artritis septik atau osteomielitis dan sering disertai
anemia. Dapat sembuh dalam 3 - 6 bulan.
Berdasarkan waktu yang diperlukan untuk penyembuhan dari suatu
ulkus dekubitus dan perbedaan temperatur dari ulkus dengan kulit
sekitarnya, dekubitus dapat dibagi menjadi tiga:
a. Tipe normal
Mempunyai beda temperatur sampai di bawah lebih kurang 2,5 oC
dibandingkan kulit sekitarnya dan akan sembuh dalam perawatan sekitar
6 minggu. Ulkus ini terjadi karena iskemia jaringan setempat akibat
tekanan, tetapi aliran darah dan pembuluh-pembuluh darah sebenarnya
baik.
b. Tipe arterioskelerosis
Mempunyai beda temperatur kurang dari 1oC antara daerah ulkus
dengan kulit sekitarnya. Keadaan ini menunjukkan gangguan aliran darah
akibat penyakit pada pembuluh darah (arterisklerotik) ikut perperan
untuk terjadinya dekubitus di samping faktor tekanan. Dengan
perawatan, ulkus ini diharapkan sembuh dalam 16 minggu.
c. Tipe terminal
Terjadi pada penderita yang akan meninggal dunia dan tidak akan
sembuh.
6. Diagnosis
Diagnosis ulkus dekubitus biasanya tidak sulit. Diagnosisnya dapat
ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja. Tetapi untuk
menegakkan diagnosis ulkus dekubitus diperlukan beberapa pemeriksaan
laboratorium dan penunjang lainnya (Bluestein et al., 2008).
Beberapa pemeriksaan yang penting untuk membantu menegakkan
diagnosis dan penatalaksanaan ulkus dekubitus adalah sebagai berikut.
a. Kultur dan analisis urin
Kultur ini dibutuhkan pada keadaan inkontinensia untuk melihat
apakah ada masalah pada ginjal atau infeksi saluran kencing, terutama
pada trauma medula spinalis.
b. Kultur Tinja
Pemeriksaan ini perlu pada keadaan inkontinesia alvi untuk
melihat leukosit dan toksin Clostridium difficile ketika terjadi
pseudomembranous colitis.
c. Biopsi
Biopsi penting pada keadaan luka yang tidak mengalami
perbaikan dengan pengobatan yang intensif atau pada ulkus dekubitus
kronik untuk melihat apakah terjadi proses yang mengarah pada
keganasan. Selain itu, biopsi bertujuan untuk melihat jenis bakteri yang
menginfeksi ulkus dekubitus. Biopsi tulang perlu dilakukan bila terjadi
osteomyelitis.
d. Pemeriksaan Darah
Untuk melihat reaksi inflamasi yang terjadi perlu diperiksa sel
darah putih dan laju endap darah. Kultur darah dibutuhkan jika terjadi
bakteremia dan sepsis.
e. Keadaan Nutrisi
Pemeriksaan keadaan nutrisi pada penderita penting untuk proses
penyembuhan ulkus dekubitus. Hal yang perlu diperiksa adalah kadar
albumin, kadar transferrin, dan kadar protein serum.
f. Radiologis
Pemeriksaan radiologi untuk melihat adanya kerusakan tulang
akibat osteomyelitis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan sinar-X, scan
tulang atau MRI.
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ulkus dekubitus harus dilakukan dengan baik dan
terpadu, karena proses penyembuhannya yang membutuhkan waktu yang
lama. Agency for Health Care Policy and Research (AHCPR) telah
membuat standar baku dalam penatalaksanaan ulkus dekubitus. Pengobatan
harus diberikan dengan segera ketika ulkus dekubitus mulai terbentuk.
Pengobatan yang diberikan dapat berupa tempat tidur yang termodifikasi
baik untuk penderita ulkus dekubitus, pemberian salep, krim, ointment,
solution, kassa, gelombang ultrasonik, atau lampu panas ultraviolet, gula,
dan tindakan pembedahan (Riordan et al., 2009).
Pemilihan terapi tergantung pada stadium ulkus dekubitus dan
tujuan pengobatan, seperti proteksi, pelembaban dan membuang jaringan
nekrosis. Hal yang harus diperhatikan dalam penatalaksanaan ulkus
dekubitus adalah sebagai berikut.
a. Perawatan luka harus dibedakan ke dalam metode operatif dan
nonoperatif.
b. Perawatan luka dengan metode nonoperatif dilakukan untuk ulkus
dekubitus grade 1 dan 2, sedangkan untuk grade 3 dan 4 harus
menggunakan metode operatif.
c. Sekitar 70-90% ulkus dekubitus adalah superfisial dan sembuh dengan
penyembuhan sekunder.
d. Mengurangi tekanan lebih lanjut pada daerah ulkus.
B. Ulkus Varikosum
1. Definisi
Ulkus varikosum adalah ulkus pada tungkai bawah yang
disebabkan oleh gangguan aliran darah vena. Dalam pengertian yang lain,
ulkus varikosum adalah ulkus yang disebabkan oleh meningginya tekanan
vena dan akibat kerusakan sistem mikro-valvulernya. Biasanya timbuk
oleh karena goresan kecil pada daerah 1/3 tungkai bawah yang mengalami
eksema dan udema akibat statis pembuluh darah balik yang disebabkan
oleh varises di daerah atasnya dan yang terletak di sekitar maleolus
(biasanya maleolus medialis) (Sularsito, 2007; Lin P, 2003).
2. Etiologi
Penyebab gangguan aliran darah balik pada tungkai bawah secara
garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu, berasal dari pembuluh darah
seperti trombosis atau kelainan katup vena dan yang berasal dari luar
pembuluh darah seperti bendungan di daerah proksimal tungkai bawah
oleh karena tumor di abdomen, kehamilan atau pekerjaan yang dilakukan
dengan banyak berdiri (Lin P, 2003).
Bila terjadi bendungan di daerah proksimal atau terjadi kerusakan
katup vena tungkai bawah maka tekanan vena akan meningkat. Akibat
keadaan ini akan timbul edema yang dimulai dari sekitar pergelangan
kaki. Tekanan kapiler juga akan meningkat dan sel darah merah keluar ke
jaringan sehingga timbul perdarahan di kulit, yang semula terlihat sebagai
bintik-bintik merah lambat laun berubah menjadi hitam (James, 2000).
Vena superfisialis melebar dan memanjang berkelok-kelok seperti cacing
(varises). Keadaan ini akan lebih jelas terlihat ketika pasien berdiri. Bila
hal ini berlangsung lama, jaringan yang semula sembab akan digantikan
jaringan fibrotik, sehingga kulit teraba kaku atau mengeras. Hal ini akan
mengakibatkan jaringan mengalami gangguan suplai darah karena
iskemik, lambat laun terjadi nekrosis (South H, 2001).
3. Patofisiologi
Vaskularisasi tubuh merupakan sistem yang kompleks. Vena
umumnya membawa darah tanpa miskin oksigen menuju jantung dan
terletak lebih superficial dibanding arteri. Sebagian besar vena memiliki
katup satu arah yang mencegah terjadinya aliran berbalik arah dan
menumpuk di kaki. Katup-katup ini juga dapat mengalami kerusakan
sehingga menyebabkan aliran darah berbalik arah. Hal ini berakibat pada
peningkatan tekanan intravena sehingga dinding vena meregang,
membuka katup-katup, dan akan lebih banyak lagi darah yang mengisi
lumen pembuluh vena tersebut. Vena diklasifikasikan menjadi vena
superficial dan profunda. Vena superficial lebih dekat dengan jaringan
kulit dan tidak memiliki pasangan arteri.
1. Hipertensi vena
Trombosis vena profunda, isufisiensi vena, fistel arteri-vena
dapat menyebabkan peningkatan tekanan pada vena distal di kaki
dan pada akhirnya menyeabkan hipertensi vena.
2. Teori fibrin cuff
Fibrin yang berlebih akan terdeposit di sekitar capillary bed
sehingga menyebabkan peningkatan tekann intravascular. Ini akan
menyebabkan pembesaran lubang endotel sehinga makin
meningkatakna deposit fibrinogen di interstisiil. Adanya barier
permeabilitas ini akan menghambat difusi oksigen dan nutrisi
lainnya sehingga hipoksia jaringan dan muncul lesi luka.
3. Teori inflamasi
Berbagai macam sel anti inflmasi dan growth factors yang
terjebak dalam fibrin cuff akan menyebabkan inflamasi berat di
sekitar jaringan sehingga menghambat regerenerasi luka. Lekosit
terjebak dalam capillary bed, dan akan melepaskan enzim
proteolitik dan metabolit oksigen reaktif. Sumbatan leukosit juga
akan menyebabkan iskemik lokal sehingga makin menyebabka
hipoksia jaringan dan kerusakan dalam reperfusi.
4. Disregulasi sitokin
Disregulasi berbagai sitokin proinflamasi, berbagai growth
factor seperti TNF, dan matriks metalloprotease akan
menyebabkan ulkus kronik.
5. Lain-lain
Kondisi trombofilik seeperti mutasi faktor V Leiden, mutasi
protrombin, defisiensi anttrombin, adanya antibodi antifosfolipid,
defisiensi protein C dan Sdan hiperhomosisteinemia juga
berpengaruh.
5. Terapi
a. Manajemen konservatif
1) Terapi Kompresi
Terapi kompresi sudah menjadi standar tatalaksana ulkus vena.
Penelitian terbaru menunjukkan ulkus vena lebih mudah sembuh
dengan terapi kompresi dibandingkan dengan yang tidak. Terapi ini
dapat mengurangi edema dan nyeri, meningkatkan refluks vena dan
mempercepat penyembuhan luka. Setelah ulkus sembuh, perlu
dilakukan monitoring terapi kompresi untuk mencegah kekambuhan
luka. Adapun beberapa penyulit dilakukannya terapi ini di antaranya
nyeri, obesitas, dan dermatitis kontak. Kontraindikasinya yakni
penyakit arteri dan gagal jantung tak terkompensasi
2) Terapi Kompresi In-Elastis
Terapi ini akan menyebabkan tekanan tinggi ketika kontraksi
otot. Pada tahun 2009, cocharne menyebutkan bahwa penambahan
terapi kompresi elastik akan lebih bermanfaat dibanding terapi
kompresi in-elastic saja.
3) Terapi Kompresi Elastic
Terapi ini dilakukan dengan pembalutan elastic, walaupun
menghasilkan penekanan yang tidak begitu besar, yakni sekitar 20-
30 mmHg. Alat kompresinya lebih baik dilepas pada malam hari dan
setiap 6 bulan diganti karena sifat elastisitasnya telah berubah.
Dalam penelitian meta analisis terbaru, terapi kompresi elastic lebih
efektif dibanding dengan in-elastic.
4) Kompresi Pneumatic Intermitten
Manfaat metode ini dibanding dengan cara kompresi lain tidak
sepenuhnya dimengerti dan termasuk metode yang mahal serta perlu
untuk mengimobilisasi pasien.
5) Elevasi Kaki
Elevasi kaki merupakan bagian dari penanganan saat metode
kompresi. Cara ini bertujuan untuk mengurangi edema,
meningkatkan aliran darah dan penghantaran oksigen serta
mempercepat penyembuhan luka. Elevasi kaki paling efektif
dilakukan dalam 30 menit, tiga sampai empat kali perhari.
6) Dressing
Dressing bertujuan untuk menginisiasi penyembuhan secara
cepat dan mencegah adhesi balutan ke luka.
7) Terapi mekanik
Penutupan luka secara vacuum atau kedap udara dalam
tekanan negative telah menunjukkan perbaikan luka dengan gel
hidrokoloid. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan (Prakash S,
2013).
b. Medikamentosa
1) Pentoxifylline
Pentoxifylline merupakan penghambat agregasi platelet; dia
akan menurunkan viskositas darah dan meningkatkan mikrosirkulasi.
Dalam dosis 400 mg per hari, obat ini bisa menjadi adjuvant yang
tepat pada terapi kompresi.
2) Aspirin
Penambahan terapi aspirin pada terapi kompresi
direkomendasikan untuk ulkus vena selama tidak ada kontraindikasi
pada penggunaan aspirin. Hal ini juga mempercepat waktu
penyembuhan luka dan mengurangi ukuran ulkus, dibandingkan
dengan terapi kompresi saja.
3) Iloprost
Iloprost merupakan vasodilator yang menghambat agregasi
platelet. Ketika digunakan dengan terapi kompresi, secara signifikan
akan meningkatkan waktu penyembuhan luka. Namun belum banyak
data yang membahas mengenai hal ini.
4) Zinc oral
Belum ditemukan manfaat yang signifikan terkait penggunaan
tablet zinc pada ulkus vena.
5) Antibiotik/antiseptic
Ini penting untuk mencegah infeksi bakteri sekunder.
Walaupun demikian, penggunaan antibiotic secara rutin untuk ulkus
vena tidak dianjurkan (Prakash S, 2013).
c. Lain-lain
Selain itu, bisa juga dilakukan :
• Hyperbaric oxygen therapy
• Surgical management
• Debridement
• Skin grafting
• Surgery for venous insufficiency
• Prophylaxis for Deep Vein Thrombosis
(Collin, 2010; Etufugh, 2007)
Vulnus
A. Definisi Luka
Luka adalah terputusnya kontinuitas atau hubungan anatomis jaringan
sebagai akibat dari ruda paksa. Luka dapat merupakan luka yang sengaja
dibuat untuk tujuan tertentu, seperti luka insisi pada operasi atau luka akibat
trauma seperti luka akibat kecelakaan (Hunt,2003; Mann ,2001).
b. Luka kronis
Luka akut adalah luka yang berlangsung lama atau sering timbul
kembali (rekuren) atau terjadi gangguan pada proses penyembuhan
yang biasanya disebabkan oleh masalah multi faktor dari penderita.
Pada luka kronik luka gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan,
tidak berespon baik terhadap terapi dan punya tendensi untuk timbul
kembali. Contohnya adalah ulkus tungkai, ulkus vena, ulkus arteri
(iskemi), penyakit vaskular perifer ulkus dekubitus, neuropati perifer
ulkus dekubitus (Bryant, 2007).
c. Luka terkontaminasi
Luka terkontaminasi adalah luka yang berpotensi terinfeksi, dan
dapat ditemukan pada luka terbuka karena trauma atau kecelakaan
(luka laserasi), fraktur terbuka maupun luka penetrasi. Kemungkinan
infeksi luka 10% - 17%.
d. Luka kotor
Luka kotor adalah luka lama, luka kecelakaan yang
mengandung jaringan mati dan luka dengan tanda infeksi seperti
cairan purulen. Luka ini bisa sebagai akibat pembedahan yang sangat
terkontaminasi. Bentuk luka seperti perforasi visera, abses dan trauma
lama.
3. Berdasarkan penyebab
a. Vulnus ekskoriasi atau luka lecet/gores adalah cedera pada
permukaan epidermis akibat bersentuhan dengan benda berpermukaan
kasar atau runcing. Luka ini banyak dijumpai pada kejadian traumatik
seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh maupun benturan benda tajam
ataupun tumpul.
b. Vulnus scissum adalah luka sayat atau iris yang di tandai dengan
tepi luka berupa garis lurus dan beraturan. Vulnus scissum biasanya
dijumpai pada aktifitas sehari-hari seperti terkena pisau dapur, sayatan
benda tajam ( seng, kaca ), dimana bentuk luka teratur .
c. Vulnus laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang
tidak beraturan atau compang camping biasanya karena tarikan atau
goresan benda tumpul. Luka ini dapat kita jumpai pada kejadian
kecelakaan lalu lintas dimana bentuk luka tidak beraturan dan kotor,
kedalaman luka bisa menembus lapisan mukosa hingga lapisan otot.
d. Vulnus punctum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda
runcing yang biasanya kedalaman luka lebih dari pada lebarnya.
Misalnya tusukan pisau yang menembus lapisan otot, tusukan paku
dan benda-benda tajam lainnya. Kesemuanya menimbulkan efek
tusukan yang dalam dengan permukaan luka tidak begitu lebar.
e. Vulnus morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan
hewan memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan
yang menggigit. Dengan kedalaman luka juga menyesuaikan gigitan
hewan tersebut.
f. Vulnus combutio adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan
panas maupun sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki bentuk
luka yang tidak beraturan dengan permukaan luka yang lebar dan
warna kulit yang menghitam. Biasanya juga disertai bula karena
kerusakan epitel kulit dan mukosa.
C. Penyembuhan Luka
1. Tahapan penyembuhan luka
Tanpa memandang penyebab, tahapan penyembuhan luka terbagi atas :
1) Fase koagulasi : Koagulasi merupakan respon yang pertama terjadi
sesaat setelah luka terjadi dan melibatkan platelet. Pengeluaran platelet
akan menyebabkan vasokonstriksi. Proses ini bertujuan untuk
homeostatis sehingga mencegah perdarahan lebih lanjut. Proses ini
diikuti oleh proses selanjutnya yaitu fase inflamasi.
2) Fase inflamasi : Fase inflamasi mempunyai prioritas fungsional yaitu
menggalakkan hemostasis, menyingkirkan jaringan mati, dan
mencegah infeksi oleh bakteri patogen terutama bakteria. Pada fase ini
platelet yang membentuk klot hematom mengalami degranulasi,
melepaskan faktor pertumbuhan seperti platelet derived growth factor
(PDGF) dan transforming growth factor ß(βTGF), granulocyte colony
stimulating factor (G-CSF), C5a, TNFα, IL-1 dan IL-8. Fase inflamasi
memungkinkan pergerakan leukosit (utamanya neutrofil). Neutrofil
selanjutnya memfagosit dan membunuh bakteri dan masuk ke matriks
fibrin dalam persiapan pembentukan jaringan baru. Terjadi deposit
matriks fibrin yang mengawali proses penutupan luka. Proses ini
terjadi pada hari 2-4.
3) Fase proliperatif : Apabila tidak ada infeksi atau kontaminasi pada
fase inflamasi, maka proses penyembuhan selanjutnya memasuki
tahapan Proliferasi atau rekonstruksi. Fase proliperatif terjadi dari hari
ke 4-21 setelah trauma. Keratinosit disekitar luka mengalami
perubahan fenotif. Regresi hubungan desmosomal antara keratinosit
pada membran basal menyebabkan sel keratin bermigrasi kearah
lateral. Keratinosit bergerak melalui interaksi dengan matriks protein
ekstraselular (fibronectin,vitronectin dan kolagen tipe I). Faktor
proangiogenik dilepaskan oleh makrofag, vascular endothelial growth
factor (VEGF) sehingga terjadi neovaskularisasi dan pembentukan
jaringan granulasi.
Tujuan utama dari fase ini adalah:
D. Pengkajian Luka
1. Lokasi
Lokasi luka dapat mempengaruhi penyembuhan luka, dimana tidak
semua lokasi tubuh mendapatkan peredaran darah yang sama. Ditinjau dari
prinsip fisiologis, pada bagian tubuh yang memiliki pembuluh darah yang
banyak akan mendapatkan aliran darah yang banyak. Hal ini akan
mendukung penyembuhan luka lebih cepat dibandingkan dari bagian
tubuh yang lebih sedikit mendapat aliran darah.
2. Ukuran luka
Diukur panjang, lebar dan diameternya bila bentuk luka bulat
dengan sentimeter, gambarkan bentuk luka tersebut dengan lembar
transparan yang telah dicatat berpola kotak-kotak berukuran sentimeter.
3. Kedalaman luka
Kedalaman luka dapat diukur dengan kapas lidi steril yang sudah
dilembabkan dengan normal saline, masukan dengan hati-hati kedalam
luka dengan posisi tegak lurus (90o) hingga kedasar luka. Beri tanda pada
lidi sejajar dengan permukaan kulit disekitar luka. Ukur dengan
sentimeter.
4. Goa atau terowongan
Goa dan terowongan dapat diketahui denga melakukan palpas
jaringan disekeliling pinggir luka, dimana akan teraba
tenderness/perlukan. Masukan saline melalui mulut lubang ke dasar
luka/ujung terowongan. Beri tanda pada lidi sejajar dengan permukaan
kulit disekitar luka. Beri tekanan /palpasi dengan hati-hati dan kaji saluran
yang abnormal tersebut.
Jangan pernah menggunakan kekuatan dorongan yang berlebilan
bila menggunakan kapas lidi. Ukur lokasi dan kedalaman
lubang/penetrasi. Untuk penentuan lokasi ditetepkan dengan pola arah
jarum jam dengan pusat pada tengah luka dan jam 12 sesuai garis anatomis
sumbu tubuh manusia. Misalnya lokasi mulut lubang terdapat pada posisi
jam 8 dengan kedalaman 5 cm atau dapat dibuatkan gambar jam dengan
tanda pada posisi jam 8.
5. Warna dasar luka
Warna dasar luka sangat penting dikaji karena berhububungan
dengan penentuan terapi topikal dan jenis balutan luka. Ada beberapa
macam warna dasar luka yang membutuhkan perlakuan spesifik terhadap
masing-masing sesuai warna dasar tersebut.
a) Nekrotik
Biasanya warna dasar hitam, tampak kering dan keras disebut
keropeng. Kering tidak berarti jaringan dibawahnya tidak terinfeksi
atau tidak ada sksudat, ini tidak dapat dipastikan tanpa dilakukan
palpasi terlebih dahulu. Dengan melakukan palpasi dapat dirasakan
ada tenderness atau tidak dibawah jaringan keropang tersebut dan
disekitar luka teraba panas dan tampak tanda radang disekelilingnya
yang perlu diperhatikan. Dan juga tidak terlepas dari keluhan
penderita apakah merasa nyeri berdenyut dibawah jaringan nekroit
tersebut. Untuk luka seperti ini membutuhkan suasana yang lembab
sehingga nekrotik yang kering tersebut dapat lepas dengan sendirinya.
Jenis balutan yang baik adalah hidrogel. Diatasnya diletakan kasa dan
balutan transparan.
b) Sloughy
Warna dasar luka ini tampak kekuningan, sangat eksudatif atau
tampak berair/basah. Sloughy ini harus diangkat dari permukaan luka
karena jaringan ini juga sedang mengalami nekrotik, dengan demikian
pada dasar luka akan tumbuh jaringan granulasi buntuk proses
penyembuahan. Untuk luka seperti ini dibutuhkan hydrogen untuk
melepas jaringan nekroit. Gunakan hydrofiber untuk menyerap
eksudat yang berlebihan sehingga tercipta lingkungan yang konduksif.
(moist/lembab) untuk proses panyembuhan luka. Bila luka mudah
berdarah lebih baik digunakan calcium alginate. Hydrofiber yang
mengandung calcium alginato dapat menghentikan pendarahan
dengan segera.
c) Granulasi
Warna dasar luka ini adalah merah. Perlu diketahui bahwa ini
merupakan pertumbuhan jaringan yang baik, namun tidak dapay
dibiarkan tanpa pambalut. Tetap harus diberi pelindung sebagai
pengganti kulit utuk mencegah kontaminasi dari dunia luar dan
menciptakan kondisi lingkungan luka yang baru untuk pertumbuhan
sel granulasi tersebut. Biasanya luka ini sangat mudah berdarah. Boleh
diberikan balutan hydrogen dan apabila eksudat banyak dapat
digunakan hydrofiber yang mengandung calcium alginate labih
efektif.
d) Epitelisasi
Warna dasarnya adalah pink, kadang-kadang sebagian luka ini
masih dalam proses glanulasi. Untuk itu perlu pemilihan balutan yang
dapat mendukung mutasi sel yaitu douderm tipis extra thin). Balutan
ini berbentuk wafer/padat, tidak berbentuk seruk, namun cukup lunak
dan nyaman diletakan diatas permukaan luka dan tidak menimbulkan
trauma terghadap luka, dapat juga menyetap eksudut yang minimal
melindungi luka dari kontaminasi.
e) Infeksi
Luka ini banyak warna dasarnya, umumnya ada pada ke empat
warna diatas. Untuk luka ini balutan balutan dapat dikombinasi. Bila
cendrung berdarah dapat ditutup dengan calciun alginate diatas bagian
yang berdarah tersebut. Untuk eksudat yang banyak dapat dipilih
hydrofiber dan untuk bau yang tidak enak dapat diberikan Carboflex.
Kemudian tutup denga balutan transparan untuk memantau kondisi
dari luar tanpa membuka balutan
f) Funging malodours
Warna luka berfariasi, luka ini sangat kompleks biasanya dialami
oleh penderita kangker, terutama kanker mammae dimana sebagian
permukaan luka sangat mudah berdarah, eksudat banyak, bau tidak
enak, ukurannya besar dan lokasinya dekat dengan hidung. Untuk
menentukan balutan yang efektif dapat dilakukan sesuatu dengan
petunjuk pada luka yang terinfeksi yang telah ditulis sebelumnya.
E. Perawatan Luka
Perawatan luka adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
merawat luka agar dapat mencegah terjadinya trauma (injuri) pada kulit
membran mukosa atau jaringan lain, fraktur, luka operasi yang dapat merusak
permukaan kulit. Serangkaian kegiatan itu meliputi pembersihan luka,
memasang balutan, mengganti balutan, pengisian (packing) luka, memfiksasi
balutan, tindakan pemberian rasa nyaman yang meliputi membersihkan kulit
dan daerah drainase, irigasi, pembuangan drainase, pemasangan perban
(Bryant, 2007).
a. Pembalut luka
Pembalutan luka bertujuan untuk mengabsorsi eksudat dan melindungi
luka dari kontaminasi eksogen. Penggunaan balutan juga harus
disesuaikan dengan karakteristik luka.
1) Balutan kering
Luka-luka dengan kulit yang masih utuh atau tepi kulit
yang dipertautkan mempunyai permukaan yang kering sehingga
balutan tidak akan melekat, maka pada keadaan seperti ini paling
sering digunakan kasa dengan jala-jala yang lebar, kasa ini akan
melindungi luka dan memungkinkan sirkulasi udara yang baik
melalui balutan. Dengan demikian uap lembab dari kulit dapat
menguap dan balutan tetap kering (Schrock, 1995).
3) Balutan modern
Kemajuan ilmu pengetahuan dalam perawatan luka telah
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini tidak terlepas
dari dukungan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perkembangan ilmu tersebut dapat dilihat dari banyaknya inovasi
terbaru dalam perkembangan produk bahan pembalut luka modern.
Bahan pembalut luka modern adalah produk pembalut hasil
teknologi tinggi yang mampu mengontrol kelembaban disekitar
luka. Bahan balutan luka modern ini di disesuaikan dengan jenis
luka dan eksudat yang menyertainya. Jenis-jenis balutan luka yang
mampu mempertahankan kelembaban antara lain (Bryant, 2007) :
a) Alginat
Alginat banyak terkandung dalam rumput laut cokelat
dan kualitasnya bervariasi. Polisakarida ini digunakan untuk
bahan regenerasi pembuluh darah, kulit, tulang rawan, ikatan
sendi dan sebagainya. Apabila pembalut luka dari alginat
kontak dengan luka, maka akan terjadi infeksi dengan eksudat,
menghasilkan suatu jel natrium alginat. Jel ini bersifat
hidrofilik, dapat ditembus oleh oksigen tapi tidak oleh bakteri
dan dapat mempercepat pertumbuhan jaringan baru. Selain itu
bahan yang berasal dari alginat memiliki daya absorpsi tinggi,
dapat menutup luka, menjaga keseimbangan lembab disekitar
luka, mudah digunakan, bersifat elastis. antibakteri, dan
nontoksik.
b) Hidrogel
Hidrogel tersedia dalam bentuk lembaran (seperti serat
kasa, atau jel) yang tidak berperekat yang mengandung polimer
hidrofil berikatan silang yang dapat menyerap air dalam
volume yang cukup besar tanpa merusak kekompakkan atau
struktur bahan. Jel akan memberi rasa sejuk dan dingin pada
luka, yang akan meningkatkan rasa nyaman pasien. Jel
diletakkan langsung diatas permukaan luka, dan biasanya
dibalut dengan balutan sekunder (foam atau kasa) untuk
mempertahankan kelembaban sesuai level yang dibutuhkan
untuk mendukung penyembuhan luka. Indikasi balutan ini
adalah digunakan pada jenis luka dengan cairan yang sedikit
sedangkan kontraindikasinya adalah luka yang banyak
mengeluarkan cairan
d) Hidrokoloid
Balutan hidrokoloid bersifat ”water-loving” dirancang
elastis dan merekat yang mengandung jell seperti pektin atau
gelatin dan bahan-bahan absorben atau penyerap lainnya.
Balutan hidrokoloid bersifat semipermiabel, semipoliuretan
padat mengandung partikel hidroaktif yang akan mengembang
atau membentuk jel karena menyerap cairan luka. Bila
dikenakan pada luka, drainase dari luka berinteraksi dengan
komponen-komponen dari balutan untuk membentuk seperti jel
yang menciptakan lingkungan yang lembab yang dapat
merangsang pertumbuhan jaringan sel untuk penyembuhan
luka. Balutan hidrokoloid ada dalam bermacam bentuk, ukuran,
dan ketebalan. Balutan hidrokoloid digunakan pada luka
dengan jumlah drainase sedikit atau sedang. Balutan jenis ini
biasanya diganti satu kali selama 5-7 hari, tergantung pada
metode aplikasinya, lokasi luka, derajat paparan kerutan-
kerutan dan potongan-potongan, dan inkontinensia. Balutan ini
diindikasi kan pada luka pada kaki, luka bernanah, sedangkan
kontraindikasi balutan ini adalah tidak digunakan pada luka
yang terinfeksi.
e) Hidrofiber
Hidrofiber merupakan balutan yang sangat lunak dan
bukan tenunan atau balutan pita yang terbuat dari serat sodium
carboxymethylcellusole, beberapa bahan penyerap sama
dengan yang digunakan pada balutan hidrokoloid. Komponen-
komponen balutan akan berinteraksi dengan drainase dari luka
untuk membentuk jel yang lunak yang sangat mudah
dieliminasi dari permukaan luka. Hidrofiber digunakan pada
luka dengan drainase yang sedang atau banyak, dan luka yang
dalam dan membutuhkan balutan sekunder. Hidrofiber dapat
juga digunakan pada luka yang kering sepanjang kelembaban
balutan tetap dipertahankan (dengan menambahkan larutan
normal salin). Balutan hidrofiber dapat dipakai selama 7 hari,
tergantung pada jumlah drainase pada luka (Bryant, 2007).
b. Larutan pembersih
Menurut pedoman AHCPR 1994, cairan pembersih yang
dianjurkan adalah Sodium klorida. Sodium klorida atau natrium
klorida tersusun atas Na dan Cl yang sama seperti plasma. Sodium
klorida tersedia dalam beberapa konsentrasi, yang paling sering adalah
sodium klorida 0,90 %. Normal salin merupakan larutan isotonis yang
aman untuk tubuh, tidak iritan, melindungi granulasi jaringan dari
kondisi kering, menjaga kelembapan disekitar luka, membantu luka
menjalani proses penyembuhan serta mudah didapat dan harga relatif
lebih murah (Bryant, 2007).
c. Agen topikal
Agen topikal terdiri dari antiseptik dan antibakteri. Antiseptik
adalah bahan-kimia yang dioleskan pada kulit atau jaringan yang hidup
untuk menghambat dan membunuh mikroorganisme (baik yang
bersifat sementara maupun yang tinggal menetap pada luka) dengan
demikian akan mengurangi jumlah total bakteri yang ada pada luka.
e. Semprotan perekat
Semprotan perekat merupakaan cara lain untuk
mempertahankan balutan agar tetap pada tempatnya. Beberapa lapis
kasa diletakkan langsung pada luka, kemudian balutan dipenuhi
dengan semprotan perekat, dan setelah mengering, kelebihan kasa
digunting. Jenis ini disemprotkan langsung pada luka yang akan segera
mengering dan memberikan perlindungan yang baik (Morrison, 2004).
b. Ulkus Arteri
Lakukan pengkajian tanda-tanda infeksi, bila keadaan luka kering dan
eskar keras, jangan lakukan debridemen. Hindari terapi (kompresi)
karena dapat menghambat aliran darah. Lakukan balutan dengan
teknik steril dan pertahankan lingkungan dalam keadaan lembab.
Gunakan balutan hidrokoloid jika ada untuk menjaga kelembaban
lingkungan luka. Pada saat berbaring posisi kepala ditinggikan 5
sampai 7 derajat yang bertujuan untuk menyokong sirkulasi daerah
kulit dan ke bagian ekstremitas.
c. Ulkus Vena
Lakukan pengkajian kondisi area luka. Ganti balutan dengan teknik
steril. Bersihkan luka dengan salin normal. Bila terdapat jaringan
nekrotik lakukan debridemen. Lakukan terapi kompresi, yang
bertujuan untuk memperlancar aliran limfatik, reduksi tekanan vena
superfisial dan mengurangi aliran balik ke pembuluh vena yang
dalam. Pemberian obat topikal tergantung jumlah eksudat dan ukuran
luka, ada tidaknya infeksi dan karakteristik sekeliling luka. Apabila
menggunakan balutan untuk kelembaban lingkungan dapat
menggunakan hidrokoloid, transparan film, dan foam. Lakukan
peninggian posisi pada daerah kaki, hal yang dapat meningkatkan
sensitivitas pada sekeliling luka.; hindari larutan atimikrobial, hindari
bahan yang sifatnya lengket. Prinsip perawatan luka pada ulkus vena
adalah meningkatkan pengisian kembali ke vena, yang akan
menyebabkan statis vena menurun.
e. Ulkus Dekubitus
Perawatan luka dekubitus mencakup 3 prinsip : debridemen,
pembersihan dan dressing. Debridemen dilakukan untuk mencegah
infeksi yang lebih luas. Debridemen bertujuan untuk mengangkat
jaringan yang sudah mengalami nekrosis. Pada setiap luka yang akan
diganti selalu dibersihkan. Bahan-bahan yang perlu dihindari untuk
membersihkan luka seperti povidone iodine, larutan sodium
hypoclorite. Gunakan normal salin sebagai larutan pembersih luka.
Gunakan balutan hidrokoloid, tetapi jika luka menghasilkan banyak
cairan eksudat (lebih dari 50% balutan primer dalam rentang waktu
kurang dari 24 jam dan balutan sekunder telah basah) gunakan alginat.
DAFTAR PUSTAKA
Hunt KT. Wound Healing. In: Doherty MG. Current Surgical Diagnosis and
Treatment. 12th Ed., McGraw-Hills, USA. 2003; p75-87
Ting EA, Mays RW, Frey RM, Hof vW, Madicetty S, Deans R . Therapeutic
Pathway of Adult Stem Cells Repair. Critical Review in Oncology and
Hematology., Elsevier, Ireland.2008; p.81-93