Anda di halaman 1dari 51

Referat Bedah Plastik

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Luka adalah terputusnya kontinuitas atau hubungan anatomis jaringan


sebagai akibat dari ruda paksa. Luka dapat merupakan luka yang sengaja dibuat
untuk tujuan tertentu, seperti luka insisi pada operasi atau luka akibat trauma
seperti luka akibat kecelakaan1,2.

Luka kronis adalah luka yang berlangsung lama, sering timbul kembali
(rekuren) atau terjadi gangguan pada proses penyembuhan yang biasanya
disebabkan oleh masalah multi faktor dari penderita. 3 Ada yang mengatakan bila
luka tidak sembuh dalam waktu 3 bulan maka disebut luka kronik.4

Pada luka kronik, luka gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan,
tidak berespon baik terhadap terapi dan punya tendensi untuk timbul kembali.
Contohnya adalah ulkus tungkai, ulkus vena, ulkus arteri (iskemi), penyakit
vaskular perifer ulkus dekubitus, neuropati perifer ulkus dekubitus.3

Luka dekubitus merupakan kerusakan atau kematian kulit sampai


jaringan dari bawah kulit bahkan menembus otot sampai mengenai tulang, akibat
adanya penekanan pada suatu area secara terus – menerus sehingga
mengakibatkan gangguan sirkulasi darah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Ulkus Dekubitus
1. Definisi
Ulkus dekubitus merupakan suatu luka di mana terjadi kerusakan
pada kulit akibat penekanan yang lama atau iritasi pada suatu lokasi yang
terdapat penonjolan tulang, yang menyebabkan aliran darah terhambat
sehingga dapat terjadi iskemia lokal dan nekrosis. Ulkus dekubitus berasal
dari bahasa latin “decumbere” yang berarti berbaring. Nama lain dari ulkus
dekubitus adalah bed ridden, bed rest injury, air-filled beds, air-filled sitting
device, low-airloss bed, low air-loss bed, air-fluidized bed, chronic
ulceration, pressure ulceration, dan decubitus ulceration. Ulkus dekubitus
atau luka baring adalah tipe luka tekan (Anders et al., 2010).
Bagian tubuh yang sering mengalami ulkus dekubitus adalah
bagian di mana terdapat penonjolan tulang, yaitu siku, tumit, pinggul,
pergelangan kaki, bahu, punggung, dan kepala bagian belakang. Ulkus
dekubitus terjadi jika tekanan yang terjadi pada bagian tubuh melebihi
kapasitas tekanan pengisian kapiler dan tidak ada usaha untuk mengurangi
atau memperbaikinya sehingga terjadi kerusakan jaringan yang menetap.
Bila tekanan yang terjadi kurang dari 32 mmHg atau ada usaha untuk
memperbaiki aliran darah ke daerah tersebut maka ulkus dekubitus dapat
dicegah (Wong et al., 2015).

2. Morbiditas dan Mortalitas


Morbiditas dan mortalitas pasien yang mengalami ulkus dekubitus
akan meningkat pada pasien tersebut yang mengalami komplikasi berupa
infeksi. Infeksi merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada
pasien ulkus dekubitus (Wong et al., 2015).
Infeksi yang terjadi berkaitan dengan pertumbuhan kuman, baik
aerob maupun anaerob. Kuman yang sering dijumpai pada ulkus dekubitus
adalah Proteus mirabilis, Streptococcus group D, Escherichia coli,
Staphylococcus species, Pseudomonas species, dan Corynebacterium.
Pasien dengan bakterimia lebih sering terinfeksi dengan Bacteroides sp pada
ulkus dekubitusnya yang ditandai dengan bau yang tidak sedap, leukositosis,
demam, hipotensi, takikardi, dan perubahan status mental. Bakterimia
terjadi pada 3,5 pasien di antara 10.000 (Kumar et al., 2014).
Mortalitas pada pasien dengan ulkus dekubitus meningkat sampai
50%. Sekitar 60.000 orang meninggal setiap tahun karena ulkus dekubitus.
Mortalitas dan morbiditas ini meningkat dengan terjadinya osteomyelitis,
amiloidosis sistemik, selulitis, abses sinus, arthritis septic, karsinoma sel
skuamousa, fistula periuretra, dan osifikasi heterotopik (Kumar dan Mahal,
2014).

3. Etiologi dan Faktor Risiko


Penyebab utama terbentuknya ulkus dekubitus adalah tekanan
yang menyebabkan iskemik. Meskpiun setiap jaringan mempunyai
kemampuan untuk mengatasi terjadinya iskemik akibat tekanan, tetapi
tekanan yang lama dan melewati batas pengisian kapiler akan menyebakan
kerusakan jaringan yang menetap (Garber dan Rintala, 2003).
Selain itu, ulkus dekubitus dapat disebabkan oleh kurangnya
mobilitas, kontraktur, spastisitas, berkurangnya fungsi sensorik, paralisis,
insensibilitas, malnutrisi, anemia, hipoproteinemia, dan infeksi bakteri.
Beberapa keadaan seperti usia yang tua, perawatan di rumah sakit yang
lama, orang yang kurus, inkontinesia urin dan alvi, merokok, penurunan
kesadaran mental dan penyakit lain (seperti diabetes melitus dan gangguan
vaskuler) akan mempermudah terjadinya ulkus dekubitus (Niezgoda et al.,
2006).
Faktor risiko yang telah diidentifikasi pada perkembangan dari
ulkus dekubitus dapat berupa usia tua, diabetes tak terkontrol, penyakit
neurovaskular, kerusakan tulang belakang, malnutrisi serta trauma
(Apostolopoulou et al., 2014).

4. Patofisologi
Ulkus dekubitus dapat terbentuk karena ada beberapa faktor yang
mempengaruhi. Mmekanisme terbentuknya ulkus dekubitus berdasarkan
faktor yang mempengaruhinya dapat dibagi menjadi patomekanikal dan
patofisiologi (Crowe dan Brockbank, 2009).
a. Patomekanikal
Patomekanikal merupakan faktor ekstrisik atau faktor primer
terbentuknya ulkus dekubitus. Patomekanikal ulkus dekubitus meliputi:
1) Tekanan yang Lama
Faktor yang paling penting dalam pembentukan ulkus
dekubitus adalah tekanan yang tidak terasa nyeri. Tekanan lama
yang melampaui tekanan kapiler jaringan pada jaringan yang
iskemik akan mengakibatkan terbentuknya ulkus dekubitus. Hal ini
karena tekanan yang lama akan mengurangi asupan oksigen dan
nutrisi pada jaringan tersebut sehingga akan menyebabkan iskemik
dan hipoksia kemudian menjadi nekrosis dan ulserasi.
Pada keadaan iskemik, sel-sel akan melepaskan substansia H
yang mirip dengan histamine. Adanya substansi H dan akumulasi
metabolit seperti kalium, adenosine diphosphat (ADP), hidrogen dan
asam laktat akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Reaksi
kompensasi sirkulasi akan tampak sebagai hiperemia dan reaksi
tersebut masih efektif bila tekanan dihilangkan sebelum periode
kritis terjadi yaitu 1-2 jam. Suatu penelitian histologis
memperlihatkan bahwa tanda-tanda kerusakan awal terjadi di dermis
antara lain berupa dilatasi kapiler dan vena serta edema dan
kerusakan sel-sel endotel. Selanjutnya akan terbentuk perivaskuler
infiltrat, agregat platelet yang kemudian berkembang menjadi
hemoragik perivaskuler. Hal yang menarik, pada tahap awal ini, di
epidermis tidak didapatkan tanda-tanda nekrosis oleh karena sel-sel
epidermis memiliki kemampuan untuk bertahan hidup pada keadaan
tanpa oksigen dalam jangka waktu yang cukup lama. Selain itu,
perubahan patologis oleh karena tekanan eksternal tersebut terjadi
lebih berat pada lapisan otot daripada pada lapisan kulit dan
subkutaneus.
Sumbatan total pada kapiler masih bersifat reversibel bila
kurang dari 2 jam. Seorang yang terpaksa berbaring berminggu-
minggu tidak akan mengalami ulkus dekubitus selama dapat
mengganti posisi beberapa kali perjamnya.
2) Tekanan antar Permukaan
Tekanan antarpermukaan adalah tekanan tegak lurus setiap
unit daerah antara tubuh dan permukaan sandaran. Tekanan
antarpermukaan dipengaruhi oleh kekakuan dan komposisi jaringan
tubuh, bentuk geometrik tubuh yang bersandar dan karakteristik
pasien. Tekanan antarpermukaan yang melebihi 32 mmHg akan
menyebabkan mudahnya penutupan kapiler dan iskemik.
Faktor yang juga berpengaruh terhadap tekanan
antarpermukaan adalah kolagen. Pada penderita sklerosis amiotropik
lateral risiko untuk terjadinya ulkus dekubitus berkurang karena
adanya penebalan kulit dan peningkatan kolagen dan densitasnya.
3) Luncuran
Luncuran merupakan tekanan mekanik yang langsung paralel
terhadap permukaan bidang. Luncuran mempunyai pengaruh
terhadap terbentuknya ulkus dekubitus terutama pada daerah sakrum.
Adanya gerakan anguler dan vertikal atau posisi setengah berbaring
akan mempengaruhi jaringan dan pembuluh darah daerah sacrum
sehingga berisiko untuk mengalami kerusakan. Penggunaan tempat
tidur yang miring seperti pada bedah kepala dan leher akan
meningkatkan tekanan luncuran sehingga memudahkan terjadinya
ulkus dekubitus.
4) Gesekan
Gesekan adalah gaya antar dua permukaan yang saling
berlawanan. Gesekan dapat menjadi faktor untuk terjadinya ulkus
dekubitus karena gesekan antar penderita dengan sandarannya akan
menyebabkan trauma makroskopis dan mikroskopis. Kelembaban,
maserasi dan kerusakan jaringan akan meningkatkan tekanan pada
kulit. Kelembaban yang terjadi akibat kehilangan cairan dan
inkontinensia alvi dan urin akan menyebabkan terjadinya maserasi
jaringan sehingga kulit cenderung lebih mudah menjadi rusak.
5) Immobilitas
Seorang penderita immobil pada tempat tidurnya secara pasif
dan berbaring di atas kasur busa maka tekanan daerah sakrum akan
mencapai 60-70 mmHg dan daerah tumit mencapai 30-45 mmHg.
Tekanan eksternal 40-60 mmHg pada posisi terlentang ini
merupakan tekanan yang paling berpotensi untuk terbentuk ulkus
pada daerah sacrum, maleolus lateralis dan oksiput. Sedangkan pada
pasien posisi telungkup, thoraks dan genu mudah terjadi ulkus pada
tekanan 50 mmHg. Pada pasien posisi duduk, mudah terjadi ulkus
bila tekanan berkisar 100 mmHg terutama pada tuberositas ischii.
Tekanan akan menimbulkan daerah iskemik dan bila berlanjut terjadi
nekrosis jaringan kulit.
Gambar 1. Patofisologi terbentuknya Ulkus Dekubitus (Anders et al., 2010)
Pada penderita dengan paralisis, kelaian neurologi, atau
dalam anestesi yang lama, syaraf aferen tidak mampu untuk
memberikan sistem balik sensoromotor. Akibatnya, tanda-tanda tidak
menyenangkan dari daerah yang tertekan tidak diterima, sehingga
tidak melakukan perubahan posisi.
Berbeda dengan orang tidur, untuk mengatasi tekanan yang
lama pada daerah tertentu secara otomatis akan terjadi perubahan
posisi tubuh setiap 15 menit. Gerakan perubahan posisi pada orang
tidur biasanya lebih dari 20 kali setiap malam. Bila kurang dari 20
kali, maka akan berisiko untuk terjadinya ulkus dekubitus (Kumar et
al., 2014).
b. Patofisiologi
Faktor patofisiologi merupakan faktor intrinsik atau sekunder
dalam terbentuknya ulkus dekubitus. Faktor intrinsik meliputi demam,
anemia, infeksi, iskemik, hipoksemia, hipotensi, malnutrisi, trauma
medula spinalis, penyakit neurologi, kurus, usia yang tua, dan
metabolisme yang tinggi (Ausili et al., 2013).
Selama penuaan, regenerasi sel pada kulit menjadi lebih lambat
sehingga kulit akan tipis. Kandungan kolagen pada kulit yang berubah
menyebabkan elastisitas kulit berkurang sehingga rentan mengalami
deformasi dan kerusakan. Kemampuan sistem kardiovaskuler yang
menurun dan sistem arteriovenosus yang kurang kompeten menyebabkan
penurunan perfusi kulit secara progresif. Sejumlah penyakit yang
menimbulkan ulkus dekubitus seperti DM yang menunjukkan insufisiensi
kardiovaskuler perifer dan penurunan fungsi kardiovaskuler seperti pada
sistem pernapasan menyebabkan tingkat oksigenisasi darah pada kulit
menurun. Gizi yang kurang dan anemia memperlambat proses
penyembuhan pada ulkus dekubitus (Rappl et al., 2009).
Hipoalbuminemia yang mempermudah terjadinya dekubitus dan
memperjelek penyembuhan dekubitus, sebaliknya bila ada dekubitus
akan menyebabkan kadar albumin darah menurun. Pada orang malnutrisi,
ulkus dekubitus lebih mudah terbentuk daripada orang normal. Oleh
karena itu, faktor nutrisi ini juga penting dalam patofisiologi
terbentuknya ulkus dekubitus (Rappl et al., 2009).

5. Gejala
Bagian tubuh yang paling sering terjadi ulkus dekubitus adalah
daerah tekanan dan penonjolan tulang. Bagian tubuh yang sering terkena
ulkus dekubitus adalah tuberositas ischi (30%), trochanter mayor (20%),
sacrum (15%), tumit (10%), lutut, maleolus, siku, jari kaki, scapulae dan
processus spinosus vertebrae. Tingginya frekuensi tersebut tergantung pada
posisi penderita (Dharmarajan et al., 2002).
Gejala klinik yang tampak oleh penderita, biasanya berupa kulit
yang kemerahan sampai terbentuknya suatu ulkus. Kerusakan yang terjadi
dapat meliputi epidermis, dermis, jaringan otot sampai tulang. Berdasarkan
gejala klinis, NPUAP mengklasifikasikan ulkus dekubitus menjadi empat
grade (Anders et al., 2010).
a. Grade 1
Ulserasi terbatas pada epidermis dan dermis dengan eritema pada
kulit. Penderita dengan sensibilitas baik akan mengeluh nyeri. Stadium
ini umumnya reversibel dan dapat sembuh dalam 5 - 10 hari.

b. Grade 2
Ulserasi mengenai epidermis, dermis dan meluas sampai ke
jaringan adiposa. Terlihat eritema dan indurasi. Stadium ini dapat sembuh
dalam 10 - 15 hari.
c. Grade 3
Ulserasi meluas sampai ke lapisan lemak subkutis, dan otot sudah
mulai terganggu dengan adanya edema, inflamasi, infeksi dan hilangnya
struktur fibril. Tepi ulkus tidak teratur dan terlihat hiperpigmentasi atau
hipopigmentasi dengan fibrosis. Kadang-kadang terdapat anemia dan
infeksi sistemik. Biasanya sembuh dalam 3-8 minggu.

d. Grade 4
Ulserasi dan nekrosis meluas mengenai fasia, otot, tulang serta
sendi. Dapat terjadi artritis septik atau osteomielitis dan sering disertai
anemia. Dapat sembuh dalam 3 - 6 bulan.
Berdasarkan waktu yang diperlukan untuk penyembuhan dari suatu
ulkus dekubitus dan perbedaan temperatur dari ulkus dengan kulit
sekitarnya, dekubitus dapat dibagi menjadi tiga:
a. Tipe normal
Mempunyai beda temperatur sampai di bawah lebih kurang 2,5 oC
dibandingkan kulit sekitarnya dan akan sembuh dalam perawatan sekitar
6 minggu. Ulkus ini terjadi karena iskemia jaringan setempat akibat
tekanan, tetapi aliran darah dan pembuluh-pembuluh darah sebenarnya
baik.
b. Tipe arterioskelerosis
Mempunyai beda temperatur kurang dari 1oC antara daerah ulkus
dengan kulit sekitarnya. Keadaan ini menunjukkan gangguan aliran darah
akibat penyakit pada pembuluh darah (arterisklerotik) ikut perperan
untuk terjadinya dekubitus di samping faktor tekanan. Dengan
perawatan, ulkus ini diharapkan sembuh dalam 16 minggu.
c. Tipe terminal
Terjadi pada penderita yang akan meninggal dunia dan tidak akan
sembuh.

Hal penting yang harus diperhatikan sebagai ciri ulkus dekubitus


adalah adanya bau yang khas, sekret luka, jaringan parut, jaringan nekrotik,
dan kotoran yang berasal dari inkontinensia urin dan alvi. Ciri tersebut dapat
menunjukkan kontaminasi bakteri pada ulkus dekubitus dan penting untuk
penatalaksanaan.
Komplikasi sering terjadi pada stadium 3 dan 4 walaupun dapat
juga pada ulkus yang superfisial. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain
infeksi (sering bersifat multibakterial, baik yang aerobik ataupun anerobik),
keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, osteitis,
osteomielitis, artritis septik, septikemia, anemia, hipoalbuminemia, bahkan
kematian.

6. Diagnosis
Diagnosis ulkus dekubitus biasanya tidak sulit. Diagnosisnya dapat
ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja. Tetapi untuk
menegakkan diagnosis ulkus dekubitus diperlukan beberapa pemeriksaan
laboratorium dan penunjang lainnya (Bluestein et al., 2008).
Beberapa pemeriksaan yang penting untuk membantu menegakkan
diagnosis dan penatalaksanaan ulkus dekubitus adalah sebagai berikut.
a. Kultur dan analisis urin
Kultur ini dibutuhkan pada keadaan inkontinensia untuk melihat
apakah ada masalah pada ginjal atau infeksi saluran kencing, terutama
pada trauma medula spinalis.
b. Kultur Tinja
Pemeriksaan ini perlu pada keadaan inkontinesia alvi untuk
melihat leukosit dan toksin Clostridium difficile ketika terjadi
pseudomembranous colitis.
c. Biopsi
Biopsi penting pada keadaan luka yang tidak mengalami
perbaikan dengan pengobatan yang intensif atau pada ulkus dekubitus
kronik untuk melihat apakah terjadi proses yang mengarah pada
keganasan. Selain itu, biopsi bertujuan untuk melihat jenis bakteri yang
menginfeksi ulkus dekubitus. Biopsi tulang perlu dilakukan bila terjadi
osteomyelitis.
d. Pemeriksaan Darah
Untuk melihat reaksi inflamasi yang terjadi perlu diperiksa sel
darah putih dan laju endap darah. Kultur darah dibutuhkan jika terjadi
bakteremia dan sepsis.
e. Keadaan Nutrisi
Pemeriksaan keadaan nutrisi pada penderita penting untuk proses
penyembuhan ulkus dekubitus. Hal yang perlu diperiksa adalah kadar
albumin, kadar transferrin, dan kadar protein serum.
f. Radiologis
Pemeriksaan radiologi untuk melihat adanya kerusakan tulang
akibat osteomyelitis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan sinar-X, scan
tulang atau MRI.

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ulkus dekubitus harus dilakukan dengan baik dan
terpadu, karena proses penyembuhannya yang membutuhkan waktu yang
lama. Agency for Health Care Policy and Research (AHCPR) telah
membuat standar baku dalam penatalaksanaan ulkus dekubitus. Pengobatan
harus diberikan dengan segera ketika ulkus dekubitus mulai terbentuk.
Pengobatan yang diberikan dapat berupa tempat tidur yang termodifikasi
baik untuk penderita ulkus dekubitus, pemberian salep, krim, ointment,
solution, kassa, gelombang ultrasonik, atau lampu panas ultraviolet, gula,
dan tindakan pembedahan (Riordan et al., 2009).
Pemilihan terapi tergantung pada stadium ulkus dekubitus dan
tujuan pengobatan, seperti proteksi, pelembaban dan membuang jaringan
nekrosis. Hal yang harus diperhatikan dalam penatalaksanaan ulkus
dekubitus adalah sebagai berikut.
a. Perawatan luka harus dibedakan ke dalam metode operatif dan
nonoperatif.
b. Perawatan luka dengan metode nonoperatif dilakukan untuk ulkus
dekubitus grade 1 dan 2, sedangkan untuk grade 3 dan 4 harus
menggunakan metode operatif.
c. Sekitar 70-90% ulkus dekubitus adalah superfisial dan sembuh dengan
penyembuhan sekunder.
d. Mengurangi tekanan lebih lanjut pada daerah ulkus.

Secara umum penatalaksanaan ulkus dekubitus dibagi menjadi


nonmedikamentosa dan medikamentosa.
a. Nonmedikamentosa
Penatalaksanaan ulkus dekubitus dengan nonmedikamentosa
meliputi pengaturan diet dan rehabilitasi medik. Seperti telah disebutkan
di atas, nutrisi adalah faktor risiko untuk terjadinya ulkus dekubitus.
Pemberian diet yang tinggi kalori, protein, vitamin dan mineral
akan meningkatkan status gizi penderita ulkus dekubitus. Meningkatnya
status gizi penderita ini akan memperbaik sistem imun penderita
sehingga mempercepat penyembuhan ulkus dekubitus (Crowe et al.,
2009).
Terapi rehabilitasi medik yang diberikan untuk penyembuhan
ulkus dekubitus adalah dengan radiasi infra merah, short wave
diathermy, dan pengurutan. Tujuan terapi ini adalah untuk memberikan
efek peningkatan vaskularisasi sehingga dapat membantu penyembuhan
ulkus. Sedangkan penggunaan terapi ultrasonik, sampai saat ini masih
terus diselidiki manfaatnya terhadap terapi ulkus dekubitus.
b. Medikamentosa
Penatalaksanaan ulkus dekubitus dengan metode medikamentosa
meliputi:
1) Mempertahankan keadaan bersih pada ulkus dan sekitarnya
Keadaan tersebut akan menyebabkan proses penyembuhan
luka lebih cepat dan baik. Untuk hal tersebut dapat dilakukan
kompres, pencucian, pembilasan, pengeringan dan pemberian bahan-
bahan topikal seperti larutan NaC1 0,9%, larutan H202 3% dan NaC1
0,9%, larutan plasma dan larutan Burowi serta larutan antiseptik
lainnya.

Delapan Tipe Kompres Mayor dan karakteristiknya

Major Dressing Key Performance Characteristics


Categories
Alginates (sheets and Exudate absorption, obliterate dead space, and
fillers) autolytic debridement
Foams (sheets and Obliterate dead space, retain moisture, exudate
fillers) absorption, and mechanical debridement
Gauzes (woven and Obliterate dead space, retain moisture, absorb
nonwoven) exudate, and mechanical debridement
Hydrocolloids (wafers Occlusion, moisture retention, obliterate dead space,
and fillers) and autolytic debridement
Hydrogels (sheets and Retain moisture and autolytic debridement
fillers)
Transparent films Occlusion, retain moisture, and autolytic
debridement
Wound fillers Obliterate dead space, absorb exudate, retain
moisture, and autolytic debridement
Wound pouches Exudate control

Kompres yang diberikan pada ulkus dekubitus adalah


semipermiabel dan tertutup, yang memungkinkan terjadinya
pertukaran gas dan transfer penguapan air dari kulit dan mencegah
maserasi kulit. Selain itu, kompres dapat mencegah terjadinya infeksi
sekunder dan mencegah faktor trauma. Tetapi, kompres ini tidak
berfungsi baik pada pasien dengan diaforesis dan eksudat yang banyak
(Anders et al., 2010).
Beberapa kategori untuk kompres dan topikal yang dapat
digunakan adalah antimikrobial, moisturizer, emollient, topical
circulatory stimulant, kompres semipermiabel, kompres kalsium
alginate, kompres hidrokoloid dan hidrogel, penyerap eksudat,
kompres dari basah/lembab ke kering dan enzim dan cairan atau gel
pembentuk film (Dozsa, 2014).
2) Mengangkat jaringan nekrotik.
Adanya jaringan nekrotik pada ulkus akan menghambat aliran
bebas dari bahan yang terinfeksi dan karenanya juga menghambat
pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi. Oleh karena itu
pengangkatan jaringan nekrotik akan mempercepat proses
penyembuhan ulkus. Terdapat 7 metode yang dapat dilakukan antara
lain (Riordan et al., 2009):
a) Autolytic debridement. Metode ini menggunakan balutan yang
lembab untuk memicu autolisis oleh enzim tubuh. Prosesnya
lambat tetapi tidak menimbulkan nyeri.
b) Biological debridement atau maggot debridement therapy. Metode
ini menggunakan maggot (belatung) untuk memakan jaringan
nekrosis. Oleh karena itu dapat membersihkan ulkus dari bakteri.
Pada Januari 2004, FDA menyetujui maggot sebagai live medical
devic untuk ulkus dekubitus.
c) Chemical debridement, or enzymatic debridement. Metode ini
menggunakan enzim untuk membuang jaringan nekrosis.
d) Mechanical debridement. Teknik ini menggunakan gaya untuk
membuang jaringan nekrosis. Caranya dengan menggunakan kasa
basah lalu membiarkannya kering di atas luka kemudian
mengangkatnya. Teknik ini kurang baik karena kemungkinan
jaringan yang sehat akan ikut terbuang. Pada ulkus stadium 4,
pengeringan yang berlebihan dapat memicu terjadinya patah tulang
atau pengerasan ligamen.
e) Sharp debridement. Teknik ini menggunakan skalpel atau intrumen
serupa untuk membuang jaringan yang sudah mati.
f) Surgical debridement. Ini adalah metode yang paling dikenal. Ahli
bedah dapat membuang jaringan nekrosis dengan cepat tanpa
menimbulkan nyeri.
g) Ultrasound-assisted wound therapy. Metode ini memisahkan
jaringan nekrosis dari jaringan yang sehat dengan gelombang
ultrasonik.
3) Menurunkan dan mengatasi infeksi.
Perlu pemeriksaan kultur dan tes resistensi. Antibiotika
sistemik dapat diberikan bila penderita mengalami sepsis dan selulitis.
Ulkus yang terinfeksi harus dibersihkan beberapa kali sehari dengan
larutan antiseptik seperti larutan H202 3%, povidon iodin 1%, seng
sulfat 0,5%. Radiasi ultraviolet (terutama UVB) mempunyai efek
bakterisidal (Dozsa, 2014).
Antibiotik sistemik kurang dianjurkan untuk pengobatan ulkus
dekubitus karena akan menimbulkan resistensi. Antibiotik sistemik
yang dapat diberikan meliputi gologan penicillins, cephalosporins,
aminoglycosides, fluoroquinolones, dan sulfonamides. Antibiotik
lainnya yang dpat digunakan adalah clindamycin, metronidazole dan
trimethoprim (Riordan et al., 2009).
4) Merangsang dan membantu pembentukan jaringan granulasi dan
epitelisasi.
Untuk mempercepat pembentukan jaringan granulasi dan
epitelisasi pada ulkus dekubitus sehingga mempercepat penyembuhan
dapat diberikan:
a) Bahan-bahan topikal misalnya: salep asam salisilat 2%, preparat
seng (ZnO, ZnSO4).
b) Oksigen hiperbarik; selain mempunyai efek bakteriostatik terhadap
sejumlah bakteri, juga mempunyai efek proliferatif epitel,
menambah jaringan granulasi dan memperbaiki keadaan vaskular.
5) Tindakan bedah
Tindakan bedah bertujuan untuk membersihkan ulkus dan
mempercepat penyembuhan dan penutupan ulkus, terutama ulkus
dekubitus grade III & IV dan karenanya sering dilakukan tandur kulit,
myocutaneous flap, skin graft serta intervensi lainnya terhadap ulkus.
Intervensi terbaru terhadap ulkus dekubitus adalah Negative
Pressure Wound Therapy, yang merupakan aplikasi tekanan negatif
topikal pada luka. Teknik ini menggunakan busa yang ditempatkan
pada rongga ulkus yang dibungkus oleh sebuah lapisan yang kedap
udara. Dengan demikian, eksudat dapat dikeluarkan dan material
infeksi ditambahkan untuk membantu tubuh membentuk jaringan
granulasi dan membentuk kulit baru. Terapi ini harus dievaluasi setiap
dua minggu untuk menetukan terapi selanjutnya (Ciliers et al., 2014).

B. Ulkus Varikosum
1. Definisi
Ulkus varikosum adalah ulkus pada tungkai bawah yang
disebabkan oleh gangguan aliran darah vena. Dalam pengertian yang lain,
ulkus varikosum adalah ulkus yang disebabkan oleh meningginya tekanan
vena dan akibat kerusakan sistem mikro-valvulernya. Biasanya timbuk
oleh karena goresan kecil pada daerah 1/3 tungkai bawah yang mengalami
eksema dan udema akibat statis pembuluh darah balik yang disebabkan
oleh varises di daerah atasnya dan yang terletak di sekitar maleolus
(biasanya maleolus medialis) (Sularsito, 2007; Lin P, 2003).

Gambar 1. Ulkus varikosum

2. Etiologi
Penyebab gangguan aliran darah balik pada tungkai bawah secara
garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu, berasal dari pembuluh darah
seperti trombosis atau kelainan katup vena dan yang berasal dari luar
pembuluh darah seperti bendungan di daerah proksimal tungkai bawah
oleh karena tumor di abdomen, kehamilan atau pekerjaan yang dilakukan
dengan banyak berdiri (Lin P, 2003).
Bila terjadi bendungan di daerah proksimal atau terjadi kerusakan
katup vena tungkai bawah maka tekanan vena akan meningkat. Akibat
keadaan ini akan timbul edema yang dimulai dari sekitar pergelangan
kaki. Tekanan kapiler juga akan meningkat dan sel darah merah keluar ke
jaringan sehingga timbul perdarahan di kulit, yang semula terlihat sebagai
bintik-bintik merah lambat laun berubah menjadi hitam (James, 2000).
Vena superfisialis melebar dan memanjang berkelok-kelok seperti cacing
(varises). Keadaan ini akan lebih jelas terlihat ketika pasien berdiri. Bila
hal ini berlangsung lama, jaringan yang semula sembab akan digantikan
jaringan fibrotik, sehingga kulit teraba kaku atau mengeras. Hal ini akan
mengakibatkan jaringan mengalami gangguan suplai darah karena
iskemik, lambat laun terjadi nekrosis (South H, 2001).

3. Patofisiologi
Vaskularisasi tubuh merupakan sistem yang kompleks. Vena
umumnya membawa darah tanpa miskin oksigen menuju jantung dan
terletak lebih superficial dibanding arteri. Sebagian besar vena memiliki
katup satu arah yang mencegah terjadinya aliran berbalik arah dan
menumpuk di kaki. Katup-katup ini juga dapat mengalami kerusakan
sehingga menyebabkan aliran darah berbalik arah. Hal ini berakibat pada
peningkatan tekanan intravena sehingga dinding vena meregang,
membuka katup-katup, dan akan lebih banyak lagi darah yang mengisi
lumen pembuluh vena tersebut. Vena diklasifikasikan menjadi vena
superficial dan profunda. Vena superficial lebih dekat dengan jaringan
kulit dan tidak memiliki pasangan arteri.
1. Hipertensi vena
Trombosis vena profunda, isufisiensi vena, fistel arteri-vena
dapat menyebabkan peningkatan tekanan pada vena distal di kaki
dan pada akhirnya menyeabkan hipertensi vena.
2. Teori fibrin cuff
Fibrin yang berlebih akan terdeposit di sekitar capillary bed
sehingga menyebabkan peningkatan tekann intravascular. Ini akan
menyebabkan pembesaran lubang endotel sehinga makin
meningkatakna deposit fibrinogen di interstisiil. Adanya barier
permeabilitas ini akan menghambat difusi oksigen dan nutrisi
lainnya sehingga hipoksia jaringan dan muncul lesi luka.
3. Teori inflamasi
Berbagai macam sel anti inflmasi dan growth factors yang
terjebak dalam fibrin cuff akan menyebabkan inflamasi berat di
sekitar jaringan sehingga menghambat regerenerasi luka. Lekosit
terjebak dalam capillary bed, dan akan melepaskan enzim
proteolitik dan metabolit oksigen reaktif. Sumbatan leukosit juga
akan menyebabkan iskemik lokal sehingga makin menyebabka
hipoksia jaringan dan kerusakan dalam reperfusi.
4. Disregulasi sitokin
Disregulasi berbagai sitokin proinflamasi, berbagai growth
factor seperti TNF, dan matriks metalloprotease akan
menyebabkan ulkus kronik.
5. Lain-lain
Kondisi trombofilik seeperti mutasi faktor V Leiden, mutasi
protrombin, defisiensi anttrombin, adanya antibodi antifosfolipid,
defisiensi protein C dan Sdan hiperhomosisteinemia juga
berpengaruh.

Gambar 2. Patofisiologi Ulkus Varikosum


4. Manifestasi Klinis
Tanda yang khas dari ekstrimitas dengan insufisiensi vena
menahun adalah edema. Penderita sering mengeluh bengkak pada kaki
yang semakin meningkat saat berdiri dan diam, dan akan berkurang bila
dilakukan elevasi tungkai (Sudirman, 2000). Keluhan lain adalah kaki
terasa pegal, gatal, rasa terbakar, tidak nyeri dan berdenyut. Biasanya
terdapat riwayat trombosis vena, trauma operasi dan multiparitas. Juga
adanya riwayat obesitas dan gagal jantung kongestif. Ulkus biasanya
memilki tepi yang tidak teratur, ukurannya bervariasai, dan dapat menjadi
luas. Di dasar ulkus terlihat jaringan granulasi atau bahan fibrosa. Dapat
juga terlihat eksudat yang banyak. Kulit sekitarnya tampak merah
kecoklatan akibat hemosiderin. Kelainan kulit ini dapat mengalami
perubahan menjadi lesi eksema (dermatitis statis) (Hastuti, 2008). Kulit
sekitar luka mengalami indurasi, mengkilat, dan fibrotic (Hartanto, 2006).
Daerah predileksi yaitu daerah antara maleolus dan betis, tetapi
cenderung timbul di sekitar maleolus medialis. Dapat juga meluas sampai
tungkai atas. Sering terjadi varises pada tungkai bawah. Ulkus yang telah
berlangsung bertahun-tahun dapat terjadi perubahan pinggir ulkus tumbuh
menimbul, dan berbenjol-benjol. Dalam hal ini perlu dipikirkan
kemungkinan ulkus tersebut telah mengalami pertumbuhan ganas.
Perubahan keganasan pada ulkus tungkai biasanya sangat jarang
(Hartanto, 2006; Lin, 2003).
Kelainan kulit berupa; ulkus dikelilingi oleh eritema dan
hiperpigmentasi. Ulkus soliter tetapi dapat pula multipel. Bentuk ulkus
bulat atau oval, kadang-kadang berbentuk tidak teratur. Tepi luka lunak
dan meninggi oleh karena radang akut dan dasar kotor. Pada umumnya
ulkus tidak terasa nyeri, kecuali bila disertai selulitis atau infeksi sekunder
lainnya.

5. Terapi
a. Manajemen konservatif
1) Terapi Kompresi
Terapi kompresi sudah menjadi standar tatalaksana ulkus vena.
Penelitian terbaru menunjukkan ulkus vena lebih mudah sembuh
dengan terapi kompresi dibandingkan dengan yang tidak. Terapi ini
dapat mengurangi edema dan nyeri, meningkatkan refluks vena dan
mempercepat penyembuhan luka. Setelah ulkus sembuh, perlu
dilakukan monitoring terapi kompresi untuk mencegah kekambuhan
luka. Adapun beberapa penyulit dilakukannya terapi ini di antaranya
nyeri, obesitas, dan dermatitis kontak. Kontraindikasinya yakni
penyakit arteri dan gagal jantung tak terkompensasi
2) Terapi Kompresi In-Elastis
Terapi ini akan menyebabkan tekanan tinggi ketika kontraksi
otot. Pada tahun 2009, cocharne menyebutkan bahwa penambahan
terapi kompresi elastik akan lebih bermanfaat dibanding terapi
kompresi in-elastic saja.
3) Terapi Kompresi Elastic
Terapi ini dilakukan dengan pembalutan elastic, walaupun
menghasilkan penekanan yang tidak begitu besar, yakni sekitar 20-
30 mmHg. Alat kompresinya lebih baik dilepas pada malam hari dan
setiap 6 bulan diganti karena sifat elastisitasnya telah berubah.
Dalam penelitian meta analisis terbaru, terapi kompresi elastic lebih
efektif dibanding dengan in-elastic.
4) Kompresi Pneumatic Intermitten
Manfaat metode ini dibanding dengan cara kompresi lain tidak
sepenuhnya dimengerti dan termasuk metode yang mahal serta perlu
untuk mengimobilisasi pasien.
5) Elevasi Kaki
Elevasi kaki merupakan bagian dari penanganan saat metode
kompresi. Cara ini bertujuan untuk mengurangi edema,
meningkatkan aliran darah dan penghantaran oksigen serta
mempercepat penyembuhan luka. Elevasi kaki paling efektif
dilakukan dalam 30 menit, tiga sampai empat kali perhari.
6) Dressing
Dressing bertujuan untuk menginisiasi penyembuhan secara
cepat dan mencegah adhesi balutan ke luka.
7) Terapi mekanik
Penutupan luka secara vacuum atau kedap udara dalam
tekanan negative telah menunjukkan perbaikan luka dengan gel
hidrokoloid. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan (Prakash S,
2013).
b. Medikamentosa
1) Pentoxifylline
Pentoxifylline merupakan penghambat agregasi platelet; dia
akan menurunkan viskositas darah dan meningkatkan mikrosirkulasi.
Dalam dosis 400 mg per hari, obat ini bisa menjadi adjuvant yang
tepat pada terapi kompresi.
2) Aspirin
Penambahan terapi aspirin pada terapi kompresi
direkomendasikan untuk ulkus vena selama tidak ada kontraindikasi
pada penggunaan aspirin. Hal ini juga mempercepat waktu
penyembuhan luka dan mengurangi ukuran ulkus, dibandingkan
dengan terapi kompresi saja.
3) Iloprost
Iloprost merupakan vasodilator yang menghambat agregasi
platelet. Ketika digunakan dengan terapi kompresi, secara signifikan
akan meningkatkan waktu penyembuhan luka. Namun belum banyak
data yang membahas mengenai hal ini.
4) Zinc oral
Belum ditemukan manfaat yang signifikan terkait penggunaan
tablet zinc pada ulkus vena.
5) Antibiotik/antiseptic
Ini penting untuk mencegah infeksi bakteri sekunder.
Walaupun demikian, penggunaan antibiotic secara rutin untuk ulkus
vena tidak dianjurkan (Prakash S, 2013).
c. Lain-lain
Selain itu, bisa juga dilakukan :
• Hyperbaric oxygen therapy
• Surgical management
• Debridement
• Skin grafting
• Surgery for venous insufficiency
• Prophylaxis for Deep Vein Thrombosis
(Collin, 2010; Etufugh, 2007)

Vulnus
A. Definisi Luka
Luka adalah terputusnya kontinuitas atau hubungan anatomis jaringan
sebagai akibat dari ruda paksa. Luka dapat merupakan luka yang sengaja
dibuat untuk tujuan tertentu, seperti luka insisi pada operasi atau luka akibat
trauma seperti luka akibat kecelakaan (Hunt,2003; Mann ,2001).

B. Jenis – Jenis Luka


Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara mendapatkan
luka itu dan menunjukan derajat luka (Taylor,1997).

1. Berdasarkan waktu penyembuhan


a. Luka akut
Luka akut adalah luka trauma yang biasanya segera mendapat
penanganan dan biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi
komplikasi. Kriteria luka akut adalah luka baru, mendadak dan
penyembuhannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan. Contohnya
adalah luka sayat, luka bakar, luka tusuk.

b. Luka kronis
Luka akut adalah luka yang berlangsung lama atau sering timbul
kembali (rekuren) atau terjadi gangguan pada proses penyembuhan
yang biasanya disebabkan oleh masalah multi faktor dari penderita.
Pada luka kronik luka gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan,
tidak berespon baik terhadap terapi dan punya tendensi untuk timbul
kembali. Contohnya adalah ulkus tungkai, ulkus vena, ulkus arteri
(iskemi), penyakit vaskular perifer ulkus dekubitus, neuropati perifer
ulkus dekubitus (Bryant, 2007).

2. Berdasarkan derajat kontaminasi


a. Luka bersih
Luka bersih adalah luka yang tidak terdapat inflamasi dan
infeksi, yang merupakan luka sayat elektif dan steril dimana luka
tersebut berpotensi untuk terinfeksi. Luka tidak ada kontak dengan
orofaring,traktus respiratorius maupun traktus genitourinarius.
Dengan demikian kondisi luka tetap dalam keadaan bersih.
Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%.

b. Luka bersih terkontaminasi


Luka bersih terkontaminasi adalah luka pembedahan dimana
saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran perkemihan dalam
kondisi terkontrol. Proses penyembuhan luka akan lebih lama namun
luka tidak menunjukkan tanda infeksi. Kemungkinan timbulnya
infeksi luka sekitar 3% - 11%.

c. Luka terkontaminasi
Luka terkontaminasi adalah luka yang berpotensi terinfeksi, dan
dapat ditemukan pada luka terbuka karena trauma atau kecelakaan
(luka laserasi), fraktur terbuka maupun luka penetrasi. Kemungkinan
infeksi luka 10% - 17%.

d. Luka kotor
Luka kotor adalah luka lama, luka kecelakaan yang
mengandung jaringan mati dan luka dengan tanda infeksi seperti
cairan purulen. Luka ini bisa sebagai akibat pembedahan yang sangat
terkontaminasi. Bentuk luka seperti perforasi visera, abses dan trauma
lama.

3. Berdasarkan penyebab
a. Vulnus ekskoriasi atau luka lecet/gores adalah cedera pada
permukaan epidermis akibat bersentuhan dengan benda berpermukaan
kasar atau runcing. Luka ini banyak dijumpai pada kejadian traumatik
seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh maupun benturan benda tajam
ataupun tumpul.
b. Vulnus scissum adalah luka sayat atau iris yang di tandai dengan
tepi luka berupa garis lurus dan beraturan. Vulnus scissum biasanya
dijumpai pada aktifitas sehari-hari seperti terkena pisau dapur, sayatan
benda tajam ( seng, kaca ), dimana bentuk luka teratur .
c. Vulnus laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang
tidak beraturan atau compang camping biasanya karena tarikan atau
goresan benda tumpul. Luka ini dapat kita jumpai pada kejadian
kecelakaan lalu lintas dimana bentuk luka tidak beraturan dan kotor,
kedalaman luka bisa menembus lapisan mukosa hingga lapisan otot.
d. Vulnus punctum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda
runcing yang biasanya kedalaman luka lebih dari pada lebarnya.
Misalnya tusukan pisau yang menembus lapisan otot, tusukan paku
dan benda-benda tajam lainnya. Kesemuanya menimbulkan efek
tusukan yang dalam dengan permukaan luka tidak begitu lebar.
e. Vulnus morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan
hewan memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan
yang menggigit. Dengan kedalaman luka juga menyesuaikan gigitan
hewan tersebut.
f. Vulnus combutio adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan
panas maupun sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki bentuk
luka yang tidak beraturan dengan permukaan luka yang lebar dan
warna kulit yang menghitam. Biasanya juga disertai bula karena
kerusakan epitel kulit dan mukosa.

C. Penyembuhan Luka
1. Tahapan penyembuhan luka
Tanpa memandang penyebab, tahapan penyembuhan luka terbagi atas :
1) Fase koagulasi : Koagulasi merupakan respon yang pertama terjadi
sesaat setelah luka terjadi dan melibatkan platelet. Pengeluaran platelet
akan menyebabkan vasokonstriksi. Proses ini bertujuan untuk
homeostatis sehingga mencegah perdarahan lebih lanjut. Proses ini
diikuti oleh proses selanjutnya yaitu fase inflamasi.
2) Fase inflamasi : Fase inflamasi mempunyai prioritas fungsional yaitu
menggalakkan hemostasis, menyingkirkan jaringan mati, dan
mencegah infeksi oleh bakteri patogen terutama bakteria. Pada fase ini
platelet yang membentuk klot hematom mengalami degranulasi,
melepaskan faktor pertumbuhan seperti platelet derived growth factor
(PDGF) dan transforming growth factor ß(βTGF), granulocyte colony
stimulating factor (G-CSF), C5a, TNFα, IL-1 dan IL-8. Fase inflamasi
memungkinkan pergerakan leukosit (utamanya neutrofil). Neutrofil
selanjutnya memfagosit dan membunuh bakteri dan masuk ke matriks
fibrin dalam persiapan pembentukan jaringan baru. Terjadi deposit
matriks fibrin yang mengawali proses penutupan luka. Proses ini
terjadi pada hari 2-4.
3) Fase proliperatif : Apabila tidak ada infeksi atau kontaminasi pada
fase inflamasi, maka proses penyembuhan selanjutnya memasuki
tahapan Proliferasi atau rekonstruksi. Fase proliperatif terjadi dari hari
ke 4-21 setelah trauma. Keratinosit disekitar luka mengalami
perubahan fenotif. Regresi hubungan desmosomal antara keratinosit
pada membran basal menyebabkan sel keratin bermigrasi kearah
lateral. Keratinosit bergerak melalui interaksi dengan matriks protein
ekstraselular (fibronectin,vitronectin dan kolagen tipe I). Faktor
proangiogenik dilepaskan oleh makrofag, vascular endothelial growth
factor (VEGF) sehingga terjadi neovaskularisasi dan pembentukan
jaringan granulasi.
Tujuan utama dari fase ini adalah:

 Proses granulasi (untuk mengisi ruang kosong pada luka).


 Angiogenesis (pertumbuhan kapiler baru).
Secara klinis akan tampak kemerahan pada luka. Angiogenesis
terjadi bersamaan dengan fibroplasia. Tanpa proses
angiogenesis sel-sel penyembuhan tidak dapat bermigrasi,
replikasi, melawan infeksi dan pembentukan atau deposit
komponen matrik baru.

 Proses kontraksi (untuk menarik kedua tepi luka agar saling


berdekatan).
Menurut Hunt (2003) kontraksi adalah peristiwa fisiologi yang
menyebabkan terjadinya penutupan pada luka terbuka.
Kontraksi terjadi bersamaan dengan sintesis kolagen. Hasil
dari kontraksi akan tampak dimana ukuran luka akan tampak
semakin mengecil atau menyatu.

4) Fase remodeling : Remodeling merupakan fase yang paling lama pada


proses penyembuhan luka,terjadi pada hari ke 21-hingga 1 tahun.
Terjadi kontraksi luka, akibat pembentukan aktin myofibroblas dengan
aktin mikrofilamen yang memberikan kekuatan kontraksi pada
penyembuhan luka. Pada fase ini terjadi juga remodeling kolagen.
Kolagen tipe III digantikan kolagen tipe I yang dimediasi matriks
metalloproteinase yang disekresi makrofag, fibroblas, dan sel endotel.
Pada masa 3 minggu penyembuhan, luka telah mendapatkan kembali
20% kekuatan jaringan normal (Hunt,2003; Mann ,dkk;2001,
Ting,dkk;2008).
2. Tipe Penyembuhan Luka
Terdapat 3 macam tipe penyembuhan luka, dimana pembagian ini
dikarakteristikkan dengan jumlah jaringan yang hilang.

a. Primary Intention Healing (penyembuhan luka primer) yaitu


penyembuhan yang terjadi segera setelah diusahakan bertautnya
tepi luka biasanya dengan jahitan. Penutupan ini akan merapatkan
jaringan yang terputus dengan bantuan benang, klip dan verban
perekat. Setelah beberapa waktu, maka sintesis, penempatan dan
pengerutan jaringan kolagen akan memberikan kekuatan dan
integritas pada jaringan tersebut. Pertumbuhan kolagen tersebut
sangat penting pada tipe penyembuhan ini. Pada penutupan
primer tertunda, perapatan jaringan ditunda beberapa hari setelah
luka di buat atau terjadi. Penundaan penutupan luka ini bertujuan
mencegah infeksi pada luka-luka yang jelas terkontaminasi oleh
bakteri atau yang mengalami trauma jaringan yang hebat. Fase-
fase dalam intention primer :
1) Fase inisial berlangsung 3-5 hari
2) Sudut insisi merapat, migrasi sel-sel epitel,mulai
pertumbuhan sel
3) Fase granulasi (5 hari – 4 mg)
Fibroblas bermigrasi kedalam bagian luka dan mensekresi
kolagen. Selama fase granulasi luka berwarna merah muda
dan mengandung pembuluh darah. Tampak granula-granula
merah. Luka beresiko dehiscence dan resisten terhadap
infeksi. Epitelium pada permukaan tepi luka mulai terlihat.
Dalam beberapa hari lapisan epithelium yang tipis akan
bermigrasi menyebrangi permukaan luka. Epitel menebal dan
mulai matur dan luka mulai merapat. Pada luka superficial,
reepitelisasi terjadi 3-5 hari.

4) Fase kontraktur scar (7 hari – beberapa bulan)


Serabut-serabut kolagen terbentuk dan terjadi proses
remodeling. Pergerakan miofibroblast yang aktif
menyebabkan kontraksi area penyembuhan, menutup defek
dan membawa ujung kulit tertutup bersama-sama. Skar yang
matur selanjutnya terbentuk. Skar yang matur tidak
mengandung pembuluh darah dan pucat, serta lebih terasa
nyeri dari pada fase granulasi.
b. Secondary Intention Healing (penyembuhan luka sekunder) yaitu
luka yang tidak mengalami penyembuhan primer. Tipe ini
dikarakteristikkan oleh adanya luka yang luas dan hilangnya
jaringan dalam jumlah besar. Proses penyembuhan terjadi lebih
kompleks dan lebih lama. Luka jenis ini biasanya tetap terbuka.
c. Tertiary Intention Healing (penyembuhan luka tertier) yaitu luka
yang dibiarkan terbuka selama beberapa hari setelah tindakan
debridement. Setelah diyakini bersih, tepi luka dipertautkan (4-7
hari). Luka ini merupakan tipe penyembuhan luka yang terakhir
(Mansjoer,2000; InETNA, 2004:4).
Primary Intention Healing

Secondary Intention Healing


Delayed Primary Intention Healing

7. Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka


a. Faktor yang mempercepat penyembuhan luka terdiri dari:
1) Pertimbangan perkembangan
Anak dan orang dewasa lebih cepat lebih cepat
penyembuhan luka daripada orang tua. Orang tua lebih sering
terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati yang dapat
mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah (Kozier, 1995).
2) Nutrisi
Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian
metabolisme pada tubuh. Klien memerlukan diit kaya Protein,
Karbonhidrat, Lemak, Vitamin dan Miniral (Fe, Zn) Bila kurang
nutrisi diperlukan waktu untuk memperbaiki status nutrisi setelah
pembedahan jika mungkin. Klien yang gemuk meningkatkan
resiko infeksi luka dan penyembuhan lama karena supply darah
jaringan adipose tidak adekwat (Taylor, 1997).
3) Infeksi
Ada tidaknya infeksi pada luka merupakan penentu dalam
percepatan penyembuhan luka. Sumber utama infeksi adalah
bakteri. Dengan adanya infeksi maka fase-fase dalam
penyembuhan luka akan terhambat.
4) Sirkulasi dan Oksigenasi
Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan
luka. Saat kondisi fisik lemah atau letih maka oksigenasi dan
sirkulasi jaringan sel tidak berjalan lancar. Adanya sejumlah besar
lemak subkutan dan jaringan lemak yang memiliki sedikit
pembuluh darah berpengaruh terhadap kelancaran sirkulasi dan
oksigenisasi jaringan sel.
Pada orang gemuk penyembuhan luka lambat karena
jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah Infeksi dan lama
untuk sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa
yang mederita gangguan pembuluh darah prifer, hipertensi atau
DM. Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita
anemia atau gangguan pernafasan kronik pada perokok.
5) Keadaan luka
Keadaan khusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan
efektifitas penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk
menyatu dengan cepat. Misalnya luka kotor akan lambat
penyembuhannya dibanding dengan luka bersih.
6) Obat
Obat antiinflamasi (seperti aspirin dan steroid), heparin dan
antineoplasmik mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan
antibiotik yang lama dapat membuat tubuh seseorang rentan
terhadap Infeksi luka. Dengan demikian pengobatan luka akan
berjalan lambat dan membutuhkan waktu yang lebih lama.
b. Faktor yang memperlambat penyembuhan luka
Tidak adanya penyembuhan luka akibat dari kerusakan pada
satu atau lebih dari proses penyembuhan normal. Proses ini
diklasifikasikan menjadi faktor intrinsik dan ekstrinsik
1) Faktor Intrinsik
Ketika luka terinfeksi, respon inflamatori berlangsung lama
dan penyembuhan luka terlambat. Luka tidak akan sembuh selama
ada infeksi. Infeksi dapat berkembang saat pertahanan tubuh lemah.
Diagnosa dari infeksi jika nilai kultur luka melebihi nilai normal.
Kultur memerlukan waktu 24-48 jam dan selama menunggu pasien
di beri antibiotika spektrum luas. Kadang-kadang benda asing
dalam luka adalah sumber infeksi.
Suplai darah yang adekuat perlu bagi tiap aspek
penyembuhan. Suplai darah dapat terbatas karena kerusakan pada
pembulu darah jantung/paru. Hipoksia mengganggu aliran oksigen
dan nutrisi pada luka, serta aktifitas dari sel pertumbuhan tubuh.
Neutropil memerlukan oksigen untuk menghasilkan oksigen
peroksida untuk membunuh patogen. Demikian juga fibroblast dan
fagositosis terbentuk lambat. Satu-satunya aspek yang dapat
meningkatkan penyembuhan luka pada keadaan hipoksia adalah
angio genesis.
2) Faktor ekstrinsik
Faktor ektrinsik dapat memperlambat penyembuhan luka
meliputi malnutrisi, perubahan usia dan penyakit seperti diabetes
melitus. Malnutrisi dapat mempengaruhi beberapa area dari proses
penyembuhan. Kekurangan protein menurunkan sintesa dari
kolagen dan leukosit. Kekurangan lemak dan karbonhidrat
memperlambat semua fase penyembuhan luka karena protein di
rubah menjadi energi selama malnutrisi. Kekurangan vitamin
menyebabkan terlambatnya produksi dari kolagen, respon imun dan
respon koagulasi.
Pasien tua yang mengalami penurunan respon inflamatari
yang memperlambat proses penyembuhan. Usia tua menyebabkan
penurunan sirkulasi migrasi sel darah putih pada sisa luka dan
fagositasis terlambat. Ditambah pula kemungkinan Pasien
mengalami gangguan yang secara bersamaan menghambat
penyembuhan luka seperti Diabetes Melitus.
Diabetes Melitus adalah gangguan yang menyebabkan
banyak pasien mengalami kesulitan dalam proses penyembuhan
karena gangguan sintesa kolagen, angiogenesis dan fagositosis.
Peningkatan kadar glucosa mengganggu transport sel asam
askorbat kedalaman bermacam sel termasuk fibroblast dan
leukosit. Hiperglikemi juga menurunkan leukosit kemotaktis,
arterosklerosis, kususnya pembuluh darah kecil, juga pada
gangguan suplai oksigen jaringan.
Neuropati diobotik mrupakan gangguan penyembuhan lebih
lanjut dengan mengganggu komponen neurologis dari
penyembuhan. Kontrol dari gulu darah setelah operasi
memudahkan penyembuhan luka secara normal.
Merokok adalah gangguan Vaso kontriksi dan hipoksia
karena kadar CO2 dalam rokok serta membatasi suplai oksigen ke
jaringan. Merokok meningkatkan arteri sklerosis dan platelet
agregasi. Lebih lanjut kondisi ini membatasi jumlah oksigen dalam
luka.
Penggunaan steroid memperlambat penyembuhan dengan
menghambat kologen sintesis, Pasien yang minum steroid
mengalami penurunan strenght luka, menghambat kontraksi dan
menghalangi epitilisasi.
Untungnya Vitamin A ada untuk meningkatkan
penyembuhan luka yang terhambat karena gangguan atau
penggunaan steroid.
8. Komplikasi Penyembuhan Luka
Meliputi Infeksi, pendarahan, dehiscence dan evicerasi
a. Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama
pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari Infeksi sering
muncul dalam 2-7 hari setelah pembedahan.gejalanya berupa infeksi
termasuk adanya purulent, peningkatan drainage, nyeri, kemerahan
dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan
leukosit.
b. Pendarahan
Dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku pada
garis jahitan, infeksi atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing
(seperti darain). Hipovolemia mungkin tidak cepat tampak, sehingga
balutan jika mungkin harus sering di lihat selama 48 jam pertama
setelah pembedahan dan tiap 8 jam setelah itu. Jika terjadi perdarahan
yang berlegihan, penambahan tekanan luka steril mungkin diperlukan.
Pemberian cairan & intervensi pembedahan mungkin diperlukan.
c. Dehiscence dan Eviscerasi
Dehiscence dan Eviscerasi adalah komplikasi post operasi yang
serius. Dehiscence yaitu terbukanya lapisan luka partial. Eviscerasi
yaitu keluarnya pembuluh kapiler melalui daerah irisan. Sejumlah
faktor meliputi ; kegemukan, kurang nutrisi, multiple trauma, gagal
untuk menyatu, bentuk yang berlebihan, muntah dan dehidrasi dapat
mempertinggi resiko klien mengalami dehiscence luka. Ketika
dehiscence & eviscerasi terjadi luka, harus segera ditutup dengan
balutan steril yang lebar kompres dengan normal saline. Klien
disiapkan untuk segera dilakukan perbaikan pada daerah luka.

D. Pengkajian Luka
1. Lokasi
Lokasi luka dapat mempengaruhi penyembuhan luka, dimana tidak
semua lokasi tubuh mendapatkan peredaran darah yang sama. Ditinjau dari
prinsip fisiologis, pada bagian tubuh yang memiliki pembuluh darah yang
banyak akan mendapatkan aliran darah yang banyak. Hal ini akan
mendukung penyembuhan luka lebih cepat dibandingkan dari bagian
tubuh yang lebih sedikit mendapat aliran darah.
2. Ukuran luka
Diukur panjang, lebar dan diameternya bila bentuk luka bulat
dengan sentimeter, gambarkan bentuk luka tersebut dengan lembar
transparan yang telah dicatat berpola kotak-kotak berukuran sentimeter.
3. Kedalaman luka
Kedalaman luka dapat diukur dengan kapas lidi steril yang sudah
dilembabkan dengan normal saline, masukan dengan hati-hati kedalam
luka dengan posisi tegak lurus (90o) hingga kedasar luka. Beri tanda pada
lidi sejajar dengan permukaan kulit disekitar luka. Ukur dengan
sentimeter.
4. Goa atau terowongan
Goa dan terowongan dapat diketahui denga melakukan palpas
jaringan disekeliling pinggir luka, dimana akan teraba
tenderness/perlukan. Masukan saline melalui mulut lubang ke dasar
luka/ujung terowongan. Beri tanda pada lidi sejajar dengan permukaan
kulit disekitar luka. Beri tekanan /palpasi dengan hati-hati dan kaji saluran
yang abnormal tersebut.
Jangan pernah menggunakan kekuatan dorongan yang berlebilan
bila menggunakan kapas lidi. Ukur lokasi dan kedalaman
lubang/penetrasi. Untuk penentuan lokasi ditetepkan dengan pola arah
jarum jam dengan pusat pada tengah luka dan jam 12 sesuai garis anatomis
sumbu tubuh manusia. Misalnya lokasi mulut lubang terdapat pada posisi
jam 8 dengan kedalaman 5 cm atau dapat dibuatkan gambar jam dengan
tanda pada posisi jam 8.
5. Warna dasar luka
Warna dasar luka sangat penting dikaji karena berhububungan
dengan penentuan terapi topikal dan jenis balutan luka. Ada beberapa
macam warna dasar luka yang membutuhkan perlakuan spesifik terhadap
masing-masing sesuai warna dasar tersebut.
a) Nekrotik
Biasanya warna dasar hitam, tampak kering dan keras disebut
keropeng. Kering tidak berarti jaringan dibawahnya tidak terinfeksi
atau tidak ada sksudat, ini tidak dapat dipastikan tanpa dilakukan
palpasi terlebih dahulu. Dengan melakukan palpasi dapat dirasakan
ada tenderness atau tidak dibawah jaringan keropang tersebut dan
disekitar luka teraba panas dan tampak tanda radang disekelilingnya
yang perlu diperhatikan. Dan juga tidak terlepas dari keluhan
penderita apakah merasa nyeri berdenyut dibawah jaringan nekroit
tersebut. Untuk luka seperti ini membutuhkan suasana yang lembab
sehingga nekrotik yang kering tersebut dapat lepas dengan sendirinya.
Jenis balutan yang baik adalah hidrogel. Diatasnya diletakan kasa dan
balutan transparan.
b) Sloughy
Warna dasar luka ini tampak kekuningan, sangat eksudatif atau
tampak berair/basah. Sloughy ini harus diangkat dari permukaan luka
karena jaringan ini juga sedang mengalami nekrotik, dengan demikian
pada dasar luka akan tumbuh jaringan granulasi buntuk proses
penyembuahan. Untuk luka seperti ini dibutuhkan hydrogen untuk
melepas jaringan nekroit. Gunakan hydrofiber untuk menyerap
eksudat yang berlebihan sehingga tercipta lingkungan yang konduksif.
(moist/lembab) untuk proses panyembuhan luka. Bila luka mudah
berdarah lebih baik digunakan calcium alginate. Hydrofiber yang
mengandung calcium alginato dapat menghentikan pendarahan
dengan segera.
c) Granulasi
Warna dasar luka ini adalah merah. Perlu diketahui bahwa ini
merupakan pertumbuhan jaringan yang baik, namun tidak dapay
dibiarkan tanpa pambalut. Tetap harus diberi pelindung sebagai
pengganti kulit utuk mencegah kontaminasi dari dunia luar dan
menciptakan kondisi lingkungan luka yang baru untuk pertumbuhan
sel granulasi tersebut. Biasanya luka ini sangat mudah berdarah. Boleh
diberikan balutan hydrogen dan apabila eksudat banyak dapat
digunakan hydrofiber yang mengandung calcium alginate labih
efektif.
d) Epitelisasi
Warna dasarnya adalah pink, kadang-kadang sebagian luka ini
masih dalam proses glanulasi. Untuk itu perlu pemilihan balutan yang
dapat mendukung mutasi sel yaitu douderm tipis extra thin). Balutan
ini berbentuk wafer/padat, tidak berbentuk seruk, namun cukup lunak
dan nyaman diletakan diatas permukaan luka dan tidak menimbulkan
trauma terghadap luka, dapat juga menyetap eksudut yang minimal
melindungi luka dari kontaminasi.
e) Infeksi
Luka ini banyak warna dasarnya, umumnya ada pada ke empat
warna diatas. Untuk luka ini balutan balutan dapat dikombinasi. Bila
cendrung berdarah dapat ditutup dengan calciun alginate diatas bagian
yang berdarah tersebut. Untuk eksudat yang banyak dapat dipilih
hydrofiber dan untuk bau yang tidak enak dapat diberikan Carboflex.
Kemudian tutup denga balutan transparan untuk memantau kondisi
dari luar tanpa membuka balutan
f) Funging malodours
Warna luka berfariasi, luka ini sangat kompleks biasanya dialami
oleh penderita kangker, terutama kanker mammae dimana sebagian
permukaan luka sangat mudah berdarah, eksudat banyak, bau tidak
enak, ukurannya besar dan lokasinya dekat dengan hidung. Untuk
menentukan balutan yang efektif dapat dilakukan sesuatu dengan
petunjuk pada luka yang terinfeksi yang telah ditulis sebelumnya.

E. Perawatan Luka
Perawatan luka adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
merawat luka agar dapat mencegah terjadinya trauma (injuri) pada kulit
membran mukosa atau jaringan lain, fraktur, luka operasi yang dapat merusak
permukaan kulit. Serangkaian kegiatan itu meliputi pembersihan luka,
memasang balutan, mengganti balutan, pengisian (packing) luka, memfiksasi
balutan, tindakan pemberian rasa nyaman yang meliputi membersihkan kulit
dan daerah drainase, irigasi, pembuangan drainase, pemasangan perban
(Bryant, 2007).

1. Bahan-bahan pada perawatan luka


Perawatan luka menggunakan berbagai bahan perawatan antara
lain balutan, larutan pembersih, larutan antiseptik, balutan sekunder dan
semprotan perekat.

a. Pembalut luka
Pembalutan luka bertujuan untuk mengabsorsi eksudat dan melindungi
luka dari kontaminasi eksogen. Penggunaan balutan juga harus
disesuaikan dengan karakteristik luka.

Jenis-jenis balutan antara lain :

1) Balutan kering
Luka-luka dengan kulit yang masih utuh atau tepi kulit
yang dipertautkan mempunyai permukaan yang kering sehingga
balutan tidak akan melekat, maka pada keadaan seperti ini paling
sering digunakan kasa dengan jala-jala yang lebar, kasa ini akan
melindungi luka dan memungkinkan sirkulasi udara yang baik
melalui balutan. Dengan demikian uap lembab dari kulit dapat
menguap dan balutan tetap kering (Schrock, 1995).

2) Balutan basah kering


Balutan kasa terbuat dari tenunan dan serat non tenunan,
rayon, poliester, atau kombinasi dari serat lainnya. Kasa dari kapas
digunakan sebagai pembalut pertama dan kedua, kasa tersedia
sebagai pembalut luka, spons, pembalut melingkar dan kaus kaki.
Berbagai produk tenunan ada yang kasar dan berlubang, tergantung
pada benangnya. Kasa berlubang yang baik sering digunakan untuk
membungkus, seperti balutan basah lembab normal salin. Kasa
katun kasar, seperti balutan basah lembab normal salin, digunakan
untuk debridemen non selektif (mengangkat debris atau jaringan
yang mati).

3) Balutan modern
Kemajuan ilmu pengetahuan dalam perawatan luka telah
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini tidak terlepas
dari dukungan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perkembangan ilmu tersebut dapat dilihat dari banyaknya inovasi
terbaru dalam perkembangan produk bahan pembalut luka modern.
Bahan pembalut luka modern adalah produk pembalut hasil
teknologi tinggi yang mampu mengontrol kelembaban disekitar
luka. Bahan balutan luka modern ini di disesuaikan dengan jenis
luka dan eksudat yang menyertainya. Jenis-jenis balutan luka yang
mampu mempertahankan kelembaban antara lain (Bryant, 2007) :

a) Alginat
Alginat banyak terkandung dalam rumput laut cokelat
dan kualitasnya bervariasi. Polisakarida ini digunakan untuk
bahan regenerasi pembuluh darah, kulit, tulang rawan, ikatan
sendi dan sebagainya. Apabila pembalut luka dari alginat
kontak dengan luka, maka akan terjadi infeksi dengan eksudat,
menghasilkan suatu jel natrium alginat. Jel ini bersifat
hidrofilik, dapat ditembus oleh oksigen tapi tidak oleh bakteri
dan dapat mempercepat pertumbuhan jaringan baru. Selain itu
bahan yang berasal dari alginat memiliki daya absorpsi tinggi,
dapat menutup luka, menjaga keseimbangan lembab disekitar
luka, mudah digunakan, bersifat elastis. antibakteri, dan
nontoksik.

Alginat adalah balutan primer dan membutuhkan


balutan sekunder seperti film semi-permiabel, foam sebagai
penutup. Hal ini disebabkan karena balutan ini menyerap
eksudat, memberi kelembaban, dan melindungi kulit di
sekitarnya agar tidak mudah rusak. Untuk memperoleh hasil
yang optimal balutan ini harus diganti sekali sehari. Balutan ini
dindikasi untuk luka superfisial dengan eksudat sedang sampai
banyak dan untuk luka dalam dengan eksudat sedang sampai
banyak sedangkan kontraindikasinya adalah tidak dinjurkan
untuk membalut luka pada luka bakar derajat III.

b) Hidrogel
Hidrogel tersedia dalam bentuk lembaran (seperti serat
kasa, atau jel) yang tidak berperekat yang mengandung polimer
hidrofil berikatan silang yang dapat menyerap air dalam
volume yang cukup besar tanpa merusak kekompakkan atau
struktur bahan. Jel akan memberi rasa sejuk dan dingin pada
luka, yang akan meningkatkan rasa nyaman pasien. Jel
diletakkan langsung diatas permukaan luka, dan biasanya
dibalut dengan balutan sekunder (foam atau kasa) untuk
mempertahankan kelembaban sesuai level yang dibutuhkan
untuk mendukung penyembuhan luka. Indikasi balutan ini
adalah digunakan pada jenis luka dengan cairan yang sedikit
sedangkan kontraindikasinya adalah luka yang banyak
mengeluarkan cairan

c) Foam Silikon Lunak


Balutan jenis ini menggunakan bahan silikon yang
direkatkan, pada permukaan yang kontak dengan luka. Silikon
membantu mencegah balutan foam melekat pada permukaan
luka atau sekitar kulit pada pinggir luka. Hasilnya
menghindarkan luka dari trauma akibat balutan saat mengganti
balutan, dan membantu proses penyembuhan. Balutan luka
silikon lunak ini dirancang untuk luka dengan drainase dan
luas.

d) Hidrokoloid
Balutan hidrokoloid bersifat ”water-loving” dirancang
elastis dan merekat yang mengandung jell seperti pektin atau
gelatin dan bahan-bahan absorben atau penyerap lainnya.
Balutan hidrokoloid bersifat semipermiabel, semipoliuretan
padat mengandung partikel hidroaktif yang akan mengembang
atau membentuk jel karena menyerap cairan luka. Bila
dikenakan pada luka, drainase dari luka berinteraksi dengan
komponen-komponen dari balutan untuk membentuk seperti jel
yang menciptakan lingkungan yang lembab yang dapat
merangsang pertumbuhan jaringan sel untuk penyembuhan
luka. Balutan hidrokoloid ada dalam bermacam bentuk, ukuran,
dan ketebalan. Balutan hidrokoloid digunakan pada luka
dengan jumlah drainase sedikit atau sedang. Balutan jenis ini
biasanya diganti satu kali selama 5-7 hari, tergantung pada
metode aplikasinya, lokasi luka, derajat paparan kerutan-
kerutan dan potongan-potongan, dan inkontinensia. Balutan ini
diindikasi kan pada luka pada kaki, luka bernanah, sedangkan
kontraindikasi balutan ini adalah tidak digunakan pada luka
yang terinfeksi.

e) Hidrofiber
Hidrofiber merupakan balutan yang sangat lunak dan
bukan tenunan atau balutan pita yang terbuat dari serat sodium
carboxymethylcellusole, beberapa bahan penyerap sama
dengan yang digunakan pada balutan hidrokoloid. Komponen-
komponen balutan akan berinteraksi dengan drainase dari luka
untuk membentuk jel yang lunak yang sangat mudah
dieliminasi dari permukaan luka. Hidrofiber digunakan pada
luka dengan drainase yang sedang atau banyak, dan luka yang
dalam dan membutuhkan balutan sekunder. Hidrofiber dapat
juga digunakan pada luka yang kering sepanjang kelembaban
balutan tetap dipertahankan (dengan menambahkan larutan
normal salin). Balutan hidrofiber dapat dipakai selama 7 hari,
tergantung pada jumlah drainase pada luka (Bryant, 2007).

b. Larutan pembersih
Menurut pedoman AHCPR 1994, cairan pembersih yang
dianjurkan adalah Sodium klorida. Sodium klorida atau natrium
klorida tersusun atas Na dan Cl yang sama seperti plasma. Sodium
klorida tersedia dalam beberapa konsentrasi, yang paling sering adalah
sodium klorida 0,90 %. Normal salin merupakan larutan isotonis yang
aman untuk tubuh, tidak iritan, melindungi granulasi jaringan dari
kondisi kering, menjaga kelembapan disekitar luka, membantu luka
menjalani proses penyembuhan serta mudah didapat dan harga relatif
lebih murah (Bryant, 2007).

c. Agen topikal
Agen topikal terdiri dari antiseptik dan antibakteri. Antiseptik
adalah bahan-kimia yang dioleskan pada kulit atau jaringan yang hidup
untuk menghambat dan membunuh mikroorganisme (baik yang
bersifat sementara maupun yang tinggal menetap pada luka) dengan
demikian akan mengurangi jumlah total bakteri yang ada pada luka.

Pada perawatan luka modern, pemakaian antiseptik yang


diperkenalkan oleh Lister, seperti povidone-iodine, hypoclorite, asam
asetat tidak digunakan lagi pada luka-luka terbuka dan luka bersih
seperti luka bedah (akut) dan luka-luka kronik. Pemakaian povidone
iodine hanya digunakan pada luka-luka akut maupun kronik yang
dapat menunjukkan kesembuhan (healable wound), luka yang
mengalami infeksi. Povidone iodine juga digunakan untuk
mensterilkan alat dan permukaan kulit yang utuh yang akan dioperasi.
Sehingga, untuk mencegah kerusakan jaringan baru pada luka, WHO
menyarankan agar tidak lagi menggunakan antiseptik pada luka bersih,
tetapi menggunakan normal salin sebagai agen pembersih (WHO,
2010).

Agen topikal golongan antibiotik yang sering digunakan adalah


bacitracin, silver sulfadiazine, neomysin, polymyxin. Pemberian
antibakteri diindikasikan pada luka yang memiliki tanda-tanda infeksi
(Moon, 2003).

d. Balutan sekunder (Secondary dressing)


Balutan sekunder adalah bahan perawatan luka yang
memberikan efek terapi atau berfungsi melindungi, megamankan dan
menutupi balutan primer. Jenis-jenis balutan sekunder antara lain:

1) Pita perekat (adhesive tape)


Beberapa pita perekat yang sering digunakan dalam
perawatan luka antara lain (Knottenbelt, 2003) :

a) Plester cokelat terdiri dari bahan tenunan katun sewarna kulit


dengan perekat Zinc oksida berpori dengan daya lekat kuat
namun tidak sakit saat dilepas. Plester ini diindikasikan untuk
plester serbaguna, retensi bantalan penutup luka, fiksasi infus.
b) Plester luka Non Woven, terbuat dari bahan akrilik yang
hipoalergenik. Kertas pelindung terbuat dari silikon bergaris
dan memiliki crack back, yang memudahkan pemakaian
(teknik asepsis), mengikuti lekuk tubuh, perlindungan
menyeluruh untuk mencegah kontaminasi. Plester ini memiliki
daya lekat optimal (tidak terlalu lengkat dikulit namun tidak
mudah lepas). Plester ini diindikasikan untuk retensi bantalan
penutup luka, fiksasi infus. Contoh : Biopore, Hipavix.
c) Balutan Perekat (Adhesive Dressing)
Contohnya : Perekat Alginat, perekat hidrokoloid, transparent
film.
d) Perban
Contohnya: Balutan tubular, balutan kompresi tinggi.

e. Semprotan perekat
Semprotan perekat merupakaan cara lain untuk
mempertahankan balutan agar tetap pada tempatnya. Beberapa lapis
kasa diletakkan langsung pada luka, kemudian balutan dipenuhi
dengan semprotan perekat, dan setelah mengering, kelebihan kasa
digunting. Jenis ini disemprotkan langsung pada luka yang akan segera
mengering dan memberikan perlindungan yang baik (Morrison, 2004).

2. Perawatan luka berdasarkan karakteristik luka


a. Perawatan luka yang memiliki jaringan nekrotik
Jaringan nekrotik sering dijumpai pada luka kronis seperti
ulkus iskemi, ulkus neuropatik, ulkus vena, dan ulkus dekubitus.
Debridemen adalah pengangkatan jaringan yang sudah mengalami
nekrosis yang bertujuan untuk menyokong pemulihan luka. Indikasi
debridemen adalah luka akut atau kronik dengan jaringan nekrosis,
luka terinfeksi dengan jaringan nekrotik. Pemilihan metode
debridemen harus berdasarkan karakteristik jaringan nekrotik yang
ada pada luka klien.

Menurut Suriadi (2007) ada beberapa cara debridemen diantaranya :

1) Debridemen mekanik, yaitu dengan kompres basah kering (wet to


dry), hidroterapi, dan irigasi luka. Metode debridemen mekanik ini
diindikasikan untuk luka dengan jumlah jaringan nekrotik yang
banyak dan luka infeksi. Dengan demikian pemantauaan untuk
daerah yang terkena mudah untuk dilakukan.
2) Debridemen pembedahan (surgical), yaitu dengan bedah insisi.
Metode ini merupakan cara yang paling cepat untuk membuang
jaringan nekrotik dalam jumlah banyak. Dampak negatif dari
debridemen ini adalah peningkatan resiko pasien terhadap
perdarahan, anestesi, dan sepsis. Fakta yang sering terjadi adalah
banyak infeksi yang terjadi setelah operasi terutama pada orang-
orang yang memiliki status kesehatan yang tidak optimal.
3) Debridemen autolisis, yaitu lisisnya jaringan nekrotik dengan
sendirinya oleh enzim badan sel darah putih, yang memasuki
daerah luka selama proses inflamasi. Debridemen autolisis hanya
digunakan pada klien yang tidak terinfeksi dengan jumlah jaringan
nekrotik yang terbatas. Debridemen autolisis ini dapat dilakukan
dengan menggunakan balutan yang dapat mempertahankan
kelembaban seperti hidrokoloid, hidrogel, alginat.
b. Penatalaksanaan luka yang terinfeksi
Kebanyakan luka kronis dikontaminasi oleh mikroorganisme
yang sangat banyak yang tampaknya tidak memperlambat proses
penyembuhan. Pada luka infeksi yang menghasilkan bau dapat
menggunakan balutan arang aktif (Activated charcoal dressing)
sebagai penghilang rasa bau (deodoriser) yang efektif. Jika terdapat
eksudat dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, maka balutan busa
yang menyerap dan dilapisi arang (Morrison, 2004).

c. Penatalaksanaan luka dengan banyak eksudat


Sekalipun jaringan nekrotik dan jaringan tampak jelas
terinfeksi telah diangkat dari bidang luka, luka dapat terus
menghasilkan eksudat dalam jumlah banyak yang dapat menembus
balutan non-oklusif dan meningkatkan risiko infeksi luka. Eksudat
dapat juga mengikis tepi luka jika jaringan sekitarnya menjadi
terendam air. Volume eksudat berkurang pada waktunya, tetapi sampai
stadium tersebut diperlukan balutan yang bisa menyerap dan tidak
melekat. (Morrison, 2004).
Luka-luka yang bereksudat dibagi ke dalam tiga kategori,
tergantung kedalaman dan tingkat eksudat yang dihasilkan (Morrison,
2004), antara lain :

1) Untuk luka-luka superfisial dengan eksudat sedikit sampai sedang,


pemilihan balutan meliputi: Lembaran hidrokoloid. Lembar
balutan ini tidak memerlukan balutan sekunder dan cukup mudah
untuk melihat kapan balutan tersebut perlu diganti.
2) Untuk luka superfisial dengan eksudat sedang sampai banyak,
pilihan balutan seperti balutan alginat.
3) Untuk luka dalam dengan eksudat sedang sampai banyak, pilihan
balutan meliputi: granula atau pasta hidrokoloid, hidrogel yang
bergranulasi balutan alginat, balutan alginat dalam bentuk pita
atau tali sangat berguna untuk membungkus luka yang sempit,
balutan busa.
d. Perawatan luka dalam yang bersih dengan sedikit eksudat
Bila jumlah eksudat sudah berkurang, maka silastic foam
merupakan suatu cara pembalutan yang sangat bermanfaat khususnya
pada luka dalam yang bersih berbentuk cawan, seperti sinus pilonidal
yang sudah dieksisi, atau dekubitus luas didaerah sakrum. Untuk luka
yang lebih kecil, pasien atau yang memberi perawatan, dapat
melakukan desinfeksi dua kali sehari dengan foam stent atau menutup
luka tersebut.

3. Perawatan luka berdasarkan etiologinya (Suriadi, 2007)


a. Luka insisi bedah
Lakukan pengkajian kondisi area operasi yang meliputi kondisi
balutan, adanya perdarahan, drain, insisi atau jahitan. Lakukan
pembersihan luka dimulai pada pusat luka ke arah keluar dan secara
perlahan-lahan karena luka setelah operasi terdapat sedikit edema.
Gunakan normal salin untuk membersihkan luka. Hindari penggunaan
larutan yang bersifat sitotoksik seperti hydrogen perokside dan
povidone iodine karena dapat merusak jaringan dan memperlambat
penyembuhan luka. Pertahankan kondisi luka tetap bersih dan
termasuk lingkungan tempat tidur pasien. Penggantian balutan
tergantung pada kondisi balutan bersih atau kotor. Bila kondisi balutan
kering dan bersih balutan diganti 2 atau 3 hari sekali setelah operasi
dan juga tergantung jenis balutan yang digunakan. Jenis balutan yang
disarankan adalah balutan yang dapat mempertahankan kelembaban.
Penggunaan kasa dan salin normal, saat penggantian balutan kering
akan menekan permukaan yang mengakibatkan pertumbuhan jaringan
sehat yang terganggu dan menimbulkan rasa nyeri.

b. Ulkus Arteri
Lakukan pengkajian tanda-tanda infeksi, bila keadaan luka kering dan
eskar keras, jangan lakukan debridemen. Hindari terapi (kompresi)
karena dapat menghambat aliran darah. Lakukan balutan dengan
teknik steril dan pertahankan lingkungan dalam keadaan lembab.
Gunakan balutan hidrokoloid jika ada untuk menjaga kelembaban
lingkungan luka. Pada saat berbaring posisi kepala ditinggikan 5
sampai 7 derajat yang bertujuan untuk menyokong sirkulasi daerah
kulit dan ke bagian ekstremitas.

c. Ulkus Vena
Lakukan pengkajian kondisi area luka. Ganti balutan dengan teknik
steril. Bersihkan luka dengan salin normal. Bila terdapat jaringan
nekrotik lakukan debridemen. Lakukan terapi kompresi, yang
bertujuan untuk memperlancar aliran limfatik, reduksi tekanan vena
superfisial dan mengurangi aliran balik ke pembuluh vena yang
dalam. Pemberian obat topikal tergantung jumlah eksudat dan ukuran
luka, ada tidaknya infeksi dan karakteristik sekeliling luka. Apabila
menggunakan balutan untuk kelembaban lingkungan dapat
menggunakan hidrokoloid, transparan film, dan foam. Lakukan
peninggian posisi pada daerah kaki, hal yang dapat meningkatkan
sensitivitas pada sekeliling luka.; hindari larutan atimikrobial, hindari
bahan yang sifatnya lengket. Prinsip perawatan luka pada ulkus vena
adalah meningkatkan pengisian kembali ke vena, yang akan
menyebabkan statis vena menurun.

d. Neuropati perifer ulkus diabetic


Penggunaan balutan pada neoropatik perifer ulkus diabetik dapat
disesuaikan dengan jumlah eksudat yang dihasilkan oleh luka. Balutan
yang sering digunakan adalah hidrogel. Balutan ini digunakan ketika
luka sedang kering dengan tujuan menghasilkan sedikit cairan untuk
melembabkan permukaan luka. Balutan foam digunakan ketika luka
menghasilkan cairan eksudat yang banyak sampai sedang dan balutan
alginat digunakan ketika luka menghasilkan banyak cairan eksudat.

e. Ulkus Dekubitus
Perawatan luka dekubitus mencakup 3 prinsip : debridemen,
pembersihan dan dressing. Debridemen dilakukan untuk mencegah
infeksi yang lebih luas. Debridemen bertujuan untuk mengangkat
jaringan yang sudah mengalami nekrosis. Pada setiap luka yang akan
diganti selalu dibersihkan. Bahan-bahan yang perlu dihindari untuk
membersihkan luka seperti povidone iodine, larutan sodium
hypoclorite. Gunakan normal salin sebagai larutan pembersih luka.
Gunakan balutan hidrokoloid, tetapi jika luka menghasilkan banyak
cairan eksudat (lebih dari 50% balutan primer dalam rentang waktu
kurang dari 24 jam dan balutan sekunder telah basah) gunakan alginat.
DAFTAR PUSTAKA

Bryant, Ruth. (2007). Acute & Chronic Wounds; Current Manangement


Concept Philadelphia : Mosby Elsevier.

Hunt KT. Wound Healing. In: Doherty MG. Current Surgical Diagnosis and
Treatment. 12th Ed., McGraw-Hills, USA. 2003; p75-87

Indonesia Enterostomal Therapy Nurse Association (InETNA) & Tim


Perawatan Luka dan Stoma Rumah Sakit Dharmais. 2004. Perawatan
Luka, Makalah Mandiri. Jakarta

Knottenbelt Dereck. (2003). Hand Book Of Equine Wound Management. UK :


Elsevier Science Limited.

Mann A, Breuhahn K, Schirmacher P, Blessing M. Keratinocyte-Drived


GranulocyteMacrophage Colony Stimulating Factor Accelerates Wound
Healing: Stimulation of Keratinocyte Proliferation, Granulation Tissue
Formation, and Vascularization. JInvest Dermatol.2001; 117:1382-1390

Morrison, Moya. (2004), Manajemen Luka. Jakarta : EGC.

Mansjoer.Arif, dkk. Eds.(2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta :


Media Aesculapius FKUI. .

Schrock, Theodore. (1995), Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.

Suriadi (2007): Manajemen Luka. STIKEP Muhammadiyah. Pontianak.

Taylor, C. et al. (1997). Fundemental of Nursing The Art and science of


th
Nursing care. 4 edition. Philadelpia : JB Lippincoff hal 699-705.

Ting EA, Mays RW, Frey RM, Hof vW, Madicetty S, Deans R . Therapeutic
Pathway of Adult Stem Cells Repair. Critical Review in Oncology and
Hematology., Elsevier, Ireland.2008; p.81-93

WHO. (2010). Wound and Limphoedema Management. Diunduh tanggal 14


Maret 2016 dari
http://whqlibdoc.who.int/publications/2010/9789241599139_eng.pdf

Anda mungkin juga menyukai