Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Pembimbing :
dr. H. Awie Darwizar, Sp.OG, D.MAS
Disusun Oleh :
Taufiq Zulyasman (2014730089)
2018
1. Perubahan Sistem Hematologi Pada Kehamilan
Adaptasi anatomis, fisiologis, dan biokimiawi terhadap kehamilan sangat besar.
Banyak dari perubahan-perubahan tersebut segera terjadi setelah fertilisasi dan berlanjut
selama kehamilan. Sebagian besar adaptasi pada kehamilan terjadi sebagai respons
terhadap rangsangan fisiologis yang ditimbulkan oleh janin. Salah satu perubahan yang
terjadi selama kehamilan adalah perubahan hematologis. Perubahan pada sistem ini berupa
peningkatan volume darah ibu, penurunan hemoglobin dan hematokrit, peningkatan
kebutuhan besi, perubahan pada leukosit dan sistem imunologis, serta kehilangan darah
yang terjadi selama proses kelahiran (Cunningham dkk., 2006).
1) Volume Darah
Volume darah ibu meningkat secara nyata selama kehamilan. Tingkat ekspansi
sangat bervariasi, di mana pada beberapa wanita hanya terjadi peningkatan sedang dan
pada wanita lain peningkatan hampir berlipat ganda. Peningkatan volume darah
disebabkan oleh meningkatnya plasma dan eritrosit. Peningkatan plasma biasanya
lebih banyak daripada eritrosit pada sirkulasi ibu. Menurut Harstad dkk. (1992),
peningkatan kadar eritropoietin plasma ibu dan produksi tertinggi eritrosit setelah usia
gestasi 20 minggu menyebabkan hiperplasia eritroid sedang dalam sumsum tulang
belakang, dan hitung retikulosit sedikit meningkat pada kehamilan normal. Pritchard
(1965) menyatakan janin tidak berperan penting dalam hipervolemia, sebab keadaan
ini juga dapat terjadi pada beberapa wanita dengan mola hidatidosa (Cunningham dkk.,
2006).
Pada wanita normal, volume darah saat aterm meningkat kira-kira 4045% di atas
volume saat tidak hamil. Volume darah ibu mulai meningkat pada trimester pertama,
bertambah cepat pada trimester kedua, kemudian naik dengan kecepatan yang lebih
pelan pada trimester ketiga untuk mencapai kecepatan konstan (kondisi plateau) pada
beberapa minggu akhir kehamilan. Peningkatan progresif volume darah terjadi pada
minggu ke-6 sampai ke-8, dan mencapai puncak pada minggu ke-32 sampai ke-34.
Volume darah akan kembali seperti semula pada 2-6 minggu setelah persalinan
(Cunningham dkk., 2006; Sulin, 2009).
Menurut Cunningham dkk. (2006) dan Sulin (2009), hipervolemia yang diinduksi
oleh kehamilan mempunyai beberapa fungsi penting sebagai berikut:
1. Untuk memenuhi kebutuhan uterus yang membesar dan sistem vaskuler yang
hipertrofi.
2. Untuk melindungi ibu dan janin terhadap efek merusak dari gangguan aliran
balik vena pada posisi telentang dan berdiri tegak.
3. Untuk menjaga ibu dari efek samping kehilangan darah selama persalinan.
2) Metabolisme Besi
A. Penyimpanan Besi
Kandungan besi total pada wanita dewasa normal berkisar antara 2,0 hingga
2,5 g, atau sekitar setengahnya yang biasanya ditemukan pada laki-laki. Sebagian
besar tergabung dalam hemoglobin atau mioglobin, dan karena itu, penyimpanan
besi pada wanita muda yang normal hanya sekitar 300 mg (Pritchard, 1964).
B. Kebutuhan Besi
Dari perkiraan 1000 mg zat besi yang diperlukan untuk kehamilan normal,
sekitar 300 mg secara aktif ditransfer ke janin dan plasenta, dan 200 mg lainnya
hilang melalui berbagai rute ekskresi normal, terutama saluran pencernaan.
Setiap 1 mL eritrosit mengandung 1,1 mg zat besi. Karena sebagian besar zat
besi digunakan selama paruh terakhir kehamilan, kebutuhan zat besi menjadi besar
setelah pertengahan kehamilan dan rata-rata kebutuhannya 6 hingga 7 mg/hari
(Pritchard, 1970). Pada kebanyakan wanita, jumlah ini biasanya tidak tersedia di
penyimpanan besi. Dengan demikian, tanpa zat besi tambahan, peningkatan
optimal dalam volume eritrosit ibu tidak akan berkembang, dan konsentrasi
hemoglobin dan hematokrit akan turun secara bermakna seiring meningkatnya
volume plasma.
Pada saat yang sama, produksi sel darah merah fetus tidak terganggu karena
plasenta mentransfer besi walaupun ibu mengalami anemia defisiensi besi yang
berat. Dalam kasus yang berat, nilai hemoglobin ibu dari 3 g/dL, dan pada saat
yang sama, janin memiliki konsentrasi hemoglobin 16 g/dL.
Oleh karena itu jumlah zat besi, bersama dengan yang dimobilisasi dari
penyimpanan, tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan rata-rata yang
dibutuhkan saat kehamilan. Jika wanita hamil yang tidak menderita anemia, tidak
diberikan zat besi tambahan, maka konsentrasi serum besi dan feritin menurun
setelah pertengahan kehamilan.
C. Masa Nifas
Umumnya, tidak semua besi ibu dalam bentuk hemoglobin hilang dengan
persalinan normal. Selama persalinan pervaginam dan hari pertama postpartum,
hanya sekitar setengah dari eritrosit yang hilang. Kehilangan yang normal ini,
berasal dari tempat implantasi plasenta, episiotomi atau laserasi, dan lochia.
Rata-rata, eritrosit maternal sekitar 500 hingga 600 mL dari whole blood hilang
dengan persalinan per vaginam dengan satu janin (Pritchard, 1965; Ueland, 1976).
Kehilangan darah rata-rata yang terkait dengan kelahiran sesar atau dengan
persalinan per vaginam sekitar 1.000 mL (Gambar 41-1, hal 781).
3) Fungsi Imunologis
Kehamilan diduga berkaitan dengan penekanan berbagai fungsi imunologi humoral
dan cell-mediated immunologis mengakomodasi "foreign" semiallogeneic fetal graft
(Redman, 2014; Thellin, 2003). Pada kenyataannya, kehamilan adalah kondisi
proinflamasi dan antiinflamasi, tergantung pada tahap kehamilan.
Mor, dkk (2010, 2011) telah mengusulkan bahwa kehamilan dapat dibagi menjadi
tiga fase imunologi yang berbeda. Pertama, kehamilan dini bersifat proinflamasi.
Selama implantasi dan plasentasi, blastokista harus menembus lapisan epitel uterus
untuk menginvasi jaringan endometrium. Trophoblast kemudian menggantikan
endotelium dan otot polos pembuluh darah maternal untuk menjaga suplai darah yang
cukup untuk plasenta.
4) Leukosit
Selama kehamilan, jumlah leukosit akan meningkat sekitar 5.000-12.000/µl.
Pada saat kelahiran dan masa nifas, jumlah leukosit mencapai puncak, yaitu antara
14.000-16.000/µl. Distribusi tipe sel juga berubah selama kehamilan. Pada awal
kehamilan, aktivitas leukosit alkalin fosfatase dan C-Reactive Protein (CRP)
meningkat. Selain itu, reaktan serum akut dan Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR)
meningkat akibat dari peningkatan plasma globulin dan fibrinogen. Pada trimester
ketiga kehamilan, jumlah granulosit dan limfosit CD8 T meningkat, tetapi limfosit dan
monosit CD4 T menurun (Sulin, 2009).
Pada wanita normal yang tidak hamil, kadar fibrinogen plasma (faktor I) rata-rata
300 mg/dL dan berkisar 200 – 400 mg/dL. Selama kehamilan normal, konsentrasi
fibrinogen meningkat sekitar 50 persen. Pada kehamilan lanjut, kadarnya rata-rata 450
mg/dL, dengan rentang 300 – 600 mg/dL.
Hal ini memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan yang signifikan dalam
laju endap darah. Produk akhir dari kaskade koagulasi adalah pembentukan fibrin, dan
fungsi utama dari sistem fibrinolitik adalah untuk menghilangkan dari kelebihan fibrin.
Aktivator plasminogen jaringan (tPA) mengubah plasminogen menjadi plasmin,
yang menyebabkan fibrinolisis dan menghasilkan produk-produk degradasi fibrin
seperti D-dimer. Studi dari sistem fibrinolitik pada kehamilan menghasilkan hasil yang
kontradiktif, tetapi kebanyakan bukti menunjukkan bahwa aktivitas fibrinolitik
sebenarnya berkurang pada kehamilan normal (Kenny, 2014). Misalnya, aktivitas tPA
berangsur menurun selama kehamilan normal.
Selain itu, inhibitor aktivator plasminogen tipe 1 (PAI-1) dan tipe 2 (PAI-2), yang
menghambat tPA dan mengatur degradasi fibrin oleh plasmin, meningkat selama
kehamilan normal (Hui, 2012; Robb, 2009). Seperti yang ditinjau oleh Holmes dan
Wallace (2005), perubahan-perubahan ini dapat menunjukkan bahwa sistem
fibrinolitik terganggu lalu diatasi oleh peningkatan kadar plasofenogen dan penurunan
tingkat inhibitor plasmin lain, α2 antiplasmin. Perubahan semacam itu berfungsi untuk
memastikan keseimbangan hemostatik selama kehamilan normal.
6) Trombosit
Pada kehamilan normal juga melibatkan perubahan trombosit. Dalam sebuah
penelitian terhadap hampir 7000 wanita sehat, Hoehlen dan rekan (2000) menemukan
bahwa jumlah trombosit rata-rata sedikit menurun selama kehamilan hingga
tepat. 5,8,9
II : dosis 200 μg selama 12 jam umum digunakan, sementara untuk usia kehamilan
diatas 24 minggu dosisnya biasanya adalah 25 μg setiap 6 jam. Jika menggunakan
dosis yang lebih tinggi dari dosis diatas, akan terjadi rangsangan uterus yang
berlebihan sehingga dapat menyebabkan terjadinya ruptur uteri atau gawat janin.
2. Aborsi Medis
Dosis misoprostol yang dianjurkan untuk terminasi kehamilan pada
trimester pertama adalah 800 μg pervaginam dan dapat diulang hingga 3 kali
dengan interval 24 sampai 48 jam. Sekitar 85 – 94% mengalami abortus
komplit. Dosis misoprostol oral yang digunakan antara 200-400μg,
misoprostol intravaginal 200-600 μg dan sublingual 200-400 μg dengan
interval pengulangan 3-6 jam. Didapatkan bahwa misoprostol vaginal lebih
efektif daripada oral dalam hal interval waktu inisiasi-aborsi. Kedua rute
tersebut dikatakan memiliki efektivitas yang sama dalam hal durasi prosedur,
insidens komplikasi postoperatif, durasi perdarahan postoperatif, dan interval
pada periode menstruasi pertama. Misoprostol oral dan sublingual memiliki
efektivitas yang sama dalam hal peningkatan kontraktilitas uterus dan interval
waktu inisiasi-abortus. Efek samping yang umumnya ditemukan adalah mual,
muntah, diare, nyeri perut, sakit kepala. Demam dan menggigil lebih sering
ditemukan pada pemberian sublingual dan pemberian peroral lebih sering
menimbulkan kontraksi uterus yang irregular.
3. Abortus Inkomplit
Terapi kegagalan kehamilan trimester pertama dengan 800 μg intravaginal
aman dan dapat diterima dengan tingkat kesuksesan sebesar 84%. Dapat
disimpulkan bahwa abortus dengan menggunakan misoprostol adalah
alternatif dari prosedur kuretase.
4. Abortus tertunda
Misoprostol 800 μg intravagina (400 μg setiap 4 jam sampai dengan 3
dosis, jika dibutuhkan) menawarkan alternatif terapi yang efektivitasnya baik
dan aman dibandingkan kuretase.
Kombinasi misoprostol per oral (400 μg) dan pervaginam (400 μg) tidak
menurunkan lama tindakan aborsi pada trimester kedua kehamilan. Dosis 400
μg per vaginam tiap 3 jam sampai dengan maksimal pemberian 5 kali
membutuhkan waktu yang lebih singkat dalam aborsi pada trimester kedua
kehamilan. Tingkat keberhasilan pada terminasi kehamilan trimester kedua
lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat keberhasilan pada terminasi
kehamilan trimester pertama, meski dengan dosis yang lebih rendah.