Anda di halaman 1dari 29

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN An. M DENGAN KASUS PENYAKIT ATRESIA ANI


DI RUANG 15 RSU Dr. SAIFUL ANWAR
MALANG
2018

DISUSUN OLEH :

SUGENG YULIAWAN
NIM. 201501038

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BANYUWANGI
2018/2019

1
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA PASIEN DENGAN KASUS PENYAKIT ATRESIA ANI
DI RUANG 15 RSU Dr. SAIFUL ANWAR
MALANG
2018

DISUSUN OLEH :

SUGENG YULIAWAN
NIM. 201501038

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BANYUWANGI
2016/2017

2
LEMBAR PENGESAHAN

Lembar Pengesahan Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan ini dibuat


berdasarkan Praktik Klinik Keperawatan dengan kasus Atresia ani di RSU Dr. Saiful
Anwar ( RSSA ) Malang di Ruang 15 yang dilaksanakan pada tanggal 09 Juli – 14
Juli 2018.

Malang,
………………………….

Mahasiswa

Sugeng Yuliawan
NIM. 201501038

Disetujui Oleh :

Pembimbing Rumah Sakit Pembimbing Institusi

………………………… …………………………
… …

Mengetahui
Kepala Ruangan

……………………………

3
LEMBAR PENGESAHAN

Lembar Pengesahan Asuhan Keperawatan ini dibuat berdasarkan Praktik Klinik


Keperawatan dengan kasus Atresia ani pada pasien An. M di RSU Dr. Saiful Anwar (
RSSA ) Malang di Ruang 15 yang dilaksanakan pada tanggal 09 Juli – 014 Juli 2018.

Malang,
………………………….

Mahasiswa

Sugeng Yuliawan
NIM. 201501038

Disetujui Oleh :

Pembimbing Rumah Sakit Pembimbing Institusi

………………………… …………………………
… …

Mengetahui
Kepala Ruangan

……………………………

4
BAB 1
TINJAUAN TEORI

1.1 Definisi
Istilah atresia ani berasal dari bahasa Yunani yaitu “ a “ yang artinya tidak
ada dan trepsis yang berarti makanan dan nutrisi. Dalam istilah kedokteran,
atresia ani adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang yang
normal. Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforata meliputi anus, rektum, atau batas di antara keduanya (Betz, 2002).
Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang
atau saluran anus (Donna, 2003).Atresia ani adalah tidak lengkapnya
perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal
(Suradi, 2001).Atresia ani atau anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi
membran yang memisahkan bagian endoterm mengakibatkan pembentukan
lubang anus yang tidak sempurna.Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam
atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum
(Purwanto, 2001).
Atresia ani disebut juga anorektal anomali atau imperforata anus.
Merupakan kelainan kongenital dimana terjadi perkembangan abnormal pada
anorektal di saluran gastrointestinal. Atresia ani atau anus imperforata adalah
malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai lubang ke luar
(Wong,2004).

1.2 Etiologi
Penyebab dari atresia ani masih belum diketahui pasti. Pada beberapa
penelitian, atresia ani dapat disebabkan oleh kelainan genetic maupun factor
lingkungan yang terpapar oleh zat-zat beracun, lingkungan yang kumuh dan pola
nutrisi bayi selama dalam kandungan.
Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa factor, yaitu :
1. Putusnya saluran pencernaan atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir
tanpa lubang dubur.
2. Adanya kegagalan pembentukan septum urorektal secara sempurna karena
gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
3. Gangguan organogenesis dalam kandungan dimana terjadi kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.

5
4. Kelainan bawaan yang diturunkan dari orang tua. Jika kedua orang tua
menjadi carier maka 25%-30% menjadi peluang untuk terjadinya atresia ani,
kemudian adanya kelainan sindrom genetic, kromosom yang tidak normal dan
kelainan congenital lainnya juga dapat beresiko menderita atresia ani.
5. Terjadinya gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital,
biasanya karena gangguan perkembangan septum urogenital pada minggu ke-
5 sampai ke-7 pada usia kehamilan,

1.3 Klasifikasi
Menurut klasifikasi atresia ani dibagi 2 golongan yang dikelompokkan
menurut jenis kelamin.
a. Golongan I yaitu pada anak penderita berjenis kelamin laki-laki dibagi
menjadi 4 kelainan yaitu
1. Kelainan pada fistelurin
2. Atresia rectum,
3. Perineum yang datar
4. Tidak adanya Fistel.
Namun jika ada fistelurin, tampak mekonium keluar dari orifisium
eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria.
Cara menentukan letak fistelnya adalah dengan memasang kateter urin. Dan jika
kateter telah terpasang kemudian urin yang keluar jernih, itu pertanda bahwa
fistel terletak di uretra karena fistel tersebut tertutup kateter. Bila dengan kateter
urin mengandung mekonuim maka fistel ke vesika urinaria kemudian
pengeluaran feses tersebut tidak lancar, itu pertanda penderita memerlukan
kolostomi segera agar fases keluar dengan semestinya. Pada perempuan
penderita atresia rectum, tindakannya sama seperti laki-laki yaitu harus dibuat
kolostomi dan Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram,
maka perlu segera dilakukan kolostomi juga.
b. Golongan II yaitu pada penderita berjenis kelamin laki-laki dibagi 4 kelainan
yaitu
1. Kelainan pada fistel perineum
2. Membran anal
3. Stenosis anus
4. Fisteltidakada.

6
Fistel perineum yang ada pada laki-laki ini sama dengan pada wanita
yaitu lubangnya terdapat anterior dari letak anus yang normal. Sedangkan
pada membran anal, biasanya terlihat bayangan mekonium di bawah selaput.
Saat evakuasi feses sedang tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definit
secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan perempuan yaitu tindakan
definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara.
c. Golongan I pada perempuang dibagi 5 kelainan yaitu :
1. Kelainan kloaka
2. Fistel vagina
3. Fistel rektovestibular
4. Atresia rectum
5. Fistel tidak ada
6. Invertogram : udara >1 cm dari kulit
Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi
fecesnya menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada
fistel vestibulum, muara fistel terdapat di vulva. Umumnya evakuasi feses
lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai terhambat saat
penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila
penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka maka tidak perlu ada
pemisahan antara traktus urinarius, traktus genetalis dan jalan cernanya.
Evakuasi pengeluaran feses yang umumnya tidak sempurna sehingga perlu
segera dilakukan kolostomi. Pada atresia rectum, anus tampak normal tetapi
pada pemerikasaan dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Dan tidak
ada evakuasi mekonium sehingga perlu juga segera dilakukan kolostomi. Bila
tidak ada fistel, dibuatin vertogram.
d. Golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan yaitu
 Kelainan pada fistel perineum,
 Stenosis anus
 Fistel tidak ada
 Invertogram : udara <1 cm dari kulit.
Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat
letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu menimbulkan obstipasi.
Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi
sangat sempit. Evakuasi feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera
dilakukan terapi definitive. Bila tidak ada fistel dan pada invertogram udara.

7
Selanjutnya klasifikasi atresia ani juga dibagi menjadi ada 4 yaitu :
1. Anal stenosis yaitu terjadinya penyempitan anus sehingga feses tidak dapat
keluar pada semestinya.
2. Membranosus atresia adalah terdapat membrane pada anus.
3. Anal agenesis yaitu penderita masih memiliki anus tetapi ada daging diantara
rectum dengan anus.
4. Rectal atresia adalah penderita yang tidak memiliki rektum.

Kemudian Kalsifikasi pasien penderita Atresia ani diklasifikasikan lebih


lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :
1. Anomali rendah / infralevator
Pada anomaly rendah, rektum mempunyai jalur desenden yang normal
melalui otot puborektalis, terdapat sfingter internal dan eksternal yang
berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan
saluran genitourinarius.
2. Anomali intermediet
Pada anomaly intermediet, rektum berada pada atau di bawah tingkat otot
puborectalis, lesung anal dan sfingter eksternal berada pada posisi yang
normal.
3. Anomali tinggi / supralevator
Pada anomaly tinggi ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter
internal tidak ada. Hal ini biasanya berhubungan dengan fistula
genitourinarius – retrouretral (pria) atau rectovagina (perempuan). Jarak
antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum lebih dari 1 cm.

Gambaran malforasi anorektal pada perempuan

8
2.4 Tanda dan gejala
1. Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula
2. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran bayi.
3. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam
4. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
5. Pengukuran suhu rektal pada bayi tidak dapat dilakukan.
6. Adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula) dan distensi
bertahap
7. Pada pemeriksaan rectal touché terdapat adanya membran anal.
8. Lebih dari 50% pasien dengan atresia ani mempunyai kelainan congenital
lain.
9. Perut kembung 4-8 jam setelah lahir. (Betz. Ed 7. 2002)

1.5 Patofisiologi
Atresia ani terjadi dikarenakan kegagalan penurunan septum anorektal
pada embrional. Anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang.
Kloaka yang merupakan bakal genitourinaria dan struktur anorektal berkembang
awalnya dari ujung ekor dari bagian belakang. Penyempitan pada kanal anorektal
menyebabkan terjadinya stenosis anal. Atresia ani sendiri terjadi karena tidak ada
kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 minggu
dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi tersebut juga diakibatkan karena
kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Di
usus besar yang keluar hingga anus tidak terjadi pembukaan sehingga
menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami
obstruksi. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula.
Obstruksi tersebut berakibat distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah
dengan segala akibatnya.
Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan
diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir ke
arah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya
akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada wanita 90%
dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada
laki-laki biasanya letak tinggi, umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau
ke prostate. (rektovesika). Pada letak rendah fistula menuju ke uretra
(rektourethralis).

9
1.6 Komplikasi & prognosis
1.6.1Komplikasi
a. Asidosis hiperkloremia.
b. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
c. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
d. Komplikasi jangka panjang yaitu
a) eversi mukosa anal,
b) stenosis (akibat konstriksi jaringan perut dianastomosis).
c) Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan
d) Prolaps mukosa anorektal.
e) Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)
f) Fistula (karena ketegangan abdomen, diare, pembedahan dan
infeksi).(Ngastiyah, 2005).
Factor factor yang dapat mempengaruhi terjadinya komplikasi pada
atresia ani adalah kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan
operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, dan
keterampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang
buruk.
1.6.2Prognosis
Kelainan anorektal letak rendah biasanya dapat diperbaiki dengan
pembedahan melalui perineum dan prognosis baik untuk kontinensia fekal.
Sedangkan beda dengan kelainan anorektal letak tinggi diperbaiki dengan
pembedahan sakroperineal atau abdominoperineal. Adapun pada kelainan
ini, sfingterani eksternus tidak memadai dan tidak ada sfingter ani internus,
maka kontinensia fekal tergantung fungsi otot puborektalis (DeLorimer
1981 ; Iwai et al 1988). Ong dan Beasley (1990) mendapatkan hasil
penelitian klinis, dalam jangka panjang dari kelainan anorektal letak rendah
yang dilakukan operasi perineal lebih dari 90% penderita mencapai kontrol
anorektal yang secara sosial dapat diterima. Insidensi “soiling” pada
penderita umur lebih 10 tahun lebih rendah dibanding penderita yang lebih
muda. Pada kelainan anorektal letak tinggi hasilnya hanya 1/3 yang baik,
1/3 lagi dapat mengontrol kontinensia fekal. Pada wanita hasilnya lebih
baik daripada laki-laki karena pada wanita lesi seringkali intermediet.
Kebanyakan lesi supralevator dengan tindakan PSARP dapat dikerjakan
melalui perineum tanpa membuka abdomen (Smith, 1990). masalah-

10
masalah kontinensia biasanya terjadi pada beberapa penderita dengan
kelainan anorektal letak tinggi terutama ketika dilakukan pembedahan
dibanding letak rendah.
1.7 Pengobatan
Penatalaksanaan atresia ani ini berbeda, tergantung pada letak ketinggian akhiran
rectum dan ada tidaknya fistula. Leape (1987) menganjurkan pada:
1. Atresia letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD
dahulu, setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP)
2. Atresia letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya
dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot
sfingter ani ekternus
3. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion yaitu tindakan pembedahan
untuk membuat lubang anus pada anus malformasi fistel rendah misalnya
pada anocutan fistel, anus vestibular yang tidak adekuat dan pada anus
membranaseus
4. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin

Pelaksanaan dalam tindakan atresia ani yaitu sebagai berikut:


a. Kolostomi
Kolostomi adalah suatu tindakan membuat lubang pada dinding
abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan lubang biasanya sementara
atau permanen dari usus besar atau colon iliaka. Saat ini tatalaksana atresia
ani yang paling ideal adalah divided descending colostomy karena kolostomi
ini memungkinkan terjadinya dekompresi yang adekuat, dan segmen kolon
distal non-fungsional yang pendek namun tidak mengganggu proses pull-
through pada tahap terapi definitive. Kolostomi pada sigmoid juga dianggap
lebih menguntungkan dibanding dengan kolostomi transversal, karena proses
pembersihan kolon distal pada proses kolostomi menjadi lebih mudah. Loop
colostomy memungkinkan masuknya feses dari stoma proksimal ke distal,
dan dapat menyebabkan terjadinya infeksi, dilatasi rektal, dan impaksi feses.
Kolostomi pada rektosigmoid bagian bawah sering terjadi kesalahan karena
proses ini membuat segmen distal menjadi terlalu pendek dan sulit untuk
dimobilisasi pada proses pull through.
b. PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)

11
PSARP adalah suatu tindakan membelah muskulus sfingter eksternus
dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rectum dan
pemotongan fistel. PSARP umumnya ditunda 9 sampai 12 bulan untuk
memberi waktu pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk
berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat
badannya dan bertambah baik status nutrisinya.
c. Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari setelah
operasi, anak akan mulai BAB melalui anus. Awalnya BAB akan sering
tetapi seminggu setelah operasi BAB berkurang frekuensinya dan agak
padat.
d. Perawatan Postoperasi
Setelah menjalani operasi, dua minggu kemudian pasien menjalani
anal dilatasi dua kali setiap hari sampai ukuran busi sesuai dengan umur
pasien dan saat businasi terasa lancar dan tidak terasa sakit. Kemudian
dilakukan tappering businasi dengan menurunkan frekuensi sampai beberapa
bulan, biasanya sekitar 6 bulan. Orang tua pasien harus diikutsertakan dalam
program ini karena orang tua yang menjalankan dan orang yang paling dekat
dengan anak.

1.8 Pencegahan
2. Melakukan pendidikan kesehatan kepada keluarga khususnya ibu hamil
mengenai informasi kesehatan ibu hamil, pertumbuhan dan perkembangan
janin dalam kandungan.
3. Promosi kesehatan mengenai sanitasi lingkungan.
4. Menjauhkan ibu hamil dari bahan beracun seperti asap rokok, nikotin, dan
zat yang berbahaya lainnya.

12
1.5 WOC

Kelainan kongengital  Gangguan pertumbuhan Factor lingkungan


 Fusi
 Pembentukan anus dari
tonjolan embriogenik

Feses menumpuk Feses tidak Atresia Ani Vistel rektrovaginal


keluar

Feses masuk uretra


Reabsorbsi sisa Peningkatan tekanan
metabolism tubuh intra abdominal
Mikroorganisme masuk
Operasi kolostomi ke saluran kemih
Keracunan

anxietas Perubahan Dysuria Gangguan eliminasi urin


Mual, muntah
defekasi:
- pengeluar
Ketidakseimba an tak
ngan nutrisis Gangguan rasa nyaman
terkontrol
kurang dari - iritasi
kebutuhan mukosa
tubuh

13
Trauma jaringan Abnormalitas
Resiko kerusakan
spinter rektal
integritas kulit
Perawatan tidak
adekuat
Nyeri

Resiko infeksi

14
BAB 2
KONSEP ASUHAN ASUHAN KEPERAWATAN ATRESIA ANI

2.1Pengkajian
2.1.1IDENTITAS PASIEN
Nama: -
Demografi: lingkungan yang kumuh dan pemukiman yang padat
dapat mempengaruhi terjadinya atresia ani
Umur: 1 hari
Jenis Kelamin: laki-laki
Atresia ani lebih banyak ditemukan pada laki laki
daripada perempuan
No. Reg: -
Tanggal Masuk RS: -
Diagnosa Medis: Atresia Ani
2.1.2RIWAYAT KESEHATAN
a. Keluhan Utama
Pasien tidak memiliki anus sejak lahir
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien mengalami muntah-muntah setelah 24-48 jam pertama
kelahiran, perut kembung dan membuncit, tidak bisa buang air
besar, meconium keluar dari vagina atau meconium terdapat
dalam urin
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Kedua orang tua merupakan carier dari atresia ani, adanya
kelainan sindrom genetic, kromosom yang tidak normal dan
kelainan congenital lainnya. Riwayat penggunaan obat-obatan
tanpa resep, konsumsi jamu-jamuan, riwayat jatuh, trauma pada
perut disangkal.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga

15
Adanya riwayat keluarga yang juga memiliki kelainan tidak
memiliki anus sejak lahir.
e. Riwayat Kesehatan Lingkungan
umumnya kebersihan lingkungan tidak mempengaruhi secara
langsung kasus atresia ani ini. Hanya saja, lingkungan yang
kumuh dan padat tidak menutup kemungkinan menyebabkan
awalan terjadinya penyakit atresia ani pada janin yang masih
didalam kandungan.
2.1.3 POLA FUNGSI KESEHATAN
a. Pola persepsi terhadap kesehatan
Pasien belum bisa mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang
apa yang dirasakan dan apa yang diinginkan karena pasien
merupakan bayi.
b. Pola aktifitas kesehatan/latihan
Pasien belum bisa melakukan aktifitas apapun secara mandiri
karena masih bayi.
c. Pola istirahat/tidur
Pasien merasakan nyeri sehingga mengganggu waktu
istirahatnya. Diperoleh dari keterangan ibu bayi atau keluarga
yang lainnya, ketika saat jam istirahat, pasien gelisah dan rewel.
d. Pola nutrisi metabolik
Pasien yang merupakan bayi hanya minum ASI atau susu
kaleng, namun bisa saja dimuntahkan kembali ketika perut
terasa penuh, dan akibat terhambatnya melakukan konstipasi.
e. Pola eliminasi
Pasien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium
yang seharusnya dikeluarkan melalui anus.
f. Pola kognitif perseptual
Pasien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientasi
dengan baik pada orang lain dikarenakan masih bayi. Keluarga
pasien pun belum terlalu paham mengenai penyakit yang
diderita pasien.

16
g. Pola konsep diri
1) Identitas diri : belum bisa terkaji
2) Ideal diri : belum bisa terkaji
3) Gambaran diri : belum bisa terkaji
4) Peran diri : belum bisa terkaji
5) Harga diri : belum bisa terkaji
h. Pola seksual Reproduksi
Pasien masih bayi dan belum menikah
i. Pola nilai dan kepercayaan
Belum bisa dikaji karena pasien belum mengerti tentang
kepercayaan.
j. Pola peran hubungan
Belum bisa dikaji karena pasien belum mampu berinteraksi
dengan orang lain secara mandiri.
k. Pola koping
Belum bisa dikaji karena pasien masih bayi dan belum mampu
berespon terhadap adanya suatu masalah.

2.1.4PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Fisik Head to toe
1. Kepala
Kepala simetris, tidak ada luka/lesi, kulit kepala bersih, tidak
ada benjolan/tumor, tidak ada caput succedanium, tidak ada
chepal hematom.
2. Mata
Simetris, tidak konjungtifistis, tidak ada perdarahan
subkonjungtiva, tidak ikterus, tidak nistagamus/ tidak episnatus,
conjungtiva tampak agak pucat.
2. Hidung
Simetris, bersih, tidak ada luka, tidak ada secret, tidak ada
pernafasan cuping hidung, tidak ada pus dan lendir.

17
3. Mulut
Bibir simetris, tidak macrognatia, micrognatia, tidak
macroglosus, tidak cheilochisis.
4. Telinga
Memiliki 2 telinga yang simetris dan matur tulang kartilago
berbentuk sempurna
5. Leher
Tidak ada webbed neck.
6. Thorak
Bentuk dada simetris, silindris, tidak pigeon chest, tidak funnel
shest, pernafasan normal
7. Jantung
Tidak ada mur-mur, frekuensi jantung teratur
8. Abdomen
Inspeksi : datar, lemas, tampak stoma kesan vital, produksi
feses positif.
Auskultasi : bising usus positif, normal
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa.
Perkusi : timpani
9. Genetalia
Terdapat lubang uretra, tidak ada epispandia pada penis tidak
ada hipospandia pada penis, tidak ada hernia sorotalis.
10. Anus
Tidak terdapat anus, anus nampak merah, usus melebar,
kadang-kadang tampak ileus obstruksi. Thermometer yang
dimasukan kedalam anus tertahan oleh jaringan. Pada
auskultasi terdengar peristaltic.
11. Ektrimitas atas dan bawah
Simetris, tidak fraktur, jumlah jari lengkap, telapak tangan
maupun kaki dan kukunya tampak agak pucat.
12. Punggung
Tidak ada penonjolan spina gifid

18
13. Pemeriksaan Reflek
a. Suching +
b. Rooting +
c. Moro +
d. Grip +
e. Plantar +

Menurut Pena yang dikutipkan Faradilla untuk mendiagnosa


menggunakan cara sebagai berikut:
1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin
bila:
a) Jika Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau
anal membran berarti atresia ini termasuk atresia letak
rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital
Anorektoplasti (PSARP) tanpa kolostomi.
b) Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan
kolostomi terlebih dahulu, setelah 8 minggu kemudian
dilakukan tindakan definitif. Apabila pemeriksaan diatas
meragukan dilakukan invertrogram. Bila akhiran rektum < 1
cm dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran rektum >
1 cm disebut letak tinggi. Pada laki-laki fistel dapat berupa
rektovesikalis, rektouretralis dan rektoperinealis.
2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.
Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal
PSARP tanpa kolostomi. Bila fistel rektovaginal atau
rektovestibuler dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Bila
fistel (-) maka dilakukan invertrogram. Apabila akhiran < 1
cm dari kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti,
apabila akhiran > 1 cm dari kulit dilakukan kolostomi
terlebih dahulu.
Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menyatakan bila
mekonium didapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel

19
perianal maka kelainan adalah letak rendah. Bila Pada pemeriksaan
fistel (-) maka kelainan adalah letak tinggi atau rendah.
Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah lahir agar
usus terisi oleh udara, dengan cara Wangenstein Reis yaitu kedua
kaki dipegang posisi badan vertikal dengan kepala dibawah atau
knee chest position yaitu posisi sujud yang bertujuan agar udara
berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat fistula lakukan
fistulografi (Faradilla, 2009).
Pada pemeriksan klinis, pasien dengan atresia ani tidak selalu
menunjukkan gejala obstruksi saluran cerna. Pada pemeriksaan
klinis harus segera ditegakkan diagnosis setelah lahir dengan
inspeksi daerah perianal dan dengan memasukkan termometer
melalui anus. (Levitt M, 2007)
Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi
dengan fistula rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen
tidak ditemukan selama beberapa jam pertama setelah lahir dan
mekonium harus dipaksa keluar melalui fistula rektoperineal atau
fistula urinarius. Hal ini dikarenakan bagian distal rektum pada
bayi tersebut dikelilingi struktur otot-otot volunter yang menjaga
rektum tetap kolaps dan kosong. Tekanan intrabdominal harus
cukup tinggi untuk menandingi tonus otot yang mengelilingi
rektum. Oleh karena itu, harus ditunggu selama 16-24 jam untuk
menentukan jenis atresia ani pada bayi untuk menentukan apakah
akan dilakukan colostomy atau anoplasty (Levitt M, 2007).
Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat
perineum, ditandai dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple
mengindikasikan bahwa pasien memiliki otot-otot perineum yang
sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan atresia ani letak
tinggi dan harus dilakukan colostomy (Levitt M, 2007).
Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan
atresia ani letak rendah meliputi adanya mekonium pada perineum,
"bucket-handle" (skin tag yang terdapat pada anal dimple), dan

20
adanya membran pada anus (tempat keluarnya mekonium) (Levitt
M, 2007).

2.1.5 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang diketahui sebagai berikut:
1. Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan
diagnostik yang umum.
2. Pemeriksaan urin, jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk
memeriksa adanya sel-sel epitel mekonium.
3. Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice)
dapat menunjukkan adanya gas dalam ujung rectum yang buntu
pada mekonium yang mencegah gas sampai keujung kantong
rectal.
4. Ultrasound terhadap abdomen, dapat digunakan untuk
menentukan letak rectal kantong. Digunakan juga untuk melihat
fungsi organ internal terutama dalam sistem pencernaan dan
mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena
massa tumor.
5. Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan
menusukan jarum tersebut sampai melakukan aspirasi, jika
mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm
Derek tersebut dianggap defek tingkat tinggi.
6. Pewarnaan radiopak dimasukkan kedalam traktus urinarius,
misalnya suatu sistrouretrogram mikturasi akan memperlihatkan
hubungan rektrourinarius dan kelainan urinarius.
7. CT Scan digunakan untuk menentukan lesi.

21
2.2 Diagnosa
a. Gangguan pola eliminasi konstipasi berhubungan dengan abnormalitas
organ.
b. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan feses masuk ke uretra.
c. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan.
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan mencerna makanan.
e. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi
f. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala terkait penyakit,
vistel retrovaginal, dysuria, trauma jaringan post operasi.
g. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan perawatan tidak adekuat,
trauma jaringan post operasi.
h. Ansietas berhubungan dengan pembedahan dan mempunyai anak yang
tidak sempurna.

22
2.3 Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Intervensi Implementasi


Kriteria hasil
1 Gangguan Setelah 1. Monitor tanda 1. Memonitor
pola dilakukan dan gejala tanda dan
eliminasi 3x24 jam pola konstipasi gejala
konstipasi eliminasi 2. Monitor feses: konstipasi
b.d pasien cuku frekuensi, 2. Memonitor
abnormalit baik. konsistensi dan feses:
as organ Kriteria Hasil: volume frekuensi,
Eliminasi 3. Monitor bising konsistensi
konstipasi bayi usus dan volume
bisa, walau 4. Monitor tanda 3. Memonitor
hanya melalui dan gejala bising usus
anus buatan peritonitis(di 4. Memonitor
usus) tanda dan
5. Pantau tanda gejala
dan gejala peritonitis(di
konstipasi usus)
6. Jelaskan 5. Memantau
rasionalisasi dari tanda dan
tindakan yang gejala
dilakukan konstipasi
kepada keluarga 6. Menjelaskan
pasien (bayi) rasionalisasi
7. Dukung intake dari tindakan
cairan yang
dilakukan
kepada
keluarga
pasien (bayi)

23
7. Mendukung
intake cairan

2 Nyeri akut Setelah 1. Lakukan 1. Melakukan


b.d trauma dilakukan pengkajian nyeri pengkajian
jaringan perawatan secara nyeri secara
1x24 jam nyeri komprehensif, komprehensif,
pasien termasuk lokasi, termasuk
berkurang karakteristik, lokasi,
Kriteria Hasil: durasi, frekuensi, karakteristik,
Nyeri pada kualitasnya. durasi,
pasien(bayi) 2. Observasi reaksi frekuensi,
berkurang nonverbal dari kualitasnya
pada skala ketidaknyamanan 2. Mengobservas
nyeri1 setelah (misalnya: bayi i reaksi
dilakukan menangis) nonverbal dari
penanganan 3. Kontrol ketidaknyama
nyeri yang lingkungan yang nan
tepat serta dapat (misalnya:
didampingi mempengaruhi bayi
dengan nyeri seperti suhu menangis)
lingkungan ruangan, 3. Mengontrol
yang bersih pencahayaan,dll lingkungan
4. Pilih dan yang dapat
lakukan mempengaruh
penanganan i nyeri seperti
nyeri suhu ruangan,
pencahayaan,
dll
4. Memilih dan
melakukan
penanganan

24
nyeri
3 Gangguan Setelah 1. Dorong 1. Mendorong
rasa dilakukan keluarga untuk keluarga
nyaman perawatan menemani untuk
b.d gejala 1x24 jam nyeri pasien (bayi) menemani
terkait berkurang 2. Jaga kebersihan pasien (bayi)
penyakit, Kriteria hasil: daerah 2. Menjaga
vistel  Pasien penyakit/trauma kebersihan
retrovagin (bayi) tidak , pantau respon daerah
al, dysuria, lagi rewel pasien penyakit/trau
trauma karena 3. Beri pendidikan ma, pantau
jaringan area/lokasi kesehatan pada respon pasien
post penyakit keluarga pasien 3. Beri
operasi dan trauma (bayi) pendidikan
bersih dan kesehatan
selalu pada keluarga
dipantau pasien (bayi)

4 Ketidaksei Selama 1. Kolaborasi 1. Melakukan


mbangan dilakukan dengan ahli gizi kolaborasi
nutrisi perawatan untuk dengan ahli gizi
kurang 2x24 jam menentukan untuk
dari kebutuhan jumlah nutrisi menentukan
kebutuhan nutrisi pasien yang dibutuhkan jumlah nutrisi
tubuh b.d tercukupi pasien (bayi) yang
ketidakma Kriteria Hasil: 2. Monitor jumlah dibutuhkan
mpuan Nutrisi pasien nutrisi pasien (bayi)
mencerna sedikit demi 3. Kaji kemampuan 2. Memonitor
makanan sedikit pasien untuk jumlah nutrisi
terpenuhi mendapatkan 3. Mengkaji
nutrisi yang kemampuan
dibutuhkan pasien untuk

25
4. Berikan mendapatkan
informasi tentang nutrisi yang
kebutuhan nutrisi dibutuhkan
kepada keluarga 4. Memberikan
pasien informasi
tentang
kebutuhan
nutrisi kepada
keluarga pasien

5 Resiko Selama 1. Jaga kebersihan 1. Menjaga


kerusakan dilakukan dan pantau kebersihan dan
integritas perawatan didaerah yang di pantau didaerah
kulit b.d selama 3x24 kolostomi pada yang di
kolostomi jam tidak ada pasien (bayi) kolostomi pada
kerusakan 2. Oleskan lotion pasien (bayi)
jaringan pada atau minyak/baby 2. Mengoleskan
kulit. oil pada daerah lotion atau
Criteria hasil: yang beresiko minyak/baby
1. Tidak ada 3. Monitor status oil pada daerah
tanda- nutrisi pasien yang beresiko
tanda 4. Monitor tanda 3. Memonitor
infeksi dan gejala infeksi status nutrisi
pada kulit pada area insisi pasien
2. Ketebalan 4. Memonitor
dan tanda dan
tekstur gejala infeksi
jaringan pada area insisi
normal

26
6 Resiko Setelah 1. Jaga kebersihan 1. Menjaga
tinggi dilakukan lingkungan kebersihan
infeksi b.d perawatan 2. Pertahankan lingkungan
perawatan 3x24 jam teknik isolasi 2. Mempertahank
tidak resiko tinggi 3. Berikan terapi an teknik
adekuat, infeksi pasien antibiotic bila isolasi
trauma berkurang perlu infection 3. Memberikan
jaringan Kriteria Hasil: protection terapi antibiotic
post Resiko infeksi 4. Monitor tanda bila perlu
operasi berkurang dan gejala infeksi infection
karena sistemik dan local protection
lingkungan 5. Berikan 4. Memonitor
yang bersih perawatan pada tanda dan
serta penangan lokasi infeksi gejala infeksi
cepat yang 6. Inspeksi kondisi sistemik dan
dilakukan. luka local
7. Inspeksi kulit dan 5. Memberikan
membran mukosa perawatan pada
terhadap lokasi infeksi
kemerahan, 6. Melakukan
panas, drainase inspeksi kondisi
8. Dorong luka
masukkan nutrisi 7. Melakukan
yang cukup inspeksi kulit
9. Ajarkan keluarga dan membran
pasien (bayi) mukosa
tanda dan gejala terhadap
infeksi kemerahan,
panas, drainase
8. Mendorong
masukkan
nutrisi yang

27
cukup
9. Mengajarkan
keluarga pasien
(bayi) tanda
dan gejala
infeksi
7 Ansietas Selama 1. Gunakan 1. Menggunakan
b.d dilakukan pendekatan yang pendekatan
pembedah perawatan menenangkan yang
an dan 1x24 jam 2. Jelaskan semua menenangkan
mempunya ansietas prosedur 2. Menjelaskan
i anak keluarga 3. Pahami semua prosedur
yang tidak pasien teratasi prespektif 3. Memahami
sempurna Kriteria Hasil: keluarga pasien prespektif
Keluarga terhadap situasi keluarga pasien
pasien sedikit stress terhadap situasi
berkurang rasa 4. Bantu keluarga stress
cemas setelah pasien mengenal 4. Membantu
diberi penkes situasi yang keluarga pasien
yang menimbulkan mengenal
berhubungan kecemasan situasi yang
dengan 5. Dorong keluarga menimbulkan
penyakit sang pasien untuk kecemasan
anak mengungkapkan 5. Mendorong
perasaan, keluarga pasien
ketakutan, untuk
persepsi mengungkapka
n perasaan,
ketakutan,
persepsi

28
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediarik”
Edisi ke-3. Jakarta: EGC

Carpenito, Lynda Juall. 1997. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi ke-6.
Jakarta: EGC

Sri Kurnianingsih (ed), Monica Ester (Alih bahasa). Pedoman Klinis


Keperawatan Pediatrik.. Edisi ke-4. Jakarta: EGC

Faradilla, dkk. 2009. Anastesi pada tindakan posterosagital anorektoplasti pada


kasus malforasi anorektal. Faculty of Medicine – University of Riau
Pekanbaru. [serial online]
https://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/06/malformasi_anorektal_file
s_of_drsmed.pdf

Hidayat, A. Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba


Medika

[serial online]
https://www.academia.edu/8685826/ASKEP_PADA_PASIEN_ATRESIA_ANI
[diakses pada tanggal 09 Juli 2018]

[serial online]
http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/767/bab21.PDF?se
quence=6 [diakses pada tanggal 09 Juli 2018]

[serial online]
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/109/jtptunimus-gdl-heldanilag-5416-2-
babii.pdf [diakses pada tanggal 09 Juli 2018]

[serial online]
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23480/3/Chapter%20II.pdf
[diakses pada tanggal 09 Juli 2018]

29

Anda mungkin juga menyukai