Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
DISUSUN OLEH :
SUGENG YULIAWAN
NIM. 201501038
1
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA PASIEN DENGAN KASUS PENYAKIT ATRESIA ANI
DI RUANG 15 RSU Dr. SAIFUL ANWAR
MALANG
2018
DISUSUN OLEH :
SUGENG YULIAWAN
NIM. 201501038
2
LEMBAR PENGESAHAN
Malang,
………………………….
Mahasiswa
Sugeng Yuliawan
NIM. 201501038
Disetujui Oleh :
………………………… …………………………
… …
Mengetahui
Kepala Ruangan
……………………………
3
LEMBAR PENGESAHAN
Malang,
………………………….
Mahasiswa
Sugeng Yuliawan
NIM. 201501038
Disetujui Oleh :
………………………… …………………………
… …
Mengetahui
Kepala Ruangan
……………………………
4
BAB 1
TINJAUAN TEORI
1.1 Definisi
Istilah atresia ani berasal dari bahasa Yunani yaitu “ a “ yang artinya tidak
ada dan trepsis yang berarti makanan dan nutrisi. Dalam istilah kedokteran,
atresia ani adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang yang
normal. Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforata meliputi anus, rektum, atau batas di antara keduanya (Betz, 2002).
Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang
atau saluran anus (Donna, 2003).Atresia ani adalah tidak lengkapnya
perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal
(Suradi, 2001).Atresia ani atau anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi
membran yang memisahkan bagian endoterm mengakibatkan pembentukan
lubang anus yang tidak sempurna.Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam
atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum
(Purwanto, 2001).
Atresia ani disebut juga anorektal anomali atau imperforata anus.
Merupakan kelainan kongenital dimana terjadi perkembangan abnormal pada
anorektal di saluran gastrointestinal. Atresia ani atau anus imperforata adalah
malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai lubang ke luar
(Wong,2004).
1.2 Etiologi
Penyebab dari atresia ani masih belum diketahui pasti. Pada beberapa
penelitian, atresia ani dapat disebabkan oleh kelainan genetic maupun factor
lingkungan yang terpapar oleh zat-zat beracun, lingkungan yang kumuh dan pola
nutrisi bayi selama dalam kandungan.
Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa factor, yaitu :
1. Putusnya saluran pencernaan atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir
tanpa lubang dubur.
2. Adanya kegagalan pembentukan septum urorektal secara sempurna karena
gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
3. Gangguan organogenesis dalam kandungan dimana terjadi kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
5
4. Kelainan bawaan yang diturunkan dari orang tua. Jika kedua orang tua
menjadi carier maka 25%-30% menjadi peluang untuk terjadinya atresia ani,
kemudian adanya kelainan sindrom genetic, kromosom yang tidak normal dan
kelainan congenital lainnya juga dapat beresiko menderita atresia ani.
5. Terjadinya gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital,
biasanya karena gangguan perkembangan septum urogenital pada minggu ke-
5 sampai ke-7 pada usia kehamilan,
1.3 Klasifikasi
Menurut klasifikasi atresia ani dibagi 2 golongan yang dikelompokkan
menurut jenis kelamin.
a. Golongan I yaitu pada anak penderita berjenis kelamin laki-laki dibagi
menjadi 4 kelainan yaitu
1. Kelainan pada fistelurin
2. Atresia rectum,
3. Perineum yang datar
4. Tidak adanya Fistel.
Namun jika ada fistelurin, tampak mekonium keluar dari orifisium
eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria.
Cara menentukan letak fistelnya adalah dengan memasang kateter urin. Dan jika
kateter telah terpasang kemudian urin yang keluar jernih, itu pertanda bahwa
fistel terletak di uretra karena fistel tersebut tertutup kateter. Bila dengan kateter
urin mengandung mekonuim maka fistel ke vesika urinaria kemudian
pengeluaran feses tersebut tidak lancar, itu pertanda penderita memerlukan
kolostomi segera agar fases keluar dengan semestinya. Pada perempuan
penderita atresia rectum, tindakannya sama seperti laki-laki yaitu harus dibuat
kolostomi dan Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram,
maka perlu segera dilakukan kolostomi juga.
b. Golongan II yaitu pada penderita berjenis kelamin laki-laki dibagi 4 kelainan
yaitu
1. Kelainan pada fistel perineum
2. Membran anal
3. Stenosis anus
4. Fisteltidakada.
6
Fistel perineum yang ada pada laki-laki ini sama dengan pada wanita
yaitu lubangnya terdapat anterior dari letak anus yang normal. Sedangkan
pada membran anal, biasanya terlihat bayangan mekonium di bawah selaput.
Saat evakuasi feses sedang tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definit
secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan perempuan yaitu tindakan
definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara.
c. Golongan I pada perempuang dibagi 5 kelainan yaitu :
1. Kelainan kloaka
2. Fistel vagina
3. Fistel rektovestibular
4. Atresia rectum
5. Fistel tidak ada
6. Invertogram : udara >1 cm dari kulit
Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi
fecesnya menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada
fistel vestibulum, muara fistel terdapat di vulva. Umumnya evakuasi feses
lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai terhambat saat
penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila
penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka maka tidak perlu ada
pemisahan antara traktus urinarius, traktus genetalis dan jalan cernanya.
Evakuasi pengeluaran feses yang umumnya tidak sempurna sehingga perlu
segera dilakukan kolostomi. Pada atresia rectum, anus tampak normal tetapi
pada pemerikasaan dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Dan tidak
ada evakuasi mekonium sehingga perlu juga segera dilakukan kolostomi. Bila
tidak ada fistel, dibuatin vertogram.
d. Golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan yaitu
Kelainan pada fistel perineum,
Stenosis anus
Fistel tidak ada
Invertogram : udara <1 cm dari kulit.
Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat
letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu menimbulkan obstipasi.
Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi
sangat sempit. Evakuasi feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera
dilakukan terapi definitive. Bila tidak ada fistel dan pada invertogram udara.
7
Selanjutnya klasifikasi atresia ani juga dibagi menjadi ada 4 yaitu :
1. Anal stenosis yaitu terjadinya penyempitan anus sehingga feses tidak dapat
keluar pada semestinya.
2. Membranosus atresia adalah terdapat membrane pada anus.
3. Anal agenesis yaitu penderita masih memiliki anus tetapi ada daging diantara
rectum dengan anus.
4. Rectal atresia adalah penderita yang tidak memiliki rektum.
8
2.4 Tanda dan gejala
1. Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula
2. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran bayi.
3. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam
4. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
5. Pengukuran suhu rektal pada bayi tidak dapat dilakukan.
6. Adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula) dan distensi
bertahap
7. Pada pemeriksaan rectal touché terdapat adanya membran anal.
8. Lebih dari 50% pasien dengan atresia ani mempunyai kelainan congenital
lain.
9. Perut kembung 4-8 jam setelah lahir. (Betz. Ed 7. 2002)
1.5 Patofisiologi
Atresia ani terjadi dikarenakan kegagalan penurunan septum anorektal
pada embrional. Anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang.
Kloaka yang merupakan bakal genitourinaria dan struktur anorektal berkembang
awalnya dari ujung ekor dari bagian belakang. Penyempitan pada kanal anorektal
menyebabkan terjadinya stenosis anal. Atresia ani sendiri terjadi karena tidak ada
kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 minggu
dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi tersebut juga diakibatkan karena
kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Di
usus besar yang keluar hingga anus tidak terjadi pembukaan sehingga
menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami
obstruksi. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula.
Obstruksi tersebut berakibat distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah
dengan segala akibatnya.
Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan
diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir ke
arah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya
akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada wanita 90%
dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada
laki-laki biasanya letak tinggi, umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau
ke prostate. (rektovesika). Pada letak rendah fistula menuju ke uretra
(rektourethralis).
9
1.6 Komplikasi & prognosis
1.6.1Komplikasi
a. Asidosis hiperkloremia.
b. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
c. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
d. Komplikasi jangka panjang yaitu
a) eversi mukosa anal,
b) stenosis (akibat konstriksi jaringan perut dianastomosis).
c) Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan
d) Prolaps mukosa anorektal.
e) Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)
f) Fistula (karena ketegangan abdomen, diare, pembedahan dan
infeksi).(Ngastiyah, 2005).
Factor factor yang dapat mempengaruhi terjadinya komplikasi pada
atresia ani adalah kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan
operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, dan
keterampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang
buruk.
1.6.2Prognosis
Kelainan anorektal letak rendah biasanya dapat diperbaiki dengan
pembedahan melalui perineum dan prognosis baik untuk kontinensia fekal.
Sedangkan beda dengan kelainan anorektal letak tinggi diperbaiki dengan
pembedahan sakroperineal atau abdominoperineal. Adapun pada kelainan
ini, sfingterani eksternus tidak memadai dan tidak ada sfingter ani internus,
maka kontinensia fekal tergantung fungsi otot puborektalis (DeLorimer
1981 ; Iwai et al 1988). Ong dan Beasley (1990) mendapatkan hasil
penelitian klinis, dalam jangka panjang dari kelainan anorektal letak rendah
yang dilakukan operasi perineal lebih dari 90% penderita mencapai kontrol
anorektal yang secara sosial dapat diterima. Insidensi “soiling” pada
penderita umur lebih 10 tahun lebih rendah dibanding penderita yang lebih
muda. Pada kelainan anorektal letak tinggi hasilnya hanya 1/3 yang baik,
1/3 lagi dapat mengontrol kontinensia fekal. Pada wanita hasilnya lebih
baik daripada laki-laki karena pada wanita lesi seringkali intermediet.
Kebanyakan lesi supralevator dengan tindakan PSARP dapat dikerjakan
melalui perineum tanpa membuka abdomen (Smith, 1990). masalah-
10
masalah kontinensia biasanya terjadi pada beberapa penderita dengan
kelainan anorektal letak tinggi terutama ketika dilakukan pembedahan
dibanding letak rendah.
1.7 Pengobatan
Penatalaksanaan atresia ani ini berbeda, tergantung pada letak ketinggian akhiran
rectum dan ada tidaknya fistula. Leape (1987) menganjurkan pada:
1. Atresia letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD
dahulu, setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP)
2. Atresia letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya
dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot
sfingter ani ekternus
3. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion yaitu tindakan pembedahan
untuk membuat lubang anus pada anus malformasi fistel rendah misalnya
pada anocutan fistel, anus vestibular yang tidak adekuat dan pada anus
membranaseus
4. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin
11
PSARP adalah suatu tindakan membelah muskulus sfingter eksternus
dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rectum dan
pemotongan fistel. PSARP umumnya ditunda 9 sampai 12 bulan untuk
memberi waktu pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk
berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat
badannya dan bertambah baik status nutrisinya.
c. Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari setelah
operasi, anak akan mulai BAB melalui anus. Awalnya BAB akan sering
tetapi seminggu setelah operasi BAB berkurang frekuensinya dan agak
padat.
d. Perawatan Postoperasi
Setelah menjalani operasi, dua minggu kemudian pasien menjalani
anal dilatasi dua kali setiap hari sampai ukuran busi sesuai dengan umur
pasien dan saat businasi terasa lancar dan tidak terasa sakit. Kemudian
dilakukan tappering businasi dengan menurunkan frekuensi sampai beberapa
bulan, biasanya sekitar 6 bulan. Orang tua pasien harus diikutsertakan dalam
program ini karena orang tua yang menjalankan dan orang yang paling dekat
dengan anak.
1.8 Pencegahan
2. Melakukan pendidikan kesehatan kepada keluarga khususnya ibu hamil
mengenai informasi kesehatan ibu hamil, pertumbuhan dan perkembangan
janin dalam kandungan.
3. Promosi kesehatan mengenai sanitasi lingkungan.
4. Menjauhkan ibu hamil dari bahan beracun seperti asap rokok, nikotin, dan
zat yang berbahaya lainnya.
12
1.5 WOC
13
Trauma jaringan Abnormalitas
Resiko kerusakan
spinter rektal
integritas kulit
Perawatan tidak
adekuat
Nyeri
Resiko infeksi
14
BAB 2
KONSEP ASUHAN ASUHAN KEPERAWATAN ATRESIA ANI
2.1Pengkajian
2.1.1IDENTITAS PASIEN
Nama: -
Demografi: lingkungan yang kumuh dan pemukiman yang padat
dapat mempengaruhi terjadinya atresia ani
Umur: 1 hari
Jenis Kelamin: laki-laki
Atresia ani lebih banyak ditemukan pada laki laki
daripada perempuan
No. Reg: -
Tanggal Masuk RS: -
Diagnosa Medis: Atresia Ani
2.1.2RIWAYAT KESEHATAN
a. Keluhan Utama
Pasien tidak memiliki anus sejak lahir
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien mengalami muntah-muntah setelah 24-48 jam pertama
kelahiran, perut kembung dan membuncit, tidak bisa buang air
besar, meconium keluar dari vagina atau meconium terdapat
dalam urin
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Kedua orang tua merupakan carier dari atresia ani, adanya
kelainan sindrom genetic, kromosom yang tidak normal dan
kelainan congenital lainnya. Riwayat penggunaan obat-obatan
tanpa resep, konsumsi jamu-jamuan, riwayat jatuh, trauma pada
perut disangkal.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
15
Adanya riwayat keluarga yang juga memiliki kelainan tidak
memiliki anus sejak lahir.
e. Riwayat Kesehatan Lingkungan
umumnya kebersihan lingkungan tidak mempengaruhi secara
langsung kasus atresia ani ini. Hanya saja, lingkungan yang
kumuh dan padat tidak menutup kemungkinan menyebabkan
awalan terjadinya penyakit atresia ani pada janin yang masih
didalam kandungan.
2.1.3 POLA FUNGSI KESEHATAN
a. Pola persepsi terhadap kesehatan
Pasien belum bisa mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang
apa yang dirasakan dan apa yang diinginkan karena pasien
merupakan bayi.
b. Pola aktifitas kesehatan/latihan
Pasien belum bisa melakukan aktifitas apapun secara mandiri
karena masih bayi.
c. Pola istirahat/tidur
Pasien merasakan nyeri sehingga mengganggu waktu
istirahatnya. Diperoleh dari keterangan ibu bayi atau keluarga
yang lainnya, ketika saat jam istirahat, pasien gelisah dan rewel.
d. Pola nutrisi metabolik
Pasien yang merupakan bayi hanya minum ASI atau susu
kaleng, namun bisa saja dimuntahkan kembali ketika perut
terasa penuh, dan akibat terhambatnya melakukan konstipasi.
e. Pola eliminasi
Pasien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium
yang seharusnya dikeluarkan melalui anus.
f. Pola kognitif perseptual
Pasien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientasi
dengan baik pada orang lain dikarenakan masih bayi. Keluarga
pasien pun belum terlalu paham mengenai penyakit yang
diderita pasien.
16
g. Pola konsep diri
1) Identitas diri : belum bisa terkaji
2) Ideal diri : belum bisa terkaji
3) Gambaran diri : belum bisa terkaji
4) Peran diri : belum bisa terkaji
5) Harga diri : belum bisa terkaji
h. Pola seksual Reproduksi
Pasien masih bayi dan belum menikah
i. Pola nilai dan kepercayaan
Belum bisa dikaji karena pasien belum mengerti tentang
kepercayaan.
j. Pola peran hubungan
Belum bisa dikaji karena pasien belum mampu berinteraksi
dengan orang lain secara mandiri.
k. Pola koping
Belum bisa dikaji karena pasien masih bayi dan belum mampu
berespon terhadap adanya suatu masalah.
2.1.4PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Fisik Head to toe
1. Kepala
Kepala simetris, tidak ada luka/lesi, kulit kepala bersih, tidak
ada benjolan/tumor, tidak ada caput succedanium, tidak ada
chepal hematom.
2. Mata
Simetris, tidak konjungtifistis, tidak ada perdarahan
subkonjungtiva, tidak ikterus, tidak nistagamus/ tidak episnatus,
conjungtiva tampak agak pucat.
2. Hidung
Simetris, bersih, tidak ada luka, tidak ada secret, tidak ada
pernafasan cuping hidung, tidak ada pus dan lendir.
17
3. Mulut
Bibir simetris, tidak macrognatia, micrognatia, tidak
macroglosus, tidak cheilochisis.
4. Telinga
Memiliki 2 telinga yang simetris dan matur tulang kartilago
berbentuk sempurna
5. Leher
Tidak ada webbed neck.
6. Thorak
Bentuk dada simetris, silindris, tidak pigeon chest, tidak funnel
shest, pernafasan normal
7. Jantung
Tidak ada mur-mur, frekuensi jantung teratur
8. Abdomen
Inspeksi : datar, lemas, tampak stoma kesan vital, produksi
feses positif.
Auskultasi : bising usus positif, normal
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa.
Perkusi : timpani
9. Genetalia
Terdapat lubang uretra, tidak ada epispandia pada penis tidak
ada hipospandia pada penis, tidak ada hernia sorotalis.
10. Anus
Tidak terdapat anus, anus nampak merah, usus melebar,
kadang-kadang tampak ileus obstruksi. Thermometer yang
dimasukan kedalam anus tertahan oleh jaringan. Pada
auskultasi terdengar peristaltic.
11. Ektrimitas atas dan bawah
Simetris, tidak fraktur, jumlah jari lengkap, telapak tangan
maupun kaki dan kukunya tampak agak pucat.
12. Punggung
Tidak ada penonjolan spina gifid
18
13. Pemeriksaan Reflek
a. Suching +
b. Rooting +
c. Moro +
d. Grip +
e. Plantar +
19
perianal maka kelainan adalah letak rendah. Bila Pada pemeriksaan
fistel (-) maka kelainan adalah letak tinggi atau rendah.
Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah lahir agar
usus terisi oleh udara, dengan cara Wangenstein Reis yaitu kedua
kaki dipegang posisi badan vertikal dengan kepala dibawah atau
knee chest position yaitu posisi sujud yang bertujuan agar udara
berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat fistula lakukan
fistulografi (Faradilla, 2009).
Pada pemeriksan klinis, pasien dengan atresia ani tidak selalu
menunjukkan gejala obstruksi saluran cerna. Pada pemeriksaan
klinis harus segera ditegakkan diagnosis setelah lahir dengan
inspeksi daerah perianal dan dengan memasukkan termometer
melalui anus. (Levitt M, 2007)
Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi
dengan fistula rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen
tidak ditemukan selama beberapa jam pertama setelah lahir dan
mekonium harus dipaksa keluar melalui fistula rektoperineal atau
fistula urinarius. Hal ini dikarenakan bagian distal rektum pada
bayi tersebut dikelilingi struktur otot-otot volunter yang menjaga
rektum tetap kolaps dan kosong. Tekanan intrabdominal harus
cukup tinggi untuk menandingi tonus otot yang mengelilingi
rektum. Oleh karena itu, harus ditunggu selama 16-24 jam untuk
menentukan jenis atresia ani pada bayi untuk menentukan apakah
akan dilakukan colostomy atau anoplasty (Levitt M, 2007).
Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat
perineum, ditandai dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple
mengindikasikan bahwa pasien memiliki otot-otot perineum yang
sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan atresia ani letak
tinggi dan harus dilakukan colostomy (Levitt M, 2007).
Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan
atresia ani letak rendah meliputi adanya mekonium pada perineum,
"bucket-handle" (skin tag yang terdapat pada anal dimple), dan
20
adanya membran pada anus (tempat keluarnya mekonium) (Levitt
M, 2007).
21
2.2 Diagnosa
a. Gangguan pola eliminasi konstipasi berhubungan dengan abnormalitas
organ.
b. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan feses masuk ke uretra.
c. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan.
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan mencerna makanan.
e. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi
f. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala terkait penyakit,
vistel retrovaginal, dysuria, trauma jaringan post operasi.
g. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan perawatan tidak adekuat,
trauma jaringan post operasi.
h. Ansietas berhubungan dengan pembedahan dan mempunyai anak yang
tidak sempurna.
22
2.3 Intervensi Keperawatan
23
7. Mendukung
intake cairan
24
nyeri
3 Gangguan Setelah 1. Dorong 1. Mendorong
rasa dilakukan keluarga untuk keluarga
nyaman perawatan menemani untuk
b.d gejala 1x24 jam nyeri pasien (bayi) menemani
terkait berkurang 2. Jaga kebersihan pasien (bayi)
penyakit, Kriteria hasil: daerah 2. Menjaga
vistel Pasien penyakit/trauma kebersihan
retrovagin (bayi) tidak , pantau respon daerah
al, dysuria, lagi rewel pasien penyakit/trau
trauma karena 3. Beri pendidikan ma, pantau
jaringan area/lokasi kesehatan pada respon pasien
post penyakit keluarga pasien 3. Beri
operasi dan trauma (bayi) pendidikan
bersih dan kesehatan
selalu pada keluarga
dipantau pasien (bayi)
25
4. Berikan mendapatkan
informasi tentang nutrisi yang
kebutuhan nutrisi dibutuhkan
kepada keluarga 4. Memberikan
pasien informasi
tentang
kebutuhan
nutrisi kepada
keluarga pasien
26
6 Resiko Setelah 1. Jaga kebersihan 1. Menjaga
tinggi dilakukan lingkungan kebersihan
infeksi b.d perawatan 2. Pertahankan lingkungan
perawatan 3x24 jam teknik isolasi 2. Mempertahank
tidak resiko tinggi 3. Berikan terapi an teknik
adekuat, infeksi pasien antibiotic bila isolasi
trauma berkurang perlu infection 3. Memberikan
jaringan Kriteria Hasil: protection terapi antibiotic
post Resiko infeksi 4. Monitor tanda bila perlu
operasi berkurang dan gejala infeksi infection
karena sistemik dan local protection
lingkungan 5. Berikan 4. Memonitor
yang bersih perawatan pada tanda dan
serta penangan lokasi infeksi gejala infeksi
cepat yang 6. Inspeksi kondisi sistemik dan
dilakukan. luka local
7. Inspeksi kulit dan 5. Memberikan
membran mukosa perawatan pada
terhadap lokasi infeksi
kemerahan, 6. Melakukan
panas, drainase inspeksi kondisi
8. Dorong luka
masukkan nutrisi 7. Melakukan
yang cukup inspeksi kulit
9. Ajarkan keluarga dan membran
pasien (bayi) mukosa
tanda dan gejala terhadap
infeksi kemerahan,
panas, drainase
8. Mendorong
masukkan
nutrisi yang
27
cukup
9. Mengajarkan
keluarga pasien
(bayi) tanda
dan gejala
infeksi
7 Ansietas Selama 1. Gunakan 1. Menggunakan
b.d dilakukan pendekatan yang pendekatan
pembedah perawatan menenangkan yang
an dan 1x24 jam 2. Jelaskan semua menenangkan
mempunya ansietas prosedur 2. Menjelaskan
i anak keluarga 3. Pahami semua prosedur
yang tidak pasien teratasi prespektif 3. Memahami
sempurna Kriteria Hasil: keluarga pasien prespektif
Keluarga terhadap situasi keluarga pasien
pasien sedikit stress terhadap situasi
berkurang rasa 4. Bantu keluarga stress
cemas setelah pasien mengenal 4. Membantu
diberi penkes situasi yang keluarga pasien
yang menimbulkan mengenal
berhubungan kecemasan situasi yang
dengan 5. Dorong keluarga menimbulkan
penyakit sang pasien untuk kecemasan
anak mengungkapkan 5. Mendorong
perasaan, keluarga pasien
ketakutan, untuk
persepsi mengungkapka
n perasaan,
ketakutan,
persepsi
28
DAFTAR PUSTAKA
Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediarik”
Edisi ke-3. Jakarta: EGC
Carpenito, Lynda Juall. 1997. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi ke-6.
Jakarta: EGC
[serial online]
https://www.academia.edu/8685826/ASKEP_PADA_PASIEN_ATRESIA_ANI
[diakses pada tanggal 09 Juli 2018]
[serial online]
http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/767/bab21.PDF?se
quence=6 [diakses pada tanggal 09 Juli 2018]
[serial online]
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/109/jtptunimus-gdl-heldanilag-5416-2-
babii.pdf [diakses pada tanggal 09 Juli 2018]
[serial online]
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23480/3/Chapter%20II.pdf
[diakses pada tanggal 09 Juli 2018]
29