Menyapih adalah pengalaman kunci dalam tahap oral/lisan bayi dalam perkembangan psikoseksual,
perasaan pertamanya kerugian akibat kehilangan keintiman fisik menyusui pada payudara ibu.
Namun, penyapihan meningkatkan kesadaran diri bayi bahwa ia tidak mengontrol lingkungan, dan
dengan demikian belajar dari menunda kepuasan, yang mengarah pada pembentukan kapasitas
kemerdekaan (kesadaran batas diri) dan kepercayaan (perilaku terkemuka untuk kepuasan).
Namun, menggagalkan dari mulut-tahap - terlalu banyak atau terlalu sedikit pemuasan hasrat -
mungkin menyebabkan mulut-tahap fiksasi, ditandai dengan pasif, mudah tertipu, ketidakdewasaan,
optimisme realistis, yang dimanifestasikan dalam konsekuen kepribadian manipulatif untuk ego
malformasi.
Dalam kasus terlalu banyak gratifikasi, anak tidak belajar bahwa ia tidak mengontrol lingkungan,
dan gratifikasi yang tidak selalu langsung, sehingga membentuk kepribadian yang belum matang.
Dalam kasus terlalu sedikit gratifikasi, bayi mungkin menjadi pasif setelah mengetahui bahwa
gratifikasi tidak akan datang, meski telah menghasilkan perilaku memuaskan. [5]
Resolusi ideal konflik Id-Ego dalam penyesuaian anak moderat, tuntutan orangtua yang
mengajarkan nilai dan pentingnya kebersihan fisik dan ketertiban lingkungan, sehingga
menghasilkan anak mampu belajar mandiri.
e. Tahap genital
Tahap kelima perkembangan psikoseksual adalah tahap genital yang mencakup pubertas melalui
kehidupan dewasa, dan dengan demikian merupakan sebagian dari kehidupan seseorang;
tujuannya adalah detasemen psikologis dan kemerdekaan dari orang tua. Tahap genital memberi
orang kemampuan untuk menghadapi dan menyelesaikan konflik masa psikoseksual yang tersisa.
Seperti dalam tahap phallic, tahap genital berpusat pada alat kelamin, tetapi seksualit as adalah
konsensual dan dewasa, daripada soliter dan kekanak -kanakan. Perbedaan psikologis antara tahap
phallic dan genital adalah bahwa ego didirikan pada yang terakhir; perhatian orang tersebut
bergeser dari gratifikasi primer-drive (naluri) untuk menerapkan proses-pemikiran sekunder untuk
memuaskan keinginan simbolis dan intelektual dengan cara persahabatan, hubungan cinta,
keluarga dan tanggung jawab orang dewasa.
2. Proses Kognitif
Proses ini melibatkan perubahanperubahan dalam kemampuan dan pola ber pikir, kemahiran
bahasa, dan cara individu memperoleh pengetahuan dari lingkungannya. Aktivitas -aktivitas seperti
mengamati dan mengklasifikasikan benda-benda, menyatukan beberapa kata menjadi satu kalimat,
menghafal sajak atau doa, memecahkan soal-soal matematika, dan menceritakan pengalaman
merefleksikan peran kognitif dalam perkembangan anak.
a. Periode sensorimotor ( 0 - 2 tahun )Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks
bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui
diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat
periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan
pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan:
Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan
terutama dengan refleks.
Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan
berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan
dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas
bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen
walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas
bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal
kreativitas.
b. Tahapan praoperasional ( 2 - 6 tahun )Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat
tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia
dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra)Operasi
dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek -objek. Ciri
dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam
tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gamb aran dan kata-
kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang
orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan
semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau
warnanya berbeda-beda.
Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia
dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya.
Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun,
mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka
cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal
tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang
di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain
semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan me nganggap setiap benda
yang tidak hidup pun memiliki perasaan.
c. Tahapan operasional konkrit ( 6 - 12 tahun )Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat
tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan
logika yang memadai. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
Pengurutan; kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya.
Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda
yang paling besar ke yang paling kecil.
Klasifikasi; kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda
menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa
serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut.
Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua
benda hidup dan berperasaan)
Decentering; anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk
bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi
pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
Reversibility; anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah,
kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menent ukan bahwa
4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
Konservasi; memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda -benda adalah tidak
berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda -benda tersebut.
Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka
akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap
sama banyak dengan isi cangkir lain.
Penghilangan sifat Egosentrisme; kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang
orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh,
tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu
meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu
baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti
akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu
sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.
d. Tahapan operasional formalTahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan
kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas)
dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah dipe rolehnya kemampuan untuk
berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia.
Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak
melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di
antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai
perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif,
penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak
sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan
berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasiona l
konkrit.
3. Proses Psikososial
Proses ini melibatkan perubahan-perubahan dalam aspek perasaan, emosi dan kepribadian individu
serta cara yang bersangkutan berhubungan dengan orang lain
Teori Psikososial tentang Kepribadian
Menurut Erikson Perkembangan berlangsung melalui delapan tahap . Tahap yang berurutan itu
tidak ditetapkan menurut suatu jadwal kronologis yang ketat. Erikson berpendapat bahwa setiap
anak memiliki jadwal waktunya sendiri.
Erikson membagi tahap-tahap itu berdasarkan kualitas dasar ego pada masing-masing tahap yaitu:
Kepercayaan dasar yang paling awal terbentuk selama tahap sensorik oral dan ditunjukkan oleh
bayi lewat kapasitasnya untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan
membuang kotoran dengan santai. Kebiasaan itu berlangsung terus dalam kehidu pan bayi dan
merupakan dasar paling awal bagi berkembangnya suatu perasaan identitas psikososial. Melalui
pengalaman dengan orang dewasa, bayi belajar menggantungkan diri dan percaya pada mereka,
tetapi mungkin yang lebih penting, ia mempercayai dirinya sendiri. Kepastias semacam itu harus
mengungguli lawan negatif dari kepercayaan dasar yakni, kecurigaan dasar.
Pengharapan merupakan kebajikan paling awal dan paling esensial yang melekat dalam hidup.
Fondasi pengharapan pertama terletak pada hubungan dengan orang tua yang memberikan
pengalaman-pengalaman seperti ketenangan, makanan dan kehangatan.
Pada saat yang sama, ia mengembangkan kemampuan untuk membuang pengharapan yang
dikecewakan dan menemukan pengharapan dalam tujuan dan kemungkinan pada masa
mendatang.
Menurut Erikson, pengharapan adalah keyakinan yang bersifat menetap akan kemungkinan
dicapainya hasrat-hasrat kuat.
Tahap pertama kehidupan ini merupakan tahap ritualisasi numinous yaitu, perasaan bayi akan
kehadiran ibu, dalam hal ini pandangannya, pegangannya, sentuhannya, teteknya atau “pengakuan
atas dirinya”. Bentuk ritual numinous yang menyimpang dan terungkap dalam kehidupan dewasa
berupa pemujaan terhadap pahlawan secara berlebih-lebihan atau idolisme.
Anak harus didorong untuk mengalami situasi-situasi yang menuntut otonomi dalam melakukan
pilihan bebas. Rasa mampu mengendalikan diri akan menimbulkan dalam diri anak rasa memiliki
kemauan baik dan bangga yang bersifat menetap. Sebaliknya rasa kehilangan kontrol diri dapat
menyebabkan perasaan malu dan ragu-ragu yang bersifat menetap.
Nilai kemauan muncul pada tahap ke dua kehidupan ini. Anak belajar dari dirinya sendiri dan dari
orang. Kemauan menyebabkan anak secara bertahap mampu menerima pe raturan hukum dan
kewajiban. Kemauan adalah kemampuan untuk membuat pilihan-pilihan bebas, memutuskan,
melatih mengendalikan diri dan bertindak yang terus meningkat.
Ritualisasi menyebut ritualisasi tahap ini sifat bijaksana, karena anak mulai menilai dir inya sendiri
dan orang lain serta membedakan antara benar dan salah.
Penyimpangan ritualisme pada tahap ini adalah legalisme, yakni pengagungan huruf ketentuan
hukum daripada semangatnya, mengutamakan hukuman daripada belas kasih.
Tahap psikososial ketiga ialah tahap inisiatif yaitu suatu masa untuk memperluas penguasaan dan
tanggung jawab. Selama tahap ini anak menampilkan diri lebih maju dan lebih seimbang secara
fisik maupun kejiwaan.
Tujuan adalah nilai yang menonjol pada tahap perkembangan ini. Kegiatan utama anak dalam
tahap ini adalah bermain, dan tujuan tumbuh dari kegiatan bermainnya, eksplorasi, usaha,
kegagalannya serta eksperimen dengan alat permainannya.
Masa bermain ini bercirikan ritualisasi dramatik. Anak secar a aktif berpartisipasi dalam kegiatan
bermain, memakai pakaian, meniru kepribadian orang dewasa dan berpura -pura menjadi apa saja.
Keterasingan batin yang dapat timbul pada masa kanak -kanak ini ialah suatu perasaam bersalah.
Padanan negatif dari ritualisasi dramatik adalah ritualisme impersonasi sepanjang hidup, yaitu
melakukan tindakan yang tidak mencerminkan kepribadiannya yang sejati.
Pada tahap ini, anak harus belajar mengontrol imjinasinya yang sangat kaya, dan mulai me nempuh
pendidikan formal. Bahaya dari tahap ini ialah anak bisa mengembangkan perasaan rendah diri
apabila ia tidak berhasil menguasai tugas-tugas yang dipilihnya atau yang diberikan oleh guru dan
orangtua.
Nilai kompetensi muncul pada tahap kerajinan ini. Rasa kompetensi dicapai dengan menerjunkan
diri pada pekerjaan dan penyelesaian tugas, yang pada akhirnya mengembangkan kecakapan
kerja.
Usia sekolah merupakan tahap ritualisasi formal, masa anak belajar bekerja secara metodis.
Penyimpangan ritualismenya dimasa depan adalah formalisme, berwujud pengulangan, formalitas
yang tidak berarti.
Selama masa [adolesen], individu mulai merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri,
perasaan bahwa ia adalah manusia unik, namun siap untuk memasuki suatu peranan yang berarti
di tengah masyarakat, entah peranan ini bersifat menyesuaikan diri atau bersifat memperbaharui.
Inilah masa dalam kehidupan ketika orang ingin menentukan siapakah ia pada saat sekarang dan
ingin menjadi apakah ia pada masa yang akan datang.
Daya penggerak batin dalam rangka pembentukan identitas ego dalam aspek -aspeknya yang sadar
maupun tak sadar. Pada tahap ini ego memiliki kapasitas untuk memilih dan mengintegrasikan
bakat-bakat dan ketrampilan dalam melakukan identifikasi dengan orang yang sependapat, dalam
lingkungan sosial, serta menjaga pertahanannya terhadap berbagai ancaman dan kecemasan.
Semua ciri yang dipilih oleh ego ini dihimpun dan diintegrasikan oleh ego serta membentuk identitas
psikososial seseorang.
Peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke masa dewasa di satu pihak dan karena kepekaan
terhadap perubahan sosial dan historis dilain pihak, maka selama tahap pembentukan identitas
seorang remaja, mungkin merasakan penderitaan paling dalam dibandingkan pada masa-masa lain
akibat kekacauan peranan atau kekacauan identitas.
Istilah krisis identitas menunjuk pada perlunya mengatasi kegagalan yang bersifat sementara itu
untuk selanjutnya membentuk suatu identitas yang stabil atau sebalikn ya suatu kekacauan peranan.
Kesetiaan adalah pondasi atas dasar mana terbentuk suatu perasaan identitas yang bersifat
kontinyu. Ritualisasi yang menyertai tahap adolesen adalah ritualisasi ideologi. Penyimpangan
ritualisasinya adalah totalisme.
Ritualisasi pada tahap ini adalah afiliatif yakni berbagi bersama dalam pekerjaan, persahabatan dan
cinta. Penyimpangan ritualismenya adalah elitisme.
Ciri tahap ini adalah perhatian terhadap apa yang dihasilkan, keturunan, produk, ide serta
pembentukan dan penetapan garis-garis pedoman untuk generasi mendatang. Apabila generativitas
lemah atau tidak diungkapkan maka kepribadian akan mundur dan mengalami stagnasi. Nilai
pemeliharaan berkembang dalam tahap ini.
Ritualisasi dari tahap ini ialah sesuatu yang generasional, yakni ritualisasi peranan orang tua,
produksi, pengajaran dengan mana orang dewasa bertindak sebagai penerus nilai-nilai ideal
kepada kaum muda. Penyimpangan dari ritualisasi ini adalah autoritisme.
Tahap terakhir dalam proses epigenetis perkembangan disebut integritas. Integritas paling tepat
dilukiskan sebagai suatu keadaan yang dicapai seseorang setelah memelihara benda, produk, ide,
orang dan setelah berhasil menyesuaikan diri dengan keberhasilan dan kegagalan dalam hidup.
Lawan integritas adalah keputusasaan tertentu menghadapi perubahan siklus kehidupan ind ividu,
terhadap kondisi sosial dan historis, belum lagi kefanaan hiidup di hadapan kematian.
Kebijaksanaan adalah nilai yang berkembang dari hasil pertemuan antara integritas dan
keputusasaan dalam tahap kehidupan yang terakhir ini.
Ritualisasi usia lanjut dapat disebut integral, ini tercermin dalam kebijaksanaan segala zaman.
Sebagai ritualisme yang padanannya, Erikson mengusulkan sapientisme.