Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Endometrium

Uterus adalah organ yang terdiri atas suatu badan (korpus) yang

terletak diatas orifisium uteri internum dan suatu struktur silindris yakni

serviks yang terletak di bawah orifisium uteri internum. Serviks

merupakan sepertiga dari panjang uterus ini. Struktur uterus dewasa dan

tidak hamil menyerupai bentuk buah pir dengan panjang 7-8 cm dengan

berat 40-80 gram. ukuran dari cornu ke cornu 5 cm dan anteroposterior

2.5 cm. Ukuran ini akan bervariasi seiring perubahan usia, fase

menstruasi dan angka paritas. 11,12

Dari segi histologi, dinding uterus terdiri dari tiga lapisan : 12

1. Lapisan perimetrium yang merupakan lapisan luar yang dibentuk oleh

lapisan jaringan ikat.

2. Lapisan muskular atau miometrium yang merupakan lapisan paling

tebal di uterus dan terdiri dari serat otot yang dipisahkan oleh kolagen

dan serat elastik. Berkas otot polos ini membentuk empat lapisan yang

tidak berbatas tegas. Lapisan pertama dan keempat terutama terdiri

atas serat yang tersusun memanjang, yaitu sejajar dengan sumbu

panjang organ. Lapisan tengah mengandung pembuluh darah yang

lebih besar.
3. Lapisan endometrium yang terdiri atas epitel selapis kolumnar dan

lamina propia yang mengandung kelenjar tubular simpleks.

Endometrium merupakan lapisan mukosa yang melapisi rongga

uterus wanita yang sedang tidak hamil. Dengan ketebalan bervariasi dari

0,5 mm hingga 5 mm, lapisan mukosanya dibentuk oleh kelenjar, stroma

dan pembuluh darah. Lapisan endometrium dapat dibagi menjadi dua

zona, yaitu : (1) Lapisan fungsional (stratum functionalis) yang

merupakan bagian tebal dari endometrium. Lapisan fungsional

endometrium dibagi menjadi lapisan permukaan yang padat (stratum

compactum) dan lapisan lebih dalam yang berongga (stratum

spongiosum), (2) Lapisan basal (stratum basalis) yang paling dalam dan

berdekatan dengan miometrium. Lapisan ini mengandung lamina propia

dan bagian awal kelenjar uterus. Lapisan basal berdekatan dengan

miometrium dan dibentuk oleh kelenjar bentuk tubular, kadang-kadang

bercabang, dilapisi oleh epitel selapis hingga bertingkat dengan stroma

yang lebih basophilic dan padat.11,13

Saraf uterus berasal dari inferior hypogastric plexus, yang terutama

membentuk uterovaginal plexus di broad ligament. Uterovaginal plexus

beberapa cabangnya turun bersamaan dengan arteri vagina dan cabang

lainnya langsung menembus serviks uteri atau naik bersamaan atau dekat

dengan arteri uterina di broad ligament. Lapisan fungsional endometrium

pada perempuan normal merupakan salah satu jaringan normal di dalam

tubuh yang dalam keadaan normal tidak mempunyai persarafan.14


2.2. Endometriosis

Endometriosis merupakan kelainan ginekologis jinak yang

didefinisikan sebagai adanya kelenjar dan stroma endometrial diluar lokasi

normalnya. Endometriosis pertama kali diidentifikasi pada pertengahan

abad 19 (Von Rokintansky, 1860), endometriosis paling sering ditemukan

di peritoneum pelvis namun dapat juga ditemukan di ovarium, septum

rektovaginal, ureter, dan dalam jumlah yang lebih jarang di kandung

kemih, perikardium, serta pleura (Comiter, 2002; Giudice, 2004).

Endometriosis merupakan penyakit yang tergantung oleh kondisi

hormonal dan sering ditemukan di wanita dengan usia reproduksi.

Jaringan endometrium yang berlokasi didalam miometrium dinamakan

adenomiosis.1,2

2.2.1. Epidemiologi

Insiden dari endometriosis sulit untuk diukur, karena wanita

dengan penyakit ini seringkali asimtomatik, dan modalitas radiologis

memiliki sensitivitas yang rendah untuk diagnosis. Wanita dengan

endometriosis dapat asimtomatik, subfertil, ataupun menderita nyeri pelvis

yang bervariasi derajat beratnya.1

Menurut Missmer A dkk, 2004, insidensi endometriosis terbanyak

ditemukan pada wanita usia 25-29 tahun, dan juga ditemukan dalam

jumlah yang kecil pada usia diatas 44 tahun.15


Menurut Gylfason JT dkk, 2010, bahwa insidensi endometriosis di

Islandia sejak tahun 1981-2000 secara umum terjadi pada wanita usia 15-

49 tahun.16

Menurut Penelitian Brandi S dkk, 2010, konfirmasi diagnosa

endometriosis dilakukan secara histologi dan insidensinya ditemukan

pada wanita usia 15 - 49 tahun di Minnesota sebanyak 160/100.000 orang

per tahun . Studi ini menunjukkan bahwa insidensinya meningkat seiring

dengan umur dari 17/100.000 orang per tahun diantara wanita usia 15-19

tahun sampai 285/100.000 orang per tahun diantara wanita usia 40-44

tahun . Insidensinya kemudian turun menjadi 184/100.000 orang per tahun

diantara wanita usia 45-49 . Studi lain juga menyatakan untuk wanita > 15

tahun, kemungkinan dilaporkan diagnosa endometriosis saat pembedahan

adalah 11,5% dan bahkan lebih tinggi pada wanita usia 45 – 54 tahun.17

2.2.2. Patofisiologi

Walaupun penyebab definitif dari endometriosis masih belum

diketahui, beberapa teori dengan bukti pendukung telah disebutkan :

A. Menstruasi retrograd

Teori terawal dan paling diterima secara luas ini

berhubungan dengan menstruasi retrograd melewati tuba fallopi

dengan diikuti penyebaran dari jaringan endometrium didalam

rongga peritoneum (Sampson, 1927). Refluks fragmen


endometrium ini menempel dan menginvasi mesotelium peritoneum

dan mengembangkan suplai pembuluh darah, yang kemudian

berlanjut dengan pertumbuhan implan secara kontinu (Giudice,

2004).1,2

B. Penyebaran Limfatik

Bukti juga mendukung konsep terjadinya endometriosis

yang bermula dari penyebaran jaringan endometrium lewat limfatik

dan vaskuler (Ueki, 1991). Penemuan endometriosis pada lokasi

tidak biasa, seperti perineum atau panggul, mendukung teori ini

(Mitchell, 1991; Pollack, 1990). Regio retroperitoneal memiliki

sirkulasi limfatik yang sangat banyak. Kecenderungan dari

adenokarsinoma endometrium yang menyebar lewat rute limfatik

juga mengindikasikan bahwa endometrium dapat ditransportasikan

lewat rute ini (McMeekin, 2003). 1,2

C. Ketergantungan terhadap kondisi hormonal

Sebuah faktor yang terbukti memiliki peran kausatif dalam

perkembangan endometriosis adalah estrogen (Gurates, 2003).

Walaupun kebanyakan estrogen diproduksi oleh ovarium, banyak

jaringan perifer yang diketahui dapat membentuk estrogen melalui

aromatisasi dari androgen ovarium dan adrenal. Implan

endometriotik diketahui mengekspresikan aromatase dan 17-

hidroksisteroid dehidrogenase tipe 1, enzim yang bertugas untuk

merubah androstenedion menjadi estron dan estron menjadi


estradiol. Implan pun diketahui kekurangan enzim 17-

hidroksisteroid dehidrogenase tipe 2, yang menginaktivasi

estrogen. Kombinasi ini memastikan implan berada dalam

lingkungan penuh estrogen, sehingga dapat mengeluarkan efek

biologis seperti jaringan yang memproduksinya (proses ini disebut

intrakrinologi).1,2,4

Prostaglandin E2 (PGE2) merupakan penginduksi paling

poten dari aktivitas aromatase pada sel stroma endometrium,

beraksi lewat subtipe reseptor prostagladin EP2. Estradiol yang

diproduksi sebagai respon pada peningkatan aktivitas aromatase

akhirnya memperbesar produksi PGE2 dengan menstimulasi enzim

siklooksigenase tipe 2 (COX-2) di sel endotelium uterus. Hal ini

menghasilkan lingkaran umpan balik positif dan mempotensiasi

efek estrogenik pada proliferasi endometriosis. Konsep ini secara

lokal memproduksi estrogen dan aksi intrakrin estrogen pada

endometriosis menjadi basis inhibisi farmakologis terhadap aktivitas

aromatase dalam kasus endometriosis yang refrakter terhadap

terapi standar.18,19
Gambar 1. Aktivitas aromatase estrogen dan pengaruh prostaglandin E2 1

Walaupun kebanyakan wanita mengalami menstruasi retrograd,

yang mungkin memiliki peran pada penyebaran dan terjadinya implan,

hanya sedikit yang mengalami endometriosis. Jaringan menstrual dan

endometrium yang refluks ke rongga peritoneum biasanya dibersihkan

oleh sel imun seperti makrofag, sel natural killer (NK), dan limfosit. Untuk

alasan ini, disfungsi sistem imun menjadi salah satu mekanisme yang

paling mungkin untuk pertumbuhan endometriosis pada kejadian

menstruasi retrograd (Seli, 2003). Gangguan imunitas selular dan humoral

serta perubahan faktor pertumbuhan juga sinyal akan adanya sitokin

masing-masing telah teridentifikasi di jaringan endometriosis.1,19,20


Gambar 2. Berbagai Faktor yang berpengaruh pada patogenesis

Endometriosis.20

2.2.3. Faktor risiko

A. Riwayat keluarga.

Terdapat bukti bahwa pola penurunan familial ada pada

endometriosis. Walaupun tidak ditemukan pola penurunan genetik

Mendel, peningkatan insidensi pada kerabat tingkat pertama

memungkinkan adanya pola penurunan poligenik/ multifaktorial.

Contohnya pada studi genetik wanita dengan endometriosis,


Simpson et al di tahun 1980 melihat bahwa 5,9% saudara wanita

dan 8,1% dari ibu mereka menderita endometriosis, dibandingkan

dengan 1% dari kerabat laki-laki tingkat pertama mereka.1

B. Mutasi Genetik dan polimorfisme.

Angka endometriosis yang ditemukan dari suatu keluarga

membuat investigasi terhadap beberapa gen dilakukan. Studi

terbesar saat ini memeriksa lebih dari 1000 keluarga dengan dua

wanita bersaudara yang menderita endometriosis, dan

teridentifikasi bahwa regio pada kromoson 10q26 menunjukkan

ikatan yang signifikan pada kedua bersaudara tersebut dengan

endometriosis (Treloar, 2005). Beberapa gen lain juga telah

diidentifikasi, lewat mutasi genetik, polimorfisme, ataupun ekspresi

gen yang berbeda, untuk berhubungan dengan endometriosis.

Meskipun begitu peran kausa dari penyakit ini belum dapat

ditentukan.1,20

C. Defek Anatomik.

Obstruksi saluran reproduksi dapat mempredisposisi

seseorang untuk mengalami endometriosis, paling mungkin

melalui menstruasi retrograd (Breech, 1999). Endometriosis juga

telah diidentifikasi pada wanita dengan tanduk uterus yang tidak

berhubungan, himen imperforata, dan septum vagina yang

transversal. Karena hubungan ini, laparoskopi diagnostik untuk


mengidentifikasi dan mengobati endometriosis disarankan pada

saat bedah perbaikan untuk anomali-anomali ini. Perbaikan dari

defek anatomik ini diperkirakan dapat menurunkan resiko

terjadinya endometriosis (Joki-Erkkila, 2003; Rock,1982).1,4

2.2.4. Lokasi Anatomik Endometriosis

Endometriosis dapat terbentuk dimana saja didalam pelvis

maupun permukaan peritoneal ekstrapelvis lainnya. Endometriosis paling

sering ditemukan pada area tertentu di pelvis, seperti ovarium, peritoneum

pelvis, cul-de-sac anterior dan posterior, serta ligamen uterosakral.

Terkadang septum rektovaginal, ureter, dan kandung kemih, perikardium,

skar paska operasi, dan pleura juga bisa terkena dalam frekuensi yang

lebih jarang. Sebuah tinjauan patologis menyebutkan bahwa

endometriosis telah teridentifikasi pada seluruh organ kecuali limpa

(Markham, 1989). Bisa endometriosis terbentuk pada tempat yang tidak

biasa, maka gejala yang ditimbulkan akan bersifat atipikal. Misalnya,

wanita dengan endometriosis di traktur urinarius akan mengeluhkan gejala

berkemih iritatif yang berulang dan hematuria. Wanita dengan keterlibatan

rektosigmoid dapat merasakan perdarahan rektal berulang, dan pada lesi

pleura dapat muncul pneumotoraks saat menstruasi ataupun hemoptisis

(Price, 1996; Roberts, 2003; Ryu, 2007; Sciume, 2004).1,2


Gambar 3. Lokasi umum endometriosis.1

Endometrioma ovarium adalah manifestasi yang cukup sering dari

endometriosis. Kista ovarium dengan dinding halus, warna coklat ini berisi

cairan coklat dan dapat unilokular atau multilokular. Endometrioma

ovarium diperkirakan terbentuk dari invaginasi korteks ovarium dan

masuknya debris menstruasi yang menempel pada permukaan ovarium

(Hughesdon, 1957). Teori lain mengatakan bahwa endometrioma

terbentuk sebagai hasil metaplasia dari inklusi epitel yang berinvaginasi.1,2


2.2.5. Klasifikasi Derajat dan Lokasi Lesi Endometriosis

Pada tahun 1996, ASRM merevisi sistem klasifikasinya, yang

dikenal dengan sistem skoring revised – AFS (r-AFS). Dalam sistem ini

dibagi menjadi empat derajat keparahan, yakni :21

a. Stadium I (minimal) :1-5

b. Stadium II (ringan) : 6 - 15

c. Stadium III (sedang) :16 - 40

d. Stadium IV (berat) : > 40

Gambar 4. Klasifikasi endometriosis.21


2.2.6. Manifestasi Klinis

Walaupun wanita dengan endometriosis dapat menjadi

asimtomatik, gejala yang muncul biasanya meliputi nyeri pelvis dan

infertilitas.

1. Nyeri.

Endometriosis adalah penyebab paling umum dari nyeri pelvis,

yang diderita wanita dalam derajat yang bervariasi, dapat terjadi sewaktu-

waktu maupun terjadi secara kronik. Salah satu penelitian menyebutkan

bahwa yang dikatakan dengan nyeri pelvis adalah sakit pada daerah

pelvik menetap setidaknya 3 bulan.22 Penyebab dari rasa nyeri ini belum

diketahui secara pasti, namun sitokin proinflamasi dan prostaglandin yang

dilepaskan oleh implan endometriotik ke cairan peritoneal dapat menjadi

salah satu sumbernya. Terdapat pula sumber yang menyebutkan bahwa

nyeri berhubungan dengan kedalaman invasi dan lokasi nyeri dapat

menentukan tempat implantasi endometriosis.1,2 Namun, pasien dengan

endometriosis sering mengeluhkan nyeri pada abdomen yaitu suprapubik,

umbilicus, iliaka kanan dan kiri serta sacrum.21

Data terbaru menyebutkan nyeri endometriosis dapat berasal dari

invasi neuronal terhadap implan endometriotik yang akhirnya

menghasilkan suplai saraf sensorik dan simpatik, yang kemudian dapat

mengalami sensitisasi sentral (Berkley, 2005). Hal ini menyebabkan


hipereksitabilitas persisten dari neuron tersebut dan terjadilah nyeri yang

persisten, walaupun telah dilakukan eksisi bedah. 23.24

2. Dismenore.

Nyeri siklikal selama menstruasi sering ditemui pada wanita dengan

endometriosis. Dismenore yang berhubungan dengan endometriosis

biasanya mendahului menstruasi selama 24-48 jam dan kurang responsif

pada NSAID maupun kontraseptif oral kombinasi. Nyeri ini akan lebih

berat dibandingkan dismenore primer.1,2

3. Dispareunia.

Gejala ini berhubungan dengan endometriosis pada septum

rektovagina atau ligamen uterosakral. Selama terjadinya hubungan

seksual, tegangan pada ligamen uterosakral tersebut dapat merangsang

nyeri ini. Dispareunia yang berhubungan dengan endometriosis dicurigai

telah terjadi bila baru muncul setelah bertahun-tahun dapat berhubungan

seksual tanpa rasa nyeri (Ferrero, 2005).1

4. Disuria.

Gejala ini kurang sering dikeluhkan pasien endometriosis, begitu

pula keluhan berupa nyeri berkemih, frekuensi maupun urgensi dalam

berkemih. Bila kultur urin negatif, maka endometriosis dapat menjadi

kemungkinan penyebab dari keluhan diatas (Vercillini, 1996).1,2,4


5. Nyeri panggul kronik.

Nyeri ini juga merupakan gejala yang paling sering ditemukan

berhubungan dengan endometriosis. Sekitar 40-60% wanita dengan nyeri

panggul kronik ditemukan memiliki endometriosis saat laparoskopi

(Eskenazi, 1997). Fokus nyeri kronik ini bervariasi antar wanita, apabila

septum rektovagina yang terlibat, nyeri dapat beradiasi ke rektum ataupun

punggung bawah.1

6. Infertilitas.

Insidensi endometriosis pada wanita dengan subfertilitas adalah

20% hingga 30% (Waller, 1993). Walaupun terdapat banyak variasi,

pasien dengan infertilitas terlihat memiliki insiden endometriosis yang lebih

tinggi dibandingkan kontrol fertil, 13% hingga 33% dibandingkan 4%

hingga 8%, (D’Hooghe, 2003; Strathy, 1982). Matorras dkk, di tahun 2001

memperhatikan tingginya prevalensi endometriosis derajat berat pada

wanita dengan infertilitas. Hal ini dapat terjadi dari adhesi yang

disebabkan oleh endometriosis dan rusaknya pengambilan oosit normal

dan transportasinya ke tuba fallopi. Diluar gangguan mekanis ovulasi dan

fertilisasi, defek yang lebih ringan juga diperkirakan terlibat dalam

patogenesis infertilitas oleh endometriosis.1,2,4


2.2.7. Diagnosa banding

Gejala endometriosis tidak spesifik dan dapat menyerupai banyak

proses penyakit. Karena endometriosis merupakan suatu diagnosis

bedah, beberapa diagnosis lain dapat diperkirakan sebelum diadakannya

eksplorasi tindakan bedah.25 Adapun yang dapat menjadi diagnosis

banding adalah penyakit inflamasi panggul, abses tubo-ovarian,

salpingitis, endometritis, kista ovarium hemoragik, torsi ovarium,

dismenore primer, sistitis, infeksi traktus urinarius kronik, batu ginjal,

penyakit inflamasi usus, divertikulitis, penyakit muskuloskeletal, dan lain-

lain.1,2

2.2.8. Diagnosa

Untuk menegakkan diagnosis endometriosis selain lewat

anamnesis yang teliti, juga perlu dilakukan pemeriksaan fisik hingga

penunjang. Penegakan diagnosa endometriosis tidaklah mudah karena

pemeriksaan baku emas (gold standar) adalah laparaskopi, sebuah

tindakan yang masih cukup mahal untuk kebanyakan orang Indonesia.

Umumnya endometriosis juga ditemukan secara tidak sengaja pada

laparatomi.26

Pada inspeksi visual, biasanya tidak ditemukan kelainan. Kecuali

bisa endometriosis terjadi dalam skar episiotomi atau skar bedah, dan

paling sering pada insisi Pfannenstiel (Kogfer, 1993; Zhu, 2002). Pada
pemeriksaan spekulum, juga biasanya tidak terlihat tanda dari

endometriosis. Biasanya lesi berwarna kebiruan ataupun kemerahan

mungkin terlihat pada serviks atau forniks posterior pada vagina. Lesi ini

dapat nyeri atau berdarah dengan kontak. Pada pemeriksaan bimanual,

palpasi organ panggul sering menunjukkan kelainan anatomik yang

mengarahkan ke endometriosis. Nodularitas ligamen uterosakral dan rasa

nyeri dapat merefleksikan penyakit aktif. Namun sensitivitas dan

spesifisitas rasa nyeri fokal pelvis dalam mendeteksi endometriosis

menunjukkan variasi dari 36% hingga 90% dan 32% hingga 92%

(Chapron, 2002; Eskenazi, 2001; Koninckx, 1996; Ripps, 1992).1,2,4

Selain pemeriksaan fisik, pemeriksaaan laboratorium dapat

dilakukan untuk mengeksklusi penyebab nyeri panggul lain. Sebagai awal,

pemeriksaan darah perifer lengkap, urinalisis, kultur urin, kultur vagina,

dan usap serviks dapat dilakukan untuk mengeksklusi infeksi yang dapat

menyebabkan penyakit inflamasi panggul. Banyak marker serum yang

telah dipelajari sebagai alat bantu diagnosis endometriosis.

Ca125 merupakan marker serum yang paling banyak dipelajari, marker

ini ditemukan di epitel tuba falopi, endometrium, endoserviks, pleura, dan

peritoneum. Peningkatan Ca125 secara positif berkorelasi dengan

keparahan endometriosis (Hornstein, 1995). Spesifisitas marker ini cukup

tinggi, sayangnya sensitivitasnya kurang baik untuk mendeteksi

endometriosis ringan. Marker ini lebih baik untuk mendeteksi

endometriosis stadium 3 dan 4. Sebuah meta analisis menunjukkan

sensitivitasnya hanya 28% dan spesifisitasnya 90%.1,4


Untuk penunjang radiologis, ultrasonografi baik transabdominal

maupun transvaginal keduanya banyak digunakan dalam diagnosis

endometriosis. Ultrasonografi transvaginal masih menjadi pilihan utama

dalam mengevaluasi gejala yang berhubungan dengan endometriosis.

Terdapat pula teknik baru berupa sonovaginografi, yaitu sebuah teknik

dengan melakukan instilasi cairan fisiologis ke vagina untuk secara akurat

melokalisasi endometriosis rektovagina. Sonografi transrektal juga dapat

membantu diagnosis dan evaluasi endometriosis (Brosens, 2003).

Ultrasonografi transvagina sama efektifnya dengan pendekatan transrektal

dalam mengidentifikasi endometriosis panggul posterior.1,2,4

Laparoskopi diagnostik merupakan metode primer yang

digunakan untuk mendiagnosis endometriosis. Dengan metode ini dapat

terlihat lesi yang bervariasi warnanya, dapat merah, putih, ataupun hitam.

Walaupun konsensus saat ini tidak membutuhkan evaluasi histologis

untuk diagnosis endometriosis, hanya bergantung pada temuan

laparoskopik yang dapat menyebabkan terjadinya overdiagnosis. Dalam

diagnosis histologis harus ditemukannya kedua kelenjar endometrial dan

stroma yang ditemukan diluar rongga uterus. Deposisi hemosiderin dan

metaplasia fibromuskular juga dapat ditemukan. Tampilan makroskopik

akan spesifik seperti temuan mikroskopiknya, misalnya lesi merah dalam

tampilan mikroskopik biasanya memiliki banyak vaskularisasi. Lesi putih

lebih sering menunjukkan fibrosis dan sedikit pembuluh darah (Nissolle,

1997).1,4,11
2.3. Nyeri Endometriosis

Nyeri panggul secara umum diakui sebagai gejala utama pada

endometriosis. Infertilitas juga merupakan gejala umum dari

endometriosis, tetapi sebagian besar pasien akan disertai dengan keluhan

nyeri. Nyeri panggul endometriosis dapat dikenal dengan baik, tetapi

kebanyakan hanya berpikir dalam hal trias umum berupa dismenorea

,dispareunia dan nyeri yang mendalam mengikuti motilitas usus.

Kurangnya kesadaran tentang variasi nyeri endometriosis mungkin

bertanggung jawab atas keterlambatan dalam diagnosis, yang rata-rata

mencapai waktu 8-10 tahun dari timbulnya gejala awal. Faktor lain yang

berkontribusi terhadap keterlambatan dalam diagnosis adalah kegagalan

pasien untuk menginformasikan tentang gejala nyeri.14,21,27,28,29

Ballar dkk (2006), menemukan bahwa persepsi nyeri

endometriosis yang paling sering dikemukakan pasien adalah jenis

throbbing, gnawing dan dragging pada tungkai. Beberapa mekanisme

yang diduga sebagai penyebab nyeri pada endometriosis adalah:30

a. Produksi zat – zat, seperti prostaglandin, growth factor dan sitokin dari

makrofag yang teraktivasi, juga sel – sel yang berkaitan dengan implan

endometrium.

b. Efek langsung dan tidak langsung dari perdarahan aktif pada implant

endometriosis.

c. Iritasi atau invasi serabut saraf dasar panggul.


Gejala klasik endometriosis, termasuk dismenorea sekunder

(kongestif), dispareunia, nyeri gerakan usus, perdarahan menstruasi yang

berat dan infertilitas. Namun, literatur menunjukkan bahwa siklus

menstruasi dan nyeri menstruasi jauh lebih luas dan kompleks daripada

ini. Memang, rasa sakit endometriosis hanya salah satu bagian dari suatu

gejala unik namun sangat kompleks.22,27

Karakteristik nyeri haid (dismenorea) dijelaskan oleh sebagian

besar perempuan sebagai intens, tak tertahankan, kram, menggerogoti,

dan menekan. Lokasi dominan dari nyeri terdapat di abdomen tengah dan

bawah (92% dari wanita dengan dismenorea), daerah panggul dalam

(41%), punggung bagian bawah (50%) dan paha, pinggang,

selangkangan, anus dan umbilikus.22,27,28

Gejala nyeri gastrointestinal sering diabaikan, tetapi nyeri kolik

dan gejala iritasi usus dialami 82% wanita dengan endometriosis.

Dikatakan bahwa perbedaan utama antara irritable bowel syndrome dan

gejala khas endometriosis usus adalah bahwa dalam irritable bowel

syndrome, nyeri kolik hilang dengan gerakan usus, sedangkan pada

endometriosis tidak.14,22,28
Gambar 5. Perbedaan tipe nyeri yang berhubungan dengan

endometriosis.14
Gambar 6. Mekanisme nyeri pada endometriosis yang berhubungan dengan

nyeri pelvis.27

2.4. Serabut Saraf Endometrium eutopik pada endometriosis

Sangat sedikit yang diketahui tentang endometrium atau

neurogenesis pada uterus, namun mereka dianggap penting dalam

pembentukan gejala nyeri terkait endometriosis yang dibuktikan dengan

peningkatan yang sangat signifikan dari ekspresi nerve growth factor

(NGF). 31

Ada bukti bahwa endometrium eutopik pada wanita dengan

endometriosis berbeda dengan endometrium wanita tanpa endometriosis

meskipun penampilan jaringan pada histologi rutin hampir identik dengan


endometrium normal. Endometrium eutopik wanita dengan endometriosis

ini menunjukkan berbagai anomali dibandingkan dengan endometrium

wanita yang bebas penyakit yang menunjukkan bahwa defek utama dalam

endometriosis mungkin endometrium eutopik. 32,33

Adanya serabut saraf pada endometrium eutopik pada wanita

endometriosis diduga muncul karena adanya rangsangan yang memicu

munculnya perkembangan saraf lokal, dan diduga NGF berperan dalam

hal ini. NGF di ekspresikan dengan kuat pada kelenjar dan stroma lapisan

fungsional dan basal endometrium penderita endometriosis, dan hal ini

tidak diekspresikan pada endometrium eutopik wanita yang tidak

endometriosis. 34

Molekul yang memiliki peran penting dalam neurogenesis

termasuk novel neurotrophin-1 / B cell-stimulating factor-3 (NNT-1/BSF-3)

dan NGF, brain-derived neurotrophic factor (BDNF), neurotrophin-3 (NT-

3), neurotrophin-4/5 (NT-4/5), dan anggota famili glial-cell derived

neurotrophic factor (GDNF). 35,36

Pada wanita dengan endometriosis, ekspresi dari neurotrophin,

reseptornya dan molekul aktif neuronal lainnya meningkat dibandingkan

dengan wanita tanpa penyakit. Secara khusus, ekspresi NGF dan

reseptornya TrkA dan P75 meningkat pada wanita dengan endometriosis,

terutama pada lapisan fungsional dari endometrium. Reseptor ini tidak

dijumpai pada endometrium yang normal, tapi dijumpai pada serabut saraf

dan stroma dari endometrium eutopik wanita endometriosis. Ini


menimbulkan dugaan bahwa sekresi neurotrophin dan reseptornya

merupakan penyebab pertumbuhan serabut saraf. 37

Selain itu ekspresi berbagai faktor angiogenik dan / atau

limfoangiogenik utama dan reseptornya yang juga secara neuronal aktif

diketahui berubah (kebanyakan meningkat) dalam endometrium eutopik

dari wanita dengan endometriosis dibandingkan dengan kontrol

endometrium. Sel neuroendokrin, yang dapat menghasilkan zat

neuromodulatorik dalam merespon stimulasi neurogenik atau kimia,

meningkat densitasnya secara signifikan pada endometrium wanita

dengan endometriosis. NGF dan neurotrophin lainnya, diproduksi oleh

berbagai sel imun termasuk sel T, sel B, makrofag, sel natural killer (NK),

sel mast dan sel dendritik. Menariknya, sejumlah populasi sel imun ini

diketahui meningkat densitasnya pada endometrium eutopik wanita

dengan endometriosis dan ini mungkin memainkan peran dalam

memfasilitasi ekspresi yang terganggu secara lokal dari molekul yang aktif

secara neuronal dalam endometrium eutopik pada endometriosis. 38,39

Endometrium pada wanita endometriosis mungkin menghasilkan

sejumlah molekul pengatur dengan efek neurotropik (misalnya factor

pertumbuhan saraf) untuk memicu pertumbuhan serabut saraf. Lebih

lanjut dari temuan peningkatan ekspresi neurogenesis, endometrium

eutopik dari wanita dengan endometriosis mengandung serabut saraf kecil

dan tidak bermielin dalam lapisan fungsional. Serabut saraf tidak dijumpai

pada wanita tanpa endometriosis. Serabut saraf dalam lapisan fungsional

endometrium kemungkinan besar merupakan saraf sensorik C dan


otonom. Pada wanita dengan endometriosis densitas serabut saraf dalam

endometrium basal dan miometrium juga meningkat secara signifikan

dibandingkan dengan wanita tanpa endometriosis. Adanya serabut saraf

pada wanita dengan gejala nyeri menunjukkan bahwa pada wanita

dengan endometriosis endometrium eutopik mungkin terlibat dalam

pembentukan gejala nyeri. 5,7,26,40

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, patofisiologi rasa nyeri

yang dirasakan penderita endometriosis belum dapat diketahui secara

jelas. Bagaimana dapat terjadi jaringan endometrium yang tidak ada

serabut saraf dapat menimbulkan nyeri saat berada ditempat yang

berbeda.26

Adapun serabut saraf yang telah teridentifikasi sampai sekarang

adalah serabut saraf A delta, serabut saraf C, dan saraf otonom simpatis.

Schaible dkk, (2002) menunjukkan bahwa serabut saraf yang

termielinisasi hanya terdapat pada lapisan basal endometrium sedangkan

serabut saraf yang tidak termielinisasi tersebar pada seluruh jaringan

endometriosis.41

Penelitian Tulandi dkk. (2001) menggunakan penanda (marker)

neurofilamen dan menunjukkan bahwa jarak antara serabut saraf lebih

padat pada wanita endometriosis yang mengeluhkan gejala nyeri

dibandingkan yang tidak mengeluhkan gejala nyeri.42 Penelitian Anaf dkk.

(2002) dengan penanda imunohistokimia protein S-110 juga menunjukkan

bahwa intensitas nyeri lebih tinggi pada wanita dengan endometriosis


adenomiotik yang menunjukkan ekspresi nosiseptor dibanding yang

tidak.43

Serabut A delta (Aδ) adalah serabut saraf bermielin yang

berdiameter 2-5 mikrometer. Serabut saraf ini dapat menghantar dengan

kecepatan 12-30 m/detik dalam peranan nyeri cepat (dirasakan dalam

waktu kurang dari satu detik) serta memiliki lokalisasi yang jelas dirasakan

seperti ditusuk, tajam. Serabut C merupakan serabut yang tidak bermielin

dengan kecepatan hantaran 0,4 –1,2 m/detik. Nyeri yang ditimbulkan

adalah nyeri lambat (dirasakan selama 1 (satu) detik atau lebih) dengan

sifat nyeri tumpul, berdenyut atau terbakar. Dibandingkan dengan serabut

A delta yang hanya ditemukan pada lapisan basal endometrium, rangsang

nyeri hilang timbul lebih dinamik dicetuskan oleh serabut C yang tersebar

baik di lapisan basal maupun fungsional endometrium.44,45

Penelitian Tokushige dkk, 2007 membuka sedikit tabir untuk mengarahkan

pada penjelasan atas kondisi ini. Penelitian ini berusaha untuk mencari

apakah terdapat perbedaan kandungan saraf diantara jaringan

endometrium penderita endometriosis dan tidak endometriosis. Polyclonal

rabbit anti-protein gene product 9.5 (PGP9.5) adalah salah satu penanda

yang digunakan dalam penelitian ini. Dengan menggunakan sampel

endometrium dari hasil histerektomi, didapati 10 wanita penderita

endometriosis dengan rentang usia berkisar antara 42-46 tahun dan 35

wanita yang non endometriosis dengan rentang usia berkisar antara 38-54

tahun (tidak ada yang menopause). Penelitian ini berhasil membuktikan

bahwa tidak ada serat saraf yang terdeteksi pada lapisan fungsional dari
endometrium wanita tanpa endometriosis dan serabut saraf pada

penderita endometriosis secara signifikan berbeda dibanding yang bukan

penderita endometriosis. ditemukan serat saraf bermyelin, tidak bermyelin,

serta beberapa saraf sensoris pada endometrium. Pada lapisan fungsional

endometrium penderita endometriosis ditemukan serabut saraf sensori C

dan sensori Aδ, dan serabut saraf adrenergik pada lapisan basal

endometrium. PGP9.5 adalah penanda seluruh jenis saraf yang sangat

spesifik.25

Gambar 7. Serabut saraf pada lapisan Basal Endometrium dan perbatasan

endometrium – miometrium pada wanita endometriosis yang

diwarnai dengan PGP 9,5.45


Gambar 8. Lapisan fungsional endometrium pada wanita endometriosis.45

Merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2007

tersebut, banyak penelitian lain dilakukan dengan dasar potensi

penggunaan deteksi serat saraf untuk melakukan diagnosis terhadap

endometriosis. Hal ini berhubungan kembali dengan tindakan laparoskopi

yang menjadi baku emas pemeriksaan saat ini. Laparoskopi yang invasif,

dengan biaya yang tidak sedikit, serta proses persiapan yang memakan

waktu, mendorong penemuan cara baru untuk diagnosis endometriosis

dengan lebih mudah dan lebih cepat.25,26

Pada tahun 2009, sebuah uji tertutup ganda oleh Al Jefout M dkk,

dilakukan untuk mencari kemungkinan penggunaan deteksi serat saraf

sebagai diagnosis endometriosis. Dalam penelitian ini juga digunakan

polyclonal rabbit anti-protein gene product 9.5 (PGP9.5) sebagai penanda,

diambil dari 99 wanita dengan rentang usia 20-50 tahun, sampel

endometrium diperoleh dari hasil biopsi endometrium. Dari penelitian ini


didapatkan bahwa dari 64 orang yang terdiagnosis endometriosis secara

laparoskopik, hanya 1 orang yang tidak terdeteksi memiliki serat saraf di

endometriumnya, dan terdapat 6 orang tanpa endometriosis yang

ditemukan serat saraf pada endometriumnya. Dalam uji ini didapatkan

spesifisitas 83% dan sensitivitas sebesar 96%. Nilai yang diperoleh

metode ini cukup baik, bahkan mendekati keakuratan laparoskopi yang

dilakukan oleh ahli ginekologis.45

Sependapat dengan penelitian pada tahun 2009 tersebut, sebuah

uji lain pada tahun 2011 oleh Meibody dkk, yang dilakukan dengan

metode case control dengan menggunakan jaringan endometrium dari

hasil biopsi endometrium dari 12 penderita endometriosis dengan rerata

usia 39,5 ± 5,9 tahun dan 15 yang non endometriosis dengan rerata usia

41,6 ± 5,7 tahun yang akan dilakukan tindakan laparoskopi ataupun

laparotomi, untuk memeriksa kelayakan deteksi serat saraf ini sebagai

penunjang diagnosis endometriosis, dengan hasil yang juga menetapkan

bahwa deteksi serat saraf dengan menggunakan Polyclonal rabbit anti-

protein gene product 9.5 (PGP9.5) merupakan penanda diagnosis

endometriosis yang terpercaya. Pada penelitian yang berlangsung selama

2 tahun ini, digunakan metode menyerupai penelitian terawal (penelitian

oleh Tokushige dkk tahun 2007). Didapatkan hasil bahwa dari seluruh

penderita endometriosis, terdeteksi adanya serat saraf. Pada penderita

non endometriosis, ditemukan 3 dari 15 orang (20%) terdeteksi memiliki

serat saraf di endometriumnya. Tetap saja, ditemukan densitas serat saraf

yang lebih tinggi secara signifikan bila dibandingkan dengan wanita tanpa
endometriosis.7 Maka uji ini memberikan kesimpulan bahwa pendeteksian

serat saraf dengan menggunakan polyclonal rabbit anti-protein gene

product 9.5 (PGP9.5) adalah metode yang baik untuk digunakan secara

umum.46

Bahkan penelitian yang dilakukan Liutkeviciene R dkk, 2013, yang

dilakukan dengan metode case control pada 283 sampel endometrium

yang diperoleh dari hasil biopsi tanpa membedakan fase menstruasi,

dengan penderita endometriosis sebanyak 131 orang dan 152 orang non

endometriosis, dengan usia berkisar antara 26-46 tahun, menyatakan

bahwa densitas serabut saraf dari hasil biopsi endometrium yang diwarnai

dengan PGP 9,5 memiliki akurasi yang hampir sama dibanding dengan

laparoskopi dalam mendiagnosis endometriosis. Namun karena PGP 9.5

merupakan alat uji diagnostik yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas

yang tinggi, besar kemungkinan pemeriksaan ini dapat menjadi alat bantu

pada pasien infertilitas untuk menurunkan jumlah tindakan laparoskopi

tanpa menurunkan angka penderita endometriosis.8

Sayangnya penelitian terbaru, yang dilakukan Leslie C dkk, pada

bulan Maret 2013, justru memberikan hasil yang kontradiktif terhadap hasil

penelitian-penelitian sebelumnya. Pada penelitian yang dilakukan di King

Edward Memorial Hospital ini selama 2006-2011 dengan sampel 47

pasien endometriosis dengan rentang usia 22-53 tahun, 21 pasien non

endometriosis dengan rentang usia 21-50 tahun, dengan teknik biopsi

endometrium didapatkan hasil yaitu lebih banyak persentase

terdeteksinya serat saraf di lapisan endometrium pada kasus bukan


7,46
endometriosis (29% dibandingkan 19%). Akhirnya, penelitian ini

menyimpulkan bahwa pemeriksaan serat saraf endometrial yang

dilakukan dengan teknik imunohistokimia standar pada spesimen biopsi

rutin terbukti tidak sensitif ataupun spesifik untuk mendiagnosis

endometriosis. Oleh sebab itu bila merujuk dari hasil penelitian ini maka

patologis dan ginekologis yang ingin menggunakan pendekatan diagnostik

ini harus mempertimbangkan teknik ini.7,45

Gambar 9. Jaringan Saraf di Endometrium dengan menggunakan

Penanda neuron.30

Perbedaan tipe serabut saraf pada wanita dengan atau tanpa

endometriosis diyakini memiliki peran penting pada mekanisme

munculnya rasa nyeri pada wanita dengan endometriosis. Kemungkinan


mediator inflamasi yang dilepaskan endometrium dapat mengaktivasi atau

melakukan sensitisasi terhadap serabut saraf sensoris C, yang

menyebabkan timbulnya rasa nyeri.5,7,8 Mekanisme ini belum sepenuhnya

jelas, tidak diketahui stimulus ataupun kondisi apa yang menyebabkan

tumbuhnya serabut saraf pada endometrium eutopik wanita penderita

endometriosis.44

2.5. Protein Gene Product (PGP9.5)

Protein Gene Product 9,5 (PGP 9,5) adalah protein terlarut 27 kDa

yang terkait dengan ubiquitin COOH-terminal hydrolase (UCH) yang

memainkan peran modulasi dalam proteolisis intraseluler.47 PGP 9,5

adalah penanda panneuronal yang spesifik untuk serabut saraf bermyelin

dan tidak bermyelin.48,49

Fungsi dari PGP9.5 pada awalnya tidak diketahui tetapi terbukti

mempunyai kesamaan dengan UCH-L1 yang merupakan suatu enzim

pada jaringan timus sapi. Gen PGP9.5 berlokasi pada kromosom 4p14.

PGP9.5 memotong ubiquitin dari protein lainnya dan melindunginya dari

proses degradasi oleh enzim protease.9

Studi imunohistokimia menunjukkan lokalisasi di semua neuron

sentral dan perifer serta dalam sel sistem neuroendokrin. Ekspresi protein

juga telah digambarkan dalam jumlah kecil pada yang bukan jaringan

saraf, termasuk sel ovarium, testis, membran sinovial dan ginjal. 48


Protein ini awalnya diisolasi dari otak, merupakan bagian dari

sistem ubiquitin proteasom, jalur proteolitik non lisosom yang terlibat

dalam regulasi pertumbuhan sel, modulasi beberapa reseptor membran

dan perubahan bagian sitokskletal.49 PGP 9,5 awalnya dianggap terbatas

pada sel neuron dan sel neuroendokrin. Namun, studi-sudi terakhir

mendeteksi PGP 9,5 pada sel sistem genital pria, sistem genital wanita,

kulit dan sel epitel ginjal.48,49

2.6. Imunohistokimia

Imunohistokimia adalah sebuah metoda pemeriksaan dengan

menggunakan prinsip antibodi dengan spesifikasi yang tinggi untuk

menunjukkan lokasi dan keberadaan sebuah protein di dalam jaringan.50

Prinsip IHC meliputi langkah:51

1. Fixing and embedding jaringan

2. Cutting and mounting jaringan

3. Deparafinizing and rehydrating jaringan yang telah dilakukan

diseksi

4. Antigen retrieval

5. Pewarnaan Immunohistokimia

6. Counterstaining

7. Dehidrasi dan stabilisasi dengan medium mounting

8. Pengamatan pewarnaan dibawah mikroskop.


Pewarnaan imunohistokimia menggunakan antigen

tertentu.pemeriksaan imunohistokimi memiliki keunggulan dalam hal

pembiayaan yang lebih murah, dapat dilakukan dari jaringan tersimpan

dan paraffin blok. Sehingga pemeriksaan dapat dilakukan ulang untuk

meyakinkan dan mendukung terhadap penyakit yang meragukan pada

pemeriksaan histopatologi. Kelemahan pemeriksaan imunohistokimia ini

adalah pemeriksaan dilakukan dengan observasi yang berpeluang untuk

subjektif, walaupun saat ini pemeriksaan sudah mulai menggunakan

komputerisasi. 51

Hasil pemeriksaan imunohistokimia tersebut diinterpretasikan

berdasarkan gabungan antara kualitas intensitas ikatan antigen dengan

antibodi yang terbentuk di sitoplasma atau inti sel dengan persentase sel

yang terwarnai dalam lapang pandang. 50,51

Skor total Interpretasi

0 Negatif

1-3 1+

4-6 2+

7-9 3+

Tabel 2.6.1. Skor total imunohistokimia48


2.7. Kerangka Teori

menstruasi retrograde

Penyebaran ke jaringan lain secara limfatik dan / atau vaskular

↑ Apoptosis

Sel Endometrium pada rongga peritoneum

Penurunan imunitas

Sel endometrium tetap bertahan

↑ perlengketan molekul seluler

Perlengketan pada peritoneum

↑ proteolisis

Implantasi & invasi

↑ angiogenesis & produksi estrogen

Proliferasi & pertumbuhan lesi endometriosis

↑ neurogenesis & respon inflamasi

Pertumbuhan serabut saraf

Sensitisasi serabut saraf

Gejala Endometriosis
2.8. Kerangka Konsep

NEUROGENESIS ENDOMETRIOSIS

Variabel Independent Variabel Dependent

Anda mungkin juga menyukai