Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
EPILEPSI
Oleh:
Rizkita Aninditya P
NIM. 170070301111102
Untuk memenuhi tugas Profesi Ners Departemen Emergency Ruang IGD RSUD
Bangil
Oleh :
RIZKITA ANINDITYA P
NIM. 170070301111102
1. Definisi
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik
kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan
bersivat reversibel (Tarwoto, 2007).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya
gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang
yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang
bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000).
2. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui
(idiopatik), sering terjadi pada:
Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang,
yakni pada bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan
adanya gangguan pada ibu hamil muda seperti infeksi, demam tinggi,
kurang gizi (malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa kerentanan
untuk terjadinya kejang. Proses persalinan yang sulit, persalinan kurang
bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan otak janin sempat
mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi ''embrio''
epilepsi bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adanya
gangguan pada otak seperti infeksi/ radang otak dan selaput otak, cedera
karena benturan fisik/ trauma serta adanya tumor otak atau kelainan
pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.
3. Klasifikasi
Epilepsi diklasifikasikan menjadi dua pokok umum yaitu klasifikasi
epilepsi dengan sindrom epilepsi dan klasifikasi berdasarkan tipe kejang
a) klasifikasi epilepsi dan sindrom epilepsi
Berdasarkan penyebab
1. Epilepsi idiopatik: bila tidak diketahui penyebabnya, epilepsi pada
anak dengan paroksimal oksipital
2. Simtomatik: bila ada penyebabnya, letak fokus pada pada semua
lobus otak
b) klasifikasi tipe kejang epilepsi (browne, 2008)
1. Epilepsi kejang parsial (lokal, fokal)
a. Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan
kesadaran tetap normal
Dengan gejala motorik:
Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu
bagian tubuh saja
Fokal motorik menjalar: epilepsi dimulai dari satu bagian
tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga
epilepsi Jackson.
Versif: epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata,
tuibuh.
Postural: epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku
dalam sikap tertentu
Disertai gangguan fonasi: epilepsi disertai arus bicara yang
terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
b. Grand Mal
Kejang mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak,
sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot,
seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada
semua umur.
Kejang klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif,
tajam, lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso.
Dijumpai terutama sekali pada anak.
Kejang tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot
hanya menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas,
flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Epilepsi ini juga terjadi pada
anak.
Kejang tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang
terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan
aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu epilepsi. Pasien
mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang
kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang kejang
kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri.
Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila
pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi
berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing
ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur
beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang
masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan
badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
Kejang atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak
melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik
atau menurun sebentar. Epilepsi ini terutama sekali dijumpai pada
anak.
4. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan
sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak
ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron
ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang
berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps
terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan
norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni
GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran
aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan
oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui
sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian
seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami
muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan
terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar
ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai
hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami
depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis
dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-
impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat
manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel
saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini
terjadi karena adanya influx 𝑁𝑎+ ke intraseluler. Jika natrium yang
seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam
membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang
mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang
mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan
dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu
akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian
bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di
otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar
bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak
umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus
kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk
yang berikut :
a) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah
mengalami pengaktifan.
b) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan
muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan
menurun secara berlebihan.
c) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau
selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan
asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
d) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-
basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi
neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan
keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter
inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera
setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya
kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang,
kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik
sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran
darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan.
Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan
setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses
berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama karena
pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh
berlebihan) selama aktivitas kejang.
5. Manifestasi Klinik
a. Kehilangan kesadaran
b. Aktivitas motorik
1) Tonik klonik
2) Gerakan sentakan, tepukan atau menggarau
3) Kontraksi singkat dan mendadak disekelompok otot
4) Kedipan kelopak mata
5) Sentakan wajah
6) Bibir mengecap – ecap
7) Kepala dan mata menyimpang ke satu sisi
c. Fungsi pernafasan
1) Takipnea
2) Apnea
3) Kesulitan bernafas
4) Jalan nafas tersumbat (Tucker, 1998 : 432
)
Sedangkan manifestasi klinik berdasarkan proses
terjadinya keadaan epilepsi yang dialami pada penderitagejala
yang timbul berturut-turut meliputi di saat serangan, penyandang
epilepsi tidak dapat bicara secara tiba-tiba. Kesadaran menghilang
dan tidak mampu bereaksi terhadap rangsangan. Tidak ada
respon terhadap rangsangan baik rangsang pendengaran,
penglihatan, maupun rangsang nyeri. Badan tertarik ke segala
penjuru. Kedua lengan dan tangannya kejang, sementara
tungkainya menendang-nendang. Gigi geliginya terkancing. Hitam
bola mata berputar-putar. Dari liang mulut keluar busa. Napasnya
sesak dan jantung berdebar. Raut mukanya pucat dan badannya
berlumuran keringat. Terkadang diikuti dengan buang air kecil.
Manifestasi tersebut dimungkinkan karena terdapat sekelompok
sel-sel otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-tiba
melepaskan muatan listrik.
6. pemeriksaan Diagnostik
a. CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk
mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler
abnormal, gangguan degeneratif serebral. Epilepsi simtomatik
yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak jelas
pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun
kerusakan otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah
antenatal atau perinatal dengan defisit neurologik yang jelas
b. Elektroensefalogram (EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang,
waktu serangan
c. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol
darah.
mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
menilai fungsi hati dan ginjal
menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat
menunjukkan adanya infeksi).
Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi
otak
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
Elektrolit (natrim dan kalium), ketidak seimbangan pada 𝑁𝑎+ dan
𝐾 + dapat berpengaruh atau menjadi predisposisi pada aktivitas
kejang
Glukosa, hipolegikemia dapat menjadi presipitasi ( percetus )
kejang
Ureum atau creatinin, meningkat dapat meningkatkan resiko
timbulnya aktivitas kejang atau mungkin sebagai indikasi
nefrofoksik yang berhubungan dengan pengobatan
Sel darah merah, anemia aplestin mungkin sebagai akibat dari
therapy obat
Kadar obat pada serum : untuk membuktikan batas obat anti
epilepsi yang teurapetik
Fungsi lumbal, untuk mendeteksi tekanan abnormal, tanda infeksi,
perdarahan\Foto rontgen kepala, untuk mengidentifikasi adanya
sel, fraktur
DET ( Position Emission Hemography ), mendemonstrasikan
perubahan metabolik
( Dongoes, 2000 : 202 )
8. Penatalaksanaan
a. Atasi penyebab dari kejang
b. Tersedia obat – obat yang dapat mengurangi frekuensi kejang
yang didalam seseorang
Anti konvulson
Sedatif
Barbirorat
( Elizabeth, 2001 : 174 )
Obat yang dapat mencegah serangan epilepsi
fenitoin (difenilhidantoin)
karbamazepin
fenobarbital dan asam valproik
Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran
pengobatan yang dicapai, yakni:
Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf
pusat yang normal.
Penderita dapat memiliki kualitas hidup yang optimal.
c. Operasi dengan reseksi bagian yang mudah terangsang
d. Menaggulangi kejang epilepsi
1. Selama kejang
a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang
ingin tahu
b) Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
c) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar
keras, tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda
berbahaya.
d) Longgarkan baju . Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping
untuk mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.
e) Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras
diantara giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk
mencegah gigi klien melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak
disela mulut penderita tapi jangan sampai menutupi jalan
pernapasannya.
f) Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya
epilepsi atau yg biasa disebut "aura". Aura ini bisa ditandai dengan
sensasi aneh seperti perasaan bingung, melayang2, tidak fokus
pada aktivitas, mengantuk, dan mendengar bunyi yang
melengking di telinga. Jika Penderita mulai merasakan aura, maka
sebaiknya berhenti melakukan aktivitas apapun pada saat itu dan
anjurkan untuk langsung beristirahat atau tidur.
g) Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau
penyandang terluka berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit
terdekat.
2. Setelah kejang
a) Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
b) Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi.
Yakinkan bahwa jalan napas paten.
c) Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
d) Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba
setelah kejang
e) Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap
lingkungan
f) Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang
selama kejang dan biarkan penderita beristirahat.
g) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal),
coba untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut
dan member restrein yang lembut
h) Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting
untuk pemberian pengobatan oleh dokter.
9. Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus
ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada
bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi (konvulsi: spasma
autau kekejangan kontruksi otot keras dan terlalu banyak disebabkan
oleh proses pada sistem saraf pusat, yang menimbulkan pula
kekejangan pada bagian tubuh) yang digunakan sepanjang
kehamilan.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang
dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi
dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup
aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat
cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja,
wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-
obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau
ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya
menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama
kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang
pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan
penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan
memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana
pencegahan ini.
10. Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya
jenis epilepsi faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan
ketaatan minum obat. Pada umumnya prognosis epilepsi cukup
menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat
dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50 % pada suatu
waktu akan dapat berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer,
baik yang bersifat kejang umum maupun serangan lena atau
melamun atau absence mempunyai prognosis terbaik. Sebaliknya
epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau
yang disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental
mempunyai prognosis relatif jelek.
I. Konsep Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien.
Pasien ditanyakan tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan
kejang. Asupan alkohol dicatat. Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji:
Apakah ada keterbatasan yang ditimbulkan oleh gangguan kejang?
Apakah pasien mempunyai program rekreasi? Kontak sosial? Apakah
pengalaman kerja? Mekanisme koping apa yang digunakan?
1. Identitas
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal
pengkajian dan diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita untuk masuk RS.
Pasien sering mangalami kejang.
b) Sesudah serangan
Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit,
gangguan bicara
Apakah ada perubahan dalam gerakan.
Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi
sebelum, selama dan sesudah serangan.
Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau
frekuensi denyut jantung.
Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.
c) Riwayat sebelum serangan
Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi
Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung
berdebar.
Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori,
auditorik, olfaktorik maupun visual.
d) Riwayat Penyakit
Sejak kapan serangan terjadi.
Pada usia berapa serangan pertama.
Frekuensi serangan.
Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti
demam, kurang tidur, keadaan emosional.
Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang
disertai dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang.
Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak
Apakah makan obat-obat tertentu
Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga
Pemeriksaan fisik
1. Tingkat kesadaran pasien
2. Sirkulasi
Gejala : palpitasi.
Tanda : Takikardi, membrane mukosa pucat.
3. Penglihatan (mata)
Perubahan pada posisi bola mata, dan perubahan pupil
4. Makanan / cairan
Gejala : anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia.
Tanda : distensi abdomen, penurunan bunyi usus, perdarahan pada gusi
5. Ekstremitas:
Adanya kelemahan otot ekstremitas, distrosia osteo atau tidak
6. Integritas ego
Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan.
Tanda : depresi, ansietas, marah.
7. Neurosensori
Gejala : penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang konsentrasi,
pusing.
Tanda : aktivitas kejang, otot mudah terangsang.
8. Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi, kram otot.
Tanda : gelisah, distraksi.
9. Pernafasan
Gejala : nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal, akumulasi cairan.
Tanda : dispnea, apnea, batuk
Diagnosa Keperawatan
obstruksi trakeobronkial
social
6. Defisiensi pengetahuan b/d kurangnya informasi penatalaksanaan
kejang
Rencana Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan & Kriteria Intervensi (NIC)
Hasil (NOC)
1. Ketidakefektifan bersihan NOC NIC
peningkatan saturasi
o2
Airway management
perlu
- posisikan pasien
untuk
memaksimalkan
ventilasi
- identifikasi pasien
perlunya
pemasangan alat
perlu
- lakukan fisioterapi
- keluarkan secret
section
- auskultasi suara
suara tambahan
- lakukan suction
pada mayo
- berikan
broncodilator bila
perlu
- berikan pelembab
NaCl lembab
cairan
mengoptimalkan
keseimbangan
- monitor respirasi
dan status o2
kondisi CPP
dan propriocepsion
- memantau untuk
drift pronator
- memantau kekuatan
cengkraman
- memantau untuk
gemetar
- memantau simetri
wajah
Memantau tonjolan
lidah
- memantau
tanggapan
pengamatan
- memantau EOMs
dan karakteristik
tatapan
- memantau untuk
gangguan visual,
diplopia, nystagmus,
pemotongan bidang
visual, penglihatan
visual
- catatan keluhan
sakit kepala
mampu - menghindarkan
kesehatan memindahkan
perabotan)
tempat tidur
- menyediakan
- menempatkan
saklar lampu
dijangkau
- membatasi
pengunjung
- menganjurkan
keluarga untuk
menemani pasien
- mengontol
lingkungan dari
kebisingan
- memindahkan
barang-barang yang
dapat
membahayakan
- berikan penjelasan
keluarga atau
pengunjung adanya
perubahan status
kesehatan dan
penyebab penyakit
mobilisasi
pemenuhan
kebutuhan ADLs
kemampuan
pasien saat
penuhi kebutuhan
ADLs
- ajarkan pasien
bagaimana merubah
bantuan jika
diperlukan
5. Ansietas (00146) NOC NIC
- identifikasi tingkat
kecemasan
- bantu pasien
mengenal situasi
yang menimbulkan
kecemasan
mengungkapkan
perasaan, ketakutan,
presepsi
- instruksikan pasien
menggunakan teknik
relaksasi
mengurangi
kecemasan
- identifikasi
kemungkinan
penyebab, dengan
cara tepat
- sediakan informasi
yang tepat
- hindari jaminana
yang kosong
- sediakan bagi
keluarga informasi
tentang kemajuan
yang tepat
- diskusikan
perubahan gaya
diperlukan untuk
mencegah komplikasi
proses pengontrolan
penyakit
- diskusikan pilihan
atau terapi
penanganan
- dukung pasien
untuk
mengeksplorisasi
atau mendapatkan
second opinion
DAFTAR PUSTAKA