TINJAUAN PUSTAKA
Cara penularan IMS adalah dengan cara kontak langsung yaitu kontak dengan
eksudat infeksius dari lesi kulit atau selaput lendir pada saat melakukan hubungan
seksual dengan pasangan yang telah tertular. Lesi bisa terlihat jelas ataupun tidak
terlihat dengan jelas. Pemajanan hampir seluruhnya terjadi karena hubungan seksual
(vaginal, oral, anal).
Penularan IMS juga dapat terjadi dengan media lain seperti darah melalui berbagai
cara,yaitu:
- Penggunaan alat pisau cukur secara bersama-sama (khususnya jika terluka dan
menyisakan darah pada alat).
- Penularan juga pada terjadi dari ibu kepada bayi pada saat hamil, saat melahirkan
dan saat menyusui. Penularan karena mencium atau pada saat menimang bayi
dengan IMS kongenital jarang sekali terjadi.
- Pengobatan yang telah diberikan, baik topikal ataupun sistemik dengan penekanan
pada antibiotik.
- Riwayat seksual yaitu kontak seksual baik di dalam maupun di luar pernikahan,
berganti-ganti pasangan, kontak seksual dengan pasangan setelah mengalami
gejala penyakit, frekuensi dan jenis kontak seksual, cara melakukan kontak
seksual, dan apakah pasangan juga mengalami keluhan atau gejala yang sama.
- Riwayat penyakit terdahulu yang berhubungan dengan IMS atau penyakit di daerah
genital lain.
- Riwayat keluarga yaitu dugaan IMS yang ditularkan oleh ibu kepada bayinya.
- Keluhan lain yang mungkin berkaitan dengan komplikasi IMS, misalnya erupsi
kulit, nyeri sendi dan pada wanita tentang nyeri perut bawah, gangguan haid,
kehamilan dan hasilnya.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan kepada pasien harus memperhatikan hal penting
seperti kerahasiaan pribadi pasien, sumber cahaya yang baik untuk dokter pemeriksa
dan selalu harus menggunakan sarung tangan setiap kali memeriksa pasien. Pada
pasien pria, organ reproduksi lebih mudah diraba. Mula-mula inspeksi daerah inguinal
dan raba adakah pembesaran kelenjar dan catat konsistensi, ukuran, mobilitas, rasa
nyeri, serta tanda radang pada kulit di atasnya. Pada waktu bersamaan, perhatikan
daerah pubis dan kulit sekitarnya, adanya pedikulosis, folikulitis atau lesi kulit
lainnya. Lakukan inspeksi skrotum, apakah asimetris, eritema, lesi superfisial dan
palpasi isi skrotum dengan hati-hati. Dan akhirnya perhatikan keadaan penis mulai
dari dasar hingga ujung. Inspeksi daerah perineum dan anus dengan posisi pasien
sebaiknya bertumpu pada siku dan lutut.
Berbeda dengan pasien pria, organ reproduksi wanita terdapat dalam rongga pelvik
sehingga pemeriksaan tidak segampang pria. Pemeriksaan meliputi inspeksi dan
palpasi dimulai dari daerah inguinal dan sekitarnya. Untuk menilai keadaan di dalam
vagina, gunakan spekulum dengan memberitahukannya kepada pasien terlebih
dahulu. Dan akhirnya lakukan pemeriksaan bimanual untuk menilai ukuran, bentuk,
posisi, mobilitas, konsistensi dan kontur uterus serta deteksi kelainan pada adneksa.
2.4.1. Gonore
2.4.1.1. Defenisi
2.4.1.2 Epidemiologi
Di dunia, gonore merupakan IMS yang paling sering terjadi sepanjang abad ke
20, dengan perkiraan 200 juta kasus baru yang terjadi tiap tahunnya (Behrman, 2009).
Sejak tahun 2008, jumlah penderita wanita dan pria sudah hampir sama yaitu sekitar
1,34 tiap 100.000 penduduk untuk wanita dan 1,03 tiap 100.000 penduduk untuk pria
(CDC, 2009).
Sedangkan di Indonesia, dari data rumah sakit yang beragam seperti RSU Mataram
pada tahun 1989 dilaporkan gonore yang sangat tinggi yaitu sebesar 52,87% dari
seluruh penderita IMS. Sedangkan pada RS Dr.Pirngadi Medan ditemukan 16% dari
sebanyak 326 penderita IMS (Hakim, 2009).
Gonore disebabkan oleh gonokokus yang ditemukan oleh Neisser pada tahun
1879. Kuman ini masuk dalam kelompok Neisseria sebagai N.gonorrhoeae bersama
dengan 3 spesies lainnya yaitu, N.meningitidis, N.catarrhalis dan N.pharyngis sicca.
Gonokok termasuk golongan diplokokus berbentuk biji kopi dengan lebar 0,8 u dan
pajang 1,6 u. Kuman ini bersifat tahan asam, gram negatif, dan dapat ditemui baik di
dalam maupun di luar leukosit. Kuman ini tidak dapat bertahan hidup pada suhu 39
derajat Celcius, pada keadaan kering dan tidak tahan terhadap zat disinfektan.
Gonokok terdiri atas 4 tipe yaitu tipe 1, tipe 2, tipe 3 dan tipe 4. Namun, hanya
gonokok tipe 1 dan tipe 2 yang bersifat virulen karena memiliki pili yang
membantunya untuk melekat pada mukosa epitel terutama yang bertipe kuboidal atau
lapis gepeng yang belum matur dan menimbulkan peradangan (Daili, 2009).
2.4.1.4. Gejala klinis
Masa tunas gonore sangat singkat yaitu sekitar 2 hingga 5 hari pada pria.
Sedangkan pada wanita, masa tunas sulit ditentukan akibat adanya kecenderungan
untuk bersifat asimptomatis pada wanita.
Keluhan subjektif yang paling sering timbul adalah rasa gatal, disuria,
polakisuria, keluar duh tubuh mukopurulen dari ujung uretra yang kadang-kadang
dapat disertai darah dan rasa nyeri pada saat ereksi. Pada pemeriksaan orifisium uretra
eksternum tampak kemerahan, edema, ekstropion dan pasien merasa panas. Pada
beberapa kasus didapati pula pembesaran kelenjar getah bening inguinal unilateral
maupun bilateral.
Gambaran klinis dan perjalanan penyakit pada wanita berbeda dari pria. Pada wanita,
gejala subjektif jarang ditemukan dan hampir tidak pernah didapati kelainan objektif.
Adapun gejala yang mungkin dikeluhkan oleh penderita wanita adalah rasa nyeri pada
panggul bawah, dan dapat ditemukan serviks yang memerah dengan erosi dan sekret
mukopurulen (Daili, 2009).
2.4.1.5. Pemeriksaan
- Tes defenitif: dimana pada tes oksidasi akan ditemukan semua Neisseria
akan mengoksidasi dan mengubah warna koloni yang semula bening menjadi merah
muda hingga merah lembayung. Sedangkan dengan tes fermentasi dapat dibedakan
N.gonorrhoeae yang hanya dapat meragikan glukosa saja.
- Tes beta-laktamase: tes ini menggunakan cefinase TM disc dan akan tampak
perubahan warna koloni dari kuning menjadi merah.
- Tes Thomson: tes ini dilakukan dengan menampung urine setelah bangun
pagi ke dalam 2 gelas dan tidak boleh menahan kencing dari gelas pertama ke gelas
kedua. Hasil dinyatakan positif jika gelas pertama tampak keruh sedangkan gelas
kedua tampak jernih (Daili, 2009).
2.4.1.6. Komplikasi
Komplikasi gonore sangat erat hubungannya dengan susunan anatomi dan faal
genitalia (Daili, 2009). Komplikasi lokal pada pria dapat berupa tisonitis, parauretritis,
littritis, dan cowperitis. Selain itu dapat pula terjadi prostatitis, vesikulitis, funikulitis,
epididimitis yang dapat menimbulkan infertilitas. Sementara pada wanita dapat terjadi
servisitis gonore yang dapat menimbulkan komplikasi salpingitis ataupun penyakit
radang panggul dan radang tuba yang dapat mengakibatkan infertilitas atau kehamilan
ektopik. Dapat pula terjadi komplikasi diseminata seperti artritis, miokarditis,
endokarditis, perikarditis, meningitis dan dermatitis. Infeksi gonore pada mata dapat
menyebabkan konjungtivitis hingga kebutaan (Behrman, 2009).
2.4.2.1. Defenisi
Herpes genitalis adalah infeksi pada genital yang disebabkan oleh Herpes
Simplex Virus (HSV) dengan gejala khas berupa vesikel yang berkelompok dengan
dasar eritema dan bersifat rekurens (CDC Fact Sheet, 2007).
2.4.2.2. Epidemiologi
Herpes Simplex Virus (HSV) dibedakan menjadi 2 tipe oleh SHARLITT tahun
1940 menjadi HSV tipe 1 dan HSV tipe 2. Secara serologik, biologik dan fisikokimia,
keduanya hampir tidak dapat dibedakan. Namun menurut hasil penelitian, HSV tipe 2
merupakan tipe dominan yang ditularkan melalui hubungan seksual genito-genital.
HSV tipe 1 justru banyak ditularkan melalui aktivitas seksual oro-genital atau melalui
tangan (Salvaggio, 2009).
Gejala awalnya mulai timbul pada hari ke 4-7 setelah terinfeksi. Gejala awal
biasanya berupa gatal, kesemutan dan sakit. Lalu akan muncul bercak kemerahan
yang kecil, yang diikuti oleh sekumpulan lepuhan kecil yang terasa nyeri. Lepuhan ini
pecah dan bergabung membentuk luka yang melingkar. Luka yang terbentuk biasanya
menimbulkan nyeri dan membentuk keropeng. Penderita bisa mengalami nyeri saat
berkemih atau disuria dan ketika berjalan akan timbul nyeri. Luka akan membaik
dalam waktu 10 hari tetapi bisa meninggalkan jaringan parut. Kelenjar getah bening
selangkangan biasanya agak membesar. Gejala awal ini sifatnya lebih nyeri, lebih
lama dan lebih meluas dibandingkan gejala berikutnya dan mungkin disertai dengan
demam dan tidak enak badan (Salvaggio, 2009).
Pada pria, lepuhan dan luka bisa terbentuk di setiap bagian penis, termasuk kulit
depan pada penis yang tidak disunat. Pada wanita, lepuhan dan luka bisa terbentuk di
vulva dan leher rahim. Jika penderita melakukan hubungan seksual melalui anus,
maka lepuhan dan luka bisa terbentuk di sekitar anus atau di dalam rektum. Pada
penderita gangguan sistem kekebalan (misalnya penderita infeksi HIV), luka herpes
bisa sangat berat, menyebar ke bagian tubuh lainnya, menetap selama beberapa
minggu atau lebih dan resisten terhadap pengobatan dengan asiklovir.
Gejala-gejalanya cenderung kambuh kembali di daerah yang sama atau di sekitarnya,
karena virus menetap di saraf panggul terdekat dan kembali aktif untuk kembali
menginfeksi kulit. HSV-2 mengalami pengaktivan kembali di dalam saraf panggul.
HSV-1 mengalami pengaktivan kembali di dalam saraf wajah dan menyebabkan fever
blister atau herpes labialis. Tetapi kedua virus bisa menimbulkan penyakit di kedua
daerah tersebut. Infeksi awal oleh salah satu virus akan memberikan kekebalan parsial
terhadap virus lainnya, sehingga gejala dari virus kedua tidak terlalu berat.
2.4.2.5. Pemeriksaan
Diagnosis secara klinis ditegakkan dengan adanya gejala khas berupa vesikel
berkelompok dengan dasar eritema dan bersifat rekuren. Pemeriksaan laboratorium
yang paling sederhana adalah tes Tzank yang diwarnai dengan pengecatan Giemsa
atau Wright dimana akan tampak sel raksasa berinti banyak. Cara terbaik dalam
menegakkan diagnosa adalah dengan melakukan kultur jaringan karena paling sensitif
dan spesifik. Namun cara ini membutuhkan waktu yang banyak dan mahal. Dapat
pula dilakukan tes-tes serologis terhadap antigen HSV baik dengan cara
imunoflouresensi, imunoperoksidase maupun ELISA (Daili, 2009).
2.4.2.6. Komplikasi
Komplikasi yang paling ditakutkan adalah akibat dari penyakit ini pada bayi
yang baru lahir (Daili, 2009). Herpes genitalis pada trimester awal kehamilan dapat
menyebabkan abortus atau malformasi kongenital berupa mikroensefali. Pada bayi
yang lahir dari ibu pengidap herpes ditemukan berbagai kelainan seperti hepatitis,
ensefalitis, keratokonjungtifitis bahkan stillbirth.
2.4.3.1 Definisi
2.4.3.2. Epidemiologi
Peningkatan jumlah orang hidup dengan HIV sungguh mengesankan. Pada tahun
1990, jumlah odha baru berkisar pada angka delapan juta sedangkan saat ini,
jumlahnya sudah mencapai 33,2 juta orang. Dari keseluruhan jumlah ini, 67%
diantaranya disumbangkan oleh odha di kawasan sub Sahara, Afrika. (WHO, 2010)
Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di
Indonesia. Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan homoseksual.
Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan
tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat
penularan melalui narkotika suntik. (Djoerban Z dkk, 2006)
Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada Desember
2008, sekitar 74,9% adalah laki-laki dan 24,6% adalah perempuan. Berdasarkan cara
penularan, dilaporkan 48% pada heteroseksual; 42,3% pada pengguna narkotika
suntik; 3,8% pada homoseksual dan 2,2% pada transmisi perinatal. Hal ini
menunjukkan adanya pergeseran dari dominasi kelompok homoseksual ke kelompok
heteroseksual dan penasun. Jumlah kasus pada kelompok penasun hingga akhir tahun
2008 mencapai 1.255 orang. Kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada
kelompok usia 20–29 tahun (50,82%), disusul kelompok usia 30–39 tahun. (Depkes
RI, 2008)
Rate kumulatif nasional kasus AIDS per 100.000 penduduk hingga akhir
Desember 2008 adalah sebesar 7,12 per 100.000 penduduk (dengan jumlah penduduk
Indonesia 227.132.350 jiwa berdasarkan data BPS tahun 2005). Proporsi kasus yang
dilaporkan meninggal sebesar 20,89%. Lima infeksi oportunistik terbanyak yang
dilaporkan adalah TBC sebanyak 8.986 kasus, diare kronis 4.542 kasus, kandidiasis
orofaringeal 4.479 kasus, dermatitis generalisata 1.146 kasus, dan limfadenopati
generalisata sebanyak 603 kasus. (Depkes RI,2008)
2.4.3.3. Etiologi
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk
sferis yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar 1). Strukturnya
tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein
gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas
tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau
makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk
oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase
reverse (reverse transcriptase enzyme). ( Merati TP dkk,2006)
Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV global
terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas
penyebarannya. Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa
negara Eropa yang berhubungan erat dengan Afrika Barat. (Merati TP dkk,2006)
2.4.3.4.Mode Penularan
Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi melalui
mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah melalui
jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui komponen darah yang terkontaminasi,
dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. CDC pernah melaporkan adanya penularan
HIV pada petugas kesehatan.
Sebenarnya risiko penularan HIV melalui tusukan jarum maupun percikan cairan
darah sangat rendah. Risiko penularan melalui perlukaan kulit (misal akibat tusukan
jarum atau luka karena benda tajam yang tercemar HIV) hanya sekitar 0,3%
sedangkan risiko penularan akibat terpercik cairan tubuh yang tercemar HIV pada
mukosa sebesar 0,09%. (Djauzi S dkk, 2002)
2.4.3.5. Patogenesis
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV
karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+
berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga bila
terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun yang
progresif. (Djoerban Z dkk, 2006)
Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in vitro
dan invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik, folikular
dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikrogilia, astrosit, sel
trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal. (Merati TP dkk, 2006)
Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama
HIV dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui
kompleks molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal
sebagai dendritic-cell specific intercellular adhesion molecule-grabbing nonintegrin
(DC-SIGN). Akhir-akhir ini diketahui bahwa selain molekul CD4 dan ko-reseptor
kemokin, terdapat integrin 4 7 sebagai reseptor penting lainnya untuk HIV. Antigen
gp120 yang berada pada permukaan HIV akan berikatan dengan CD4 serta
ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan mediasi antigen gp41 virus,
akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4, sampul HIV akan terbuka
dan RNA yang muncul akan membuat salinan DNA dengan bantuan enzim
transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan berintegrasi dengan DNA
pejamu dengan bantuan enzim integrase. DNA virus yang terintegrasi ini disebut
sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus ini akan melakukan transkripsi
dengan bantuan enzim polimerasi sel host menjadi mRNA untuk selanjutnya
mengadakan transkripsi dengan protein-protein struktur sampai terbentuk protein.
mRNA akan memproduksi semua protein virus. Genomik RNA dan protein virus ini
akan membentuk partikel virus yang nantinya akan menempel pada bagian luar sel.
Melalui proses budding pada permukaan membran sel, virion akan dikeluarkan dari
sel inang dalam keadaan matang. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar
getah bening, bukan di peredaran darah tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga
satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Sebagian
berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi
pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang
terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan
penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan
perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. (Djoerban Z dkk, 2006)
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan
gejala infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung
selama 2-6 minggu. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan
kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk dan gejala-gejala ini akan membaik
dengan atau tanpa pengobatan. (Djoerban Z dkk, 2006)
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala) yang
berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan
penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula perjalanannya
lambat (non-progessor). Sejalan dengan memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai
menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun,
demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis,
infeksi jamur, herpes dan lain-lainnya.
Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV
akan memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada
akhirnya, odha akan menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini berarti telah
masuk ke tahap AIDS. Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya didahului oleh
akselerasi penurunan jumlah limfosit CD4. Perubahan ini diikuti oleh gejala klinis
menghilangnya gejala limfadenopati generalisata yang disebabkan hilangnya
kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnover HIV dalam kelenjar limfe
Karena manifestasi awal kerusakan dari system imun tubuh adalah kerusakan
mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV meluas ke jaringan
limfoid, yang dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi insitu. Sebagian replikasi
HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi. (Djoerban Z dkk,
2006)
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel
setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul
HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4
yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi
limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel setiap hari. (Djoerban Z dkk, 2006)
Pejalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80%
pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga
adalah penyakit yang dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan biasanya tidak
ditemukan pada ODHA yang tertular dengan cara lain. Lamanya pengguna jarum
suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama
seseorang menggunkan narkotika suntikan, makin mudah ia terkena pneumonia dan
tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan efek yang buruk.
Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah dengan
lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat
menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya
biasanya lebih progresif. (Djoerban Z dkk, 2006)
Gambaran perjalanan alamiah infeksi HIV. Dalam periode infeksi primer, HIV
menyebar luas di dalam tubuh; menyebabkan deplesi sel T CD4 yang terlihat pada
pemeriksaan darah tepi. Reaksi imun terjadi sebagai respon terhadap HIV, ditandai
dengan penurunan viremia.
Selanjutnya terjadi periode laten dan penurunan jumlah sel T CD4 terus terjadi hingga
mencapai di bawah batas kritis yang akan memungkinkan terjadinya infeksi
oportunistik.
2.4.3.7 Diagnosis
2.4.3.7.1. Anamnesis
Dari Anamnesis, perlu digali factor resiko HIV AIDS, Berikut ini mencantumkan,
daftar tilik riwayat penyakit pasien dengan tersangaka ODHA (table 3 dan table 4).
- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender (waria)
- Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial
Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat
dilihat pada tabel 6
Gejala Frekuensi
Demam lama 100 %
Batuk 90,3 %
Penurunan berat badan 80,7 %
Sariawan dan nyeri menelan 78,8 %
Diare 69,2 %
Sesak napas 40,4 %
Pembesaran kelenjar getah bening 28,8 %
Penurunan kesadaran 17,3 %
Gangguan penglihatan 15,3 %
Neuropati 3,8 %
Ensefalopati 4,5 %
Sumber : Yunihastuti E dkk, 2005
2.4.3.8.Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah perifer lengkap, profil kimia, SGOT, SGPT, BUN dan kreatinin,
urinalisis, tes mantux, serologi hepatitis A, B, dan C, anti-Toxoplasma gondii IgG, dan
pemeriksaan Pap-smear pada perempuan (AIII);
Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan profil lipid pada pasien dengan risiko penyakit
kardiovaskular dan sebagai penilaian awal sebelum inisasi kombinasi terapi (AIII);
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah
dengan tes konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia, pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin dilakukan
secara rutin. WHO menganjurkan strategi pemeriksaan dengan kombinasi dari
pemeriksaan penyaring yang tidak melibatkan pemeriksaan WB sebagai konfirmasi.
Di Indonesia, kombinasi yang digunakan adalah tiga kali positif pemeriksaan
penyaring dengan menggunakan strategi 3. Bila hasil tes tidak sama missal hasil tes
pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga non-reaktif atau apabila hasil tes
pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut sebagai
indeterminate dengan catatan orang tersebut memiliki riwayat pajanan atau berisiko
tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa riwayat pajanan atau tidak memiliki
risiko tertular, maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai non-reaktif. (Djoerban Z
dkk,2006).
Sumber : Depkes,2007
AIDS merupakan manifestasi lanjutan HIV. Selama stadium individu bisa saja
merasa sehat dan tidak curiga bahwa mereka penderita penyakit. Pada stadium lanjut,
system imun individu tidak mampu lagi menghadapi infeksi Opportunistik dan mereka
terus menerus menderita penyakit minor dan mayor Karen tubuhnya tidak mampu
memberikan pelayanan.
Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi. Pada awal terinfeksi, memang
tidak memperlihatkan gejala-gejala khusus. Namun beberapa minggu kemudian orang
tua yang terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan diare.
Penderita AIDS dari luar tampak sehat. Pada tahun ke 3-4 penderita tidak
memperlihatkan gejala yang khas. Sesudah tahun ke 5-6 mulai timbul diare berulang,
penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut dan terjadi
pembengkakan didaerah kelenjar getah bening. Jika diuraikan tanpa penanganan
medis, gejala PMS akan berakibat fatal.
Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spectrum
yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatif) pada stadium awal sampai
dengan gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan penyakit
lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi, bahkan
dapat lebih lama lagi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya HIV menjadi AIDS belum
diketahui jelas. Diperkirakan infeksi HIV yang berulang – ulang dan pemaparan
terhadap infeksi-infeksi lain mempengaruhi perkembangan kearah AIDS. Menurunnya
hitungan sel CDA di bawah 200/ml menunjukkan perkembangan yang semakin buruk.
Keadaan yang buruk juga ditunjukkan oleh peningkatan B2 mikro globulin dan juga
peningkatan I9A.
A.Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan satu
gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti
kanker,malnutrisi berat atau pemakaian kortikosteroid yang lama.
1.Gejala Mayor
Penurunan berat badan lebih dari 10%
Diare kronik lebih dari satu bulan
Demam lebih dari satu bulan
2.Gejala Minor
Batuk lebih dari satu bulan
Dermatitis preuritik umum
Herpes zoster recurrens
Kandidias orofaring
Limfadenopati generalisata
Herpes simplek diseminata yang kronik progresif
B. Dicurigai AIDS pada anak. Bila terdapat palinh sedikit dua gejala mayor dan dua
gejala minor, dan tidak terdapat sebab – sebab imunosupresi yang lain seperti kanker,
malnutrisi berat, pemakaian kortikosteroid yang lama atau etiologi lain.
Gejala Mayor
Penurunan berat badan atau pertmbuhan yang lambat dan abnormal
Diare kronik lebih dari 1bulan
Demam lebih dari1bulan
Gejala minor
Limfadenopati generalisata Batuk parsisten
Kandidiasis oro-faring Dermatitis Infeksi
umum yang berulang
2.4.3.11.Penilaian Imunologi
Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam menilai
status imunitas odha dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan dalam
memberikan pengobatan ARV. Tes CD4 ini juga digunakan sebagai pemantau respon
terapi ARV. Namun yang penting diingat bahwa meski tes CD4 dianjurkan, bilamana
tidak tersedia, hal ini tidak boleh menjadi penghalang atau menunda pemberian terapi
ARV. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV. Pemeriksaan
jumlah limfosit total (Total Lymphocyte Count – TLC) dapat digunakan sebagai
indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak tersedia namun TLC tidak dianjurkan
untuk menilai respon terapi ARV atau sebagai dasar menentukan kegagalan terapi
ARV. (Depkes RI, 2007)
Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
2.4.3.12.Penatalaksanaan
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa
pegobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. . (Djoerban Z
dkk,2006)
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus
memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara
seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau
manakala timbul gejala atau tanda klinis yang baru.Adapun terapi HIV-AIDS
berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 10. (Depkes RI, 2007)
Tabel 10. Terapi pada ODHA dewasa
Stadium Jika tidak tersedia
Bila tersedia pemeriksaan CD4
Klinis pemeriksaan CD4
1 Terapi ARV tidak diberikan
Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 <200 Bila jumlah total limfosit
2
<1200
Jumlah CD4 200 – 350/mm3, pertimbangkan
terapi sebelum CD4 <200/mm3.
Terapi ARV dimulai tanpa
Pada kehamilan atau TB:
3 memandang jumlah limfosit
Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil
total
dengan CD4 350
Mulai terapi ARV pada semua ODHA dengan
CD4 <350 dengan TB paru atau infeksi
bakterial berat
Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai
terapi ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama.
Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 <
200/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila
tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang
dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk memulai terapi ARV pada tingkat
CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui, dan pasien dengan jumlah CD4
tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis maupun imunologis. Terapi ARV
dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat dan CD4 <
350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan CD4 < 350 / mm3.
Keputusan untuk memulai terapi ARV pada ODHA dewasa danremaja didasarkan
pada pemeriksaan klinis dan imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka
penilaian klinis saja dapat memandu keputusan memulai terapi ARV. Mengukur
kadar virus dalam darah (viral load) tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan
memulai terapi. (Depkes RI, 2007)
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi
oportunistik yang aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.
Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain
perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya diberikan
sesegera mungkin (AIII). Contohnya pada kriptosporidiosis, mikrosporidiosis,
demensia terkait HIV. Keadaan lainnya, misal pada infeksi M.tuberculosis,
penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB dianjurkan untuk
menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan juga untuk mencegah atau
meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS. (Depkes RI, 2007)
Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT +
3TC + NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat
menimbulkan anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan
adalah d4T + 3TC + NVP. Namun AZT lebih disukai daripada stavudin (d4T) oleh
karena adanya efek toksik d4T seperti lipodistrofi, asidosis laktat, dan neuropati
perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan bila NVP tidak dapat
digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil karena EFZ tidak
boleh diberikan (Depkes RI, 2007). Pemilihan ARV golongan NRTI tentunya dengan
mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masing-masing obat. Adapun
kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan seperti pada tabel 12.
Kumpulan tanda dan gejala akibat dari pulihnya system kekebalan tubuh
selama terapi ARV. Merupakan reaksi paradoksal dalam melawan antigen asing
(hidup atau mati) dari pasien yang baru memulai terapi ARV dan mengalami
pemulihan respon imun terhadap antigen tersebut.M. tuberkulosi merupakan sepertiga
dari seluruh kasus IRIS. Frekuensinya 10% dari seluruh pasien yang mulai terapi
ARV dan 25% dari pasien yang mulai terapi ARV dengan CD4 <50 / mm3. Berikut
table pedoman tatalaksana IRIS di Indonesia, seperti pada tabel 14.
a
Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang
mengganggu kerja atau aktivitas sehari-hari, tanpa dapat dijelaskan oleh penyebab
lain selain infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain dilakukan
pemeriksaan lumbal pungsi dan pemeriksaan pencitraan otak (CT scan atau MRI)
b
Berulang lebih dari satu episode dalam 1 tahun
c
Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik (minimal
2 kali selama > 30 hari), atau kelemahan kronik dan demam lama (>30 hari,
intermiten, atau konstan) tanpa dapat dijelaskan oleh penyakit/ kondisi lain
(missal kanker, tuberkulosis, enteritis spesifik) selain HIV.
Sumber :Yunihastuti E dkk, 2005
2.4.3.16.1.Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi oportunistik terbanyak pada odha di
Indonesia.TB mempercepat progesivitas infeksi HIV dengan meningkatkan replikasi
HIV dan juga menjadi penyebab kematian tersering pada odha. (Yunihastuti E dkk,
2002)
TB paru merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan muncul pada infeksi
HIV awal dengan jumlah median CD4 > 300 sel/ L sedangkan TB ekstraparu atau
diseminata dijumpai pada odha dengan jumlah CD4 yang lebih rendah. (Yunihastuti E
dkk, 2002)
Gejala TB paru yang paling sering adalah batuk kronik lebih dari 3 minggu,
demam, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, rasa letih, berkeringat pada
waktu malam, nyeri dada, dan batuk darah. Sedangkan pada TB ekstra paru yang
tersering adalah limfadenopati asimetris, perikarditis, efusi pleura dan osteomielitis.
Sayangnya, gambaran klinis TB pada odha seringkali tidak khas dan sangat bervariasi
sehingga menegakkan diagnosis menjadi lebih sulit. (Yunihastuti E dkk, 2002)
Cara penegakan diagnosis TB pada odha tidak berbeda dengan yang bukan
odha. Namun, sensitivitas untuk pemeriksaan sputum BTA pada odha sekitar 50%
dan tes tuberkulin hanya positif pada 30-50% odha. Pada foto toraks, gambaran TB
paru pada odha dengan CD4>200 sel/µL tidak berbeda dengan non – HIV
berupa infiltrat pada lobus atas, kavitas, atau efusi pleura. Pada ODHA dengan CD <
200 sel/µL, gambaran yang lebih sering tampak adalah limfadenopati mediastinum
dan infiltrat di lobus bawah. Diagnosis definitif TB pada odha adalah dengan
ditemukannya M.tuberculosis pada kultur jaringan atau specimen sedangkan
diagnosis presumtifnya berdasarkan ditemukannya BTA pada specimen dengan gejala
sesuai TB atau perbaikan gejala setelah terapi kombinasi OAT. Yunihastuti E dkk,
2002)
Regimen pengobatan TB tidak berbeda dengan regimen pengobatan TB pada
kasus non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan seperti tercantum pada tabel 16.
Terapi ARV direkomendasikan untuk semua odha yang menderita TB dengan CD4 <
200/mm3, dan perlu dipertimbangkan bila CD4 > 350/mm3. Bila tidak tersedia
pemeriksaan CD4, maka terapi ARV direkomendasikan untuk semua odha dengan
TB. Pemberian OAT sebaiknya tidak dimulai bersama-sama dengan ARV dengan
tujuan untuk mengurangi kemungkinan interaksi obat, dan ketidakpatuhan minum
obat. (Yunihastuti E dkk, 2002)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada odha dengan terapi ARV dan OAT
adalah kemungkinan adanya efek samping dan resistensi OAT. Tatacara terapi
berdasarkan jumlah CD4 seperti tercantum pada tabel 17. Untuk itu, perlu dilakukan
tes resistensi BTA pada odha yang mengalami TB. (Yunihastuti E dkk, 2002)
Tabel 17. Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB-HIV
CD4 Paduan yang dianjurkan Keterangan
CD4 <200/ Mulai terapi TB. Mulai terapi ARV Saat mulai ART pada 2 – 8
mm3 segera setelah terapi TB dapat minggu setelah OAT
ditoleransi (antara 2 minggu hingga 2
bulan)
Paduan yang mengandung EFV (AZT
atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau
800 mg/hari).
Setelah OAT selesai maka bila perlu
EFV dapat diganti dengan NVP.
Bila NVP terpaksa harus digunakan
disamping OAT, maka dapat
dilakukan dengan melakukan
pemantauan fungsi hati
(SGOT/SGPT) secara ketat
CD4 200-350/ Mulai terapi TB Setelah 8 minggu terapi
mm3 TB
CD4 >350/ Mulai terapi TB Tunda terapi ARV , evaluai
mm3 kembali pada saat minggu
ke 8 terapi TB dan setelah
terapi TB lengkap
CD4 tidak Mulai terapi TB Pertimbangkan terapi ARV
mungkin mulai 2 – 8 minggu setelah
diperiksa terapi TB dimulai
Sumber : Depkes RI, 2007
1. Pencegahan primer, yakni upaya untuk mencegah infeksi sebelum infeksi terjadi.
Misalnya pemberian kotrimoksazol pada penderita yang CD4 < 200/mm 3 untuk
mencegah Pneumocystis carinii pneumonia (PCP). Pencegahan ini dapat
mengurangi risiko PCP.
2. Pencegahan sekunder, yaitu pemberian obat pencegahan setelah infeksi terjadi.
Contohnya setelah terapi PCP dengan kotrimoksazol diperlukan obat pencegahan
(dalam dosis yang lebih rendah) untuk mencegahan kekambuhan PCP yang telah
sembuh.
Jika kekebalan tubuh dengan indikator nilai CD4 meningkat maka risiko terkena
infeksi oportunistik berkurang sehingga obat pencegahan infeksi oportunistik dapat
dihentikan. Namun bila kekebalan menurun kembali obat infeksi oportunistik harus
diberikan lagi. Tabel berikut menampilkan secara ringkas pencegahan terhadap
beberapa bentuk infeksi oportunistik. Beberapa upaya profilaksis hanya dianjurkan
bila penderita mampu seperti vaksinasi pneumokok, hepatitis B dan hepatitis A.
(Djauzi S dkk, 2002)
Tujuan utama:
(Daili, 2009)