Anda di halaman 1dari 18

Simulasi Sleeper Anchor Pada Rel

Kereta Api Menggunakan Metode


Elemen Hingga
Mukhamad Andi Firismanda 1),
1,2,3
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Negeri Malang
E-mail: andifirismanda18@gmail.com;

Abstrak:

Sleeper anchor pada rel kereta api mengalami kegagalan karena


meningkatnya beban muatan dan kecepatan yang diangkut. Maka perlu
adanya penelitian pada komponen tersebut sehingga hal tersebut tidak
terulang kembali. Pada penelitian ini akan menganalisis crack yang terjadi
pada sleeper anchor menggunakan metode elemen hingga. Hasil penelitian
ini adalah pembebanan terbesar terjadi pada bagian anchor, hal tersebut yang
mendorong terbentuknya notching dengan nilai faktor intensitas tegangan
sebesar 6,8658e-5.

Kata Kunci : Sleeper Anchor, Crack, FEM

1. PENDAHULUAN
Kereta api merupakan salah satu moda transportasi yang sering kali
digunakan oleh masyarakat diberbagai negara. Kereta api memiliki beberapa
komponen, salah satunya rel yang berfungsi sebagai pemandu jalan rangkaian
kereta api yang bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. “Rel kereta api
terdiri dari beberapa bagian yaitu: batang rel, penambat rel, bantalan, ballast,
dan jangkar tidur (Sleeper Anchor)” [1]. Jangkar tidur (Sleeper Anchor)
merupakan komponen sistem sambungan pada rel kereta api. “Jangkar tidur
adalah komponen kereta api yang dimasukkan ke dalam katagori pemberat dan
memiliki fungsi sebagai jangkar” [2]. “Jangkar tidur menempel pada kedua
ujung bantalan rel, hal ini berfungsi untuk meningkatkan ketahanan rel di arah
lateral dan mencegah terjadinya tekuk” [3].
Beberapa perusahaan kereta api telah menggunakan bertahun-tahun
jangkar tidur dengan sistem pemasangan ganda. Namun, “meningkatnya beban
muatan dan kecepatan yang diangkut, model komponen ini telah gagal dalam
pelayanan” [2].“Kegagalan komponen pada sistem sambungan menyebabkan
kondisi tergelincir yang akan segera terjadi” [4].

1
Pada tahun 2017 geraldo, dkk telah melakukan studi tentang kegagalan
pada jangkar tidur di brazil tersebut menggunakan metode experimental.
Jangkar tidur tersebut dikarakterisasi strukturnya kemudian di uji hardness,
impact, dan tensil yang hasilnya akan dibandingkan dengan jangkar tidur di
eropa. Geraldo, dkk menyimpulkan bahwa kegagalan yang terjadi dikaitkan
dengan overload yang diterapkan pada perangkat yang dipelajari, kelebihan
beban ini mendorong regangan plastik yang tidak diinginkan. Menurut
beberapa peneliti dalam melakukan penelitian tentang crack pada suatu
material salah satunya harus dilakukan simulasi menggunakan metode elemen
hingga untuk menggambarkan pembeban yang terjadi pada material tersebut
sehingga didapatkan nilai tegangan, regangan, total deformasi, dan faktor
intensitas tegangan [5]–[7]. Maka pada penelitian geraldo, dkk perlu adanya
pengembangan untuk mempelajari crack pada sleeper anchor tersebut sehingga
dapat mengetahui nilai tegangan, regangan, dan total deformasi pada sleeper
anchor tersebut.
Pada penelitian ini penulis akan menganalisis Sleeper Anchor pada saat
terjadi kegagalan/crack untuk memperhatikan tegangan, regangan, total
deformasi, dan faktor intensitas tegangan yang terjadi dengan cara mensimulasi
pembebanan/gaya yang terjadi pada sleeper anchor menggunakan metode
elemen hingga. Pada penelitian ini juga meredesain dan mensimulasikan
Sleeper Anchor tanpa crack yang bertujuan untuk mengkomparasikan
tegangan, regangan, dan total deformasi yang terjadi.

2. Tinjaun Teori
2.1 Jangkar Tidur (Sleeper Anchor)
Jangkar tidur (Sleeper Anchor) merupakan komponen yang penting pada
rel kereta api. “Jangkar tidur adalah komponen kereta api yang dimasukkan ke
dalam katagori pemberat dan memiliki fungsi sebagai jangkar. Jangkar tidur
dapat meningkatkan stiffnes dari rel kereta api, terutama di jalur-jalur yang
kencang” [2]. Jangkar tidur memiliki dua bagian yaitu fastener dan anchor.
1. Fastener atau pengunci adalah suatu alat yang berupa batang atau
tabung dengan alur heliks pada permukaannya berfungsi untuk
mengikat atau menguncikan suatu benda pada permukaan benda lain.
2. Anchor dapat diterjemahkan secara bebas sebagai “jangkar”. Anchor
merupakan suatu benda yang memiliki fungsi sebagai pemberat.

2
Gambar 1.1 : Double Fixing Sleeper Anchor
Sumber : Faria et al., 2017

Gambar 1.2 : Redesaind double Fixing Sleeper Anchor


Sumber : Dokumen Pribadi

Pada jangkar tidur di atas menggunakan tipe jangkar tidur double fixing.
Jangkar tidur double fixing yaitu jangkar tidur yang menempel pada kedua
ujung bantalan rel. Fastener pada jangkar tidur tesebut dihubungkan/ diikat
menggunakan srew kemudian jangkar tidur tersebut ditancapkan pada balasst,
hal ini berfungsi untuk meningkatkan ketahanan rel di arah lateral dan
mencegah tekuk. Secara khusus, peralatan ini efektif untuk mencegah berbagai
jenis tekuk yang disebabkan oleh kenaikan suhu dimusim panas dan beban
kereta saat berjalan diatasnya.

3
Gambar 1.3 : Pemasangan double fixing Sleeper Anchor
Sumber : Faria et al., 2017

Jangkar tidur atau Sleeper Anchor memiliki dimensi dan paduan material
cukup baik. Berikut merupakan dimensi dan jenis material jangkar tidur di
double fixing.

Table 1
Thickness of the
Sleeper Anchor parts.
Double fixing
Sleeper Anchor
Fastene
Anchor r
Thickness (mm) 4.96 8.10
Faria et al., 2017
Table 2
Chemical composition of the double fixing Sleeper Anchor sheets (wt%).
Components C Mn P S Si
Anchor 0.047 0.244 0.017 0.015 0.003
Fastener 0.166 0.672 0.011 0.006 0.132
Faria et al., 2017

2.2 Kegagalan pada Jangkar Tidur (Sleeper Anchor)


Beberapa perusahaan kereta api telah menggunakan bertahun-tahun
jangkar tidur dengan sistem pemasangan ganda. Namun, “dengan
meningkatnya beban muatan dan kecepatan yang diangkut, model komponen
ini telah gagal dalam pelayanan” [2]. Hal ini memungkinkan pemindahan
pemberat yang tidak diinginkan dan menciptakan kondisi tergelincir yang akan
segera terjadi.

4
Berikut merupakan kegagalan jangkar tidur (Sleeper Anchor) rel kereta
api double fixing :

CRACK

Gambar 1.4 : Kegagalan pada Double Fixing Sleeper Anchor


Sumber : Faria et al., 2017

Kegagalan yang terjadi terletak pada sambungan antara fasterner


dengan anchor. Retakan tersebut berjarak 10 cm dari fixsuport fastener.

2.3 Mekanisme Penjalaran Retak


Perpatahan adalah pemisahan atau pemecahan suatu benda padat,
menjadi dua bagian atau lebih diakibatkan adanya tegangan [8]. Proses
perpatahan terdiri atas dua tahap, yaitu timbulnya retak dan tahap penjalaran
retak. Tahap awal pembentukan retak ini memerlukan jumlah siklus yang
cukup besar. Perambatan retak yang terjadi pada tahap ini sangat lambat. Luas
daerah antara tahap penjalaran retakan dan tahap patah akhir secara kuantitatif
dapat menunjukkan besarnya tegangan yang bekerja. Jika luas daerah tahap
penjalaran retakan lebih besar dari pada luas daerah patah akhir, maka tegangan
yang bekerja relatif rendah, demikian sebaliknya.
Tahap I terjadinya kelelahan logam yaitu tahap pembentukan awal retak,
lebih mudah terjadi pada logam yang bersifat lunak dan ulet tetapi akan lebih
sukar dalam tahap penjalaran retakanya (tahap II), artinya logam-logam ulet
akan lebih tahan terhadap penjalaran retakan. Demikian sebaliknya, logam
yang keras dan getas, akan lebih tahan terhadap pembentukan awal retak tetapi
kurang tahan terhadap penjalaran retakan.
Tahapan pembentukan awal retak dan penjalaran retakan dalam
mekanisme kelelahan logam, membutuhkan waktu sehigga umur lelah dari
komponen atau logam, ditentukan dari ke-2 tahap tersebut.

NT = Ni + Np
Keterangan :
5
NT = Total fatigue life
Ni = Fatigue initiation
Np = Fatigue propagation

Fase-fase yang terjadi selama kejadian kelelahan logam tersebut adalah


sebagai berikut :

Gambar 1.5 : Fatigue crack growth regimes versus ΔK


Sumber : Broek & Publishers, 1982

2.4 Faktor Intensitas Tegangan


“Faktor K merupakan cara yang sangat mudah untuk membahas
distribusi tegangan di sekitar retak. Dua retak dengan geometri yang berbeda
yang mempunyai harga K yang sama akan memiliki distribusi tegangan yang
identic” [8]. Di dalam mekanika perpatahan ada 3 macam mode sehingga ada
3 macam nilai K. KI untuk mode I yaitu mode tarik dengan arah membuka
retak, KII untuk mode II yaitu model geser maju mundur, KIII untuk mode III
yaitu model geser kanan kiri.
Model geser sejajar. “KI merupakan faktor intensitas tegangan untuk
mode I dimana retak terentang oleh tegangan tarik yang bekerja pada arah tegak
lurus terhadap permukaan bidang retak. Jadi KI adalah faktor intensitas
tegangan untuk arah pembebanan membuka retak” [8].

6
OPENING MODE SLIDING MODE TEARING MODE

Gambar 1.6 : Mode Perpatahan


Sumber: Broek & Publishers, 1982

Pada mode I merupakan sistem pembebanan yang paling penting, karena


pembebanannya membuka retak dimana nilai KI kritisnya disebut KIC, yang
lebih dikenal dengan istilah ketangguhan perpatahan regangan bidang. KIC
merupakan sifat ketahanan bahan terhadap perpatahan. Ada 2 macam keadaan
ekstrim yaitu; benda uji tipis keadaan tegangannya disebut tegangan bidang
(plane stress), sedangkan benda uji tebal terdapat regangan bidang (plane
strain). “Plane stress adalah kondisi munculnya tegangan bidang pada daerah
sekitar retak yang disebabkan oleh pembebanan pada komponen. Plane strain
adalah meningkatnya tegangan bidang menjadi kondisi regangan yang terjadi
pada daerah sekitar retak yang disebabkan oleh pembebanan pada komponen”
[8]. Kondisi regangan bidang ditinjau dari segi tegangan bidang lebih
berbahaya dan nilai faktor intensitas tegangan kritisnya lebih rendah dibanding
benda uji yang hanya mengalami tegangan bidang. Faktor Intensitas Tegangan
dapat dirumuskan sebagai berikut :

K1 = σ √𝜋𝑎

Keterangan :
K1 = Faktor intensitas tegangan
σ = Tegangan
a = Panjang crack

2.5 Tegangan
Sebuah bahan yang menerima beban eksternal akan memberi reaksi yang
berupa gaya dalam, yang besarnya sama tapi arahnya berlawanan. Besarnya

7
gaya persatuan luas pada bahan tersebut disebut sebagai tegangan. Pada kasus
ini mengalami tegangan tarik.
Tegangan tarik adalah tegangan yang diakibatkan beban tarik atau beban
yang arahnya tegak lurus meninggalkan luasan permukaan. “Tegangan tekan
adalah tegangan yang diakibatkan beban tekan atau beban yang arahnya tegak
lurus menuju luasan permukaan”[8]. Suatu benda yang statis, jika dipotong
harus tetap statis terhadap resultan gaya = 0. Nilai tegangan dapat dicari dengan
rumus :

𝐹
σ=𝐴

Dimana : F = Beban yang diterima pada luas penampan material (Kgf).


A = Luas penampang dari specimen (mm2)
σ = Tegangan (N/m2)

2.6 Regangan
Jika suatu benda diberi beban, akan mengalami perubahan bentuk
(deformasi) memanjang, memendek, membesar, mengecil dan sebagainya.
Regangan normal karena beban aksial material yang menerima pembebanan
akan mengalami deformasi. Perbandingan antara deformasi dengan panjang
mula-mula disebut sebagai regangan [8].

𝛿𝐿
ε= 𝐿

Dimana : ε = Regangan.
L = Panjang mula-mula.
= Panjang setelah dikenai beban.

2.7 Modulus Elastisitas (Ε)


Pada tahun 1982 Broek menyatakan bahwa semakin besar nilai
tegangan suatu benda maka akan semakin besar juga nilai tekanannya karena
tegangan dan tekanan itu berbanding lurus, [8]. Secara matematik, pernyataan
Broek tersebut dapat ditulis sebagai berikut:

𝜎
E=
𝜀

dimana : σ = Nilai tegangan (N/m2).


E = Modulus elastisitas (MPa).
ε = Nilai Regangan (mm).

8
3. Metodelogi
3.1 Metode Analisis FEM dengan Ansys
Finite Element Method (FEM) atau yang dikenal dengan Metode Elemen
Hingga adalah metode numerik yang digunakan untuk menyelesaikan
permasalahan teknik dan problem matematis dari suatu gejala phisis” [9].
Berikut adalah proses FEM menggunakan software ansys 18.1:
3.1.1 Pre Processing
Pada tahap pre processing, menjelaskan langkah awal dalam
penyelesaian elemen hingga. Pada proses ini menjelaskan proses pembuatan
geometri, menentukan jenis material, proses meshing geometri, penentuan
kondisi batas, dan pemberian beban dalam mensimulasikan desain sleeper
anchor.
a. Proses Pemodelan Geometri
Pada proses pemodelan geometri pertama yang dilakukan yaitu
membuat sketsa atau 2 dimensi dari sleeper anchor, data-data dimensi
atau ukuran yang diinputkan dari desain sleeper anchor diperoleh dari
jurnal internasional. Setelah sketsa desain telah selesai, sketsa tersebut
diextrude untuk dijadikan 3 dimensi dan siap untuk tahap selanjutnya.
b. Menentukan Jenis Material
Pada proses elemen hingga, setelah proses mendesain dan meredesain
yaitu menentukan jenis material yang digunakan pada sleeper anchor.
Pada jenis material, data-data material dapat dimasukkan secara manual
pada perangkat lunak elemen hingga. Data material berupa kekuatan
luluh (yield strength) dan kekuatan tarik (ultimate strength).
c. Meshing
Sebelum melakukan proses simulasi, geometri/benda terlebih dahulu
dilakukan proses meshing. Pada proses meshing ini adalah membagi
geometri ini menjadi bagian-bagian kecil yang akan membentuk
geometri benda. Semakin kecil ukuran meshing yang terbentuk maka
akan semakin mendekati nilai sebenarnya, akan tetapi membuat proses
penyelesaian atau solving akan menjadi semakin lama.
d. Penentuan Kondisi Batas dan Jenis Pembebanan
Langkah yang dilakukan selanjutnya setelah proses mesh adalah
menentukan syarat batas yang digunakan, di mana pada proses ini
adalah menentukan jenis tumpuan yang digunakan pada sleeper anchor
dan menentukan jenis dan besar pembebanan. Besar pembebanan
diberikan berdasarkan gaya gravitasi dan gaya geser kedua bantalan
dalam pemakian. Sedangkan jenis tumpuan yang digunakan pada
simulasi sleeper anchor ini adalah fixed support pada lubang baut.

3.1.2 Solving
9
Proses solving yaitu proses simulasi dari data-data yang telah kita
inputkan pada proses Pre Processing. Pada proses ini kita dapat memilih
data hasil simulasi yang kita inginkan. Pada penelitian ini data simulasi yang
akan diambil yaitu tegangan, regangan, total deformasi, dan faktor intensitas
tegangan yang terjadi. Pada saat menjalankan proses solving harus
diperhatikan pesan-pesan yang timbul dari perangkat lunak tersebut, karena
pesan yang timbul dari perangkat lunak berupa informasi yang terjadi pada
proses solving agar simulasi berhasil.
3.1.3 Post Processing
Post processing merupakan proses akhir dari penyelesaian elemen
hingga. Pada post processing menjelaskan tampilan hasil simulasi dari
perangkat lunak elemen hingga. Hasil simulasi pada post processing berupa
nilai kekuatan kontruksi sleeper anchor.

3.2 Pembuatan Model


Komposisi material sleeper anchor sebagai berikut :
Components C Mn P S Si
Anchor 0.047 0.244 0.017 0.015 0.003
Fastener 0.166 0.672 0.011 0.006 0.132
[2]
Berikut dimensi dari desaind sleeper anchor :
a. Meredesain sleeper anchor crack

Gambar 1.7 : Geometry sleeper anchor old crack

Model ini akan disimulasikan ke dalam software autodesk invetor dengan


satuan milimeter dimana ukuran yang telah disesuaikan dengan ukuran

10
sebenarnya kemudian desain tersebut di import ke software ansys untuk
disimulasikan.

b. Meredesain sleeper anchor

Gambar 1.8 : Geometry sleeper anchor old

Model ini akan disimulasikan ke dalam software ansys workbench


dimana ukuran akan diterangkan dibawah ini.
H56 = 25 cm; L64 = 2 cm; L69 = 2 cm; L70 = 6 cm; L71 = 6 cm; V58 =
2 cm; D43 = 3 cm; D44 = 3 cm; H41 = 50 cm; H45 = 5 cm; H46 = 5 cm;
V42 = 10cm; V48 = 5 cm; V49 = 5 cm; V58 = 2 cm.

4. Hasil dan Pembahasan


4.1 Analisis Sleeper Anchor Crack

11
Gambar 1.9 : Stress pada sleeper anchor crack

Gambar 2.1 : Strain pada sleeper anchor crack

Gambar 2.2 : Total deformasi pada sleeper anchor crack

Keterangan :
Crack =

12
Gambar 2.3 : Faktor Intensitas Tegangan pada sleeper anchor crack

Tabel 4.1 Hasil simulasi Sleeper Anchor crack


Sleeper anchor crack C, Mn, P, S, dan Si
Tegangan 2,4556e-6
Regangan 1,2287e-5
Total Deformasi 3,6884e-6
Faktor Intensitas Tegangan 6,8658e-5

Pada sleeper anchor old yang mengalami crack dengan menggunakan


material C, Mn, P, S, dan Si didapatkan nilai tegangan yang terjadi sebesar
2,4556e-6, nilai regangan yang terjadi sebesar 1,2287e-5, nilai total deformasi
yang terjadi sebesar 3,6884e-6 dan nilai faktor intensitas tegangan yang terjadi
sebesar 6,8658e-5.

13
4.2 Analisis Sleeper Anchor tanpa crack

Gambar 2.4 : Stress pada sleeper anchor tanpa crack

Gambar 2.5 : Strain pada sleeper anchor tanpa crack

14
Gambar 2.6 : Total deformasi pada sleeper anchor tanpa crack

Tabel 4.2 Hasil simulasi Sleeper Anchor tanpa crack


Sleeper anchor crack C, Mn, P, S, dan Si
Tegangan 3,5625e-6
Regangan 1,8372e-5
Total Deformasi 7,71014e-6

Pada sleeper anchor old yang mengalami crack dengan menggunakan


material C, Mn, P, S, dan Si didapatkan nilai tegangan yang terjadi sebesar
2,4556e-6, nilai regangan yang terjadi sebesar 1,2287e-5, dan nilai total
deformasi yang terjadi sebesar 3,6884e-6.

15
4.3 Komparasi Data Hasil Simulasi

Hasil Simulasi
2.00E-05
1.50E-05
mm

1.00E-05
5.00E-06
0.00E+00
Tegangan Regangan Total Deformasi
sleeper ancor sleeper ancor crack

Data yang diperoleh menunjukan sleeper anchor tanpa crack mempunyai


nilai tegangan, regangan, dan total deformasi lebih besar dibandingkan sleeper
anchor tanpa crack hal tersebut disebabkan adanya notch sehingga kekuatan
reaksi pada pada pembebanan sleeper anchor tersebut tidak dapat maksimal.

slepeer anchor crack


1.00E-04
6.87E-05
5.00E-05
MPa.mm^0.5

0.00E+00
nilai max nilai min
-5.00E-05
-6.20E-05

-1.00E-04
Nilai

Crack yang terjadi termasuk kategori mode I (open mode) yaitu mode
tarik atau membuka retak. KI mode satu disebut dengan KIC (faktor intensitas
tegangan) pada hasil simulasi KIC didapatkan nilai sebesar 6,8658e-5.
16
5. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan hasil-hasil simulasi tersebut di atas, maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
1. Pembebanan yang terjadi terletak pada masa anchor, maka dari itu perlu
adanya perbaikan pada desain dari sleeper anchor.
2. Tegangan dan regangan maksimum pada sleeper anchor terjadi di area
lubang baut dan ujung retak. Hal tersebut menunjukkan perlu adanya
perbaikan sehingga meminimalisir terjadinya crack atau patah.

6. Daftar Pustaka
[1] C. González-Nicieza, M. I. Álvarez-Fernández, A. Menéndez-Díaz, A.
E. Álvarez-Vigil, and F. Ariznavarreta-Fernández, “Failure analysis of
concrete sleepers in heavy haul railway tracks,” Eng. Fail. Anal., vol.
15, no. 1–2, pp. 90–117, 2008.
[2] G. L. De Faria, L. B. Godefroid, L. C. Cândido, D. Antônio, and D. S.
Santos, “Failure analysis of a sleeper anchor model used in railroads,”
Eng. Fail. Anal., vol. 79, no. May 2016, pp. 565–574, 2017.
[3] M. Kerr, “Engineering Manual,” no. August, 2011.
[4] M. W. Babcock and J. Sanderson, “Should shortline railroads upgrade
their systems to handle heavy axle load cars,” vol. 42, pp. 149–166,
2006.
[5] V. Giannella, M. Perrella, and R. Citarella, “Efficient FEM-DBEM
coupled approach for crack propagation simulations,” Theor. Appl.
Fract. Mech., 2017.
[6] R. Citarella, G. Cricrì, M. Lepore, and M. Perrella, “Advances in
Engineering Software Thermo-mechanical crack propagation in aircraft
engine vane by coupled FEM – DBEM approach,” Adv. Eng. Softw.,
vol. 67, pp. 57–69, 2014.
[7] M. Lepore et al., “A FEM based methodology to simulate multiple
crack propagation in friction stir welds Reference : To appear in :
Received Date : Revised Date : Accepted Date : A FEM based
methodology to simulate multiple crack propagation in friction stir
welds,” Eng. Fract. Mech., 2017.
[8] D. Broek and M. N. Publishers, Elementary engineering fracture
mechanics. 1982.
[9] S. Moaveni, FEA.pdf. 1999.
[10] G. Formica and F. Milicchio, “Crack growth propagation using
standard FEM,” Eng. Fract. Mech., vol. 165, pp. 1–18, 2016.
[11] M. Kikuchi, Y. Wada, and Y. Li, “Crack growth simulation in
heterogeneous material by S-FEM and comparison with experiments,”
Eng. Fract. Mech., 2016.
[12] G. L. De Faria, L. B. Godefroid, L. C. Cândido, and T. O. Silotti,
“Metallurgical characterization and computational simulation of a
screw spike aiming to improve its performance in railways,” EFA, vol.
66, pp. 1–7, 2016.

17
18

Anda mungkin juga menyukai