Anda di halaman 1dari 19

1.

Kegunaan Uji Pinhole


Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah tajam penglihatan yang kurang
terjadi akibat kelainan refraksi atau kelainan organik media penglihatan.
Penderita duduk menghadap kartu Snellen dengan jarak 6 meter. Penderita
disuruh melihat huruf terkecil yang masih terlihat dengan jelas. Kemudian
pada mata tersebut ditaruh lempeng berlubang kecil (pinhole atau lubang
sebesar 0.75 mm). Bila terdapat perbaikan tajam penglihatan dengan melihat
melalui lubang kecil berarti terdapat kelainan refraksi. Bila terjadi
kemunduran tajam penglihatan berarti terdapat gangguan pada media
penglihatan. Mungkin saja ini diakibatkan kekeruhan kornea, katarak,
kekeruhan badan kaca, dan kelainan makula lutea.

2. Hasil Pemeriksaan Funduskopi Pada Pasien Katarak


a. Refleks fundus Positif suram/positif sangat
suram/sulit dinilai
b. Papil
o Bentuk Bulat/Sulit dinilai
o Warna Kuning kemerahan/sulit dinilai
o C/D Ratio 0,3-05cm/sulit dinilai
o A/V ratio 2/3 /sulit dinilai
c. Retina
o Edema Tidak ada/sulit dinilai
o Perdarahan Tidak ada/sulit dinilai
o Eksudat Tidak ada/sulit dinilai
o Sikatrik Tidak ada/sulit dinilai
d. Makula Lutea
o Refleks Fovea Positif/positif suram
o Edema Tidak ada/sulit dinilai
o Pigmentosa Tidak ada/sulit dinilai
3. Komplikasi Pasca Operasi Katarak
a. Komplikasi dini pasca operasi
- COA dangkal karena kebocoran vitreus dan tidak seimbangnya
antara cairan yang keluar dan masuk, adanya pelepasan koroid, block
pupil dan siliar, edema stroma dan epitel, hipotonus, brown-McLean
syndrome (edema kornea perifer dengan daerah sentral yang bersih)
- Ruptur kapsul posterior yang mengakibatkan prolaps vitreus
- Prolaps iris, umumnya disebabkan karena penjahitan luka insisi yang
tidak adekuat yang dapat menimbulkan komplikasi seperti
penyembuhan luka yangtidak sempurna, astigmatismus, uveitis
anterior dan endoftalmitis.
- Perdarahan, yang biasa terjadi bila iris robek saat melakukan insisi
b. Komplikasi lambat pasca operasi
- Ablasio retina
- Endoftalmitis kronik yang timbul karena organisme dengan virulensi
rendah yang terperangkap dalam kantong kapsuler
- Post kapsul kapacity, yang terjadi karena kapsul posterior lemah
4. Pemeriksaan Untuk Mengetahui Kekuatan Lensa
Biometri
Ada 3 faktor utama dalam ruang lingkup biometry yang sangat
menentukan akurasi dari power IOL yang akan ditanamkan, yaitu panjang bola
mata (axial length, AXL), kurvatura kornea yang sekaligus menentukan power
refraksi kornea (K readings) dan posisi IOL di dalam mata
1. Panjang Bola Mata (axial length)
Adalah jarak antara permukaan anterior kornea dengan retina sensoris, dan
dinyatakan dalam satuan mm. Mempunyai nilai normal yaitu 22 – 24,5 mm .
Prinsip pengukuran panjang bola mata (AXL) dengan alat ultrasound adalah
berdasarkan waktu yang diperlukan oleh gelombang ultrasound saat
dikeluarkan dari probe transmitter, berjalan menuju target serta kembali lagi
ke probe receiver, kedua probe ini disatukan pada probe ultrasound
sehingga disebut sebagai transciever.
Tabel : Kecepatan rambat Gelombang Suara pada berbagai Media
MEDIA VELOCITY
Kornea dan Lensa 1461 m/det
Akuos dan Vitreous 1532 m/det
Lensa normal 1640 m/det
Silicone oil 987 m/det
IOL PMMA 2660 m/det
IOL Silicone 980 m/det
IOL Acrylic 2026 m/det
IOL Glass 6040 m/det

Teknik yang selama ini dikenal dalam hal penggunaan biometry A-


Scan ada 2 jenis, yaitu :
1. Applanasi
Teknik ini bila dikerjakan secara hati-hati mempunyai akurasi yang
cukup baik.
2. Imersi
Sedikit lebih akurat dibandingkan dengan teknik applanasi, karena
probe ultrasound sama sekali tidak menyentuh kornea sehingga
menghindari penekanan (indentasi) yang dapat mempengaruhi hasil
pengukuran AXL. Akan tetapi teknik imersi ini kurang praktis
dibandingkan teknik applanasi karena membutuhkan waktu yang lama
dalam mempersiapkan pasien.
Posisi pasien juga mempengaruhi, dimana ketepatan pengukuran
akan lebih baik jika dilakukan pada pasien dengan posisi tegak (duduk)
dibandingkan dengan posisi berbaring
Gambar : Biometry dengan Pengukuran secara Teknik Applanasi
dan real time oscilloscope.

Ketepatan pengukuran ini berbeda-beda untuk masing-masing


biometry A- Scan, diantaranya 0,1 s/d 0,2 mm atau sekitar 0,25 s/d 0,50
dioptri (D). Selain itu kita perlu mengetahui karakteristik hasil
pemeriksaan biometry A-Scan yang baik.
Tabel 2 : Karakteristik A-Scan yang Baik
Terdapat 5 buah echo:
 Echo kornea yang tinggi
 Echo yang tinggi dari lensa bagian anterior dan posterior lensa
 Echo retina yang tinggi dengan bentuk yang langsung tegak lurus
 Echo yang tidak terlalu tinggi dari sklera
 Echo yang rendah yang berasal dari lemak orbita

Tinggi echo yang baik:


 Ketinggian echo dari bagian anterior lensa harus lebih dari 90%
 Echo yang berasal dari posterior lensa tingginya antara 50 s/d 75%
 Echo retina mempunyai tinggi yang lebih dari 75%
Gambar : Contoh hasil pemeriksaan A-Scan yang baik

Gambar: Contoh hasil pemeriksaan A-Scan yang buruk


Bila gambaran echo lemak orbita di belakang echo retina, hal ini
menunjukkan bahwa pemeriksaan tersebut tidak pada daerah makula
melainkan pada daerah nervus optikus, sehingga ukuran panjang bola
mata (axial length) yang diperoleh tidak benar.
2. Kurvatura Kornea (K readings)
Adalah jari-jari kelengkungan kornea anterior, dinyatakan dalam mm.
Ukuran power kornea (radius kurvatura kornea) didapat dari nilai
kelengkungan kornea, dimana semakin tajam kelengkungannya akan
memberikan kekuatan diopter yang lebih besar, diukur dengan alat
keratometer. Radius kurvatura kornea yang diperoleh kemudian
dikonversikan menjadi power dalam satuan diopter dengan
mempertimbangkan indeks refraksi kornea (Normal 43 Dioptri). Sumber
kesalahan dari pengukuran radius kurvatura kornea ini biasanya bersumber
dari alat yang tidak ditera (baik alat keratometer manual maupun yang
otomatik). Selain itu perlu juga diperhatikan, bahwa pada pasien yang
menggunakan lensa kontak, sebaiknya pengukuran kornea dilakukan setelah
2 minggu tidak memakai lensa kontak .
3. Posisi IOL di dalam Mata
Implantasi IOL pada umumnya ditempatkan di dalam kapsul lensa
(in the bag), sehingga jika IOL kita tempatkan bukan di dalam kapsul lensa
(misalnya di sulkus), maka power IOL yang digunakan harus disesuaikan.
Biasanya hal seperti ini cukup dikurangi sekitar 0,5 diopter dari power IOL
yang seharusnya, dan ini berlaku pada mata dengan panjang bola mata
normal. Namun posisi IOL di dalam mata sulit untuk diprediksi karena
dipengaruhi oleh faktor lain seperti panjang bola mata, kedalaman bilik
mata pre-operasi, ketebalan lensa, diameter kornea.

 Formula IOL
Adalah formula yang digunakan untuk menghitung kekuatan IOL yang
akan ditanamkan dengan terlebih dahulu melengkapi data biometri lainnya.
Formula IOL yang paling sering digunakan adalah SRK-T (66,2%) dan yang
paling jarang adalah SRK-II (7%).
1. Formula IOL Generasi ke-1
Merupakan semua formula IOL yang muncul pada era sebelum
tahun 1980-an, baik formula yang teoritik maupun empiris. Beberapa
tokohnya antara lain yaitu : Fedorov and Kolinko (1967), Colenbrander
(1973), Thijssen & Van der Heidje (1975), Binkhorst (1975), Hoffer
(1979), Gills & Lloyd (1980) dan Sanders, Retzlaff dan Kraff (1980).
Penggunaan konstanta ini tidaklah terlalu mengganggu karena jenis
IOL yang tersedia biasanya menggunakan iris sebagai pegangan (iris clip
lens). Namun setelah berkembangnya anterior chamber maupun posterior
chamber IOL, maka formula ini menjadi kurang tepat.
Formula IOL generasi ke-1 yang perlu diutarakan adalah SRK I,
yaitu :

P = A – 2,5L - 0,9K

Keterangan :
P = Power IOL
A = A constant
L = Axial length
K = Rata-rata keratometer
Variabel A constant biasanya dilampirkan pada masing-masing
IOL, misalnya posterior chamber IOL mempunyai A constant 116,2
sampai 118,7; anterior chamber 114,2 sampai 115,8; sedangkan iris-
fixated IOL 114,2 sampai 115,6. Dari sini kita dapat melihat bahwa
semakin besar A-constant maka IOL ditempatkan lebih ke arah posterior
(lebih dekat ke retina) .
2. Formula IOL Generasi ke-2
Tahun 1981, Binkhort mempelopori perkembangan IOL generasi
ke-2 dengan mulai menggunakan 1 variabel, yaitu variabel panjang bola
mata untuk memprediksi posisi efektif lensa pasca operasi. Beberapa tokoh
lainnya yaitu : Hoffer (1983), Shammas (1984), Sanders (1988:
mengeluarkan SRK II), Holladay, Thompson-Maumence dan Donzis.
Panjang bola mata untuk masing-masing individu berbeda-beda, sehingga
pada formula SRK II ini dapat kita tambahkan konstanta A1 yang berbeda-
beda dan ini tergantung dari panjang bola mata :

P = A1 – 2,5L - 0,9K

keterangan :
P = Power IOL
A1 = A constant bergantung dari panjang bola mata
L = axial length dalam mm
K = Rata-rata keratometer dalam diopter
Untuk A1: jika L < 20 mm : A1 = A+3
20 ≤ L < 21 : A1 = A+2
21 ≤ L < 22 : A1 = A+1
22 ≤ L < 24,5 : A1 = A
L > 24,5 : A1 = A-0,5
3. Formula IOL Generasi ke-3
Holladay yang mempelopori perkembangan formula IOL generasi
ke-3 pada tahun 1988, dengan menggunakan 2 buah variabel untuk
prediksi ELPo (effective lens position) yaitu variabel panjang bola mata
dan keratometry. Formula generasi ke-3 ini kebanyakan merupakan hybrid
formula. Holladay memperhitungkan kedalaman bilik mata depan
berdasarkan rata-rata power kornea, faktor ketebalan retina dan
memperkenalkan konsep surgeon factor.
Retzlaff dan kawan-kawan (1990) mengeluarkan formula SRK/T
dengan menambahkan faktor koreksi terhadap ketebalan retina. Kenneth
Hoffer memperkenalkan formula Hoffer Q (1993) dengan menggunakan
modifikasi faktor ACD (anterior chamber depth). Biasanya angka ACD
pada formula Hoffer Q jarang disediakan oleh produsen IOL, sehingga
harus dikonversikan dari A constant berdasarkan rumus atau dapat pula
diambil dari tabel konversi.
4. Formula IOL Generasi ke-4
Formula IOL sebelumnya mengasumsikan bahwa kedalaman bilik
mata depan akan semakin bertambah dengan semakin panjangnya bola
mata. Namun asumsi ini cukup tepat pada mata normal maupun miopia
yang tinggi, tetapi pada hipermetrop tidak tepat. Hal inilah yang menjadi
sumber kesalahan perhitungan prediksi power IOL yang digunakan pada
mata dengan hipermetropia.
Pelopor formula generasi ke-4 ini adalah Olsen (1995) dan Jack
T.Holladay (1997). Olsen menggunakan 4 variabel pre-operatif untuk
prediksi effective lens position (ELPo), yaitu :
 Axial length
 Keratometry
 Preoperative anterior chamber depth
 Lens thickness
Sedangkan Holladay menggunakan 7 buah variabel pre-operatif,
dimana pada generasi ke-3 Holladay hanya menggunakan 2 variabel,
ketujuh variabel tersebut yaitu :
 Axial length (panjang bola mata)
 Keratometer
 Diameter horizontal kornea (white-to-white)
 Kedalaman bilik mata depan (ACD)
 Ketebalan lensa
 Status refraksi pre-operatif
 Usia pasien
Berdasarkan keterangan diatas, maka formula IOL generasi ke-4
(Holladay II) baik digunakan pada ukuran AXL yang rata-rata (mendekati
nilai normal: 23,45 mm). Formula ini juga tepat digunakan untuk penderita
katarak dengan bola mata yang kecil, seperti katarak pada anak dan juga
baik untuk perhitungan power IOL pada pemasangan piggyback IOL
(Implantasi dua buah IOL pada satu mata dan biasanya dilakukan pada
penderita hipermetropia yang tinggi).
5. Macam-Macam Katarak
1. Katarak Berdasarkan Usia
a. Katarak Kongenital
Katarak Kongenital katarak yang mulai terjadi sebelum atau
segera setelah lahir dan bayi berusia kurang dari 1 tahun. Kekeruhan
sebagian pada lensa yang sudah didapatkan pada waktu lahir
umumnya tidak meluas dan jarang sekali mengakibatkan keruhnya
seluruh lensa. Letak kekeruhan tergantung pada saat mana terjadi
gangguan pada kehidupan janin.
Dibagi menjadi 2 jenis :
1) Katarak kapsulolentikular
Katarak yang mengenai kapsul dan korteks.
2) Katarak lentikular
Katarak yang mengenai korteks atau nukleus saja, tanpa disertai
kekeruhan kapsul. Dalam kategori ini termasuk kekeruhan lensa
yang timbul sebagai kejadian primer atau berhubungan dengan
penyakit ibu dan janin lokal atau umum.

Katarak kongenital dapat dalam bentuk katarak lamelar atau


zonular, katarak polaris posterior (piramidalis posterior, kutub
posterior), polaris anterior (piramidalis anterior, kutub anterior),
katarak inti (katarak nuklearis), dan katarak sutural.
1) Katarak Lamelar atau Zonular
Di dalam perkembangan embriologik permulaan terdapat
perkembangan serat lensa maka akan terlihat bagian lensa sentral
yang lebih jernih. Kemudian terdapat serat lensa keruh dalam
kapsul lensa. Kekeruhan berbatas tegas dengan bagian perifer
tetap bening. Katarak lamelar ini mempunyai sifat herediter dan
ditransmisi secara dominan, katarak biasanya bilateral.
Katarak zonular terlihat segera sesudah bayi lahir.
Kekeruhan dapat menutupi seluruh celah pupil, bila tidak
dilakukan dilatasi pupil sering dapat mengganggu penglihatan.
Gangguan penglihatan pada katarak zonular tergantung
pada derajat kekeruhan lensa. Bila kekeruhan sangat tebal
sehingga fundus tidak dapat terlihat pada pemeriksaan
oftalmoskopi maka perlu dilakukan aspirasi dan irigasi lensa.
2) Katarak Polaris Posterior
Katarak polaris posterior disebabkan menetapnya
selubung vaskular lensa. Kadang-kadang terdapat arteri hialoid
yang menetap sehingga mengakibatkan kekeruhan pada lensa
bagian belakang. Pengobatannya dengan melakukan pembedahan
lensa.
3) Katarak Polaris Anterior
Gangguan terjadi pada saat kornea belum seluruhnya
melepaskan lensa dalam perkembangan embrional. Hal ini juga
mengakibatkan terlambatnya pembentukan bilik mata depan pada
perkembangan embrional. Pada kelainan yang terdapat di dalam
bilik mata depan yang menuju kornea sehingga memperlihatkan
bentuk kekeruhan seperti piramid. Katarak polaris anterior
berjalan tidak progresif.
Pengobatan sangat tergantung keadaan kelainan. Bila
sangat mengganggu tajam penglihatan atau tidak terlihatnya
fundus pada pemeriksaan oftalmoskopi maka dilakukan
pembedahan.
4) Katarak Nuklear
Katarak semacam ini jarang ditemukan dan tampak
sebagai bunga karang. Kekeruhan terletak di daerah nukleus
lensa. Sering hanya merupakan kekeruhan berbentuk titik-titik.
Gangguan terjadi pada waktu kehamilan 3 bulan pertama.
Biasanya bilateral dan berjalan tidak progresif, biasanya herediter
dan bersifat dominan. Tidak mengganggu tajam penglihatan.
Pengobatan, bila tidak mengganggu tajam penglihatan maka tidak
memerlukan tindakan.
5) Katarak Sutural
Katarak sutural merupakan kekeruhan lensa pada daerah
sutura fetal, bersifat statis, terjadi bilateral dan familial.
Karena letak kekeruhan ini tidak tepat mengenai media
penglihatan maka ia tidak akan mengganggu penglihatan.
Biasanya tidak dilakukan tindakan.
b. Katarak Juvenil
Katarak juvenil adalah katarak yang lunak dan terdapat pada orang
muda, yang mulai terbentuknya pada usia lebih dari 1 tahun dan
kurang dari 50 tahun. Merupakan katarak yang terjadi pada anak-anak
sesudah lahir yaitu kekeruhan lensa yang terjadi pada saat masih
terjadi perkembangan serat-serat lensa sehingga biasanya
konsistensinya lembek seperti bubur dan disebut sebagai soft cataract.
Biasanya katarak juvenil merupakan bagian dari suatu gejala penyakit
keturunan lain. Pembedahan dilakukan bila kataraknya diperkirakan
akan menimbulkan ambliopia.
Tindakan untuk memperbaiki tajam penglihatan ialah
pembedahan. Pembedahan dilakukan bila tajam penglihatan seduah
mengganggu pekerjaan sehari-hari. Hasil tindakan pembedahan sangat
bergantung pada usia penderita, bentuk katarak apakah mengenai
seluruh lensa atau sebagian lensa apakah disertai kelainan lain pada
saat timbulnya katarak, makin lama lensa menutupi media penglihatan
menambah kemungkinan ambliopia.
c. Katarak Senil
Katarak senil adalah semua kekeruhan lensa yang terdapat pada
usia lanjut, yaitu usia di atas 50 tahun kadang-kadang pada usia 40
tahun. Perubahan yang tampak ialah bertambah tebalnya nukleus
dengan berkembangnya lapisan korteks lensa. Secara klinis, proses
ketuaan lensa sudah tampak sejak terjadi pengurangan kekuatan
akomodasi lensa akibat mulai terjadinya sklerosis lensa yang timbul
pada usia dekade 4 dalam bentuk keluhan presbiopia.
Dikenal 3 bentuk katarak senil, yaitu katarak nuklear, kortikal, dan
subkapsular posterior.
1) Katarak Nuklear
Inti lensa dewasa selama hidup bertambah besar dan menjadi
sklerotik. Lama kelamaan inti lensa yang mulanya menjadi putih
kekuningan menjadi cokelat dan kemudian menjadi kehitaman.
Keadaan ini disebut katarak brunesen atau nigra.
2) Katarak Kortikal
Pada katarak kortikal terjadi penyerapan air sehingga lensa
menjadi cembung dan terjadi miopisasi akibat perubahan indeks
refraksi lensa. Pada keadaan ini penderita seakan-akan
mendapatkan kekuatan baru untuk melihat dekat pada usia yang
bertambah.
3) Katarak Subkapsular Posterior
Katarak subkapsular posterior ini sering terjadi pada usia yang
lebih muda dibandingkan tipe nuklear dan kortikal. Katarak ini
terletak di lapisan posterior kortikal dan biasanya axial. Indikasi
awal adalah terlihatnya gambaran halus seperti pelangi dibawah
slit lamp pada lapisan posterior kortikal. Pada stadium lanjut
terlihat granul dan plak pada korteks subkapsul posterior ini.
Gejala yang dikeluhkan penderita adalah penglihatan yang silau
dan penurunan penglihatan di bawah sinar terang. Dapat juga
terjadi penurunan penglihatan pada jarak dekat dan terkadang
beberapa pasien juga mengalami diplopia monokular.

Katarak Senil dapat dibagai atas 4 stadium :


1) Katarak Insipien
Kekeruhan yang tidak teratur seperti bercak-bercak yang
membentuk gerigi dasar di perifer dan daerah jernih membentuk gerigi
dengan dasar di perifer dan daerah jernih di antaranya. Kekeruhan
biasanya teletak di korteks anterior atau posterior. Kekeruhan ini pada
umumnya hanya tampak bila pupil dilebarkan.
Pada stadium ini terdapat keluhan poliopia karena indeks refraksi
yang tidak sama pada semua bagian lensa. Bila dilakukan uji bayangan
iris akan positif.
2) Katarak Imatur
Pada stadium yang lebih lanjut, terjadi kekeruhan yang lebih tebal
tetapi tidak atau belum mengenai seluruh lensa sehingga masih
terdapat bagian-bagian yang jernih pada lensa.
Pada stadium ini terjadi hidrasi korteks yang mengakibatkan lensa
menjadi bertambah cembung. Pencembungan lensa ini akan
memberikan perubahan indeks refraksi dimana mata akan menjadi
miopik. Kecembungan ini akan mengakibatkan pendorongan iris ke
depan sehingga bilik mata depan akan lebih sempit.
Pada stadium intumensen ini akan mudah terjadi penyulit
glaukoma. Uji bayangan iris pada keadaan ini positif.
3) Katarak Matur
Bila proses degenerasi berjalan terus maka akan terjadi
pengeluaran air bersama-sama hasil disintegrasi melalui kapsul. Di
dalam stadium ini lensa akan berukuran normal. Iris tidak terdorong ke
depan dan bilik mata depan akan mempunyai kedalaman normal
kembali. Kadang pada stadium ini terlihat lensa berwarna sangat putih
akibat perkapuran menyeluruh karena deposit kalsium. Bila dilakukan
uji bayangan iris akan terlihat negatif.
4) Katarak Hipermatur
Merupakan proses degenerasi lanjut lensa sehingga korteks
mengkerut dan berwarna kuning. Akibat pengeriputan lensa dan
mencairnya korteks, nukleus lensa tenggelam ke arah bawah (katarak
morgagni). Lensa yang mengecil akan mengakibatkan bilik mata
menjadi dalam. Uji bayangan iris memberikan gambaran
pseudopositif.
Akibat masa lensa yang keluar melalui kapsul lensa dapat
menimbulkan penyulit berupa uveitis fakotoksik atau glaukom
fakolitik.
Tabel 1. Perbedaan Stadium Katarak Senilis
Insipien Imatur Matur Hipermatur
Visus 6/6 ↓ (6/6 – 1/60) ↓↓ (1/300-1/~) ↓↓ (1/300-1/~)
Kekeruhan Ringan Sebagian Seluruh Masif
Cairan Lensa Normal Bertambah Normal Berkurang
Iris Normal Terdorong Normal Tremulans
Bilik Mata Depan Normal Dangkal Normal Dalam
Sudut Bilik Mata Normal Sempit Normal Terbuka
Shadow Test Negatif Positif Negatif Pseudopositif
Penyulit - Glaukoma - Uveitis + Glaukoma

2. Katarak Berdasarkan Etiologi


a. Katarak Primer
Katarak primer merupakan katarak yang terjadi karena proses
penuaan atau degenerasi, bukan karena penyebab yang lain, seperti
penyakit sistemik atau metabolik, traumatik, toksik, radiasi dan
kelainan kongenital.
b. Katarak Sekunder
1) Katarak Metabolik
Katarak metabolik atau disebut juga katarak akibat penyakit
sistemik, terjadi bilateral karena berbagai gangguan sistemik
berikut ini : diabetes melitus, hipokalsemia (oleh sebab apapun),
defisiensi gizi, distrofi miotonik, dermatitis atopik, galaktosemia,
dan sindrom Lowe, Werner, serta Down.
2) Katarak Traumatik
Katarak traumatik paling sering disebabkan oleh trauma
benda asing pada lensa atau trauma tumpul pada bola mata.
Peluru senapan angin dan petasan merupakan penyebab yang
sering; penyebab lain yang lebih jarang adalah anak panah, batu,
kontusio, pajanan berlebih terhadap panas (glassblower’s
cataract), dan radiasi pengion. Di dunia industri, tindakan
pengamanan terbaik adalah sepasang kacamata pelindung yang
bermutu baik.
Lensa menjadi putih segera setelah masuknya benda asing
karena lubang pada kapsul lensa menyebabkan humor aqueous
dan kadang-kadang vitreus masuk ke dalam struktur lensa. Pasien
sering kali adalah pekerja industri yang pekerjaannya
memukulkan baja ke baja lain. Sebagai contoh, potongan kecil
palu baja dapat menembus kornea dan lensa dengan kecepatan
yang sangat tinggi lalu tersangkut di vitreus atau retina.
3) Katarak Komplikata
Penyakit intraokular atau penyakit di bagian tubuh yang lain
dapat menimbulkan katarak komplikata. Penyakit intraokular
yang sering menyebabkan kekeruhan pada lensa ialah iridosiklitis,
glukoma, ablasi retina, miopia tinggi dan lain-lain. Katarak-
katarak ini biasanya unilateral.
Pada uveitis, katarak timbul pada subkapsul posterior akibat
gangguan metabolisme lensa bagian belakang. Kekeruhan juga
dapat terjadi pada tempat iris melekat dengan lensa (sinekia
posterior) yang dapat berkembang mengenai seluruh lensa.
Glaukoma pada saat serangan akut dapat mengakibatkan
gangguan keseimbangan cairan lensa subkapsul anterior. Bentuk
kekeruhan ini berupa titik-titik yang tersebar sehingga dinamakan
katarak pungtata subkapsular diseminata anterior atau dapat
disebut menurut penemunya katarak Vogt. Katarak ini bersifat
reversibel dan dapat hilang bila tekanan bola mata sudah
terkontrol.
Ablasio dan miopia tinggi juga dapat menimbulkan katarak
komplikata. Pada katarak komplikata yang mengenai satu mata
dilakukan tindakan bedah bila kekeruhannya sudah mengenai
seluruh bagian lensa atau bila penderita memerlukan penglihatan
binokular atau kosmetik.
Jenis tindakan yang dilakukan ekstraksi linear atau ekstraksi
lensa ekstrakapsular. Iridektomi total lebih baik dilakukan dari
pada iridektomi perifer.
Katarak yang berhubungan dengan penyakit umum mengenai
kedua mata, walaupun kadang-kadang tidak bersamaan. Katrak
ini biasanya btimbul pada usia yang lebih muda. Kelainan umum
yang dapat menimbulkan katarak adalah diabetes melitus,
hipoparatiroid, miotonia distrofia, tetani infantil dan lain-lain.
Diabetes melitus menimbulkan katarak yang memberikan
gambaran khas yaitu kekeruhan yang tersebar halus seperti
tebaran kapas di dalam masa lensa.
Pada hipoparatiroid akan terlihat kekeruhan yang mulai pada
dataran belakang lensa, sedang pada penyakit umum lain akan
terlihat tanda degenerasi pada lensa yang mengenai seluruh lapis
lensa.
4) Katarak Toksik
Katarak toksik atau disebut juga katarak terinduksi obat,
seperti obat kortikosteroid sistemik ataupun topikal yang
diberikan dalam waktu lama, ergot, naftalein, dinitrofenol,
triparanol, antikolinesterase, klorpromazin, miotik, busulfan.
Obat-obat tersebut dapat menyebabkan terjadinya kekeruhan
lensa.
5) Katarak Ikutan (membran sekunder)
Katarak ikutan merupakan kekeruhan kapsul posterior yang
terjadi setelah ekstraksi katarak ekstrakapsular akibat
terbentuknya jaringan fibrosis pada sisa lensa yang tertinggal,
paling cepat keadaan ini terlihat sesudah 2 hari pasca ekstraksi
ektrakapsular. Epitel lensa subkapsular yang tersisa mungkin
menginduksi regenerasi serat-serat lensa, memberikan gambaran
telur ikan pada kapsul posterior (mutiara Elschnig). Lapisan epitel
berproliferasi tersebut dapat membentuk banyak lapisan dan
menimbulkan kekeruhan yang jelas. Sel-sel ini mungkin juga
mengalami diferensiasi miofibroblastik. Kontraksi serat-serat
tersebut menimbulkan banyak kerutan kecil di kapsulposterior,
yang menimbulkan distorsi penglihatan. Semua faktor ini dapat
menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan setelah ekstraksi
katarak ekstrakapsular.
Katarak ikutan merupakan suatu masalah besar pada
hampir semua pasien pediatrik, kecuali bila kapsul posterior dan
vitreus anterior diangkat pada saat operasi. Dulu, hingga setengah
dari semua pasien dewasa mengalami kekeruhan kapsul posterior
setelah mengalami ekstraksi katarak ekstrakapsular. Namun,
tehnik bedah yang semakin berkembang dan materi lensa
intraokular yang baru mampu mengurangi insiden kekeruhan
kapsul posterior secara nyata.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas,Sidharta. Katarak Lensa Mata Keruh. Glosari Sinopsis. Cetakan Kedua.


Balai Penerbitan FKUI. Jakarta. 2007.
2. Ilyas, Sidharta; Mailangkay; Taim, Hilman; Saman,Raman;
Simarmata,Monang; Widodo,Purbo. Ilmu Penyakit Mata untuk dokter umum
dan mahasiswa kedokteran. Edisi kedua. Sagung Seto. Jakarto. 2002.
3. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata. Edisi keempat. Balai Penerbitan FKUI.
Jakarta. 2009.
4. Vaughan, Daniel; Asbury, Taylor; Riordan-Eva, Paul. Oftalmologi Umum.
Edisi 17. EGC. Jakarta. 2008.
5. Ilyas, Sidharta, dkk. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa
Kedokteran. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia. Penerbit : Sagung
Seto. Jakarta. 2002.

Anda mungkin juga menyukai