Analisis Hukum Terhadap Kasus Sengketa Tanah Proyek Pemukiman TNI
Analisis Hukum Terhadap Kasus Sengketa Tanah Proyek Pemukiman TNI
KASUS POSISI
Sengketa tanah Prokimal (proyek pemukiman TNI AL) meletus tahun 1998. Warga di
sekitar Prokimal sering menggelar unjuk rasa dengan cara memblokade jalur pantura
(pantai utara) untuk menuntut pembebasan lahan yang dianggap miliknya. Di lain pihak,
menurut keterangan TNI AL, lahan yang diinginkan warga itu merupakan milik TNI AL
yang diperoleh dengan pembelian yang sah tahun 1960 seluas 3.569,205 hektare yang
tersebar di dua kecamatan, yakni Nguling dan Lekok, serta di 11 desa, yakni Desa
Sumberanyar, Sumberagung, Semedusari, Wates, Jatirejo, Pasinan, Balunganyar, Brang,
Gejugjati, Tamping, dan Alas Telogo.
Saat itu tanah tersebut dibeli seharga Rp 77,66 juta dan rencananya digunakan untuk
pusat pendidikan dan latihan TNI AL yang terlengkap dan terbesar. Karena belum
memiliki dana, agar tidak telantar, tanah tersebut dijadikan area perkebunan dengan
menempatkan 185 keluarga prajurit.
Kemudian pada 1984 keluar Surat Keputusan KSAL No Skep/675/1984 tanggal 28 Maret
1984 yang menunjuk Puskopal dalam hal ini Yasbhum (Yayasan Sosial Bhumyamca)
untuk memanfaatkan lahan tersebut sebagai lahan perkebunan produktif, dengan
memanfaatkan penduduk setempat sebagai pekerja.
Dari catatan media Surya, dalam setahun terakhir terjadi dua kali pemblokiran jalan
pantura oleh warga, yakni 14 Desember 2006 dan 10 Januari 2007. Selain itu, warga
Desa Alas Telogo, Kecamatan Lekok, memilih menempuh jalur hukum dan menggugat
kepemilikan tanah itu ke Pengadilan Negeri (PN) Bangil, 18 Juli 2006 lalu. Gugatan itu
ditempuh 256 warga, namun mereka dinyatakan kalah oleh PN Bangil dalam sidang 12
Maret lalu. Munculnya keputusan tersebut membuat warga marah hingga berujung
pada bentrokan dengan polisi seusai sidang putusan. Sebelum persidangan itu, yakni
pada 15 Februari, Pangarmatim Laksda Moekhlas Sidik meresmikan Prokimal sebagai
pusat latihan tempur (Puslatpur) dan warga 11 desa yang berjumlah sekitar 5.700
keluarga rencananya direlokasi ke bagian yang aman. “Sesuai pesan Panglima TNI,
2007 ini lahan akan di-set up ulang sebagai pusat latihan tempur untuk meningkatkan
profesionalitas prajurit TNI AL. Untuk relokasi warga, karena ada niatan baik dari kami,
tidak akan terjadi masalah seperti saya utarakan di hadapan warga,” kata Laksda
Moekhlas Sidik saat meresmikan Prokimal sebagai Puslatpur.
Janji untuk merelokasi warga kemudian diwujudkan, dan 360 hektare tanah diberikan
kepada warga di 11 desa yang ditempatkan di luar sabuk batas tempat latihan tempur.
“Sesuai Keputusan KSAL, lahan Prokimal dijadikan pusat latihan tempur dan 5.702
rumah direlokasi di luar garis latihan. Setiap rumah diberi tanah 500 meter persegi
sekaligus bentuk pelepasan dari inventarisasi kekayaan negara (IKN) AL. Untuk biaya
relokasi, TNI AL dan Bupati akan mengusulkan kepada pimpinan masing-masing,”
tandas Moekhlas Sidik didampingi Bupati Pasuruan Jusbakir Aldjufri kepada wartawan
seusai bertemu dengan 11 kepala desa mewakili warga di lahan Prokimal Grati, 22
Maret lalu.
Selain itu, TNI AL juga memberikan tambahan lahan sebesar 20 persen untuk
pemenuhan fasilitas umum. Dengan adanya keputusan ini, diharapkan masyarakat tidak
resah karena jaminan keamanan tidak terkena peluru nyasar serta adanya keputusan
hukum atas tanah yang dimilikinya.
Upaya relokasi warga 11 desa ini disambut positif Pemkab Pasuruan, bahkan Pemkab
mengusulkan anggaran untuk relokasi itu ke pemerintah pusat ditambah dengan
anggaran dari APBD Kabupaten Pasuruan.
Meski TNI AL memberikan tanah seluas 360 hektare kepada warga 11 desa, namun
para kepala desa saat itu tidak berani menerimanya dan hanya akan menyampaikan
lebih dulu kepada warga. Alasannya, lahan 500 meter persegi dianggap kurang untuk
memenuhi kebutuhan warga.
Di tengah upaya penyelesaian sengketa kasus tanah dengan jalan damai itulah, tiba-
tiba terjadi insiden antara Marinir dengan warga Rabu (30/5), yang menyebabkan
empat warga tewas dan enam lainnya luka-luka.
Sengketa masalah tanah antara warga dengan TNI di Kabupaten Pasuruan bukan
hanya terjadi di lahan Prokimal, Grati. Di Raci, Kecamatan Bangil, juga terjadi kasus
sengketa tanah serupa antara warga dengan TNI Angkatan Udara (AU). Namun dalam
kasus Raci ini, pihak TNI AU telah memberikan lampu hijau untuk pengelolaan lahan
dengan porsi 60:40 untuk TNI AU dan warga Desa Raci.
Masalah tersebut bukan sekadar insiden, tapi (lagi-lagi) tragedi. Celakanya, tragedi
semacam ini bukan hanya sekali-dua, tapi berulang-ulang seakan tak ada bosannya.
Tragedi ini pun semakin menambah panjang daftar korban dari berbagai kasus yang
bersumberkan sengketa tanah (agraria) di Indonesia.
Pihak-pihak yang bersengketa pun sebagian besar kalaupun tidak bisa disebut, hampir
seluruhnya bukan hanya individual, namun melibatkan tataran komunal. Keterlibatan
secara komunal inilah yang memungkinkan sengketa tanah merebak menjadi kerusuhan
massal yang menelan banyak korban. Tatkala kerusuhan meledak, rakyat lah yang
kerap menanggung akibat yang paling berat.
Pada konteks kasus-kasus sengketa tanah ini, kiranya bukan sekadar desas-desus jika
ada cerita, negara justru kerap bersekongkol dengan para pemilik modal. Rakyat cukup
diberi ilusi semua demi negeri ini, demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang
gemah ripah loh jinawi repeh rapih toto tengtrem kerto raharjo. Mereka yang menolak
ilusi tersebut, gampang saja solusinya tinggal memberinya shock therapy dengan teror,
intimidasi, dan tindakan refresi.
Cerita semacam ini kiranya bukan hanya tersimpan sebagai milik Rezim Orde Baru. Di
alam keindonesiaan kita hari ini yang konon tengah menyuarakan reformasi, berbagai
bentuk intimidasi dan kekerasan oleh (aparat) negara terhadap masyarakat masih kerap
terjadi dalam konteks sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada umumnya.
Sebut saja, kasus penggusuran Masyarakat Adat Meler-Kuwus, Manggarai, NTT yang
dituduh telah melakukan “perampasan tanah negara” pada tahun 2002 atau kasus
penangkapan dan intimidasi terhadap delapan anggota Serikat Petani Pasundan di
Garut yang dituduh sebagai perambah dan perusak hutan pada awal Maret 2006.
Padahal, Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam telah mengamatkan bahwa “menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia” adalah salah satu prinsip yang wajib ditegakkan oleh (aparat) negara dalam
penanganan sengketa agraria. Dengan merujuk pada Tap MPR ini saja, cara-cara yang
ditempuh oleh (aparat) negara itu tentu saja menjadi tindakan yang tragis-ironis. Sekali
lagi hal itu pun bisa menunjukkan, betapa bobroknya implementasi hukum kita, dan
betapa masyarakat yang semestinya dilindungi selalu berada dalam posisi tidak berdaya,
selalu dipersalahkan, dan menjadi korban. Malangnya, hampir dalam setiap kasus
sengketa tanah, posisi masyarakat selalu lemah atau dilemahkan. Masyarakat sering
tidak memiliki dokumen-dokumen legal yang bisa membuktikan kepemilikan tanahnya.
Mereka bisanya hanya bersandar pada “kepemilikan historis” dimana tanah yang
mereka miliki telah ditempati dan digarap secara turun-temurun.
Dari hal tersebut setidaknya ada 3 (tiga) faktor penyebab sering munculnya masalah
sengketa tanah, diantaranya yaitu :
a) Sistem administrasi pertanahan, terutama dalam hal sertifikasi tanah, yang tidak
beres. Masalah ini muncul boleh jadi karena sistem administrasi yang lemah dan
mungkin pula karena banyaknya oknum yang pandai memainkan celah-celah hukum
yang lemah.
Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan
Keppres No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, pada
dasarnya memberi kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah untuk
menuntaskan masalah-masalah agraria. Adalah sudah selayaknya terlepas dari berbagai
kekurangan yang tersimpan di dalam instrumen-instrumen hukum itu jika kewenangan
tersebut dimplementasikan, dengan prinsip-prinsip yang tidak melawan hukum itu
sendiri tentunya.
Sementara itu, gagasan untuk membentuk kelembagaan dan mekanisme khusus untuk
menyelesaikan sengketa tanah semacam Komisi Nasional Penyelesaian Sengketa
Agraria dan juga pembentukan lembaga sejenis di daerah sebagaimana yang pernah
diusulkan oleh berbagai kalangan, kiranya menjadi relevan pula untuk semakin
didesakkan, terlebih jika pemerintah memang benar-benar berkehendak untuk
menjalankan reforma agraria dan menangani permasalahan agraria secara serius.
Belajar dari tragedi Pasuruan, jika Badan Pertanahan Nasional mencatat ada 2.810
kasus sengketa tanah yang berskala nasional, maka boleh dibayangkan bagaimana
hebatnya bom waktu yang akan meledak jika kasus-kasus tersebut tidak segera
mendapatkan penanganan dan penyelesaian yang layak dan yang berpihak pada
kepentingan rakyat.
Kesimpulan
Sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada umumnya sepertinya merupakan
konflik laten dan pihak-pihak yang bersengketa pun sebagian besar kalaupun tidak bisa
disebut, hampir seluruhnya bukan hanya individual, namun melibatkan tataran komunal
maka boleh dibayangkan bagaimana hebatnya bom waktu yang akan meledak jika
kasus-kasus sengketa tanah tersebut tidak segera mendapatkan penanganan dan
penyelesaian yang layak dan yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Ada 3 (tiga) faktor penyebab sering munculnya masalah sengketa tanah, diantaranya
yaitu sistem administrasi pertanahan terutama dalam hal sertifikasi tanah yang tidak
beres, distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata dan legalitas kepemilikan tanah
yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat) tanpa memperhatikan
produktivitas tanah.
Rekomendasi