TUBERKULOSIS
Dokter Pembimbing :
Dr. Hendra Samanta, Sp.S
Disusun Oleh :
Dewi Arista (112016294)
1. Dura Mater
Dura mater disebut juga sebagai pachymeninx yang berarti membran yang kuat. Dura
mater terdiri dari 2 lapisan penyambung fibrosa yang kuat. Lapisan luar duramater kranial
adalah periosteum di dalam tengkorak. Lapisan dalam adalah lapisan meningeal yang
sesungguhnya, membentuk batas luar ruang subdural yang sangat sempit. Kedua lapisan dural
ini terpisah satu sama lain di sinus-sinus dural. Di antara sinus sagitalis superior dan sinus
sagitalis inferior, lipatan ganda lapisan dura yang dalam membentuk falx cerebri yang terletak
di bidang midsagital di antara kedua hemisfer cerebri; falx cerebri bergabung dengan tentorium
yang memisahkan serebelum dari serebrum. Struktur lain yang dibentuk oleh lapisan ganda
dura mater bagian dalam adalah falx cerebelli yang memisahkan kedua hemisfer cerebelli,
diaphragma sellae dan dinding rongga Meckel yang mengandung ganglion gasserian
(trigeminal).2
2. Arakhnoid
Arakhnoid otak dan medula spinalis merupakan membrane avaskuler yang tipis dan
rapuh yang berhubungan erat dengan permukaan dalam duramater. Ruang antara arachnoid dan
piamater (ruang subarachnoid) mengandung LCS. Arakhnoid dan piamater dihubungkan satu
sama lain melewati rongga ini oleh benang-benang tipis jaringan ikat. Piamater melekat dengan
permukaan otak beserta lipatan-lipatannya, sehingga ruang subarachnoid lebih sempit pada
beberapa tempat dan lebih luas pada area lainya. Pembesaran ruang arachnoid disebut sisterna.
Ruang subarachnoid kranial dan spinal berhubungan satu sama lain melalui foramen magnum.
Sebagian besar cabang arteri yang memperdarahi otak dan sebagian besar saraf kranial,
berjalan di ruang subarachnoid.2
3. Piamater
Piamater terdiri dari lapisan tipis sel-sel mesodermal yang menyerupai endothelium.
Tidak seperti arachnoid, struktur ini tidak hanya meliputo seluruh permukaan eksternal otak
dan medulla spinalis yang terlihat tetapi juga permukaan yang tidak terlihat di sulkus yang
dalam. Piamater melekat pada SSP di bawahnya melalui membran ectodermal yang terdiri dari
astrosit marginal. Pembuluh darah yang memasuko atau meninggalkan otak dan medulla
spinalis melalui ruang subaraknoid dikelilingi oleh selubung seperti terowongan-terowongan
piamater. Ruang antara pembuluh darah dan piamater di sekitarnya disebut ruang Virchow-
Robin. Saraf sensorik pia mater, tidak seperti pada dura mater, tidak berespons terhadap
stimulus mekanis atau termal, tetapi saraf ini diduga berespons terhadap regangan vaskular dan
perubahan pada tonus dinding pembuluh darah.2
Sistem Ventrikuler
Sistem ventrikuler terdiri atas beberapa rongga dalam otak yang berhubungan satu sama
lain. Ke dalam rongga-rongga itulah pleksus koroid menyalurkan cairan serebro-spinal.
Pleksus koroid dibentuk jaringan pembuluh kapiler yang sangat halus dan tertutupi bagian pia
mater yang membelok ke dalam ventrikel dan menyalurkan cairan serebro-spinal. Kedua
ventrikel lateral, masing-masing berada satu pada tiap hemisfer otak, bersambung dengan
ventrikel yang ketiga.3
Gambar 3. Sirkulasi Cairan LCS 2
Resorpsi2
LCS diresorpsi (yaitu dikeluarkan dari ruang subarachnoid) di intrakranial dan di
sepanjang medula spinalis. Sebagian LCS meninggalkan ruang subarakhnoid dan memasuki
aliran darah melalui banyak vili granulasio araknoidal yang terletak di sinus sagitalis superior
dan pada vena diploika kranium. Sisanya diresorpsi di selubung perineural saraf kranial dan
saraf spinal, ketika saraf tersebut masing-masing keluar dari batang otak dan medula spinalis,
dan melewati ependima dan kapiler leptomeninges. Dengan demikian, LCS secara konstan
dihasilkan di pleksus koroideus ventrikel dan diresorpsi lagi dari ruang subaraknoid di berbagai
lokasi.2
Pemeriksaan Penunjang 7
Diagnosis ditegakkan dengan analisis cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel, glukosa, protein,
pewarnaan dan kultur tes serologis, PCR (Polymerase Chain Reactions), dan pemeriksaan
pencitraan seperti CT scan dan MRI. Pemeriksaan laboratorium leukosit dan hitung jenis.
Selanjutnya analisis cairan serebrospinalis untuk mengukur tekanan liquor cerebro spinalis
(LCS), warna dan kekentalan, tes kualitatif protein berupa none/pandy, hitung sel atau hitung
jenis, kadar glukosa, dan pemeriksaan kuantitatif protein.7
Pada pemeriksaan liquor cerebro spinalis (LCS) pasien dengan infeksi virus tidak
ditemukan adanya perubahan berarti dalam jumlah sel, kadar protein dan glukosa. Pada infeksi
bakteri dan jamur atau parasit lain didapatkan peningkatan yang lebih jelas pada jumlah sel,
kadar protein, dan penurunan glukosa. Punksi lumbal tidak boleh dilakukan jika didapatkan
tanda adanya lesi massa intrakranial atau edema papil. Jika dicurigai adanya massa intrakranial
atau hidrosefalus maka perlu dilakukan pencitraan sebelum dilakukan analisis LCS.
Pemeriksaan foto polos dapat melihat fokus infeksi secara tidak langsung, foto toraks harus
dilakukan untuk melihat adanya infeksi paru-paru. Rontgen polos kepala dapat melihat
mastoiditis, infeksi sinus paranasal, infeksi periodontal, dan kecurigaan infeksi sistiserkosis
dapat didapatkan kista terkalsifikasi di otot.7
Pewarnaan LCS dan kultur yang terbaik jika jumlah LCS tidak kurang dari 10 cc,
kemudian disetrifugasi pada kecepatan 2500 rpm selama 5 menit, dan dilakukan pewarnaan
dan kultur dari sedimen. Pewarnaan untuk bakteri dengan gram, untuk kuman tuberkulosis
dengan Zn, untuk kriptokokus adalah dengan tinta india, dan kultur dilakukan dengan
menggunakan media yang sesuai. Selain itu dapat pula dilakukan kultur jaringan, tes serologi
untuk virus.7
Pencitraan berupa CT scan harus dilakukan dengan kontras. Gambarannya pada abses
otak adalah ring enhancement (penyangatan) yang hiperintens. Gambaran lesi massa
intrakranial dapat disebabkan oleh toksoplasmosis, infeksi jamur, dan sistiserkosis. Pada
meningitis tuberkulosis didapatkan penyangatan di ruang subaraknoid. Pada pencitraan infeksi
susunan saraf pusat dapat ditemukan lesi massa intrakranial, infark otak akibat vaskulitis, atau
perdarahan akibat kerusakan pembuluh darah, gambaran LCS yang hiperintens pada meningitis
TBC, hidrosefalus akibat blok LCS, dan edema otak seperti pada ensefalitis herpes.7
MRI memiliki beberapa keuntungan, yaitu lebih sensitif untuk beberapa lesi dan dapat
mendeteksi abnormalitas pada fase awal dibandingkan CT scan. Namun MRI juga memiliki
beberapa kekurangan, yaitu lebih lama saat pemeriksaan sehingga untuk pasien-pasien yang
mengalami delirium sulit dilakukan.7
Meningitis
Meningitis Bakterial
Meningitis bakterialis adalah infeksi purulent akut dalam ruang subaraknoid.
Meningitis bakterialis sering disertai perandangan parenkim otak, atau disebut juga
meningoensefalitis. Prevalensi meningitis bakterialis sebesar > 2,5 kasus per 100.000 populasi
di Amerika Serikat; S. pneumonia merupakan penyebab utama (50%) diikuti oleh N.
meningitidis (25%), Streptococcus group B (15%) dan Listeria monocytogenes (10%).8
Etiologi
Bakteri penyebab meningitis bacterial tersering menurut usia, pada tabel di bawah ini.
Bakteri Patogen < 3 bln 3 bln - <18 thn 18-50 th > 50 th
Streptococcus grup B +
E. coli +
Listeria monocytogenes + +
N. meningitides + +
S. pneumonia + + +
H. influenza +
Tabel 2. Bakteri penyebab meningitis bacterial tersering menurut usia 8
Patogenesis
Bakteri dapat mencapai struktur intracranial melalui beberapa cara, antara lain secara
aami karena penyebaran hematogen dan infeksi di nasofaring atau perluasan infeksi dari
struktur intracranial misalnya sinusitis atau infeksi telinga tengah. Infeksi bakteri pada SSP
juga dapat terjadi karena trauma kepala yang merobek duramater atau karena tindakan bedah
saraf. 5
Meningitis bakterialis bermula dengan kolonialisasi bakteri di nasofaring. Bakteri
menghasilkan immunoglobulin A proteus yang bisa merusak barrier mukosa dan
memungkinkan bakteri menempel pada epitel nasofaring. Setelah berhasil menempel pada
epitel bakteri akan menyelinap melalui celah antar sel dan masuk ke aliran darah.5
Bakteri yang biasa menyebabkan meningitis mempunyai kapsul polisakarida yang
berisfat antifagosit dan anti komplemen sehiingga bisa lepas dari mekanisme pertahanan seluler
yang umumnya menghadang struktur asing masuk ke dalam aliran darah. Bakteri kemudian
akan mencapai kapiler SSP dan masuk ke ruang subarachnoid. Kurangnya pertahanan seluler
membuat bakteri akan mudah bermultiplikasi.5
Kerusakan di dalam jaringan otak terjadi akibat peningkatan reaksi inflamasi yang
disebabkan komponen dinding sel bakteri. Endotoksin dan asam techoic akan menyebabkan
sel-sel endothelial dan sel glia lainya melepaskan sitokin pro inflamasi terutama TNF dan
interleukin alfa dan beta (IL-1).5
Selanjutnya akan terjadi proses yang lebih kompleks dari sitokin yang akan merusak
sawar darah otak. Sawar darah otak yang rusak akan memudahkan masuknya leukosit dan
komplemen ke dalam ruang subarachnoid disertai masuknya albumin. Hal ini akan
menyebabkan edema vasogenik di otak. Leukosit dan mediator pertahanan tubuh lainya akan
menyebabkan perubahan patologis lebih lanjut sehingga terjadi iskemia otak yang akan
memicu edema sitotoksik.5
Proses inflamasi lebih lanjut akan menyebabkan gangguan reabsorpsi LCS di granula
arachnoid yang akan berakibat peningkatan TIK sehingga menimbulkan edema intersisial di
otak. Keadaan edema otak ini akan diperberat dengan dihasilkanya asam arakidonat dan
metabolitnya yang dikeluarkan sel otak yang rusak dan adanya asam lemak yang dilepaskan
dari leukosit polimorfonuklear.5
Manifestasi Klinis5
Gejala klinis yang paling sering dikeluhkan adalah panas badan, nyeri kepala, dan
fotofobia. Pada keadaan lanjut dapat dijumpai keluhan penurunan kesadaran, kejang,
hemiparesis. Selain itu terdapat sakit kepala, kekakuan pada leher, nausea, vomiting, dan tanda-
tanda disfungsi serebral (mis, lethargy, confusion, coma). Terdapat triad meningitis yaitu
demam, kekakuan pada leher, dan penurunan kesadaran. Pada stadium yang lebih lanjut,
dijumpai tanda hidrosefalus seperti nyeri kepala yang berat, muntah-muntah, kejang, dan
papiledema.5
Pemeriksaan Penunjang5
Pungsi lumbal merupakan tindakan medis yang sering dikerjakan untuk menegakkan
diagnosis infeksi SSP. Adanya demam, nyeri kepala, dan penurunan kesadaran merupakan
indikasi melakukan LP. Temuan pada pemeriksaan LCS yang khas adalah:
1. Jumlah sel meningkat, kadang bisa mencapai puluhan ribu
2. Pada hitung jenis biasanya didapatkan predominansi neutrofil, sebagai tanda infeksi
akut.
3. Kadar glukosa LCS rendah, umumnya kurang dari 30% kadar gula darah sewaktu
lumbal pungsi dikerjakan.
4. Pemeriksaan gram dan kultur umumnya dapat menemukan kuman penyebab5
Penatalaksanaan5
Usia Pasien Terapi Antimikroba
Neonatus Ampisilin + Sefotaksim
2 bulan – 18 tahun Seftriakson atau sefotaksim dapat ditambah vankomisin
18-50 tahun Seftriakson dapat ditambah vankomisin
>50 tahun Vankomisin ditambah ampisilin ditambah seftriakson
Tabel 4. Terapi empiris pada meningitis bakterialis5
Dexametason diberikan sebelum atau bersamaan dengan dosis pertama antibiotika.
Dosis yang dianjurkan adalah 0,15mg/KgBB per pemberian orang dewasa setiap 6 jam selama
2-4 hari.
Komplikasi5
Komplikasi yang dapat terjadi:
- Komplikasi segera: edema otak, hidrosefalus, trombosis sinus otak, abses/efusi
subdural, gangguan pendengaran
- Komplikasi jangka panjang: gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada
pasien anak, epilepsi.
Anamnesis8
Awitan gejala akut (<24 jam) disertai trias meningitis: demam, nyeri kepala hebat dan
kaku kuduk. Gejala lain yaitu: mual, muntah, fotofobia, kejang fokal atau umum, gangguan
kesadaran. Mungkin dapat ditemukan riwayat infeksi paru-paru, telinga, sinus atau katup
jantung. Pada bayi dan neonates, gejala bersifat non spesifik seperti iritabilitas, letargi, muntah
dan kejang. Mungkin dapat ditemmukan riwayat infeksi maternal, kelahiran premature,
persalinan lama, dan ketuban pecah dini.8
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran bervariasi mulai irritable, somnolen, delirium atau koma, suhu tubuh lebih
dari samadengan 380C, infeksi ekstrakranial: sinusitis, otitis media, mastoiditis, pneumonia
(port d’entrée), tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, Kernig, Brudzinski I dan II.
Peningkatan tekanan intracranial: penurunan kesadaran, edema papil, reflex cahaya pupil
menurun, kelumpuhan N.VI, postur deserebrasi, dan reflex Chusing (bradikardi, hipertensi dan
respirasi ireguler). Deficit neurologic fokal: hemiparesis, kejang fokal maupun umum, disfasia
atau afasia, paresis saraf kranial terutama N. III, IV, VI, VII, VIII.8
Alur diagnosis pasien meningitis, lihat gambar dibawah.
Terapi Empirik
Dari komunitas, ceftriaxone 2x2 gr IV, pilihan lain meropenem 3x1 gr. Paska VP shunt,
ceftazidim 2x2 plus vankomisin 2x1 gr. Hasil pewarnaan gram sangat berguna untuk
menajamkan pemilihan terapi empirik.9
Diagnosis5
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
neurologi, dan pemeriksaan penunjang. Gambaran klinis meningitis tuberkulosis
memperlihatkan gejala yang bervariasi dan tidak spesifik. Selama 2-8 minggu dapat ditemukan
anoreksia, demam, nyeri kepala yang semakin memburuk, perubahan mental, penurunan
kesadaran, kejang, kelumpuhan saraf kranial (II, III, IV, VI, VII, VIII), hemiparese.
Pemeriksaan funduskopi kadang-kadang memperlihatkan tuberkel pada khoroid, dan
edema pupil menandakan adanya peninggian tekanan intrakranial.
Perjalanan penyakit meningitis tuberkulosis memperlihatkan 3 stadium:
1. Stadium awal
Gejala prodromal non spesifik seperti apatis, iritabiitas, nyeri kepala ringan,
malaise, demam, anoreksia, muntah, nyeri abdomen.
2. Stadium intermediate
Gejala menjadi jelas, ditemukan perubahan mental, tanda iritasi meningen,
kelumpuhan saraf III, IV, VI.
3. Stadium Lanjut
Mengalami penurunan kesadaran menjadi stupor atau koma, kejang, dan dapat
ditemukan hemiparese.
Sadium Meningitis TB 9 :
Grade I : GCS 15, tanpa defisit fokal
Grade II : GCS 11-14/GCS 15 + defisit fokal
Grade III : GCS kurang dari sama dengan 10.
Penatalaksanaan8
Sediaan OAT:
Rifampicin : 10mg/KgBB/hari po
Isoniazid : 5mg/KgBB/hari po
Pirazinamid : 25 mg/KgBB/hari po maks 2g/hari
Ethambutol : 20 mg/KgBB/hari po maks 1,2g/hari
Sterptomisin : 20 mg/KgBB/hari im
1. King NL, Burneo JG. Infections of the nervous system. Neurol An Evidence-Based
Approach. 2012;2(2):82–97.
2. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis topik neurologi duus. Anatomi, fisiologi, tanda,
gejala. Edisi ke-5. Jakarta:EGC;2016.h.324-31.
3. Pearce EC. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta: PT Gramedia;2009.h.338-
40.
4. Japardi I. Cairan Serebrospinal. FK USU. USU Repository. 2002. Di unduh dari:
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi5.pdf). Diakses pada 25
November 2017.
5. Sudewi AAR, Sugianto P, Ritarwan K. Infeksi pada sistem saraf. Surabaya : Pusat
penerbitan dan percetakan Universitas Airlangga, 2011.
6. Roos KL, Tyler KL. Meningitis, encephalitis, brain abscess and empyema. In:
Harrison’s neurology in clinical medicine. 3rd ed. United States: McGraw Hill
Education;2013.p.493-526.
7. Gunawan D. Diagnosis dan penatalaksanaan infeksi susunan saraf pusat. Dalam
Kegawatdaruratan neurologi. Bandung: Bagian/UPF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran. Edisi 1;2009.h.1-6.
8. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana D. Panduan praktis diagnosis dan
tatalaksana penyakit saraf. Jakarta:EGC;2009.h.37-54.
9. Handout Workshop Neuro-Infeksi 1. Persatuan Dokter Spesialis Saraf. Jakarta: 11
Februari 2011.
10. Munir B. Neurologi dasar. Jakarta: Sagung Seto;2015.h.188-202.