Anda di halaman 1dari 21

MENINGITIS BAKTERIAL

TUBERKULOSIS

Dokter Pembimbing :
Dr. Hendra Samanta, Sp.S

Disusun Oleh :
Dewi Arista (112016294)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
RS dr. Esnawan Antariksa Halim Perdana Kusuma
4 Juni 2018 – 21 Juli 2018
Pendahuluan
Infeksi susunan saraf pusat (SSP) merupakan sebuah tantangan yang cukup menantang
bagi petugas medis seperti dokter. Hal ini dikarenakan selain infeksi SSP mempunyai potensi
yang dapat menyebabkan kecacatan dan kematian, pemberian terapi pada infeksi SSP juga
memiliki keberagaman kesulitan. Infeksi SSP seperti meningitis, ensefalitis, dan abses otak
cenderung menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi daripada infeksi yang
melibatkan sistem organ lain. Oleh karena potensi yang menyebabkan konsekuensi yang
merugikan, maka sangat penting bagi dokter untuk berpengalaman dalam menangani kasus dan
memberikan perawatan terhadap pasien yang terkena infeksi SSP.1

Anatomi dan Fisiologi Selaput Otak


Meninges
Otak dan medulla spinalis diselubungi oleh 3 lapisan (meninges) yang berasal dari
mesodermal: duramater yang kuat dan terletak paling luar, diikuti oleh arachnoid dan piamater.
Piamater terletak tepat pada permukaan otak dan medulla spinalis. Di antara duramater dan
arachnoid terdapat ruang subdural; antara arachnoid dan piamater terdapat ruang subarachnoid.
Ruang subarachnoid mengandung LCS.2
Cairan LCS dibentuk di pleksus khoroideus keempat ventrikel serebri (ventrikel lateral
kanan dan kiri, ventrikel ketiga dan ventrikel ke empat). Cairan ini mengalir melalui sistem
ventrikel (ruang LCS internal) dan kemudian masuk ke ruang subarachnoid yang mengelilingi
otak dan medulla spinalis (ruang LCS eksternal). Cairan ini diresorbsi di granulasiones
arakhnoideae sinus sagitalis superior dan di selubung perineural medulla spinalis. Peningkatan
volume cairan LCS (baik di penurunan resorbsi atau karena peningkatan produksi)
bermanifestasi pada peningkatan tekanan LCS dan pembesaran ventrikel (hidrosefalus).2
Gambar 1. Meninges otak (gambaran skematik, tampak koronal)2

Gambar 2. Meninges medulla spinalis (gambaran skematik, penampang transversal)2

1. Dura Mater
Dura mater disebut juga sebagai pachymeninx yang berarti membran yang kuat. Dura
mater terdiri dari 2 lapisan penyambung fibrosa yang kuat. Lapisan luar duramater kranial
adalah periosteum di dalam tengkorak. Lapisan dalam adalah lapisan meningeal yang
sesungguhnya, membentuk batas luar ruang subdural yang sangat sempit. Kedua lapisan dural
ini terpisah satu sama lain di sinus-sinus dural. Di antara sinus sagitalis superior dan sinus
sagitalis inferior, lipatan ganda lapisan dura yang dalam membentuk falx cerebri yang terletak
di bidang midsagital di antara kedua hemisfer cerebri; falx cerebri bergabung dengan tentorium
yang memisahkan serebelum dari serebrum. Struktur lain yang dibentuk oleh lapisan ganda
dura mater bagian dalam adalah falx cerebelli yang memisahkan kedua hemisfer cerebelli,
diaphragma sellae dan dinding rongga Meckel yang mengandung ganglion gasserian
(trigeminal).2

2. Arakhnoid
Arakhnoid otak dan medula spinalis merupakan membrane avaskuler yang tipis dan
rapuh yang berhubungan erat dengan permukaan dalam duramater. Ruang antara arachnoid dan
piamater (ruang subarachnoid) mengandung LCS. Arakhnoid dan piamater dihubungkan satu
sama lain melewati rongga ini oleh benang-benang tipis jaringan ikat. Piamater melekat dengan
permukaan otak beserta lipatan-lipatannya, sehingga ruang subarachnoid lebih sempit pada
beberapa tempat dan lebih luas pada area lainya. Pembesaran ruang arachnoid disebut sisterna.
Ruang subarachnoid kranial dan spinal berhubungan satu sama lain melalui foramen magnum.
Sebagian besar cabang arteri yang memperdarahi otak dan sebagian besar saraf kranial,
berjalan di ruang subarachnoid.2

3. Piamater
Piamater terdiri dari lapisan tipis sel-sel mesodermal yang menyerupai endothelium.
Tidak seperti arachnoid, struktur ini tidak hanya meliputo seluruh permukaan eksternal otak
dan medulla spinalis yang terlihat tetapi juga permukaan yang tidak terlihat di sulkus yang
dalam. Piamater melekat pada SSP di bawahnya melalui membran ectodermal yang terdiri dari
astrosit marginal. Pembuluh darah yang memasuko atau meninggalkan otak dan medulla
spinalis melalui ruang subaraknoid dikelilingi oleh selubung seperti terowongan-terowongan
piamater. Ruang antara pembuluh darah dan piamater di sekitarnya disebut ruang Virchow-
Robin. Saraf sensorik pia mater, tidak seperti pada dura mater, tidak berespons terhadap
stimulus mekanis atau termal, tetapi saraf ini diduga berespons terhadap regangan vaskular dan
perubahan pada tonus dinding pembuluh darah.2

Sistem Ventrikuler
Sistem ventrikuler terdiri atas beberapa rongga dalam otak yang berhubungan satu sama
lain. Ke dalam rongga-rongga itulah pleksus koroid menyalurkan cairan serebro-spinal.
Pleksus koroid dibentuk jaringan pembuluh kapiler yang sangat halus dan tertutupi bagian pia
mater yang membelok ke dalam ventrikel dan menyalurkan cairan serebro-spinal. Kedua
ventrikel lateral, masing-masing berada satu pada tiap hemisfer otak, bersambung dengan
ventrikel yang ketiga.3
Gambar 3. Sirkulasi Cairan LCS 2

Cairan Serebro Spinal (CSS)/LCS


Cairan serebrospinal yang normal berwarna jernih, mengandung hanya beberapa sel
(hingga 4/ul) dan relatif mengandung sedikit protein. Komposisinya juga berbeda dari darah
pada aspek lainya. Cairan LCS bukan merupakan ultrafiltrat darah, melainkan secara aktif
disekresi pleksus khoroideus, terutama di dalam ventrikel lateral. Darah di dalam pleksus
khoroideus dipisahkan dari ruang subarakhnoid melalui sawar-darah-LCS yang mengandung
endotelium vaskular, membrana basalis dan epitelium pleksus. Sawar ini permeabel terhadapt
air, oksigen dan karbondioksida tetapi relatif tidak permeabel terhadapa elektrolit dan benar-
benar tidak permeabel terhadap sel. Volume LCS yang bersirkulasi umumnya antara 130-
150ml. Setiap 24 jam dihasilkan 400-500ml LCS sehingga seluruh volume LCS diganti 3 atau
4 kali sehari Tekanan LCS pada posisi supinasi normalnya antara 70-120mmH2O. Proses
infeksi atau neoplastic yang mengenai LCS mengubah komposisi LCS secara khas (lihat pada
tabel 1).2
Tabel 1. Temuan LCS pada penyakit Susunan Saraf Pusat2

Sirkulasi Cerebrospinal Fluid


Cairan serebrospinal diproduksi oleh pleksus khoroideus ventrikel lateral, ventrikel III,
ventrikel IV. Cairan ini mengalir melalui foramina Luschka dan foramen Magendie ke dalam
ruang subarachnoid, bersirkulasi di otak, dan mengalir ke bawah ke ruang subarakhnoid spinal
melingkupi medula spinalis. Sebagian LCS diresorpsi setinggi level spinal. Komposisi LCS
dimanapun adalah sama, tidak lebih encer ataupun lebih konsentrat pada masing-masing ujung
jalurnya.2

Resorpsi2
LCS diresorpsi (yaitu dikeluarkan dari ruang subarachnoid) di intrakranial dan di
sepanjang medula spinalis. Sebagian LCS meninggalkan ruang subarakhnoid dan memasuki
aliran darah melalui banyak vili granulasio araknoidal yang terletak di sinus sagitalis superior
dan pada vena diploika kranium. Sisanya diresorpsi di selubung perineural saraf kranial dan
saraf spinal, ketika saraf tersebut masing-masing keluar dari batang otak dan medula spinalis,
dan melewati ependima dan kapiler leptomeninges. Dengan demikian, LCS secara konstan
dihasilkan di pleksus koroideus ventrikel dan diresorpsi lagi dari ruang subaraknoid di berbagai
lokasi.2

Pengambilan Cairan serebrospinal


Lumbal Punksi4
Pengambilan cairan serebrospinal dapat dilakukan dengan cara Lumbal Punksi,
Sisternal Punksi atau Lateral Cervical Punksi. Lumbal Punksi merupakan prosedur neuro
diagnostik yang paling sering dilakukan, sedangkan sisternal punksi dan lateral hanya
dilakukan oleh orang yang benar-benar ahli. Indikasi Lumbal Punksi:4
1. Untuk mengetahui tekanan dan mengambil sampel untuk pemeriksan sel, kimia dan
bakteriologi
2. Untuk membantu pengobatan melalui spinal, pemberian antibiotika, antitumor dan
spinal anastesi
3. Untuk membantu diagnosa dengan penyuntikan udara pada pneumoencephalografi, dan
zat kontras pada myelografi

Kontra Indikasi Lumbal Punksi4,5


• Peningkatan tekanan intrakranial dengan tanda-tanda nyeri kepala, muntah dan papil
edema dan adanya herniasi.
• Penyakit kardio pulmonal yang berat
• Ada infeksi lokal pada tempat Lumbal Punksi4
• Trombosit < 50.000 pada pemeriksaan darah tepi
• Adanya syok akibat berbagai sebab
• Koagulopati; riwayat penggunaan antikoagulan atau adanya tanda DIC5

Teknik Lumbal Punksi: 4


1. Pasien diletakkan pada pinggir tempat tidur, dalam posisi lateral decubitus dengan
leher, punggung, pinggul dan tumit lemas. Boleh diberikan bantal tipis dibawah kepala
atau lutut.
2. Tempat melakukan pungsi adalah pada kolumna vetebralis setinggi L 3-4, yaitu setinggi
crista iliaca. Bila tidak berhasil dapat dicoba lagi intervertebrale ke atas atau ke bawah.
Pada bayi dan anak setinggi intervertebrale L4-5
3. Bersihkan dengan yodium dan alcohol daerah yang akan dipungsi
4. Dapat diberikan anasthesi lokal lidocain HCL
5. Gunakan sarung tangan steril dan lakukan punksi, masukkan jarum tegak lurus dengan
ujung jarum yang mirip menghadap ke atas. Bila telah dirasakan menembus jaringan
meningen penusukan dihentikan, kemudian jarum diputar dengan bagian pinggir yang
miring menghadap ke kepala.
6. Dilakukan pemeriksaan tekanan dengan manometer dan test Queckenstedt bila
diperlukan. Kemudian ambil sampel untuk pemeriksaan jumlah danjenis sel, kadar
gula, protein, kultur baktri dan sebagainya.
Pada umumnya tindakan LP aman untuk dilakukan. Risiko kematian akibat herniasi
otak setelah dilakukan tindakan LP dapat diminimalisir dengan melakukan pemeriksaan CT-
Scan terlebih dahulu pada keadaan-keadaan sebagai berikut:5

1. papil edema yang nyata


2. penurunan kesadaran yang dalam atau memburuk dengan cepat
3. didapatkannya defisit neurologis fokal, termasuk adanya kejang parsial
4. kecurigaan lesi desak ruang intracranial.

Infeksi Susunan Saraf Pusat


Diagnosis yang terlambat dan penatalaksanaan yang tidak sesuai akan berakhir dengan
kematian atau disabilitas yang serius. Diagnosis yang ditegakkan sedini mungkin juga terapi
yang cepat dan tepat dapat membantu mengurangi angka kematian. Tegaknya diagnosa dini
agar lebih cepat dan lebih. Untuk dapat menegakkan diagnosa yang diperlukan pemeriksaan
klinis yang baik. Pemeriksaan laboratorium yang penting adalah adalah rontgen thoraks, CT
scan dan Magnetic Resonance lmaging (MRI).6
Etiologi Infeksi Susunan Saraf Pusat
Pada kasus kecurigaan ke arah infeksi saraf pusat, kita harus membedakan antara
bakteri spesifik, atau non-spesifik, atau infeksi parasit atau toksoplasma, infeksi jamur seperti
kriptokokus atau aspergilus, dan infeksi virus berupa Japanese ensefalitis, HIV atau Herpes
zoster, dan infeksi prion.7
Infeksi SSP yang saat ini menjadi perhatian adalah infeksi tuberkulosis. HIV/AIDS,
AIDS terkait infeksi oportunistik seperti toksoplasmosis dan kriptokokus, sistiserkosis di
daerah endemis, malaria, tifoid, dan beberapa penyakit baru seperti nipah, SARS, flu burung
dan flu babi (swine influenza).7

Pemeriksaan Penunjang 7
Diagnosis ditegakkan dengan analisis cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel, glukosa, protein,
pewarnaan dan kultur tes serologis, PCR (Polymerase Chain Reactions), dan pemeriksaan
pencitraan seperti CT scan dan MRI. Pemeriksaan laboratorium leukosit dan hitung jenis.
Selanjutnya analisis cairan serebrospinalis untuk mengukur tekanan liquor cerebro spinalis
(LCS), warna dan kekentalan, tes kualitatif protein berupa none/pandy, hitung sel atau hitung
jenis, kadar glukosa, dan pemeriksaan kuantitatif protein.7
Pada pemeriksaan liquor cerebro spinalis (LCS) pasien dengan infeksi virus tidak
ditemukan adanya perubahan berarti dalam jumlah sel, kadar protein dan glukosa. Pada infeksi
bakteri dan jamur atau parasit lain didapatkan peningkatan yang lebih jelas pada jumlah sel,
kadar protein, dan penurunan glukosa. Punksi lumbal tidak boleh dilakukan jika didapatkan
tanda adanya lesi massa intrakranial atau edema papil. Jika dicurigai adanya massa intrakranial
atau hidrosefalus maka perlu dilakukan pencitraan sebelum dilakukan analisis LCS.
Pemeriksaan foto polos dapat melihat fokus infeksi secara tidak langsung, foto toraks harus
dilakukan untuk melihat adanya infeksi paru-paru. Rontgen polos kepala dapat melihat
mastoiditis, infeksi sinus paranasal, infeksi periodontal, dan kecurigaan infeksi sistiserkosis
dapat didapatkan kista terkalsifikasi di otot.7
Pewarnaan LCS dan kultur yang terbaik jika jumlah LCS tidak kurang dari 10 cc,
kemudian disetrifugasi pada kecepatan 2500 rpm selama 5 menit, dan dilakukan pewarnaan
dan kultur dari sedimen. Pewarnaan untuk bakteri dengan gram, untuk kuman tuberkulosis
dengan Zn, untuk kriptokokus adalah dengan tinta india, dan kultur dilakukan dengan
menggunakan media yang sesuai. Selain itu dapat pula dilakukan kultur jaringan, tes serologi
untuk virus.7
Pencitraan berupa CT scan harus dilakukan dengan kontras. Gambarannya pada abses
otak adalah ring enhancement (penyangatan) yang hiperintens. Gambaran lesi massa
intrakranial dapat disebabkan oleh toksoplasmosis, infeksi jamur, dan sistiserkosis. Pada
meningitis tuberkulosis didapatkan penyangatan di ruang subaraknoid. Pada pencitraan infeksi
susunan saraf pusat dapat ditemukan lesi massa intrakranial, infark otak akibat vaskulitis, atau
perdarahan akibat kerusakan pembuluh darah, gambaran LCS yang hiperintens pada meningitis
TBC, hidrosefalus akibat blok LCS, dan edema otak seperti pada ensefalitis herpes.7
MRI memiliki beberapa keuntungan, yaitu lebih sensitif untuk beberapa lesi dan dapat
mendeteksi abnormalitas pada fase awal dibandingkan CT scan. Namun MRI juga memiliki
beberapa kekurangan, yaitu lebih lama saat pemeriksaan sehingga untuk pasien-pasien yang
mengalami delirium sulit dilakukan.7

Meningitis
Meningitis Bakterial
Meningitis bakterialis adalah infeksi purulent akut dalam ruang subaraknoid.
Meningitis bakterialis sering disertai perandangan parenkim otak, atau disebut juga
meningoensefalitis. Prevalensi meningitis bakterialis sebesar > 2,5 kasus per 100.000 populasi
di Amerika Serikat; S. pneumonia merupakan penyebab utama (50%) diikuti oleh N.
meningitidis (25%), Streptococcus group B (15%) dan Listeria monocytogenes (10%).8

Etiologi
Bakteri penyebab meningitis bacterial tersering menurut usia, pada tabel di bawah ini.
Bakteri Patogen < 3 bln 3 bln - <18 thn 18-50 th > 50 th
Streptococcus grup B +
E. coli +
Listeria monocytogenes + +
N. meningitides + +
S. pneumonia + + +
H. influenza +
Tabel 2. Bakteri penyebab meningitis bacterial tersering menurut usia 8

Patogenesis
Bakteri dapat mencapai struktur intracranial melalui beberapa cara, antara lain secara
aami karena penyebaran hematogen dan infeksi di nasofaring atau perluasan infeksi dari
struktur intracranial misalnya sinusitis atau infeksi telinga tengah. Infeksi bakteri pada SSP
juga dapat terjadi karena trauma kepala yang merobek duramater atau karena tindakan bedah
saraf. 5
Meningitis bakterialis bermula dengan kolonialisasi bakteri di nasofaring. Bakteri
menghasilkan immunoglobulin A proteus yang bisa merusak barrier mukosa dan
memungkinkan bakteri menempel pada epitel nasofaring. Setelah berhasil menempel pada
epitel bakteri akan menyelinap melalui celah antar sel dan masuk ke aliran darah.5
Bakteri yang biasa menyebabkan meningitis mempunyai kapsul polisakarida yang
berisfat antifagosit dan anti komplemen sehiingga bisa lepas dari mekanisme pertahanan seluler
yang umumnya menghadang struktur asing masuk ke dalam aliran darah. Bakteri kemudian
akan mencapai kapiler SSP dan masuk ke ruang subarachnoid. Kurangnya pertahanan seluler
membuat bakteri akan mudah bermultiplikasi.5
Kerusakan di dalam jaringan otak terjadi akibat peningkatan reaksi inflamasi yang
disebabkan komponen dinding sel bakteri. Endotoksin dan asam techoic akan menyebabkan
sel-sel endothelial dan sel glia lainya melepaskan sitokin pro inflamasi terutama TNF dan
interleukin alfa dan beta (IL-1).5
Selanjutnya akan terjadi proses yang lebih kompleks dari sitokin yang akan merusak
sawar darah otak. Sawar darah otak yang rusak akan memudahkan masuknya leukosit dan
komplemen ke dalam ruang subarachnoid disertai masuknya albumin. Hal ini akan
menyebabkan edema vasogenik di otak. Leukosit dan mediator pertahanan tubuh lainya akan
menyebabkan perubahan patologis lebih lanjut sehingga terjadi iskemia otak yang akan
memicu edema sitotoksik.5
Proses inflamasi lebih lanjut akan menyebabkan gangguan reabsorpsi LCS di granula
arachnoid yang akan berakibat peningkatan TIK sehingga menimbulkan edema intersisial di
otak. Keadaan edema otak ini akan diperberat dengan dihasilkanya asam arakidonat dan
metabolitnya yang dikeluarkan sel otak yang rusak dan adanya asam lemak yang dilepaskan
dari leukosit polimorfonuklear.5

Manifestasi Klinis5
Gejala klinis yang paling sering dikeluhkan adalah panas badan, nyeri kepala, dan
fotofobia. Pada keadaan lanjut dapat dijumpai keluhan penurunan kesadaran, kejang,
hemiparesis. Selain itu terdapat sakit kepala, kekakuan pada leher, nausea, vomiting, dan tanda-
tanda disfungsi serebral (mis, lethargy, confusion, coma). Terdapat triad meningitis yaitu
demam, kekakuan pada leher, dan penurunan kesadaran. Pada stadium yang lebih lanjut,
dijumpai tanda hidrosefalus seperti nyeri kepala yang berat, muntah-muntah, kejang, dan
papiledema.5

Pemeriksaan Penunjang5
Pungsi lumbal merupakan tindakan medis yang sering dikerjakan untuk menegakkan
diagnosis infeksi SSP. Adanya demam, nyeri kepala, dan penurunan kesadaran merupakan
indikasi melakukan LP. Temuan pada pemeriksaan LCS yang khas adalah:
1. Jumlah sel meningkat, kadang bisa mencapai puluhan ribu
2. Pada hitung jenis biasanya didapatkan predominansi neutrofil, sebagai tanda infeksi
akut.
3. Kadar glukosa LCS rendah, umumnya kurang dari 30% kadar gula darah sewaktu
lumbal pungsi dikerjakan.
4. Pemeriksaan gram dan kultur umumnya dapat menemukan kuman penyebab5

Penatalaksanaan5
Usia Pasien Terapi Antimikroba
Neonatus Ampisilin + Sefotaksim
2 bulan – 18 tahun Seftriakson atau sefotaksim dapat ditambah vankomisin
18-50 tahun Seftriakson dapat ditambah vankomisin
>50 tahun Vankomisin ditambah ampisilin ditambah seftriakson
Tabel 4. Terapi empiris pada meningitis bakterialis5
Dexametason diberikan sebelum atau bersamaan dengan dosis pertama antibiotika.
Dosis yang dianjurkan adalah 0,15mg/KgBB per pemberian orang dewasa setiap 6 jam selama
2-4 hari.

Komplikasi5
Komplikasi yang dapat terjadi:
- Komplikasi segera: edema otak, hidrosefalus, trombosis sinus otak, abses/efusi
subdural, gangguan pendengaran
- Komplikasi jangka panjang: gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada
pasien anak, epilepsi.
Anamnesis8
Awitan gejala akut (<24 jam) disertai trias meningitis: demam, nyeri kepala hebat dan
kaku kuduk. Gejala lain yaitu: mual, muntah, fotofobia, kejang fokal atau umum, gangguan
kesadaran. Mungkin dapat ditemukan riwayat infeksi paru-paru, telinga, sinus atau katup
jantung. Pada bayi dan neonates, gejala bersifat non spesifik seperti iritabilitas, letargi, muntah
dan kejang. Mungkin dapat ditemmukan riwayat infeksi maternal, kelahiran premature,
persalinan lama, dan ketuban pecah dini.8

Pemeriksaan Fisik
Kesadaran bervariasi mulai irritable, somnolen, delirium atau koma, suhu tubuh lebih
dari samadengan 380C, infeksi ekstrakranial: sinusitis, otitis media, mastoiditis, pneumonia
(port d’entrée), tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, Kernig, Brudzinski I dan II.
Peningkatan tekanan intracranial: penurunan kesadaran, edema papil, reflex cahaya pupil
menurun, kelumpuhan N.VI, postur deserebrasi, dan reflex Chusing (bradikardi, hipertensi dan
respirasi ireguler). Deficit neurologic fokal: hemiparesis, kejang fokal maupun umum, disfasia
atau afasia, paresis saraf kranial terutama N. III, IV, VI, VII, VIII.8
Alur diagnosis pasien meningitis, lihat gambar dibawah.

Gambar 4. Alur diagnosis pasien meningitis8


Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan biokimia dan sitologi cairan serebrospinalis (CSS)/LCS : keruh atau
purulent, protein meningkat, leukosit meningkat (1000-5000 sel/mm3) predominasi neutrophil
(80-95%), glukosa menurun (<40 mg/dL) rasio glukosa CSS: serum kurang dari sama dengan
0,4 (sensitivitas 80%, spesifisitas 98% untuk diagnosis penyakit ini pada pasien berusia > 2
bulan. Pewarnaan gram cairan serebrospinalis, sensitifitas 60-90%, spesifisitas lebih dari sama
dengan 97%. Kultur darah, dilakukan segera untuk mengidentifikasi prganisme penyebab.
Pencitraan CT-Scan kepala pada permulaan penyakit normal, adanya eksudat purulent di basal,
ventrikel yang mengecil disertai edema otak, atau ventrikel yang membesar akibat obstruksi
cairan serebrospinalis, bila penyakit berlanjut dapat terlihat adanya daerah infark akubat
vaskulitis, indikasi CT-Scan sebelum LP: defisit neurologis fokal, kejang pertama kali, edema
papil, penurunan kesadaran, dan penekanan status imun.8

Terapi Empirik
Dari komunitas, ceftriaxone 2x2 gr IV, pilihan lain meropenem 3x1 gr. Paska VP shunt,
ceftazidim 2x2 plus vankomisin 2x1 gr. Hasil pewarnaan gram sangat berguna untuk
menajamkan pemilihan terapi empirik.9

Meningitis Tuberkulosis (TB)


Meningitis tuberculosis berkembang melalui 2 proses yaitu basil dari Mycobacterium
tuberculosis masuk ke dalam tubuh host melalui droplet inhalasi. Akan menjadi makrofag
alveolar. Infeksi terlokaisir dan menyebar melalui kelenjar getah bening alveolar membentuk
primary complex. Selanjutnya menjadi bakterimia yang signifikan dalam bentuk baciili
tuberkel yang menuju meningen atau parenkim otak. Tahap kedua terjadi peningkatan ukuran
dari rich focus sehingga menimbulkan rupture pada ruang subaraknoid. Lokasi dari tuberkel
(rich focus) akan menentukan adakah keterlibatan dari sistem saraf pusat (SSP). Ruptur yang
terjadi pada ruang subarachnoid akan menimbulkan terjadinya meningitis. Namun apabila
lokasinya terletak pada bagian dalam atau parenkim spinal cord akan menyebabkan
terbentuknya tuberculoma atau abses. Infiltrate yang tebal dan eksudat dari kortikal atau
pembuluh darah meningen akan memproduksi inflamasi, obstruksi dan infarction. Pada
meningitis tuberkulosis biasanya juga disertai disfungsi dari nervus kraniais seperti nervus III,
VI dan VII selain itu juga dapat menenangkan hidrosefalus obstruktif dari obstruksi di sisterna
Basiler.10
Patofisiologi
Meningitis tuberkulosa selalu terjadi sekunder dari proses tuberculosis. Fokus
primernya berada di luar otak, biasanya paru-paru tapi bisa juga pada KGB, tulang, sinus
nasalis, GIT, ginjal dan sebagainya.5
Terjadinya meningitis bukan karena peradangan langsung pada selaput otak secara
hematogen tetapi melalui pembentukan tuberkel-tuberkel kecil berwarna putih pada
permukaan otak dan sumsum tulang belakang. Tuberkel selanjutnya melunak, pecah, dan
masuk ke dalam ruang subarachnoid dan ventrikel sehingga terjadi peradangan difus.5
Penyebaran dapat pula terjadi secara perikontinuitatum dari peradangan organ atau
jaringan di daerah selaput otak seperti primer di nasofaring, pneumonia, endocarditis, OMA,
mastoiditis, thrombus sinus kavernosus atau spondylitis.5
Penyebaran kuman ke ruang subarachnoid menyebabkan reaksi radang pada piamater
dan arachnoid, LCS, ruang subarachnoid dan ventrikel.5
Akibat reaksi radang ini maka akan terbentuk eksudat kental serofibrinosa dan gelatin
oleh kuman-kuman serta toksin yang mengandung sel-sel mononuclear, limfosit, sel plasma,
makrofag, sel raksasa dan fibroblast. Eksudat ini tidak terbatas pada subarachnoid saja tetapi
terutama berkumpul di dasar tengkorak. Eksudat juga menyebar melalui pembuluh-pembuluh
darah piamater dan menyerang jaringan otak di bawahnya sehingga proses sebenarnya adalah
meningoensefalitis. Eksudat juga dapat menyumbat aquaduktus, fissure sylvii, foramen
magendi, foramen luschka dan menyebabkan hidrosefalus dan edema papil akibat peningkatan
TIK.5

Diagnosis5
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
neurologi, dan pemeriksaan penunjang. Gambaran klinis meningitis tuberkulosis
memperlihatkan gejala yang bervariasi dan tidak spesifik. Selama 2-8 minggu dapat ditemukan
anoreksia, demam, nyeri kepala yang semakin memburuk, perubahan mental, penurunan
kesadaran, kejang, kelumpuhan saraf kranial (II, III, IV, VI, VII, VIII), hemiparese.
Pemeriksaan funduskopi kadang-kadang memperlihatkan tuberkel pada khoroid, dan
edema pupil menandakan adanya peninggian tekanan intrakranial.
Perjalanan penyakit meningitis tuberkulosis memperlihatkan 3 stadium:
1. Stadium awal
Gejala prodromal non spesifik seperti apatis, iritabiitas, nyeri kepala ringan,
malaise, demam, anoreksia, muntah, nyeri abdomen.
2. Stadium intermediate
Gejala menjadi jelas, ditemukan perubahan mental, tanda iritasi meningen,
kelumpuhan saraf III, IV, VI.
3. Stadium Lanjut
Mengalami penurunan kesadaran menjadi stupor atau koma, kejang, dan dapat
ditemukan hemiparese.
Sadium Meningitis TB 9 :
 Grade I : GCS 15, tanpa defisit fokal
 Grade II : GCS 11-14/GCS 15 + defisit fokal
 Grade III : GCS kurang dari sama dengan 10.

Tabel 5. Tabel Perbedaan Meningitis TB dengan Meningitis lainnya.8


LCS Normal Bakterial Virus TB Fungal
Makroskopik Jernih, tak Keruh Jernih/opale Jernih/op Normal-
berwarna scent alescent Keruh

Tekanan Normal Meningkat Normal/men Meningka Normal/meni


ingkat t ngkat

Sel 0-5/mm3 100-60.000/mm3 5-100/mm3 5- 20-500/mm3


1000/mm
3

Neutrofil Tak ada >80% <50% <50% <50%

Glukosa 75% Rendah (<40% Normal Rendah Rendah


glukosa glukosa darah) (<50% (<80%
darah glukosa glukosa
darah) darah)
Protein <0,4g/L 1-5 g/L >0,4-0,9 g/L 1-5 g/L 0,5-5g/L
Lainnya Gram positif PCR kultur Kultur Gram
<90%, kultur positif positif 50- negatif;kultur
positif <80% <50% 80% positif 25-
kultur darah 50%
positif <60%

Kriteria diagnostik dari meningitis TB menurut Thwaites dkk:9


1. Definitif :
 Klinis meningitis / meningoensefalitis
 Analisa CSF tidak normal
 Pewarnaan BTA positif pada CSS (secara mikroskopis) dan atau kultur positif
untuk M. Tuberkulosis dan atau PCR TB positif.
2. Probable
 Klinis meningitis atau meningoensefalitis
 Analisa CSF tidak normal
 Salah satu dari
- BTA ditemukan pada jaringan lain
- Foto torak sesuai dengan TB paru aktif
3. Possible
 Klinis meningitis atau meningoensefalitis
 Analisa CSF tidak normal
 4 dari 7 :
 Riwayat TB
 Sakit > 5 hari
 Gangguan kesadaraan
 Tanda neurologis fokal
 Dominasi mononuklear pada CSS
 Rasio glukosa serum dengan LCS <0,5, CSS berwarna kekuningan
(xantokrom).
Pemeriksaan Penunjang10
1. Laboratorium rutin : tidak khas, dapat ditemukan leukosit yang meningkat, normal,
ataupun menurun
2. Analisa CSF:
 Leukosit 100-500/mikrolit predominan limfosit
 Protein 100-500 mg/dl
 Glukosa < 45 mg/dl
 Xantokrom atau jernih
 Peningkatan tekanan LP, 40-75% pada anak dan 50% pada dewasa
3. Mikrobiologi ditemukan m. tuberculosis pada kultur CSS yang merupakan gold
standart
4. CSF PCR Spesifik tetapi tidak sensitive
5. Pada foto ronsen ditemukan tbc aktif pada paru
6. PPD test negative pada 10-15% anak dan 50% dewasa
7. CT Scan Kepala dapat ditemukan hidrosefalus, tuberkuloma,abses tuberculous,
dan infark
8. Funduskopi terlihat tuberkel pada khoroid dan edema papil yang menandakan
adanya peninggian tekanan intracranial.
Skoring Meningtis TB menurut Thwaites adalah:9
Variable Score
Age (years)
≥36 +2
<36 0
Blood white cell count (103/mL)
≥15.000 +4
<15.000 0
Duration of Illness (days)
≥6 -5
<6 0
CSF total white cell count (103/mL)
≥900 +3
<900 0
CSF % neutrophils
≥75 +4
<75 0
Total score ≤4 suggests tuberculosis meningitis
Total score >4 is against tuberculosis meningitis
Tabel 6. Skoring Meningitis TB.9

Penatalaksanaan8
Sediaan OAT:
 Rifampicin : 10mg/KgBB/hari po
 Isoniazid : 5mg/KgBB/hari po
 Pirazinamid : 25 mg/KgBB/hari po maks 2g/hari
 Ethambutol : 20 mg/KgBB/hari po maks 1,2g/hari
 Sterptomisin : 20 mg/KgBB/hari im

Lama pemberian adalah 2 R-H-Z-E/S + 7-10 R-H-Z (2 bulan pertama diberikan


Rifampisin, INH, Prazinamid, Etambutol / Streptomisin, 7-10 bulan berikutnya diberikan
rifampisin, INH, Pirazinamid). Pemberian deksametason pada meningitis tuberculosis hanya
direkomendasikan untuk pasien HIV negatif.
Meningitis TB grade I
 Minggu I : 0,3 mg/kgBB/ hari iv
 Minggu II : 0,2 mg/kgBB/hari iv
 Minggu III-IV : mulai 4mg/ hari po & diturunkan 1mg/hari tiap minggu
Meningitis TB grade II/III
 Minggu I : 0,4mg/kgBB/hari iv
 Minggu II : 0,3mg/kgBB/hari iv
 Minggu III : 0,2mg/kgBB/hari iv
 Minggu IV : 0.1mg/kgBB/hari iv
 Minggu V-VIII : mulai 4mg/hari po & diturunkan 1mg/hari tiap minggu.
DAFTAR PUSTAKA

1. King NL, Burneo JG. Infections of the nervous system. Neurol An Evidence-Based
Approach. 2012;2(2):82–97.
2. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis topik neurologi duus. Anatomi, fisiologi, tanda,
gejala. Edisi ke-5. Jakarta:EGC;2016.h.324-31.
3. Pearce EC. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta: PT Gramedia;2009.h.338-
40.
4. Japardi I. Cairan Serebrospinal. FK USU. USU Repository. 2002. Di unduh dari:
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi5.pdf). Diakses pada 25
November 2017.
5. Sudewi AAR, Sugianto P, Ritarwan K. Infeksi pada sistem saraf. Surabaya : Pusat
penerbitan dan percetakan Universitas Airlangga, 2011.
6. Roos KL, Tyler KL. Meningitis, encephalitis, brain abscess and empyema. In:
Harrison’s neurology in clinical medicine. 3rd ed. United States: McGraw Hill
Education;2013.p.493-526.
7. Gunawan D. Diagnosis dan penatalaksanaan infeksi susunan saraf pusat. Dalam
Kegawatdaruratan neurologi. Bandung: Bagian/UPF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran. Edisi 1;2009.h.1-6.
8. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana D. Panduan praktis diagnosis dan
tatalaksana penyakit saraf. Jakarta:EGC;2009.h.37-54.
9. Handout Workshop Neuro-Infeksi 1. Persatuan Dokter Spesialis Saraf. Jakarta: 11
Februari 2011.
10. Munir B. Neurologi dasar. Jakarta: Sagung Seto;2015.h.188-202.

Anda mungkin juga menyukai