Bab 1-4 PDF
Bab 1-4 PDF
PENDAHULUAN
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Longsor
Longsor (land slide) adalah suatu proses perpindahan tanah atau batuan
dengan arah miring dari kedudukan semula, sehingga terpisah dari massa yang
mantap karena pengaruh gravitasi dengan gerakan berbentuk rotasi dan translasi,
selain dari pada itu longsor juga biasa diartikan sebagai suatu bentuk erosi yang
pengangkutan dan pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat dalam volume
yang besar. Longsor ini berbeda dari bentuk-bentuk erosi lainnya, pada longsor
pengangkutan tanahnya terjadi sekaligus. Longsor terjadi karena meluncurnya
suatu volume tanah di atas suatu lapisan agak kedap air yang jenuh air, lapisan
tersebut yang terdiri dari liat atau mengandung kadar liat tinggi yang setelah jenuh
air berfungsi sebagai rel.
Longsor akan terjadi bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (a)
Lereng cukup curam, sehingga volume tanah dapat bergerak atau meluncur ke
bawah, (b) terdapat lapisan di bawah permukaan tanah yang agak kedap air dan
lunak yang berfungsi sebagai bidang luncur, (c) terdapat cukup air dalam tanah,
sehingga lapisan tanah tepat diatas lapisan kedap air tersebut sehingga lapisan
kedap air tersebut menjadi jenuh. Lapisan kedap air juga biasanya terdiri dari
lapisan liat yang tinggi, atau juga lapisan batuan , napal liat (Arsyad, 1989).
Berdasarkan bentuk jatuhnya material maka longsor ada 5 macam yaitu:
(a) Slumping yaitu peluncuran beberapa unit material yang bentuknya berputar
kebelakang; (b) debris slide, yaitu peluncuran cepat dari material gembur yang
tidak berputar kebelakang; (c) debris fall, yaitu gerakan jatuh material pada lereng
yang terjal atau curam; (d) rock slide, yaitu peluncuran material melalui bidang
lapisan dari lipatan maupun patahan; dan (e) rock fall, yaitu gerakan massa
batuan yang belum lapuk pada lereng yang curam.
Beberapa ahli telah mengusulkan klasifikasi longsor. Menurut
Savarenski dalam Zaruba (1982) membagi longsor kedalam 3 kelompok sebagai
berikut:
(1) Longsor asequent, yaitu longsor yang terjadi pada tanah kohesif yang
homogen dan bidang longsornya hampir mendekati lingkaran.
(2) Longsor consequent, yaitu longsor yang terjadi bila mana tanah bergerak di
atas bidang lapis atau sesar (joint)
(3) Longsor insequent, yaitu longsor tanah biasanya bergerak secara transversal
terhadap lapisan dan umunya memiliki ukuran yang luas serta bidang
runtuhannya panjang menembus kedalam tanah.
Nemcoc, Pasek dan Rybar dalam Suharyadi (1984) telah mengusulkan
untuk memperbaiki klasifikasi dan terminologi longsor. Mereka mengusulkan
pengelompokan berdasarkan mekanisme dan kecepatan pergerakan.
Pengelompokannya berdasarkan 4 kategori dasar yaitu: 1) rangkak (creep),
meliputi berbagai macam pergerakan yang lambat (dari beberapa centimeter per
tahun) dari rangkak talud sampai pergerakan lereng gunung akibat gravitasi dalam
jangka waktu yang panjang; 2) aliran (flowing), tanah yang terbawa longsor
banyak mengandung air, maka perilaku longsor seperti aliran; 3) tanggal (fall),
pergerakan batuan padat/pejal (solid) yang cepat dengan sifat utamanya tanggal
bebas (free fall).
Sharpe dalam Zaruba (1982) telah menyelidiki hubungan antara
pergerakan tanah dengan siklus geomorfologi dan faktor cuaca sehingga
menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya longsor ada dua
yaitu faktor fasif dan faktor pendorong. Faktor fasif penyebab terjadinya longsor
yaitu: (a) litologi, yaitu tingkat pelapukan batuan, (b) stratigrafi, yaitu ada atau
tidaknya lapisan batuan, (c) struktur, yaitu banyak tidaknya patahan, retakan dan
arah lapisan batuan, (d) topografi, yaitu masalah curam tidaknya lereng, (e) iklim,
yaitu tinggi rendahnya curah hujan dan adanya temperatur yang ekstrim, (f)
organisme, yaitu kuat tidaknya organisme merusak batuan.
Faktor pendorong terjadinya longsor adalah air, yang jika terlalu banyak
dapat menambah massa tanah dan batuan, dan dapat pula menjenuhkan lapisan
batuan sehingga membentuk lapisan yang mudah bergeser (rel).
Pencegahan bahaya longsor dapat dilakukan dengan pendekatan dua metode
yaitu metode vegetatif dan metode mekanis. Metode vegetatif dilakukan dengan
harapan bahwa vegetasi dapat: mengurangi energi butir hujan, mengurangi energi
aliran permukaan, mengurangi air hujan yang sampai ke tanah (intersepsi), akar
tumbuh-tumbuhan dapat memperkuat ikatan massa tanah atau agregat tanah dan
mempercepat kandungan air tanah melalui transpirasi. Namu perlu diperhatikan
vegetasi yang cocok, karena beberapa vegetasi justru memperbesar infiltrasi dan
vegetasi yang besar dapat meningkatkan pembebanan.
Secara mekanis (teknis) dilakukan dengan prinsip untuk mengurangi
tekanan dan memperbesar kekuatan. Pengurangan tekanan dapat dilakukan
dengan cara melandaikan lereng, terasering, mengalirkan air permukaan,
mengalirkan air bawah permukaan, mengurangi beban. Memperbesar kekuatan
dapat dilakukan dengan cara menggunakan buttress atau counterweight,
pemasangan anchor, bolt dan injeksi semen.
Faktor penyebab terjadinya gerakan pada lereng tergantung pada kondisi
batuan dan tanah penyusun lereng, struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup
dan penggunaan lahan pada lereng tersebut, namun secara garis besar dapat
dibedakan sebagai faktor alami dan manusia. Faktor penyebab longsor secara
alami, adalah kondisi alam yang menjadi faktor utama terjadinya longsor antara
lain: (i) Kondisi geologi, yaitu batuan lapuk, kemiringan lapisan, sisipan lapisan
batu lempung, struktur sesar dan kekar, gempa bumi, stratigrafi dan gunung api;
(ii) Iklim, yaitu curah hujan yang tinggi; dan (iii) keadaan topografi, dan lereng
yang curam ; (iv) keadaan tata air: kondisi drainase yang tersumbat, akumulasi
massa air, erosi dalam, pelarutan dan tekanan hidrostatika; dan (v) tutupan lahan
yang mengurangi tahan geser, misal tanah kritis.
Faktor penyebab longsor oleh manusia, yaitu adanya ulah manusia yang tidak
bersahabat dengan alam merupakan faktor penyebab longsor hal ini antara lain (i)
pemotongan tebing pada penambangan batu dilereng yang terjal; (ii) penimbunan
tanah urugan di daerah lereng; (iii) kegagalan struktur dinding penahan tanah; (iv)
penggundulan hutan; (v) Budidaya kolam ikan diatas lereng; (vi) sistem pertanian
yang tidak memperhatikan irigasi yang aman; (vii) pengembangan wilayah yang
tidak di imbangi dengan kesadaran masyarakat, sehingga RUTR tidak ditaati yang
akhirnya merugikan sendiri; dan (viii) sistem drainase daerah lereng yang tidak
baik (Agus Setyawan, 2012).
B. Faktor Penyebab Longsor
Banyak faktor yang mempengaruhi kestabilan lereng yang mengakibatkan
terjadinya longsoran. Faktor-faktor tersebut semacam kondisi geologi dan
hidrografi, topografi, iklim dan perubahan cuaca. Pada prinsipnya tanah longsor
terjadi bila ada gaya pendorong pada lereng lebih besar daripada gaya penahan.
Gaya penahan pada umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan
tanah. Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air,
beban, serta jenih tanah batuan. Terdapat beberapa faktor penyebab tanah longsor
diantaranya yaitu:
1. Jenis Tanah
Jenis tanah juga mempengaruhi penyebab terjadinya longsor. Tanah yang
mempunyai tekstur renggang, lembut yang sering disebut tanah lempung
atau tanah liat dapat menyebabkan longsoran. Apalagi ditambah pada saat
musim hujan kemungkinan longsor akan lebih besar pada jenis tanah ini.
Hal ini dikarenakan ketebalan tanah tidak lebih dari 2,5 m dengan sudut
lereng 22 derajat. Selain itu kontur tanah ini mudah pecah jika udara
terlalu panas dan menjadi lembek jika terkena air yang mengakibatkan
rentan pergerakan tanah.
2. Curah Hujan
Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November karena
meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang akan
menyebabkan terjadinya penguapan air dipermukaan tanah dalam jumlah
besar. Hal itu mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah
hingga terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan. Pada saat hujan,
air akan menyusup ke bagian yang retak. Tanah pun dengan cepat
mengembangkan kembali. Pada awal musim hujan, kandungan air pada
tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat. Hujan lebat pada awal musim
dapat menimbulkan longsor karena melalui tanah yang mereka itulah, air
akan masuk dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga
menimbulkan gerakan lateral. Apabila ada pepohonan di permukaan,
pelongsoran dapat dicegah karena air akan diserap oleh tumbuhan. Akar
tumbuhan juga berfungsi sebagai pengikat tanah.
3. Kemiringan Lereng
Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong.
Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air
laut, dan angin. Kemiringan lereng dinyatakan dalan derajat persen.
Kecuraman lereng 100% sama dengan kecuraman 45 derjat. Selain
memperbesar jumlah aliran permukaan, makin curam lereng juga
memperbesar kecepatan aliran permukaan, dengan itu memperbesar energi
angkut air.
Klasifikasi kemiringan lereng untuk pemetaan ancaman tanah
longsor di bagi dalam lima kriteria diantaranya yaitu lereng datar dengan
kemiringan 0-8%, landai berombak sampai bergelombang dengan
kemiringan 8-15%, agak curam berbukit dengan kemiringan 15-25%,
curam sampai sangat curam 25-40%, sangat curam dengan kemiringan
>40%. Wilayah yang kemiringan lereng antara 0-15% akan stabil terhadap
kemungkinan longsor, sedangkan di atas 15% potensi untuk terjadi longsor
pada kawasan rawan gempa bumi semakin besar.
4. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan (land use) adalah modifikasi yang dilakukan
oleh manusia terhadap lingkungan hidup menjadi lingkungan terbangun
seperti lapangan, pertanian, dan pemukiman. Permukiman yang menutupi
lereng dapat mempengaruhi penstabilan yang negatif maupun positif.
Sehingga tanaman yang disekitarnya tidak dapat menopang air dan
meningkatkan kohesi tanah, atau sebaliknya dapat memperlebar keretakan
dalam permukaan baruan dan meningkatkan peresatan.
Penggunaan lahan seperti persawahan, perladangan, dan adanya
genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan akarnya kurang
kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan
jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk daerah
perladangan penyebabnya adalah karena akar pohonnya tidak dapat
menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah
longsoran lama.
5. Adanya Beban Tambahan
Adanya beban tambahan seperti beban bangunann pada lereng, dan
kendaraan akan memperbesar gaya pendorong terjadi longsor, terutama di
sekitar tikungan jalan pada daerah lembah. Akibatnya adalah sering
terjadinya penurunan tanah dan retakan yang arahnya ke arah lembah.
6. Pengikisan/Erosi
Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai ke arah tebing. Selain itu
akibat penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai, tebing akan menjadi
terjal.
Tanah longsor terjadi jika dipenuhi tiga keadaan yaitu:
Kelerengan yang curam
Terdapat bidang peluncur di bawah permukaan tanah yang kedap
air
Terdapat cukup air dari hujan d dalam tanah diatas lapisan kedap,
sehingga tanah jenuh air.
BAB III
METODE PENELITIAN
Tumpang
Data Primer
Observasi
Data Sekunder
(kemiringan Analisis
Uji Lapangan laboratorium
2. Kedalaman solun 1. Permeabilitas
3. Kedalaman 2. Tekstur tanah
4. pelapukan
5. Penggunaan lahan
Harkat masing-masing parameter
Petadan
G. Susunan Tenaga Ahli zonasi daerah
Biaya rawan
yang longsor
Dibutuhkan
Pelaksanaan penelitian
Gambar 3.1.dilakukan olehPelaksanaan
Diagram Alir tenaga profesional
Penelitian dengan jumlah
yang cukup memenuhi persyaratan ditinjau dari lingkup ini. Tenaga profesional
tersebut ialah personil berlatar belakang pendidikan S2 dan S3. Klasifikasi tenaga
yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian ini adalah: (1) tenaga Ahli, yang
memiliki pengalaman pelaksanaan penelitian dan pengajaran, dan juga telah
berpengalaman dalam PTBK (Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi) yang
diselenggarakan pada tingkat Nasional, dan juga pada Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Provinsi dan Kabupaten/Kota; (2) tenaga Pendukung, sebagai
tenaga administrasi operator komputer/tenaga lapangan seperti pada tabel 3.1.
Tabel 3.1 Susuna Tim Peneliti
No Nama Jabatan Keahlian
Tenaga Ahli
1 Amiruddin Takda, S.Pd., M.Si Ketua Tim Fisika Kebumian
Nip. 19700216 199403 1 003
2 Dr. Djafar Mey, S.P., M.Si Anggota Geografi/Ilmu
Nip. 19700504 200312 1 001 Tanah
3 Ld. Nursalam, S.Pd., M.Pd Anggota Geografi
Nip. 19770821 200312 1 001
4 Drs. La Tahang Anggota TIK
Nip. 19621231 199003 1 026
5 Ahmad Iskan, S.Pd., M. Sc Anggota Klimatologi
Nidn. 004128703
Tenaga Pendukung
1 Syarifuddin, S. Pd., M.Pd Tenaga Administrasi
pendukung
2 Muh. Alam, S. Pd Tenaga Operator
pendukung komputer/tenaga
lapangan
G. Instrumen Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam mendukung proses kerja penelitian ini
diantaranya sebagai berikut:
1. Alat
Bor Tanah
Meteran
Kertas Label
Plastik Sampel
2. Hardaware
Perangkat keras yang dibutuhkan untuk penelitian ini meliputi:
Laptus ASUS dengan Processcor Intel Core i5
Layar 14 Inc
RAM 4 GB
Hardissk 500 GB
Printel EPSON L 360
3. Software
Windows 10 Ultimate 64 Bit
ArcGis 10.3
Microssoft Word 2010
Microsoft Excel 2010
Google Earth
4. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
Data kemiringan lereng Kabupaten Kolaka Utara dalam Bentuk peta
digital
Data jenis tanah Kabupatek Kolaka Utara dalam bentuk peta digital
Data guna lahan Kabupaten Kolaka Utara dalam bentuk peta digital
Data geologi Kabupaten Kolaka Utara dalam bentuk peta digital
Dan data lain yang diambil dari berbagai sumber
H. Tahap Pasca Kerja Lapangan
Pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan adalah penggambaran ulang peta-
peta tematik yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya di lapangan dan
analisis sampel tanah di laboratorium meliputi analisis tekstur dan analisis
permeabilitas.
1. Analisis Tekstur Tanah
Tekstur tanah diperoleh dari sampel tanah yang diambil pada setiap
satuan lahan pada lokasi penelitian yang akan di analisis di laboratorium
menggunakan metode pemipetan.
Caranya: timbang 20 gram tanah kering udara, butur-butir tanah ini
berukuran kurang dari 2 mm. Masukkan ke dalam erlenmeyer atau botol
tekstur dan tambahan 10 ml calgon 0,5% dan air secukupnya. Tutup
dengan plastik, kemudian kocok dengan mesin pengocok 1-2 jam.
Tuangkan secara kualitatif semua isinya kedalam silinder sedimentasi 500
ml yang diatasnya dipasang saringan denagn diameter lubang sebesar 0,05
mm dan bersihkan botol tekstur dengan bantuan botol semprot. Semprot
dengan sprayer sambil di aduk-aduk sampai semua partikel debu dan liat
turun ke wadah (air saringan telah jernih). Pasir yang tertinggal
dipindahkan kedalam cawan, kemudian dioven kurang lebih 3 jam
kemudian dimasukkan kedalam desikator dan timbang hingga berat pasir
deketahui (c gram). Cukupkan larutan suspensi dalam silinder sedimentasi
dengan air destilasi hingga 500 ml. Angkat silinder sedimentasi, sumbat
baik-baik dengan karet, lalu kocok bolak balik tegak lurus 1800 sebanyak
20 kali atau dapat juga dilakukan dengan memasukkan pengocok kedalam
selinder sedimentasi lalu aduk naik turun selama 1 menit. Cepat tuangkan
kira-kira 3 tetes amyl alcohol kepermukaan suspensi untuk
menghilangkangangguan buih yang mungkin timbul. Setelah 15 detik,
masukkan hidrometer ke dalam suspensi tidak banyak gangguan. Setelah
40 detik, baca dan catat pembacaan hidrometer pertama (H1) dan suhu suspensi
(t1). Dengan hati-hati keluarkan hidrometer dari suspensi. Setelah menjelang 8
jam, masukkan hidrometer dan catat pembacaan hidrometer kedua (H2) dan suhu
suspensi (t2). Hitung liat dengan menggunakan persamaan di bawah ini:
1 Dataran aluvial, 1
2 Perbukitan terisolir 2
5 Pengunungan terkikis 5
3. Tekstur Tanah
Tekstur tanah merupakan perbandingan persentase pasir, debu, dan
lempung dalam agregat tanah. Dalam kaitannya dengan proses gerakan
massa batuan/tanah, tekstur memegang peranan penting di dalam prose
terjadinya longsor lahan. Tanah bertekstur pasir, karena keuatan agregat
kurang kuat, sehingga jika terjadi kelembaban tertentu dapat
menyebabkan tidak stabilnya agregat tanah. Tanah dengan tekstur
lempung, dalam keadaan lembab akan sulit untuk segera kering sehingga
menyebabkan terjadinya pertambahan berat volume tanah. Hal ini dapat
mendukung terjadinya longsor lahanan. Disamping itu apabila gerakan
air masuk kedalam tanah (infiltrasi) sambil mengangkut partikel
lempung, maka apabila lempung tersebut mencapai bidang batas antara
batuan segar dan batu yang telah lapuk akan menjadikan bidang tersebut
sebagai bidang gelincir yang efektif. Pada tabel berikut disajikan
klasifikasi tekstur tanah beserta harkatnya di dalam sumbangannya pada
proses terjadinya longsor lahanan.
Tabel 3.4 Tekstur Tanah
No Tekstur Bobot Harkat
1 Geluh 1
5 Lempun pasir 5
Misalkan suatu tanah mengandung 50% pasir, 20% debu dan 30%
liat. Dari segitiga tekstur dapat dilihat bahwa sudut kanan bawah segitiga
mengammbarkan 0% pasir dab sudut kirinya 100% Pasir. Temukan titik
50% pasir, pada pasir dasar segitiga dan dari titik ini tarik garis sejajar
dengan sisi kanan segitiga (ke kiri atas). Kemudian temukan titik 20%
debu dari sisi kanan segitiga. Dari titik ini tarik garis sejajar dengan sisi
kiri segitiga, sehingga garis ini berpotongan denga garis pertama.
Kemudian temukan titik 30% liat dan tarik garis ke kanan sejajar dengan
sisi dasar segitiga sehingga memotong dua garis sebelumnya. Dari
perpotongan ketiga garis ini ditemukan bahwa tanah ini mempunyai kelas
tekstur “lempung liat berpasir”.
Penentuan tekstur suatu tanah secara kuantitatif dilakkan melalui
proses analisis mekanis. Proses ini terdiri atas pendispersian agregat tanah
menjadi butir-butir tunggal dan kemudian diikuti dengan sedimentasi.
4. Penggunaan lahan
Manusia di dalam usahanya untuk memanfaatkan lahan khususnya di
dalam meningkatkan pertanian persatuan luas lahan, kadang hanya
memandang penghasilan dari hasil kegiatannya, dengan memperhitungkan
hasil produksi yang hanya memandang hal-hak yang dapat dinilai dengan
uang, seperti sewa tanah, pupuk dan obat-obatan, dan biaya pengolahan
tanah. Kegiatan ini kadang mengabaikan efek dari tindakan budidaya yang
dilakukan terhadap pemanfaatan lahan.
Campur tangan manusia dalam pengolaan lahan mencangkup
pembuatan terasering, pencangkulan, penanaman, dan penebangan kayu
pada lahan-lahan yang mempunyai kemiringan yang sedang hingga curam,
sering kali tifak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air,
akibatnya akan menimbulkan gerak massa batuan yang sebelumnya tidak
pernah dialami oleh penduduk setemat. Dukungan penggunaan lahan
terhadap terjadinya proses longsor lahan, disajikan pada tabel berikut ini:
1 Aluvium, Volcaniv 1
2 Clastic, Limestone 2
3 Mari 0,07 3
4 Plustonic, Instrusion 4
IRL= (0,36.Skor B1+ 0,36.Skor L + 0,07. Skor G _ 0,14. Skor T + 0,07. Skor P1)
A. Hasil
1. Dekskripsi Lokasi Penelitian
Kabupaten Kolaka Utara merupakan salah satu kabupaten yang
terletak di Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara astronomis Kabupaten
Kolaka Utara terletak pada 020 45’ – 040 000 LS dan 1200 45’ – 1210 30’
BT. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) 2012, menunjukkan bahwa
Kabupaten Kolaka Utara memiliki luas wilayah ± 3.237,96 Km2.
Secara administratif, wilayah Kabupaten Kolaka Utara terbagi atas
15 kecamatan 7 kelurahan dan 132 desa dengan batas-batas sebagi berikut:
Utara : Kabupaten Luwu Timur (Provinsi Sulawesi Selatan)
Timur : Kecamatan Routa dan Kecamatan Lamonae (kabupaten
Konawe serta Kecamatan Uluiwoi (kabupaten Kolaka)
Barat : Perairan Teluk Bone (Provinsi Sulawesi Selatan)
Selatan : Kecamatan Wolo (Kabupaten Kolaka) dan perairan teluk
bone (Provinsi Sulawesi Selatan)
Untuk lebih jelasnya mengenai gambaran umum Kabupaten Kolaka
Utara dapat dilihat pada gambar dan tabel berikut:
Gambar 4.1 Peta Administrasi Kabupaten Kolaka Utara
Tabel 4.1: Luas Wilayah, Jumlah Desa/Kelurahan dan Ibu Kota
Kecamata di Kabupaten Kolaka Utara
No Kecamatan Ibu kota Luas wilayah Jumlah Kelurahan
desa
Km2 %
0-8 3399,284 1%
8-15 18298,48 6%
15-25 20111,82 6%
>45 8191,367 3%
Ha %
3 Perbukitan 2950,642 1%
Sumber: Olah data dari peta jenis tanah Kabupaten Kolaka Utara
3) Tanah Latosol
Tanah Latosol merupakan tanah yang mempunyai lapisan
solum, lapisan solum yang dimiliki ini cenderung tebal yaitu
antara 130 cm hingga 5 m. Ciri umum yang dimiliki tanah
latosol adalah:
Tanahnya berwarna merah, coklat hingga kekuning-
kuningan
Tekstur tanah pada umumnya adalah liat
Memiliki Ph 4,5 hingga 6,5 yakni dari asam hingga
agak asam
Struktur tanah pada umumnya adalah remah dengan
konsistensi gembur
Memiliki bahan organik sekitar 3% hingga 9% namun
pada umumnya hanya 5% saja
Mengandung unsur hara yang sedang hingga tinggi
Mempunyai infiltrasi agak cepat hingga agak lambat
Daya tanah air cukup baik
Gambar 4.7 Tanah Latosol
4) Tanah Podsolik Merah Kuning
Tanah Podsolik Merah Kuning (PMK) adalah tanah yang
terbentuk karena curah hujan yang tinggi dan suhu yang sangat
rendah dan juga merupakan jenis tanah mineral tua yang
memiliki warna kekuningan atau kemerahan. Warna kuning
dan merah ini disebabkan oleh longgokan besi dan aluminium
yang teroksidasi. Mineral lempung yang terdapat pada tanah ini
penyusunnya di diminasi oleh silikat.
Tanah Podsolik Merah Kuning bagian dari tanah Ultisol,
karakter utama tanah ultisol adalah memiliki horizon A yang
tipis, dan memiliki sifat agak masam. Ciri-ciri tanah Podsolik
Merah Kuning adalah:
Berasal dari bahan induk batuan karsa di zona iklim
basah dengan curah hujan antara 2500-3000 mm/tahun
Memiliki sifat yang mudah basah dan mudah
mengalami pencucian oleh air hujan
Tekstur tanahnya berlempung dan berpasir
Memilik PH yang rendah
Memiliki unsur aluminium dan besi tinggi
Memiliki daya simpan unsur hara yang sangat rendah
karena sifat lempungnya beraktivitas rendah
Kejenuhan unsur basa seperti Ca, Mg, dan K yang
rendah sehingga tidak cocok untuk tanaman semusim
Daya simpan air rendah sehingga mudah mengalami
kekeringan
Kadar bahan organik yang rendah dan hanya terdapat di
permukaan tanah
5) Tanah Aluvial
Tanah Aluvial merupakan tanah berasal dari endapan
material yang di bawah oleh sungai. Sifat dari tanah aluvial
kebanyakan diturunkan dari bahan yang diangkut dan
diendapkan. Teksturnya berkaitan dengan laju air
mendepositkan alluvium. oleh karena itu tanah ini cenderung
berstruktur kasar yang dekat aliran air dan berstruktur halus
didekat pinggiran luar paparan banjir.
Kadar fosfor yang ada dalam tanah aluvial ditentukan oleh
banyak atau sedikitnya cadangan mideral yang mengandung
fosfor dan tingkat pelapukannya. Tingkat kesuburan tanah
aluvial sangat tergantung dengan bahan induk dan iklim. Suatu
kecenderungan memperlihatkan bahwa di daerah beriklim
basah reletiv rendah dan Ph lebih rendah dari 6,5 daerah
dengan curah hujan rendah di dapat kandungan lebih tinggi dan
netral.
Struktur tanah aluvial di persawahan akan berbeda
morfologisnya dengan tanah yang tidak dipersawahan.
Perbedaan yang sangat nyata dapat dijumpai pada epipedonnya,
dimana pada epipedon yang tidak dipersawahan berstruktur
granlar. Sedangkan epipedon tanah aluvial yang dipersawahan
tidak berstruktur. Dan warna pada daerah persawahan berwarna
kelabu, sedangkan epipedon yang tidak dipersawahan berwarna
coklat tua
4. Tekstur Tanah
Ada tiga macam jenis tekstur tanah di lokasi penenlitian yaitu
Lempung, Lempung Berdebu, Lempung Berpasir. Daerah dengan
tekstur tanah Lempung Berdebu mendominasi dengan luas 74.296,8
Ha (43%) dan disusul dengan tekstur tanah Lempung dengan luas
102.10 Ha (33%) kemudian tekstur tanah Lempung Berpasir dengan
Luas 133.521 Ha (24%). Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan pada
gambar dan tabel berikut ini.
Gambar 4.10 Peta Tekstur Tanah Kabupaten Kolaka Utara
Tabel 4.5 Luas Lahan Kabupaten Kolaka Utara Berdasarkan
tekstur Tanah
No Tekstur Luas Persentase
Sumber: Hasil analisis peta tekstur tanah Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2018
5. Kondisi Geologi
Tinjauan kondisi geologi di wilayah Kabupaten Kolaka Utara,
dalam hal ini dilihat berdasarkan satuan geomorfologi, satuan batuan
pembentuk dan struktur geologinya.
a. Satuan geomorfologi
Berdasarkan peta geologi Kabupaten Kolaka Utara dalam dan
sekitarnya, maka wilayah ini dapat dibagi kedalam beberapa satuan
geomorfologinya secara genetik dan parametris, yakni:
Satuan geomorfologi lipat-patahan yang meliputi hampir
80% dari seluruh wilayah Kabupaten Kolaka Utara
Satuan morfologi perbukitan karst yang tersebar di selatan
(dominan), disebelah barat memanjang ke arah utara serta
secara spot0spot di bagian Tengah Kabupaten Kolaka
Utara mencakup sekitar 15%
Satuan dataran pantai dan aluvial sekitar 5 % yang
memanjang mengikuti pantai teluk bone dan lembah
sungai yang ada.
b. Satuan batuan
Dari peta Geologi tampak bahwa Kabupaten Kolaka Utara terdiri
dari beberapa satuan batuan dari tua ke muda seperti terurai berikut
ini:
Batuan metamorf (malihan) berumur Palezoikum yang
tersebar sangat luas dan meutupi hampir seluruh wilayah
Kabupaten Kolaka Utara, yang di susun oleh sekis, genes,
filit, kuarsit dan sedikit pualam (marmer)
Marmer (batu pualam) berumur Palezoikum yang sama
umurnya dengan batuan malihan regional sebelumnya,
disusun oleh marmer dan batu gamping, berada pada bagian
tengah sebelah timur Kabupaten Kolaka Utara
Batuan terobosan yang mengintrusi/menerobos batuan
berumur Palezoikum, dimana batuan ini sendiri berumur
Trias, tersusun oleh aplit kuarsa, andesit dan latit kuarsa,
hanya terdapat berupa spot di wilayah selatan sebagai
indikatif.
Formasi Tolala berupa susunan batuan gamping, kalsilutit,
batu pasir, serpih, napal, dan sedikit batu sabak yang
berumur Trias, yang secara morfologis memperlihatkan
perbukitan karst dan tersebar di Selatan, di Barat sepanjang
pantai Teluk Bone sampai ke Utara dan sebagian kecil di
Tengah wilayah Kabupaten Kolaka Utara.
Batuan formasi meluhu yang disusun oleh batu pasir,
kuarsit, serpih hitam, serpih merah, filit, batu sabak, batu
gamping, dan batu lanau, berumur sama dengan Formasi
Tolala (Trias) tersebar di wilayah tengah mendekati utara
Kabupaten Kolaka Utara
Batuan ofiolit yang terdiridari kelompok batauan peridotit
berupa harzbugit, dunit, dan seopertinit serta ultra basa
(Gabro) merupakan bagian dari kerak Samudra Fasifik yang
menganjak naik kedarata Sulawesi bagian barat, berumur
kapur, tersebar di pantai barat daya dan sebagian besar di
wilayah utara.
Formasi pandua yang berumur Miosen atas disusun oleh
konglomerat, batu pasir, dan batu lempung yang tersebar
dangat sempit mendekati wilayah sebelah utara.
Formasi Matano yang berumur Poleosen disusun oleh batu
ganping hablur/kristal, kalsilutit, napal, dan serpih yang
tersebar di wilayah utara mendekati perbatasan dengan
Kabupaten Luwu Timur (provinsi Sulawesi Selatan)
c. Struktur Geologi
Patahan geologi yang dominan di Kabupaten Kolaka Utara
dipengaruhi oleh sesar palu koro yang merupakan kelanjutan sesar
sorong yang melibatkan kerak samudra fasifik. Adapun beberpa
pola arah kelurusan sesar/patahan di Kabupaten Kolaka Utara
dapat dikelompokka menjadi:
Arah barat laut tenggara merupakan arah dari pola
pergerakan sesar palu koro yang membentuk Danau
Towuti, danau Matano dan danau Poso di sebelah utara.
Kemudian di bawahnya berkembang sesar lasolo pada
arah yang sama melewati bagian tengah Kabupaten Kolaka
Utara, kemudian menjadi titik intensif di bagian Selatan
Arah timur laut – barat daya berkembang tidak seintensif
arah barat laut-tenggara, tampak merupakan orde
selanjutnya karena memotong arah barat laut – tenggara
juga berkembang luas di sebelah utara dan pantai barat
mendekati teluk bone. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada gambar dan tabel berikut:
Gambar: 4.11 Peta Geologi Kabupaten Kolaka Utara
Tabel 4.6 Struktur Geologi Kolaka Utara
No Keterangan Jenis Batuan Luas
(Ha)
6. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan di Kabupaten Kolaka Utara masih di dominasi
oleh Hutan Alam dengan luas 230.759,6 Ha atau dengan persentase
59% dan perkebunan dengan persentase 10,43%. Adapun tutupan
lahan lainnya meliputi, manggrove, rawa, pemukiman, dan lain-lain.
Untuk pemukiman (daerah terbangun) sendiri memiliki persentase 4%.
Kabupaten Kolaka Utara merupakan Kabupaten yang tingkat
penggunaan lahannya masih kurang karena wilayahnya sangat sulit
untuk dikembangkan. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi topografi
Kabupaten Kolaka Utara di mana wilayahnya memiliki kemiringan
lereng dari 40% mendominasi dengan luas 84 % dari luas Kabupaten
Kolaka Utara. Untuk pemukiman sendiri daerah pengembangannya
linear mengikuti mengikuti jalan di Kabupaten Kolaka Utara. Dan
tersebar padat di kota Lasusua dan sebagian di Kecamatan Watonohu
karena Lasusua dan Watonohu memiliki tingkat kepadatan penduduk
yang tinggi serta topografi yang relatif datar sehingga lebih mudah
untuk dikembangkan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar
dan tabel berikut:
Gambar 4.12 Peta Penggunaan Lahan Kolaka Utara
Tabel 4.7 penggunaan lahan Kabupaten Kolaka Utara tahun 2018
No Penggunaan Lahan Luas wilayah
Ha %
4 Permukiman 1280.343 4%
5 Sawah 957.6146 8%
6 Semak/belukar 1.683,746 5%
Sumber: Hasil Analisis Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2018
C. Penilaian Risiko Bencana
1. Analisis Parameter Penentuan Risiko Bencana Longsor
Kepadatan penduduk dalam kawasan rawan bencana merupakan salah
satu faktor sangat diperhatikan dalam bencana tanah longsor. Korban
manusia yang diakibatka oleh bencana ini sedapat mungkin untuk
dihindari. Kepadatan penduduk digunakan sebagai indikator untuk
mengetahui tingkat Risiko bencana tanah longsor. Berdasarkan data
dari BPS Kabupaten Kolaka Utara tahun 2015 jumlah penduduk
Kabupaten Kolaka Utara mencapai 140.706 jiwa yang tersebar di 15
kecamatan dengan perincian tabel 4.8 berikut
Kecamatan Luas (Ha) Jumlah Penduduk Kepadan penduduk
(jiwa/Ha)
1 Rendah 8186.706 3%
2 Sedang 23761.58 8%