Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kabupaten Kolaka Utara sebagai bagian dari wilayah Provinsi Sulawesi
Tenggara, memiliki luas wilayah daratan 3.391,62 km2 dan lautan 12.376 km2.
Terbagi dalam 15 Kecamatan dengan jumlah penduduk lebih kurang 124.831 jiwa
(BPS, Kolut 2012). Daerah ini juga mempunyai potensi dan variasi jenis bencana,
baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam, maupun faktor manusia.
Bencana yang pernah dan sering terjadi adalah gempa bumi dan tsunami, banjir,
tanah longsor, angin topan/angin puting beliung, kecelakaan transportasi, dan
kebakaran.
Bencana banjir, tanah longsor, angin topan/puting beliung, kecelakaan
transportasi dan kebakaran adalah jenis bencana yang sering terjadi setiap tahun
yang menimbulkan kerugian, baik korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda dan dampak psikologis yang dapat menghambat pembangunan
daerah.
Beberapa kabupaten yang sering terjadi banjir dan tanah longsor di
Sulawesi Tenggara diantaranya adalah Kabupaten Kolaka Utara, Kolaka,
Bombana, Konawe, Konawe Utara dan Konawe Selatan. Hal ini terjadi karena
Kabupaten tersebut mempunyai topografi yang sangat bervariasi dengan
kemiringan lereng yang besar yang dilalui oleh sungai besar dan merupakan
kawasan pertambangan nasional nikel (Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Sultra, Antara News, 2016).
Diketahui bahwa jalur trans Sulawesi Selatan Lasusua merupakan daerah
rawan longsor. Selasa 3 Mei 2012 jalur Trans Sulawesi antara Sulawesi Selatan
dan Sulawesi Tenggara, terputus. Penyebabnya adalah tanah longsor di beberapa
desa di Kecamatan Toala Kabupaten Kolaka Utara dan Kecamatan Malili, Luwu
Timur, Sulawesi Selatan. Longsor terjadi di lokasi yang berjarak 592 Km dari
Makassar (BPS, Kab. Kolut, 2012) Akibatnya jalan yang menghubungkan Luwu
Timur dengan Lasusua, Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, tertutupi
longsoran berupa tanah, batu dan pohon. Puluhan kendaraan dari dua arah tidak
bisa melanjutkan perjalanannya, karena aksesnya tertutup. Dari data kejadian
bencana tanah longsor Kabupaten Kolaka Utara, diketahui bahwa telah terjadi
lebih dari lima kali kejadian tanah longsor dalam dua tahun terakhir. Dan tersebar
di beberapa kecamatan di Kabupaten Kolaka Utara.
Berbagai dampak secara ekonomi yang ditimbulkan oleh adanya banjir
dapat berupa terjadinya gagal panen seperti padi, jagung, ikan bandeng dan udang.
Demikian juga dengan tanah longsor dapat menyebabkan kerusakan infrastruktur
jalan, bangunan dan jembatan. Kejadian seperti ini akan menghambat aktivitas
ekonomi karena jalur tranportasi terganggu menyebabkan suplai kebutuhan
terhambat sehingga menyebabkan banyak kerugian hasil-hasil pertanian dan
perkebunan yang rusak karena tidak bisa diangkut, sehingga para petani dan
nelayan sebagai produsen akan menjadi rugi demikian juga dengan konsumen
karena tidak tersedianya barang kebutuhan pokok yang perlukan.
Besarnya dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh bencana longsor
dan banjir terhadap masyarakat sehingga perlu dilakukan suatu kajian mendalam
melalui melalui penelitian yaitu melakukan pemetaan daerah rawan bencana
sangat penting dilakukan sebagai dasar pertimbangan pemerintah untuk
melakukan antisipasi terhadap terjadinya bencana ke depannya, sehingga
diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengantisifasi dampak yang
ditimbulkan agar dapat diminimalkan.
Berdasarkan kondisi tersebut maka Kabupaten Kolaka Utara akan dijadikan
sebagai sampel kawasan untuk penelitian dengan judul ”Pemetaan Tingkat
Bahaya Longsor dan Banjir Berbasis Sistem Informasi Geografi (SIG) pada
Daerah Rawan Bencana di Kabupaten Kolaka Utara”.
B. Tujuan Khusus Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan di Kabupaten Kolaka Utara secara khusus
bertujuan untuk:
1. Menentukan sebaran secara spasial tingkat bahaya longsor pada setiap satuan
lahan di Kabupaten Kolaka Utara
2. Untuk menentukan kelas sebaran longsor tiap kecamatan di Kabupaten Kolaka
Utara
C. Urgensi /Keutamaan Penelitian
Wilayah Kabupaten Kolaka Utara termasuk salah satu wilayah rawan
bencana longsor dan banjir di Sulawesi Tenggara yang sepatutnya mempunyai
peta rawan bencana. Sampai saat ini Kabupaten tersebut belum memiliki peta
rawan bencana longsor dan banjir. Faktor bencana belum dianggap sebagai faktor
yang perlu menjadi pertimbangan dalam menyusun rencana tata ruang wilayah
kebupaten. Menyadari faktor resiko bencana penting maka sepatutnya
Kabupaten/Kota diseluruh Indonesia memiliki peta rawan bencana sebagai salah
satu sumber data yang menjadi pertimbangan dalam menyusun kebijakan
pemanfaatan ruang untuk pembangunan. Dengan adanya peta rawan bencana
diharapkan pemerintah membuat kebijakan tentang bagaimana memanfaatkan
kawasan yang mempunyai tingakt bahaya longsor dan banjir yang tinggi,
sehingga dikemudian hari kerugian baik harta benda dan jiwa dapat diminimalkan.
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kolaka Utara belum
memasukkan aspek kerawanan bencana alam dalam jenis dan sebaran kawasan
lindung. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana
Tata Ruang Nasional Kawasan Lindung memasukkan aspek kerawanan bencana
alam yaitu kawasan rawan longsor, kawasan rawan banjir dan kawasan rawan
pasang. Perencanaan tata ruang yang ada sekarang lebih mengarah pada kawasan
budidaya yang memiliki nilai strategis sedangkan ancaman bencana alam yang
berpotensi terjadi dimasa yang akan datang baik oleh karena peran manusia
maupun oleh karena faktor alam belum dijadikan sebagai variabel penting yang
perlu diperhatikan dalam perencanaan tata ruang wilayah. Oleh karena itu sangat
penting mulai saat ini aspek munculnya resiko bencana longsor dan banjir perlu
dijadikan sebagai salah satu acuan untuk membuat rencana tata ruang wilayah
agar terhindar dari bencana yang dapat menimbulkan kerugian berupa jiwa dan
harta benda dimasa yang akan datang.
Penggunaan lahan di Kabupaten Kolaka Utara terdiri dari pemukiman,
pertanian, sawah, hutan, perkebunan. Untuk merubah lahan menjadi datar baik
untuk pemukiman maupun perkebunan, pada lahan-lahan yang miring penduduk
memotong lereng-lereng yang miring. Hal ini sangat mendukung terjadinya proses
longsor lahan karena bagian dari lereng datar tersebut mampu menampung
sejumlah air yang meresap kedalam massa batuan lapuk (tanah), sehingga massa
batuan menjadi berat yang kadang menyebabkan terjadinya longsor lahan pada
waktu musim hujan, yang dapat menyebabkan kerugian baik berupa tertimbunnya
tanah pertanian, perkebunan, pemukiman atau terpotongnya jalur jalan
transportasi yang dapat menghambat hubungan transportasi dan perdagangan
antar kabupaten. Kondisi beberapa tempat di wilayah Kabupaten Kolaka Utara
sangat potensial terjadinya longsor hal ini disebabkan wilayah tersebut sebagian
besar merupakan daerah pegunungan dan perbukitan yang hampir semuanya
sudah ditanammi tanaman cengkeh dan coklat. Beberapa lahan hutan di wilayah
Kabupaten Kolaka Utara juga telah mengalami konversi menjadi penambangan
nikel.
Untuk menunjang kegiatan penelitian ini agar lebih informatif, mudah
diakses dan datanya dapat up to date maka pengolahan data di gunakan Sistem
Informasi Geografis (SIG), yang berbasis komputer. SIG yang berbasis komputer
dipergunakan karena sistem ini mampu mengolah dan menganalisis data input
secara keruangan dengan cepat dan akurat.
D. Output Penelitian
Adapun Output yang diharapkan dari kegiatan penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis, kajian penelitian tentang pemetaan daerah rawan bencana
longsor dan banjir di Kabupaten Kolaka Utara akan berkontribusi terhadap
adanya kegiatan antisipasi dari masyarakat terutama yang bermukim pada
daerah-daerah kemiringan terhadap terjadinya bencana alam longsor dan
banjir.
2. Secara praktis, sebagai dasar untuk bahan perbaikan kebijakan serta bahan
rumusan kebijakan Pemerintah Daerah khususnya BNPB Kabupaten
Kolaka Utara dalam mengantisipasi bencana banjir dan tanah longsor.
3. Informasi faktual tentang sebaran wilayah yang rawan bencana longsor
dan banjir di Kabupaten Kolaka Utara sehingga masyarakat dan
pemerintah dapat mengantisipasi terhadap terjadinya bencana banjir dan
tanah longsor

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Longsor
Longsor (land slide) adalah suatu proses perpindahan tanah atau batuan
dengan arah miring dari kedudukan semula, sehingga terpisah dari massa yang
mantap karena pengaruh gravitasi dengan gerakan berbentuk rotasi dan translasi,
selain dari pada itu longsor juga biasa diartikan sebagai suatu bentuk erosi yang
pengangkutan dan pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat dalam volume
yang besar. Longsor ini berbeda dari bentuk-bentuk erosi lainnya, pada longsor
pengangkutan tanahnya terjadi sekaligus. Longsor terjadi karena meluncurnya
suatu volume tanah di atas suatu lapisan agak kedap air yang jenuh air, lapisan
tersebut yang terdiri dari liat atau mengandung kadar liat tinggi yang setelah jenuh
air berfungsi sebagai rel.
Longsor akan terjadi bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (a)
Lereng cukup curam, sehingga volume tanah dapat bergerak atau meluncur ke
bawah, (b) terdapat lapisan di bawah permukaan tanah yang agak kedap air dan
lunak yang berfungsi sebagai bidang luncur, (c) terdapat cukup air dalam tanah,
sehingga lapisan tanah tepat diatas lapisan kedap air tersebut sehingga lapisan
kedap air tersebut menjadi jenuh. Lapisan kedap air juga biasanya terdiri dari
lapisan liat yang tinggi, atau juga lapisan batuan , napal liat (Arsyad, 1989).
Berdasarkan bentuk jatuhnya material maka longsor ada 5 macam yaitu:
(a) Slumping yaitu peluncuran beberapa unit material yang bentuknya berputar
kebelakang; (b) debris slide, yaitu peluncuran cepat dari material gembur yang
tidak berputar kebelakang; (c) debris fall, yaitu gerakan jatuh material pada lereng
yang terjal atau curam; (d) rock slide, yaitu peluncuran material melalui bidang
lapisan dari lipatan maupun patahan; dan (e) rock fall, yaitu gerakan massa
batuan yang belum lapuk pada lereng yang curam.
Beberapa ahli telah mengusulkan klasifikasi longsor. Menurut
Savarenski dalam Zaruba (1982) membagi longsor kedalam 3 kelompok sebagai
berikut:
(1) Longsor asequent, yaitu longsor yang terjadi pada tanah kohesif yang
homogen dan bidang longsornya hampir mendekati lingkaran.
(2) Longsor consequent, yaitu longsor yang terjadi bila mana tanah bergerak di
atas bidang lapis atau sesar (joint)
(3) Longsor insequent, yaitu longsor tanah biasanya bergerak secara transversal
terhadap lapisan dan umunya memiliki ukuran yang luas serta bidang
runtuhannya panjang menembus kedalam tanah.
Nemcoc, Pasek dan Rybar dalam Suharyadi (1984) telah mengusulkan
untuk memperbaiki klasifikasi dan terminologi longsor. Mereka mengusulkan
pengelompokan berdasarkan mekanisme dan kecepatan pergerakan.
Pengelompokannya berdasarkan 4 kategori dasar yaitu: 1) rangkak (creep),
meliputi berbagai macam pergerakan yang lambat (dari beberapa centimeter per
tahun) dari rangkak talud sampai pergerakan lereng gunung akibat gravitasi dalam
jangka waktu yang panjang; 2) aliran (flowing), tanah yang terbawa longsor
banyak mengandung air, maka perilaku longsor seperti aliran; 3) tanggal (fall),
pergerakan batuan padat/pejal (solid) yang cepat dengan sifat utamanya tanggal
bebas (free fall).
Sharpe dalam Zaruba (1982) telah menyelidiki hubungan antara
pergerakan tanah dengan siklus geomorfologi dan faktor cuaca sehingga
menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya longsor ada dua
yaitu faktor fasif dan faktor pendorong. Faktor fasif penyebab terjadinya longsor
yaitu: (a) litologi, yaitu tingkat pelapukan batuan, (b) stratigrafi, yaitu ada atau
tidaknya lapisan batuan, (c) struktur, yaitu banyak tidaknya patahan, retakan dan
arah lapisan batuan, (d) topografi, yaitu masalah curam tidaknya lereng, (e) iklim,
yaitu tinggi rendahnya curah hujan dan adanya temperatur yang ekstrim, (f)
organisme, yaitu kuat tidaknya organisme merusak batuan.
Faktor pendorong terjadinya longsor adalah air, yang jika terlalu banyak
dapat menambah massa tanah dan batuan, dan dapat pula menjenuhkan lapisan
batuan sehingga membentuk lapisan yang mudah bergeser (rel).
Pencegahan bahaya longsor dapat dilakukan dengan pendekatan dua metode
yaitu metode vegetatif dan metode mekanis. Metode vegetatif dilakukan dengan
harapan bahwa vegetasi dapat: mengurangi energi butir hujan, mengurangi energi
aliran permukaan, mengurangi air hujan yang sampai ke tanah (intersepsi), akar
tumbuh-tumbuhan dapat memperkuat ikatan massa tanah atau agregat tanah dan
mempercepat kandungan air tanah melalui transpirasi. Namu perlu diperhatikan
vegetasi yang cocok, karena beberapa vegetasi justru memperbesar infiltrasi dan
vegetasi yang besar dapat meningkatkan pembebanan.
Secara mekanis (teknis) dilakukan dengan prinsip untuk mengurangi
tekanan dan memperbesar kekuatan. Pengurangan tekanan dapat dilakukan
dengan cara melandaikan lereng, terasering, mengalirkan air permukaan,
mengalirkan air bawah permukaan, mengurangi beban. Memperbesar kekuatan
dapat dilakukan dengan cara menggunakan buttress atau counterweight,
pemasangan anchor, bolt dan injeksi semen.
Faktor penyebab terjadinya gerakan pada lereng tergantung pada kondisi
batuan dan tanah penyusun lereng, struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup
dan penggunaan lahan pada lereng tersebut, namun secara garis besar dapat
dibedakan sebagai faktor alami dan manusia. Faktor penyebab longsor secara
alami, adalah kondisi alam yang menjadi faktor utama terjadinya longsor antara
lain: (i) Kondisi geologi, yaitu batuan lapuk, kemiringan lapisan, sisipan lapisan
batu lempung, struktur sesar dan kekar, gempa bumi, stratigrafi dan gunung api;
(ii) Iklim, yaitu curah hujan yang tinggi; dan (iii) keadaan topografi, dan lereng
yang curam ; (iv) keadaan tata air: kondisi drainase yang tersumbat, akumulasi
massa air, erosi dalam, pelarutan dan tekanan hidrostatika; dan (v) tutupan lahan
yang mengurangi tahan geser, misal tanah kritis.
Faktor penyebab longsor oleh manusia, yaitu adanya ulah manusia yang tidak
bersahabat dengan alam merupakan faktor penyebab longsor hal ini antara lain (i)
pemotongan tebing pada penambangan batu dilereng yang terjal; (ii) penimbunan
tanah urugan di daerah lereng; (iii) kegagalan struktur dinding penahan tanah; (iv)
penggundulan hutan; (v) Budidaya kolam ikan diatas lereng; (vi) sistem pertanian
yang tidak memperhatikan irigasi yang aman; (vii) pengembangan wilayah yang
tidak di imbangi dengan kesadaran masyarakat, sehingga RUTR tidak ditaati yang
akhirnya merugikan sendiri; dan (viii) sistem drainase daerah lereng yang tidak
baik (Agus Setyawan, 2012).
B. Faktor Penyebab Longsor
Banyak faktor yang mempengaruhi kestabilan lereng yang mengakibatkan
terjadinya longsoran. Faktor-faktor tersebut semacam kondisi geologi dan
hidrografi, topografi, iklim dan perubahan cuaca. Pada prinsipnya tanah longsor
terjadi bila ada gaya pendorong pada lereng lebih besar daripada gaya penahan.
Gaya penahan pada umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan
tanah. Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air,
beban, serta jenih tanah batuan. Terdapat beberapa faktor penyebab tanah longsor
diantaranya yaitu:
1. Jenis Tanah
Jenis tanah juga mempengaruhi penyebab terjadinya longsor. Tanah yang
mempunyai tekstur renggang, lembut yang sering disebut tanah lempung
atau tanah liat dapat menyebabkan longsoran. Apalagi ditambah pada saat
musim hujan kemungkinan longsor akan lebih besar pada jenis tanah ini.
Hal ini dikarenakan ketebalan tanah tidak lebih dari 2,5 m dengan sudut
lereng 22 derajat. Selain itu kontur tanah ini mudah pecah jika udara
terlalu panas dan menjadi lembek jika terkena air yang mengakibatkan
rentan pergerakan tanah.
2. Curah Hujan
Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November karena
meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang akan
menyebabkan terjadinya penguapan air dipermukaan tanah dalam jumlah
besar. Hal itu mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah
hingga terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan. Pada saat hujan,
air akan menyusup ke bagian yang retak. Tanah pun dengan cepat
mengembangkan kembali. Pada awal musim hujan, kandungan air pada
tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat. Hujan lebat pada awal musim
dapat menimbulkan longsor karena melalui tanah yang mereka itulah, air
akan masuk dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga
menimbulkan gerakan lateral. Apabila ada pepohonan di permukaan,
pelongsoran dapat dicegah karena air akan diserap oleh tumbuhan. Akar
tumbuhan juga berfungsi sebagai pengikat tanah.
3. Kemiringan Lereng
Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong.
Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air
laut, dan angin. Kemiringan lereng dinyatakan dalan derajat persen.
Kecuraman lereng 100% sama dengan kecuraman 45 derjat. Selain
memperbesar jumlah aliran permukaan, makin curam lereng juga
memperbesar kecepatan aliran permukaan, dengan itu memperbesar energi
angkut air.
Klasifikasi kemiringan lereng untuk pemetaan ancaman tanah
longsor di bagi dalam lima kriteria diantaranya yaitu lereng datar dengan
kemiringan 0-8%, landai berombak sampai bergelombang dengan
kemiringan 8-15%, agak curam berbukit dengan kemiringan 15-25%,
curam sampai sangat curam 25-40%, sangat curam dengan kemiringan
>40%. Wilayah yang kemiringan lereng antara 0-15% akan stabil terhadap
kemungkinan longsor, sedangkan di atas 15% potensi untuk terjadi longsor
pada kawasan rawan gempa bumi semakin besar.
4. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan (land use) adalah modifikasi yang dilakukan
oleh manusia terhadap lingkungan hidup menjadi lingkungan terbangun
seperti lapangan, pertanian, dan pemukiman. Permukiman yang menutupi
lereng dapat mempengaruhi penstabilan yang negatif maupun positif.
Sehingga tanaman yang disekitarnya tidak dapat menopang air dan
meningkatkan kohesi tanah, atau sebaliknya dapat memperlebar keretakan
dalam permukaan baruan dan meningkatkan peresatan.
Penggunaan lahan seperti persawahan, perladangan, dan adanya
genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan akarnya kurang
kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan
jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk daerah
perladangan penyebabnya adalah karena akar pohonnya tidak dapat
menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah
longsoran lama.
5. Adanya Beban Tambahan
Adanya beban tambahan seperti beban bangunann pada lereng, dan
kendaraan akan memperbesar gaya pendorong terjadi longsor, terutama di
sekitar tikungan jalan pada daerah lembah. Akibatnya adalah sering
terjadinya penurunan tanah dan retakan yang arahnya ke arah lembah.
6. Pengikisan/Erosi
Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai ke arah tebing. Selain itu
akibat penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai, tebing akan menjadi
terjal.
Tanah longsor terjadi jika dipenuhi tiga keadaan yaitu:
 Kelerengan yang curam
 Terdapat bidang peluncur di bawah permukaan tanah yang kedap
air
 Terdapat cukup air dari hujan d dalam tanah diatas lapisan kedap,
sehingga tanah jenuh air.

Gambar 2.1 gaya-gaya yang mengontrol kestabilan lereng


(Karnawati, 2005)
C. Pemetaan Risiko Bencana
Pemetaan dapat diartikan sebagai proses pengukuran, perhitungan dan
pengambaran objek-objek di permukaan bumi dengan menggunakan cara atau
metode tertentu sehingga didapatkan hasil berupa peta. Peta menyajikan
kumpulan titik-titik, garis, dan area-area yang didefinisikan oleh lokasinya dengan
sistem koordinat tertentu dan oleh atribut non spasialnya. Risiko bencana adalah
potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu kawasan dan
kurung waktu tertentu yang dapat beupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam,
hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gannguan
kegiatan masyarakat (BNPB No 2 tahun 2012).
Kajian risiko bencana adalah mekanisme terpadu untuk memberikan
gambaran menyeluruh terhdapa risiko bencana suatu daerah dengan menganalisis
tingkatan ancaman, tingkat kerentanan, dan kapasitas daerah. Upaya pengkajian
risiko bencana pada dasarnya adalah menentukan besaran tiga komponen risiko
tersebut dan menyajikanna dalam bentuk spasial maupun non spasial agar mudah
dimengerti. Kajian tersebut dapat menghasilkan sebuah peta risiko bencana, yaitu
gambaran tingkat risiko suatu daerah. Hasil dari semua pengkajian risiko bencana
digunakan sebagai salah satu dasar untuk menyusun aksi praktis dalam rangka
kesiapsiagaan, pengambilan keutusan daerah tempat tinggal dan sebagainya.
Wilayah Negara Indonesia yang merupakan wilayah rawan bencana akan
bahaya dapat dilihat dari geografis, klimatologis, dan demografis. Sesuai dengan
UU RI No 24 tahun 2004 tentang penanggulangan bencana, bahwa diperlukan
perencanaan bencana disetiap wilayah administrasi Indonesia. Didalam
perencanaan tersebut tercantum data dan informasi tentang risiko bencana pada
suatu daerah dalam waktu tertentu, dimana data dan informasi itu nantinya untuk
pengambilan kebijakan akan penanggulangan bencana. Perlunya studi risisko
bencana yang baik, tepat dan teliti sesuai dengan kondisi suatu wilayah sehingga
nantinya dihasilkan informasi yang benar-benar nyata (Nugraha 2013).

D. Keadaan Geografis, Tofografi dan Geologi Kabupaten Kolaka Utara


Kabupaten Kolaka Utara mencakup jazirah daratan dan perairan dengan
luas wilayah daratan sekitar 3.391,62 km2, dan perairan laut sekitar 12.376 km2.
Kabupaten Kolaka Utara terletak di daratan tenggara Pulau Sulawesi, dan secara
geografis terletak pada bagian barat Provinsi Sulawesi Tenggara yang memanjang
dari utara ke selatan dan berada diantara 2o 46’45’- 3o 50’50’ Lintang Selatan (LS)
dan membentang dari Barat ke Timur diantara 120o 41’16’- 121˚26’31 Bujur
Timur (BT). Batas-batas wilayah Kabupaten Kolaka Utara adalah (i): di sebelah
Utara berbatasan dengan Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan; (ii)
di sebelah Barat berbatasan dengan Pantai Teluk Bone; (iii) di sebelah Selatan
berbatasan dengan Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka; dan (iv) di sebelah Timur
berbatasan dengan Kecamatan Uluiwoi Kabupaten Kolaka, dan Kabupaten
Konawe Utara, sebelah selatan menyebabkan jarak masing-masing kecamatan ke
Ibukota Kabupaten yaitu Lasusua. Kecamatan paling dekat adalah Katoi (±17
km), dan Kecamatan paling jauh adalah Tolala (±130 km). Kondisi geografis ini
merupakan bangunan arsitektur yang menampakkan berupa rupa bumi dan seluruh
unsur-unsur geografinya oleh proses-proses hasil rekonstruksi geologi dan
aktivitas destruktif oleh suasana dan kondisi iklim yang berlaku di daerah tropis
secara umum terjadi di Indonesia. (BPS Kolut, 2012). Secara lengkap lokasi
Kabupaten Kolaka Utara dapat dilihat pada peta seperti pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Peta Lokasi Kab. Kolaka Utara

Kondisi geografis Kabupaten Kolaka Utara memanjang dari utara ke


Secara geografis Kabupaten Kolaka Utara dapat di klasfikasikan kedalam
4 (empat) satuan fisiografis yaitu: (i) Satuan Geografis - Fisiografis Pegunungan;
(ii) Satuan Geografis - Fisiografis Perbukitan; (iii) Satuan Geografis - Fisiografis
Karst; dan (iv) Satuan Geografis – Fisiografis dataran rendah.
Selanjutnya kondisi topografi wilayah Kabupaten Kolaka Utara umumnya
terdiri dari gunung, bukit lembah dan lautan yang memanjang dari utara ke
selatan. Diantara gunung, bukit, lembah dan laut yang memanjang dari utara ke
selatan. Di antara jenis permukaan tersebut terdapat lahan yang merupakan
potensial untuk pengembangan sektor pertanian dalam arti luas, perikanan dan
pertambangan dengan tingkat kemiringan:
1) Lahan dengan lereng antara 00 – 20 seluas 1.017,49 km² (30%) layak untuk
pemukiman, pertanian, perikanan dan kegiatan lainnya.
2) Lahan dengan lereng antara 20 – 150 seluas 678,32 km² (20%) layak untuk
pemukiman, pertanian, dan perkebunan.
3) Lahan dengan lereng antara 150 – 400 seluas 339,16 km² (10%) layak
untuk perkebunan, pertanian dan pemukiman.
4) Lahan dengan lereng 400 ke atas seluas 1.356.65 km² (40%) adalah
wilayah yang perlu dijaga kelestariannya.

Kabupaten Kolaka Utara dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kawasan


pegunungan yang terdiri dari: (1) Pegunungan Tangkelemboke terdapat di wilayah
utara sampai perbatasan dengan Kabupaten Luwu Timur (Provinsi Sulawesi
Selatan); (2) Pegunungan Mekongga yang meliputi sebagian besar Wilayah
Kabupaten Kolaka Utara di bagian Tengah, dan (3) Pegunungan Tinondo pada
sebagian kecil wilayah Kabupaten Kolaka Utara di bagian Selatan.
Beberapa topografi tertinggi di daerah ini mencapai ketinggian 2.420
meter dan 2.790 meter di atas permukaan laut (dpl), yang secara geologi disusun
oleh batuan malihan/metamorfosa dan batuan gamping yang pada umumnya
menunjukkan tonjolan kasar dan tajam, berlereng curam dan sempit. Sedangkan
daerah pegunungan yang disusun oleh oleh batuan Ultramatik/Ultrabasa pada
umumnya bertonjolan halus dan berlereng tidak begitu curam.
Wilayah perbukitan terdapat di bagian barat mengikuti konfigurasi pantai
Kabupatan Kolaka Utara dari wilayah bagian tengah. Adapun topografi karst
dapat dijumpai membentuk sabuk sejajar pantai dari Selatan – Tengah – dan Utara
yang mengapit wilayah dataran rendah tersebar setempat di Selatan – Tengah –
dan Utara.
Secara geologi kawasan perbukitan disusun konglomerat (Molasa
Sulawesi) membentuk perbukitan landai menggelombang dengan pola aliran
sungai meranting dan sejajar, demikian pula dikawasan pegunungan dengan pola
aliran sungai yang sama. Kawasan topografi Karst disusun oleh batu
gamping/batu kapur dicirikan oleh adanya gua batu gamping dan aliran sungai-
sungai bawah tanah. Sedangkan dataran rendah terdapat di daerah pantai pada
sepanjang aliran sungai besar dan muara sungai. Sebagaimana ditujukkan oleh
peta geologi, maka kelurusan dan pola persebaran bukit, pegunungan dan
topografi karst serta lembah dan sungai dikendalikan oleh adanya patahan/sesar
yang berarah Barat Laut – Tenggara dan Timur – Barat.
Kabupaten Kolaka Utara memilki beberapa sungai yang tersebar di 15
Kecamatan. Sungai-sungai tersebut pada umumnya memiliki potensi yang dapat
dijadikan sumber energi listrik (Pembangkit Tenaga Listrik Mikrohidro/PLTMH),
pertanian, perikanan, kebutuhan industri dan rumah tangga, serta pariwisata.
Beberapa sungai yang melintasi wilayah Kabupaten Kolaka Utara. Keseluruhan
sungai-sungai tersebut mengalir ke barat dan bermuara di Teluk Bone, yang
secara oceanografi memiliki perairan laut mencapai ± 500 km².
Berdasarkan kondisi tofografi, geografis dan geologis Kabupaten Kolaka
Utara, maka daerah ini termasuk dari empat Kabupaten di Provinsi Sulawesi
Tenggara yang memiliki potensi besar mengalami bencana alam tanah longsor
dan banjir. Oleh karena itu pemerintah Kabupaten Kolaka Utara harus berupaya
semaksimal mungkin melalui Badan Nasional Penaggulangan Bencana (BNPB)
untuk membuat suatu kebijakan yang mengantisipasi datangnya bencana tersebut.
Salah satunya adalah melalui kajian ilmiah untuk membuat pemetaan wilayah
kategori sebaran potensi tanah longsor dan banjir.

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Kolaka Utara Provinsi Sulawesi
Tenggara dengan waktu penelitian direncanakan berlangsung selama tiga bulan,
mulai dari bulan Oktober sampai dengan Desember 2017.
B. Variabel Penelitian
Variabel yang akan diamati dalam penelitian adalah kemiringan lereng,
tekstur tanah, permeabilitas tanah, kedalaman solum tanah, ke dalaman pelapukan,
kerapatan vegetasi, penggunaan lahan, luas genangan air, lama genangan air,
kedalaman genangan air, frekuensi terjadinya genangan.
C. Flow Chart Tahapan Pelaksanaan Penelitian
Peta Rupa Bumi
Skala 1 : 50.000 Peta Tanah Peta Penggunaan
Skala 1 : 50.000 Lahan
Peta Kemiringan Lereng
Skala 1 : 30.000

Tumpang

Peta Satuan Lahan sementara


Skala 1 : 50.000

Data Primer
Observasi
Data Sekunder
(kemiringan Analisis
Uji Lapangan laboratorium
2. Kedalaman solun 1. Permeabilitas
3. Kedalaman 2. Tekstur tanah
4. pelapukan
5. Penggunaan lahan
Harkat masing-masing parameter

Penjumlahan kadar masing-masing parameter

Kelas bahaya longsor lahan

Pengelompokan kelas-kelas yang sama

Petadan
G. Susunan Tenaga Ahli zonasi daerah
Biaya rawan
yang longsor
Dibutuhkan
Pelaksanaan penelitian
Gambar 3.1.dilakukan olehPelaksanaan
Diagram Alir tenaga profesional
Penelitian dengan jumlah
yang cukup memenuhi persyaratan ditinjau dari lingkup ini. Tenaga profesional
tersebut ialah personil berlatar belakang pendidikan S2 dan S3. Klasifikasi tenaga
yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian ini adalah: (1) tenaga Ahli, yang
memiliki pengalaman pelaksanaan penelitian dan pengajaran, dan juga telah
berpengalaman dalam PTBK (Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi) yang
diselenggarakan pada tingkat Nasional, dan juga pada Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Provinsi dan Kabupaten/Kota; (2) tenaga Pendukung, sebagai
tenaga administrasi operator komputer/tenaga lapangan seperti pada tabel 3.1.
Tabel 3.1 Susuna Tim Peneliti
No Nama Jabatan Keahlian
Tenaga Ahli
1 Amiruddin Takda, S.Pd., M.Si Ketua Tim Fisika Kebumian
Nip. 19700216 199403 1 003
2 Dr. Djafar Mey, S.P., M.Si Anggota Geografi/Ilmu
Nip. 19700504 200312 1 001 Tanah
3 Ld. Nursalam, S.Pd., M.Pd Anggota Geografi
Nip. 19770821 200312 1 001
4 Drs. La Tahang Anggota TIK
Nip. 19621231 199003 1 026
5 Ahmad Iskan, S.Pd., M. Sc Anggota Klimatologi
Nidn. 004128703
Tenaga Pendukung
1 Syarifuddin, S. Pd., M.Pd Tenaga Administrasi
pendukung
2 Muh. Alam, S. Pd Tenaga Operator
pendukung komputer/tenaga
lapangan

F. Jadwal Pelaksanaan Penelitian


Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan yaitu
mulai dari bulan Oktober 2017 sampai dengan bulan Desember 2017. Adapun
rinican kegiatan penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut ini.
Tabel 3.2 Rincian Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Bulan
No. Uraian Kegiatan
April Mei Juni Juli
1. Kegiatan Administrasi √ √ √
2. Seminar awal √
3. Pengumpulan dan Pengolahan Data
a. Pengumpulan Data
√ √ √
Primer dan Sekunder
b. Verifikasi Data Primer dan Sekunder √ √
c. Penginputan Data √
d. Analisis dan Pengolahan Data √
4. Rapat-Rapat Internal Tim √
√ √
Membahas Progress Penelitian
5. Penyempurnaan Data Penelitan (Cross cek

Data di lapangan yang masih diperlukan)
6. Penyusunan Laporan Antara √
7. Seminar Akhir √
8. Penyusunan dan finalisasi laporan akhir √
9 Penyelesaian Laporan Administrasi dan √
Keuangan

G. Instrumen Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam mendukung proses kerja penelitian ini
diantaranya sebagai berikut:
1. Alat
 Bor Tanah
 Meteran
 Kertas Label
 Plastik Sampel
2. Hardaware
Perangkat keras yang dibutuhkan untuk penelitian ini meliputi:
 Laptus ASUS dengan Processcor Intel Core i5
 Layar 14 Inc
 RAM 4 GB
 Hardissk 500 GB
 Printel EPSON L 360
3. Software
 Windows 10 Ultimate 64 Bit
 ArcGis 10.3
 Microssoft Word 2010
 Microsoft Excel 2010
 Google Earth
4. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
 Data kemiringan lereng Kabupaten Kolaka Utara dalam Bentuk peta
digital
 Data jenis tanah Kabupatek Kolaka Utara dalam bentuk peta digital
 Data guna lahan Kabupaten Kolaka Utara dalam bentuk peta digital
 Data geologi Kabupaten Kolaka Utara dalam bentuk peta digital
 Dan data lain yang diambil dari berbagai sumber
H. Tahap Pasca Kerja Lapangan
Pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan adalah penggambaran ulang peta-
peta tematik yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya di lapangan dan
analisis sampel tanah di laboratorium meliputi analisis tekstur dan analisis
permeabilitas.
1. Analisis Tekstur Tanah
Tekstur tanah diperoleh dari sampel tanah yang diambil pada setiap
satuan lahan pada lokasi penelitian yang akan di analisis di laboratorium
menggunakan metode pemipetan.
Caranya: timbang 20 gram tanah kering udara, butur-butir tanah ini
berukuran kurang dari 2 mm. Masukkan ke dalam erlenmeyer atau botol
tekstur dan tambahan 10 ml calgon 0,5% dan air secukupnya. Tutup
dengan plastik, kemudian kocok dengan mesin pengocok 1-2 jam.
Tuangkan secara kualitatif semua isinya kedalam silinder sedimentasi 500
ml yang diatasnya dipasang saringan denagn diameter lubang sebesar 0,05
mm dan bersihkan botol tekstur dengan bantuan botol semprot. Semprot
dengan sprayer sambil di aduk-aduk sampai semua partikel debu dan liat
turun ke wadah (air saringan telah jernih). Pasir yang tertinggal
dipindahkan kedalam cawan, kemudian dioven kurang lebih 3 jam
kemudian dimasukkan kedalam desikator dan timbang hingga berat pasir
deketahui (c gram). Cukupkan larutan suspensi dalam silinder sedimentasi
dengan air destilasi hingga 500 ml. Angkat silinder sedimentasi, sumbat
baik-baik dengan karet, lalu kocok bolak balik tegak lurus 1800 sebanyak
20 kali atau dapat juga dilakukan dengan memasukkan pengocok kedalam
selinder sedimentasi lalu aduk naik turun selama 1 menit. Cepat tuangkan
kira-kira 3 tetes amyl alcohol kepermukaan suspensi untuk
menghilangkangangguan buih yang mungkin timbul. Setelah 15 detik,
masukkan hidrometer ke dalam suspensi tidak banyak gangguan. Setelah
40 detik, baca dan catat pembacaan hidrometer pertama (H1) dan suhu suspensi
(t1). Dengan hati-hati keluarkan hidrometer dari suspensi. Setelah menjelang 8
jam, masukkan hidrometer dan catat pembacaan hidrometer kedua (H2) dan suhu
suspensi (t2). Hitung liat dengan menggunakan persamaan di bawah ini:

 H2  0,3 (t2 - 19,8) 


 2   0,5
 
...............................................................(1)
2. Analisis Permeabilitas Tanah Dalam Keadaan Jenuh
Permeabilitas secara kuantitatif diartikan sebagai kecepatan
bergeraknya suatu cairan pada suatu media berpori dalam keadaan jenuh.
Dalam hal ini sebagai cairan adalah air dan sebagai media berpori adalah
tanah. Penetapan permeabilitas tanah dilakukan menurut cara yang
dikemukakan oleh De Boodt (1967) berdasarkan hukum Darcy.

I. Penentuan Nilai Skor Variabel Penelitian


Berikut ini diuraikan secara detail yeknik analisis untuk mnetapkan tingkat
bahaya longsor lahan masing-masing satuan lahan dengan cara pemberian
harkat pada masing-masing satuan lahan yang merupakan faktor penentu
tingkat bahaya longsor lahan.
1. Lereng
Lereng merupakan salah satu unsur topografi yang terdiri dari
komponen panjang, bentuk dan kemiringan lereng. Komponen lereng yang
digunakan dalam menentukan tingkat bahaya longsor kemiringan lereng.
Pada dasarnya kemiringan lereng berpengaruh terhadap gaya tarik bumi
(vertical) dan geser (panjang lereng). Semakin datar lereng, gaya tarik
bumi dapat bekerja sepenuhnya, sehingga material lapuk dan lepas tidak
akan terjadi pergeseran gaya horizontal. Untuk lereng yang miring hingga
terjal makan akan terjadi resultan gaya akibat adanya dua gaya yang
mempengaruhi yaitu gaya tarik bumi dan geser. Sehingga material lapuk
dan lepas bergerak manuruni lereng, walaupun tanpa media pengangkat
air.
Klasifikasi kelas kelerengan menurut BAPPEDA (Badan
Pemerintahan Daerah) Kabupaten Kolaka Utara namun pembobotan
mengacuk pada (Taufik Q, Firdaus dkk 2012).
Kemiringan lereng dibuat peta kontur digital menggunakan ArcGis.
Klasifikasi kemiringan lereng ditunjukkan pada tabel berikut ini:
Tabel 3.3. Kemiringan lereng
No Besar Kriteria kemiringan Bobot Harkat
lereng lereng
1 0 -8 Datar 1
2 8 – 15 Landai 2
3 15 – 25 Miring 0,36 3
4 25 - 40 Terjal 4
5 >40 Sangat terjal 5

Faktor-faktor terjadinya tanah longsor adalah kelerengan, curah hujan,


penggunaan lahan, dan jenis tanah (Taufik Q, Firdaus dan Deniyanto
2012.
2. Bentukan Lahan
Bentukan lahan merupakan morfologi dan karakteristik permukaan
lahan sebagai hasil interaksi antara proses fisik dan gerakan kerak dengan
geologi lapisan permukaan bumi. Struktur geomorfologi memberikan
informasi tentang asal-usul dari bentuk lahan. Proses geomorfologi
dicerminkan oleh tingkat pentorehan atau pengikisan sedangkan relief
ditentukan oleh perbedaan titik tertinggi dengan titik terendah dan
kemiringan lereng.
Pada tabel berikut disajikan klasifikasi bentukan lahan beserta
harkatnya di dalam sumbangannya pada proses terjadinya longsor
lahanan.
No Kriteria Bobot Skor

1 Dataran aluvial, 1

2 Perbukitan terisolir 2

3 Perbukitan terkikis, gawir 0,36 3


sesar

4 Pengunungan blok sesar 4

5 Pengunungan terkikis 5

3. Tekstur Tanah
Tekstur tanah merupakan perbandingan persentase pasir, debu, dan
lempung dalam agregat tanah. Dalam kaitannya dengan proses gerakan
massa batuan/tanah, tekstur memegang peranan penting di dalam prose
terjadinya longsor lahan. Tanah bertekstur pasir, karena keuatan agregat
kurang kuat, sehingga jika terjadi kelembaban tertentu dapat
menyebabkan tidak stabilnya agregat tanah. Tanah dengan tekstur
lempung, dalam keadaan lembab akan sulit untuk segera kering sehingga
menyebabkan terjadinya pertambahan berat volume tanah. Hal ini dapat
mendukung terjadinya longsor lahanan. Disamping itu apabila gerakan
air masuk kedalam tanah (infiltrasi) sambil mengangkut partikel
lempung, maka apabila lempung tersebut mencapai bidang batas antara
batuan segar dan batu yang telah lapuk akan menjadikan bidang tersebut
sebagai bidang gelincir yang efektif. Pada tabel berikut disajikan
klasifikasi tekstur tanah beserta harkatnya di dalam sumbangannya pada
proses terjadinya longsor lahanan.
Tabel 3.4 Tekstur Tanah
No Tekstur Bobot Harkat

1 Geluh 1

2 Geluh berlempung, geluh 2


berdebu
0,14
3 Geluh berpasir 3

4 Lempung bergeluh, pasir 4


bergeluh

5 Lempun pasir 5

Tanah dengan perbandingan pasir, debu, dan lempung


dikelompokkan atas berbagai kelas tekstur seperti digambarkan pada
segitiga tekstur tanah.
Gambar 3.2 Segitiga Tekstur Tanah

Misalkan suatu tanah mengandung 50% pasir, 20% debu dan 30%
liat. Dari segitiga tekstur dapat dilihat bahwa sudut kanan bawah segitiga
mengammbarkan 0% pasir dab sudut kirinya 100% Pasir. Temukan titik
50% pasir, pada pasir dasar segitiga dan dari titik ini tarik garis sejajar
dengan sisi kanan segitiga (ke kiri atas). Kemudian temukan titik 20%
debu dari sisi kanan segitiga. Dari titik ini tarik garis sejajar dengan sisi
kiri segitiga, sehingga garis ini berpotongan denga garis pertama.
Kemudian temukan titik 30% liat dan tarik garis ke kanan sejajar dengan
sisi dasar segitiga sehingga memotong dua garis sebelumnya. Dari
perpotongan ketiga garis ini ditemukan bahwa tanah ini mempunyai kelas
tekstur “lempung liat berpasir”.
Penentuan tekstur suatu tanah secara kuantitatif dilakkan melalui
proses analisis mekanis. Proses ini terdiri atas pendispersian agregat tanah
menjadi butir-butir tunggal dan kemudian diikuti dengan sedimentasi.
4. Penggunaan lahan
Manusia di dalam usahanya untuk memanfaatkan lahan khususnya di
dalam meningkatkan pertanian persatuan luas lahan, kadang hanya
memandang penghasilan dari hasil kegiatannya, dengan memperhitungkan
hasil produksi yang hanya memandang hal-hak yang dapat dinilai dengan
uang, seperti sewa tanah, pupuk dan obat-obatan, dan biaya pengolahan
tanah. Kegiatan ini kadang mengabaikan efek dari tindakan budidaya yang
dilakukan terhadap pemanfaatan lahan.
Campur tangan manusia dalam pengolaan lahan mencangkup
pembuatan terasering, pencangkulan, penanaman, dan penebangan kayu
pada lahan-lahan yang mempunyai kemiringan yang sedang hingga curam,
sering kali tifak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air,
akibatnya akan menimbulkan gerak massa batuan yang sebelumnya tidak
pernah dialami oleh penduduk setemat. Dukungan penggunaan lahan
terhadap terjadinya proses longsor lahan, disajikan pada tabel berikut ini:

Tabel 3.5 penggunaan Lahan/Penutupan Lahan


No Penggunaan Lahan Bobot Harkat
1 Hutan sejenis 1
2 Hutan tak sejenis, semak 2
3 Kebun campuran 0,07 3
4 Sawah, pemukiman 4
5 Tegalan 5
5. Struktur Geologi
Kondisi geologi dalam hal ini dilihat berdasarkan satuan geomorfologi
batuan pembentuk dan struktur geologinya.
Tabel 3.6 Struktur Geologi
No Jenis Batuan Bobot Harkat

1 Aluvium, Volcaniv 1

2 Clastic, Limestone 2

3 Mari 0,07 3

4 Plustonic, Instrusion 4

5 Non-clastic, Limestone, Andestic, Breccials, 5


Sandstone

Dengan menngunakan 4 faktor penentuk tingkat bahaya longsor


lahan tersebut, maka penentuan tingkat bahaya longsor lahan disetiap
satuan lahan dengan menngunakan rumus IRL berikut ini:

IRL= (0,36.Skor B1+ 0,36.Skor L + 0,07. Skor G _ 0,14. Skor T + 0,07. Skor P1)

Dengan demiian maka kelas bahaya longsor lahan dapat ditetapkan


dengan interval seperti pada tabel 3.7 berikut ini:
No Kelas Interval Tingkat Rawan Longsor
1 1 - 2,33 Rendah
2 2,34 – 3,67 Sedang
3 3,68 - 5 Tinggi
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
1. Dekskripsi Lokasi Penelitian
Kabupaten Kolaka Utara merupakan salah satu kabupaten yang
terletak di Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara astronomis Kabupaten
Kolaka Utara terletak pada 020 45’ – 040 000 LS dan 1200 45’ – 1210 30’
BT. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) 2012, menunjukkan bahwa
Kabupaten Kolaka Utara memiliki luas wilayah ± 3.237,96 Km2.
Secara administratif, wilayah Kabupaten Kolaka Utara terbagi atas
15 kecamatan 7 kelurahan dan 132 desa dengan batas-batas sebagi berikut:
 Utara : Kabupaten Luwu Timur (Provinsi Sulawesi Selatan)
 Timur : Kecamatan Routa dan Kecamatan Lamonae (kabupaten
Konawe serta Kecamatan Uluiwoi (kabupaten Kolaka)
 Barat : Perairan Teluk Bone (Provinsi Sulawesi Selatan)
 Selatan : Kecamatan Wolo (Kabupaten Kolaka) dan perairan teluk
bone (Provinsi Sulawesi Selatan)
Untuk lebih jelasnya mengenai gambaran umum Kabupaten Kolaka
Utara dapat dilihat pada gambar dan tabel berikut:
Gambar 4.1 Peta Administrasi Kabupaten Kolaka Utara
Tabel 4.1: Luas Wilayah, Jumlah Desa/Kelurahan dan Ibu Kota
Kecamata di Kabupaten Kolaka Utara
No Kecamatan Ibu kota Luas wilayah Jumlah Kelurahan
desa
Km2 %

1 Batu putih Batu putih 352,03 10,9 10 

2 Katoi Katoi 154,07 4,8 6 -

3 Kodeoha Mala-mala 113,85 3,5 7 -

4 Lambai Lambai 97,86 3,0 7 -

5 Lasusua Lasusua 270,22 8,3 11 

6 Ngapa Lapai 166,58 5,1 11 

7 Pakue Olo-oloho 152,47 4,7 10 

8 Pakue tengah Latali 179,04 5,5 10 -

9 Pakue utara Pakue 352,61 10,9 9 -

10 Porehu Porehu 668,81 20,7 8 -

11 Rante angin Rante angin 82,38 2,5 6 

12 Tiwu Tiwu 102,66 3,2 11 

13 Tolala Tolala 244,04 7,5 6 

14 Watunohu Watunohu 35,74 1,1 8 -

15 Wawo Wawo 265,59 8,2 7 -

Kolaka Utara Lasusua 3.237,96 100,00 132 7

Sumber: Profil Kabupaten Kolaka Utara 2014


B. Zonasi Rawan Longsor
1. Kondisi Lereng
Dilihat dari kondisi fisik Kabupaten Kolaka Utara, topografi
Kabupaten Kolaka Utara berada pada elevasi 0 – 2.790 Mdpldengan
tingkat yang bervariasi di mulai dari daerah pesisir, dataran pantai,
landai, bergelombang, perbukitan, hingga pegunungan. Sedangkan
dilihat dari kemiringan lerengnya Kabupaten Kolaka Utara daerahnya
memiliki tingkat kemiringan lereng dari datar hingga sangat curam.
Luas daerah berdasarkan kelerengan berbeda. Daerah dengan
kelerengan (0-8%) memiliki luas 18298,48 Ha (6%). Luas daerah yang
memiliki kelerengan (8-15%) adalah 3399.284 Ha (1%). Luas daerah
dengan kelerengan (15-25%) adalah seluas 20111.82 Ha (6%). Luas
daerah dengan kelerengan (25-45%) adalah seluas 259911.9 Ha (84%).
Luas daerah dengan kelerengan (>45%) adalah seluas 8191.367 Ha
(3%). Dari luas Kabupaten Kolaka Utara yang tersebar sepanjang barat
Kabupaten Kolaka Utara. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
gambar dan tabel di bawah ini:
Gambar 4.2 Peta Kemiringan Lereng Kabupaten Kolaka Utara
Tabel 4.2: Kelas lereng Kabupaten Kolaka Utara
Kelas lereng Luas (Ha) Persentase %

0-8 3399,284 1%

8-15 18298,48 6%

15-25 20111,82 6%

25-45 259911,9 84%

>45 8191,367 3%

Total 309912,851 100

Sumber: Hasil analisis peta lereng Kabupaten Kolaka Utara 2018

Dilihat dari kondisi fisiografisnya, maka secara geografis


Kabupaten Kolaka Utara dapat dikelompokkan kedalam:
 Wilayah pengunungan dan perbukitan yang relatif terjal dengan
jalur topografi yang curam – sangat curam menempati wilayah
timur dan melintang dari utara – selatan dan berbatasan dengan
Kabupaten Konawe dan Kolaka
 Wilayah daratan pantai dan bantaran sungai yang relatif sangat
terbatas (sempit) sebagai transisi antara paparan laut dan topografi
terjal, bersifat menyebar dari utara – selatan mengikuti Teluk Bone
 Wilayah perairan dari paparan dan delta yang berhadapan dengan
Teluk Bone melintang dari utara – selatan, sebagai bagian barat
dari kali jazirah tenggara pulau sulawesi
2. Kondisi Fisografi (Bentukan Lahan)
Daerah penelitian memiliki empat jenis bentukan lahan yaitu Dataran,
Dataran Pantai, Pengunungan dan Perbukitan. Bentuk lahan
Pengunungan merupakan bentuk lahan yang mendominasi pada daerah
penelitian. Luas jenis bentuk lahan ini pada daerah penelitian adalah
286.303,04 Ha (92%) yang menyebar di hampir semua Kecamatan di
Kabupaten Kolaka Utara kecuali Kecamatan Rante Angin. Bentuk
lahan perbukitan mempunyai luas 2950.642 Ha (1%) yang
membentang pada bagian tengah lokasi penelitian, adapun bentukan
lahan dataran pantai mempunyai luas 4278.122 Ha (1,4%) yang
membantang di sepanjang pinggiran Kabupaten Kolaka Utara.
Bentukan lahan dataran dengan luas 16322.71 (5,3%) terdapat di setiap
masing-masing Kecamatan di Kabupaten Kolaka Utara. Untuk lebih
jelasnya dapat diperhatikan pada gambar dan tabel berikut ini.
Gambar 4.3 Peta bentuk Lahan Kabupaten Kolaka Utara
Tabel 4.3 luas lahan Kabupaten Kolaka Utara berdasarkan bentuk
lahan
No Bentuk Lahan Luas

Ha %

1 Dataran 16322,71 5,3%

2 Dataran Pantai 4278,122 1,4%

3 Perbukitan 2950,642 1%

4 Pengunungan 286.303,04 92%

Sumber: Hasil analisis Peta Bentuk Lahan Kabupaten Kolaka Utara


3. Kondisi Tanah
Jenis tanah yang terdapat di Kolaka Utara antara lain jenis tanah
aluvial, podsolik merah kuning, latosol, rendzina, mediteran merah
kuning. Tanah podsolik merah kuning dan litosol merupakan jenis
tanah yang paling sedikit di Kabupaten Kolaka Utara dengan luas
16.6750 Ha. Tanah latosol, jenis tanah ini sebagian besar terdapat di
daerah utara Kabupaten Kolaka Utara dan sebagian kecilnya berada di
barat teluk bone, tanah ini mempunyai luas 73.243,1 Ha. Tanah
renzinia dan mediterian merah kuning yang tersebar di selatan dan
timur Kabupaten Kolaka Utara dan sebagian besar berada di bagian
utara teluk bone, tanah ini mempunyai luas 53.316,7. Tanah aluvial
merupakan tanah yang tersebar di sebelah barat di dataran pantai teluk
bone ke arah utara dengan luas 17.207,7, untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada tabel dan gambar berikut ini
Gambar 4.4 peta jenis tanah Kabupaten Kolaka Utara
Tabel 4.4: Jenis tanah Kabupaten Kolaka Utara
Jenis tanah Luas (Ha) Persentase %

Rendzina, mediteran merah 53.316,7 34,11


kuning

Latosol 73.243,1 38,40

Padsolik merah kuning, litosol 166.750 5,09

Aluvial 17.207,7 22,4

Total 310.517,50 100

Sumber: Olah data dari peta jenis tanah Kabupaten Kolaka Utara

a. Sifat dan Ciri Umum Tanah


1) Tanah Rendzina
Tanah Rendzina merupakan tanah organik diatas bahan berkapur
yang memiliki tekstur lempung. Tanah Rendzina memiliki kadar
lempung yang tinggi, teksturnya halus dan daya permeabilitas
rendah sehingga kemampuan menahan air dan mengikat air tinggi.
Tanah Rendzina berasal dari pelapukan batuan kapur dengan curah
hujan yang tinggi. Tanah jenis ini memiliki kandungan Ca dan Mg
yang cukup tinggi, bersifat basa, berwarna hitam, serta hanya
mengandung sedikit unsur hara. Ciri tanah Rendzina adalah halus
kering, berwarna cokelat, merah, dan hitam, serta mengandung
bahan organ
Gambar 4.5 Tanah Rendzina
2) Tanah Mideteran Merah Muning
Tanah Mideteran Merah Kuning merupaka tanah yang
terdapat penimbunan liat di horison bawah dan mempunyai
kejenuhan basa tinggi yaitu lebih 35% pada kedalaman 180 cm
dari permukaan tanah.
Tekstur Tanah Mideteran Merah Kuning bervariasi yaitu:
1) Pasir, yaitu butiran tanah yang berukuran antara 0,050 mm
sampai dengan 2 mm. 2) Debu, yaitu butir tanah yang
berukuran antara 0,002 mm sampai dengan 0,050 mm. 3) Liat
yaitu butir tanah yang berukuran dari 0,002 mm.
Struktur Tanah Mideteran Merah Kuning memiliki struktur
gumpal hingga gumpal bersudut. Struktur ini beraneka ragam
ukurannya ada yang kecil ada juga yang besar tergantung bahan
organik pengingatnya.
Warna Tanah Mideteran Merah Kuning adalah mulai dari
kuning, coklat, hingga merah. Pada Tanah Midetaran Merah
Kuning ini mengandung besi oksidasi berwarna merah, agak
kecoklatan atau kuning tergantung hidrasinya, selain juga
mengandung kadar Fe tinggi, Bo rendah dan memiliki unsur
hara yang tinggi.
Gambar 4.6 Tanah Mideteran Merah Kuning

3) Tanah Latosol
Tanah Latosol merupakan tanah yang mempunyai lapisan
solum, lapisan solum yang dimiliki ini cenderung tebal yaitu
antara 130 cm hingga 5 m. Ciri umum yang dimiliki tanah
latosol adalah:
 Tanahnya berwarna merah, coklat hingga kekuning-
kuningan
 Tekstur tanah pada umumnya adalah liat
 Memiliki Ph 4,5 hingga 6,5 yakni dari asam hingga
agak asam
 Struktur tanah pada umumnya adalah remah dengan
konsistensi gembur
 Memiliki bahan organik sekitar 3% hingga 9% namun
pada umumnya hanya 5% saja
 Mengandung unsur hara yang sedang hingga tinggi
 Mempunyai infiltrasi agak cepat hingga agak lambat
 Daya tanah air cukup baik
Gambar 4.7 Tanah Latosol
4) Tanah Podsolik Merah Kuning
Tanah Podsolik Merah Kuning (PMK) adalah tanah yang
terbentuk karena curah hujan yang tinggi dan suhu yang sangat
rendah dan juga merupakan jenis tanah mineral tua yang
memiliki warna kekuningan atau kemerahan. Warna kuning
dan merah ini disebabkan oleh longgokan besi dan aluminium
yang teroksidasi. Mineral lempung yang terdapat pada tanah ini
penyusunnya di diminasi oleh silikat.
Tanah Podsolik Merah Kuning bagian dari tanah Ultisol,
karakter utama tanah ultisol adalah memiliki horizon A yang
tipis, dan memiliki sifat agak masam. Ciri-ciri tanah Podsolik
Merah Kuning adalah:
 Berasal dari bahan induk batuan karsa di zona iklim
basah dengan curah hujan antara 2500-3000 mm/tahun
 Memiliki sifat yang mudah basah dan mudah
mengalami pencucian oleh air hujan
 Tekstur tanahnya berlempung dan berpasir
 Memilik PH yang rendah
 Memiliki unsur aluminium dan besi tinggi
 Memiliki daya simpan unsur hara yang sangat rendah
karena sifat lempungnya beraktivitas rendah
 Kejenuhan unsur basa seperti Ca, Mg, dan K yang
rendah sehingga tidak cocok untuk tanaman semusim
 Daya simpan air rendah sehingga mudah mengalami
kekeringan
 Kadar bahan organik yang rendah dan hanya terdapat di
permukaan tanah

Gambar 4.8 Tanah Podsolik Merah Kuning

5) Tanah Aluvial
Tanah Aluvial merupakan tanah berasal dari endapan
material yang di bawah oleh sungai. Sifat dari tanah aluvial
kebanyakan diturunkan dari bahan yang diangkut dan
diendapkan. Teksturnya berkaitan dengan laju air
mendepositkan alluvium. oleh karena itu tanah ini cenderung
berstruktur kasar yang dekat aliran air dan berstruktur halus
didekat pinggiran luar paparan banjir.
Kadar fosfor yang ada dalam tanah aluvial ditentukan oleh
banyak atau sedikitnya cadangan mideral yang mengandung
fosfor dan tingkat pelapukannya. Tingkat kesuburan tanah
aluvial sangat tergantung dengan bahan induk dan iklim. Suatu
kecenderungan memperlihatkan bahwa di daerah beriklim
basah reletiv rendah dan Ph lebih rendah dari 6,5 daerah
dengan curah hujan rendah di dapat kandungan lebih tinggi dan
netral.
Struktur tanah aluvial di persawahan akan berbeda
morfologisnya dengan tanah yang tidak dipersawahan.
Perbedaan yang sangat nyata dapat dijumpai pada epipedonnya,
dimana pada epipedon yang tidak dipersawahan berstruktur
granlar. Sedangkan epipedon tanah aluvial yang dipersawahan
tidak berstruktur. Dan warna pada daerah persawahan berwarna
kelabu, sedangkan epipedon yang tidak dipersawahan berwarna
coklat tua

Gambar 4.9 Tanah Aluvial

4. Tekstur Tanah
Ada tiga macam jenis tekstur tanah di lokasi penenlitian yaitu
Lempung, Lempung Berdebu, Lempung Berpasir. Daerah dengan
tekstur tanah Lempung Berdebu mendominasi dengan luas 74.296,8
Ha (43%) dan disusul dengan tekstur tanah Lempung dengan luas
102.10 Ha (33%) kemudian tekstur tanah Lempung Berpasir dengan
Luas 133.521 Ha (24%). Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan pada
gambar dan tabel berikut ini.
Gambar 4.10 Peta Tekstur Tanah Kabupaten Kolaka Utara
Tabel 4.5 Luas Lahan Kabupaten Kolaka Utara Berdasarkan
tekstur Tanah
No Tekstur Luas Persentase

1 Lempung 102.10 Ha 33%

2 Lempung Berdebu 74.296,8 Ha 43%

3 Lempung Berpasir 133.521 Ha 24%

Sumber: Hasil analisis peta tekstur tanah Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2018

5. Kondisi Geologi
Tinjauan kondisi geologi di wilayah Kabupaten Kolaka Utara,
dalam hal ini dilihat berdasarkan satuan geomorfologi, satuan batuan
pembentuk dan struktur geologinya.
a. Satuan geomorfologi
Berdasarkan peta geologi Kabupaten Kolaka Utara dalam dan
sekitarnya, maka wilayah ini dapat dibagi kedalam beberapa satuan
geomorfologinya secara genetik dan parametris, yakni:
 Satuan geomorfologi lipat-patahan yang meliputi hampir
80% dari seluruh wilayah Kabupaten Kolaka Utara
 Satuan morfologi perbukitan karst yang tersebar di selatan
(dominan), disebelah barat memanjang ke arah utara serta
secara spot0spot di bagian Tengah Kabupaten Kolaka
Utara mencakup sekitar 15%
 Satuan dataran pantai dan aluvial sekitar 5 % yang
memanjang mengikuti pantai teluk bone dan lembah
sungai yang ada.
b. Satuan batuan
Dari peta Geologi tampak bahwa Kabupaten Kolaka Utara terdiri
dari beberapa satuan batuan dari tua ke muda seperti terurai berikut
ini:
 Batuan metamorf (malihan) berumur Palezoikum yang
tersebar sangat luas dan meutupi hampir seluruh wilayah
Kabupaten Kolaka Utara, yang di susun oleh sekis, genes,
filit, kuarsit dan sedikit pualam (marmer)
 Marmer (batu pualam) berumur Palezoikum yang sama
umurnya dengan batuan malihan regional sebelumnya,
disusun oleh marmer dan batu gamping, berada pada bagian
tengah sebelah timur Kabupaten Kolaka Utara
 Batuan terobosan yang mengintrusi/menerobos batuan
berumur Palezoikum, dimana batuan ini sendiri berumur
Trias, tersusun oleh aplit kuarsa, andesit dan latit kuarsa,
hanya terdapat berupa spot di wilayah selatan sebagai
indikatif.
 Formasi Tolala berupa susunan batuan gamping, kalsilutit,
batu pasir, serpih, napal, dan sedikit batu sabak yang
berumur Trias, yang secara morfologis memperlihatkan
perbukitan karst dan tersebar di Selatan, di Barat sepanjang
pantai Teluk Bone sampai ke Utara dan sebagian kecil di
Tengah wilayah Kabupaten Kolaka Utara.
 Batuan formasi meluhu yang disusun oleh batu pasir,
kuarsit, serpih hitam, serpih merah, filit, batu sabak, batu
gamping, dan batu lanau, berumur sama dengan Formasi
Tolala (Trias) tersebar di wilayah tengah mendekati utara
Kabupaten Kolaka Utara
 Batuan ofiolit yang terdiridari kelompok batauan peridotit
berupa harzbugit, dunit, dan seopertinit serta ultra basa
(Gabro) merupakan bagian dari kerak Samudra Fasifik yang
menganjak naik kedarata Sulawesi bagian barat, berumur
kapur, tersebar di pantai barat daya dan sebagian besar di
wilayah utara.
 Formasi pandua yang berumur Miosen atas disusun oleh
konglomerat, batu pasir, dan batu lempung yang tersebar
dangat sempit mendekati wilayah sebelah utara.
 Formasi Matano yang berumur Poleosen disusun oleh batu
ganping hablur/kristal, kalsilutit, napal, dan serpih yang
tersebar di wilayah utara mendekati perbatasan dengan
Kabupaten Luwu Timur (provinsi Sulawesi Selatan)

c. Struktur Geologi
Patahan geologi yang dominan di Kabupaten Kolaka Utara
dipengaruhi oleh sesar palu koro yang merupakan kelanjutan sesar
sorong yang melibatkan kerak samudra fasifik. Adapun beberpa
pola arah kelurusan sesar/patahan di Kabupaten Kolaka Utara
dapat dikelompokka menjadi:
 Arah barat laut tenggara merupakan arah dari pola
pergerakan sesar palu koro yang membentuk Danau
Towuti, danau Matano dan danau Poso di sebelah utara.
Kemudian di bawahnya berkembang sesar lasolo pada
arah yang sama melewati bagian tengah Kabupaten Kolaka
Utara, kemudian menjadi titik intensif di bagian Selatan
 Arah timur laut – barat daya berkembang tidak seintensif
arah barat laut-tenggara, tampak merupakan orde
selanjutnya karena memotong arah barat laut – tenggara
juga berkembang luas di sebelah utara dan pantai barat
mendekati teluk bone. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada gambar dan tabel berikut:
Gambar: 4.11 Peta Geologi Kabupaten Kolaka Utara
Tabel 4.6 Struktur Geologi Kolaka Utara
No Keterangan Jenis Batuan Luas
(Ha)

1 Aluvium Kerikil, kerakal, pasir dan 8720.557


lempung

2 Batuan malihan Sekis. Genes, kuarsit, 149.938,9


palezoikum batusabak dan sedikit
pualam

3 Batuan ofiolit Peridotit, hasburgit, dunit, 60.801,25


gabro, dan serpentinit

4 Batuan terobosan Aplit, kuarsa, andesit, dan 128. 7507


latif kuarsa

5 Formasi larona Batu pasir konglomerat, dan 10.367,12


batu lempung dengan sisipan
tufa

6 Formasi matano Batu gamping hablur, 11.439,12


kalsilutit, napal dan serpih
dengan sisipan rijang dan
batubasak

7 Formasi meluhu Batu pasir, kuarsit, serpih 16.093,51


hitam, sepih merah, filit,
batu basak, batu gamping
dan batulanau

8 Formasi pandua Konglomerat, batu pasir, 2219.069


serpih, napal dan batu basak
9 Formasi tokala Kalsilutit, batu gamping, 52.788,37
batu pasir, serpih, napal dan
batubasak

10 Batuan malihan Pualam dan batu gamping 2468.356


paloezoikum terdaunkan

6. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan di Kabupaten Kolaka Utara masih di dominasi
oleh Hutan Alam dengan luas 230.759,6 Ha atau dengan persentase
59% dan perkebunan dengan persentase 10,43%. Adapun tutupan
lahan lainnya meliputi, manggrove, rawa, pemukiman, dan lain-lain.
Untuk pemukiman (daerah terbangun) sendiri memiliki persentase 4%.
Kabupaten Kolaka Utara merupakan Kabupaten yang tingkat
penggunaan lahannya masih kurang karena wilayahnya sangat sulit
untuk dikembangkan. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi topografi
Kabupaten Kolaka Utara di mana wilayahnya memiliki kemiringan
lereng dari 40% mendominasi dengan luas 84 % dari luas Kabupaten
Kolaka Utara. Untuk pemukiman sendiri daerah pengembangannya
linear mengikuti mengikuti jalan di Kabupaten Kolaka Utara. Dan
tersebar padat di kota Lasusua dan sebagian di Kecamatan Watonohu
karena Lasusua dan Watonohu memiliki tingkat kepadatan penduduk
yang tinggi serta topografi yang relatif datar sehingga lebih mudah
untuk dikembangkan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar
dan tabel berikut:
Gambar 4.12 Peta Penggunaan Lahan Kolaka Utara
Tabel 4.7 penggunaan lahan Kabupaten Kolaka Utara tahun 2018
No Penggunaan Lahan Luas wilayah

Ha %

1 Hutan alam 230.759,6 59%

2 Manggrove 664,689 4,12%

3 Perkebunan 63.410,3 10,43%

4 Permukiman 1280.343 4%

5 Sawah 957.6146 8%

6 Semak/belukar 1.683,746 5%

7 Tegalan ladang 111.66,34 6,91%

Kolaka Utara 11.153.004,34 100

Sumber: Hasil Analisis Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2018
C. Penilaian Risiko Bencana
1. Analisis Parameter Penentuan Risiko Bencana Longsor
Kepadatan penduduk dalam kawasan rawan bencana merupakan salah
satu faktor sangat diperhatikan dalam bencana tanah longsor. Korban
manusia yang diakibatka oleh bencana ini sedapat mungkin untuk
dihindari. Kepadatan penduduk digunakan sebagai indikator untuk
mengetahui tingkat Risiko bencana tanah longsor. Berdasarkan data
dari BPS Kabupaten Kolaka Utara tahun 2015 jumlah penduduk
Kabupaten Kolaka Utara mencapai 140.706 jiwa yang tersebar di 15
kecamatan dengan perincian tabel 4.8 berikut
Kecamatan Luas (Ha) Jumlah Penduduk Kepadan penduduk
(jiwa/Ha)

Batu Putih 374,95 8664 22

Katoi 82,64 6806 80

Kodeoha 250,69 11.199 44

Lambai 234,99 5960 25

Lasusua 287,67 28.270 94

Ngapa 149,18 21.514 139

Pakue 313,25 9838 31

Pakue Tengah 131,25 8152 48

Pakue Utara 191,82 6366 41

Porehu 647,23 7765 12

Ranteangin 189,92 5747 30

Tiwu 81,92 4282 52


Tolala 183,58 3666 19

Watunohu 109,99 6406 58

Wawo 162,74 6071 36

Sumber: Data BPS Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2015


2. Tingkat Risiko Bencana Longsor Kabupaten Kolaka Utara
Penilaian risiko longsor menggunakan parameter kepadatan
penduduk dengan menggunakan klasifikasi pada tabel 4.9 sehingga
diperoleh hasil untuk tingkat risiko rendah mempunyai luas 8186.706
Ha, untuk tingkat risiko sedang memiliki luas 23761.58 Ha dan untuk
tingkat risiko tinggi memiliki luas 272948.5 Ha. Untuk lebih jelasnya
dapat diperhatikan pada gambar dan tabel berikut ini.
Gambar 4.13. Peta Rawan Longsor Kabupaten Kolaka Utara
Tabel 4.9 Luas tingkat risiko bencana longsor Kabupaten Kolaka
Utara
No Tingkat Risiko Luas (Ha) Persentase

1 Rendah 8186.706 3%

2 Sedang 23761.58 8%

3 Tinggi 272948.5 90%

Sumber: Hasil olah data tahun 2018

Hasil overlay antara seluruh variabel yang mempengaruhi


kerawanan bencana longsor diperoleh hasil untuk tingkat
kerawanan tinggi dengan luas 272948.5 Ha dan untuk tingkat
kerawanan sedang dengan luas 23761.58 dan untuk tingkat
kerawan rendah dengan luas 8186.706

Anda mungkin juga menyukai