Anda di halaman 1dari 9

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kondisi Kesehatan anak di Indonesia menyatakan bahwa tingkat kematian

anak saat ini berada di angka 27 kematian per 1.000 kelahiran jika dibandingkan

dengan 85 kematian per 1.000 kematian. Angka itu menurun menjadi 147.000

pada 2015. Angka kematian anak cukup tinggi di Indonesia disebabkan karena

beberapa penyakit non infeksi semakin tinggi dalam beberapa tahun terakhir,

baik di negara maju maupun negara berkembang. Perbaikan sosial ekonomi dan

kemajuan teknologi membawa pengaruh terhadap perubahan pola penyakit. Hal

ini ditandai dengan semakin menurunnya insiden penyakit infeksi ( Pneumonia,

diare, dan malaria) pada anak dan meningkatnya insiden penyakit non infeksi

(Kekurangan gizi, thalasemia serta tetanus) pada anak. (Unicef, 2016)

Thalassemia merupakan penyakit dimana sel darah merah mudah rusak atau

umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120 hari), sehingga penderita akan

mengalami anemia. Sebagian besar orangtua yang mempunyai anak penderita

thalassemia merasakan beban yang berat baik beban moral maupun material. Hal

ini disebabkan selain harus terus memonitor tumbuh kembang si anak, biaya

yang dibutuhkan untuk transfusi darah juga tergolong mahal. Selain biaya yang

menjadi masalah, yang menjadi persoalan lainnya adalah penyakit ini adalah

penyakit yang diidap seumur hidup, artinya penyakit ini merupakan penyakit

1
2

yang tidak dapat sembuh. Tindakan medis yang dilakukan selama ini bukan

menyembuhkan akan tetapi sebagai supportif dan bersifat sementara untuk

mempertahankan hidup (Lanni, 2010).

Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2012 menunjukkan bahwa

jumlah carrier atau orang yang mempunyai gen pembawa thalasemia di seluruh

dunia mencapai 4,5%, yaitu sekitar 250 juta orang. Menurut WHO, jumlah kasus

thalasemia cenderung meningkat dan pada tahun 2015 diperkirakan jumlah

carrier thalasemia mencapai 7 % dari penduduk dunia.( Riskesdas, 2016)

Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang berisiko tinggi thalasemia.

Prevalensi thalasemia bawaan atau carrier di Indonesia adalah sekitar 3-8%. Jika

persentase thalasemia mencapai 5%, dengan angka kelahiran 23 per 1.000 dari

240 juta penduduk. Hasil Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas tahun 2016,

menunjukkan bahwa prevalensi nasional thalasemia adalah 0,1 ‰. Ada 8

propinsi yang menunjukkan prevalensi thalasemia lebih tinggi dari prevalensi

nasional, yaitu, Aceh: 13,4‰, Jakarta: 12,3‰, Sumatera Selatan: 5,4‰,

Bengkulu: 3,1‰, dan Kepulauan Riau: 3. Setiap tahun, sekitar 300 ribu anak

dengan thalasemia akan dilahirkan dan sekitar 60-70 ribu di antaranya adalah

penderita dari jenis beta-thalasemia mayor. Penderita beta-thalasemia mayor

memerlukan transfusi darah sepanjang hidupnya. (Rikesdas, 2016).

Thalasemia merupakan salah satu penyakit kronis sehingga membutuhkan

perawatan khusus. Thalasemia merupakan penyakit genetik sehingga hal ini

menyerang balita dan anak-anak. Thalasemia merupakan Penyakit kelainan darah


3

yang menyebabkan sel darah (hemoglobin) merah cepat hancur sehingga usia

sel-sel darah menjadi lebih pendek dan tubuh kekurangan darah. Misalnya, jika

sel darah merah pada orang sehat bisa bertahan hingga 120 hari, pada penderita

talasemia sel darah merahnya hanya bertahan 20-30 hari. Penyakit ini muncul

dengan gejala diantaranya anemia, pucat, sukar tidur, lemas dan tidak punya

nafsu makan. (Natalia, 2015)

Ditemukan prevalensi angka kematian pada penderita thalasemia. Hanya

diperkirakan usia pada anak dengan penyakit thalasemia tidak panjang. Menurut

hasil penelitian disimpulkan bahwa mayoritas 85% orang tua yang kurang

pengetahuan dalam perawatan anak dengan penyakit thalasemia. Berdasarkan

data yang diperoleh dari Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia

cabang Kediri pada tahun 2014 tercatat 41 anak di Kota Kediri dengan usia

bervariasi. (Rachmaniah, 2012)

Thalasemia merupakan penyakit yang terjadi akibat gangguan sintesis

hemoglobin dan tidak dialami oleh anak pada umumnya. Thalasemia disebabkan

oleh kelainan genetik. Tanda dan gejala yang timbul adalah lemah,

perkembangan fisik tidak sesuai umur disebabkan karena pertumbuhan sel dan

otak yang terhambat oleh karena suplai oksigen atau Na ke jaringan yang

menurun, berat badan berkurang, tidak bisa hidup tanpa tranfusi darah, anemia,

pembesaran limpa, perubahan bentuk wajah, penonjolan tulang tengkorak, terjadi

peningkatan pertumbuhan tulang maksila, terjadi facecoley, hepatomegali dan

kecemasan. Perasaan bingung yang dialami orang tua karena ketidak pastian
4

kondisi sakit dan hasil pengobatan, konflik sehari-hari dengan peraturan medis,

isolasi sosial, aturan-aturan yang membatasi dan tekanan financial. (Faisa, 2013)

Hal ini akan menambah beban psikologis, khususnya bagi keluarga.

perawatan dengan anak thalasemia perlu penanganan yang baik, karena jika tidak

diatasi akan menimbulkan beberapa hal yang bisa terjadi kurangnya diet yang

baik dan tidak seimbang, serta tidak didukung aspek kejiwaan dan sosialnya.

(Faisa, 2014)

Pembawa sifat talasemia di Indonesia berkisar 6% - 10%, artinya dari

setiap 100 orang, 6 sampai 10 orang di Indonesia membawa sifat talasemia.

Penyakit ini merupakan penyakit genetik, sehingga penderita penyakit ini telah

terdeteksi sejak masih bayi. (Ahmad, 2016)

Penyakit thalasemia merupakan kelainan genetic tersering didunia.

Kelainan ini terutama ditemukan dikawasan mediterania, afrika dan asia

tenggara dngan frekuensi sebagai pembawa gen sekitar 5 sampai 30 % ( Martin,

Foote, & Carson 2010). Prevalensi Carrier thalasemia diindonesia Mencapat]I

sektar 3-8%, sehingga maret 2014 kasus thalesemia di Indonesia mengalami

peningkatan sebesar 8,3% dari 3653 kasus yang tercatat pada tahun 2013

(Wahyuni, 2014).
Berdasarkan tingkat keparahannya, thalasemia dibagi menjadi thalasemia

minor, intermedia dan mayor. Menurut Nahalla dan FtzGerard (Indriati, 2013 ).

Penderita talasemia minor dan talasemia intermedia mempunyai gejala yang

sedang bahkan ringan sehingga pesian dengan talasemia jenis ini tidak
5

membutuhkan transfusi darah yang rutin, Sedangkan menurut Muncie dan

Campbell (Indriati, 2013)


Thalasemia mayor akan membutuhkan transfusi darah rutin secara teratur

seumur hidupnya. Sehingga penderita thalasemia mayor ini membutuhkan

perawatan medis yang berkelanjutan. Transfusi darah ini dilakukan dengan

harapan kadar hemoglobin penderita mendekati normal agar komplikasi dari

penderita dapat terhambat. (Indriati, 2014)

Selama menjalani perawatan, umumnya anak selalu di damping oleh

orang tua, dan yang paling sering adalah ibu. Ibu memiliki peran penting dalam

merawat dan menjaga anaknya. Dalam merawat anak penderita thalasemia, ibu

akan mengalami suka duka tersendiri, stress, dan tentu hal ini memberikan

pengalaman tersendiri bagi ibu. (Wahyuni, 2014)

Pengetahuan orangtua tentang perawatan thalasemia harus melakukan

transfusi darah untuk anaknya untuk menjaga Hb anaknya dan pertahanan tubuh

sang anak. Usaha pengobatan yang dilakukan oleh oran tua pun beragam untuk

menjaga kesehatan sang anak disamping pengobatan medis yang dilakukan. Hal

itu tergantung dari bagaimana ibu orangtua memaknai pengobatan yang dia

lakukan untuk anaknya. ( Wahyuni, 2014)

Pengalaman manusia merupakan fokus penelitian fenomenologi

deskriptif. Studi fenomenologi mendeskripsikan pemaknaan umum dari sejumlah

individu terhadap berbagai pengalaman hidup mereka terkait dengan konsep atau

fenomena. Para fenomenolog memfokuskan untuk mendeskripsikan apa yang


6

sama/umum dari semua partisipan ketika mereka mangalami fenomena

(misalnya, dukacita yang dialami secara universal). Pengalaman manusia ini

dapat berupa fenomena, misalnya insomnia, kesendirian, kemarahan, dukacita,

atau pengalaman operasi bypass pembuluh koroner. (Indriati, 2014)

Di Provinsi Bengkulu penyakit thalasemia merupakan masalah kesehatan

masyarakat dimana penyakit thalasemia dalam 3 tahun terakhir,kasus penyakit

terbanyak diwilayah provinsi bengkulu, yakni pada tahun 2014 sebanyak 476

kasus dengan 78 kasus yang dialami anak-anak, tahun 2015 sebanyak 705 kasus

dengan 83 kasus yang dialami anak-anak,dan pada tahun 2016 berjumlah 991

kasus dengan 160 kasus yang dialami anak-anak. (Rekam Medik RS.M Yunus,

2016)

Peneliti kemudian mengumpulkan data dari Ibu yang telah mengalami

pengalaman merawat anak penderita thalasemia, dan mengembangkan deskripsi

gabungan tentang esensi dari komunikasi intrapersonal bagi ibu. Deskripsi ini

terdiri dari “apa” yang mereka alami dan “bagaimana” mereka mengalaminya.

Berdasarkan latarbelakang diatas maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul “Efek Pengetahuan sikap dan

Pengalaman ibu terhadap Perawatan anak dengan Talasemia di Rumas Sakit M

Yunus Kota Bengkulu Tahun 2017.

B. Rumusan Masalah
7

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah dalam penelitian ini adalah

dari tahun ketahun meningkatkan kejadian penyakit thalasemia pada anak dengan

peningkatan (30%) kasus dirumah sakit M Yunus Bengkulu, maka dari itu dapat

dirumuskan pertanyaan penelitian Apakah Ada Hubungan Efek Pengetahuan

Sikap dan Pengalaman Ibu Terhadap Perawatan Anak dengan thalasemia di

Rumah Sakit M Yunus Kota Bengkulu Tahun 2017.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahui Efek Pengetahuan Sikap dan Pengalaman ibu terhadap

Kemampuan Perawatan anak dengan Talasemia di Rumas Sakit M Yunus Kota

Bengkulu Tahun 2017.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahui distribusi frekuensi pengetahuan ibu tentang Perawatan Anak

thalasemia di Rumas Sakit M Yunus Kota Bengkulu Tahun 2017

b. Diketahui distribusi frekuensi sikap ibu Terhadap pengalaman perawatan

anak thalasemia di Rumas Sakit M Yunus Kota Bengkulu Tahun 2017

c. Diketahui distribusi frekuensi pengalaman ibu merawat anak thalasemia di

Rumas Sakit M Yunus Kota Bengkulu Tahun 2017

d. Diketahui distribusi frekuensi kemampuan ibu merawat anak dengan

Talasemia di Rumas Sakit M Yunus Kota Bengkulu Tahun 2017.


8

e. Diketahui hubungan efek pengetahuan ibu terhadap kemampuan

perawatan anak dengan Talasemia di Rumas Sakit M Yunus Kota

Bengkulu Tahun 2017.

f. Diketahui hubungan efek sikap ibu terhadap kemampuan perawatan anak

dengan Talasemia di Rumas Sakit M Yunus Kota Bengkulu Tahun 2017.

g. Diketahui hubungan efek pengalaman ibu terhadap kemampuan perawatan

anak dengan Talasemia di Rumas Sakit M Yunus Kota Bengkulu Tahun

2017.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi peneliti

Dapat dijadikan sebagai acuan untuk diadakan penelitian lebih lanjut tentang

perawatan penyakit thalasemia pada anak

2. Manfaat bagi Rumah Sakit M.Yunus

Dapat memberikan informasi dan masukan yang bermanfaat bagi rumah

sakit terutama petugas agar lebih meningkatkan pelayanan, perawatan dan

kewaspadaan terhadap penyakit thalesemia.

3. Manfaat Bagi STIKES Dehasen

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan

menambah pengetahuan dalam meneliti lebih lanjut mengenai perawatan

pada anak tentang penyakit thalasemia dan diharapkan dapat berguna bagi

masa depan.
9

b. Dapat dijadikan pedoman dan acuan bagi kita semua khususnya

mahasiswa Stikes Dehasen untuk penelitian lebih lanjut tentang perawatan

penyakit thalasemia pada anak

Anda mungkin juga menyukai