Anda di halaman 1dari 6

Socrates, Plato dan Aristoteles Socrates adalah seorang terpelajar dan intelektual yang terkenal

reputasinya karena pengetahuan dan kebijaksanannya yang tinggi. Dikisahkan bahwa pada suatu hari
seorang pria berjumpa dengan Socrates dan berkata, “Tahukah anda apa yang baru saja saya dengar
mengenai salah seorang teman anda?” "Tunggu sebentar,” jawab Socrates. “Sebelum memberitahukan
saya sesuatu, saya ingin anda melewati sebuah ujian kecil. Ujian tersebut dinamakan Ujian Saringan Tiga
Kali.” “Saringan tiga kali?” tanya pria tersebut. “Betul,” lanjut Socrates. “Sebelum anda mengatakan
kepada saya mengenai teman saya, mungkin merupakan ide yang bagus untuk menyediakan waktu
sejenak dan menyaring apa yang akan anda katakan. Itulah kenapa saya sebut sebagai Ujian Saringan Tiga
Kali.”

“Saringan yang pertama adalah KEBENARAN. Sudah pastikah anda bahwa apa yang anda akan katakan
kepada saya adalah benar?” “Tidak,” kata pria tersebut,”sesungguhnya saya baru saja mendengarnya dan
ingin memberitahukannya kepada anda”. “Baiklah,” kata Socrates. ” Jadi anda sungguh tidak tahu apakah
hal itu benar atau tidak.” “Sekarang mari kita coba saringan kedua yaitu :KEBAIKAN. Apakah yang akan
anda katakan kepada saya mengenai teman saya adalah sesuatu yang baik?” “Tidak, sebaliknya, mengenai
hal yang buruk”. “Jadi,” lanjut Socrates, “anda ingin mengatakan kepada saya sesuatu yang buruk
mengenai dia, tetapi anda tidak yakin kalau itu benar. Socrates melanjutkan, “Baik, Anda mungkin masih
bisa lulus ujian selanjutnya,yaitu: KEGUNAAN. Apakah apa yang anda ingin beritahukan kepada saya
tentang teman saya tersebut akan berguna buat saya?” “Tidak, sungguh tidak,” jawab pria tersebut.
“Kalau begitu,” simpul Socrates,” jika apa yang anda ingin beritahukan kepada saya tidak benar, tidak juga
baik, bahkan tidak berguna untuk saya, kenapa Anda ingin menceritakan kepada saya ?” Sahabatku, Dalam
Al Ihya' (Ihya Ulumuddin), Imam Al Ghazali menulis tentang 9 kejahatan lidah, dimana Kejahatan lidah
yang pertama menurut Al Ghazali adalah berbicara untuk hal-hal yang tidak perlu. Nabi saw bersabda,
”Seseorang tidak dianggap mukmin sebelum dia menghindari segala sesuatu yang tidak perlu baginya.”
Ciri seorang muslim yang baik ialah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat darinya. Termasuk berbicara
yang tidak membawa manfaat. Tentang hati-hati dalam berbicara, dalam hadist lain diriwayatkan
Rasulullah saw berkata, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata kebaikan
atau diamlah". Dalam hadist Muslim diriwayatkan, pada suatu ketika, Nabi saw dimintai nasihat oleh
seorang laki-laki: “Ya Rasulullah, katakanlah kepadaku tentang Islam, suatu perkataan yang aku tidak akan
menanyakannya lagi kepada seseorang selain hanya kepada engkau.” Atas permintaan itu pun Nabi saw
bersabda: “Katakanlah! Aku beriman kepada Allah kemudian (bersikap) istiqamah.” Belum puas dengan
nasihat itu, laki-laki itu pun meminta nasihat lagi kepada Nabi saw: “Ya Rasulullah, apa yang harus aku
jaga, setelah itu?” Atas permintaannya itu pun Nabi saw mengisyaratkan kepada lidahnya sendiri dan
berkata: “ jaga ini” (Hadits Shahih riwayat Muslim dari Sofyan bin Abdullah Ats-Tsaqafi). Dalam tasawuf,
salah satu praktek yang harus ditempuh para sufi dalam perjalanan mereka mendekati Tuhan disebut
dengan Al-Shumt. Dalam praktek ini, seorang sufi berusaha mengendalikan lidahnya dengan
membiasakan diri untuk banyak diam dan mengurangi pembicaraan. Sahabatku, Dari kisah pendek di atas,
pesan moral yang disampaikan adalah hendaknya kita berhati-hati sebelum kita berbicara. Persis ibarat
Sebuah panah yang telah melesat dari busurnya dan membunuh jiwa yang tak bersalah, dan kata-kata
yang telah diucapkan yang menyakiti hati seseorang, keduanya tidak pernah bisa ditarik kembali. Jadi
sebelum berbicara, gunakanlah Saringan Tiga Kali. Benar seperti ungkapan KH Zainuddin MZ dalam setiap
akhir tausiyahnya, “Jika pedang lukai badan, banyak obat bisa dibeli, tapi jika lidah lukai hati, kemana obat
hendak dicari” Sahabatku, mari kita sama belajar untuk mengurangi pembicaraan kita hanya untuk yang
bersifat perlu saja dan membawa manfaat.
"Ingatlah ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan
dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh,
padahal dalam pandangan Allah itu soal besar." (QS an-Nuur: 15).

Ayat ini diturunkan berkenaan dengan berita bohong (hadisul ifki) terhadap Sayyidah Aisyah
RA. Berita itu disebarkan dari mulut ke mulut oleh kaum munafik dan sebagian kecil sahabat
(Hamnah binti Jahsi, Hasan bin Tsabit, dan Misthah bin Asasah) yang juga terpengaruh. Orang-
orang munafik sengaja ingin merusak kehormatan Ummul Mukminin Aisyah RA.

Perangkap ini kurang disadari ketiga sahabat itu dan mereka justru ikut berperan dalam
penyebaran informasi yang tidak benar. Mereka tidak menyadari bahwa menyebarkan berita
bohong di sisi Allah merupakan pelanggaran serius sampai Allah menurunkan teguran melalui
wahyu.

Pada zaman digital sekarang, penyebaran segala macam informasi jauh lebih cepat dan aksesnya
pun lebih mudah. Siapa pun dengan bebas menyebarkan informasi dari mana saja, bahkan dari
sumber tidak jelas. Sayangnya, sebagian mereka menyebarkannya tanpa meneliti dahulu apakah
informasi itu layak disebarkan, apakah ada konsekuensi akibat tersebarnya informasi itu, apakah
bisa merusak nama baik orang dan memecah-belah keutuhan umat?

Kita mesti bijak dalam menyebarkan informasi yang berseliweran di dunia maya. Keakuratan
dan kesahihan informasi merupakan hal penting. Jangan sampai latah menyebarkan informasi
yang kita sendiri tidak mengetahui kebenarannya. Kelatahan bukan berarti bebas dari
konsekuensi kesalahan dan dosa.

Janganlah kebencian terhadap seseorang atau suatu golongan membutakan hati kita sehingga
dengan sengaja menyebarkan berita bohong atau fitnah dengan maksud untuk merusak reputasi
orang atau lembaga lain. Menahan diri segala macam isu yang belum tentu benar adalah sikap
yang lebih bijak. (QS al-Maidah: 2).

Saling membantu dan saling menasihati adalah spirit utama umat Islam. Ibarat tubuh, apabila
salah satu anggotanya sakit, anggota tubuh yang lain juga merasakan sakit.

Ayat di atas telah menjelaskan sekaligus menjadi peringatan bahwa saling menyebarkan berita
bohong atau informasi yang tidak jelas kebenarannya termasuk dalam tolong-menolong dalam
berbuat dosa. Islam melarang dan mengingatkan umatnya untuk berhati-hati agar tidak tergelicir
dalam perbuatan dosa. (QS an-Nuur: 12).

Islam telah membuat bingkai dengan begitu indah supaya umat tidak jatuh ke kubangan
perpecahan dan kehancuran. Penekanan pada sikap berbaik sangka merupakan dasar utama
ketika kita mendengar ada informasi yang sumbernya tidak jelas.
Bertabayun untuk mengklarifikasi informasi yang menjurus kepada fitnah dengan membuka
saluran cross-check sehingga umat akan terjaga keutuhannya dan tak terpancing melakukan
perbuatan bodoh. (QS al-Hujurat: 6).

Umat Islam harus waspada atas derasnya informasi yang dengan sangat cepat
menjungkirbalikkan prasangka seseorang terhadap orang lain. Dengan begitu, umat Islam tidak
mudah diadu domba oleh pihak yang memang senang melihat umat Islam terpecah-belah.

Surat Al-Ma'idah Ayat 8


Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat-Ayat Al Qur’an) : Surat An-Nuur
Ayat 11-22
Sumber : Kitab Asbabun Nuzul (Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al Qur’an), K.HQ
Shaleh, H.A.A. Dahlan, dkk

1. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa apabila Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
akan berpergian, beliau mengundi dahulu siapa diantara istrinya yang akan dibawa ikut
serta dalam perjalanan itu. Demikian juga Rasulullah mengundi istri-istrinya yang akan
dibawa ke medan perang. Pada suatu hari-kejadiannya setelah turun ayat hijab-kebetulan
‘Aisyah terundi untuk dibawa.
2. ‘Aisyah digotong diatas tandu, dan tandu itu ditaruh diatas unta untuk kemudian berangkat.
Setelah peperangan selesai, waktu pulang hampir mendekati Madinah, Rasulullah memberi
izin untuk berhenti sebentar pada waktu malam. ‘Aisyah turun dan pergi buang air. Ketika
kembali ke tempatnya, ‘Aisyah meraba dadanya, ternyata kalungnya hilang, sehingga ia
kembali ke tempat tadi untuk mencari kalung itu. Lama ia mencarinya. Orang-orang yang
memikul tandunya mengangkat kembali tandu itu ke atas unta yang dinaikinya. Mereka
mengira ‘Aisyah ada didalamnya, karena wanita-wanita pada waktu itu badannya enteng
dan langsing-langsing, sehingga tidak begitu terasa bedanya antara tandu kosong dengan
yang berisi.
3. Kalung itu ditemukannya setelah kembali setelah pasukan Rasulullah berangkat, dan tak
seorang pun yang masih ada disitu. ‘Aisyah duduk kembali di tempat berhenti tadi, dengan
harapan orang-orang akan menjemputnya atatu mencarinya. Ketika duduk di tempat
istirahat tadi, ‘Aisyah mengantuk dan tertidur.
4. Kebetulan SHAFWAN BIN AL-MU’ATHTHAL, yang tertinggal oleh pasukan karena
suatu halangan, pada pagi hari itu sampai ke tempat pemberhentian ‘Aisyah. Shafwan
melihat ada bayangan hitam manusia. ia dapat mengenali ‘Aisyah karena pernah
melihatnya sebelum turun ayat hijab. ‘Aisyah terbangun karena Shafwan mengucapakan,
inna lillahi wa inna ilahi raji’un.
5. Tidak sepatah katapun yang diucapakan ‘Aisyah. Ia pun tidak mendengar kalimat apapun
yang diucapkan Shafwan kecuali ucapan, Inna lillahi wa inna ilahi raji’un tadi.
6. Ketika itu untanya disuruh berlutut agar ‘Aisyah dapat naik ke atasnya. Kemudian Shafwan
menuntun unta itu sehingga sampai ke tempat pasukan yang sedang berteduh di tengah
hari.
7. Atas kejadian itu, muncul fitnah pada diri ‘Aisyah bahwa ia berbuat serong yang
dilancarkan oleh ‘ABDULLAH BIN ‘UBAY BIN SALUL.
8. Ketika sampai ke Madinah, ‘Aisyah menderita sakit selama satu bulan. Sementara itu
orang-orang menyebarluaskan fitnah yang dibuat oleh ‘Abdullah bin “Ubay bin Salul, tapi
‘Aisyah sendiri tidak mengetahuinya.
9. Setelah ‘Aisyah merasa agak sembuh, ia memaksakan diri pergi buang air dibimbing
UMMU MITSAH tergilincir, dan dengan latah ia mengucapakan: “Celaka anakku si
MISTHAH!” ‘Aisyah bertanya: “Mengapa engkau berkata demikian, mencaci maki orang
yang ikut serta dalam perang Badr?” Ummu Misthah berkata: “Wahai junjunanku!
Tidakkah engkau mendengar apa yang ia katakan? ‘Aisyah berkata: “Apa yang ia
katakan?” lalu Ummu Misthah menceritakan fitnah yang sudah tersebar luas itu, sehingga
bertambahlah penyakit ‘Aisyah.
10. Pada suatu hari Rasulullah datang kepadanya (beliau tidak seperti biasanya
memperlakukan ‘Aisyah), dan karenanya ‘Aisyah meminta izin untuk pergi kepada ibu-
bapaknya untuk meyakinkan kabar yang tersebar itu. Rasulullah mengizinkannya.
11. ketika sampai di rumah orang tuanya, ‘Aisyah berkata kepada ibunya: “Wahai ibuku! Apa
yang mereka katakan tentang diriku?” Ibunya menjawab: "Hai anakku, tabahkanlah
hatimu! Demi Allah, tidak ada perempuan yang baik hati dan cantik serta diperisteri oleh
laki-laki yang mencintainya dan hidup dalam kesederhanaan, melainkan ia akan sering
mendapat fitnah." ‘Aisyah berkata: “Subhanallah (Maha Suci Allah), apakah sampai sejauh
itu orang-orang menggunjingkan aku. Dan apakah hal ini juga sampai kepada Rasulullah?”
ibunya mengiakannya. ‘Aisyah pun menangis pada malam itu, hingga pada pagi harinya
pun air matanya tak henti-hentinya mengalir.
12. Pada suatu hari Rasulullah memanggil ‘ALI BIN ABI THALIB dan USAMAH BIN
ZAID untuk membicarakan perceraian dengan istrinya, karena wahyu tidak kunjung turun.
13. Usamah mengemukakan pendapatnya bahwa sepanjang pengetahuannya, keluarga Rasul
itu adalah orang baik-baik. Ia berkata: “Ya Rasulullah, mereka itu adalah keluarga tuan dan
kami mengetahui mereka itu baik.”
14. Sedangkan Ali berkata: "Ya Rasulullah, Allah tentu tidak ingin membuat Anda susah.
Sebenarnya, masih banyak wanita selain Aisyah. Jika Anda menginginkannya, maka Anda
pun pasti akan mendapatkannya." Untuk itu sebaiknya tuan bertanya kepada BARIRAH
(pembantu rumah tangga ‘Aisyah), pasti ia akan menerangkan yang benar.
15. Kemudian Rasulullah memanggil Barirah, dan bertanya: “Hai Barirah, apakah engkau
melihat hal-hal yang meragukanmu tentang ‘Aisyah?” ia menjawab: "Demi Allah yang
telah mengutus Anda dengan kebenaran. jika aku melihat darinya sesuatu hal, tentu tak
akan aku sembunyikan. sesungguhnya ia tak lebih dari seorang perempuan yang masih
sangat muda yang tertidur karena kelelahan ketika membuat adonan untuk makanan
suaminya. Setelah itu, datanglah seekor unta jinak yang memakan adonan tersebut."
16. Maka berdirilah Rasulullah diatas mimbar meminta bukti dari ‘Abdullah bin Ubay bin
Salul dengan berkata: “Wahai kaum muslimin, siapakah yang dapat menunjukan orang
yang telah menyakiti keluargaku. Demi Allah, aku tidak mengetahui tentang istriku kecuali
kebaikan.” Pada saat itu ‘Aisyah sedang menangis seharian, tidak henti-hentinya.
Demikian juga pada malam harinya, air matanya mengalir dan tidak sekejap pun dapat
tidur, sampai-sampai ibu-bapaknya mengira bahwa tangisannya akan membelah
jantungnya.
17. Ketika kedua orang tuanya menunggui ‘Aisyah menangis, datanglah seorang wanita Ansar
meminta izin masuk. ‘Aisyah mengizinkannya. Wanita itu pun duduk seraya menangis
bersamanya. Ketika itulah datang Rasulullah memberi salam, lalu duduk serta membaca
syahadat. Dan berkata: hai ‘Aisyah! Sesungguhnya telah sampai ke telingaku hal-hal
mengenai dirimu. Sekiranya engkau bersih maka Allah akan membersihkanmu. Dan jika
engkau melakukan dosa, maka mintalah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya seseorang
yang mengakui dosanya kemudian bertobat, Allah akan menerima tobatnya.”
18. berkatalah ‘Aisyah kepada ayahnya: “Coba jawabkan untukku, wahai ayahku.” Abu Bakr
menjawab: “Apa yang mesti aku katakan?” lalu ‘Aisyah berkata kepada ibunya: “Coba
jawab perkataan Rasulullah untukku, wahai ibuku.” Ibunya pun menjawab: “Demi Allah,
apa yang mesti aku katakan?” akhirnya ‘Aisyah menjawab: “Aku ini seorang wanita yang
masih sangat muda. Demi Allah, sesungguhnya aku mengetahui bahwa kalian telah
mendengar persoalan ini hingga mempengaruhi hati kalian, bahkan kalian
mempercayainya. Sekiranya aku berkata bahwa bersih- dan Allah mengetahui bahwa aku
bersih-, kalian tidak akan mempercayainya.”
19. Demi Allah aku tidak mendapatkan sesuatu perumpamaan yang sejalan dengan peristiwa
kita ini, kecuali apa yang diucapkan oleh ayah nabi Yusuf, …fa shabrun jamiluw wallahul
musta’anu ‘ala ma tashifun {…maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah
sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.} (QS: 12
Yusuf: 18). Setelah itu ia pun pindah dan berbaring di tempat tidurnya dan berbaring di
tempat tidurnya.
20. Belum juga Rasulullah, meninggalkan tempat duduknya dan tak seorang pun penghuni
rumah yang keluar, Allah Menurunkan Wahyu kepada Beliau. Tampak sekali Rasulullah
kepayahan, sebagaimana biasanya ia menerima wahyu. Setelah turunnya wahyu, kalimat
pertama yang diucapakan Rasulullah ialah: “Bergembiralah wahai ‘Aisyah, sesungguhnya
Allah telah membersihkanmu.”
21. Maka berkatalah ibunya kepada ‘Aisyah: “Bangunlah dan menghadaplah kepada beliau.”
‘Aisyah berkata: “Demi Allah, aku tidak akan bangun menghadap kepadanya, dan tidak
akan memuji syukur kecuali kepada Allah yang telah menurunkan ayat yang menyatakan
kesuciaanku” yaitu ayat, Innal ladzina ja-u bil ifki ‘ushbatum mingkum…(Sesungguhnya
orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga…) hingga
sepeluh ayat (QS: 24 an-Nur: 11-20)
22. Setelah kejadian ini, Abu Bakr yang biasanya memberi nafkah kepada Misthah karena
kekerabatan dan kefakirannya, barkata: “Demi Allah, aku tidak akan memberi nafkah lagi
kepada Misthah karena ucapannya tentang ‘Aisyah.”
23. Maka turunlah ayat selanjutanya (QS: 24 an-Nur: 22) sebagai teguran kepada orang-orang
yang bersumpah tidak akan memberi nafkah kepada kerabat, fakir, dan lain-lain, karena
merasa disakiti hatinya oleh mereka. Berkatalah Abu Bakr: “Demi Allah, sesungguhnya
aku mengharapkan Ampunan dari Allah.” ia pun terus-menerus manafkahi Misthah
sebagaimana biasa.

Anda mungkin juga menyukai