Anda di halaman 1dari 2

Balada Tanah Sengketa

Karya Misdianto

“Saya sudah berkali-kali katakan. Ini tanah sertifikat legal, hak milik saya
sepenuhnya. Jadi, terserah saya mau jual atau tidak!” ujar Wak Atan dengan penuh
emosi. Sebegitu penuhnya sehingga seluruh tetangga harus keluar rumah mereka untuk
melihat apa yang terjadi. Wajar sebenarnya, karena memang tanah itulah hartanya tinggal.
Wak Atan sudah lama di-PHK, semenjak era orde baru berakhir yang mengakibatkan krisis
ekonomi. Rupanya, fluktuasi ekonomi bangsa mengakibatkan penurunan pada kurva
keuntungan Wak Atan. Bukan hanya hilang kerja. Ia juga kehilangan istri, yang tak betah
dengan menganggurnya suaminya. Dan, memilih lari dengan lelaki lain. Adapun anaknya,
sudah lama meninggal dunia.
“Tapi, Pak. Ini demi kemakmuran kita bersama. Jika jalan ini selesai, maka kota kita
akan terkenal. Sebagai kota pertama di kabupaten ini yang punya jalan tol. Ibukota
kabupaten, bahkan provinsi saja belum punya. Kita sudah. Bukankah ini akan meningkatkan
ekonomi kita?” tanya Pak RT dengan cukup lembut, walau hatinya sudah tak sabar.
“Beliau sangat menginginkan jalan tol ini. Karena dengan ini, jalannya menuju
jabatan bupati akan semakin mudah. Maklum, Pak RT ikut mencalonkan diri dalam pemilu.
Sehingga berhasilnya jalan tol ini akan membantunya mendapatkan suara rakyat.
“Pokoknya tidak! Sampai kapan pun tidak! Di tanah ini, milikku ini, ada hartaku satu-
satunya. Yaitu nisan anakku! Aku tak akan rela nisan anakku digusur dan diganti aspal. Lalu
anakku dilindas oleh roda-roda kendaraan, tidaaak! Tanda ini tidak untuk dijual. Tidak untuk
ganti rugi. Tidak untuk pindah lahan. Bahkan, imbalan bupati pun, tidak! Sadarlah Pak, hati
seorang ayah untuk anak, lebih mahal daripada biaya pembuatan jalan ini!” sekali lagi Wak
Atan memuncak.
Pak RT yang sedari tadi mencoba menahan emosi pun, mulai meluapkan emosinya.
“Cukup! Aku tak butuh rengek-rengekanmu ini! Sudah empat bulan ini ditaja, sudah
empat bulan pula sengketa. Tidak ada pula jalan keluarga! Apa kau mengerti perjuanganku
yang calon bupati ini, hai orang udik?!”
“Oh, jadi itu alasannya? Bupati? Inilah negara ini, kepentingan umum sudah menjadi
kepentingan politik! Bupati seperti Anda pasti tidak akan memikirkan rakyat. Jangankan
sudah, belum bupati saja sudah menginjak hak orang lain!”
“Sudah! Cukup! Cukup sabar saya empat bulan! Saya beri tenggat waktu besok. Jika
Anda belum juga pindah, maka akan saya ratakan Anda dan nisan itu dengan tanah!
Jelasss?!”
“Silahkan! Berbuatlah sesuka Anda! Tetapi ingat, seberapa lama pun Anda beri
tenggat, tanah ini tak akan lepas! Sekarang keluaaar!” teriak Wak Atan dengan bersiap-siap
mencabut parang. Namun belum sempat tercabut, pintu sudah terbanting.
***
Suara mesin berat membangunkan Wak Atan dari tidur siangnya. Tatkala ia melongok
keluar, ia melihat ekskavator dan buldozer sudah mulai menggali dan mengaruk lahan
miliknya. Dengan sangat marah, iapun segera menghambur keluar dan membawa parang
serta menghunuskannya.
“Hei, kurang ajar! Tak tahukah kalian tanah ini ada orangnya? Kalian pikir , kalian
kebal hukum? Tidak! Sekarang kalian pergiii! Atau saya telepon polisi sekarang?”
“Tak usah repot-repot, Wak. Ini polisinya sudah datang,” ujar Pak RT tib-tiba dengan
beberapa polisi.
Tanpa dikomando, tiba-tiba polisi itu langsung memborgol Wak Atan dan
menggiringnya ke mobil tahanan. Wak Atan yang tidak terima, dengan sengit melawan.
Namun, akhirnya tetap takluk.
“Hei, jahanam! Keparat! Apa salahku sehingga diborgol? Jika ada yang harus
ditangkap, seharusnya RT biadab itu!” teriak histeris Wak Atan.
“Maaf, Pak. Bapak harus ikut kami sekarang karena Bapak dituduh atas pemalsuan
akte tanah dan menganggu proses pekerjaan umum. Untuk itu, Bapak harus
mempertanggungjawabkannya,” kata polisi tegas.
“Apa? Hei, akteku ini asli! 100 % asli! Pasti ada yang memanipulasi. Mentang-
mentang saya rakyat kecil, lalu saya dicurangi! Mau jadi apa negara ini?!!” teriak Wak Atan
sengit. Namun sayang beribu sayang, bersamaan dengan ratanya nisan anak Wak Atan, Wak
Atan diringkus atas kejahatan yang tak dilakukannya.
***
Sudah empat tahun berlalu, Pak RT sudah menjadi bupati. Jalan tol sudah lama
rampung. Mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Sehingga Pak RT dielu-
elukan sebagai bupati terhebat. Bahkan, mendapat penghargaan dari Pak Presiden. Namun,
masih adakah yang ingat dengan penipuan yang ia lakukan? Manipulasi licik yang ia
rencanakan? Tidak ada yang ingat. Dengan sedikit uang, masyarakat kampung memaafkan
perbuatan yang ia lakukan. Sekarang, yang tinggalcuma jalan, roda, dan nisan yang terkubur
dibawahnya. ***

Anda mungkin juga menyukai