Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia yang sehat,
berbagai penelitian mengungkapkan bahan kekurangan gizi, terutama pada usia dini akan
berdampak pada tumbuh kembang anak. Anak yang kurang gizi akan tumbuh kecil, kurus,
dan pendek. Gizi kurang pada anak usia dini juga berdampak pada rendahnya kemampuan
kognitif dan kecerdasan anak, serta berpengaruh terhadap menurunnya produktifitas
anak(Depkes RI, 2014).
Gizi sembang bagi anak 0-2 tahun dimulai sejak konsepsi sampai 2 tahun pertama
lahir, masa ini adalah masa kritis, periode ini sel-sel otaknya sudah mencapai lebih dari 80%.
Kekurangan gizi pada masa kehidupan ini perlu perhatian serius. Pola makan dengan gizi
seimbang, bayi akan tumbuh dan berkembang secara optimal, termasuk kecerdasannya.
Kurang perhatian orang tua khususnya ibu pada periode kritis ini, kegagalan tumbuh kembang
optimal terbawa terus sampai dewasa secara permanen. Bila pola pemberian Asi tidak benar
atau MP-ASI tidak mencukupi zat gizi yang diperlukan tubuh, bayi akan mengalami
gangguan pertumbuhan (WHO 2010).
Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan nutrisi, atau
dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata. Nutrisi yang
dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Status gizi buruk dibagi menjadi
tiga bagian, yakni gizi buruk karena kekurangan protein (disebut kwashiorkor), karena
kekurangan karbohidrat atau kalori (disebut marasmus) dan kekurangan kedua-duanya.
(Nency, 2005).
Pada penderita gangguan gizi sering terjadi gangguan asupan vitamin dan
mineral. Karena begitu banyaknya asupan jenis vitamin dan mineral yang terganggu dan
begitu luasnya fungsi dan organ tubuh yang terganggu maka jenis gangguannya sangat
banyak. Pengaruh KEP bisa terjadi pada semua organ sistem tubuh. Beberapa organ tubuh
yang sering terganggu adalah saluran cerna, otot dan tulang, hati, pancreas, ginjal,
jantung, dan gangguan hormonal. Anemia gizi adalah kurangnya kadar Hemoglobin pada
anak yang disebabkan karena kurangnya asupan zat Besi (Fe) atau asam Folat. Gejala
yang bisa terjadi adalah anak tampak pucat, sering sakit kepala, mudah lelah dan sebagainya.
Pengaruh sistem hormonal yang terjadi adalah gangguan hormon kortisol, insulin,
Growht hormon (hormon pertumbuhan) Thyroid Stimulating Hormon meninggi tetapi fungsi
tiroid menurun. Hormon-hormon tersebut berperanan dalam metabolisme karbohidrat,
lemak dan tersering mengakibatkan kematian (Sadewa, 2008).
Mortalitas atau kejadian kematian dapat terjadi pada penderita KEP, khususnya pada
KEP berat. Beberapa penelitian menunjukkan pada KEP berat resiko kematian cukup besar,
adalah sekitar 55%. Kematian ini seringkali terjadi karena penyakit infeksi (seperti
Tuberculosis, radang paru, infeksi saluran cerna) atau karena gangguan jantung mendadak.
Infeksi berat sering terjadi karena pada KEP sering mengalami gangguan mekanisme
pertahanan tubuh. Sehingga mudah terjadi infeksi atau bila terkena infeksi beresiko
terjadi komplikasi yang lebih berat hingga mengancam jiwa (Nelson, 2007).
Menurut WHO 2016 terdapat proporsi anak dibawah 5 tahun dengan keadaan kurang
gizi mengalami penurunan angka presentase 10% yang terjadi antara tahun 1990-2015 yaitu
dari 25% menjadi 15%. Di Afrika terdapat penurunan relative kecil, yaitu dari 23 % pada
tahun 1990 menjdai 17 % pada tahun 2016. Pada periode yang sama di Asia terjadi penurunan
dari 32 % menjadi 18% dan di Amerika latin turun dari 8% menjadi 3%. Ini berarti angka
proporsi di Asia dan Amerika Latin sudah mencapai setengah angka target penurunan.
Walaupun secara keseluruhan proporsi kurang gizi di Asia sudah mendekati target namun
rata-rata kejadian gizi berlanjut dan menjadi tinggi di Asia Selatan sebesar 30 %
Pada saat ini Indonesia menghadapi masalah gizi ganda yaitu masalah gizi kurang dan
gizi lebih. Masalah gizi kurang umumnya disebabkan oleh kemiskinan, kurang persediaan
pangan, kurang baiknya kualitas lingkungan (sanitasi), kurangnya pengetahuan masyarakat
tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan. Sebaliknya masalah gizi lebih dsebabkan
kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu dan disertai kurangnya pengetahuan
tentang gizi, menu seimbang, dan kesehatan(Almatsier, 2004). Berdasarkan hasil Riskesdas
pada Tahun 2016 diperoleh prevalensi gizi buruk juga mengalami perubahan yaitu dari 5,4 %
tahun 2010, 4,9 % pada tahun 2013 dan 5,7 % pada tahun 2016.
Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat jumlah kasus gizi buruk pada tahun
2017 sebanyak 358 kasus, daerah yang kasus gizi buruknya yang meningkat adalah kabupaten
Pesisir Selatan dari 19 kasus Tahun 2016 menjadi 26 kasus gizi buruk pada tahun 2017, Tanah
Datar dari 20 Kasus tahun 2016 menjadi 38 kasus 2017, Sijunjung dari 20 kasus 2016 menjadi
42 kasus tahun 2017, Lima puluh kota dari 11 kasus tahun 2016 menjadi 12 kasus, dan Kota
Bukittinggi dari 1 kasus menjadi 7 kasus, Sementara gizi buruk tertinggi terdapat di Kota
Padang dengan jumlah 66 kasus dan diikuti Kabupaten Sijunjung dengan 42 kasus.
Menurut data ruang rawatan anak RSUD Sijunjung pada tahun 2015 angka kejadian gizi
ditemukan 5 orang, pada tahun 2016 ditemukan 5 orang gizi buruk, tahun 2017 meningkat
menjadi 20 kasus gizi buruk, dan bulan terkadiir pada tahun 2018 ditemukan 3 orang kasus
gizi buruk
Berdasarkan data diatas maka kelompok tertarik mengangkat kasus Gizi Buruk sebagai
bahan seminar di Ruang Rawatan Anak RSUD Sijunjung
2. TUJUAN
A. Umum:
Kelompok mampu menerapkan Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Gizi Buruk di
Ruang Rawatan Anak RSUD Sijunjung tahun 2018
B. Khusus:
1) Mahasiswa menjelaskan konsep teoritis tentang gizi buruk
2) Mahasiwa mampu melakukan pengakajian pada pasien dengan gizi buruk
3) Mahasiswa mampu menegakkan diagnose keperawatan pada pasien dengan gizi
buruk
4) Mahasiswa mampu menyusun intervensi keperawatan pada pasien dengan gizi
buruk
5) Mahasiswa mampu melakukan implementasi keperawatan pada pasien dengan
gizi buruk
6) Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan gizi
buruk
BAB II
TEORITIS
A. PENGERTIAN
Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan nutrisi, atau
dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata. Nutrisi yang
dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Status gizi buruk dibagi menjadi
tiga bagian, yakni gizi buruk karena kekurangan protein (disebut kwashiorkor), karena
kekurangan karbohidrat atau kalori (disebut marasmus), dan kekurangan kedua-duanya.
Gizi buruk ini biasanya terjadi pada anak balita (bawah lima tahun) dan ditampakkan
oleh membusungnya perut (busung lapar). Zat gizi yang dimaksud bisa berupa protein,
karbohidrat dan kalori. Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang
umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah
bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun (Nency, 2005).
Anak balita (bawah lima tahun) sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari
pertambahan berat badannya tiap bulan sampai usia minimal 2 tahun (baduta). Apabila
pertambahan berat badan sesuai dengan pertambahan umur menurut suatu standar
organisasi kesehatan dunia, dia bergizi baik. Kalau sedikit dibawah standar disebut
bergizi kurang yang bersifat kronis. Apabila jauh dibawah standar dikatakan bergizi buruk.
Jadi istilah gizi buruk adalah salah satu bentuk kekurangan gizi tingkat berat atau akut
(Pardede, J, 2006).
B. ETIOLOGI
Banyak faktor yang mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk. Menurut UNICEF ada dua
penyebab langsung terjadinya gizi buruk, yaitu :
1. Kurangnya asupan gizi dari makanan. Hal ini disebabkan terbatasnya
jumlah makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak
memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yaitu
kemiskinan.
2. Akibat terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi. Hal ini disebabkan oleh
rusaknya beberapa fungsi organ tubuhsehingga tidak bisa menyerap zat-
zat makanan secara baik.
3. Marasmik-Kwashiorkor
Adapun marasmic-kwashiorkor memiliki ciri gabungan dari beberapa gejala klinis
kwashiorkor dan marasmus disertai edemayang tidak mencolok.
D. MANIFESTASI KLINIS
E. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi gizi buruk pada balita adalah anak sulit makan atau anorexia bisa
terjadi karena penyakit akibat defisiensi gizi, psikologik seperti suasana makan, pengaturan
makanan dan lingkungan. Rambut mudah rontok dikarenakan kekurangan protein, vitamin A,
vitamin C dan vitamin E. Karena keempat elemen ini merupakan nutrisi yang penting bagi
rambut. Pasien juga mengalami rabun senja. Rabun senja terjadi karena defisiensi
vitamin A dan protein. Pada retina ada sel batang dan sel kerucut. Sel batang lebih
hanya bisa membedakan cahaya terang dan gelap. Sel batang atau rodopsin ini
terbentuk dari vitamin A dan suatu protein. Jika cahaya terang mengenai sel rodopsin,
maka sel tersebut akan terurai. Sel tersebut akan mengumpul lagi pada cahaya yang
gelap. Inilah yang disebut adaptasi rodopsin. Adaptasi ini butuh waktu. Jadi, rabun senja
terjadi karena kegagalan atau kemunduran adaptasi rodopsin.
Turgor atau elastisitas kulit jelek karena sel kekurangan air (dehidrasi). Reflek patella
negatif terjadi karena kekurangan aktin myosin pada tendon patella dan degenerasi saraf
motorik akibat dari kekurangn protein, Cu dan Mg seperti gangguan neurotransmitter.
Sedangkan, hepatomegali terjadi karena kekurangan protein. Jika terjadi kekurangan
protein, maka terjadi penurunan pembentukan lipoprotein. Hal ini membuat penurunan HDL
dan LDL. Karena penurunan HDL dan LDL, maka lemak yang ada di hepar sulit
ditransport ke jaringan-jaringan, pada akhirnya penumpukan lemak di hepar.
Tanda khas pada penderita kwashiorkor adalah pitting edema. Pitting edema adalah
edema yang jika ditekan, sulit kembali seperti semula. Pitting edema disebabkan oleh
kurangnya protein, sehingga tekanan onkotik intravaskular menurun. Jika hal ini terjadi, maka
terjadi ekstravasasi plasma ke intertisial. Plasma masuk ke intertisial, tidak ke intrasel,
karena pada penderita kwashiorkor tidak ada kompensansi dari ginjal untuk reabsorpsi
natrium. Padahal natrium berfungsi menjaga keseimbangan cairan tubuh. Pada penderita
kwashiorkor, selain defisiensi protein juga defisiensi multinutrien. Ketika ditekan, maka
plasma pada intertisial lari ke daerah sekitarnya karena tidak terfiksasi oleh membran sel dan
mengembalikannya membutuhkan waktu yang lama karena posisi sel yang rapat. Edema
biasanya terjadi pada ekstremitas bawah karena pengaruh gaya gravitasi, tekanan
hidrostatik dan onkotik (Sadewa, 2008).
Sedangkan menurut Nelson (2007), penyebab utama marasmus adalah kurang kalori
protein yang dapat terjadi karena : diet yang tidak cukup, kebiasaan makan yang tidak
tepat seperti hubungan orang tua dengan anak terganggu, karena kelainan metabolik atau
malformasi kongenital. Keadaan ini merupakan hasil akhir dari interaksi antara
kekurangan makanan dan penyakit infeksi. Selain faktor lingkungan ada beberapa
faktor lain pada diri anak sendiri yang dibawa sejak lahir, diduga berpengaruh terhadap
terjadinya marasmus. Secara garis besar sebab-sebab marasmus adalah sebagai berikut :
a. Masukan makanan yang kurang : marasmus terjadi akibat masukan kalori yang
sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan akibat dari
ketidaktahuan orang tua si anak, misalnya pemakaian secara luas susu kaleng yang
terlalu encer.
b. Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama infeksi enteral
misalnya infantil gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephiritis dan sifilis
kongenital.
c. Kelainan struktur bawaan misalnya : penyakit jantung bawaan, penyakit
Hischprung, deformitas palatum, palatoschizis, mocrognathia, stenosis pilorus. Hiatus
hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis pankreas
d. Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus. Pada keadaan tersebut pemberian ASI
kurang akibat reflek mengisap yang kurang kuat
e. Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan yang cukup
f. Gangguan metabolik, misalnya renal asidosis, idiopathic hypercalcemia,
galactosemia, lactose intolerance
g. Tumor hypothalamus, kejadian ini jarang dijumpai dan baru ditegakkan bila
penyebab maramus yang lain disingkirkan
h. Penyapihan yang terlalu dini desertai dengan pemberian makanan tambahan yang kurang
akan menimbulkan marasmus
i. Urbanisasi mempengaruhi dan merupakan predisposisi untuk timbulnya marasmus,
meningkatnya arus urbanisasi diikuti pula perubahan kebiasaan penyapihan dini dan
kemudian diikuti dengan pemberian susu manis dan susu yang terlalu encer akibat
dari tidak mampu membeli susu, dan bila disertai infeksi berulang terutama
gastroenteritis akan menyebabkan anak jatuh dalam marasmus.
F. WOC
G. KOMPLIKASI
Pada penderita gangguan gizi sering terjadi gangguan asupan vitamin dan mineral.
Karena begitu banyaknya asupan jenis vitamin dan mineral yang terganggu dan begitu
luasnya fungsi dan organ tubuh yang terganggu maka jenis gangguannya sangat banyak.
Pengaruh KEP bisa terjadi pada semua organ sistem tubuh. Beberapa organ tubuh yang
sering terganggu adalah saluran cerna, otot dan tulang, hati, pancreas, ginjal, jantung,
dan gangguan hormonal.
Anemia gizi adalah kurangnya kadar Hemoglobin pada anak yang disebabkan karena
kurangnya asupan zat Besi (Fe) atau asam Folat. Gejala yang bisa terjadi adalah anak
tampak pucat, sering sakit kepala, mudah lelah dan sebagainya. Pengaruh sistem hormonal
yang terjadi adalah gangguan hormon kortisol, insulin, Growht hormon (hormon
pertumbuhan) Thyroid Stimulating Hormon meninggi tetapi fungsi tiroid menurun. Hormon-
hormon tersebut berperanan dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan tersering
mengakibatkan kematian (Sadewa, 2008).
Mortalitas atau kejadian kematian dapat terjadi pada penderita KEP, khususnya pada
KEP berat. Beberapa penelitian menunjukkan pada KEP berat resiko kematian cukup besar,
adalah sekitar 55%. Kematian ini seringkali terjadi karena penyakit infeksi (seperti
Tuberculosis, radang paru, infeksi saluran cerna) atau karena gangguan jantung mendadak.
Infeksi berat sering terjadi karena pada KEP sering mengalami gangguan mekanisme
pertahanan tubuh. Sehingga mudah terjadi infeksi atau bila terkena infeksi beresiko
terjadi komplikasi yang lebih berat hingga mengancam jiwa (Nelson, 2007).
1. Perubahan Berat Badan
Berat badan merupakan ukuran antropometrik yang terpenting, dipakai pada setiap
kesempatan memeriksa kesehatan anak pada semua kelompok umur. Berat badan
merupakan hasil peningkatan/penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh, antara lain
tulang, otot, lemak, cairan tubuh dan lain-lainnya. Berat badan dipakai sebagai
indikator terbaik pada saat ini untuk mengetahui keadaan gizi dan tumbuh kembang
anak, sensitif terhadap perubahan sedikit saja, pengukuran objektif dan dapat
diulangi, dapat digunakan timbangan apa saja yang relatif murah, mudah dan tidak
memerlukan banyak waktu. Indikator berat badan dimanfaatkan dalam klinik untuk :
a) Bahan informasi untuk menilai keadaan gizi baik yang akut, maupun
kronis, tumbuh kembang dan kesehatan
b) Memonitor keadaan kesehatan, misalnya pada pengobatan penyakit
c) Dasar perhitungan dosis obat dan makanan yang perlu diberikan.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut
pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan
tingkat gizi (Supariasa, 2002). Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan
adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan
berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).
a) Indeks berat badan menurut umur (BB/U)
Merupakan pengukuran antropometri yang sering digunakan sebagai indikator dalam
keadaan normal, dimana keadaan kesehatan dan keseimbangan antara intake dan
kebutuhan gizi terjamin. Berat badan memberikan gambaran tentang massa tubuh (otot
dan lemak). Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang
mendadak, misalnya terserang infeksi, kurang nafsu makan dan menurunnya
jumlah makanan yang dikonsumsi. BB/U lebih menggambarkan status gizi
sekarang. Berat badan yang bersifat labil, menyebabkan indeks ini lebih
menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Current Nutritional Status)
b) Indeks tinggi badan menurut umur (TB/U)
Indeks TB/U disamping memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga lebih
erat kaitannya dengan status ekonomi (Beaton dan Bengoa (1973) dalam.
c) Indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)
Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam
keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi
badan dengan kecepatan tertentu (Supariasa,dkk 2002).
d) Melakukan pemeriksaan darah untuk melihat ketidaknormalan Melakukan pemeriksaan
X-Ray untuk memeriksa apakah ada kelainan pada tulang dan organ tubuh lain
Memeriksa penyakit atau kondisi lain yang dapat menyebabkan terjadinya gizi buruk.
I. PENATALAKSANAAN
Dalam proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, adalah fase stabilisasi,
fase transisi dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus trampil memilih langkah
mana yang cocok untuk setiap fase. Tatalaksana ini digunakan baik pada penderita
kwashiorkor, marasmus maupun marasmik-kwarshiorkor.
1. Tahap Penyesuaian
Tujuannya adalah menyesuaikan kemampuan pasien menerima makanan hingga
ia mampu menerima diet tinggi energi dan tingi protein (TETP). Tahap penyesuaian
ini dapat berlangsung singkat, adalah selama 1-2 minggu atau lebih lama, bergantung
pada kemampuan pasien untuk menerima dan mencerna makanan. Jika berat badan
pasien kurang dari 7 kg, makanan yang diberikan berupa makanan bayi. Makanan
utama adalah formula yang dimodifikasi. Contoh: susu rendah laktosa +2,5-5% glukosa
+2% tepung. Secara berangsur ditambahkan makanan lumat dan makanan lembek.
Bila ada, berikan ASI. Jika berat badan pasien 7 kg atau lebih, makanan diberikan
seperti makanan untuk anak di atas 1 tahun. Pemberian makanan dimulai dengan
makanan cair, kemudian makanan lunak dan makanan biasa, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari.
b. Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari.
c. Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap dengan
keenceran 1/3, 2/3, dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3 hari. Untuk
meningkatkan energi ditambahkan 5% glukosa, dan
d. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari tiap 2-3 jam.
Bila konsumsi per-oral tidak mencukupi, perlu diberi tambahan makanan lewat
pipa (per-sonde) (RSCM, 2003).
2. Tahap Penyembuhan
Bila nafsu makan dan toleransi terhadap makanan bertambah baik, secara
berangsur, tiap 1-2 hari, pemberian makanan ditingkatkan hingga konsumsi mencapai
150-200 kkal/kg berat badan sehari dan 2-5 gram protein/kg berat badan sehari.
3. Tahap Lanjutan
Sebelum pasien dipulangkan, hendaknya ia sudah dibiasakan memperoleh makanan
biasa yang bukan merupakan diet TETP. Kepada orang tua hendaknya diberikan
penyuluhan kesehatan dan gizi, khususnya tentang mengatur makanan, memilih
bahan makanan, dan mengolahnya sesuai dengan kemampuan daya belinya.
Suplementasi zat gizi yang mungkin diperlukan adalah :
a. Glukosa biasanya secara intravena diberikan bila terdapat tanda-tanda
hipoglikemia.
b. KCl, sesuai dengan kebutuhan, diberikan bila ada hipokalemia.
c. Mg, berupa MgSO4 50%, diberikan secara intra muskuler bila terdapat
hipomagnesimia.
d. Vitamin A diberikan sebagai pencegahan sebanyak 200.000 SI peroral atau
100.000 SI secara intra muskuler. Bila terdapat xeroftalmia, vitamin A diberikan
dengan dosis total 50.000 SI/kg berat badan dan dosis maksimal 400.000 SI.
e. Vitamin B dan vitamin C dapat diberikan secara suntikan per-oral. Zat besi (Fe)
dan asam folat diberikan bila terdapat anemia yang biasanya menyertai KKP
berat.
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
1. Pengkajian
a. Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan melalui kegiatan
pengumpulan data atau perolehan data yang akurat dari pasien guna mengetahui
b. Pengkajian pada anak dengan Kurang Energi Protein (KEP) dapat dijabarkan sebagai
berikut:
c. Data biografi
d. Sering terjadi pada anak usia kurang dari 5 tahun. Tidak ada perbedaan jenis kelamin,
ras, tradisi dan kebiasaan turun temurun terutama mengenai makanan, dan lingkungan
fisik.
2. Riwayat penyakit
a. Riwayat penyakit sebelum sakit
Pernah menderita BBLR/penyakit infeksi/trauma/kanker. Kebiasaan berobat ke
pemberian asupan makanan yang kadar proteinnya kurang dalam waktu cukup lama/
gram.
2) BB dan TB pada usia 6 bulan: Normalnya BB 7,4 kg dengan TB 66 cm.
3) BB dan TB pada usia 12 bulan: Normalnya BB 9,9 kg dengan TB 74,5 cm.
b. Perkembangan motorik
1) Dapat menghisap pada usia: normalnya umur 0-4 bulan.
2) Dapat menggenggam pada usia: normalnya sekitar 1 bulan.
3) Dapat tengkurap pada usia: normalnya pada usia 5 bulan.
4) Dapat duduk pada usia: Normalnya usia 7-8 bulan.
5) Dapat berdiri dengan bantuan pada usia: Normalnya pada usia 9 bulan.
6) Dapat berdiri sendiri pada usia: Normalnya pada usia 10 bulan.
6. Riwayat makanan
a. ASI: Normal pada usia 0-12 bulan.
b. Makanan tambahan: ya/tidak. Jenisnya berupa bubur/bubur susu dan lain-lain.
c. Pemberian vitamin: ya/tidak.
7. Riwayat imunisasi
a. BCG pada umur: Pemberian imunisasi BCG satu kali pada umur bayi umur 2 atau
3 bulan.
b. Polio pada umur: Frekuensi pemberian imunisasi Polio adalah empat kali antara
Skinfold Caliper. Bagian-bagian tubuh yang umumnya diukur adalah tricep, bicep,
DIANGOSA
NO
KEPERAWATAN DAN TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC
DX
KOLABORASI
Nutrition Monitoring
BB pasien dalam
normal
Monitor adanya penu
berat badan
Monitor tipe dan ju
aktivitas yang
dilakukan
Monitor interaksi anak
orangtua selama makan
Monitor lingkungan s
makan
Jadwalkan pengobatan
tindakan tidak selama
makan
Monitor kulit kering
perubahan pigmentasi
Monitor turgor kulit
Monitor kekeringan, ra
kusam, dan mudah pata
Monitor mual dan munt
Monitor kadar albumin
protein, Hb, dan kadar H
Monitor makanan kesuk
Monitor pertumbuhan
perkembangan
Monitor pucat, kemer
dan kekeringan jar
konjungtiva
Monitor kalori dan
nuntrisi
Catat adanya e
hiperemik, hipertonik
lidah dan cavitas oral.
Catat jika lidah berw
magenta, scarlet
K. Implementasi Keperawatan
L. Evaluasi Keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Ciri-Ciri Kurang Gizi. Diakses 9 Februari 2018: PortalKesehatan Online
Anonim. 2008. Kalori Tinggi Untuk Gizi Buruk. Diakses 9 Februari 2018: Republika Online.
Nency, Y. 2005. Gizi Buruk, Ancaman Generasi Yang Hilang. Inpvasi Edisi Vol. 5/XVII/
November 2005: Inovasi Online
Notoatmojo, S. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cetakan Ke-2.
Jakarta: Rineka Cipta
Nurarif .A.H dan Kusuma. H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & Nanda Nic-Noc. Jogjakarta : MediAction
Doengoes, M.E., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition.
New Jersey: Upper Saddle River
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika