POLITIK MULTIPARTAI
Muhammad Nur Arifin
2013.1031.0311.037
Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 merupakan sebuah babak baru dalam sistem pemilu di
Indonesia. Amanat untuk menyelenggarakan pemilu legislatif dan pemilu presiden pada waktu yang
bersamaan merupakan sebuah momentum dalam upaya penataan kembali sistem pemilu, sistem
kepartaian, dan sistem presidensiil. Hal ini telah mendorong lahirnya sistem kepartaian di Indonesia
yakni politik multi-partai. Ditambah lagi dengan turan ini tersirat dalam pasal 6A(2) UUD 1945
yang menyebutkan bahwa presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik Frasa gabungan partai politik mengisyaratkan paling tidak ada dua partai atatu lebih
yang bergabung untuk mengusung seorang calon pasangan presiden dan wakil presiden dan bersaing
dengan calon lain yang diusulkan partai-partai lain. Meledaknya jumlah partai politik dengan
berbeda-beda latar belakang, hal inilah yang mengindikasikan kecenderungan sosiologis yakni
benturan kepentingan yang berujung pada politik identitas. Tulisan ini dimaksudkan untuk
memperlihatkan politik identitas sebagai implikasi dari pembangunan politik di Indonesia.
LATAR BELAKANG
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa partai politik itu pada pokoknya memiliki
kedudukan dan peranan yang sentral dan penting dalam setiap sistem demokrasi. Salah satu
hasil reformasi yang terpenting adalah dibukanya kebebasan berpendapat dan berkumpul yang
ditandai dengan banyaknya partai (multi partai) dengan berbagai asas dan ciri. Undang-undang
kepartaian telah membolehkan berdirinya partai dengan berbagai asas dan ciri dengan tetap
harus mengakui satu-satunya asas negara, yakni Pancasila. Partai-partai baru pun bermunculan
dan dideklarasikan bahkan tampil dalam berbagai kesempatan untuk mempropagandakan "ide-
ide" dan "program-program mereka". Ratusan partai telah berdiri dan berusaha mendaftarkan
diri ke Departemen kehakiman untuk mendapatkan pengesahan.
Secara etimologis, partai berasal dari kata pars atau partis, yang berarti bersifat
bagian(Leteng, 2010) sedangkan politik berasal dari kata polis (bahasa Yunani), yang artinya
negara kota. Namun kemudian dikembangkan dan diturunkan menjadi kata lain seperti polities
(warga negara), politikos (kewarganegaraan atau civic), dan politike tehne (kemahiran politik),
dan politike epistem (ilmu politik)( Cholisin, 2003:1).
Menurut Jurnal Regulasi Partai Politik dalam Mewujudkan Penguatan Peran dan
Fungsi Kelembagaan Partai Politik Vol.1 No.3 Desember 2013 partai politik adalah pilar dari
sistem demokrasi, sepak terjang. Partai politik merupakan variabel yang mempengaruhi
kualitas demokrasi.
Dalam Buku Pengantar Sosial Politik (2011: 85) menurut Carl J. Friederich partai
politik adalah suatu kelompok manusia yang diorganisasikan secara stabil dengan tujuan
mengamankan atau memelihara penguasaan para pemimpinnya atas suatu pemerintahan,
dengan demikian dapat memberikan anggota-anggotanya keuntungan-keuntungan seta
kelebihan-kelebihan ideal dan material.
Dalam Buku Pengantar Sosial Politik (2011:85) bagi R.H Soltou, partai politik adalah
suatu kelompok warganegara yang kurang lebih terorganisir, yang bertindak sebagai suatu unit
politik dan yang berdasarkan penggunaan kekuatan voting, mereka bermaksud mengontrol
pemerintah dan melaksanakan kebijakan-kebijakan umum mereka.
Perkembangan partai politik itu sendiri pada awal kemerdekaan di era pemerintahan
demokrasi liberal diwarnai dengan perdebatan antara Soekarno dan Hatta mengenai format
sistem kepartaian yang ideal. Soekarno berpendapat bahwa
demokrasi tidak perlu diterjemahkan sebagai kesempatan rakyat untuk membentuk
partai sehingga Soekarno mengajukan PNI sebagai satu-satunya partai politik.
Sementara Hatta menginginkan rakyat diberikan kebebasan untuk membentuk partai
politik karena keterlibatan rakyat adalah suatu yang tak
terelakkan dalam pendirian partai politik. Namun pada akhirnya, dengan keluarnya
maklumat wakil presiden pada tanggal 3 November 1945 akhirnya maka Indonesia masuk ke
era multi-partai yang mana dalam kurun waktu 1945 hingga 1950 lahirlah partai-partai politik
dengan garis ideologi yang bermacam- macam.
Multi Partai pada masa demokrasi liberal di era pemerintahan Soekarno pada awal
kemerdekaan terbukti mampu menjatuhkan pemerintah, sehingga tercatat bahwa sampai pada
tahun 1947 telah terjadi tiga kali perubahan kabinet yakni kabinet Syahrir I, kabinet Syahrir II,
dan kabinet Syahrir III.
Era perkembangan partai politik selanjutnya yang juga masih dalam pemerintahan
Soekarno yakni pada masa pemerintahan demokrasi terpimpin. Pada masa ini, peta politik
Indonesia pada demokrasi terpimpin berubah secara drastis, yaitu dengan semakin
berkurangnya peranan partai-partai politik, kecuali yang dekat dengan Soekarno.
Pada masa demokrasi terpimpin ini juga presiden Soekarno mengubur partai-partai
politik dengan dikeluarkannya dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959 yang berisi : Dekrit Presiden
5 Juli 1959:
1 Pembubaran Konstituante
2 Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS
3 Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat- singkatnya.
Dekrit presiden ini sendiri menandai berakhirnya pemerintahan oleh parti- partai,
berakhirnya sistem parlementarian berayun ke presidensialisme dan berakhirnya liberalisme
politik otoritarianisme. Pasca dikeluarkannya dekrit presiden ini, Soekarno kemudian
membubarkan DPR hasil pemilihan umum tahun
1955. Soekarno juga kemudian mengeluarkan peraturan mengenai penyederhanaan partai
yakni Penpres Nomor 7 tahun 1959, dan peraturan mengenai pengakuan, pengawasan, dan
pembubaran partai politik yakni Penpres Nomor 13 tahun 1960. Soekarno kemudian hanya
mengakui adanya sepuluh partai politik yakni PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia,
Partai Murba, PSII, IPKI, Parkindo dan Perti.
Disamping itu, pada tahun 1960 pemerintah juga membentuk suatu wadah untuk
memobilisasi semua kekuatan politik di bawah pengawasan pemerintah, yang di
dasarkan pada ideologi Nasionalis, Agama, Komunis yang disebut Front Nasional. Front
Nasional diisi oleh semua partai, dan juga oleh kelompok- kelompok yang sebelumnya belum
mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan seperti
golongan fungsional dan abri.
Yang diharapkan dari pembentukan Front Nasional ini sebenarnya adalah untuk
melemahkan kedudukan partai-partai politik. Namun pada masa ini PKI berhasil berkembang
sangat pesat hingga akhirnya meletusnya peristiwa Gerakan 30 September PKI yang menjadi
akhir dari sistem pemerintahan demokrasi
terpimpin oleh Soekarno dan kemudian memberikan mandat kepada Soeharto untuk
melakukan pembenahan terhadap situasi politik yang carut marut dan kemudian akhirnya
Soeharto diangkat menjadi presiden sehingga masuklah sistem kepartaian ke era orde baru atau
era kepemimpinan Soeharto.
Sementara itu, perkembangan partai politik pada rezim Soeharto sangat dibatasi sehingga
terbentuklah suatu sistem multi-partai yang terbatas. Era Partai politik di masa orde baru ini
diawali dengan pembubaran PKI dan Partindo sehingga hanya tinggal delapan partai politik
era soekarno yang hidup. Perlahan –
perlahan peran partai politik mulai dibatasi di dalam kehidupan politik dan kemudain
dikendalikan oleh negara. Sejarah juga mencatat bahwa pada awal
pemerintahan Soeharto selain membubarkan PKI dan Partindo selain itu
pemerintah orde baru juga melakukan larangan terhadap bangkitnya kembali masyumi
serta penolakan terhadap berdirinya Partai Demokrasi Islam Indonesia pada tahun 1967.
Pemilihan Umum tahun 1971 dimenangi oleh Golkar. Kemenangan Golkar membuat
golkar menjadi partai yang berkuasa dalam parlemen sehingga memudahkan Golkar dalam
memuluskan kepentingan politik orde baru termasuk dalam hal kepartaian. Upaya yang
dilakukan pemerintah orde baru dalam menata sistem kepartaian di Indonesia dimulai dengan
mengeluarkan kebijakan penggabungan partai-partai atau fusi dalam rangka penyederhanaan
partai politik.
Di hadapan partai politik, Presiden Soeharto mengemukakan sarannya agar partai
mengelompokkan diri menjadi tiga kelompok yakni Golongan Nasional, Golongan Spiritual
dan Golongan Karya. Upaya penyederhanaan partai politik itu sendiri dimulai dari
pembentukan koalisi di dalam parlemen yakni kelompok Golongan Spiritual yang disebut
kelompok persatuan pembangunan yang berisi partai-partai politik islam yakni NU, Parmusi,
PSII serta Perti dan kelompok Golongan Nasional yang disebut kelompok demokrasi
pembangunan yang berisi PNI, IPKI, Murba, Parkindo dan Partai Katolik.
Perkembangan kepartaian pasca jatuhnya Soeharto yang disebut dengan era reformasi
cukup besar. Hal ini diakibatkan karena pada masa orde baru partai- partai politik tidak
diperkenankan berdiri, sehingga dapat dikatakan bahwa pendirian partai-partai politik ini
sebagai suatu ekspresi kebebasan.
Desakan- desakan juga muncul dimasa pemerintahan awal reformasi yang menginginkan
agar kehidupan politik Indonesia lebih demokratis sehingga oleh karena itu BJ Habibie
mengeluarkan Undang-undang nomor 2 tahun 1999, sehingga oleh karenanya partai-partai
politik baru mulai muncul dan tercatat pemilihan umum tahun 1999 diikuti oleh 48 Partai dari
141 Partai Politik yang mendaftarkan diri di Departemen Kehakiman.
Sistem kepartaian yang multi-partai dalam era reformasi kali ini memunculkan banyak
sekali partai politik dengan beragam ideologi yang mencapai ratusan partai politik. Pada
masa ini BOUCHIER mengatakan bahwa ada kemiripan antara masa awal reformasi ini
dengan november 1945, masa ketika partai politik tumbuh subur. Kemiripan itu adalah
sehubungan dengan hal-hal yaitu, euphoria berhasil keluar dari suatu kurun panjang represi
politik, banyaknya kepentingan politik yang sodok menyodok berebut posisi, dan tidak adanya
otoritas politik yang punya kemauan mencegah hal itu.
Pada masa era reformasi ini terbentuk suatu sistem kepartaian yang pluralisme terbatas.
Ciri utamanya adalah terdapat partai politik dengan perolehan suara yang cukup seimbang
lebih dari lima partai, arus interaksi partai multilateral, dan di dalam kekuasaan terjadi
fregmentasi. Sistem kepartaian yang seperti ini membuat situasi politik menjadi rumit karena
terjadi koalisi-koalisi partai politik yang bergantung kepada kepentingan partai-partai politik
saja.
Dengan munculnya banyak sekali partai politik, upaya untuk kembali menyederhanakan
partai politik pun muncul. Hal ini disebabkan oleh munculnya keanehan dalam sistem
presidensial yakni mengenal istilah koalisi dan komposisi kabinet yang berbentuk kabinet
warna-warni yang berisi unsur-unsur partai yang ada DPR. Penyederhanaan sendiri dimulai
dengan menerapkan electoral threshold (ET) pada pemilihan umum 2004 dan Parliemantary
Threshold (PT) pada pemilihan umum 2009. Pemberlakuan electoral threshold dan
Parliemantary Threshold diharapkan akan menjadi cara alamiah untuk mengurangi partai
politik. keanehan dalam sistem presidensial yakni mengenal istilah koalisi dan komposisi
kabinet yang berbentuk kabinet warna-warni yang berisi unsur-unsur partai yang ada DPR.
Penyederhanaan sendiri dimulai dengan menerapkan electoral threshold (ET) pada pemilihan
umum 2004 dan Parliemantary Threshold (PT) pada pemilihan umum 2009. Pemberlakuan
electoral threshold dan Parliemantary Threshold diharapkan akan menjadi cara alamiah untuk
mengurangi partai politik.
Ketentuan ET pada tahun 2004 menetapkan ada tujuh partai politik yang lolos dan sepuluh
partai politik yang tidak lolos. Kesepuluh partai politik yang tidak lolos ET ini tidak
diperkenankan ikut pemilihan umum berikutnya kecuali harus memenuhi ketentuan di dalam
undang-undang, namun demikian kesepuluh partai politik ini tetap boleh menempatkan
wakilnya duduk di legislatif. Sementara itu ketentuan PT pada tahun 2009 menetapkan
sembilan partai politik lolos dan sekitar tiga puluh sembilan partai politik yang tidak lolos.
Partai politik yang tidak lolos ambang batas PT tidak diperkenankan untuk mendudukkan
wakilnya di legislatif sekalipun wakilnya tersebut memenuhi jumlah suara.
Namun usaha menyederhanakan jumlah partai dengan cara ini ternyata tidak berjalan
maksimal, karena ternyata hasrat untuk mendirikan partai politik tetaplah besar. Untuk
menyiasati ini, akhirnya dikeluarkanlah suatu peraturan perundang-undangan yang pada
intinya untuk mempersulit berdirinya partai politik dengan mengharuskan partai politik yang
ingin mengikuti pemilu selain mengikuti verifikasi di Departemen Hukum dan Ham juga
melakukan verifikasi di KPU dengan standar yang telah di tetapkan.
Menyongsong pemilihan umum 2014 hasrat untuk meminimalkan jumlah partai juga besar.
Melalui Undang-undang nomor 8 tahun 2012 persyaratan semakin diperketat salah satunya
dengan mensyaratkan partai politik harus lulus verifikasi di seratus persen provinsi yang ada
di Indonesia yang mencakup kepengurusan, keanggotaan dan keterwakilan perempuan. Disisi
lain, untuk menyiasati kesulitan verifikasi itu, partai-partai di DPR juga mencantumkan suatu
peraturan dalam pasal 8, yang mana dikatakan bahwa partai yang sudah lolos ambang batas
pada pemilu yang lalu diperbolehkan untuk ikut menjadi peserta pemilu berikutnya, walaupun
kemudian pasal ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 52/PUU-
X/2012 yang menyatakan bahwa semua partai politik wajib mengikuti verifikasi.
Dengan peraturan demikian, keberadaan partai politik pun semakin sederhana atau sedikit.
Berdasarkan hasil verifikasi KPU akhirnya hanya sepuluh partai politik ditetapkan oleh KPU
menjadi peserta pemilu melalui rapat pleno terbuka yakni sembilan partai yang memiliki kursi
di DPR dan satu partai baru yaitu NasDem. Namun hasil ini kemudian berubah karena
adanya putusan Bawaslu dan PTTUN yang kemudian meloloskan PKPI dan PBB sehingga
jumlah partai politik yang akan mengikuti pemilu 2014 bertambah menjadi dua belas.
Sistem multi-partai adalah sistem kepartaian suatu negara yang memiliki banyak partai
dan tidak hanya satu partai saja yang dominan. Runtuhnya orde baru sungguh sangat
mencengangkan banyak pihak. Di tambah lagi dengan munculnya kembali fenomena multi-
partai yang selama ini dianggap telah terkubur setelah runtuhnya orde lama. Persoalan utama
yang menyebabkan kegagalan sistem multi-partai pada periode 50-an adalah tidak-mampuan
mereka menyadari arti penting koalisi. Koalisi yang mereka bentuk pada waktu itu hanya
sekedar mencari rekan partai untuk mempertahankan kekuasaan kabinet. Oleh karena itu
mereka banyak yang mengalami kegagalan berkoalisi. Dan kegagalan itu mengundang tidak-
sabaran militer untuk melakukan intervensi. Campur tangan militer tersebut meruntuhkan
semua sendi sistem multi-partai yang dibangun pada era demokrasi liberal.
Dalam sejarah pemilu di Indonesia, sistem multi-partai telah berlangsung sejak pemilu
pertama ada tahun 1955 dengan jumlah 178 peserta termasuk calon perorangan, Pemilu 1971
diikuti 10 Parpol, Pemilu 1999 diikuti oleh 48 Parpol, dan Pemilu 2004 diikuti oleh 24 parpol.
Sementara pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 hanya diikuti 3 parpol. yaitu Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia
(PDI). Ketiganya merupakan hasil dari fusi (penggabungan) dari partai-partai yang menjadi
peserta pada Pemilu 1971. PPP adalah hasil fusi dari Partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti.
Sedangkan PDI merupakan hasil penggabungan dari PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan
Murba. Pemilu di masa orde baru ini sering disebut dengan sistem multi-partai sederhana.
Di masa transisi politik saat ini, nampaknya sistem multi-partai masih akan menjadi
idola dan bertahan lama. Pasalnya, selain konstitusi menjamin kebebasan berserikat dan
berkumpul, para elit politik juga gemar menginstitusionaliosasikan dirinya kedalam bentuk
parpol. Karena partai politik merupakan kendaraan untuk sampai ke tampuk kekuasaan.
Empat partai besar saat itu mencerminkan begitu besarnya niat dari setiap massa partai
untuk disalurkan aspirasinya. Empat partai besar tersebut adalah PNI (Partai Nasional
Indonesia) yang mencoba menyalurkan aspirasi kaum nasionalis; Masyumi dan NU (Nahdlatul
Ulama) menjadi wadah bagi umat Islam untuk menyalurkan kepentingannya; serta PKI (Partai
Komunis Indonesia) yang merupakan wadah politik dari kaum Komunis yang saat itu juga
menjadi bagian yang berpengaruh pada masyarakat Indonesia.
Konflik antar partai yang didasari oleh perbedaan ideologi kemungkinan besar
dipengaruhi oleh sosialisasi politik yang diperoleh para pendukung partai dari partai politik
masing-masing. Partai politik sebagai sarana sosialisasi politik bertanggung jawab untuk
semaksimal mungkin memberikan pemahaman mengenai ideologi dari partai tersebut kepada
masyarakat sehingga terbentuk sikap dan orientasi politik yang didasari oleh ideologi tersebut.
Setiap partai politik berusaha untuk mempengaruhi setiap individu agar mau bersikap dan
mempunyai orientasi pikiran yang sesuai dengan ideologi partai tersebut. Karena itu suatu hal
yang wajar apabila terjadi konflik diantara Masyumi dan NU, karena proses sosialisasi politik
yang mereka terima berbeda. Terlebih lagi bila dua partai yang berideologi berbeda akan sangat
besar potensi konflik yang ada pada proses menjalankan peran masing-masing, contohnya
antara PNI dengan Masyumi yang berbeda dalam hal yang menyangkut peran Islam dalam
negara. PNI menuduh Masyumi menggunakan simbol-simbol Islam untuk menentang simbol-
simbol nasionalis. Masyumi menyangkal tuduhan ini dengan menyatakan bahwa perjuangan
partai untuk “negara berdasarkan Islam” itu bertentangan dengan Pancasila. Contoh lain antara
PKI dengan tiga partai lainnya. PKI dengan semboyannya, yakni : “PNI partai priyayi,
Masyumi dan NU partai santri, tetapi PKI partai rakyat”[4], mencoba mencari pengaruh dengan
mengatas namakan diri sebagai partai yang memperjuangkan hak-hak rakyat.
Konflik-konflik diatas jelas membuat situasi politik menjadi tidak stabil dan itu
memang merupakan konsekuensi dari banyaknya partai pada saat itu. Fungsi lain dari partai
politik yang juga dapat menyebabkan terjadinya konflik antar partai adalah sebagai wadah
rekruitmen politik. Terkadang setiap partai politik cenderung mempunyai sasaran tersendiri
berupa kelompok-kelompok sosial untuk direkrut menjadi anggota partai yang turut aktif
dalam kegiatan politik partai. Kecenderungan ini berdampak kepada adanya suatu
pengidentikkan suatu partai dengan sebuah kelompok sosial di dalam masyarakat. Contohnya
PKI yang identik dengan kelompok petani, karena memang sasaran utama dari rekruitmen
politik yang dilakukan oleh PKI adalah kalangan petani. Masyumi identik dengan kelompok
Islam modernis yang seringkali bertentangan dengan kelompok Islam konservatif yang identik
dengan NU. Dan PNI pun dengan konsep nasionalismenya di identikkan dengan kaum elit
pemerintah yang mempunyai prinsip mempertahankan jiwa-jiwa nasional. Adanya pemisahan
secara ekstrim kelompok-kelompok sosial ini dapat memancing terjadinya konflik antar
kelompok sosial tersebut sehingga sulit tercapai suatu integrasi secara sosial. Sama halnya
dengan sulitnya tercipta integrasi politik disebabkan adanya konflik antar partai politik yang
ada.
Secara kontekstual, Frans Magnis-Suseno (2011) dalam sebuah seminar tentang Politik
Identitas mengungkapkan bahwa politik identitas merupakan sebuah identitas primordial yang
menjadi acuan dasar identitas seseorang dan oleh karena itu, orang itu akan mengambil sikap
dan keputusan politik dari sudut keuntungan bagi kelompoknya yang sama identitasnya.
Apabila identitas primordial itu adalah agama, maka orang itu pertama-tama merasakan diri
sebagai warga agama dan bukan sebagai warga negara. Hal ini berarti, dengan sendirinya
identitas keagamaan menjadi batas perasaan solidaritas dan loyalitas sosialnya. Dengan
demikian kebersamaan kebangsaan akan tanpa arti emosional bagi yang bersangkutan. Dan
pada titik ini menjadi jelaslah bahwa bangsa dan negara tidak lagi merupakan sesuatu yang
diminati baginya (orang itu–yang dengan politik identitas tadi), karena dia hanya bersedia
berkorban untuk sesuatu memberikan rasa nyaman bagi dia.
Politik identitas adalah nama untuk menjelaskan situasi yang ditandai dengan
kebangkitan kelompok-kelompok identitas sebagai tanggapan untuk represi yang
memarjinalisasikan mereka di masa lalu. Identitas berubah menjadi politik identitas ketika
menjadi basis perjuangan aspirasi kelompok.
Identitas bukan hanya persoalan sosio-psikologis namun juga politis. Ada politisasi atas
identitas. Identitas yang dalam konteks kebangsaan seharusnya digunakan untuk merangkum
kebinekaan bangsa ini, namun justru mulai tampak penguatan identitas-identitas sektarian baik
dalam agama suku, daerah dan lain-lain.
PENDEKATAN TEORITIS
Pada umumnya individu-individu membagi dunia sosial kedalam dua kategori yang
berbeda yakni “kita dan “mereka”, “kita” adalah ingroup sedangkan “mereka” adalah
outgroup. Ketika terjadi persaingan antar kelompok, maka kedua kelompok yang bersiteru
mempersepiskan dirinya anggota kelompoknya sebagai ingroup dan kelompok lawan
sebagai outgroup atau sebagai musuh yang mengancam. Banyaknya kategori yang
menyusun identitas sosial terkait dengan dunia interpersonal. Mereka mengindikasikan
sejauh mana kita serupa dan tidak serupa dengan orang lain. Ketika seseorang telah
memiliki identitas yang kuat terhadap kelompoknya, maka secara psikologis ia akan sangat
terikat dan pada akhirnya akan melahirkan solidaritas dan komitmen terhadap kelompok.
Hal senada juga disampaikan oleh Vugt dan Hart (2004), yang menyatakan bahwa identitas
sosial akan mempengaruhi loyalitas dan integritas anggota kelompok.
Melalui teori Ingroup dan Outgroup ini kami menganalisa bahwa penguatan identitas
terjadi semata-mata karena adanya persamaan. Kita ketahui bersama bahwa disetiap partai
politik tentunya mengusung sebuah visi dan misi yang berbeda-beda, juga yang tak luput
dari pengamatan ialah, secara mendasar perbedaan ideologi yang melatar-belakangi
berdirinya sebuah partai adalah sebuah keniscayaan. Berdasarkan pengamatan ini, politik
identitas mendapatkan sebuah asupan rasional dari teori ini sebagai dasar tindak-tanduk
dalam berpolitik.
Park dan Burgess mengatakan, "Persaingan adalah sebuah interaksi tanpa kontak
sosial." Sedangkan Biesanz mengatakan, "Persaingan adalah perjuangan dari dua atau lebih
orang untuk tujuan yang sama yang terbatas sehingga semua tidak dapat memiliki."
Sutherland, Woodward dan Maxwell "Persaingan adalah, impersonal sadar, perjuangan
terus menerus antara individu atau kelompok untuk kepuasan yang, karena pasokan terbatas,
semua tidak mungkin."
Proses disosiatif: Persaingan adalah proses sosial disosiatif. Persaingan dapat memicu
konflik. Proses ini disebut tipe negatif dari interaksi. Selalu bekerja untuk disintegrasi
masyarakat. Proses ini dapat menghambat kesatuan dan integritas masyarakat. Proses
disosiatif sering disebut sebagai oppositional proccesses, yang persis halnya dengan
kerjasama, dapat ditemukan pada setiap masyarakat, walaupun bentuk dan arahnya
ditentukan oleh kebudayaan dan sistem sosial masyarakat bersangkutan. Oposisi dapat
diartikan sebagai cara berjuang melawan seseorang atau sekelompok manusia untuk
mencapai tujuan tertentu. Pola-pola oposisi tersebut dinamakan juga sebagai perjuangan
untuk tetap hidup (struggle for existence).
Persaingan mempunyai dua tipe, yaitu persaingan yang bersifat pribadi (antarindividu)
dan persaingan yang bersifat non pribadi (antarkelompok). Persaingan mempunya dua tipe
umum :
1. Perlunya sebuah rumusan yang mengatur terkait sosialisasi pada tubuh partai politik
sebelum sebuah partai politik mendaftarkan dirinya. Upaya ini dilangsungkan untuk
memastikan wacana identitas nasional yakni ke-bhinekaan tunggal ika masih tetap
terjaga sebagai nilai utama pada setiap relasi antar partai politik.
2. Menggali kembali ke-Indonesian. Pancasila harus digali dan diangkat kembali ke dalam
diskursus publik, sehingga membuka relevansi dan kekuatannya terhadap pemahaman
kebangsaan Indonesia. Harusnya orang bangga bahwa negara ini dibangun atas dasar
Pancasila.
3. Negara harus mengakhiri politik pembiaran terhadap kekerasan atas nama agama. Para
pemimpin negara harus menunjukkan bahwa mereka berkarakter, bahwa mereka
mempunyai keberanian untuk bicara jelas kepada rakyat, membuat jelas bahwa mereka
tidak akan mentolerir kekerasan berlangsung, mengecam ekstremisme, termasuk
ekstremisme agama, serta mendidik rakyat agar saling menghormati (minoritas dan
mayoritas), termasuk anggota dari apa yang disebut “ajaran sesat“, dan mengakui
agama-agama lokal di Indonesia, yang lebih minoritas lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Fredy Umbu Bewa Guty, 2016, Menggali Ke-Indonesiaan Jawaban Terhadap Politik
Identitas https://note4friends.wordpress.com/2015/03/09/menggali-ke-indonesiaan-jawaban-
terhadap-politik-identitas/
Arief Hilman, 2010, Pengaruh Sistem Multi-Partai Terhadap Stabilitas Politik Indonesia di
Era Demokrasi Liberal, https://ariefhilmanarda.wordpress.com/2010/02/24/pengaruh-sistem-
multi-partai-terhadap-stabilitas-politik-indonesia-di-era-demokrasi-liberal/