أما بعد
Hari ini tahun ketiga Keluarga Besar Nahdlatul Ulama dan seluruh rakyat Indonesia
memperingati Hari Santri. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015
tentang Hari Santri tanggal 22 Oktober 2015 yang bertepatan dengan tanggal 9 Muharram
1437 Hijriyah merupakan bukti pengakuan negara atas jasa para ulama dan santri dalam
perjuangan merebut, mengawal, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan. Pengakuan
terhadap kiprah ulama dan santri tidak lepas dari Resolusi Jihad yang dikumandangkan
Hadlaratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama, pada 22 Oktober
1945. Di hadapan konsul-konsul Nahdlatul Ulama seluruh Jawa-Madura, bertempat di
Kantor Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama di Jl. Boeboetan VI/2 Soerabaja, Fatwa Resolusi
Jihad NU digaungkan dengan pidato Hadlaratus Syeikh yang menggetarkan:
“..Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan
oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi
jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh.
Bagi orang-orang jang berada diloear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itoe djadi fardloe
kifayah (jang tjoekoep kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…).”
Tanpa Resolusi Jihad NU dan pidato Hadlaratus Syeikh yang menggetarkan ini, tidak akan
pernah ada peristiwa 10 November di Surabaya yang kelak diperingati sebagai Hari
Pahlawan.
Kiprah santri teruji dalam mengokohkan pilar-pilar NKRI berdasarkan Pancasila yang
bersendikan Bhinneka Tunggal Ika. Santri berdiri di garda depan membentengi NKRI dari
berbagai ancaman. Pada 1936, sebelum Indonesia merdeka, kaum santri menyatakan
Nusantara sebagai Dârus Salâm. Pernyataan ini adalah legitimasi fikih berdirinya NKRI
berdasarkan Pancasila. Tahun 1945, kaum santri setuju menghapuskan tujuh kata dalam
Piagam Jakarta demi persatuan dan kesatuan bangsa. Tahun 1953, kaum santri memberi
gelar Presiden Indonesia, Ir. Soekarno, sebagai Waliyyul Amri ad-Dlarûri bis Syaukah,
pemimpin sah yang harus ditaati dan menyebut para pemberontak DI/TII sebagai bughat
yang harus diperangi. Tahun 1965, kaum santri berdiri di garda depan menghadapi
rongrongan ideologi komunisme. Tahun 1983/1984, kaum santri memelopori penerimaan
Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa-bernegara dan menyatakan
bahwa NKRI sudah final sebagai konsensus nasional (mu’âhadah wathaniyyah). Selepas
Reformasi, kaum santri menjadi bandul kekuataan moderat sehingga perubahan konstitusi
tidak melenceng dari khittah 1945 bahwa NKRI adalah negara-bangsa—bukan negara
agama,bukan negara suku—yang mengakui seluruh warga negara memiliki hak dan
kewajiban yang sama, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, ras, agama, dan golongan.
Kenyataan ini perlu diungkapkan untuk menginsyafkan semua pihak, termasuk kaum santri
sendiri, tentang saham mereka yang besar dalam berdiri dan tegaknya NKRI. Tanpa kiprah
kaum santri, dengan sikap-sikap sosialnya yang moderat (tawassuth), toleran (tasâmuh),
proporsional (tawâzun), lurus (i’tidâl), dan wajar (iqtishâd), NKRI belum tentu eksis sampai
sekarang. Negeri-negeri Muslim di Timur Tengah dan Afrika sekarang remuk dan porak
poranda karena ekstremisme dan ketiadaan komunitas penyangga aliran Islam wasathiyyah.
Momentum Hari Santri hari ini perlu ditransformasikan menjadi gerakan penguatan paham
kebangsaan yang bersintesis dengan keagamaan. Spirit “nasionalisme bagian dari iman”
( )حب الوطن من االيمانperlu terus digelorakan di tengah arus ideologi fundamentalisme agama
yang mempertentangkan Islam dan nasionalisme. Islam dan ajarannya tidak bisa
dilaksanakan tanpa tanah air. Mencintai agama mustahil tanpa berpijak di atas tanah air,
karena itu Islam harus bersanding dengan paham kebangsaan. Hari Santri juga harus
digunakan sebagai revitalisasi etos moral kesederhaan, asketisme, dan spiritualisme yang
melekat sebagai karakter kaum santri. Etos ini penting di tengah merebaknya korupsi dan
narkoba yang mengancam masa depan bangsa. Korupsi dan narkoba adalah turunan dari
materialisme dan hedonisme, paham kebendaan yang mengagungkan uang dan kenikmatan
semu. Singkatnya, santri harus siap mengemban amanah, yaitu amanah kalimatul haq.
Berani mengatakan “iya” terhadap kebenaran walaupun semua orang mengatakan “tidak”
dan sanggup menyatakan “tidak” pada kebatilan walaupun semua orang mengatakan “iya”.
Itulah karakter dasar santri yang bumi, langit dan gunung tidak berani memikulnya,
sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzaab ayat 72.
Hari ini santri jugahidup di tengah dunia digital yang tidak bisa dihindari. Internet adalah
bingkisan kecil dari kemajuan nalar yang menghubungkan manusia sejagat dalam dunia
maya. Ia punya aspek manfaat dan mudharat yang sama-sama besar. Internet telah
digunakan untuk menyebarkan pesan-pesan kebaikan dan dakwah Islam, tetapi juga
digunakan untuk merusak harga diri dan martabat seseorang dengan fitnah dan berita hoaks.
Santri perlu ‘memperalat’ teknologi informasi sebagai media dakwah dan sarana
menyebarkan kebaikan dan kemaslahatan serta mereduksi penggunaannya yang tidak
sejalan dengan upaya untuk menjaga agama ()حفظ الدين والعقل, jiwa ()حفظ النفس, nalar ( حفظ
)العقل, harta ()حفظ المال, keluarga ()حفظ النسل, dan martabat( )حفظ العرضseseorang. Kaidah
fikih: al-muhâfadhah ala-l qadîmis shâlih wa-l akhdzu bi-l jadîdi-l ashlah senantiasa
relevan sebagai bekal kaum santri menghadapi tantangan zaman yang terus berubah.
Indonesia Negeriku
Engkau Panji Martabatku
Siapa Datang Mengancammu
Kan Binasa di bawah durimu
(LirikTaiyeb
Karya M. Ridwan oleh KH Luqman Harits & Hammam
Arr & Vocal Nova DS dan Tim Fathullah HB)
Butuh perjuangan
Dengan darah dan kepedihan
Butuh pengorbanan
Dengan jiwa dan raga terpenjara
Demi kemerdekaan!
Semoga Allah
Membalas segala khidmah
Syuhada . . .
Kemerdekaan . .