Gunung api Tambora, umurnya kurang dari 200 ribu tahun, pada sisi kaki gunung arah
barat berada di atas terumbu karang, dan menyelimuti gunung api yang lebih tua, yang
dinamai gunung api Kawinda Toi (410 ribu tahun yang lalu) pada sisi utara. Sebelum
letusan tahun 1815, tinggi gunung diperkirakan para ahli sekitar 4000 m- 4300 m.
Menurut beberapa ahli, ketinggian Tambora bisa saja lebih tinggi dari yang diperkirakan
karena menurut cerita gunung ini bisa dilihat dari Pulau Bali.
Menurut masyarakat Sanggar, sebelum tahun 1815 sudah ada 3 kerajaan mengelilingi
Tambora: Kerajaan Sanggar di kaki gunung sebelah utara, Kerajaan Tambora di kaki
gunung sebelah barat, dan Kerajaan Pekat di kaki gunung sebelah selatan.
Secara morfologis, tambora berbentuk perisai dengan puncaknya ditempati oleh kaldera
besar yang terbentuk pada letusan tahun 1815. Diameter kaldera sekitar 7 km dengan
kedalaman 1100 m. Sebuah danau kecil musiman terdapat di lantai kaldera dan lusinan
aktivitas fumarol terbentuk di dinding bawah kaldera. Di lantai kaldera ada juga kubah
kerucut kecil dengan nama Doro Api yang terbentuk pasca terbentuknya kaldera dengan
tinggi 100 m.
Pada tahun 1812, gunung Tambora menjadi lebih aktif, dengan puncak letusannya terjadi
pada bulan April tahun 1815. Besar letusan ini masuk ke dalam skala tujuh Volcanic
Explosivity Index (VEI), dengan jumlah semburan tefrit sebesar 1.6 × 1011 meter kubik.
Karakteristik letusannya termasuk letusan di lubang utama, aliran piroklastik, korban
jiwa, kerusakan tanah dan lahan, tsunami dan runtuhnya kaldera. Letusan ketiga ini
memengaruhi iklim global dalam waktu yang lama. Aktivitas Tambora setelah letusan
tersebut baru berhenti pada tanggal 15 Juli 1815. Aktivitas selanjutnya kemudian terjadi
pada bulan Agustus tahun 1819 dengan adanya letusan-letusan kecil dengan api dan
bunyi gemuruh disertai gempa susulan yang dianggap sebagai bagian dari letusan tahun
1815. Letusan ini masuk dalam skala kedua pada skala VEI. Sekitar tahun 1880 ± 30
tahun, Tambora kembali meletus, tetapi hanya di dalam kaldera. Letusan ini membuat
aliran lava kecil dan ekstrusi kubah lava, yang kemudian membentuk kawah baru
bernama Doro Api Toi di dalam kaldera.
Gunung Tambora masih berstatus aktif. Kubah lava kecil dan aliran lava masih terjadi
pada lantai kaldera pada abad ke-19 dan abad ke-20. Letusan terakhir terjadi pada tahun
1967, yang disertai dengan gempa dan terukur pada skala 0 VEI, yang berarti letusan
terjadi tanpa disertai dengan ledakan.
Keadaan Sosial Budaya dan Ekonomi Masyarakat (sebelum dan sesudah letusan Tambora)
Bernice De Jong Boers, ilmuwan asal Denmark dalam makalah revisinya bertajuk
“Mount Tambora in 1815: “A Volcanic Eruption in Indonesia and Its Aftermath”
menggambarkan, Pulau Sumbawa sebelum meletusnya Gunung Tambora sebetulnya
dalam keadaan cukup baik secara ekonomi. Jauh sebelumnya, di Sumbawa jauh lebih
lebat hutannya.
Sekitar tahun 1400, orang- orang Jawa memperkenalkan cara bertanam padi di sawah
dan mulai mengimpor kuda. Semakin lama jumlah penduduk berkembang. Orang
mengandalkan hidup terutama dari beras, kacang hijau, dan kuda. Sementara dari
perkebunan orang mengandalkan kopi, lada, dan kapas yang bisa tumbuh subur.
Di kawasan itu telah terdapat pula hubungan dagang. Pada masa itu Kerajaan Bima
umumnya terbuka dari dunia luar. Dari segi ekonomi, perniagaan merupakan
penghasilan utama dengan komoditas ekspor utama sebelum 1815 ialah beras, madu,
kapas, dan kayu merah.
Setelah Tambora meletus, kesejahteraan yang terbangun itu runtuh. Saat itu terdapat
enam kerajaan kecil di Pulau Sumbawa. Syair Kerajaan Bima menyebutkan dua kerajaan
punah terkubur, yakni Pekat dan Tambora.
Dampaknya sangat luas. Aerosol sulfat yang dikeluarkan oleh letusan Tambora tertahan
di atmosfer sehingga menghalangi sinar matahari ke bumi. Setahun kemudian, gelap
masih menyelimuti Benua Eropa pada musim panas. Peristiwa itu kemudian dikenal
sebagai 'Tahun tanpa musim panas'.
“Maka gelap berbalik lagi lebih dari pada malam itu, maka berbunyilah seperti
bunyi meriam orang perang, kemudian maka turunlah krisik batu dan habu
seperti dituang lamanya tiga hari dua malam,” sebut naskah kuno itu
sebagaimana dibacakan ahli filologi Siti Maryam Salahuddin, 88 tahun, yang
merupakan putri Sultan Bima terakhir, Muhamad Salahuddin.
“Sekitar pukul 7 malam tanggal 10 April terlihat tiga bola api besar keluar dari
Gunung Tomboro. Kemudian tiga bola api itu bergabung di udara dalam satu
ledakan dahsyat” demikian keterangan Raja Sanggar.
“Bencana terbesar yang dialami penduduk sangat mengerikan untuk dikisahkan.
Mayat-mayat masih bergelimpangan di tepi jalan dan di beberapa
perkampungan tersapu bersih, rumah rumah hancur, penduduk yang masih
hidup menderita kelaparan,” tulis Phillips
"Maka heran sekalian hambanya, melihat karunia Rabbal’alamin yang melakukan al-
Fa’alu-I-Lima Yurid ( Apa yang dikehendakiNya), maka teranglah hari maka melihat
rumah dan tanaman maka rusak semuanya demikianlah adanya, yaitu pecah gunung
Tambora menjadi habis mati orang Tambora dan Pekat pada masa Raja Tambora
bernama Abdul Gafur dan Raja Pekat bernama Muhammad." dalam naskah kuno
Kerajaan Bima yang ditulis pada 1815
Demografi
Konsentrasi pemukiman penduduk berada di sektor timur (Desa Sanggar), baratdaya (Kp.
Doro Peti dan Pasanggrahan), barat (Desa Calabai). Sedangkan pemukiman penduduk di
sektor baratlaut, utara, timurlaut, selatan dan tenggara relatif jarang. Mata pencaharian
penduduk umumnya adalah petani, pekebun, dan petani peladang yang memanfaatkan lahan
kering di lereng-lereng gunung atau bukit.
a. Batuan Beku Cadangan batuan beku cukup berlimpah, berupa lava berkomposisi andesit-basaltik dan
basalt. Umumnya dimanfaatkan untuk keperluan bahan bangunan serta pengerasan jalan antar desa dan
pembuatan jembatan di sekitar G. Tambora.
b. Pumis Hitam (black pumice) Cadangan pumis hitam (black pumice) di sekitar G. Tambora sangat
berlimpah, terutama tersebar di bagian timurlaut, timur dan tenggara. Merupakan komponen yuvenil
yang terdapat pada endapan aliran piroklastik produk letusan tahun 1815. Biasanya dipergunakan untuk
bahan bangunan penduduk sekitar dan sebagian dipergunakan untuk bahan pengerasan jalan lintas
antar desa di sekitar G. Tambora.
Wisata Gunungapi
Tujuan wisata gunungapi terdapat di sekitar puncak G. Tambora, yakni di Kaldera Tambora
yang mempunyai diameter 6x7 km. Untuk objek camping yang cukup representatif, dapat
dilakukan di lereng atas bagian selatan atau di dalam kaldera Tambora. Sayangnya untuk
mencapai lokasi dasar kaldera sangat sulit, diperlukan waktu sekitar 8 jam perjalanan turun
melalui alur jalan yang tidak begitu ramah, dalam artian harus dilakukan dengan cara merintis
jalan terlebih dahulu. Sehingga diperlukan peralatan dan perlengkapan pendakian yang cukup
lengkap dan memadai.
Panorama alam yang cukup memukau, terdapat di sektor tenggara Doro Tabeh, yaitu di
sekitar pantai Hoddo dan di sektor baratdaya, selatan-baratdaya, baratlaut serta timurlaut G.
Tambora. Daerah-daerah ini terutama mampu menyajikan keindahan pantainya. Selain dari
sajian keindahan pantainya, khusus di daerah pesisir pantai Doro MBoha dan Doro Peti
sanggup menyajikan informasi geologi yang cukup menarik dan unik, yakni dengan sajian
endapan preatik dengan akresional lapilinya dan aliran piroklastik yang mempunyai struktur
dalam yang sangat indah, mulai dari struktur silang (cross-structure), pembebanan (load cast
structure) hingga paralel (paralel lamination) yang silih berganti. Sajian akresional lapili dan
ragam struktur dalam tersebut terdapat pada endapan aliran piroklastik produk letusan
Tambora 1815 dan produk letusan insitu Doro Peti.
Tidak kalah menariknya, yakni mengenai tujuan wisata yang terdapat di P. Satonda yang
berposisi di bagian baratlaut G. Tambora. Daerah ini merupakan produk erupsi preatik di luar
tubuh G. Tambora yang dipisahkan oleh selat. Untuk mencapainya dapat dilakukan dengan
menggunakan perahu motor (umumnya dilakukan dengan cara mencarter) dari Labuan
Kananga.
1. Letusan yang Mempengaruhi Iklim Global
Pada tanggal 10 April 1815 Tambora meletus secara dahsyat dan mengeluarkan material yang
tercatat sebagai letusan terbesar yang pernah terjadi di dunia. Akibat letusan ini tahun 1816
tercatat sebagai “tahun tanpa musim panas” di Eropa dan Amerika Utara, akibat debu dan
partikel vulkanik yang terlempar ke lapisan atmosfer menghalangi cahaya matahari.
Letusan ini telah menimbulkan anomali temperatur global, hingga temperatur turun sekitar
tiga derajat celcius (pendinginan global) dan menghancurkan panenan dan menimbulkan
kelaparan besar di berbagai negara, termasuk Amerika Utara, Tiongkok, India dan Eropa.
Dampak lanjutan erupsi Tambora dan telah menyebabkan penyebaran penyakit tipus dan
disentri yang dipercaya telah merenggut korban jiwa di Eropa hingga 200 ribu orang pada
periode 1816-1819.