Anda di halaman 1dari 8

Sejarah Perumusan dan Pengesahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pengkritik paling tajam sekaligus sahabat Bung Karno sampai akhir hayat adalah Bung Hatta. Sehingga
mereka sering dikenal dengan sebutan Dwitunggal. Saat Bung Karno memutuskan menikahi Hartini,
Bung Hatta marah besar karena sahabatnya telah menduakan Fatmawati. Meski bersahabat,
pemikiran mereka tentang pemerintahan sering tak sejalan. Hingga pada 20 juli 1956 bung Hatta
mengundurkan diri sebagai wakil presiden.

Selanjutnya melalui surat kabar atau forum-forum, Bung Hatta sering mengecam dan menggugat
kebijakan-kebijakan Bung Karno dan menganggapnya sebagai seorang diktator. Namun Bung Karno
tak pernah membantah kecaman-kecaman Bung Hatta, ia menyimpan segan. Dalam tanggapannya,
paling Bung Karno hanya mengucapkan terima kasih atau menanyakan kapan mereka bisa bertemu
untuk membahasnya. Suatu hari di tahun 1970, Guntur putra sulung Bung Karno kebingungan mencari
wali nikah karena sang ayah tak dapat menghadirinya. Tanpa ragu Bung Karno menyebutkan nama
Bung Hatta sebagai wali nikah putranya, Bung Hatta bisa mencaci-maki dirinya tentang berbagai
kebijakan politik, tapi dalam kehidupan pribadi mereka terikat persaudaraan selama perjuangan
kemerdekaan. Benar saja ketika diminta, Bung Hatta langsung menyatakan kesediaannya.

Persahabatan antara keduanya ini langgeng hingga ajal menjemput Bung Karno. Bulan Juni 1970, bung
Karno yang sakit parah diopname di RS dan itulah pertemuan terakhir mereka. "Hatta, kamu di sini?"
kata Bung Karno terkejut. Bung Hatta kemudian menyalami sahabat yang sering dikritiknya itu dengan
hangat, "Ah, apa kabarmu, No?" Setelah itu, Bung Hatta duduk diam, menggenggam tangan
sahabatnya. Air mata meleleh di pipi Bung Karno.

Kemudian tak ada pembicaraan lebih lanjut. Meski begitu, seolah-olah keduanya saling berbicara
melalui hati masing-masing. Seakan keduanya mengingat jatuh bangun mereka dalam perjuangan
bersama di masa lampau. Ketika tiba saatnya berpisah, Bung Hatta sulit melepaskan tangan Bung
Karno. Demikian dekatnya Bung Karno dan Bung Hatta, hingga di saat-saat terakhir pun Bung Karno
sampai menunggu Bung Hatta menjenguk. Sumber: www.proklamasi.info
Di balik sejarah pengesahan UUD 1945 terdapat kedua tokoh yang berperan penting yaitu Bung Karno
dan Bung Hatta. Di atas perbedaan, mereka selalu menempatkan kepentingan kelompok daripada
kepentingan pribadi.

1. Bagaimana pendangan kamu dalam mencermati kisah di atas?

2. Bayangkan kamu berada di posisi kedua sosok tersebut, nilai-nilai apa yang dapat kamu
rasakan?

3. Gambarkan contoh kisah sosok lain yang menunjukkan nilai kebersamaan.

4. apakah Anda memiliki sahabat? Jika iya, sikap apa yang diteladani dari sahabat anda! Berikan
contohnya!

Perumusan dan Pengesahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Dalam sidang pertama BPUPKI,


Muh. Yamin menyatakan bahwa Rakyat Indonesia mesti mendapat dasar negara yang berasal dari
peradaban kebangsaan Indonesia; orang timur pulang kebudayaan timur, kita tidak berniat lalu akan
meniru sesuatu susunan tata negara negeri luaran. Kita bangsa Indonesia masuk yang beradab dan
kebudayaan kita beribu-ribu tahun umurnya.

Dengan kedalaman ilmu dan pemikiran serta kesadaran akan nilai kebangsaan, para pendiri negara
menyepakati dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang
dijadikan sebagai konstitusi negara atau hukum dasar negara. Tata penyelenggaran negara dan
bernegara harus didasarkan pada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Kalian sebagai warga negara
sudah semestinya memahami konstitusi negara. Menumbuhkan kesadaran akan pentingnya
konstitusi mestilah dimulai sejak dini. Di bab ini, kalian akan mempelajari lebih jauh tentang kesadaran
berkonstitusi.
A. Sejarah Perumusan UUD 1945 oleh BPUPKI

Tahukah kalian, apa itu konstitusi? Coba kalian baca pengertian konstitusi berikut ini. Istilah konstitusi
dalam banyak bahasa berbeda-beda, seperti dalam bahasa Inggris ”constitution”, dalam bahasa
Belanda ”constitutie”, dalam bahasa Jerman ”konstitution”, dan dalam bahasa Latin ”constitutio” yang
berarti undang-undang dasar atau hukum dasar. Konstitusi terbagi

menjadi dua, yaitu konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Konstitusi tertulis adalah aturan-
aturan pokok dasar negara, bangunan negara dan tata negara yang mengatur perikehidupan satu
bangsa di dalam persekutuan hukum negara. Konstitusi tidak tertulis disebut juga konvensi, yaitu
kebiasaan ketatanegaraan yang sering timbul dalam sebuah negara (Budi Juliardi, 2015:66-67). Contoh
konvensi dalam ketatanegaraaan Indonesia antara lain pengambilan keputusan di MPR berdasarkan
musyawarah untuk mufakat, pidato Presiden setiap tanggal 16 Agustus 1945 di depan sidang
paripurna DPR, dan sebelum MPR bersidang, Presiden telah menyiapkan rancangan bahan-bahan
untuk sidang umum MPR yang akan datang itu.

Menurut seorang sarjana hukum, E.C.S Wade Undang-Undang Dasar adalah naskah yang memaparkan
rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-
pokok cara kerja badan-badan tersebut. Di dalam negara yang menganut paham demokrasi, Undang-
Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintahan agar
penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian, diharapkan hak-hak
warga negara akan lebih terlindung. Gagasan ini disebut dengan Konstituasionalisme (Miriam
Budiardjo, 2002:96).

Negara Indonesia menganut paham konstitusionalisme sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1 ayat
(2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan
pegangan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Oleh karena itu, menurut Jimly Asshiddiqie
(2008:5) konstitusi bukan undang-undang biasa. Konstitusi tidak ditetapkan oleh lembaga legislatif
biasa, tetapi oleh badan khusus dan lebih tinggi kedudukannya. Dalam hierarki hukum, konstitusi
merupakan hukum yang paling tinggi dan fundamental sifatnya sehingga peraturan-peraturan
dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.

Merujuk buku Konstitusi dan Konstitusionalisme karangan Jimly Asshiddiqie, disebutkan bahwa
naskah UUD 1945 pertama kali dipersiapkan oleh BPUPKI. Hal itu dilakukan pada masa sidang kedua
tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Juli 1945, saat itu dibahas hal-hal teknis tentang bentuk negara dan
pemerintahan baru yang akan dibentuk. Dalam masa persidangan kedua tersebut, dibentuk Panitia
Hukum Dasar dengan anggota 19 orang yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Kemudian, Panitia ini
membentuk Panitia Kecil lagi yang diketuai oleh Soepomo dengan anggota terdiri atas Wongsonegoro,
R. Soekardjo, A.A. Maramis, Panji Singgih, H. Agus Salim dan Sukiman.

Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar, pada tanggal 13 Juli 1945 berhasil membahas
beberapa hal dan menyepakati antara lain ketentuan tentang Lambang Negara, Negara Kesatuan,
sebutan Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan membentuk Panitia Penghalus Bahasa yang terdiri atas
Djajadiningrat, Salim, dan Soepomo. Rancangan Undang-Undang Dasar diserahkan kepada Panitia
Penghalus Bahasa.

Pada akhir 1944, Jepang mulai terdesak saat Perang Asia Timur Raya. Oleh sebab itu, pada September
1944, di depan parlemen, Perdana Menteri Jepang, Koiso, mengumumkan janji kemerdekaan kepada
rakyat Indonesia. Namun, janji Jepang ini sebetulnya hanyalah taktik agar perlawanan rakyat
Indonesia berkurang. Dengan demikian, rakyat Indonesia menjadi berbalik simpatik kepada Jepang.
Dalam menanggapi pengumuman PM Koiso, rakyat Indonesia tidak langsung mempercayainya. Hal ini
disebabkan dari pengalaman sebelumnya. Jepang selalu membuat janji-janji yang selalu diingkari.

Selanjutnya, pada 1 Maret 1945,


Letnan Jenderal Kumakici Harada, sebagai panglima tentara Jepang, mengumumkan dibentuknya
Badan Penyelidik Usaha- Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau Dokuritsu Junbi Coosakai.
Tujuan dibentuknya badan ini adalah untuk mempelajari serta menyelidiki hal-hal penting berkenaan
dengan masalah tata pemerintahan negara Indonesia yang merdeka.

Anggota BPUPKI berjumlah 62 orang yang terdiri atas tokoh-tokoh Indonesia dan tujuh orang anggota
Jepang. Ketuanya, dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat dengan wakilnya Raden Pandji Soeroso (dari
Indonesia) dan Ichibangise (dari Jepang). Badan ini diresmikan pada 28 Mei 1945.

Dalam sidang I BPUPKI pada 29 Mei–1 Juni 1945, dibicarakan dasar filsafat negara (philosofische
grandslag) Indonesia merdeka, sebuah pandangan hidup bangsa Indonesia (weltanschaung), filsafat,
dan pikiran yang sedalam-dalamnya untuk dapat mendirikan Indonesia merdeka yang kekal dan abadi.

Kemudian dalam sidang I BPUPKI pada 29 Mei–1 Juni 1945 disepakati bahwa untuk menindaklanjuti
sidang I BPUPKI, dibentuklah panitia kecil yang anggotanya terdiri atas sembilan orang. Oleh karena
itu, panitia ini disebut Panitia Sembilan. Orang yang termasuk Panitia Sembilan, yaitu:

1. Ir. Soekarno;

2. Drs. Moh. Hatta;


3. A.A. Maramis, SH;

4. Abikusno Tjokrosuyoso;

5. Abdul Kahar Muzakir;

6. H. Agus Salim;

7. K.H. Wahid Hasyim;

8. Achmad Soebardjo, S.H;

9. Mr. Mohammad Yamin.

Rapat panitia kecil dilakukan di Gedung Jawa Hokokai. Selain Panitia Sembilan, anggota BPUPKI yang
lainnya juga hadir dalam rapat tersebut sehingga jumlah peserta rapat 38 orang. Rapat tersebut
memutuskan hal-hal sebagai berikut.

1. Menggolongkan usul-usul yang masuk,

2. Usul prosedur yang harus dilakukan, yaitu prosedur agar lekas tercapai Indonesia merdeka.
Panitia mengusulkan kepada badan penyelidik hal-hal sebagai berikut.

1) Badan penyelidik ini menentukan bentuk negara dan menyusun hukum dasar.

2) Meminta lekas disahkan hukum dasar itu oleh pemerintah agung di Tokyo dan meminta agar
diadakan badan persiapan kemerdekaan yang

kewajibannya menyelenggarakan negara Indonesia merdeka atas hukum dasar yang ditentukan
badan penyelidik dan melantik pemerintah nasional.

3) Soal kebangsaan dan keuangan.

3. Menyusun usul rencana pembukaan hukum dasar yang disebut Piagam Jakarta oleh Mr.
Mohammad Yamin.

Lebih lanjut sidang kedua BPUPKI diselenggarakan pada 10–16 Juli 1945, dibicarakan penyusunan
rencana Pembukaan Undang Undang Dasar dan rencana Undang Undang Dasar serta rencana lain
yang berhubungan dengan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pada rapat 11 Juli 1945, dibentuklah
Panitia Perancang Undang Undang Dasar dengan anggota sebanyak 20 orang.
Atas usul Husein Djajadiningrat dan Mr. Mohammad Yamin, dalam panitia perancang undang undang
dasar itu dibentuk Panitia Kecil dengan susunan sebagai berikut.

1. Panitia kecil untuk deklarasi hak dengan susunan Mr. Achmad Soebardjo (Ketua), Parada
Harahap, dan Mr. Sukiman Wirjosandjojo.

2. Panitia kecil untuk merancang undang-undang dasar dengan susunan Mr. Soepomo (ketua),
Mr. Achmad Soebardjo, KPRT Wongsonegoro, Mr. A.A. Maramis, Mr. R. P. Singgih, K.H. Agus
Salim, dan Dr. Sukirman Wiryosandjoyo.

3. Untuk preambule tidak dibentuk panitia karena hasil Panitia Kecil 22 Juni 1945 telah diterima.

Dalam rapat selama tujuh hari tersebut telah terbentuk rancangan undang undang dasar untuk
Indonesia merdeka.

B. Sejarah Pengesahan UUD 1945 oleh PPKI

Ketika Jepang sudah makin terpojok dalam Perang Asia Timur Raya, ketiga pemimpin bangsa
Indonesia, yakni dr. Radjiman Wedyodiningrat, Ir. Soekarno, dan Moh. Hatta dipanggil oleh Marsekal
Muda Terauci ke Dalat (Vietnam Selatan) dalam rangka membicarakan keputusan Jepang yang hendak
memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia dengan wilayah yang mencakup seluruh bekas
jajahan Belanda.

Dalam pertemuan antara ketiga tokoh bangsa Indonesia dan Marsekal Muda Terauci, dibentuklah PPKI
pada 9 Agustus 1945. Hal itu dilakukan karena BPUPKI telah dibubarkan pada 7 Agustus 1945. Mula-
mula anggota PPKI berjumlah 21 orang, yang terdiri atas wakil-wakil dari seluruh Indonesia. Ketuanya
adalah Ir. Soekarno, sedangkan wakilnya adalah Drs. Mohammad Hatta. Tanpa seizin Jepang, PPKI
menjadi alat perjuangan rakyat Indonesia sendiri. Meskipun badan ini buatan Jepang, tetapi sampai
menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945, badan ini tidak pernah dilantik oleh
Jepang. Meskipun demikian, sejak perumusan teks Proklamasi, anggota PPKI ini telah mulai
memerankan fungsinya sebagai wakil-wakil rakyat Indonesia.

Sesuai dengan rencana, sidang PPKI (Dokuritsu Zunbi Inkai) akan bersidang pada 18 Agustus 1945 PPKI.
PPKI akan membicarakan persiapan kemerdekaan Indonesia. Hal tersebut dilakukan karena pada 17
Agustus 1945, bangsa Indonesia telah memproklamasikan berdirinya negara Republik Indonesia.
Sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 dimanfaatkan untuk melengkapi syarat-syarat berdirinya negara.

Secara garis besar, kegiatan PPKI pada 18 Agustus 1945, dibagi menjadi dua tahap, yaitu sebagai
berikut:

1. Sebelum Rapat PPKI

Kegiatan ini berupa rapat kecil yang terdiri atas Mohammad Hatta, Ki Bagus Hadikusumo, Wahid
Hasyim, Mr. Kasman Singodimendjo, dan Teuku Moh. Hasan. Mereka mengadakan rapat pendahuluan
dan menghasilkan kesepakatan mengubah kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini dilakukan
karena ada pihak (Indonesia Timur) yang keberatan dengan rumusan dasar negara pada rumusan
Piagam Jakarta. Dengan perubahan tersebut, seluruh hukum UUD dapat diterima oleh daerah-daerah
Indonesia yang tidak beragama Islam. Menurut Drs. Mohamad Hatta, adanya perubahan itu
memberikan tanda bahwa para pemimpin bangsa pada waktu itu lebih mengutamakan nasib
persatuan dan kesatuan bangsa.

2. Rapat Utama PPKI

Rapat ini dipimpin oleh Ir. Soekarno dan Moh. Hatta. Dalam rapat ini, diputuskan tiga keputusan
penting sebagai berikut:

Khusus dalam penetapan UUD 1945, bahan yang dipakai adalah mengambil rancangan undang-
undang dasar yang dirumuskan oleh BPUPKI pada 16 Juli 1945. Adapun untuk pembukaan undang-
undang dasar, memakai bahan usul rencana pembukaan hukum dasar yang dirumuskan Panitia
Sembilan pada 22 Juni 1945, yaitu Piagam Jakarta.

Di antara berbagai usul yang masuk kepada wakil ketua panitia persiapan dikemukakan Moh. Hatta
sebagai berikut:

Setelah dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 hasil sidang BPUPKI, ditetapkanlah UUD Republik
Indonesia. Sekarang UUD hasil putusan sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 dikenal dengan sebutan
UUD 1945.

Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
yang menggantikan BPUPKI melaksanakan sidang, yakni pada tanggal 18 Agustus 1945. Ir. Soekarno,
sebagai Ketua PPKI, dalam sambutan pembukaan sidang dengan penuh harapan mengatakan sebagai
berikut (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995 :413).
”Saya minta lagi kepada Tuan-tuan sekalian, supaya misalnya mengenai hal Undang-Undang Dasar,
sedapat mungkin kita mengikuti garisgaris besar yang telah dirancangkan oleh Dokuritsu Zyunbi
Tyoosakai dalam sidangnya yang kedua. Perobahan yang penting-penting saja kita adakan dalam
sidang kita sekarang ini. Urusan yang kecil-kecil hendaknya kita ke sampingkan, agar supaya kita
sedapat mungkin pada hari ini pula telah selesai dengan pekerjaan menyusun Undang-Undang Dasar
dan memilih Presiden dan Wakil Presiden.”

Harapan Soekarno di atas mendapatkan tanggapan yang sangat baik dari para anggota PPKI. Moh.
Hatta yang memimpin jalannya pembahasan rancangan Undang-Undang Dasar dapat menjalankan
tugasnya dengan cepat. Proses pembahasan berlangsung dalam suasana yang penuh rasa
kekeluargaan, tanggung jawab, cermat dan teliti, dan saling menghargai antaranggota. Pembahasan
rancangan Undang-Undang Dasar menghasilkan naskah Pembukaan dan Batang Tubuh. Undang-
Undang Dasar ini, dikenal dengan sebutan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

Melalui Berita Republik Indonesia tanggal 15 Februari 1946, Penjelasan Undang-Undang Dasar
menjadi bagian dari Undang-Undang Dasar 1945. Suasana permufakatan dan kekeluargaan, serta
kesederhanaan juga muncul pada saat pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden. Risalah sidang PPKI
mencatat sebagai berikut (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995 :445-446).

Anda mungkin juga menyukai