Anda di halaman 1dari 4

1

MAYUR: Tragedi Negeri yang Diparut dalam Ruang Kecil


(catatan kecil pertunjukan Teater Ruang berjudul Mayur karya/sutradara Ery
Aryani).

Oleh: Afrizal Harun

Pertemuan sayur-mayur dengan peralatan dari kayu dan besi. Dengan kata lain
bercerita tentang pertabrakan antara benda lunak dengan benda keras dan tajam, atau
manusia bertabrakan dengan teknologi atau sistem yang "bertangan besi" (Joko Bibit
Santoso)

Ketika lampu perlahan dihidupkan (fade in) pada sisi kiri belakang
panggung, perempuan dengan pakaian lusuh membawa parut kecil. Melalui
sebuah gerak teatrikal, perempuan membelakangi penonton menuju samping
kanan, perempuan tersebut menepuk parut sehingga memberikan gambaran
kehidupan yang jatuh lalu diinjak tanpa kata-kata sedikitpun hanya degup detak
jantung dalam mengawali pertunjukan malam itu. Lalu, seorang lelaki (sebut saja
lelaki 1) dengan rambut pendek, bertelanjang dada, bercelana pendek warna hitam
muncul dari sisi kiri belakang melalui eksplorasi tubuh seolah-olah menguntai dan
mengulur berjuta benang namun tetap saja tidak pernah terselesaikan. Bersamaan
dengan peristiwa tubuh yang sedang dibangun, seorang lelaki beramput gondrong
(sebut saja lelaki 2) muncul dari sisi kanan depan panggung dengan memberikan
sebuah tawaran gestur layaknya seorang yang sedang menggulung benang, namun
tetap saja benang itu merupakan sebuah imaji kerumitan hidup yang susah untuk
dituntaskan, tidak jelas, alias absurd. Mungkin saja ini sebuah gambaran
kehidupan yang absurd.
Tanpa kata, namun pertunjukan berusaha memberikan ruang komunikasi
dramatik melalui bahasa-bahasa tubuh, sett, properti, dan pencahayaan sebagai
teks pertunjukan yang penuh dengan muatan-muatan semiotika visual. Dua lelaki
berdialog bersama parut dan tubuhnya, bergelut dengan teknik akrobatik tubuh
layaknya fenomena teater tubuh yang begitu menjadi perhatian dalam
perkembangan teater kontemporer di Indonesia saat sekarang ini seperti Teater
Sae (Budi S Otong), Teater Kubur (Dindon W.S), Teater Payung Hitam (Rahman
Sabur), komunitas seni Hitam-Putih (Yusril), teater Garasi (Yudi A Tajudin),
Teater Tetas (Ags. Arya Dipayana), Toni Broer, teater Sakata (Tya Setiawati),
namun tetap saja, Teater Ruang memiliki metode dan pilihan yang berbeda dalam
menyikapi tubuh sebagai media ekspresinya, teater yang mencoba tidak
‘konsumtif’ (istilah yang dilontarkan Joko Bibit sebelum pertunjukan dimulai)
2

mungkin kita tidak perlu mengadopsi teater Barat secara mentah-mentah, karena
jelas kita memiliki kekayaan lokal yang begitu banyak untuk digali dan
dieksplorasi demi kebutuhan teater kita hari ini yaitu teater Indonesia.
Kembali pada pertunjukan, perempuan kembali muncul dengan membawa
parut berukuran besar, ditengahnya tertancap ribuan paku. Perempuan mencoba
memahami parut besar dalam konteks tekanan-tekanan. Perempuan meniduri
ribuan paku yang tertancap pada papan parut, bercinta dengan keperihan dan
kepahitan, walaupun terkadang sedikit kosong. Perempuan tetap saja berada pada
posisi yang tidak begitu menguntungkan dalam kehidupan, sub-ordinat,
eksploitasi, pelecehan, dan semua istilah yang tidak menguntungkan dalam aspek
marginalisasi gender. Kemudian, Sedikit tembang dari lelaki 2 yang berada di atas
batten lampu begitu memberikan sentuhan-sentuhan yang estetik dan lelaki 1
muncul sambil membawa sayur mayur, kemudian sayur mayur tersebut di buang
ke beberapa sisi panggung, lelaki 1 melampiaskan kemarahan pada properti
Mayur, dan menancapkan pada paku parut yang tergantung, perempuan bergerak
menuju arah depan kanan, Mayur-pun berjatuhan ke arahnya, lalu lingkaran jarum
yang diikat dengan benang secara perlahan turun, perempuan menggantung
Mayur pada jarum, dengan pencahayaan sederhana namun begitu membantu
peristiwa dramatik lakon, jarum kembali perlahan naik, perempuan menyanyikan
lagu “Bintang Kecil”, bagian ini sepertinya berupaya memberikan suatu konklusi
pertunjukan, namun tetap saja ambigu karena harapan-harapan tetap saja berujung
pada kesia-siaan, mungkin inilah sebuah tragedi kehidupan yang tidak akan
pernah selesai dan kita adalah generasi-generasi yang tetap saja diparut layaknya
Mayur. Kemudian, lampu perlahan dimatikan (fade out). Tepuk tangan-pun
menggema dari penonton yang mungkin saja banyak menimbulkan pertanyaan
dalam diri mereka, apa sebenarnya yang telah mereka lihat?
Begitulah akhir dari pertunjukan Teater Ruang degan judul Mayur,
karya/sutradara Ery Aryani yang dipentaskan di Sanggar Teater Ruang, Kampung
Tanggul Dawung Wetan RT 3/15, Kelurahan Danukusuman, Solo, pada 1 Mei
2010 mulai pukul 20.00. Pertunjukan yang sama juga sudah digelar pada hari
sebelumnya, taanggal 30 April 2010.

Tragedi negeri yang diparut dalam ruang kecil


Barangkali saja, ini hanyalah sebuah interpretasi penulis dalam
menangkap pertunjukan Mayur karya/sutradara Ery Aryani produksi teater Ruang
Surakarta. Walaupun banyak kemungkinan-kemungkinan tafsir yang bisa
dimunculkan dalam pertunjukan ini. Sebuah peristiwa pertunjukan yang
menjadikan tubuh sebagai media ekspresi dalam mengkomunikasikan teks-teks
sehingga memunculkan banyak sekali pemahaman tersirat, karena teks
pertunjukan yang hadir menjadi pemahaman sebagai tanda dalam memahami
3

persoalan-persoalan yang ada di luar teks itu sendiri. Persoalan Indonesia, yang
begitu kaya dengan sumber daya alam, namun tetap saja arus globalisasi
menggilas kekayaan tersebut, merusaknya, tanah tidak lagi menjadi subur, karena
pupuk sayuran tidak lagi organik. Mayur telah berubah menjadi Centucky Fred
Chicken, Mc Donald, Hot dog ala Amerika. Generasi hari ini telah berubah
menjadi generasi yang bermental komsumtif, hedonistik, korup dan lain
sebagainya. Inilah gambaran sebuah tragedi negeri yang penuh carut-marut,
kemudian diparut dalam ruang pertunjukan kecil dan sederhana bernama teater
tubuh.
Panggung kecil dalam kantong kebudayaan dan seni pertunjukan yang
hadir di tengah-tengah masyarakat, Teater Ruang mencoba memberikan
penawaran-penawaran eksplorasi tubuh, properti dan pencahayaan. Walaupun
secara ide hanya berangkat dari persoalan yang sederhana, sutradara Ery Aryani
mengutarakan pada sesi diskusi “Kita berjualan sayur mayur selama satu bulan”
karya ini hanya berangkat dari ide itu, kami pernah membeli sayur mayur dari
para petani di Cepogo Boyolali, dan dijual kepada para pedagang di Pasar Legi
Surakarta. Walaupun dari usaha berjualan sayur yang sempat rugi Rp 4 juta
akhirnya, menjadi sebuah inspirasi untuk membuat pertunjukan Mayur. Selama
satu bulan, tiga pemain melakukan eksplorasi bentuk, dan mencari kemungkinan-
kemungkinan artistik dalam menyikapi tubuh dan properti sehingga menghasilkan
sebuah karya teater tubuh yang layak untuk diapresiasi.
Bukan hanya sekedar pujian, barangkali sebuah kritik juga akan bisa
membantu untuk proses selanjutnya. Saaduddin (aktor teater Sakata Sumatera
Barat) menyampaikan dalam sesi diskusi “apabila ini dieksplorasi lagi lebih
mendalam, barangkali saja suatu saat akan menemukan kekuatan-kekuatan baru
dalam pertunjukan ini”. Juga ada yang menyampaikan “saya hanya suka melihat
pertunjukan ini” lalu dari komentar yang lain juga mengatakan “karena posisi
saya begitu awam dengan teater, karena saya mahasiswa tari. Saya melihat
pertunjukan malam ini seperti koreografi tari karena tidak ada dialog sedikitpun,
walaupun hanya tembang, tapi tetap saja yang saya lihat adalah tari”. sebuah
komentar yang harus disikapi dengan cermat dan bijak.
Penulis begitu mengapresiasi semangat teater Ruang pimpinan Joko Bibit
Santoso dalam melakukan proses kreatif teater, menciptakan kantong-kantong
pertunjukan sendiri walau sederhana, memiliki penonton yang begitu apresiatif
sehingga menjadi catatan tersendiri bagi penulis. Namun, yang perlu dicermati
dalam melakukan proses eksplorasi tubuh hanyalah bagaimana memaknai tubuh
itu sendiri sehingga tidak terjebak pada situasi gerak koreografi yang artifisial,
tanpa sebuah motivasi laku maka ekspresi tubuh yang dijadikan sebagai teks
pertunjukan hanyalah sebuah gerak kosong tanpa isi. Penyikapan terhadap tubuh
setidaknya mampu menangkap makna-makna filosofi dari kehidupan yang sedang
4

dicermati dalam peristiwa pertunjukan, sehingga kita tidak terjebak pada


pencaharian-pencaharian estetika belaka walaupun itu sangat dibutuhkan, namun
yang paling penting adalah bagaimana seorang kreator (pemain dan sutradara
teater) harus mampu menjadikan teater sebagai sarana ekspresi dan komunikasi
kepada penikmat dari sesuatu persoalan kehidupan yang dihadirkan di atas pentas.
Salam Teater*

Solo, 2 Mei 2010

Link Terkait: http://afrizalharun.blogspot.com

Penulis adalah Pemerhati Seni Teater


Sekarang tinggal di Solo

Alamat Penulis:
PASCA SARJANA ISI SURAKARTA
Jln. Ki Hajar Dewantara No. 19, Kentingan, Jebres, Surakarta.
Telp: 0271-647658-HP: 081266152700-Facebook: Afrizal Harun
e mail: afrizalharun@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai