Adaptasi Masy Tepian
Adaptasi Masy Tepian
dalam
PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan
dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 1 ayat [1]).
2. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: a. Penerbitan
ciptaan; b. Penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya; c.
Penerjemahan ciptaan; d. Pengadaptasian, pengaransemenan,
atau pentransformasian ciptaan; e. pendistribusian ciptaan atau
salinannya; f. Pertunjukan Ciptaan; g. Pengumuman ciptaan; h.
Komunikasi ciptaan; dan i. Penyewaan ciptaan. (Pasal 9 ayat [1]).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta
atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi
Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf
b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/
atau pidana denda paling banyak Rp1. 000. 000. 000,00 (satu miliar
rupiah). (Pasal 113 ayat [3]).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp4. 000. 000. 000,00 (empat miliar rupiah).
(Pasal 113 ayat [4]).
ADAPTASI MASYARAKAT TEPIAN HUTAN
dalam
PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN
- Golar -
Pengantar:
Prof. Dr. Ir. H. Muhammad Basir Cyio, SE., MS.
(Rektor Universitas Tadulako-Palu)
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
@Golar
Penulis : Golar
Editor : Alviana Cahyanti
Lay Out : maryoahmada@gmail.com
Design Cover : Roslani Husein
Diterbitkan oleh:
Penerbit Samudra Biru (Anggota IKAPI)
Jln. Jomblangan Gg. Ontoseno Blok B No 15
RT 12 RW 30 Banguntapan Bantul
DI Yogyakarta 55198
e-mail/fb: psambiru@gmail. com
phone: 0813-2752-4748
Pengantar Rektor – v
Daftar Isi – vii
Bab I. Pendahuluan – 1
Bab II. Metode Kajian – 7
Bab III. Konsep-Konsep Utama – 15
A. Konsepsi Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat
(Community Forest Management) – 15
B. Konsep Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan – 23
C. Konsep Adaptasi – 26
Bab IV. Selintas Sejarah Toro – 33
A. Kondisi Geografis dan Kependudukan – 34
B. Struktur Sosial dan Kelembagaan – 45
C. Tekanan Penduduk, Ekonomi Pasar, dan Dinamika
Politik – 62
Bab V. Revitalisasi Kelembagaan Adat dalam Pengelolaan
Sumber Daya Hutan – 83
A. Dinamika Kolektif Komunitas Toro – 83
B. Performansi Kelembagaan Adat – 108
emik etik
Gambar
Gambar 2 Transisi-transisi
2 Transisi-transisi antara
antara fenomena
fenomena dan
dan pengamatanyang
pengamatan
yang berbeda. I: Informan, R: peneliti, P: fenomena,
berbeda. I: Informan, R: peneliti, P: fenomena, PI: fenomena yang
PI: fenomena yang diinterpretasikan oleh I, PR(I) : PI
diinterpretasikan olehdiinterpretasikan
yang I, PR(I) : PI yang olehdiinterpretasikan
R. (diadaptasi oleh
dari R.
(diadaptasi
Gooner 2001). dari Gooner 2001).
Kelestarian Hasil
Gambar 1
Kelestarian
Gambar
Fungsi Produksi
Kelestarian Usaha
Struktur
1 Struktur
C. Konsep Adaptasi
prinsip
Terjaminnya pengembangan & ketahanan
prinsipdan
ekonomi komunitas
dan kriteria
Lestari
Kelestarian
Pengelolaan
kriteria
Fungsi Sosial
proses produksi
Hutan Berbasis
Tipologi PHBML
kelestarian
Keadilan manfaat menurut kepentingan
komunitas
kelestarian
Stabilitas ekosistem hutan dapat dipeliharan &
gangguan dapat diminimalisir dan dikelola
hutan (LEIhutan
Kelestarian
Iklim
Berdasarkan catatan stasiun pengamatan cuaca di Kulawi,
rata-rata curah hujan tahunan di wilayah ini berkisar antara
200-3500 mm per-tahun pada periode 1997-2004, kelembaban
relatif 85.17%, dengan rata-rata temperatur bulanan sebesar
23,400C. Curah hujan terbesar terjadi pada bulan April dan Mei
(Gerold et al. 2002). Data curah hujan harian dapat dilihat pada
lampiran 7.
Gambar
Kependudukan 9 Periodesasi
pengkonversian menjadi
Komposisi penduduk
lahan yang ditanami
Di tahun 2004, Toro berpenduduk
kakao di Toro (sumber: 2.133 jiwa atau 540
rumahtangga, terdiri atas 1.121 (52.6%) pria dan 1.012 (47.4%)
Sensus penduduk,
wanita, yang bermukim di tujuh dusun (boya), di antaranya:
STORMA 2004).
38 Dr. Golar, S.Hut, M.Si
Bola, Lempe, Kinta, Lengkaue, Bulukuku, Raupa, dan Nente
Baru. Komposisi umur penduduk di Toro tergolong ”penduduk
muda”, di mana penduduk yang berumur di bawah 30 tahun
berjumlah 130 jiwa (59%), sedangkan yang berusia di atas 65
tahun (kelompok usia tua) berjumlah 73 jiwa (3.4%). Komposisi
umur penduduk di Toro disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Jumlah penduduk di Toro menurut kelompok umur (Tahun
2004)
12%
Etnis Moma
20% etnis Uma
Etnis Rampi
Etnis lainnya
58%
10%
T a hun 19 5 1 - 19 7 0
(36%)
10%
T a hun 19 5 0 (5%)
T a hun 19 5 1 - 19 7 0
(36%)
58% 42% P e nda t a ng
A s li T a hun 19 7 1 - 19 9 0
(34%)
T a hun 19 9 1 - 2 0 0 0
(25%)
Dusun VII
Dusun V
Dusun
IV
Dusun
VI
Pelapisan Sosial
Dalam sistem sosial masyarakat adat Toro, dahulu
dikenal tiga pelapisan atau tingkat sosial yang bersifat hierarkis,
Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 45
yaitu Maradika atau kelompok bangsawan, Todea atau rakyat
biasa dan Batua atau budak. Status kebangsawanan Maradika,
diperoleh melalui hubungan keturunan dengan pendiri dan
pemukim pertama di Toro yaitu Mpone. Menurut pendapat
Soekanto (1982), setiap masyarakat memilikinya karena selama
dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang dihargai maka
stratifikasi sosial akan tercipta. Demikian halnya Soedjito
(1986) menyatakan bahwa sistem pelapisan sosial dalam satu
masyarakat merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap
masyarakat. Bagi siapa yang memiliki sesuatu yang dihargai
atau dibanggakan dalam jumlah yang lebih dari yang lainnya,
maka statusnya akan lebih tinggi dari lainnya.
Sistem tersebut memposisikan Mpone beserta
keturunannya, sebagai kelompok bangsawan di Toro. Selain
itu terdapat kaum bangsawan lain yang berasal dari keturunan
keluarga-keluarga bangsawan di desa-desa sekitarnya seperti
Bolapapu, Mataue, dan Sungku. Mereka menetap di Toro
melalui hubungan kekerabatan yang erat dari hasil kawin-
mawin yang telah berlangsung lama, sehingga dikategorikan
sama dengan kelompok bangsawan yang pertama.
Lapisan sosial kedua adalah Todea atau orang biasa.
Lapisan ini terdiri atas orang-orang bebas dan tidak terikat
pada beban tugas atau kewajiban yang sifatnya menetap, serta
tidak memiliki hak yang bersifat istimewa atas kelompok
lainnya. Todea memiliki kewajiban membantu keluarga
Maradika, terlibat dalam kegiatan sosial di desa, berpartisipasi
dalam upacara-upacara keagamaan, dan festival adat pada
umumnya. Partisipasi kelompok Todea dalam semua kegiatan
tersebut didasarkan pada prinsip kesukarelaan, bukan karena
dibebani kewajiban yang sifatnya permanen seperti pada
kelompok Batua.
Lapisan sosial paling bawah yaitu Batua yang merupakan
kelompok masyarakat pengabdi, dan tidak memiliki hak apapun
selain kewajiban mengabdi. Kelompok ini hidup dan bekerja
Kelembagaan Adat
Sistem kepemimpinan
Dalam kajian kelembagaan masyarakat, kepemimpinan
menunjuk pada “kelompok orang”. Selain itu, kepemimpinan
dapat pula dipandang sebagai suatu proses kelompok di mana
berbagai peranan seperti perwakilan, pengambilan keputusan,
dan pengendalian operasional dalam suatu lembaga (Esman
1986). Dengan demikian, dalam kajian ini kepemimpinan
dipandang sebagai suatu proses kolektif di mana berbagai
peranan dibagi di antara angota-anggota dari suatu kelompok
kepemimpinan.
Garang (1985) yang diacu dalam Shohibuddin (2003)
menjelaskan bahwa masyarakat Kulawi pra-kolonial pada
dasarnya hanya mengenal dua lembaga kepemimpinan
tradisional, yaitu Totua Ngata dan Maradika. Totua Ngata adalah
dewan para totua kampung yang menjalankan “kepemimpinan
kolektif” atas segenap urusan pemerintahan desa. Dewan ini
menangani mulai dari urusan dalam desa (irara ngata) seperti
masalah pertanian, rencana pembukaan lahan, penyelenggaraan
upacara-upacara adat, hingga urusan luar desa (hawaliku ngata),
seperti hubungan kerja sama dan perdamaian antar desa. Selain
itu, dewan ini berperan pula sebagai majelis peradilan yang
memutuskan kasus-kasus pelanggaran adat, serta melakukan
proses arbitrase dan rekonsiliasi atas kasus-kasus sengketa dan
konflik.
Anggota dewan totua kampung berasal dari keturunan
bangsawan maupun kalangan biasa. Mereka adalah, yang
karena perilaku, pengetahuan, dan kearifannya dijadikan
panutan dan pedoman bagi masyarakat dalam menyelesaikan
Popangale
Bone
Mo’balingkea
: Menunjukkan
daur
Oma pengelolaan
lahan dalam
sistem
: Menunjukan
perubahan
Pampa kategori lahan
seiring daur
produksi
Kelompok Etnis
Pengertian
Moma Uma Rampi
Meminjam garap atas lahan oma un-
Melume Mebolo Pemalu tuk dibuka dan diolah.
Mohon ijin memakai, sifatnya umum,
tidak cuma lahan. Istilah ini juga bia-
sa dipakai untuk pinjam garap lah-
Mesabi,
Mehabi Mesabi an sawah. Catatan: praktik pinjam
Mepulu
garap lahan ini tidak berlaku untuk
pampa, yaitu lahan kebun yang sudah
ditanami tanaman tahunan.
Memberi ganti ala kadarnya untuk
alih kepemilikan lahan secara perma-
Lebih Lebih
nen (harga kekeluargaan). Catatan:
sering sering
Penduduk menolak menyebut tran-
Nahodi memakai memakai
saksi ini sebagai jual beli, melainkan
istilah istilah
memakai istilah “memberi ganti ke-
Moma Moma
capekan” kepada orang yang telah
membuka lahan.
Lebih Lebih Alih kepemilikan lahan secara per-
sering sering manen melalui transaksi jual beli
Naadai memakai memakai dengan harga pasar yang berlaku.
istilah istilah
Moma Moma
menggunakan
pestisida
tanpa
22%
pestisida
78%
23%
57%
20%
Dinamika Politik
1. Dinamika Internal
Ragam etnis yang ada di Toro menimbulkan persoalan-
persoalan politik. Persoalan dimaksud terkait dengan sistem
tenurial di Toro, yang meliputi distribusi hak pemilikan dan
Zona
rimba Wana
Zona
Tradisional Kesetaraan
Pangale
Zona
pemanfaatan Oma &
Intensif
Balingkea
Gambar
Gambar24
24Keselarasan
Keselarasan sistem
sistem zonasi
zonasi TNLL
TNLL dan dan kategorisasi
kategorisasi lahan adat lahan
Toro. adat Toro.
AdaptasiWujud konkrit
Masyarakat pengakuan
Tepian yang
Hutan dalam diberikan
Pengelolaan oleh pihak
Sumberdaya Balai TNLL
Hutan 89 kepada ma
Toro adalah dikeluarkannya surat pernyataan, yang intinya merupakan pe
terhadap hak masyarakat Toro terhadap wilayah hukum adat seluas 18.000
Wujud konkrit pengakuan yang diberikan oleh pihak
Balai TNLL kepada masyarakat Toro adalah dikeluarkannya
surat pernyataan, yang intinya merupakan pengakuan
terhadap hak masyarakat Toro terhadap wilayah hukum adat
seluas 18.000 ha, yang awalnya diklaim sebagai bagian dari
TNLL. Pengakuan ini diikuti pula dengan penandatanganan
piagam kesepakatan pengawasan TNLL, antara pihak Balai
TNLL dengan masyarakat Toro (Gambar 25 & 26) pada tanggal
18 Juli 2000.
DewanAdat
Wakil tokoh
Totuangata
masyarakat
Pemerintah desa
LMA
Pemerintah LPN
Totua Ngata, OPANT Ngata
Masyarakat Adat
Ngata Toro
Keterangan
Garis mitra kerja pengabdian LMA : Lembaga Masyarakat Adat
LPN : Lembaga Perwakian Ngata
Garis pengawasan
Garis perwakilan aspirasi OPANT : Organisasi Perempuan
Adat Ngata Toro
Laporan
Pelanggaran
Musyawarah
LMA
dengan
pemerintah
Tertulis
Lisan
Lemba Musyawarah
ga lain Lintas
Lembaga
Penetapan
Sanksi Adat
Penetapan
Sanksi Negara
5
4.5 4.4 4.5
4.5 4.3 4.2 4.1 4.3 4.2
4 3.8
3.6
3.5
3
Penilaian
2.5
2
1.5
1
0.5
0
1 2 3 4 5
Kriteria
Tabel2424dan
Tabel dan Gambar
Gambar 32 32 di atas
di atas menunjukkan,
menunjukkan, bahwabahwa kriter
kriteria-kriteria umumdi
masyarakat tersebut masyarakat tersebut diaturan
atas, di antaranya atas, diyang
antaranya
mudah diterapka
aturan yang mudah diterapkan; penegasan tata batas; kejelasan
batas;penguasaan
status kejelasan lahan;
statuskemudahan
penguasaan lahan;
akses kemudahan
terhadap lahan dan akses terh
sumberdaya hutan; serta penerapan sanksi yang adil, dinilai pent
Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 117
responden dalam mengukur kinerja suatu kelembagaan. Menurut mer
buruk suatu aturan dicirikan oleh beberapa hal, di antaranya (a) tingkat
sumberdaya hutan; serta penerapan sanksi yang adil, dinilai
penting oleh seluruh responden dalam mengukur kinerja suatu
kelembagaan. Menurut mereka, kriteria baik-buruk suatu
aturan dicirikan oleh beberapa hal, di antaranya (a) tingkat
kemudahan untuk diterapkan, yang dicirikan oleh penggunaan
bahasa yang sederhana, tidak bertentangan dengan nilai, norma,
dan adat istiadat, memiliki pedoman pelaksanaan yang jelas,
serta disosialisasikan secara terus-menerus kepada masyarakat;
(b) aturan tersebut harus mampu memberikan penegasan
terhadap batas-batas kawasan, sehingga dapat meredam
munculnya konflik dalam pemanfaatannya; (c) tata guna lahan
diatur secara jelas sehingga penguasaannya tidak tumpang
tindih; (d) akses masyarakat terhadap lahan dan hutan relatif
lebih mudah, serta; (e) penerapan sanksi terhadap pelanggaran
yang dilakukan bersifat adil, dan tidak memandang asal etnis,
agama, dan status sosial.
Sementara itu, evaluasi (evaluation) responden terhadap
kinerja kelembagaan adat menunjukkan nilai yang bervariasi,
utamanya terhadap kriteria kemudahan dalam penerapan
aturan dan kejelasan status penguasaan lahan. Kedua kriteria
tersebut diberi skor lebih rendah oleh responden.
Aturan yang ada, khususnya tentang pemanfaatan dan
pengolahan sumberdaya lahan dan hutan, belum sepenuhnya
dapat diterapkan oleh masyarakat. Hal tersebut lebih
disebabkan karena aturan-aturan yang belum tersosialisasi
dengan baik di tingkat masyarakat. Bahkan, beberapa
responden mengaku belum mengetahui tentang adanya aturan
tersebut. Hal berbeda disampaikan oleh responden lainnya,
di mana mereka mengaku telah mengetahui tentang adanya
aturan pemanfaatan sumberdaya alam, namun aturan tersebut
belum sepenuhnya berjalan. Dicontohkan bahwa dalam aturan
dijelaskan ‘mekanisme perizinan pemanfaatan lahan harus
diajukan kepada kepala desa melalui lembaga adat’.
Namun kenyataannya, beberapa dari masyarakat dapat
Kepala desa
Layak/ tidak
Toro
Pengajuan
masyarakat
Lembaga
Adat
(Tondongata)
Kelestarian Hasil
Tingkat kelestarian hasil dari suatu unit pengelolaan
hutan biasanya dicirikan oleh dilakukannya penataan areal,
adanya kepastian potensi hutan yang akan di produksi;
dilakukan pengaturan terhadap hasil hutan serta; ada upaya
efisiensi dalam pemanfaatannya. Secara lebih rinci kriteria dan
indikator LEI menambahkan beberapa komponen yang perlu
diukur terkait dengan penilaian terhadap kelestarian hasil,
di antaranya: keabsahan sistem lacak balak; dan pengaturan
Kelestarian Usaha
Dalam konsep pengelolaan sumberdaya hutan modern,
Lokasi
Dimensi Hasil
Kelestarian Fungsi Sosial
Kejelasan Terja- Terba- Keadilan
tentang minnya ngun manfaat
hak pengem- pola menurut
pengua- hubun-
saan dan bangan gan kepent-
Dimensi pengelo- dan sosial ingan
laan lahan ketahanan yang komuni-
atau areal ekonomi setara tas
hutan dalam
yang komunitas proses
dipergu- produk-
nakan si
1. MANAJE-
MEN KAWA- 5.0
SAN
1.1. Pemantapan
5.0
Kawasan
1.2. Penataan 5.0
2. MANAJE-
MEN HUTAN
2.1. Kelola Pro- 4.0
5.0 5.0 -
duksi 5.0
Dimensi Hasil
Kelestarian Fungsi Sosial
Dimensi Kelestarian Kelestarian Kelestarian
Sumber- Hasil Usaha
daya
1. MANAJEMEN
KAWASAN
1.1. Pemantapan
5.0 -
Kawasan
1.2. Penataan
4.0 3.0
Kawasan
2. MANAJEMEN
HUTAN
2.1. Kelola Pro- 3.0
3.0 3.0
duksi 3.0
Dimensi Hasil
Kelestarian Fungsi Lingkunngan
Dimensi Stabilitas eko- Sintasan spesies
sistem langka/ende-
mik/ dilindungi
1. MANAJEMEN
KAWASAN
1.1. Pemantapan Kawa- 4.0 3.0
san
1.2. Penataan Kawasan - -
2. MANAJEMEN HU-
TAN
2.1. Kelola Produksi 4.0 -
3.0 -
2.2. Kelola Lingkungan 3.0 3.0
2.3. Kelola Sosial - -
No Prinsip Kategori
Baik Cukup Jelek
1 Kelestarian fungsi sosial 7.0 4.0 0.0
2 Kelesetarian fungsi produksi 7.0 10.0 0.0
3 Kelestarian Ekologi 2.0 4.0 0.0
Total 16.0 18.0 0.0
Persentase (%) 48.0 52.0 0.0
Sumber: data primer setelah diolah (2006).
6 Skor yang masuk dalam kategori ‘baik’ lebih besar dari 50%, dan
jumlah skor yang masuk dalam kategori ‘cukup’ lebih besar dari 25%.
A. Kesimpulan
Telah terjadi perubahan lingkungan yang disebabkan
intervensi ekonomi pasar dan dinamika politik. Intervensi
ekonomi pasar lebih disebabkan perubahan preferensi
ekonomi masyarakat akibat permintaan yang tinggi terhadap
tanaman komersil di Toro, seperti: kakao, kopi, dan vanilla.
Sementara itu, tekanan politik yang terjadi di Toro, baik
internal maupun eksternal, didominasi oleh masalah-masalah
ketidak-seimbangan hak penguasaan dan pemilikan lahan di
Toro, dan melemahnya fungsi kontrol lembaga adat terhadap
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan.
Perubahan preferensi ekonomi masyarakat serta dinamika
politik di Toro berimplikasi terhadap kestabilan sumberdaya
hutan di Toro. Secara meluas, perubahan-perubahan yang
terjadi membuat masyarakat merespon dengan melakukan
revitalisasi terhadap kelembagaan. Wujud revitalisasi dalam
bentuk perubahan kelembagaan adat, yang terdiri atas struktur
organisasi dan aturan main.
Kelembagaan adat yang direvitalisasi telah dinilai
baik berdasarkan kriteria Ostrom maupun kriteria umum
B. Implikasi Kebijakan
Kajian ini menunjukkan bahwa masyarakat Toro,
memiliki kemampuan dalam mengatur pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah kelola adatnya
secara baik. Tekanan Intervensi ekonomi pasar dan dinamika
politik direspon melalui strategi pengaturan pemanfaatan
sumberdaya lahan dan hutan, diversifikasi sumber-sumber
matapencaharian, dan pengembangan jaringan antara lembaga
di luar Toro.
Pengaturan pemanfaatan sumber daya lahan dan
hutan melalui kategorisasi lahan tradisional yang dimiliki,
menjadikan masyarakat Toro lebih konsisten dalam mengelola
dan memanfaatkan sumberdaya hutan. Hal ini ditunjang
oleh keeratan hubungan yang terjalin antara masyarakat
Toro dan sumberdaya hutannya, disebabkan sistem nilai
dan norma sosial yang masih bertahan di Toro. Keeratan
hubungan tersebut ditunjang pula oleh adanya kejelasan hak
milik (property right) dan aturan-aturan lokal, yang sesuai
dengan harapan dan tuntutan masyarakat Toro. Hal ini
sejalan dengan hasil kajian Bromley 1989; Badstue et al. 2006;
Murray et al. 2006, yang menjelaskan bahwa faktor utama
penentu keberhasilan komunitas lokal dalam mempertahankan
kelestarian sumberdaya hutan adalah adanya kejelasan property
right serta berfungsinya dengan baik sistem kelembagaan lokal.
Sistem kelembagaan dimaksud meliputi norma (norm), sanksi
(sanction), nilai (value), dan kepercayaan (belief), yang telah
mengakar, dan diterima secara luas oleh masyarakat dalam