Anda di halaman 1dari 204

ADAPTASI MASYARAKAT TEPIAN HUTAN

dalam
PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan
dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 1 ayat [1]).
2. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: a. Penerbitan
ciptaan; b. Penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya; c.
Penerjemahan ciptaan; d. Pengadaptasian, pengaransemenan,
atau pentransformasian ciptaan; e. pendistribusian ciptaan atau
salinannya; f. Pertunjukan Ciptaan; g. Pengumuman ciptaan; h.
Komunikasi ciptaan; dan i. Penyewaan ciptaan. (Pasal 9 ayat [1]).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta
atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi
Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf
b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/
atau pidana denda paling banyak Rp1. 000. 000. 000,00 (satu miliar
rupiah). (Pasal 113 ayat [3]).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp4. 000. 000. 000,00 (empat miliar rupiah).
(Pasal 113 ayat [4]).
ADAPTASI MASYARAKAT TEPIAN HUTAN
dalam
PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN

- Golar -

Pengantar:
Prof. Dr. Ir. H. Muhammad Basir Cyio, SE., MS.
(Rektor Universitas Tadulako-Palu)
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
@Golar

Golar, Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan


-- Yogyakarta: Samudra Biru, 2017
viii + 196 hlm. ; 14,8 x 21 cm
ISBN: 978-602-9276-

I. Lingkungan II. Judul

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip atau memper-


banyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, juga tanpa izin
tertulis dari penerbit

Penulis : Golar
Editor : Alviana Cahyanti
Lay Out : maryoahmada@gmail.com
Design Cover : Roslani Husein

Cetakan Pertama, November 2017

Diterbitkan oleh:
Penerbit Samudra Biru (Anggota IKAPI)
Jln. Jomblangan Gg. Ontoseno Blok B No 15
RT 12 RW 30 Banguntapan Bantul
DI Yogyakarta 55198
e-mail/fb: psambiru@gmail. com
phone: 0813-2752-4748

iv Dr. Golar, S.Hut, M.Si


PENGANTAR:
PROF. DR. IR. H. MUHAMMAD BASIR CYIO, SE., MS.

(Rektor Universitas Tadulako-Palu)

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan v


vi Dr. Golar, S.Hut, M.Si
DAFTAR ISI

Pengantar Rektor – v
Daftar Isi – vii

Bab I. Pendahuluan – 1
Bab II. Metode Kajian – 7
Bab III. Konsep-Konsep Utama – 15
A. Konsepsi Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat
(Community Forest Management) – 15
B. Konsep Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan – 23
C. Konsep Adaptasi – 26
Bab IV. Selintas Sejarah Toro – 33
A. Kondisi Geografis dan Kependudukan – 34
B. Struktur Sosial dan Kelembagaan – 45
C. Tekanan Penduduk, Ekonomi Pasar, dan Dinamika
Politik – 62
Bab V. Revitalisasi Kelembagaan Adat dalam Pengelolaan
Sumber Daya Hutan – 83
A. Dinamika Kolektif Komunitas Toro – 83
B. Performansi Kelembagaan Adat – 108

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan vii


Bab VI. Implikasi Revitalisasi Kelembagaan Adat Terhadap
Kelestarian Sumber Daya Hutan – 123
A. Tipologi Hutan di Toro – 125
B. Kelestarian Fungsi Sosial – 127
C. Kelestarian Fungsi Produksi – 143
D. Kelestarian Fungsi Ekologis – 152
E. Penilaian terhadap Tingkat Kelestarian Hutan – 159
Bab VII. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan – 165
A. Kesimpulan – 165
B. Implikasi Kebijakan – 167

Daftar Pustaka – 171


Tentang Penulis – 197

viii Dr. Golar, S.Hut, M.Si


BAB I
PENDAHULUAN

D i beberapa kawasan hutan konservasi, utamanya taman


nasional, interaksi antara masyarakat lokal dengan sumber
daya alam masih sangat kuat. Bahkan di beberapa tempat, pola
interaksi yang terjalin memberikan kecenderungan positif bagi
kelestarian hutan. Walaupun demikian, konflik atas sumber
daya hutan dan masyarakat di taman nasional juga telah terjadi
di banyak tempat. Permasalahan tersebut di antaranya adalah
tumpang tindih kepentingan dari berbagai pihak, belum
adanya kesamaan persepsi mengenai fungsi, kedudukan dan
peran Taman Nasional di mata masyarakat dan pihak terkait
lainnya (Kadir, 2013).
Di Indonesia, konflik antara masyarakat lokal dengan
taman nasional (TN) terjadi di TN Komodo, Siberut, Tanjung
Puting, Lauser, dan Lore Lindu (Iskandar 1992; Soekmadi
2002; Wiratno et al. 2004) serta konflik di kawasan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung Sulawesi Selatan (Kadir,
2013). Di manca negara pun konflik serupa dijumpai, seperti
pada TN Waza (Bauer 2003), Alaskan (Dear & Meyers 2005),
dan Virunga (Kameri-Mbote 2006). Konflik tersebut berakar
pada permasalahan kelembagaan, utamanya menyangkut

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 1


hak penguasaan (property right) dan pengelolaan sumber daya
alam (natural resources management) antara pemerintah dan
masyarakat lokal.
Terdapat sejumlah kajian terdahulu tentang kelembagaan
lokal yang memiliki fokus dan tujuan beragam. Kajian-kajian
Wade (1988); Ostrom (1990); Rasmussen & Meinzen-Dick
(1995); Balland & Platteau (1996); Campbell (2003); Ghate (2004);
Badstue et al. (2006:249-273); Murray et al. (2006); dan Golar
(2006) telah mengidentifikasi dan menjelaskan faktor-faktor
pendukung keberhasilan pengelolaan sumber daya hutan yang
berbasis masyarakat lokal. Faktor-faktor tersebut di antaranya:
property right yang jelas, memiliki aturan main tentang
pengelolaan sumber daya hutan, serta sistem kelembagaan
lokal yang berfungsi dengan baik.
Demikian halnya kajian yang dilakukan McKean (1992);
Basuni (2003); Flint & Luloff (2005); Pagdee et al. (2006),
menjelaskan bahwa aturan-aturan lokal yang disepakati,
diimplementasikan dengan baik, serta didukung oleh identitas
komunal yang kuat, terbukti mampu menunjang kelestarian
fungsi hutan. Kejelasan akses dan kontrol masyarakat terhadap
sumber daya alam, terutama yang merupakan milik umum
(common-property resources) merupakan insentif penting bagi
kelestarian pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam
(Basurto 2005; Marks et al. 2005).
Kajian terhadap komunitas adat Baduy yang dilakukan
Iskandar (1992) membuktikan pula bahwa unsur-unsur
kelembagaan yang direpresentasikan melalui sistem
pengaturan tata ruang lahan tradisional, terbukti mampu
mengkonservasi sumber daya hutan dengan lebih baik. Hal
tersebut sejalan dengan kajian yang dilakukan Widjono (1998),
yang membuktikan pula kemampuan masyarakat dayak
Benuaq dalam mempertahankan kelestarian hutan melalui
sistem kategorisasi lahan tradisional.

2 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


Selain kajian-kajian tersebut di atas, terdapat pula kajian
yang memperdebatkan perihal kemampuan masyarakat lokal
dalam mengelola dan mempertahankan kelestarian sumber
daya hutan. Kajian yang dilakukan Maertens et al. (2002)
menjelaskan bahwa faktor tekanan penduduk (laju imigrasi)
dan intervensi ekonomi pasar menyebabkan terjadinya
perluasan kebun-kebun coklat (kakao) yang berlangsung
cepat di dalam kawasan hutan. Hal tersebut diakibatkan
oleh terjadinya perubahan mendasar pada struktur sosial
masyarakat, di mana penduduk asli menjual lahan miliknya
kepada pendatang, kemudian mereka kembali merambah
hutan dalam memecahkan masalah keterjaminan sosial
ekonominya (lihat a.l. Faust et al. 2003; Sitorus 2004). Masih ada
beberapa kelompok masyarakat belum mampu mewujudkan
performansi hutan yang lebih baik, bahkan cadangan potensi
hutan (seperti kayu) menjadi semakin menurun (Meilby et al.
2014). Sesuai dengan hasil kajian Hamzah et al (2017), Ohorella
et al (2012) dan Murray et al (2006) yang menyatakan bahwa
keberhasilan masyarakat lokal mempertahankan kelestarian
sumber daya alam ditentukan oleh kelembangaan lokal yang
berfungsi dengan baik, meliputi norma, sanksi, kepercayaan
yang tumbuh, diterima, dan mengakar di tengah masyarakat
yang mengatur hubungan antarmanusia maupun dengan
alamnya. Terdapat lima prinsip pengaturan kolaboratif yang
mendukung keberlanjutan pengelolaan hutan yaitu: perjanjian
dan kesepakatan formal lainnya yang menetapkan peran dan
tanggung jawab; kegiatan perencanaan dan pengelolaan;
mempengaruhi pengambilan keputusan; kepemilikan hutan;
dan peran ekonomi. (Wyatt et al. 2013)
Demikian halnya Burkard (2002), yang menjelaskan
bahwa intervensi ekonomi pasar akibat masuknya pedagang
pengumpul hasil bumi, telah menyebabkan terjadinya perubahan
terhadap sistem pertanian dan tanaman masyarakat lokal
yang cenderung komersil. Hal tersebut berdampak terhadap

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 3


melemahnya struktur kelembagaan tradisional, yang selama
ini tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, dan
berdampak langsung terhadap meningkatnya laju degradasi
hutan. Hal sebaliknya di Laos yaitu konsep indigeneity dapat
membantu masyarakat lokal melawan serangan kapitalisme
berupa ekstraksi sumber daya secara komersial dan perebutan
lahan (Baird 2015). Cookey, Darnswasdi, and Ratanachai (2016)
merekomendasikan perlunya integrasi persepi masyarakat
lokal dalam pengambilan keputusan tata kelola dan manajemen
lingkungan alam karena adanya ketidakpuasan masyarakat
lokal dan lemahnya penegakan dan kepatuhan hukum sehingga
menganggu mata pencaharian masyarakat dan mengancam
degradasi lingkungan.
Kajian-kajian tersebut menunjukkan adanya perdebatan
tentang kemampuan atau ketidakmampuan masyarakat
dalam pengelolaan sumber daya hutan. Kemampuan maupun
ketidakmampuan masyarakat lokal dalam mempertahankan
kelestarian sumber daya hutan dipandang oleh sebagian
peneliti sebagai masalah adaptasi, yakni kemampuan respon
masyarakat terhadap perubahan lingkungan, yang disebabkan
tekanan penduduk, intervensi ekonomi pasar, dan dinamika
politik (Alland 1975; Bennett 1967; Agrawal et al. 1997; Berkers
et al. 2001; Suharjito 2002; Marks et al. 2005; Flint et al. 2005). Hal
yang sama dikemukakan oleh Bohensky et al. (2005), bahwa
faktor-faktor yang mencirikan efektivitas respon yang dimiliki
masyarakat adalah kemampuan dalam mempertahankan
resiliensi ekologi dan sosial, serta kemampuan dalam melawan
perubahan yang terjadi dalam suatu sistem yang kompleks.
Selain itu, indigenous people mampu menilai dan memantau
karbon di tanah sehingga indigenous people mempertahankan
kelestarian tanah yang dimiliki (Butt et al. 2015).
Buku ini mengkaji tentang kemampuan masyarakat
dalam beradaptasi terhadap perubahan lingkungan, serta
menjelaskan bagaimana implikasi yang dihasilkan dari proses

4 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


adaptasi yang dilakukan terhadap kelestarian sumber daya
hutan. Komunitas masyarakat yang dijadikan objek adalah
masyarakat adat Toro. Pertimbangan utama yang mendasari
pemilihan Toro sebagai objek kajian adalah: (1) Sebagian besar
wilayah Toro (80%) berada di dalam kawasan Taman Nasional
Lore Lindu (TNLL), sehingga interaksi antara masyarakat
dengan TNLL cukup tinggi; (2) Toro merupakan satu-satunya
desa di sekitar TNLL yang merevitalisasi kelembagaan adat,
terutama dalam mengatur pola pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya hutan; (3) desa ini merupakan salah satu site
utama penelitian yang dilakukan oleh lembaga penelitian asing
seperti STORMA dan TNC, serta LSM-LSM lokal maupun
nasional lainnya, sehingga sedikit—banyaknya keberadaan
mereka memberikan pengaruh terhadap eksistensi masyarakat
di Toro; dan (4) Dinamika sosial politik di Toro berlangsung
cepat, yang ditandai oleh terjadinya beberapa perubahan sistem
kelembagaan dalam waktu yang relatif singkat (Fremerey 2002;
Shohibuddin 2003; Bukard 2004; Golar et al. 2006).
Tiga hal utama yang mewarnai isi buku ini: pertama,
wujud perubahan kelembagaan masyarakat adat yang
terkait dengan pengelolaan sumber daya hutan. Hal ini akan
menjelaskan tentang unsur-unsur kelembagaan adat yang
direvitalisasi, terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya hutan; kedua, kinerja kelembagaan adat yang
telah direvitalisasi, untuk menjawab apakah revitalisasi yang
dilakukan terhadap kelembagaan adat akan memperkuat, atau
sebaliknya, memperlemah kinerja kelembagaan adat di dalam
mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan;
dan ketiga implikasi revitalisasi kelembagaan adat terhadap
kelestarian sumber daya hutan. Hal ini akan menjelaskan
sejauh mana revitalisasi kelembagaan yang telah dilakukan
berdampak terhadap integritas ekosistem dan kesejahteraan
masyarakat.

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 5


6 Dr. Golar, S.Hut, M.Si
BAB II
METODE KAJIAN

B ennett memandang adaptasi sebagai perilaku adaptif


manusia terhadap perubahan-perubahan lingkungannya,
agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang
ada. Perilaku adaptif dapat dilihat sebagai inovatif, mencari
perubahan, atau sebaliknya konservatif. Adaptasi memiliki tiga
tataran: fisik/biologis; kultural; dan pola hubungan/perilaku
(behavior).
Konsep yang digunakan dalam kajian ini adalah pada
tataran kultural (kelembagaan) dan perilaku. Konsep-konsep
kunci dalam kajian adaptasi sosio-kultural adalah perilaku
adaptif (adaptif behavior), tindakan strategis (strategic action), dan
strategi adaptif (adaptive strategy). Perilaku adaptif merupakan
bentuk perilaku yang menyesuaikan cara-cara pada tujuan,
mencapai kepuasan, melakukan pilihan-pilihan secara aktif
maupun pasif. Tindakan strategis lebih khusus menunjuk
pada perilaku aktif tindakan-tindakan spesifik yang dirancang
untuk mencapai tujuan. Sedangkan strategi adaptif menunjuk
pada tindakan spesifik yang dipilih dalam proses pengambilan
keputusan dengan suatu derajat keberhasilan yang dapat
diperkirakan (Bennett 1976: 271-272).

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 7


Untuk tujuan analisis terdapat dua model pendekatan
terhadap perilaku adaptif. Pertama, memfokuskan perhatian
pada tindakan-tindakan individu atau keluarga yang terpisah
dari individu atau keluarga lainnya. Kedua, memfokuskan
perhatian pada perilaku interaktif atau transaksional
(interactive or transactional behavior) individu dengan individu
lain dalam kelompok. Perilaku ini biasanya diarahkan oleh
aturan-aturan (rules), dan komponen-komponen nilai normatif
(normative value) yang beragam. Penelitian ini menggunakan
model ke dua, yang hanya memperhatikan tindakan interaktif
yang menghubungkan satu individu/rumahtangga dengan
individu/rumahtangga lain.
Untuk mengetahui apakah revitalisasi kelembagaan
adat telah memberikan performansi yang lebih baik dalam
mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan
digunakan rancangan kriteria dari Ostrom (1994). Melalui
rancangan tersebut akan dianalisis sejauhmana kelembagaan
yang direvitalisasi mampu memenuhi kriteria-kriteria tersebut.
Untuk itu, informasi mengenai cakupan aturan-aturan main
yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
hutan, terutama sebelum dilakukan revitalisasi terhadap
kelembagaan adat akan dikaji, sebagai pembanding aturan-
aturan bentukan revitalisasi.
Dalam konsep Ostrom diuraikan delapan prinsip
rancangan, yang jika terpenuhi akan mengarah kepada
kelembagaan pengelolaan yang efektif terhadap sumber daya
alam lokal milik bersama (common property), di antaranya:
1) Batas wilayah kelola - tata batas wilayah kelola masyarakat,
hak-hak yang diakui, dan mekanisme pembagian hasil
hutan dirumuskan dengan jelas serta disepakati bersama.
2) Mekanisme pemanfaatan sumberdaya hutan yang spesifik
dan sesuai dengan kondisi lokal - masyarakat melalui
kelembagaannya mampu secara mandiri memanfaatkan,
memelihara, melindungi, dan memulihkan sumberdaya

8 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


alam setempat.
3) Modifikasi kebijakan dilakukan secara partisipatif dan
dikelola secara lokal - proses pengambilan keputusan
selalu ditempuh melalui mekanisme musyawarah, yang
difasilitasi baik oleh lembaga adat maupun lembaga
pemerintahan.
4) Dimilikinya mekanisme pemantauan sumberdaya
alam - secara informal masyarakat adat telah memiliki
kemampuan memantau sumber daya alam yang ada di
wilayah kelolanya.
5) Penyelesaian konflik - masyarakat adat mempunyai cara
yang efektif dalam menyelesaikan konflik, baik internal
maupun eksternal.
6) Penerapan sanksi spesifik yang mengikat - masyarakat
Toro memiliki bentuk dan nilai sanksi atas pelanggaran
ketentuan-ketentuan, yang ditetapkan menurut hukum
adat dalam musyawarah lembaga adat.
7) Berbagai bentuk masukan - masyarakat setempat memiliki
kekuatan yang dapat digunakan dalam mengelola
sumberdaya hutan, seperti: tenaga kerja, teknologi,
informasi, dan modal sosial.
8) Dimilikinya komitmen terhadap kelestarian SDA -
masyarakat setempat menghargai nilai konservasi hutan
dan berusaha mempertahankan kualitas sumberdaya
hutan.
Kajian ini termasuk ke dalam ranah penelitian kualitatif,
yaitu penelitian yang lebih mengutamakan pendekatan emik
(emic approach) (Sayer 1984; Muhadjir 1996; Mulyana 2001),
dengan menggunakan metodologi studi kasus. Secara umum,
studi kasus memberikan akses dan peluang yang luas kepada
peneliti untuk menelaah secara mendalam, detail, intensif, dan
menyeluruh terhadap unit sosial yang diteliti. Studi kasus dapat
memberikan informasi penting mengenai hubungan antar-

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 9


variabel, serta proses-proses yang memerlukan penjelasan
dan pemahaman yang lebih luas. Selain itu, studi kasus
dapat menyajikan data-data dan temuan-temuan yang sangat
berguna, sebagai dasar untuk membangun latar permasalahan
bagi perencanaan penelitian yang lebih besar dan dalam, dalam
rangka pengembangan ilmu pengetahuan (Yin 1997; Azis 2003).
Black dan Champion (1992) menyebutkan beberapa
keunggulan spesifik studi kasus, di antaranya: (1) bersifat
luwes berkenaan dengan metode pengumpulan data yang
digunakan; (2) keluwesan studi kasus menjangkau dimensi
yang sesungguhnya dari topik yang diselidiki; (3) dapat
dilaksanakan secara praktis di dalam banyak lingkungan
sosial; (4) studi kasus menawarkan kesempatan menguji teori.
Disamping keunggulan, juga terdapat sejumlah kelemahan:
pertama, studi kasus kurang memberikan dasar yang kuat
terhadap suatu generalisasi ilmiah; Kedua, ada kecenderungan
studi kasus kurang mampu mengendalikan bias subjektifitas
peneliti.
Untuk mengatasi hal tersebut, empat hal penting yang
perlu diperhatikan sebelum menetapkan penggunaan metode
studi kasus: pertama, studi kasus harus signifikan. Artinya, kasus
yang diangkat mengisyaratkan sebuah keunikan dan betul-betul
khas, serta menyangkut kepentingan publik atau masyarakat
umum. Kedua, studi kasus harus lengkap. Kelengkapan ini
dicirikan oleh tiga hal: (1) kasus yang diteliti memiliki batas-
batas yang jelas (ada perbedaan yang tegas antara fenomena
dengan konteksnya); (2) tersedianya bukti-bukti relevan yang
meyakinkan; dan (3) mempermasalahkan ketiadaan kondisi
buatan tertentu. Ketiga, studi kasus mempertimbangkan
alternatif perspektif. Keempat, studi kasus harus menampilkan
bukti yang memadai dan secara bijak mendukung atas kasus
yang diteliti (Yin 1997; Bungin 2003).
Pendekatan studi kasus yang digunakan tidaklah kaku
sifatnya, dan sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan

10 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


perkembangan fakta empiris yang tengah dicermati. Hal ini tidak
berarti terjadinya inkonsistensi, melainkan terhadap fenomena
sosial yang menjadi unit analisis, lebih dikedepankan dan
diutamakan aspek emik daripada etik-nya. Hal ini menyangkut
prinsip dalam penelitian kualitatif. Sebab, fenomena dan
praktek-praktek sosial, sebagai sasaran ”buruan” penelitian
kualitatif tidak bersifat mekanistik, melainkan penuh dinamika
dan keunikan, dan karenanya tidak bisa diciptakan dalam otak
dan menurut kehendak peneliti semata. (Bungin 2003; Vayda
1996). Transisi -transisi antara penomena dan pengamatan
dapat dilihat pada Gambar 2.

emik etik

Gambar
Gambar 2 Transisi-transisi
2 Transisi-transisi antara
antara fenomena
fenomena dan
dan pengamatanyang
pengamatan
yang berbeda. I: Informan, R: peneliti, P: fenomena,
berbeda. I: Informan, R: peneliti, P: fenomena, PI: fenomena yang
PI: fenomena yang diinterpretasikan oleh I, PR(I) : PI
diinterpretasikan olehdiinterpretasikan
yang I, PR(I) : PI yang olehdiinterpretasikan
R. (diadaptasi oleh
dari R.
(diadaptasi
Gooner 2001). dari Gooner 2001).

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 11


Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan
beberapa metode di antaranya; wawancara individual (individual
interview), pengamatan terlibat (participant observation), dan
diskusi kelompok terfokus (focused group discussion).
Indept interview digunakan untuk mengumpulkan data-
data menyangkut perubahan lingkungan yang terjadi. Selain
itu, digunakan pula dalam penelusuran sejarah pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya hutan dalam rentang waktu
tertentu (Vayda 1996). Opini masyarakat mengenai performansi
kelembagaan adat yang direvitalisasi dikumpulkan. Sementara
itu, wawancara open-ended digunakan untuk mengumpulkan
data mengenai performansi pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya hutan yang dilakukan oleh masyarakat Toro, yang
didasarkan pada kriteria Ostrom (Ostrom 1994) dan Kriteria
dan Indikator (K&I) LEI (LEI 2004).
Metode pengamatan terlibat (participant observation)
digunakan terutama dalam mengamati secara langsung
fungsi kelembagaan adat dalam mengatur pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya hutan. Pengamatan difokuskan
pada sejauhmana masyarakat menerapkan prinsip-prinsip
kelestarian, serta sejauhmana peran lembaga adat dalam
mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh
anggotanya. Beberapa perilaku terselubung (covered behavior)
lainnya dicatat dan diharapkan dapat memberikan kontribusi
positif terhadap kajian yang dilakukan.
Dalam metode ini ditetapkan dua orang responden kunci
(key informan), yang merupakan sumber informasi utama dan
juga sebagai mitra yang membantu peneliti berinteraksi dengan
masyarakat Toro. Responden pertama adalah salah seorang
tokoh masyarakat adat Toro, dan responden kedua adalah
tokoh pemuda Toro, yang juga aktif dalam organisasi pemuda
adat di Toro. Melalui reponden inti, peneliti ikut menjalani

12 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


aktifitas sehari-hari masyarakat desa, sehingga peneliti dapat
diterima di komunitas tersebut.
Sedangkan metode yang terakhir yaitu diskusi kelompok
terfokus (focused group discussion) digunakan untuk mengungkap
pemaknaan dari suatu “temuan” menurut pemahaman sebuah
kelompok, berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada
permasalahan tertentu. Teknik ini digunakan untuk menggali
informasi sebanyak-banyaknya serta tanggapan (klarifikasi)
peserta terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber
daya hutan di Toro.

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 13


14 Dr. Golar, S.Hut, M.Si
BAB III
KONSEP-KONSEP UTAMA

A. Konsepsi Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat


(Community Forest Management)
Konsep Community Forest Management (CFM) telah
diterima dan diakui sejak dua dekade yang lalu, sebagai
salah satu pendekatan potensial dalam mencapai kelestarian
hutan (Pagde et al. 2006; Murray et al. 2006; Telfer & Garde
2006) dan pengelolaan hutan masyarakat telah diidentifikasi
sebagai pilihan win-win solution untuk mengurangi deforestasi
sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan
di negara-negara berkembang (Santika et al. 2017). Pendekatan
tersebut difokuskan terhadap upaya-upaya penyediaan mata
pencaharian dan peningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal
dalam rangka mempertahankan konservasi sumberdaya hutan.
Pemikiran tersebut didasarkan pada sejumlah fakta bahwa
masyarakat lokal terbukti mampu mengatur pembagian peran
di antara mereka, memberi jaminan keadilan pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya hutan, serta tanggung-jawab dalam
mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan (Borrini-
Feyerabend et al. 2000).

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 15


Keberhasilan masyarakat dalam mengelola dan
memanfaatkan sumberdaya hutan tergantung pada tingkat
keeratan hubungan antara masyarakat dan sumberdaya
hutan (Fritz-Vietta 2016). Keeratan hubungan dapat dibangun
melalui kejelasan hak milik (property right) dan aturan-aturan
lokal, yang sesuai dengan harapan dan tuntutan masyarakat
terhadap sumberdaya hutan (Bromley 1989) dan Hamzah et
al (2016) menyatakan bahwa batas pengelolaan antara hutan
olahan simpanan,dan larangan yang disepakati bersama;
adanya aturan main terhadap kewenangan pemanfaatan; dan
saksi yang jelas dalam penegakan aturan. Selain itu, melalui
peningkatan transparansi pendapatan, pertanggungjawaban,
dan partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan sumber
daya hutan dapat mengubah “hutan konflik” menjadi
“Hutan perdamaian” (Beevers 2016). Konsep “Pengelolaan
Hutan Bersama” di India merupakan langkah positif menuju
desentralisasi pengelolaan pemerintah dan kehutanan, dengan
potensi untuk memberdayakan masyarakat dan meningkatkan
keamanan mata pencaharian masyarakat yang bergantung
pada hutan (Bhattacharya, Pradhan, and Yadav 2010).
Kebijakan yang tepat dalam pengelolaan hutan kolaboratif
harus mensinergikan kontribusi mata pencaharain masyarakat
lokal berbasis hutan yang positif dan hasil hutan yang lebih
baik sehingga mencapai hasil sosial yang dapat diterima
dan lingkungan yang positif dari pengelolaan hutan lokal
(Mohammed, Inoue, and Shivakoti 2017).
Kajian-kajian tentang masyarakat lokal menjadi penting
tidak hanya dalam memahami bagaimana komunitas lokal
memperlakukan sumberdaya alam di sekitarnya, namun juga
bagaimana ”memanfaatkan” berbagai hal positif darinya untuk
kepentingan generasi mendatang. Di samping itu, bila pola-
pola interaksi antara masyarakat lokal dengan hutan diketahui,
maka akan teridentifikasi sejumlah kebutuhan, yang dapat
dijadikan sebagai salah satu acuan dalam memformulasi rencana

16 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


pengelolaan sumberdaya hutan, dengan menempatkan peran
aktif dan akses masyarakat melalui kombinasi manajemen dan
teknik-teknik modern dengan konsep, pola, dan teknik-teknik
tradisional berdasarkan karakteristik yang dimiliki tiap-tiap
komunitas (Wibowo 1993: 27-38; Sardjono 2004; Cundill et al.
2006).
Aspek penting terkait dengan eksistensi masyarakat lokal
dalam berinteraksi dengan sumberdaya hutan adalah fenomena
pengetahuan indegenous (indigenous knowledge). Pengetahuan
indigenous dalam sudut pandang yang lebih luas dapat
dikategorikan sebagai kebudayaan, yang melibatkan aspek
sosial, politik, ekonomi, dan spiritual dalam tata-cara kehidupan
masyarakat lokal. Sejak ratusan tahun yang lalu, masyarakat
lokal mengembangkan praktek-praktek pengelolaan dan
perlindungan sumberdaya hutan yang bervariasi sebagai upaya
dalam mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan (Atran
et al. 1999 dan Berkers 2001). Keanekaragaman hayati terbentuk
oleh adanya faktor ekologi dan manusia serta perubahan sosial
dan budaya di dalam masyarakat adat turut mempengaruhi
proses ekologis tersebut, sehingga perubahan budaya tidak
harus dikaitkan dengan hilangnya keanekaragaman hayati
(Guèze et al. 2015).
Masyarakat lokal mempunyai pandangan yang holistik
tentang ekosistem dalam sistem sosialnya. Pandangan yang
seharusnya benar ini sering dianggap utopia, dan pengetahuan
tradisional yang tepat-guna ini hanyalah romantisme ahli
ekologi manusia dan antropologi belaka. Sesungguhnya,
ekosistem alami tidak dapat dimengerti, dikonservasi, dan
dikelola secara lestari tanpa memahami budaya manusia
yang membentuknya. Keanekaragaman budaya dan
keanekaragaman hayati saling tergantung dan mempengaruhi,
dan inilah kunci dalam menjamin ketahanan sistem sosial dan
ekologi (Soedjito & Sukara 2006). Hal tersebut sejalan dengan
pendapat Pandey (1993); Li (2000), bahwa masyarakat lokal

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 17


pada dasarnya memiliki harmonisasi dengan sumberdaya
alam, dan pada hakekatnya pengetahuan indigenous bersifat
konservatif, serta menunjukkan suatu struktur sosial dan
ekonomi yang adil. Struktur masyarakat adat seharusnya tidak
hanya dianggap sebagai mediator dalam proses pengelolaan
hutan karena proses peralihan pengelolaan hutan dapat
menciptakan peluang baru untuk penyalagunaan sumber daya
hutan (Nkemnyi et al. 2016).
Masyarakat indigenous mampu dan telah
mengakumulasikan pengetahuan empirik yang berharga dari
pengalaman mereka berinteraksi dengan lingkungan dan
sumberdaya alam. Kearifan ini berdasarkan pemahaman yang
dalam, bahwa manusia dan alam membentuk kesatuan yang
tak terpisahkan, sehingga harus hidup selaras dengan alam.
Pandangan ekologi-sentris ini secara umum direfleksikan dalam
sikap mereka terhadap tumbuhan, binatang, dan lingkungan
alamnya (Adimihardja 1999; Legawa 1999; Purwanto 2004).
Bukti bahwa masyarakat lokal memiliki tingkat berpikir yang
cerdas dan telah menerapkan teknologi didasari oleh budaya
berpikir religius magis dapat dilihat dari jaman sebelum masehi
sampai sekarang. Masyarakat memandang dan menghargai
salah satu tumbuhan menjadi sesuatu yang sangat berguna
dan bermakna serta bernilai sosial, estetis dan religius. Salah
satu tumbuhan yang dijadikan media itu adalah tumbuhan
yang secara morfologi tidaklah menarik dan tidak populer di
masyarakat sekarang, namun ternyata memendam potensi
yang mengagumkan, yaitu tumbuhan Indigofera ataudikenal
dengan beberapa nama lokal, yaitu tom, tarum dan taom
(Muzzazinah 2016).
Meskipun demikian, sistem-sistem pengelolaan dan
perlindungan sumberdaya hutan yang dimiliki oleh masyarakat
lokal tidak selamanya berasal dari tradisi atau pengetahuan
tradisional, namun dapat pula berasal dari respon-respon
adaptif yang dilakukan dalam mempertahankan kelangsungan

18 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


hidupnya (Berkes 2004).
Sumberdaya alam dapat dikelola secara lestari bila
persepsi masyarakat lokal dapat diintegrasikan ke dalam
strategi pengelolaan yang adaptif, tentunya dengan jaminan
adanya partisipasi aktif masyarakat di dalamnya (Ramakrishnan
2003; Campbel 2003; Colfer 2005, Bachtiar, Windia, and Astiti
2016). Namun demikian, pengetahuan indigenous juga memiliki
sejumlah keterbatasan dan kelemahan. Klaim pengetahuan
tradisional sebagai satu-satunya jawaban atas krisis lingkungan
seringkali kurang didasari atas telaah ilmiah (Ellen 1997).
Ada cukup bukti yang sifatnya historis maupun kajian-kajian
baru yang menunjukkan sisi lemah pengetahuan indigenous.
Pada kasus di mana masyarakat merupakan pendatang baru
pada zona ekologi yang berbeda, dan mereka belum memiliki
banyak pengetahuan yang relevan dengan lingkungan yang
baru, menyebabkan beberapa pengetahuan indegenous bawaan
mereka menimbulkan masalah terhadap lingkungan yang baru
(Flint & Luloff 2005; Ludang 2017).
Pada kasus yang lain dijelaskan bahwa pengetahuan
indigenous yang telah beradaptasi dengan baik dan efektif
untuk mempertahankan kehidupan mereka, dalam kondisi
tertentu menjadi tidak sesuai lagi di bawah kondisi lingkungan
yang telah terdegradasi (Thrupp 1989). Meskipun pada
dasarnya pengetahuan indigenous memiliki kemampuan
beradaptasi dengan perubahan ekologis, tetapi jika perubahan
tersebut drastis dan cepat, pengetahuan yang berkaitan
dengan perubahan ekologis tersebut menjadi tidak sesuai lagi.
Bahkan penerapan pengetahuan lama yang tidak sesuai akan
memperparah kerusakan lingkungan (Grenier 1998).
Dalam kasus yang lain, Turnbull (2002) menjelaskan
bahwa adanya pengaruh modernisasi terhadap pengetahuan
indigenous menyebabkan perubahan yang bersifat radikal.
Perubahan tersebut sering dipicu oleh adanya pengaruh yang
datang dari kelompok luar, baik untuk tujuan berdagang,

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 19


pengembangan usaha, maupun kolonialisasi. Greiner (1998);
Li (2000) menjelaskan bahwa terancamnya pengetahuan
indigenous dipengaruhi pula oleh globalisasi, yang mau tidak
mau akan memaksa masyarakat indigenous untuk menjadi
bagian dari masyarakat global dengan tatanan baru. Rahmwati
et al. 2008 mengungkapkan bahwa adanya terpaan yang begitu
kuat dari derasnya arus urbanisasi yang ditandai oleh beberapa
perubahan fisik, baik dalam hal gaya hidup, kepemilikan benda
maupun bentuk rumah turut mempengaruhi pengetahuan lokal.
Hal ini menyebabkan pengatahuan indigenous yang dimiliki
menjadi tidak relevan. Di samping itu, kekuatan ekonomi dan
sosial secara perlahan dan pasti seringkali menghancurkan
struktur sosial, yang mampu menciptakan pengetahuan dan
praktek indigenous tersebut (Sunito 1999, 2004).
Perubahan yang disebabkan oleh intervensi politik
terhadap komunitas indigenous, yang terbiasa dengan pola
berburu dan meramu (hunting and food gathering), hidup tidak
menetap dan mengikuti irama alam, diperhadapkan kondisi di
mana mereka dituntut untuk mengubah pola hidupnya menjadi
pola menetap dan bercocok tanam, Hal ini menimbulkan
respon berbeda di antara tiap-tiap kelompok masyarakat.
Sebagian besar dari mereka tetap memilih pola lama, dan
sebagian lagi mengikuti pemerintah untuk bermukim menetap,
dan melakukan kegiatan bercocok tanam. Selain itu, dengan
dibangunya jalan-jalan hutan oleh perusahaan-perusahaan
swasta perkayuan hingga ke pelosok-pelosok hutan, termasuk
di dalamnya lokasi-lokasi berburu mereka, menyebabkan
kemampuan dalam mengontrol sumberdaya alam semakin
lemah (Turnbull 2002). Adanya interaksi antara perusahaan
industri dan masyarakat adat dan lokal semakin mengarah pada
meningkatnya ketegangan sosial dan degradasi lingkungan,
daripada perbaikan standar dan kualitas kehidupan masyarakat
dan kondisi hutan (Novikova 2016).

20 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


Konsep Pengelolaan Sumberdaya Alam Milik Bersama
Sumberdaya alam milik bersama (common property
resources) sering diartikan secara beragam. Arnold (1998)
mendefinisikan commond property resources (CPR)“...used to
refer both to land or resources available to all and consequently not
owned or managed by anyone, and also to situations where access
is limited to a specific groups that holds rights in common”. Dalam
penerapannya, Istilah CPR sering digunakan secara bergantian,
yakni untuk menjelaskan sifat sumberdaya alamnya, dan
terkadang pula digunakan untuk menjelaskan sistem kolektif
terhadap pengelolaan sumberdaya hutan. McKean et al. (1995)
mendefinisikan common property resources lebih kepada situasi di
mana sumberdaya alam tersebut dikelola sebagai sumberdaya
milik bersama.
Terdapat dua wacana penting yang saling bertentangan
terkait pengelolaan common property resources. Wacana pertama
berpendapat bahwa pemanfaatan sumberdaya alam secara
kolektif tidak akan mampu memberikan insentif terhadap
pengelolaan sumberdaya yang lestari. Pandangan yang
mendasari wacana tersebut adalah munculnya anggapan
bahwa peluang akses dan penguasaan sumberdaya alam secara
kolektif, dengan pola pengelolaan yang terbuka, menyebabkan
minimnya insentif masyarakat terhadap kelestarian lingkungan
(Nemarundwe 2001). Pandangan ini mendukung teori Hardin
(1968) tentang “Tragedy of the Commons”. Teori ini menegaskan
bahwa jika banyak individu memanfaatkan sumberdaya
terbatas secara bersama-sama, maka dapat dipastikan akan
berakhir dengan kerusakan lingkungan. Dalam kondisi ini
tidak ada satupun yang bertanggung jawab atas pengelolaan
sumberdaya alam, sehingga laju kerusakannya berlangsung
cepat (Rasmussen 1995).
Wacana kedua didasari oleh pandangan bahwa
kegagalan untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya alam
secara berkelanjutan tidak disebabkan oleh sifat sumberdaya
Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 21
alamnya, namun lebih pada fokus pengelolaan yang bersifat
neglectif terhadap kerangka kelembagaan di lokasi pengelolaan.
Hal ini lebih disebabkan oleh tidak jelasnya property right hingga
penggunaan sumberdaya menjadi bersifat open access.
Sejalan dengan wacana pertama, kajian yang dilakukan
Sitorus (2002) memberikan gambaran tentang perubahan
cepat yang mendasar pada ekologi pedesaan, sebagai akibat
dari perluasan perkebunan kakao yang berlangsung cepat.
Hal ini mengindikasikan telah terjadi perubahan radikal
bentukan sosial setempat, yang telah memudahkan peralihan
sistem kepemilikan tanah dari jenis kolektif (common resources)
menjadi jenis kepemilikan pribadi, di mana distribusi lahan
tunduk pada kekuatan pasar (pasaran tanah). Situasi ini
memungkinkan penduduk asli secara khusus memperoleh
sumberdaya tanah dan menjualnya pada pendatang, sehingga
menyebabkan perubahan mendasar pada struktur agraria
lokal, di mana penduduk asli telah diturunkan tingkatannya
dari “bertanah” menjadi “tak bertanah”, sementara pendatang
diangkat tingkatnya dari “tak bertanah” menjadi “bertanah”.
Perubahan dalam struktur agraria tersebut menandakan
penurunan keterjaminan sosial ekonomi penduduk asli dan
sebaliknya peningkatan keterjaminan bagi pendatang. Kondisi
ini menyebabkan penduduk asli mencoba memecahkan
masalah ketidak-terjaminan sosial ekonomi dengan cara
merambah kawasan hutan.
Di Indonesia, sistem kepemilikan lahan yang kompleks
dan ambigu telah menghasilkan konflik agraria di banyak
daerah pedesaan.. Kurangnya kejelasan akses terhadap
lahan dan sumber daya alam, terutama di kawasan hutan,
menghambat kegiatan pembangunan yang sah. Kepemilikan
lahan yang tidak stabil dan tidak pasti mengancam jejaring
sosial, pendapatan dan ketahanan pangan (Riggs et al. 2016)
Sementara itu, pendapat lain yang mendukung wacana
kedua dikemukakan oleh Ostrom (1990); Parlee et al. (2006);

22 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


Murray et al. (2006), yang menoleh masyarakat yang berhak,
kapan dan siapa yang akan memonitor dan menegakkan aturan
ini. Dengan demikian, tindakan-tindakan opportunistik dapat
diredam melalui penataan kelembagaan pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya alam. Pengakuan formal terhadap
Penduduk Asli/Masyarakat Adat dan hak hutan masyarakat
lokal dapat memainkan peran penting dalam menjaga
kelestarian hutan (Ceddia, Gunter, and Corriveau-Bourque
2015).
Berfungsinya kelembagaan lokal diharapkan mampu
meredam tekanan faktor internal maupun eksternal seperti:
pertambahan jumlah penduduk (Wade 1988), heterogenitas
sosial dan ekonomi (Baland dan Platteu 1996), struktur
penguasaan lahan (Hanna et al. 1995; Ostrom 1999; Smith et
al. 2000), dan faktor eksternal seperti: interpensi kebijakan
nasional (Wade 1988; Ostrom 1999), dan tekanan pasar
dan teknologi (Wade 1988). Selain itu, perlu menempatkan
pengaturan kelembagaan lokal dalam kerangka tata kelola
yang lebih luas (misalnya ekologi politik dan ekonomi politik),
yang membentuk kemungkinan alokasi sumber daya hutan
yang adil, perbaikan mata pencaharian masyarakat pedesaan.
Dengan kerangka peraturan yang memadai, modalitas dan
akses hutan yang legal dapat menjamin pembagian manfaat
inklusif dan partisipasi yang setara dalam urusan publik dan
proses pengambilan keputusan pengelolaan hutan (Daur,
Adam, and Pretzsch 2016)

B. Konsep Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan


Pada berbagai kajian kelembagaan dan kebijakan
pengelolaan sumberdaya hutan, seringkali disebutkan
bahwa untuk mencapai pengelolaan sumberdaya alam yang
berkelanjutan dibutuhkan sinergi yang baik antara fungsi
ekonomi, ekologi, dan sosial (Hanna et al. 1995; Sardjono 2004;
Bohensky 2005, Cardona et al. 2014). Hal tersebut sejalan dengan
Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 23
konsep kelestarian atau keberlanjutan, sebagaimana yang
dimaksudkan oleh International Tropical Timber Organization
(ITTO 1998), sebagai suatu proses mengelola hutan untuk
mencapai satu atau lebih tujuan pengelolaan tertentu dalam
menghasilkan barang dan jasa hutan, yang diperlukan secara
berkelanjutan tanpa adanya pengurangan terhadap nilai dan
produktivitas hutan di masa yang akan datang, dan tanpa
adanya dampak yang tidak diharapkan terhadap lingkungan
fisik dan sosial.
Keberhasilan pengelolaan dan pemeliharaan manfaat
hutan bagi petani sangat tergantung pada pengetahuan
masyarakat lokal dan alasan dasar pengambilan keputusan
seperti ketergantungan yang besar pada hutan untuk bahan
pangan, baku baku, dan sumber penghasilan serta produksi
madu (Dave, Tompkins, and Schreckenberg 2017).
Demikian halnya dengan hasil UNCED (Rio de Janeiro
1992), yang mendefinisikan “...sustainable forest management is the
practice of meeting the forest resources needs and values of the present
with out compromising the similar capability of future generations..”.
Dari batasan tersebut, pemanfaatan hasil dan nilai-nilai yang
dapat diperoleh dari hutan untuk generasi kini, tidak boleh
mengorbankan kamampuan hutan tersebut untuk memberikan
hasil dan nilai yang sama dengan generasi yang akan datang.
Hal tersebut hanya dapat terwujud apabila kualitas, fungsi,
dan produktivitas hutan pada saat ini, setidak-tidaknya sama
dengan kualitas, fungsi, dan produktifitas hutan pada masa
yang akan datang secara berkelanjutan. Dari uraian tersebut,
nampak bahwa konsep Sustainable Forest Management secara
eksplisit mensyaratkan perlunya diperoleh manfaat terhadap
fungsi-fungsi ekonomis (produksi), ekologis (lingkungan), dan
sosial hutan secara optimal dan lestari (Suhendang 2004).
Untuk menjamin agar pelaksanaan pengelolaan hutan
sesuai dengan prinsip pengelolaan hutan lestari, diperlukan
standar baku mutu kinerja pengelolaan hutan, yang dinyatakan

24 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


dalam kriteria (criteria) dan indikator (indicator) pengelolaan
hutan. Keberadaan C&I pengelolaan hutan lestari mutlak
diperlukan dalam kegiatan pengelolaan hutan, agar kegiatan
pengelolaan yang dilakukan dapat diukur secara relatif
terhadap berbagai tujuan dan persyaratan lain yang telah
ditetapkan lebih dahulu (Suhendang 2004). Untuk jelasnya,
dapat dilihat pada Gambar 1.
Di dalam naskah akademik LEI dijelaskan bahwa, untuk
melakukan penilaian perlu ditetapkan lebih awal variabel-
variabel penting di antaranya: fungsi kawasan, status penguasaan
lahan, orientasi usaha, dan jenis hasil hutan yang dihasilkan. Keempat
Variabel tersebut digunakan untuk melihat keberagaman
praktek pengelolaan hutan secara lebih spesifik, dan tentunya
bermanfaat dalam memposisikan sumber daya hutan yang
dijadikan objek kajian. Variabel fungsi kawasan dibagi ke dalam
3 (tiga) kelompok, yaitu: kawasan budidaya kehutanan (KBK),
kawasan budidaya non kehutanan (KBNK), dan kawasan
yang dilindungi (KD). Variabel ini akan menentukan otoritas,
hak, dan kewajiban bagi pemegang hak penguasaan lahan.
Variabel orientasi usaha, dibedakan menjadi orientasi usaha
yang bersifat komersial dan subsisten. Variabel jenis produk,
membedakan produk utama yang hendak dikelola, kayu dan
atau non kayu dari hutan.
Prinsip dalam konteks pengelolaan hutan lestari
diperlakukan sebagai kerangka primer bagi terwujudnya
pengelolaan hutan yang lestari. Selain itu, prinsip berfungsi
untuk memberikan landasan pemikiran pada kriteria, indikator,
dan pengukur. Kriteria didefinisikan sebagai sejumlah aspek
yang dianggap penting untuk menilai kinerja pengelolaan
hutan lestari, di mana sebuah kriterium dicirikan atau
dilengkapi dengan sekumpulan indikator yang dapat diukur
secara kuantitatif maupun kualitatif, atau dinyatakan secara
deskriptif, yang apabila diukur atau dipantau secara periodik,
dapat memberikan petunjuk arah perubahan (Suhendang 2004).

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 25


26
Kelestarian Sumberdaya

Kelestarian Hasil

Gambar 1
Kelestarian

Gambar
Fungsi Produksi
Kelestarian Usaha

Struktur
1 Struktur

C. Konsep Adaptasi

Dr. Golar, S.Hut, M.Si


Kejelasan hak penguasaan lahan dan Hutan
yang dipergunakan

prinsip
Terjaminnya pengembangan & ketahanan

prinsipdan
ekonomi komunitas

dan kriteria
Lestari

Terbangunnya hubungan sosial yang setara dlm


Masyarakat

Kelestarian
Pengelolaan

kriteria
Fungsi Sosial
proses produksi
Hutan Berbasis

Tipologi PHBML

kelestarian
Keadilan manfaat menurut kepentingan
komunitas

kelestarian
Stabilitas ekosistem hutan dapat dipeliharan &
gangguan dapat diminimalisir dan dikelola

hutan (LEIhutan
Kelestarian

Sintasan ekosistem langka dapat dipertahankan &


Fungsi Ekologis

gangguan terhadapnya dapat diminimalisir

2004). (LEI 2004).

perhatian kita pada persoalan “bagaimana hubungan antara


Perspektif yang dikemukakan terdahulu mengarahkan
masyarakat dan pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari”.
Sebagian ahli memandang hal tersebut sebagai bagian dari
persoalan adaptasi. Bennett (1976); Pandey (1993) memandang
adaptasi sebagai suatu perilaku responsive manusia terhadap
perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi. Perilaku
responsive tersebut memungkinkan mereka dapat menata
sistem-sistem tertentu bagi tindakan atau tingkah lakunya, agar
dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada.
Perilaku tersebut di atas berkaitan dengan kebutuhan hidup,
setelah sebelumnya melewati keadaan-keadaan tertentu dan
kemudian membangun suatu strategi serta keputusan tertentu
untuk menghadapi keadaan-keadaan selanjutnya. Dengan
demikian, adaptasi merupakan suatu strategi yang digunakan
oleh manusia dalam masa hidupnya guna mengantisipasi
perubahan lingkungan baik fisik maupun sosial (Alland 1975;
Barlett: 1980 551-553).
Sebagai suatu proses perubahan, adaptasi dapat berakhir
dengan sesuatu yang diharapkan atau tidak diharapkan.
Olehnya, adaptasi merupakan suatu sistem interaksi yang
berlangsung terus antara manusia dengan manusia, dan antara
manusia dengan ekosistemnya. Dengan demikian, tingkah laku
manusia dapat mengubah suatu lingkungan dan sebaliknya,
lingkungan yang berubah memerlukan suatu adaptasi yang
selalu dapat diperbaharui agar manusia dapat bertahan dan
melangsungkan kehidupan di lingkungan tempat tinggalnya
(Bennett 1976: 247).
Beberapa contoh kajian tentang respon masyarakat
terhadap perubahan lingkungan di antaranya: Pranowo
(1985), yang menjelaskan tentang terjadinya perubahan sistem
pertanian masyarakat lereng gunung Merapi akibat intervensi
politik pemerintah kolonial Belanda, melalui penetapan program
konservasi kawasan hutan. Mereka yang awalnya hidup dalam
hutan dan menerapkan pola usaha tani sistem bero, kemudian
dimukimkan ke lereng bawah. Kehidupan di lereng bawah bagi

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 27


mereka merupakan hal yang sangat sulit karena sebagian besar
tanah yang subur sebelumnya telah dikerjakan oleh penduduk
di daerah tersebut. Kesempatan mereka untuk memperoleh
tanah yang luas dan subur, terutama untuk dijadikan daerah
pertanian tidak memungkinkan lagi. Hal ini memaksa mereka
untuk mempraktekkan sistem pertanian yang intensif melalui
teknik tegalan. Di samping itu, terjadi perubahan sistem bero
panjang yang khas untuk daerah lereng Merapi ke dalam
penggunaan pupuk kandang. Meskipun demikian, perubahan
sistem ini terhadap pola umum kehidupan ekonomi masyarakat
amatlah kecil. Masuknya pelbagai jenis tanaman tumpang
sari ke dalam sistem tegalan tidak banyak mengubah struktur
esensial. Tanaman tumpang sari yang jumlahnya semakin
banyak hanya untuk menyesuaikan kebutuhan hidup keluarga.
Hal ini disebabkan oleh semakin terbatasnya penguasaan dan
pemilikan lahan.
Hal yang sama dijelaskan oleh Soetrisno (1989) bahwa
adanya intervensi politik melalui pemberian izin konsesi HPH
kepada perusahaan perkayuan, yang berdampak terhadap
berkurangnya luas hutan-hutan primer. Kondisi tersebut
menyebabkan terdesaknya suku Kubu. Masyarakat Kubu
merespon dengan cara berpindah lebih jauh masuk ke dalam
hutan belantara, guna membuka lahan baru. Selain itu, mereka
juga menduduki lahan-lahan eks-HPH yang telah ditinggalkan
oleh perusahaan, dan sebagian dari mereka terpaksa mencuri
kayu atau dalam istilah mereka adalah berbalok.
Kajian lain tentang respon masyarakat terhadap intervensi
ekonomi pasar ditunjukkan oleh Levine (1999) dalam Suharjito
(2002). Berdasarkan kasus masyarakat peternak nomaden, suku
bangsa Tibet, Sichuan-Cina, dijelaskan bahwa perubahan
kebijakan terhadap sistem penguasaan ternak, dari penguasaan
kolektif menjadi individu, telah direspon oleh masing-masing
keluarga dengan cara meningkatkan produksi hasil ternaknya.
Hal tersebut membawa implikasi terhadap perubahan struktur

28 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


sosial, yakni terbentuknya klas-klas sosial, perbedaan status
sosial, dan gaya hidup.
Meskipun demikian, nilai religi tetap tertanam dan tak
mampu diubah oleh faktor lingkungan. Kajian ini menjelaskan
adaptasi sosial-kultural yang terjadi pada tingkat komunitas
(interaktif antar keluarga/rumahtangga) dalam bentuk
perubahan struktur sosial. Hal ini sekaligus menunjukkan
bahwa perubahan dapat terjadi pada salah satu unsur budaya
(orientasi produksi, status sosial, dan gaya hidup), sedangkan
unsur budaya lainnya dapat bertahan atau tidak mengalami
perubahan (Suharjito 2002).
Ayoola (1998) mengkaji respon penduduk desa Igalas,
Nigeria Tengah, terhadap kelangkaan lahan akibat tekanan
penduduk. Mereka merespon dengan cara pengaturan pola
tanam campuran (mix cropping) pada lahan-lahan milik maupun
lahan komunal. Demikian halnya dengan Gomes (1993), yang
mengkaji strategi adaptasi suku asli Semai, Malaysia, terhadap
resiko kegagalan produksi lahan melalui penganekaragaman
aktivitas produksi. Penganekaragaman tersebut memberikan
proteksi yang besar terhadap kegagalan-kegagalan ekonomi.
Bilamana terjadi hasil yang kurang baik dalam produksi
buah-buahan, mereka dapat berpaling kepada salah satu di
antara aktivitas-aktivitas lain yang menghasilkan uang, seperti
menyadap karet, mengumpulkan hasil hutan, serta berburu.
Hal yang sama dilakukan Kieft (2001), yang mengkaji
respon komunitas lokal dalam mengatasi permasalahan
kelangkaan lahan di dalam menjamin ketersediaan pangan,
melalui pola “berlapis”. Melalui pola ini, masyarakat memiliki
tiga penyangga bagi ketersediaan pangan. Penyangga pertama
adalah usaha tani ladang (jagung, ketela pohon, dan kacang-
kacangan) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari. Bila penyangga pertama gagal (karena ada
paceklik) maka mereka masih memiliki penyangga kedua yaitu
ternak besar (terutama sapi, kerbau, dan kuda). Mereka akan

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 29


menjual ternaknya untuk memperoleh kebutuhan pangan.
Bila penyangga kedua masih tidak berhasil, maka mereka
masih memiliki peyanggah ketiga, yaitu tanaman pangan
yang tersedia di hutan (non budidaya–liar) seperti: ubi hutan,
talas liar, dan lain-lain. Bentuk respon yang dilakukan oleh
komunitas lokal tersebut menjelaskan wujud adaptasi terhadap
perubahan lingkungan (intervensi ekonomi pasar dan tekanan
penduduk). Hal tersebut sesuai dengan konsep strategi adaptasi
yang dinyatakan oleh Bennett, sebagai suatu tindakan spesifik
yang dipilih oleh individu atau masyarakat di dalam proses
pengambilan keputusan, dengan suatu derajat keberhasilan
yang dapat diprediksi (predictible).
Konsep strategi adaptasi sosial-kultural dari Bennett
(1976) digunakan pula oleh Suharjito (2002) untuk menjelaskan
bagaimana keluarga/rumahtangga mengembangkan
sistem agroforestry kebun-talun, dalam menghadapi tekanan
penduduk dan intervensi ekonomi pasar. Dijelaskan bahwa
pasar telah mendorong keluarga/rumahtangga, yang
sebelumnya subsisten, untuk mengkonsumsi barang-barang
pasar yang tidak diproduksi sendiri, sehingga petani dipaksa
untuk menghasilkan surplus produksi yang akan digunakan
membeli barang-barang tersebut. Di sisi yang lain, tekanan
terhadap lahan meningkat, baik karena jumlah atau rasio
penduduk-lahan yang terus bertambah, maupun disebabkan
oleh kebutuhan hidup yang terus meningkat.
Kajian lain dilakukan oleh Ngo (1999) tentang keterkaitan
keanekaragaman latar budaya (cultural setting) dan struktur
sosial (social structure) terhadap cara-cara adaptasi dalam
berproduksi (modes of production) sejumlah komunitas Dayak di
Kalimantan. Komunitas Punan dan Bukat, yang memiliki corak
mata pencaharian berburu dan mengumpulkan hasil hutan non
kayu, menuntut mobilitas yang tinggi guna memenuhi berbagai
keperluan pokok. Hal tersebut mempengaruhi bentuk-bentuk
pemukiman dan tipe keluarga yang kecil agar memudahkan

30 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


berusaha dari satu tempat ke tempat lain. Sementara itu, pada
komunitas Iban dan Kantu, yang umumnya bermata pencarian
berladang gilir balik lahan kering dan perbukitan, yang terikat
dengan rumah panjang (rumah panjai), serta mengutamakan
kekompakkan kelompok (gerempung penemu). Kajian tersebut
menunjukkan bahwa, bentuk-bentuk mata pencaharian
menuntut mereka untuk melakukan adaptasi terhadap bentuk
pemukiman, kekerabatan, dan pola kepemimpinan.
Dalam kajian ini, konsep adaptasi dari Bennett (1976)
digunakan untuk menjelaskan respon kolektif masyarakat
Toro melalui revitalisasi kelembagaan adat dalam mengatur
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Revitalisasi
kelembagaan adat yang dimaksud berupa perubahan norma-
norma sosial serta struktur kelembagaan, yang meliputi: aturan
main terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
hutan, pembagian peran di antara lembaga-lembaga yang ada
di Toro, wewenang yang dimiliki, dan pola interaksi antara
satu lembaga dengan lembaga sosial yang ada di Toro, sebagai
wujud respon terhadap perubahan lingkungan. Perubahan
lingkungan yang dimaksudkan terdiri atas intervensi ekonomi
pasar dan tekanan politik.

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 31


32 Dr. Golar, S.Hut, M.Si
BAB IV
SELINTAS SEJARAH TORO

D alam bahasa Kulawi, Toro berarti “sisa”. Terminologi


ini mengacu pada suatu wilayah yang telah ditinggal
pergi oleh penduduknya dalam waktu yang cukup lama,
sehingga menjadi hutan belantara. Diperkirakan sekitar
500 tahun yang silam, terjadi perpindahan penduduk dari
Malino ke Toro. Perpindahan tersebut terjadi akibat terdesak
peperangan dengan suku lain. Keluarga yang terdesak dan
sempat mengungsi saat itu sebanyak 7 rumah tangga, di bawah
pimpinan Mpone (Shohibuddin 2003).
Sebelum akhirnya mendiami daerah Toro, kelompok
pimpinan ini transit di beberapa tempat. Mulanya mereka
tinggal di Balinggi yaitu wilayah bagian Parigi yang merupakan
salah satu kecamatan di Kabupaten Parimo. Di Balinggi mereka
berkembang menjadi 11 rumahtangga. Setelah itu, mereka
pindah ke tempat transit kedua yaitu Kulawi melalui Paboya
(Palu), Bora (Sigi Biromaru), Tuwa, dan kemudian Namo.
Atas perkenaan Balu, seorang bangsawan Kulawi, mereka
ditempatkan di Kauawu, yang saat itu masih berupa hutan,
dengan harapan mereka dapat mengelola untuk menopang
hidupnya. Di tempat transit kedua inipun tidak berlangsung

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 33


lama. Ternyata setelah mereka berhasil, mereka mengalami
tekanan-tekanan berupa kewajiban membayar pajak untuk
setiap lahan yang dikelolanya pada orang Kulawi. Keadaan
yang tidak menguntungkan ini mendorong orang asal Malino
tersebut untuk mencari tempat baru.
Melihat gelagat ini, Balu, orang pertama yang
menempatkan mereka di Kauawu mengambil kebijakan
dengan menawarkan alternatif lain. Balu menawarkan lokasi
perburuan miliknya agar dibeli dan terjadilah kesepakatan
jual beli antara Balu dengan orang asal Malino. Tempat
dilaksanakannya kesepakatan tersebut disebut “kaputua” yang
artinya keputusan akhir jual beli tanah wilayah perburuan
Balu. Kawasan perburuan tersebut dihargai setara dengan
tujuh biji emas, masing-masing sebesar burung pipit. Sejak saat
itu hingga sekarang, orang asal Malino ini mendiami wilayah
yang dinamai Toro. Sejarah asal usul ini penting karena
berimplikasi terhadap eksistensi mereka dan terdapat kejelasan
atas perolehan status wilayah dan lahan-lahan milik leluhur
mereka.

A. Kondisi Geografis dan Kependudukan


Letak dan Luas
Toro terletak sekitar 120o1’ BT - 120o3’30’’ BT dan 1o29’30’’
LS - 1o32’ LS, dengan luas wilayah ± 229.5 km2 (22.950 ha)
dan ketinggian rata-rata 800 m di atas permukaan laut (dpl).
Topografi Toro termasuk dalam kategori pegunungan, dimana
pemukiman dan pertanian umumnya terkonsentrasi di lembah
dan lereng yang dikelilingi oleh gunung-gunung seperti:
Kalabui, Kaumuku, Toworo, Onco, Tawaeli, Topolo, Potaka
Jara, dan Powibia.
Di sebelah Utara, wilayahnya berbatasan dengan desa
Mataue dan Lindu (nama batas alam Bulu Taweki), sebelah
Timur berbatasan dengan Kaduwa (nama batas alam Bulu

34 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


Padoroa) dan Katu (nama batas alam Ue Biro dan Ue Hawuraga),
sebelah Selatan berbatasan dengan Oo Parese (nama batas
alam Mahue) dan Lawua (nama batas alam Potowo Noa), dan
sebelah Barat berbatasan dengan Sungku (nama batas alam Bulu
Tobengi) dan Winatu (nama batas alam Ue Halua). Di wilayah
ini mengalir beberapa sungai besar di antaranya: S. Sopu, Biro,
Pangemoa, Alumiu, Leangko, Pono, Bola dan Kedundu.

Sumber : STORMA 2005.

Gambar 7. Letak lokasi penelitian.

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 35


Secara administratif, Toro berada dalam wilayah
kecamatan Kulawi, Donggala, Sulawesi Tengah. Dari ibukota
kecamatan di Bolapapu, Toro berjarak lebih kurang 15 km,
dapat ditempuh dalam waktu setengah jam perjalanan dengan
menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Dari
ibu kota propinsi di Palu, berjarak lebih kurang 86 km, dapat
ditempuh lebih kurang 3 jam perjalanan, dengan menggunakan
kendaraan roda dua maupun roda empat.

Iklim
Berdasarkan catatan stasiun pengamatan cuaca di Kulawi,
rata-rata curah hujan tahunan di wilayah ini berkisar antara
200-3500 mm per-tahun pada periode 1997-2004, kelembaban
relatif 85.17%, dengan rata-rata temperatur bulanan sebesar
23,400C. Curah hujan terbesar terjadi pada bulan April dan Mei
(Gerold et al. 2002). Data curah hujan harian dapat dilihat pada
lampiran 7.

Penggunaan Lahan (Land Use)


Dari total luas lahan di Toro (22.500 ha), hanya sekitar
1000 ha dari luasan itu yang diusahakan secara permanen.
Selebihnya merupakan lahan hutan dan bagian dari kawasan
TNLL. Sekitar 475 ha dari lahan pertanian permanen merupakan
sawah, sedangkan sisanya seluas 525 ha telah ditanami
palawija atau kakao dan kopi (Sitorus 2006). Dari sekitar 540
rumahtangga yang ada di Toro, 534 (99%) di antaranya memiliki
lahan pertanian sendiri, dan hanya sekitar 7 (0.1%) yang tidak
memiliki lahan pertanian, baik sawah, ladang, maupun kebun
(STORMA 2004). Pemilikan tanah di Toro relatif terdistribusi
merata. Sekitar 80% rumahtangga di Toro menguasai tanah
kurang dari 0.5 ha. Selebihnya (20%) menguasai lebih dari 5.0
ha, termasuk di dalamnya penguasaan sawah seluas 2.0 ha.
Gambaran umum jenis-jenis lahan yang dikuasai oleh tiap-tiap
rumahtangga di Toro disajikan pada Tabel 13.

36 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


Tabel 13 Jenis-jenis lahan yang dikuasai rumahtangga di Toro
(Tahun 2004)

Tata guna lahan Jumlah Komulatif


(unit) (%) (%)
1. Pekarangan 20 1.7 1.7
2. Sawah dengan irigasi
sederhana 417 34.8 36.5
3. Sawah dengan irigasi semi
teknis 9 0.8 37.2
4. Sawah dengan teknik irigasi 14 37 1.2 38.4
5. Tanaman kopi 156 3.1 41.5
6. Kakao di bawah pohon hutan
alami 242 13.0 54.5
7. Kakao dibawah pohon
pelindung campuran
251 20.2 74.7
8. Kakao dibawah pohon
pelindung mayoritas berasal
dari satu jenis 21.0 95.7
9. Padang rumput 1 0.1 95.7
10. Ladang 19 1.6 97.3
11. Tanah kosong 24 2.0 99.3
12. Lain-lain 8 0.7 100.0
Jumlah 1.198 100
Sumber: Sensus penduduk STORMA (2004).

Masyarakat di Toro menguasai lahan pertanian lebih dari


1 unit, baik berupa sawah, kebun, maupun ladang. Sebanyak
38.5% masyarakat menguasai lahan garapan sebanyak 2 (dua)
unit. Sementara yang tidak memilik lahan hanya sebesar 0.1%
saja. Hal ini mengindikasikan bahwa ketersediaan lahan masih
memadai dalam mendukung aktifitas usaha tani di Toro.
Saat ini lahan-lahan pertanian masyarakat sebagian besar
ditanami kakao. Meskipun tanaman ini telah lama dikenal
di Toro, tepatnya sejak tahun 1960-an, namun jenis ini baru
Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 37
diminati dan dibudidayakan secara merata pada tahun 1990-an. Seja
perubahan yang signifikan terhadap tataguna lahan di Toro. peruba
mencapai puncaknya
diminati pada periode
dan dibudidayakan tahun
secara 1990
merata pada– tahun
2000 1990-
sebesar 41.6%
an. Sejak saat itulah terjadi perubahan yang signifikan terhadap
dengan tataguna
periodelahan
dimana tanaman
di Toro. kakao
perubahan tatamenjadi komoditas
guna lahan mencapai andalan d
puncaknya
pendapatan pada periode
masyarakat. tahun ini
Fenomena 1990terjadi
– 2000bukan
sebesarsaja
41.6%.
di Toro, nam
Hal ini terkait erat dengan periode dimana tanaman kakao
seluruhmenjadi
datarankomoditas
Sulawesi (Kief dalam
andalan 2001).meningkatkan
Konversi lahan menjadi lokasi p
pendapatan
masyarakat. Fenomena ini terjadi bukan saja di Toro, namun
Toro disajikan pada di
hampir merata Gambar 8.
seluruh dataran Sulawesi (Kief 2001). Konversi
lahan menjadi lokasi penanaman kakao di Toro disajikan pada
Gambar 8.

1960 1960-1970 1970–1980 1980-1990 1990–2000 2000–


sekarang
Tahun

Gambar 9 Periodesasi pengkonversian menjadi lahan yang ditanami


kakao di Toro (sumber: Sensus penduduk, STORMA 2004).

Gambar
Kependudukan 9 Periodesasi
pengkonversian menjadi
Komposisi penduduk
lahan yang ditanami
Di tahun 2004, Toro berpenduduk
kakao di Toro (sumber: 2.133 jiwa atau 540
rumahtangga, terdiri atas 1.121 (52.6%) pria dan 1.012 (47.4%)
Sensus penduduk,
wanita, yang bermukim di tujuh dusun (boya), di antaranya:
STORMA 2004).
38 Dr. Golar, S.Hut, M.Si
Bola, Lempe, Kinta, Lengkaue, Bulukuku, Raupa, dan Nente
Baru. Komposisi umur penduduk di Toro tergolong ”penduduk
muda”, di mana penduduk yang berumur di bawah 30 tahun
berjumlah 130 jiwa (59%), sedangkan yang berusia di atas 65
tahun (kelompok usia tua) berjumlah 73 jiwa (3.4%). Komposisi
umur penduduk di Toro disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Jumlah penduduk di Toro menurut kelompok umur (Tahun
2004)

No Kelompok Umur Jumlah (jiwa) Persentase


(Tahun) (%)
1 0 – 15 684 32.1
2 16 – 30 616 28.9
3 31 – 50 585 27.5
4 51 – 65 248 8.12
> 65 73 3.43
Jumlah 2.133 100,0
Sumber: STORMA (2004).

Melalui data tersebut di atas diketahui bahwa penduduk


yang masuk dalam kategori tenaga kerja1 (manpower) adalah
penduduk yang berusia 16-65 tahun, yaitu sebesar 1.449 jiwa
(67.9%). Sedangkan penduduk yang masuk dalam kategori
bukan tenaga kerja sebesar 684 jiwa (32.1%).
Sementara itu, mata pencaharian masyarakat di Toro
dikelompokkan menjadi dua; mata pencaharian utama dan
sampingan. Pada umumnya mata pencaharian utama dan
sampingan rumahtangga di Toro bertumpu pada sektor
pertanian, wanatani, dan pengumpulan hasil hutan, antara

1 Tenaga kerja adalah jumlah seluruh penduduk yang dapat


memproduksi barang dan jasa jika ada permintaan terhadap tenaga mereka,
dan jika mereka mau berpartisiasi dalam aktivitas tersebut (Kusmosuwidho
2004)

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 39


lain berburu dan mengumpul kayu, rotan, dan getah damar
(Sitorus 2006). Secara keseluruhan, struktur mata pencaharian
masyarakat di Toro disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15 Rasio jumlah penduduk Toro berdasarkan mata
pencaharian

No Mata pencaharian Utama Sampingan


Jumlah
    Jumlah Orang (%) (%)
Orang
1 On-farm
A Bertani 1.086 51.13 141 24.61
2 Off-farm
A Buruh Tani 7 0.33 123 21.47
B Peternak 1 0.05 3 0.52
C Penebang pohon 1 0.05 2 0.35
D Pengumpul Rotan 1 0.05 28 4.89
Pedagang hasil
E bumi 4 0.19 6 1.05
Meubeler, pertu-
F kangan 16 0.75 6 1.05
3 Non-farm
PNS (Pegawai pe-
A merintah) 5 0.24 0 0.00
Ibu Rumah Tang-
B ga 222 10.45 258 45.03
Pelajar/Maha-
C siswa 83 3.91 1 0.17
d Lain-lain 698 32.86 5 0.87
  Jumlah 2.124 100 573 100
Sumber: Sensus penduduk STORMA (2004).

Data di atas menunjukkan bahwa usaha tani on-farm di


Toro, sebagai mata pencaharian utama, mendominasi sebesar
51.3% terhadap sektor usaha lainnya. Masyarakat yang
menjadikan usaha tani sebagai mata pencaharian sampingan
sebesar 24.61%. Sementara itu, tingkat partisipasi angkatan

40 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


kerja (labor force participation) di Toro tergolong tinggi yaitu
sebesar 77.36%. Angka ini menggambarkan tingkat partisipasi
total seluruh penduduk di Toro dalam usia kerja (tingkat
aktivitas umum2).
Berdasarkan laporan Shohibudin (2003) diketahui bahwa
masyarakat Toro terbentuk dari beberapa etnis, di antaranya:
etnis Moma, Uma serta etnis Rampi. Selain ketiga etnis
tersebut, terdapat pula beberapa etnis lain di antaranya: etnis
Kaili, Napu, Behoa, Manado, Minahasa, Poso, Pamona, Mori,
Bugis, Makassar, Toraja, Jawa, dan Bali. Heterogenitas etnis
telah terjadi sejak pra-kolonial, dimana salah satu pemimpin
Toro saat itu, Balawo, mempersunting dan memboyong istri
beserta pengikut-pengikutnya yang berasal dari Rampi, sebuah
kampung yang berada di wilayah propinsi Sulawesi Selatan,
untuk menetap di Toro. Sejak saat itu mulai berdatangan
kerabat-kerabat lainnya yang berasal dari Rampi untuk ikut
menetap di Toro.
Kedatangan etnis Rampi selanjutnya terjadi akibat
pergolakan politik yang terjadi di Sulawesi Selatan pasca-
kemerdekaan, yakni peristiwa DI/TII dan PRRI/Permesta.
Pergolakan ini telah memaksa etnis Rampi untuk mengungsi
dan menyebar ke mana-mana, salah satunya adalah desa Toro.
Gelombang pengungsian orang Rampi ke Toro terjadi melalui
dua tahap, yaitu periode tahun 1952-1953 dan periode tahun
1959-1960. Setibanya di Toro semua pengungsi dibagikan lahan
oleh Kadera, yang menjabat sebagai kepala kampung saat itu.
Awalnya etnis Rampi membangun pemukiman di wilayah
lereng bukit, yang kemudian dipindahkan di sisi-sisi jalan
yang menuju ke Kulawi. Pemukiman tersebut sekarang dikenal
dengan nama Dusun V (Roupa).
Pengungsian tahap kedua terjadi tidak lama setelahnya,
yaitu pada tahun 1959-1960. Seperti pengungsian sebelumnya,
2 Tingkat aktivitas umum adalah tingkat aktivitas (activity rate) untuk
seluruh penduduk dalam usia kerja (16-65 tahun) (Kusumosuwidho 2004).

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 41


mereka juga mendapat pembagian lahan dari kepala kampung
Toro. Saat ini, wilayah tempat mereka bermukim dikenal
sebagai Dusun IV (Lengkoue). Di tahun 1968, desa ini kembali
didatangi oleh etnis Uma yang berasal dari Kulawi bagian
Barat. Kedatangan etnis ini sebagian bersifat spontan dan
sebagian lagi merupakan rangkaian dari program resettlement.
Oleh pemerintah Toro mereka ditempatkan pada bagian ujung
Tenggara Toro, yang kini telah menjadi Dusun VI (Nente Baru).
Selain lahan pemukiman, mereka juga disediakan lokasi
untuk bercocok tanam. Pembagian lahan untuk etnis Uma
dilakukan oleh Pateke Tohuwu (kepala kampung saat itu).
Berbeda dengan kasus-kasus migrasi sebelumnya, pembagian
lahan oleh Pateke Tohuwu ini dilakukan melalui transaksi
jual beli, meski dengan harga seadanya, dan tidak lagi melalui
pemberian cuma-cuma. Komposisi etnis yang mendiami Toro,
serta periodesasi kedatangan pendatang ke Toro disajikan pada
Gambar 10 dan Gambar 11.

12%

Etnis Moma
20% etnis Uma
Etnis Rampi
Etnis lainnya
58%

10%

Gambar 10 Komposisi etnis di Toro (Sumber: Sensus penduduk


STORMA
Gambar 10 Komposisi etnis2004),
di Torodiolah.
(Sumber: Sensus penduduk STORMA
2004), diolah.

42 Dr. Golar, S.Hut, M.Si T a hun 19 5 0 (5%)

T a hun 19 5 1 - 19 7 0

(36%)
10%

Gambar 10 Komposisi etnis di Toro (Sumber: Sensus penduduk


STORMA 2004), diolah.

T a hun 19 5 0 (5%)

T a hun 19 5 1 - 19 7 0

(36%)
58% 42% P e nda t a ng
A s li T a hun 19 7 1 - 19 9 0

(34%)
T a hun 19 9 1 - 2 0 0 0

(25%)

Gambar 11 Periodesasi kedatangan penduduk di Toro (Sumber:


Gambar 11 Periodesasi kedatangan penduduk di Toro (Sumber: Sensus
Sensus penduduk STORMA 2004), diolah.
penduduk STORMA 2004), diolah.

Keragaman etnis secara tidak langsung menciptakan


struktur pemukiman yang terdistribusi berdasarkan garis
etnis, sehingga menciptakan dusun-dusun dengan komposisi
penduduk yang relatif homogen. Hal tersebut terkait erat
dengan gelombang
Keragaman etnis migrasi
secara penduduk, yang pada
tidak langsung setiap tahap
menciptakan struktur pem
hanya melibatkan kelompok etnis tertentu saja, serta adanya
terdistribusi berdasarkan garis etnis, sehingga menciptakan dusun-dusun deng
kebijakan setiap pimpinan Toro saat itu yang mengalokasikan
penduduk yang khusus
lahan secara relatif homogen. Hal tersebut
untuk tiap-tiap terkait disajikan
etnis, seperti erat dengan gelom
pada Gambar 12.
penduduk, yang pada setiap tahap hanya melibatkan kelompok etnis terten
adanya kebijakan setiap pimpinan Toro saat itu yang mengalokasikan lahan
untuk tiap-tiap etnis, seperti disajikan pada Gambar 12.

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 43


Dusun I
Dusun
Dusun III
II

Dusun VII
Dusun V

Dusun
IV

Dusun
VI

Gambar 12 Peta penyebaran dusun di Toro (STORMA 2003).


Gambar 12 Peta penyebaran dusun di Toro (STORMA 2003).
Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan di Toro masih tergolong rendah,
Tingkat pendidikan di Toro masih tergolong rendah, dimana sebagian besar dari total
dimana sebagian besar dari total penduduknya tidak
penduduknya tidak menamatkan SD. Bila dikaitkan dengan program wajib belajar 9
menamatkan SD. Bila dikaitkan dengan program wajib belajar
(sembilan) tahun, maka hanya 13.1% saja dari total penduduk yang berhasil menamatkan
9 (sembilan) tahun, maka hanya 13.1% saja dari total penduduk
hingga jenjang SLTP. Lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 16.
yang berhasil menamatkan hingga jenjang SLTP. Lebih rinci
dapat dilihat pada Tabel 16.

44 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


Tabel 16 Tingkat pendidikan penduduk Toro Tahun 2004

Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)


(jiwa)
Tidak sekolah/Belum ta- 902 42.2
mat SD
792 37.2
Tamat SD
279 13.1
Tamat SLTP
141 6.6
Tamat SLTA
19 0.9
Perguruan tinggi (diplo-
ma/S1)
Jumlah 2.133 100

Sumber: STORMA 2004, diolah.

B. Struktur Sosial dan Kelembagaan


Struktur sosial merupakan jaringan unsur-unsur sosial
yang pokok, meliputi kelompok sosial, kebudayaan, lembaga
sosial, pelapisan sosial, kekuasan, dan wewenang (Soekanto
1982). Dengan demikian, struktur sosial dapat diterminologikan
sebagai tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat, yang
di dalamnya terkandung hubungan timbal balik antara
status dan peranan. Hubungan timbal balik tersebut dibatasi
oleh perangkat unsur-unsur sosial, yang menunjuk pada
suatu keteraturan perilaku yang mencirikan kelembagaan
masyarakat.

Pelapisan Sosial
Dalam sistem sosial masyarakat adat Toro, dahulu
dikenal tiga pelapisan atau tingkat sosial yang bersifat hierarkis,
Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 45
yaitu Maradika atau kelompok bangsawan, Todea atau rakyat
biasa dan Batua atau budak. Status kebangsawanan Maradika,
diperoleh melalui hubungan keturunan dengan pendiri dan
pemukim pertama di Toro yaitu Mpone. Menurut pendapat
Soekanto (1982), setiap masyarakat memilikinya karena selama
dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang dihargai maka
stratifikasi sosial akan tercipta. Demikian halnya Soedjito
(1986) menyatakan bahwa sistem pelapisan sosial dalam satu
masyarakat merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap
masyarakat. Bagi siapa yang memiliki sesuatu yang dihargai
atau dibanggakan dalam jumlah yang lebih dari yang lainnya,
maka statusnya akan lebih tinggi dari lainnya.
Sistem tersebut memposisikan Mpone beserta
keturunannya, sebagai kelompok bangsawan di Toro. Selain
itu terdapat kaum bangsawan lain yang berasal dari keturunan
keluarga-keluarga bangsawan di desa-desa sekitarnya seperti
Bolapapu, Mataue, dan Sungku. Mereka menetap di Toro
melalui hubungan kekerabatan yang erat dari hasil kawin-
mawin yang telah berlangsung lama, sehingga dikategorikan
sama dengan kelompok bangsawan yang pertama.
Lapisan sosial kedua adalah Todea atau orang biasa.
Lapisan ini terdiri atas orang-orang bebas dan tidak terikat
pada beban tugas atau kewajiban yang sifatnya menetap, serta
tidak memiliki hak yang bersifat istimewa atas kelompok
lainnya. Todea memiliki kewajiban membantu keluarga
Maradika, terlibat dalam kegiatan sosial di desa, berpartisipasi
dalam upacara-upacara keagamaan, dan festival adat pada
umumnya. Partisipasi kelompok Todea dalam semua kegiatan
tersebut didasarkan pada prinsip kesukarelaan, bukan karena
dibebani kewajiban yang sifatnya permanen seperti pada
kelompok Batua.
Lapisan sosial paling bawah yaitu Batua yang merupakan
kelompok masyarakat pengabdi, dan tidak memiliki hak apapun
selain kewajiban mengabdi. Kelompok ini hidup dan bekerja

46 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


untuk orang lain. Terdapat dua golongan Batua yang penyebab
terbentuknya kelompok ini berbeda. Golongan pertama berasal
dari anggota suku itu sendiri (asli), namun martabatnya turun
ke lapisan paling bawah setelah melakukan pelanggaran
terhadap aturan adat dan ia tidak mampu memulihkannya
secara adat (ritus dan denda). Pemberlakuan sanksi adat
dilakukan oleh seseorang Maradika sehingga konsekuensi
yang diterima adalah orang Batua tersebut menjadi budak dari
Maradika pelindungnya. Golongan kedua berasal dari suku
lain dari desa sekutu yang memberikan budak sebagai tanda
persahabatan. Bisa juga ia merupakan tawanan perang dari
anggota kelompok suku lain yang kalah dalam peperangan
antar-suku yang akhirnya dijadikan budak.
Satu-satunya hak yang dimiliki oleh Batua adalah adanya
peluang mereka untuk mengusahakan ”montolo woto” yaitu
”membayar kebebasannya”. Pembebasan ini dilakukan dengan
menebus kembali denda yang pernah dibayarkan oleh Maradika
pelindungnya atau dengan melakukan serangkaian ritual
tertentu. Meskipun perbudakan saat ini telah dihapuskan,
namun dalam kehidupan sehari-hari perbedaan masih bisa
diidentifikasi melalui silsilah keturunan atau dapat juga dilihat
dari jumlah mahar yang harus dibayarkan dalam upacara
perkawinan adat.
Perbedaan lapisan sosial mempengaruhi pula kesempatan
untuk memperoleh ”posisi dan peran tertentu” dalam sistem
sosial kemasyarakatan, seperti kesempatan menduduki
posisi-posisi penting di desa, yang umumnya dikuasai oleh
lapisan atas. Dengan demikian fakta tersebut mendukung
pendapat Bernar (1957) yang dikutif dalam Soedjito (1991)
bahwa ”penggolongan masyarakat sebenarnya tidak lain
dari pembagian masyarakat dalam pelbagai lapisan menurut
pengaruh dari kekuasaan golongan itu. Sehingga, struktur
masyarakat mencerminkan perbedaan antar kekuasaan dan
pengaruh dari warga masyarakat yang bersangkutan. Siapa

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 47


yang menduduki tempat yang tinggi di dalam struktur
masyarakat itu, dia pulalah yang mempunyai kekuasaan dan
pengaruh yang besar dalam kelembagaan adat.

Kelembagaan Adat
Sistem kepemimpinan
Dalam kajian kelembagaan masyarakat, kepemimpinan
menunjuk pada “kelompok orang”. Selain itu, kepemimpinan
dapat pula dipandang sebagai suatu proses kelompok di mana
berbagai peranan seperti perwakilan, pengambilan keputusan,
dan pengendalian operasional dalam suatu lembaga (Esman
1986). Dengan demikian, dalam kajian ini kepemimpinan
dipandang sebagai suatu proses kolektif di mana berbagai
peranan dibagi di antara angota-anggota dari suatu kelompok
kepemimpinan.
Garang (1985) yang diacu dalam Shohibuddin (2003)
menjelaskan bahwa masyarakat Kulawi pra-kolonial pada
dasarnya hanya mengenal dua lembaga kepemimpinan
tradisional, yaitu Totua Ngata dan Maradika. Totua Ngata adalah
dewan para totua kampung yang menjalankan “kepemimpinan
kolektif” atas segenap urusan pemerintahan desa. Dewan ini
menangani mulai dari urusan dalam desa (irara ngata) seperti
masalah pertanian, rencana pembukaan lahan, penyelenggaraan
upacara-upacara adat, hingga urusan luar desa (hawaliku ngata),
seperti hubungan kerja sama dan perdamaian antar desa. Selain
itu, dewan ini berperan pula sebagai majelis peradilan yang
memutuskan kasus-kasus pelanggaran adat, serta melakukan
proses arbitrase dan rekonsiliasi atas kasus-kasus sengketa dan
konflik.
Anggota dewan totua kampung berasal dari keturunan
bangsawan maupun kalangan biasa. Mereka adalah, yang
karena perilaku, pengetahuan, dan kearifannya dijadikan
panutan dan pedoman bagi masyarakat dalam menyelesaikan

48 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


berbagai persoalan yang dihadapi. Oleh karena itu, keanggotan
dewan ini tidaklah terbentuk melalui proses pemilihan atau
penunjukan oleh pihak manapun, melainkan hampir-hampir
terbentuk secara alamiah melalui proses pengakuan dari
masyarakat luas.
Terdapat karakteristik yang unik dalam keanggotaan
dewan totua kampung yaitu pada setiap forum pengambilan
keputusan mensyaratkan kehadiran atau wakil dari tokoh-
tokoh perempuan yang disebut “Tina ngata”. Mereka yang
dianggap sebagai Tina ngata yang secara harfiah berarti ibu
kampung—juga bukan berasal dari pilihan atau penunjukan,
melainkan terbentuk atas dasar pengakuan dari masyarakat.
Keharusan keterlibatan kaum perempuan ini tidak terlepas dari
pandangan budaya Kulawi yang menempatkan perempuan
dalam kedudukan tinggi. Perempuan dianggap memiliki
otoritas untuk pengelolaan harta warisan orang tua (tua
tambi) dan penyimpan adat (pobolia ada). Dalam perkawinan
masyarakat Kulawi harus dilaksanakan menurut tata cara adat
pihak pengantin perempuan.
Dalam peradilan adat, kesaksian perempuan lebih
diutamakan dan mendapat prioritas. Kaum perempuan juga
diakui sebagai peredam dan pemutus akhir untuk kasus-
kasus yang sangat sensitif atau yang dapat mempertaruhkan
kehidupan individu atau komunitas. Kasus yang sensitif akan
bertambah runyam kalau diserahkan sepenuhnya kepada kaum
laki-laki. Demikian halnya dalam pembagian kerja tradisional
di bidang pertanian, perempuan mempunyai tanggung jawab
penuh. Merekalah yang memahami ilmu perbintangan yang
digunakan dalam menentukan kapan saatnya menabur/
menanam bibit dan kapan harus menyelenggarakan ritus-ritus
produksi.
Jenis kepemimpinan kedua adalah Maradika yang
merupakan lembaga kepemimpinan yang bersifat individual.
Maradika adalah keturunan bangsawan yang dipilih oleh Totua

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 49


Ngata dan berperan sebagai kepala suku dari masyarakat
bersangkutan. Selain faktor keturunan dan kepiawaian dalam
memimpin, faktor kekayaan dan penguasaan atas aset-aset
ekonomi menjadi salah satu kriteria dalam mengakumulasikan
aset ekonomi desa dan kewajibannya untuk meredistribusikan
aset tersebut kepada anggota masyarakatnya. Oleh karena itu,
Maradika-lah yang berwenang untuk mengambil kebijakan
mengenai pengembangan kawasan pertanian dan ia berhak
memobilisasi anggota masyarakat dalam pembukaan hutan,
utamanya pangale untuk dijadikan lahan pertanian.
Secara adat Maradika menguasai sebagian besar lahan-
lahan hasil pembukaan pangale dengan disertai kewajiban
untuk mengalokasikan sumberdaya itu sebagai cadangan
(tetulemori) bagi kepentingan masyarakat apabila sewaktu-
waktu dibutuhkan. Cadangan ini juga berguna bagi kedudukan
Maradika sebagai tempat perlindungan hukum (asylum) bagi
mereka yang melanggar adat dan tidak mampu memenuhi
sanksi yang mestinya ia tanggung. Dalam kondisi ini, Maradika
dituntut untuk mengambil alih tanggung jawab orang tadi
dengan memberi ganti rugi kepada pihak yang merasa dihina
atau dirugikan, yang tanpa perlindungannya orang bersalah
tadi bisa dibunuh atau diusir.
Walaupun secara langsung pemerintahan sehari-hari
dilaksanakan oleh Totua Ngata, namun Maradika selalu dimintai
masukan atas setiap keputusan yang akan diambil. Pendapat
Maradika ini akan menjadi bahan pertimbangan yang sangat
menentukan dalam rapat Totua Ngata untuk menetapkan
bentuk akhir dari keputusan yang diambil. Oleh karena itu,
kehadiran Maradika selalu dipersyaratkan dalam setiap forum
pengambilan keputusan.
Sejarah kepemimpinan masyarakat Toro terdokumentasi
cukup rapi. Berdasarkan tulisan Shohibuddin (2003),
bangsawan yang menjalankan peran kepemimpinan sebagai
Maradika berturut-turut adalah Mpone, Ntomatu, dan Balawo

50 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


yang memerintah pada masa pra-kolonial dan Tomamba
(1908-1916), Pekea (1916-1920), Takeo (1920-1925), Palemba
(925-1930), Poteli (1930-1934) pada masa penjajahan, dan
Kadera (1934-1960) pada masa penjajahan dan kemerdekaan
kolonial. Mananca adalah Maradika pertama yang merangkap
sebagai kepala kampung, yaitu jabatan administratif yang
diperkenalkan Belanda sejak menaklukan Kulawi pada tahun
1905.3 Kadera adalah orang terakhir yang menjalankan fungsi
dan peranan sebagai Maradika.
Sepeninggalan Kadera kedudukan Maradika dianggap
sudah tidak mungkin lagi dijalankan. Para penerus Kadera
selanjutnya hanya menjalankan urusan pemerintahan saja,
baik sebagai kepala kampung maupun kepala desa. Mereka ini
secara berturut-turut adalah Pateke (1960-1970), CH. Towaha
(1971-1972), P.Toheke (1972-1987), Ace Lagimpu (1988-1995),
dan Naftali B. Porentjo (1996-sekarang). Saat ini, struktur
pemerintahan di Toro terdiri atas lembaga pemerintahan ngata
dan lembaga kemasyarakatan. Lembaga pemerintahan terdiri
atas: Lembaga Pemerintah Ngata dan Lembaga Perwakilan
Ngata (LPN). Sedangkan lembaga kemasyarakatan terdiri atas:
Lembaga Masyarakat Adat (LMA) dan Organisasi Perempuan
Adat Ngata Toro (OPANT).

Kelembagaan pengelolaan hutan dan lahan


Sumberdaya alam di antaranya adalah hutan dan lahan.
Bagi komunitas adat Toro, hutan dipandang sebagai salah
satu sumberdaya alam, yang di dalamnya diperoleh bahan
baku untuk kebutuhan hidup dan dapat dikelola sebagai
tempat untuk melakukan aktifitas perladangan. Sedangkan
sumberdaya lahan dipandang sebagai “teritorial” guna
3 Sejak kolonial Belanda memperkenalkan sistem pemerintahan
administratif, peran totua ngata mulai memudar, dan sebagian besar tugasnya,
seperti pengaturan mekanisme pemanfaatan lahan, dan pembukaan hutan
diambil alih oleh Maradika.

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 51


mengekspresikan keberadaan atau eksistensi, penguasaan,
status, dan sekaligus harta.
Sistem kategorisasi lahan secara tradisional telah dikenal
oleh masyarakat Toro sejak dahulu. Sistem Kategorisasi
menentukan bentuk-bentuk akses atas lahan dan hasil hutan
di Toro. Ada kategori lahan hutan yang sama sekali tidak bisa
dikelola dan hanya bisa dimanfaatkan hasil hutannya. Ada
pula kategori lahan hutan yang dapat dikelola, biasanya yang
belum ada hak penguasaan di dalamnya. Selain itu ada pula
kategori lahan hutan dan jenis-jenis hasil hutan yang sudah ada
hak penguasaan, sehingga tidak bisa diakses oleh sembarang
orang tanpa seijin pemiliknya.
Menurut asal-usulnya, masyarakat Toro membagi
kawasan hutan di wilayah adatnya ke dalam 6 kategori yaitu:
(Lagimpu 2002)
a. Wana Ngkiki, merupakan kawasan hutan yang berada di
puncak-puncak gunung, jauh dari pemukiman penduduk,
merupakan kawasan inti yang sangat penting karena
dianggap sebagai sumber udara segar (winara). Kawasan
hutan ini tidak dibebani hak kepemilikan individu (dodoha)
dan tidak dapat dikelola. Secara tradisional, mereka
mencirikan kawasan hutan ini dengan pohon-pohon yang
tidak terlalu besar, tidak banyak rerumputan, namun
banyak dijumpai lumut pada lantai hutan dan batang-
batang pohon hingga ke dahan pohon, serta hawanya
dingin dan merupakan habitat beberapa jenis burung.
Berdasarkan hasil pemetaan partisipatif luas kawasan wana
ngkiki ini sekitar 2.300 Ha, dengan ketinggian di atas 1000
m dpl.
b. Wana, merupakan kawasan hutan rimba, di mana tidak
dijumpai adanya aktivitas pertanian di dalamnya.
Bagi masyarakat adat Toro, wana merupakan habitat
tumbuhan dan berkembangbiaknya hewan langka
seperti, Anoa (Lupu), Babi rusa (dolodo), serta berfungsi

52 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


sebagai penyangga kandungan air (sumber air). Selama
ini, wana hanya dimanfaatkan untuk mengambil hasil
hutan non kayu seperti: getah damar, obat-obatan, rotan
serta bahan wewangian. Kepemilikan pribadi (dodoha) di
dalam kawasan ini hanya berlaku terhadap pohon damar
yang tumbuh di dalamnya, di mana kepemilikannya
tergantung pada siapa yang pertama kali mengolahnya.
Selebihnya merupakan hak penguasaan kolektif, sebagai
bagian ruang hidup dan wilayah kelola tradisional
masyarakat (huaka). Kawasan wana ini merupakan
kawasan hutan yang terluas di wilayah adat ngata
Toro (11. 290 Ha)4.
c. Pangale, merupakan kawasan hutan yang terletak di
pegunungan dan dataran, serta termasuk kategori kawasan
peralihan antara hutan primer dan sekunder. Sebagian
dari lahan kawasan hutan ini pernah diolah oleh generasi
pendahulu mereka dan kini telah mengalami suksesi secara
alamiah. Masyarakat Toro menganggap pangale sebagai
lahan cadangan, yang dipersiapkan untuk kebun pada
daerah berlereng dan sawah pada daerah yang datar. Atas
izin dari lembaga adat atau pemerintah desa, masyarakat
dapat memanfaatkan kawasan ini untuk mengambil kayu,
rotan, damar, dan wewangian yang sebatas digunakan
untuk keperluan rumah tangga. Kawasan ini memiliki luas
2.950 Ha.
d. Pahawa Pongko, termasuk dalam kategori kawasan pangale,
merupakan hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan
lebih dari 25 tahun sehingga hampir menyerupai hutan

4 Ngata adalah sebutan untuk desa sebagai istilah asli untuk


menunjuk kesatuan masyarakat hukum di Toro yang memiliki kewenangan
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Toro berdasarkan
asal-usul, adat istiadat dan karakteristik sosial-budaya setempat yang diakui
dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di kabupaten Donggala
(Draft Perdes Toro).

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 53


sekunder. Pohon-pohonnya sudah tumbuh besar dan
bila ingin menebangnya harus menggunakan “pongko”.
Pongko adalah tempat pijakan kaki yang terbuat dari kayu,
diletakkan agak tinggi dari tanah agar dapat menebang
batang pohon dengan leluasa. Hal yang menarik adalah
dengan tonggak bekas tebangan yang agak tinggi ini
diharapkan tunggulnya dapat bertrubus dan tumbuh
tunas baru. Sedangkan pahawa berarti mengganti atau
ganti. Kawasan ini tidak termasuk dalam hak kepemilikan
pribadi, terkecuali pohon damar yang ada di dalamnya.
e. Oma, merupakan lahan bekas kebun yang sering diolah
dan banyak dimanfaatkan untuk tanaman kopi, kakao,
dan tanaman tahunan lainnya. Dalam kawasan ini sudah
melekat hak kepemilikan pribadi (dodoha) dan tidak
bisa diklaim sebagai kepemilikan kolektif (huaka). Oma
diklasifikasikan berdasarkan usia pemanfaatannya yang
terdiri atas 3 (tiga) jenis yaitu :
1) Oma ntua, berarti bekas lahan kebun tua yang telah
ditinggalkan selama 16 - 25 tahun. Usia suksesinya
tergolong tua sehingga tingkat kesuburan tanahnya
sudah pulih kembali. Oma ntua telah siap dan dapat
diolah kembali menjadi kebun.
2) Oma Ngura, berarti bekas lahan kebun muda yang
telah ditinggalkan selama 3 – 15 tahun. Tingkatan
suksesinya masih merupakan tipe hutan yang lebih
muda dibandingkan dengan oma ntua. Pohon-pohonnya
belum tumbuh besar dan masih dapat ditebas hanya
dengan parang. Oma ngura masih merupakan belukar
dan dicirikan dengan masih banyaknya rerumputan.
3) Oma Ngkuku, merupakan lahan bekas kebun yang
usianya 1 - 2 tahun dan dicirikan oleh adanya dominasi
tumbuhan rerumputan.
f. Balingkea, adalah lahan bekas kebun yang usianya 6 bulan
–1 tahun, sehingga tingkat kesuburan tanahnya sudah
54 Dr. Golar, S.Hut, M.Si
berkurang. Namun lahan ini masih sering aktif diolah
kesuburan tanahnya cukup untuk ditanami jenis palawija
seperti jagung, ubi kayu, kacang-kacangan, rica, dan sayur-
sayuran. Kategori lahan oma dan balingkea sudah termasuk
dalam hak kepemilikan pribadi (dodoha).
Terdapat dua kategori adat terkait dengan hak pengua-
saan/ kepemilikan terhadap sumberdaya alam di Toro, yaitu:
(1) Hak kepemilikan bersama/kolektif–komunal (Nanu
Hangkani). Lahan dan segala sumberdaya alam yang ada
di wilayah adat (huaka), adalah milik bersama (seluruh
masyarakat adat ngata Toro). Milik bersama ini mencakup
kawasan hutan wana ngkiki, wana, dan pangale dengan
segala yang ada di dalamnya, kecuali pohon damar
yang sudah diolah oleh orang pertama. Hak komunal ini
tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan, disewakan
(dikontrak) kepada siapapun juga, terutama pihak-
pihak luar yang bukan masyarakat adat ngata Toro. Hak
kepemilikan kolektif/komunal terbatas pada pemanfaatan
yang diatur dan ditetapkan oleh Lembaga Adat Ngata Toro.
(2) Hak kepemilikan pribadi/ individu (Nanu Hadua).
Tanah dan segala sumberdaya alam dapat menjadi milik
pribadi/individu apabila sudah dikelola yang dihitung
mulai pembukaan lahan hutan pertama kali yang disebut
popangalea. Semua tanah/hutan yang dikuasai melalui
popangalea di sebut “dodoha”.
Masyarakat Toro dalam membuka lahan baru mempunyai
proses, keteraturan, dan aturan yang diberlakukan. Terdapat
sejumlah nilai dan norma sosial yang dianut serta dilaksanakan
sebelum melakukan aktifitas pembukaan lahan di luar dan
di dalam kawasan hutan, baik untuk berladang, berkebun,
maupun tujuan lainnya. Norma dan nilai tersebut adalah:
• Melakukan konfirmasi sosial “mepekune, mopahibali”, yang
artinya menanyakan apakah areal itu sudah menjadi milik

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 55


orang lain ataukah belum. Hal tersebut dilakukan guna
menghindari terjadinya sengketa dikemudian hari. Jika
ternyata areal itu belum ada yang memiliki, maka ia dapat
mengajukan permohonan untuk membuka lahan tersebut
kepada lembaga adat, “Mampekune pade mopahi bali hi Totua
Ngata bonanemo maria to pokamaro“.
• Mematuhi kebijakan adat dalam memanfaatkan
sumberdaya hutan. Ketentuan normanya dikelompokkan
menjadi dua kategori yaitu Toipopalia dan Toipetagi.
Toipopalia adalah larangan menebang kayu yang ada pada
palungan sungai, atau kali-kali kecil yang ada di dalam
hutan, yang alirannya melewati pemukiman penduduk.
Larangan untuk menebang pohon juga diberlakukan untuk
pohon yang mempunyai khasiat obat-obatan tradisional.
Toipopalia juga berarti larangan membuka hutan yang di
dalamnya ada pohon damar, dan larangan membuka hutan
sampai pada puncak gunung “nemo mobone maratai pongku
bulu“. Sedangkan Toipetagi merupakan pantangan yang
bersifat mutlak maupun tidak mutlak. Salah satu contoh
adalah “tidak diperkenankan membuka dan mengolah
lahan hutan di mana pada lokasi tersebut terdapat mata air
“ue ntumu mata ue bohe”.
Lahan hutan yang telah dibuka oleh seseorang secara
otomatis menjadi hak miliknya, dan terus berlaku untuk
diwariskan kepada keturunannya. Meskipun lahan tersebut
tidak lagi digarap oleh pemiliknya, namun status kepemilikan
yang melekat padanya tidak akan berubah.
Lahan yang telah dibuka5 dan produktif disebut bone

5 Pembukaan lahan diawali dengan pelaksanaan upacara rituil. Setelah


itu, diikuti dengan kegiatan memaras (mantalu), menebang pohon-pohon kecil
(mampeanai), menebang kayu-kayu besar (motowo kau-kau tobohe), mencincang
dahan kayu yang telah ditebang (morona), mengeringkan (mopokara) selama
lebih kurang satu bulan, yang dilanjutkan dengan membakar (mohuwe),
kemudian lahan telah siap untuk ditanami.

56 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


atau ladang. Lahan ini biasanya ditanami padi, jagung, atau
tanaman pangan musiman lainnya. Setelah beberapa daur
tanam, kesuburannya akan menurun. Lahan yang menurun
kesuburannya akan diberakan oleh pemiliknya. Kategori
lahan yang diberakan oleh pemiliknya disebut balingkea. Meski
demikian, lahan ini masih bisa dimanfaatkan sesekali untuk
menanam sayuran atau tanaman pangan lainnya. Proses
pemanfaatannya disebut mo’balingkea. Lahan yang tidak
dimanfaatkan atau diistirahatkan, sering dimanfaatkan sebagai
lahan penggembalaan ternak.
Balingkea yang telah diistirahatkan lebih dari satu tahun,
dan ditandai oleh tumbuhnya semak disebut oma. Kategori
ini dibedakan menjadi 3, berdasarkan lamanya masa istirahat
yaitu: oma ngkuku (sekitar 1-2 tahun), oma ngura (diistirahatkan
sekitar 3-5 tahun), dan oma ntua (diistirahatkan selama 16-25
tahun). Oma ntua oleh sebagian masyarakat disebut pahawa
pongko (Gambar 13). Di luar kategori tersebut terdapat pula
lahan pekarangan atau kebun, yakni lahan dekat pemukiman
yang intensif diolah sepanjang tahun (pampa). Oleh pemiliknya
lahan ini ditanami dengan sayur-manyur dan tanaman semusim
lainnya. Berbeda dengan lahan bone, balingkea, dan oma, pada
lahan pampa tidak dikenal praktek pinjam garap.
Selain melalui pembukaan hutan primer (mopangalea), di
Toro dikenal pula bentuk penguasaan lahan melalui pewarisan
(motira) atau pembagian harta di antara keturunan. Sistem
pewarisan dibedakan antara lahan yang secara aktual telah
dibagikan di antara ahli waris, dan telah menjadi hak milik
keluarga-keluarga individual, dengan hak akses atas lahan
yang belum dibagikan di antara keluarga-keluarga individual
dan masih dikuasai oleh keluarga besar.

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 57


Pangale
Mo’pangale

Popangale

Bone

Mo’balingkea

Mo’bone Balingkea Keterangan:

: Menunjukkan
daur
Oma pengelolaan
lahan dalam
sistem
: Menunjukan
perubahan
Pampa kategori lahan
seiring daur
produksi

Gambar 13 Siklus pengolahan dan pemanfaatan lahan bergilir


(Diadaptasi dari Sohibuddin 2005).
Gambar 13 Siklus pengolahan dan pemanfaatan lahan bergilir (Diadaptasi dar

Penguasaan harta oleh keluarga besar2005). dibedakan ke


dalam dua jenis penguasaan, yaitu hampupuka dan hampo
ompia. Hampupuka adalah penguasaan oleh rumpun keluarga
Selain melalui pembukaan hutan primer (mopangalea), di Toro dikenal
setingkat marga atas lahan milik bersama disebut ataha, yaitu
penguasaan lahanoma.
berupa lahan Semua
melalui keluarga(motira)
pewarisan individual
atauyang termasuk
pembagian harta di antar
dalam rumpun ini berhak menggarap lahan oma yang dimiliki
Sistem pewarisan dibedakan antara lahan yang secara aktual telah dibagikan
bersama. Keluarga individual dapat membuka sebidang lahan
waris, dan telah
pertanian menjadi
dalam haknamun
oma ini, milik ia
keluarga-keluarga individual,
harus meminta ijin terlebih dengan h
dulu kepada keluarga besarnya melalui keturunan yang paling
lahan yang belum dibagikan di antara keluarga-keluarga individual dan m
dituakan. Sedangkan hampo ompia adalah penguasaan harta oleh
olehrumpun
keluargakeluarga
besar. yang lebih kecil, yakni hanya menjangkau
hubungan antar sepupu satu nenek. Rumpun keluarga ini
menguasai harta bersama yang disebut dodoha berupa harta
dalam rumah seperti emas, dulang, dan mbesa.

58 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


Bentuk akses terhadap lahan yang lain adalah melalui
pola hubungan penyakapan (tenancy) dan alih kepemilikan.
Namun, khusus untuk alih kepemilikan lahan terbatas hanya
bagi warga Toro, dan tidak berlaku bagi pendatang atau orang
luar. Meskipun pembatasan ini tidak diatur secara formal
melalui perdes, masyarakat umumnya mengetahui tentang
pembatasan alih kepemilikan lahan di Toro. Secara ringkas
bentuk-bentuk akses atas lahan yang dikenal dewasa ini,
dan keberlakuannya di antara ketiga etnis yang ada di Toro
disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17 Bentuk-bentuk akses atas lahan komunitas adat Toro

Kelompok Etnis
Pengertian
Moma Uma Rampi
Meminjam garap atas lahan oma un-
Melume Mebolo Pemalu tuk dibuka dan diolah.
Mohon ijin memakai, sifatnya umum,
tidak cuma lahan. Istilah ini juga bia-
sa dipakai untuk pinjam garap lah-
Mesabi,
Mehabi Mesabi an sawah. Catatan: praktik pinjam
Mepulu
garap lahan ini tidak berlaku untuk
pampa, yaitu lahan kebun yang sudah
ditanami tanaman tahunan.
Memberi ganti ala kadarnya untuk
alih kepemilikan lahan secara perma-
Lebih Lebih
nen (harga kekeluargaan). Catatan:
sering sering
Penduduk menolak menyebut tran-
Nahodi memakai memakai
saksi ini sebagai jual beli, melainkan
istilah istilah
memakai istilah “memberi ganti ke-
Moma Moma
capekan” kepada orang yang telah
membuka lahan.
Lebih Lebih Alih kepemilikan lahan secara per-
sering sering manen melalui transaksi jual beli
Naadai memakai memakai dengan harga pasar yang berlaku.
istilah istilah
Moma Moma

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 59


Lebih Gadai alias penjaminan lahan untuk
sering meminjam suatu barang atau uang.
memakai Catatan: Untuk etnis Uma disebut
istilah kakamu kalau barang yang dipin-
Kakamu,
Notagala Moma jam itu benda mati dan pentoe kalau
Pentoe
atau berupa benda hidup. Ada ketentuan
bahasa penjaminan yang berbeda sesuai per-
Indonesia bedaan barang yang dipinjam
(gadai)
Lebih Lebih Pembagian lahan kepada orang lain
Haipo- sering sering karena kemurahan hati.
tiraka, memakai memakai
Ahirara istilah istilah
Moma Moma
Lebih Bagi hasil yang jumlahnya tidak di-
sering tentukan (berdasar kemurahan hati).
Raodo,
Keodo memakai
Kuhaodi
istilah
Moma
Lebih Lebih Sumberdaya milik bersama seluruh
Gagu sering sering anggota komunitas.
huma memakai memakai
ngata istilah istilah
Moma Moma
Sumber: Diadaptasi dari Shohibuddin (2005)

Nilai-nilai dan norma-norma sosial yang dipertahankan


dan diadaptasikan sesuai perkembangan jaman, merupakan
salah satu indikasi masih kuatnya “modal sosial” (social
capital) yang dimiliki komunitas adat Toro. Hal ini merupakan
akumulasi pola hubungan aktif antar individu dalam suatu
komunitas, yang masih dilandasi oleh kepercayaan (trust), dan
saling memahami. Berbagai nilai dan prilaku tersebut makin
meningkatkan kehandalan aksi kolektif dalam komunitas di
Toro (Cohen dan Prusak 2001). Salah satu contoh modal sosial
di Toro adalah sistem nilai gotong-royong (maromu). Semangat
maromu nyata terlihat pada beberapa kegiatan pengolahan

60 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


tanah/hutan di Toro. Sistem ini mengandung nilai saling
membantu meringankan beban pekerjaan satu sama lain. Dari
awal pengelolaan hingga panen, sistem maromu dilakukan
secara bergiliran dari satu keluarga/pribadi kepada yang lain.
Namun demikian, saat ini telah terjadi perubahan pada
sitem nilai maromu. Sistem nilai yang saat ini dikenal dengan
istilah persatuan, telah memiliki orientasi yang berbeda
dengan konteks maromu pada masa lalu (Gambar 14 & 15).
Perbedaan yang dimaksud adalah adanya motivasi ekonomi
yang melandasi pembentukan kelompok persatuan. Awalnya
kelompok ini dibentuk oleh lembaga gereja di Toro, yang
ditujukan untuk menggalang dana pembangunana gereja.
Dalam perjalanannya orientasi komersil kian mendominasi,
ditandai dengan banyaknya terbentuk kelompok-kelompok
persatuan lainnya, yang khusus menyediakan jasa tenaga
kerja bagi siapa saja yang membutuhkan, dengan imbalan
pembayaran upah kerja. Namun demikian, nilai-nilai dan
semangat gotong-royong yang sesungguhya masih tetap ada
di Toro, utamanya dalam pelaksanaan pesta perkawinan,
kematian, dan kegiatan adat lainnya.

Gambar 14 Kelompok maromu Gambar 15 Kelompok maromu


dalam pengelolaan lahan sawah dalam kegiatan menanam padi di
(Foto: Helmy 2005). sawah (Foto: Golar 2005).

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 61


C. Tekanan Penduduk, Ekonomi Pasar, dan Dinamika
Politik
Pertumbuhan dan Tekanan Penduduk
Angka pertumbuhan penduduk menunjukan rata-
rata pertambahan penduduk per tahun pada periode/waktu
tertentu yang dinyatakan dalam persen (%). Terdapat dua
pendekatan yang dapat digunakan untuk menghitung angka
pertumbuhan penduduk, satu di antaranya adalah metode
Pertumbuhan Eksponensial6 (Yasin 2004). Berdasarkan metode
ini diketahui bahwa tingkat pertumbuhan penduduk di Toro
pada periode 1990 - 2004 adalah sebesar 2.1% per tahun, dan
tergolong rendah7 bila dibandingkan tingkat pertumbuhan
penduduk di kecamatan Kulawi (2.51%), Sigi Biromaru
(3.54%), Palolo (6.34%), dan Lore Utara (6.98%). Pertumbuhan
penduduk per lima tahun di Toro disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18 Tingkat rata-rata pertumbuhan penduduk di Toro 1978 - 2004

Jumlah Jumlah Pertumbuhan Kepadatan


Tahun Penduduk rumah (%/tahun) (jiwa/km2)
(jiwa) tangga
1980 1.387 235 1.6 6.0
1985 1.506 274 1.2 7.0
1990 1.598 315 0.4 7.0
1995 1.628 351 4.1 7.0
2000 2.005 502 1.5 9.0
2004 2.133 562 9.0
Sumber: The Nature Conservancy (2004) , diolah.
6 Dalam penelitian ini digunakan metode Pertumbuhan Eksponensial,
dengan formulasi: Pt = Po . e r n di mana Pt = banyaknya penduduk pada
tahun terakhir,Po= jumlah penduduk pada tahun awal, dan e = angka
eksponensial 2,71828.
7 Mengacu pada UU no. 56/1960 maka tingkat kepadatan penduduk
dikategorikan menjadi tidak padat (≤ 50orang/km2), kurang padat (51-250
orang/ km2 ), cukup padat (251 – 400 orang/ km2), dan sangat padat ( ≥ 401
orang/ km2).
62 Dr. Golar, S.Hut, M.Si
Tingkat pertumbuhan penduduk tertinggi terjadi pada
periode 1995 -2000 sebesar 4.1%. Angka tersebut jauh di atas
rata-rata pertumbuhan penduduk tahunan sebesar 1.80% per
tahun. Lonjakan ini terkait erat dengan kerusuhan yang terjadi
di Poso, di mana Toro menjadi salah satu lokasi penampungan
pengungsi. Keadaan ini berlangsung hingga pertengahan
tahun 2001. Di tahun 2002 sebagian pengungsi kembali ke
Poso dan selebihnya memilih untuk menetap di Toro. Bagi
yang menetap dipinjamkan lokasi oleh pemerintah desa untuk
tempat bermukim dan lahan-lahan yang dapat dikelola untuk
bercocok tanam.
Kepadatan penduduk8 Toro pada tahun 2004 adalah
sebesar 9.3 orang/km2. Angka tersebut lebih rendah bila
dibandingkan dengan kepadatan penduduk di kecamatan
Kulawi maupun kecamatan lain di sekitar TNLL, di antaranya
Kecamatan Sigi Biromaru, Palolo, dan Lore Utara. Untuk
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Karateristik demografi untuk tiap-tiap kecamatan di sekitar
TNLL dan Toro periode tahun 1980 - 2002

Klasifikasi Sigi Biro- Palo- Ku- Lore Toro


maru lo lawi Utara
1. Kerapatan pen�- 86.49 42.96 10.35 9.95 9.30
duduk (per km2)
2. Pertumbuhan
penduduk tahu-
nan (%):
a. 1985/1990 2.49 2.01 1.27 3.10 0.92
b. 1990/2004 3.54 6.34 2.51 6.98 2.1
Sumber: The Nature Conservancy 2004.

8 Kepadatan penduduk dihitung berdasarkan total luas wilayah Toro


(229.50 Km2).

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 63


Dalam perspektif emik, tekanan penduduk belum
dirasakan di Toro. Hal ini dibuktikan melalui jumlah lokasi
lahan pertanian yang dikuasai oleh masyarakat, yang rata-
rata berjumlah lebih dari 2 lokasi (Gambar 7). Selain itu, lahan
cadangan masyarakat yang terletak di pangale hingga saat ini
belum dikelola oleh pemiliknya. Hal ini menurut masyarakat
dikarenakan masih mencukupi kebutuhan mereka sehingga
belum dibutuhkan lahan tambahan.

Intervensi Ekonomi Pasar


Intervensi ekonomi pasar telah berpengaruh terhadap laju
konversi lahan, perubahan preverensi ekonomi masyarakat,
dan diversifikasi usaha masyarakat. Toro yang relatif terbuka
dan didukung oleh jaringan jalan yang memadai membuat
masyarakat dengan mudah menjangkau kota-kota atau pusat-
pusat pertumbuhan di daerah sekitarnya, serta memudahkan
akses informasi dari dan ke dalam Toro. Keterbukaan Toro
ditandai pula oleh ketersediaan fasilitas listrik umum, meskipun
masih terbatas. Kedua fasilitas tersebut merupakan sarana
penting yang dapat mendukung berkembangnya penggunaan
sarana transportasi dan komunikasi di kalangan penduduk,
yang menghubungkan mereka dengan masyarakat luas di luar
Toro.
Ketersediaan sarana jalan raya mempermudah pedagang-
pedagang untuk masuk ke Toro. Mulai dari pedagang yang
bertujuan untuk menjual barang kebutuhan sandang dan
pangan, hingga pedagang-pedagang hasil bumi, yang bertujuan
membeli hasil kebun dan sawah milik masyarakat Toro.
Untuk menarik minat masyarakat menjual hasil kebunnya
kepada mereka, sebagian dari pedagang berani untuk
memberikan panjar kepada masyarakat, meskipun lahan-lahan
mereka belum siap untuk di panen. Permintaan yang tinggi
terhadap tanaman komersil, seperti kakao, kopi, dan vanila

64 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


secara langsung berpengaruh terhadap preferensi ekonomi
masyarakat, yang berdampak pada perubahan struktur okupasi
di Toro. Perubahan tersebut ditandai oleh peningkatan jumlah
lahan-lahan yang dikonversi oleh masyarakat untuk ditanami
dengan tanaman komersil (Gambar 16 & 17).
Berdasarkan data yang disajikan pada Gambar 9,
diketahui bahwa laju konversi lahan tertinggi terjadi pada
periode tahun 1990 – 2000 yang mencapai 400 ha ( 41.6%). Laju
konversi lahan yang tinggi disebabkan pula oleh faktor harga
jual komoditas kakao yang terus meningkat di era 90-an, terlebih
setelah Indonesia mengalami krisis moneter di awal tahun 1997
(Ruf 2004). Menurut masyarakat, diakhir tahun 1997 harga jual
kakao mengalami kenaikan dari Rp 2.500.00 per kg menjadi Rp
5.000.00 per kg. Tak berselang lama, di awal tahun 1998 harga
kakao kembali naik hingga mencapai harga Rp 14.000.00 per
kg, bahkan pernah mencapai harga Rp 20.000.00 per kg. Harga
ini terus bertahan hingga awal tahun 2000.

Gambar 16 Tanaman kopi yang Gambar 17 Tanaman kakao yang


dibudidayakan masyarakat di bawah dibudidayakan masyarakat di bawah
tegakan hutan sekunder (Foto: Golar tegakan hutan sekunder (Foto: Golar
2005). 2005).

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 65


Faktor yang juga turut memotivasi masyarakat untuk
mengembangkan tanaman kakao di Toro adalah biaya investasi
yang relatif murah. Hal tersebut disebabkan karena sebagian
besar masyarakat tidak menggunakan pupuk dan pestisida
pada tanaman kakao. Menurut masyarakat, hal ini lebih
disebabkan kondisi tanah-tanah mereka yang subur sehingga
tidak membutuhkan input pupuk. Perbandingan antara
masyarakat yang menggunakan dan tidak menggunakan
pupuk untuk tanaman kakao disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20 Perbandingan antara masyarakat yang menggunakan
pupuk dengan yang tidak menggunakan pupuk pada tanaman kakao
di Toro

Jenis pupuk Jumlah Penduduk Persentase


(jiwa) (%)
Tidak menggunakan
pupuk 1.045 88.2
UREA 18 1.5
TSP 4 0.3
KCL 1 0.1
UREA+ TSP 13 1.1
UREA + KCL 8 0.7
UREA + TSP + KCL 70 5.9
Pupuk Organis 10 0.8
Lain-lain* 16 1.4
Jumlah 1.185 100
Sumber: Sensus Penduduk STORMA (2004).
*Lain-lain = pupuk tablet

Tabel 20 menujukkan bahwa pada umumnya (88.2%)


masyarakat tidak menggunakan pupuk dalam bercocok tanam
kakao. Hal ini lebih disebabkan tingkat kesuburan tanah

66 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


masyarakat yang baik. Kajian yang dilakukan Ruf (2004) pada
dataran tinggi Sulawesi membuktikan bahwa produktifitas
tanaman kakao semakin ditingkatkan oleh kondisi tanah yang
subur dan curah hujan yang tinggi. Tidak adanya musim
kemarau yang sesunggunya, memungkinkan distribusi
pemetikan buah yang lebih baik, sehingga produktifitas kakao
akan lebih tinggi.
Selain pupuk, intensitas penggunaan pestisida pun
tergolong rendah di Toro. Hal tersebut disebabkan karena
tanaman kakao yang mereka tanam, terutama yang ditanam di
bawah tegakan hutan alam dan hutan sekunder, belum pernah
terserang hama yang berarti. Perbandingan jumlah masyarakat
yang menggunakan dan tidak menggunakan pupuk disajikan
pada Gambar 18.

menggunakan
pestisida
tanpa
22%
pestisida

78%

Gambar 18 Perbandingan penduduk yang menggunakan pestisida


dengan yang tidak menggunakannya pada tanaman kakao di Toro
(sumber: Sensus penduduk, STORMA 2004).

Gambar 18 menjelaskan bahwa sebagian besar (78%)


masyarakat Toro tidak menggunakan pestisida untuk tanaman
kakao mereka. Salah seorang informan kunci menjelaskan
bahwa hal tersebut lebih disebakan pada keyakinan masyarakat

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 67


bahwa bila menggunakan pestisida justru akan menimbulkan
kerugian yang lebih besar pada tanaman milik mereka,
utamanya terhadap lahan persawahan yang letaknya di daerah
bawah akan ikut terkena dampak racun yang dihasilkan. Atas
dasar pertimbangan itu, masyarakat lebih memilih untuk
menanggulangi secara alamiah, yaitu dengan meningkatkan
intensitas pemeliharaan tanaman melalui penyiangan,
pemangkasan, dan pembersihan.
Respon lain yang ditunjukkan oleh masyarakat Toro
dalam menghadapi tekanan intervensi pasar adalah melalui
pengembangan usaha berskala lokal, tenaga upahan, dan
alternatif usaha lain; menjadi supir dan membuka warung dan
toko. Saat ini dijumpai sedikitnya 5 unit usaha pemanfaatan
dan pengolahan hasil hutan kayu milik masyarakat di Toro,
seperti usaha meubel dan kusen (Gambar 19 & 20). Usaha-
saha tersebut mulai dikembangkan sejak tahun 2001. Motivasi
awal yang mendorong untuk membuka usaha ini adalah
meningkatnya permintaan lokal terhadap meubel dan kusen.
Hal tersebut di atas terkait erat dengan peningkatan
pendapatan masyarakat dari usaha pertanian, utamanya
kakao. Peningkatan pendapatan atau income masyarakat dari
hasil kebun yang dikelola memberi kekuatan untuk membeli
(daya beli), dan mengkonsumsi barang maupun jasa yang
diperlukannya, agar dia, dan mungkin keluarganya, dapat
hidup layak. Bahkan dari pendapatan itu pula dia dapat
menabung untuk membina sumber-sumber pendapatan yang
lebih besar (Darusman 2002).

68 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


Gambar 19 Usaha Pembuatan Gambar 20 Usaha Pembuatan
kusen masyarakat Toro (Foto: meubel masyarakat Toro (Foto:
Golar 2005). Golar 2005).

Motivasi lain masyarakat untuk mengembangkan usaha


meubel adalah pendapatan yang diperoleh dari usaha ini
lebih menjanjikan. Dalam setiap satu meter kubik kayu yang
diolah, sedikitnya diperoleh Rp 1.500.000.00. Nilai ini jauh
lebih besar bila dibandingkan harga jual kayu log atau papan
yang hanya berkisar antara Rp 300.000.00 - Rp 700.000.00.
Dalam setiap bulannya, unit usaha meubel dan kusen rata-
rata membutuhkan 1 m3 kayu, yang diperoleh dari hutan-
hutan di sekitar Toro (wilayah oma dan pangale9). Para pemilik
usaha memesan kayu kepada warga yang berprofesi sebagai
penebang (chainsaw man), setelah sebelumnya memperoleh
izin dari pihak pemerintah dan lembaga adat. Proses perizinan
dibebankan pada si pemilik usaha yang akan memanfaatkan
kayu tersebut.

9 Saat ini pemanfaatan kayu di wilayah pangale telah dibatasi oleh


lembaga adat. Hal ini dimaksudkan agar fungsi utama lahan tersebut, sebagai
lahan cadangan, dapat tetap terpelihara.

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 69


Sedangkan pihak perempuan (istri) dan anak-anak mereka yang telah dew
masing memiliki proporsi sebesar 20% dan 30%.

23%

57%
20%

Kepalakeluarga Istri Anakdewasa

Gambar 21 Persentase jumlah tenaga kerja upahan di Toro


Gambar 21 Persentase jumlah tenaga kerja upahan di Tor
berdasarkan pembagian jenis kelamin (STORMA 2004, diolah).
berdasarkan pembagian jenis kelamin (STORMA 2004
diolah).
Pekerjaan sampingan rumah tangga di Toro adalah
sebagai tenaga
Sementara itu,upahan,
ragam baik dilakukan
pekerjaan oleh kepala
sampingan yangkeluarga
dilakukan oleh se
(suami), isteri, maupun anak-anak mereka yang telah dewasa
masyarakat di Toro disajikan
guna menambah pada Tabel
pendapatan 21 berikut.
keluarga mereka. Proporsi
pekerjaan yang dilakukan pria lebih besar bila dibandingkan
proporsi
Tabel 21 Ragamkaum perempuan
pekerjaan (Gambar
sampingan 21), di mana sebagian
di Toro
besar
Sumber: (57%) pekerjaan sampingan dilakukan oleh pihak laki-
Jenis pekerjaan Jumlah
laki (kepala keluarga). Sedangkan pihak perempuan jiwa Persentase (%)
(istri) dan
anak-anak Buruh
merekataniyang telah dewasa masing-masing
295 memiliki 80.4
Pengolahan padi
proporsi sebesar 20% dan 30%. 2 0.5
Pedagang pengumpul 5 1.4
Sementara itu, ragam pekerjaan sampingan yang
Pencari rotan dan penebang 40 10.9
dilakukan oleh sebagian besar masyarakat di Toro disajikan
pohon 3 0.8
pada Tabel 21 berikut.
Supir mobil 4 1.1
Menjaga toko 18 4.9
Usaha kerajinan
Jumlah 362 100

Penduduk STORMA (2004), diolah


70 Dr. Golar, S.Hut, M.Si
Tabel 21 Ragam pekerjaan sampingan di Toro

Jenis pekerjaan Jumlah jiwa Persentase (%)


Buruh tani 295 80.4
Pengolahan padi 2 0.5
Pedagang pengumpul 5 1.4
Pencari rotan dan penebang 40 10.9
pohon 3 0.8
Supir mobil 4 1.1
Menjaga toko 18 4.9
Usaha kerajinan
Jumlah 362 100
Sumber: Sensus Penduduk STORMA (2004), diolah

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 71


Tabel 21 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar
(80%) masyarakat di Toro memperoleh penghasilan tambahan
melalui kegiatan buruh tani (pengolahan lahan, penanaman,
pemanenan, pembersihan lahan, membuat pondok-pondok.
Sementara pekerjaan sampingan terbesar setelah buruh tani
adalah kegiatan mengumpulkan rotan dan penebangan pohon
(10.9%). Menurut informasi masyarakat bahwa kegiatan buruh
tani dilakukan pada lahan-lahan milik keluarga dan kerabat
mereka, dan umumnya yang tinggal satu dusun dengan
mereka. Meskipun demikian, mereka juga sering membatu
kerabat mereka yang berasal dari dusun lain di Toro. Bentuk
upah yang diterima dapat berupa uang, persen bagi hasil, dan
balasan tenaga. Namun, saat ini umumnya mereka menerima
upah dalam bentuk uang tunai. Situasi ini berlangsung terutama
setelah terbentuknya kelompok persatuan di tiap-tiap dusun
di Toro yang dibentuk untuk menggalang dana dari pemilik
lahan, baik untuk kepentingan kolektif (perbaikan rumah
ibadah), maupun kebutuhan tiap-tiap individu yang terlibat
di dalamnya. Kelompok ini dikoordinir di tiap-tiap dusun di
Toro.
Selain usaha tersebut di atas, berkembang pula usaha
warung dan toko yang melayani kebutuhan sehari-hari
masyarakat. Motivasi yang mendorong mereka membuka
warung maupun toko di Toro adalah tingginya permintaan,
utamanya setelah Toro menjadi salah satu lokasi penelitian
STORMA dan institusi lainnya.

Dinamika Politik
1. Dinamika Internal
Ragam etnis yang ada di Toro menimbulkan persoalan-
persoalan politik. Persoalan dimaksud terkait dengan sistem
tenurial di Toro, yang meliputi distribusi hak pemilikan dan

72 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


penguasaan lahan yang tidak “berimbang” antara etnis asli
(Moma) dan etnis pendatang (Rampi dan Uma). Perbedaan
terhadap hak pemilikan dan penguasaan lahan sering memicu
munculnya konflik internal di Toro, utamanya terkait dengan
aktifitas pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan. Hasil
wawancara dengan salah seorang responden kunci di dusun
VII, terungkap bahwa etnis pendatang, utamanya etnis Rampi
hingga saat ini masih ragu terhadap kejelasan status lahan-
lahan yang dikuasainya saat ini. Hal tersebut dilatarbelakangi
oleh munculnya sejumlah konflik lahan antara etnis asli dan
pendatang (Rampi dan Uma), seperti kasus berikut10.
....beberapa tahun yang lalu, salah seorang warga Toro
dari etnis Rampi mengelola lahan dan menanaminya
dengan tanaman keras (kakao). Setelah lahan itu
berhasil ditanami muncul klaim dari pihak etnis
Moma, yang juga merasa memiliki lahan tersebut.
Mereka mengatakan bahwa lahan tersebut adalah
popangalea orang tua mereka. Masalah ini kemudian
diajukan kepada lembaga adat untuk diselesaikan,
namun lembaga adat saat itu tidak mengambil sikap
tegas, dan terkesan berpihak pada etnis asli (Moma)...
Kasus tersebut menunjukkan bahwa kekhawatiran
terhadap status lahan yang dialami etnis Rampi maupun
etnis Uma tidak terlepas dari eksistensi mereka sebagai etnis
pendatang. Meskipun lembaga adat dan pemerintah desa telah
memberikan jaminan dan pengakuan bahwa mereka adalah
warga Toro, etnis Rampi tetap merasa khawatir terutama
terhadap kepastian hak penguasaan dan pemilikan lahan di
Toro. Penjelasan terhadap kasus tersebut disampaikan oleh
salah seorang anggota lembaga adat di Toro, yang menyatakan
bahwa hal tersebut erat kaitannya dengan latar sejarah
kedatangan dan proses perolehan lahan etnis Rampi dan Uma
di Toro. Kedua etnis ini memperoleh lahan garapan melalui
10 Wawancara dilakukan di Dusun VII pada tanggal 22 Juli 2005,
pukul 16.20 WITA.

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 73


pemberian dan sebagian melalui pembelian (terutama etnis
Uma), bukan melalui proses pembukaan lahan (mo’pangale).
Olehnya, kedua etnis ini tidak berhak terhadap lahan-lahan
yang dahulunya telah di buka oleh orang-orang tua etnis asli di
Toro (Oma dan Pangale). Di kedua tipe lahan ini umumnya telah
memiliki status penguasaan yang jelas, meskipun hingga saat
ini lahan-lahan tersebut tidak atau belum dikelola masyarakat.
Salah satu bentuk respon yang dilakukan oleh etnis
pendatang untuk memperoleh lahan adalah dengan cara
pembelian kepada etnis asli. Dalam proses jual beli yang
melibatkan etnis Rampi maupun Uma biasanya dilakukan di
kantor Desa. Inisiatif yang datang dari etnis Rampi maupun
Uma merupakan salah satu upaya mereka untuk memperoleh
jaminan atas transaksi jual beli lahan yang mereka lakukan.
Setelah itu mereka mengupayakan untuk segera memperoleh
surat keterangan dari desa, baik itu berupa surat penyerahan,
maupun surat keterangan, yang intinya menyatakan bahwa
tanah tersebut telah dibeli dan kini sah menjadi milik mereka.
2. Dinamika Eksternal
Lembaga swadaya masyarakat dan dinamika sosial di Toro

Gerakan ORNOP di Sulawesi Tengah mulai muncul


sekitar tahun 1980-an dengan isu lingkungan hidup sebagai
ruang lingkup aksinya. Dalam perkembangannya ORNOP-
ORNOP tersebut mulai menunjukkan orientasi dan spesialisasi
yang berbeda, seperti kegiatan-kegiatan pemberdayaan
masyarakat (community development) dan advokasi lingkungan
(shohibuddin 2003). Perkembangan ORNOP tidak saja pada
lingkup lokal, namun juga muncul melalui jalur internasional
seperti CARE dan TNC. Hal yang mencirikan ORNOP
internasional adalah orientasi gerakan yang lebih difokuskan
pada isu-isu konservasi di dalam dan di sekitar TNLL.
Isu-isu beragam yang diperjuangkan oleh tiap-tiap

74 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


ORNOP sering menimbulkan persaingan, utamanya dalam
memperebutkan basis atau dampingan demi mendapatkan
dukungan di tingkat masyarakat. Kondisi ini justeru
menimbulkan dampak negatif terhadap eksistensi masyarakat
khususnya dalam memanfaatkan sumberdaya alam, seperti
kasus yang dialami Dongi-dongi11 di kawasan TNLL (Alimudin
Paada 2006, diskusi pribadi).
Dalam konteks Toro, secara internal mereka telah
memproteksi diri terhadap kemungkinan terjadinya hal
tersebut. Para tokoh pimpinan di Toro selalu menekankan
bahwa ”masyarakat Toro bukanlah dampingan dari ORNOP
manapun”. Namun mereka tetap terbuka bagi kehadiran
berbagai ORNOP di Toro, selama memiliki misi dan tujuan
yang jelas. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dapat leluasa
berinteraksi dengan pihak manapun, yang dapat memberikan
manfaat bagi masyarakat Toro.
Di masa perjuangan (1993 – 2000), ORNOP yang pertama
masuk di Toro adalah CARE (1994). ORNOP ini membawa
misi community development, dengan sasaran utama untuk
membantu peningkatan keterampilan masyarakat di Toro
melalui pelatihan pembuatan baju adat yang terbuat dari kulit
kayu. Selang dua tahun kemudian atau tepatnya di tahun 1996,
CARE kembali memfasilitasi pembuatan sarana sanitasi air.
Dalam pelaksanaannya, CARE memfasilitasi bahan baku dan
masyarakat secara bergotong-royong mengerjakannya.
Ditahun 1999 masyarakat Toro bersama-sama dengan
Yayasan Tanah Merdeka (YTM) dan Yayasan Pendidikan Rakyat
(RPR) melaksanakan pertemuan tingkat regional masyarakat
adat se-Sulawesi Tengah. Di tahun yang sama Natural Resource

11 Rusaknya kawasan hutan Dongi-dongi merupakan akibat nyata


adanya kotroversi dari berbagai ORNOP yang pro dan kontra terhadap
pendudukan masyarakat pada kawasan konservasi Dongi-dongi. Kontorversi
yang terjadi menimbulkan perdebatan dan konflik di antara ORNOP di
Sulawesi Tengah (Abbas et al. 2002).

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 75


Management (NRM) bekerjasama dengan Yayasan JAMBATA
juga melangsungkan workshop di Toro terkait dengan tema
pemberdayaan kelompok pengrajin baju adat di sekitar TNLL.
Pada akhir tahun 1999, atas prakarsa masyarakat Toro difasilitasi
oleh YTM dan Jaringan Kemitraan Pemetaan Partisipatif (JKPP)
melakukan penggalian pengetahuan tradisional di Toro dan
pembuatan peta partisipatif penggunaan lahan tradisional di
Toro.
Ditahun 2000, atas dukungan CARE, pimpinan di
Toro membantu proses revitalisasi terhadap hukum adat,
pengetahuan lokal, dan tradisi di desa Sungku. Hal sama
dilakukan pula di desa Marena, dan Oo Parese, atas dukungan
LBH Bantaya dan Awam Green. Ditahun yang sama, YTM
kembali memfasilitasi masyarakat untuk melaksanakan diskusi
publik masyarakat di sekitar TNLL. Selain itu, antara tahun
2000 dan 2001 Toro mendapatkan kunjungan dari berbagai
kelompok masyarakat diantaranya: masyarakat Katu, Toli-
toli, masyarakat adat Da’a, masyarakat Tinombo, anggota the
Community Forestry Organization; masyarakat adat Kutai Barat,
yang masing-masing difasilitasi oleh YTM, Dopalak, dan YPR.
Di tahun 2001, dengan difasilitasi oleh Nawakamal
Foundation, salah satu ORNOP dari Jogyakarta, dilakukan
monitoring dan evaluasi terhadap hasil-hasil peta partisipatif
lahan tradisional di Toro. Ditahun yang sama, ORNOP
Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah
(KPKP-ST) dan yayasan Nadi memfasilitasi workshop untuk
mendapatkan pengakuan hak-hak perempuan.
Atas dukungan dana dari The Nature Conservancy (TNC),
maka di tahun 2001 dilakukan monitoring dan inspeksi
terhadap lahan-lahan tradisional dan kawasan hutan di Toro
oleh Tondo ngata dan POLHUT. Selanjutnya, ditahun 2002 – 2003
atas inisiatif OPANT dan didukung oleh The Asian Foundation
dilakukan kegiatan pemberdayaan perempuan di tiga desa
(Bolapapu, Sungku, dan Mataue). Di tahun yang sama YTM

76 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


memfasilitasi penyelesaian sengketa tata batas antara Toro dan
Katu di tahun 2002. Selang beberapa bulan, atas dukungan dari
Jambata Foundation, Toro kembali menerima kunjungan dari
masyarakat adat Buol untuk berbagi pengalaman terhadap
pengelolaan sumberdaya hutan di Toro. Di tahun 2003, atas
dukungan Tadulako Foundation dilakukanlah diskusi lintas
desa (sindue, Bora, Bunga, Balaesang, dan Toro) di Toro.
Uraian-uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa
kiprah dan peran ORNOP cukup besar di Toro, utamanya
selama fase-fase perjuangan dan pengakuan (1993-2000). Tidak
seperti desa-desa lainnya di sekitar TNLL, yang merupakan
dampingan ORNOP tertentu, di Toro tidak ada satupun ORNOP
yang mengklaim sebagai pendamping desa ini. Walaupun
demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa eksistensi lembaga-
lembaga swadaya masyarakat di Toro telah memberikan
kontribusi terhadap perubahan dan percepatan revitalisasi
yang berlangsung .
Taman nasional dan konflik tenurial di Toro
Berdasarkan UU No.5/1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, taman nasional
didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang
memiliki ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang
dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
Sebagai kawasan pelestarian alam, taman nasional memiliki
fungsi lindung sistem peyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan
secara lestari sumberdaya hayati dan ekosistemnya.
TNLL memiliki status hukum sebagai taman nasional
sejak dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
No.593/Kpts-II/1993. Sebelumnya, dari tahun 1982 kawasan
ini masih berstatus sebagai calon taman nasional setelah
dideklarasikan pada Kongres Taman Nasional Sedunia di Bali

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 77


melalui keputusan Menteri Pertanian No.736/Menteri/X/1982.
Dasar hukum TNLL tercakup dalam status Suaka Margasatwa
Lore Kalamanta (131.000 ha) yang ditetapkan berdasarkan SK.
Menteri Pertanian No. 522/Kpts/Um/10/73 tanggal 20 Oktober
1973; Hutan Wisata Danau Lindu (31.000 ha) yang ditetapkan
berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 46/Kpts/Um/1/78
tanggal 25 Januari 1978; dan Suaka Margasatwa Sungai Sopu
yang ditetapkan berdasarkan SK. Menteri Pertanian No.
1012/Kpts/Um/12/81 tanggal 10 Desember 1981. Kawasan
ini dikukuhkan sebagai TNLL oleh Menteri Kehutanan dan
Perkebunan melalui Keputusan No.464/Kpts-II/1999 tanggal
23 Juni 1999, dengan luas kawasan 217.991.18 ha.
Sebelum terbentuknya TNLL, pengakuan sebagai
kawasan konservasi telah dimulai. Beberapa pengakuan
antara lain: (a) sebagai suaka biosfer UNESCO (tahun 1977),
di mana areal ini diresmikan sebagai suaka biosfer di dalam
Program Man and the Biosphere (MAB) UNESCO; (b) usulan
lokasi warisan dunia (World Heritage Site) UNESCO, dengan
pertimbangan bahwa lokasi ini memiliki peran budaya dan
arkeologi, serta memiliki peran ekologi dan lansekap; (c)
sebagai kawasan burung endemik (EBA), di mana Birdlife
International telah mengidentifikasi 218 kawasan burung
endemik (EBA), termasuk EBA Sulawesi. Empat puluh dua
jenis yang berhabitat terbatas merupakan burung endemik
Sulawesi. Sebagai tambahan, 12 jenis dengan habitat terbatas
dimiliki EBA Sulawesi dan EBA-EBA lain. Secara keseluruhan,
48 jenis yang terbatas habitatnya telah tercatat di Sulawesi
Tengah, 46 di antaranya telah terlihat di TNLL; (d) Sebagai
Pusat Keanekaragaman Tumbuhan (CPD); dan (e) Wilayah
Ekologi Global 200 (Global 200 Ecoregions-G200 ES) (BTNLL
2004)
Eksistensi kawasan konservasi tersebut ternyata
menimbulkan persoalan politik bagi masyarakat Toro.
Persoalan utama yang muncul adalah “klaim pihak pengelola

78 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


kawasan konservasi terhadap wilayah adat Toro”, yang
mencapai 80% dari total luas wilayah di Toro. Klaim sepihak
ini terjadi pada tahun 1973. Saat itu, petugas pemerintah
yang ditugaskan untuk melakukan penataan batas mencoba
memperdaya masyarakat, dengan sejumlah janji-janji yang
ditawarkan. Mereka mencoba meyakinkan masyarakat
bahwa tidak ada maksud untuk mengambil alih lahan-lahan
masyarakat, dan pemasangan PAL batas hanya sekadar simbol
dari status kawasan Suaka Margasatwa Lore Kalamanta, dan
tidak akan berdampak apa-apa terhadap masyarakat. Di luar
dugaan masyarakat, setelah satu tahun pemasangan PAL batas
pihak pemerintah mengeluarkan ketentuan sepihak, bahwa
lahan-lahan yang telah dibatasi oleh PAL batas merupakan
kawasan Suaka Margasatwa milik pemerintah, dan tidak boleh
dimasuki oleh siapa pun termasuk masyarakat Toro. Padahal
jauh sebelum penetapan status kawasan tersebut, hutan-hutan
telah dikelola oleh masyarakat Toro, sehingga wajar bila
mereka merasa keberatan atas pengambilan paksa oleh pihak
pemerintah terhadap lahan-lahannya.
Penetapan status kawasan konservasi otomatis
melumpuhkan peran otoritas lembaga Adat dalam mengatur
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di wilayah
hukum adat Toro. Ketika masyarakat menghadapi tekanan atas
hak komunal dan hak pribadi mereka, Lembaga Adat tidak lagi
berdaya memainkan fungsi advokasinya. Implikasi lebih jauh
yang ditimbulkan berupa hilangnya kewibawaan lembaga Adat
di hadapan masyarakat saat itu, karena lembaga adat dinilai
tidak mampu lagi melindungi kepentingan masyarakatnya.
Pengambil-alihan lahan secara paksa dan disertai
intimidasi bagi yang melanggar ketentuan sepihak tentang
batas kawasan telah memancing gelombang protes, baik di
tingkat lembaga adat maupun di tingkat masyarakat. Meskipun
masyarakat sering tidak kuasa melawan secara terbuka, tetapi
tindakan-tindakan petugas justeru kian mendorong resistensi

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 79


masyarakat Toro terhadap TNLL. Mereka menganggap TNLL
sebagai ”ancaman”, olehnya harus ditolak. Contoh kasus yang
dapat menjelaskan bentuk perlawanan yang dilakukan, yaitu:
”pelanggaran terhadap aturan tentang larangan memasang jerat
untuk tujuan menangkap atau membunuh binatang buruan”;
serta dilanggarnya ketentuan larangan dari pihak pemerintah
untuk mengambil rotan di dalam kawasan hutan.
Sikap penolakan yang ditunjukkan masyarakat sering
memunculkan arogansi pihak pemerintah. Bila petugas
menemukan anggota masyarakat yang mengambil atau
membawa rotan, maka petugas jagawana serta-merta
menyita dan memotong-motong rotan tersebut. Fenomena
ini menunjukkan hubungan yang rentan antar pihak
pemerintah dengan masyarakat. Di satu sisi pihak pemerintah
mendemonstrasikan kekuatan represif, di sisi lain masyarakat
menunjukkan sikap perlawanan dalam bentuk pelanggaran
atas larangan-larangan yang diberlakukan oleh pemerintah.
Selain itu, ketimpangan penguasaan dan kepemilikan
tanah dipicu pula oleh penerbitan sejumlah izin pemanfaatan
lahan di TNLL dari pemerintah daerah kepada pihak swasta.
Di kawasan TNLL, tepatnya di Napu terdapat perkebunan
kopi dan Teh milik PT. Hasfarm seluas 7.740 ha; di Gimpu
terdapat perkebunan kopi arabika milik PT. Gimpu Jaya
Coklat seluas 5000 ha; di Palolo terdapat perkebunan kakao
seluas 99 ha milik PT. Sintuvu Karya; dan di Kulawi terdapat
perkebunan kopi arabika seluas 275 ha milik PT. Tongkolowi
Makmur, kopi arabika seluas 125 ha milik KPN Adhyaksa
Kejati, perkebunan cengkeh seluas 375 ha milik PD Sulteng di
Kulawi, dan perkebunan kakao seluas 99 ha milik PT. Kebun
Sari Adi Dharma di Toro.
Di satu sisi masyarakat dibatasi akses terhadap lahan
hutan, di sisi lain pemerintah daerah ”membagi-bagi lahan
untuk kepentingan pihak swasta (Sangaji 2002). Kondisi tersebut
diterjemahkan oleh masyarakat sebagai wujud ketidakadilan

80 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


penguasa terhadap rakyatnya. Hal inilah yang memicu konflik
tenurial terhadap sistem pemilikan dan penguasaan yang
berbasis masyarakat adat dengan yang berbasis pemerintah di
kawasan TNLL.

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 81


82 Dr. Golar, S.Hut, M.Si
BAB V
REVITALISASI KELEMBAGAAN
ADAT DALAM PENGELOLAAN
SUMBER DAYA HUTAN

D alam bab sebelumnya telah diuraikan tentang perubahan


lingkungan yang terjadi di Toro, baik disebabkan oleh
intervensi ekonomi pasar maupun yang disebabkan oleh
dinamika politik. Perubahan yang terjadi mendorong respon
kolektif masyarakat Toro untuk melakukan revitalisasi
kelembagaan adat.
Pembahasan dalam bab ini diawali dengan uraian tentang
bagaimana dinamika internal dan eksternal yang terjadi di
Toro serta aktor-aktor yang memainkan peranan dalam proses
revitalisasi kelembagaan adat. Selanjutnya diuraikan pula
performansi kelembagaan adat dalam mengatur pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya hutan, dalam perspektif etik
dan emik terhadap revitalisasi kelembagan adat di Toro.

A. Dinamika Kolektif Komunitas Toro


Seperti diuraikan terdahulu, bahwa revitalisasi
kelembagaan adat merupakan wujud respon kolektif
masyarakat terhadap perubahan lingkungan yang terjadi di

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 83


Toro, baik disebabkan oleh faktor intervensi ekonomi pasar,
maupun dinamika politik, yang berdampak pada sistem sosial
masyarakat, terutama dalam berinteraksi dengan sumberdaya
lahan dan hutan di Toro.
Pembahasan tentang respon kolektif masyarakat Toro
dikelompokkan ke dalam dua sub-bab, yaitu: (a) respon
masyarakat Toro pra-pengakuan oleh pihak Balai TNLL; dan
(b) respon masyarakat Toro pasca pengakuan Balai TNLL.

Respon Masyarakat Toro Pra-Pengakuan BTNLL (1993-2000)


Seperti diuraikan sebelumnya, perjuangan masyarakat
Toro untuk merevitalisasi kelembagaan adat membutuhkan
waktu yang cukup lama, dimulai sejak tahun 1993 hingga
sekarang. Didampingi oleh sejumlah ORNOP, masyarakat
Toro telah melakukan inventarisasi dan mendokumentasikan
kembali pengetahuan-pengetahuan tradisional, norma-
norma, dan adat-istiadat terkait pola interaksi mereka dengan
sumberdaya hutan.
Langkah awal yang dilakukan adalah dengan
membangun kembali Lobo (Gambar 22), sebuah bangunan
tempat pertemuan adat. Lobo memiliki arti yang sangat penting
bagi masyarakat Toro. Selain fungsinya sebagai tempat untuk
melakukan pertemuan dan musyawarah adat, Toro merupakan
“spirit kehidupan” dan simbol pemersatu (simbol kolektifitas)
masyarakat Toro. Dengan dibangunnya lobo, sama halnya
membangun kembali semangat kolektifitas di Toro. Semangat
kolektifitas tersebut amat penting, terutama dalam menjaga
kekokohan kelembagaan yang telah ada (bdk. Ostrom 1999;
Ghate 2004; Badstue et al. 2006).

84 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


Gambar 22 Lobo, bangunan adat Toro (Dokumentasi : Golar 2005).

Mengacu pada laporan Sohibuddin (2003), bahwa


pembangunan lobo dan berbagai proses-proses yang terjadi
di dalamnya telah membenihkan semangat awal revitalisasi,
utamanya terhadap aspek-aspek tradisi yang sepenuhnya
berasal dari prakarsa lokal masyarakat Toro. Semangat awal
revitalisasi tersebut diikuti dengan proses pendokumentasian
terhadap sistem nilai, norma sosial, hukum adat, dan sejumlah
pengetahuan lokal yang terkait dengan pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya hutan.
Di tahun 1998, pemerintah Toro yang difasilitasi oleh YTM
melakukan dialog dengan berbagai pihak, termasuk dengan
lembaga adat dan 8 kepala desa dari 8 desa yang desanya
berbatasan langsung dengan TNLL. Melalui pertemuan
tersebut berhasil disusun naskah dokumentasi mengenai
potensi dan pengetahuan ekologis, tata guna lahan tradisional,
serta berbagai praktek-praktek kearifan tradisional dalam
memanfaatkan lahan dari pendahulu-pendahulu mereka di

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 85


Toro. Hasil pertemuan tersebut dijadikan salah satu dasar bagi
masyarakat Toro untuk membuat peta partisipatif (Gambar 24).
Peta ini memuat kategorisasi sistem tenurial tradisional adat
Toro, sebagai dasar dalam pengaturan tata guna lahan di Toro
saat ini. Pembuatan peta partisipatif awalnya diprakarsai oleh
YTM. Sistem kategorisasi lahan yang awalnya masih merupakan
peta mental dalam alam kognitif (cognitive map) masyarakat,
ditranser secara visual dan grafis melalui pemetaan partisipatif.
Dari sudut pandang politik, pemetaan partisipatif
amat penting dilakukan. Peta merupakan gambaran simbol
dan instrumen kekuasaan. Seperti TNLL, yang tidak saja
menggambarkan lokasi dan batas-batas kawasan itu, tetapi
sekaligus memperlihatkan siapa yang memiliki kewenangan
atau kuasa kontrol atas wilayah itu dan sumberdaya yang ada
di dalamnya. Dengan demikian, peta TNLL telah mengeliminir
penguasaan masyarakat Toro atas lahan di wilayah hukum
adatnya.
Peniadaan hak-hak tenurial harus dilawan dengan akal
sehat, melalui pembekalan yang diberikan kepada masyarakat
tentang pengetahuan tentang hak-hak tenurial (Sangaji 2002).
Hal inilah yang dilakukan oleh YTM di tahun 1997. Diawali
dengan upaya fasilitasi kepada masyarakat Toro, melalui
pelatihan dasar-dasar pembuatan peta kepada pemuda di
Toro. Kegiatan pelatihan meliputi cara pembuatan skala peta,
arah mata angin, membaca peta topografi, dan survey dengan
menggunakan kompas dan global positioning system (GPS).
Setelah itu, mereka dilatih pula cara-cara menggambar peta.
Output yang dihasilkan saat itu adalah sebuah peta, yang
di dalamnya secara rinci menggambarkan sistem kategorisasi
lahan tradisional adat Toro beserta letak dan posisinya secara
pasti di lapangan (Gambar 23). Peta partisipatif tersebut
digunakan oleh masyarakat untuk mengkomunikasikan hukum
adat mereka, yang terkait dengan pemilikan dan penguasaan
sumberdaya alam, termasuk di dalamnya membantu dalam

86 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


menyelesaikan sengketa dengan pihak lain, memperoleh
pengakuan atas wilayah adat, membantu menyusun rencana
pengelolaan sumberdaya alam, serta membantu mewariskan
kepada generasi yang akan datang tentang sejarah, tradisi,dan
hukum adat di Toro (Sangaji 2002).

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 87


88
Dr. Golar, S.Hut, M.Si
Gambar 23 Peta partisipatif wilayah adat Toro (Sumber: Arsip desa Toro 2005).
Melalui peta partisipatif, masyarakat Toro dapat
memberikan penegasan kembali mengenai asal-usul hak
terhadap wilayah hukum adat, yang selama ini diklaim sebagai
wilayah TNLL. Mereka juga mencoba untuk merasionalkan
Melalui peta partisipatif, masyarakat Toro dapat memberikan penegasan
pola pemanfaatan lahan yang selama ini mereka terapkan,
yang merupakan
mengenai asal-usulkonkritisasi
hak terhadap upaya-upaya
wilayah hukumkonservasi dan ini diklaim
adat, yang selama
dikemas
wilayah dalam konteks
TNLL. Mereka budaya
juga dan
mencoba religi
untuk masyarakatpola
merasionalkan Toro
pemanfaatan lah
(bdk. Soedjito & Sukara 2006).
selama ini mereka terapkan, yang merupakan konkritisasi upaya-upaya konser
Balai TNLL merespon positif upaya yang dilakukan
dikemas dalam konteks budaya dan religi masyarakat Toro (bdk. Soedjito & Sukara
oleh masyarakat Toro, dan memandang apa yang dilakukan
Balai TNLL merespon
dan diperjuangkan positif upaya
oleh masyarakat Toroyang
perludilakukan oleh masyarakat T
mendapatkan
dukungan,
memandang dalam
apa rangka pengembangan
yang dilakukan keterpaduanoleh
dan diperjuangkan sudut
masyarakat Tor
pandang yang proaktif dan holistik terhadap kondisi sosial,
mendapatkan dukungan, dalam rangka pengembangan keterpaduan sudut panda
ekologi, dan budaya masyarakat di sekitar TNLL. Selain itu,
proaktif dan holistik terhadap kondisi sosial, ekologi, dan budaya masyarakat d
secara normatif sistem kategorisasi lahan yang dibuat oleh
TNLL. Selain
masyarakat itu, secara
Toro normatif
dianggap sistem keselarasan,
memiliki kategorisasi lahan yang dibuat oleh ma
walaupun
tidak sama, dengan sistem pengelolaan taman nasional
Toro dianggap memiliki keselarasan, walaupun tidak sama, dengan di sistem pen
Indonesia (Gambar 24). Olehnya akan lebih memberikan
taman nasional di Indonesia (Gambar 24). Olehnya akan lebih memberikan
jaminan terhadap keberlanjutan pengelolaan TNLL (Helmy
terhadap
2005, keberlanjutan
diskusi pribadi, pengelolaan
Juli 2005). TNLL (Helmy 2005, diskusi pribadi, Juli 2005).

Zona Inti Wana


Ngkiki
Kategorisasilahanadat
SistemZonasi TNLL

Zona
rimba Wana
Zona
Tradisional Kesetaraan
Pangale
Zona
pemanfaatan Oma &
Intensif
Balingkea

Gambar
Gambar24
24Keselarasan
Keselarasan sistem
sistem zonasi
zonasi TNLL
TNLL dan dan kategorisasi
kategorisasi lahan adat lahan
Toro. adat Toro.

AdaptasiWujud konkrit
Masyarakat pengakuan
Tepian yang
Hutan dalam diberikan
Pengelolaan oleh pihak
Sumberdaya Balai TNLL
Hutan 89 kepada ma
Toro adalah dikeluarkannya surat pernyataan, yang intinya merupakan pe
terhadap hak masyarakat Toro terhadap wilayah hukum adat seluas 18.000
Wujud konkrit pengakuan yang diberikan oleh pihak
Balai TNLL kepada masyarakat Toro adalah dikeluarkannya
surat pernyataan, yang intinya merupakan pengakuan
terhadap hak masyarakat Toro terhadap wilayah hukum adat
seluas 18.000 ha, yang awalnya diklaim sebagai bagian dari
TNLL. Pengakuan ini diikuti pula dengan penandatanganan
piagam kesepakatan pengawasan TNLL, antara pihak Balai
TNLL dengan masyarakat Toro (Gambar 25 & 26) pada tanggal
18 Juli 2000.

Gambar 25 Salah seorang Gambar 26 Masyarakat Adat Toro


angota Totua Ngata berpose bersama di sekeliling
menyerahkan piagam Prasasti Pengakuan (Foto:
kesepakatan kepada Kepala Dokumentasi masyarakat Toro
Balai TNLL (Foto: Dokumentasi 2000).
masyarakat Toro 2000).
Penandatanganan prasasti tersebut merupakan bentuk
simbolik rencana legal kerja sama antara kelembagaan adat
dan BTNLL. Butir-butir kesepakatan pada intinya berisi
pengakuan atas hak lahan komunal masyarakat adat Toro,
yang berimplikasi pada pelimpahan kewenangan dalam hal
pengelolaan sumberdaya hutan, dari pihak BTNLL kepada
pihak lembaga adat Toro, serta pengawasan bersama terhadap
kelestarian TNLL.
Pengakuan tersebut mengandung makna politik yang
telah memberikan jaminan rasa aman bagi masyarakat Toro
dalam mempertahankan kehidupan mereka di atas tanah

90 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


leluhurnya, serta membangkitkan kembali tanggung jawab
masyarakat untuk mengotrol wilayah tradisional dan kawasan
TNLL secara kolektif. Dalam situasi demikian, hubungan dan
ikatan kolektif antara pihak BTNLL dengan lembaga adat
dapat menjadi modal sosial (social capital) yang memungkinkan
dilindunginya hutan-hutan yang masih tersisa di TNLL (Grant
2001; Flint & Luloff 2005; Kartodihardjo 2006; Abubakari et al.
2016).

Respon Masyarakat Toro Pasca-Pengakuan BTNLL


(2000-sekarang)
Pasca pengakuan antara masyarakat dan BTNLL,
lembaga adat kembali berdaya dalam mengelola sumberdaya
lahan dan hutan. Mulai dari pemanfaatan lahan dan hasil
hutan hingga pengawasan terhadap wilayah hukum adat
menjadi kewenangan lembaga adat Toro. Dengan berdayanya
lembaga adat dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya hutan, diharapkan kelestarian sumberdaya hutan
TNLL akan lebih terjamin. Namun demikian, pasca pengakuan
muncul berbagai kasus terkait pemanfaatan hasil hutan kayu
secara illegal di Toro, seperti yang dijelaskan salah seorang
informan kunci (FL 2005), sebagai berikut.
.... pasca penandatanganan prasasti kesepakatan,
muncul aktifitas illegal loging yang diduga merupakan
hasil kerjasama antara oknum masyarakat Toro
dengan pihak luar. Saat itu, tanpa izin dari lembaga
adat, oknum tersebut melakukan penebangan pohon
di wilayah hukum adat, bahkan masuk hingga ke
wilayah kawasan TNLL. Hasil tebangan tersebut
mereka upayakan untuk diselundupkan keluar dari
Toro oleh oknum masyarakat Toro. Sementara itu,
pihak luar ikut berperan dalam memfasilitasi sarana
angkut dan dokumen-dokumen palsu. Namun,
rencana tersebut berhasil digagalkan oleh pihak Tondo
ngata, dan kayu illegal tersebut disita oleh pemerintah

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 91


desa...
Berbagai alasan dikemukakan oleh para pelaku
pelanggaran. Ada yang karena terdesak oleh kebutuhan
ekonomi keluarga, dan ada pula yang mengaku tidak paham
dengan aturan main hasil kesepakatan antara Balai TNLL
dengan masyarakat Toro. Mereka mendefenisikan kesepakatan
tersebut sebagai bentuk simbolisasi “kebebasan” dalam
memanfaatkan hasil hutan kayu dan non kayu untuk berbagai
tujuan. Namn demikian, terlepas dari berbagai alasan yang
dikemukakan, mereka tetap dianggap melanggar oleh pihak
lembaga adat dan layak dijatuhi hukuman sanksi adat.
Meskipun kasus-kasus tersebut diselesaikan melalui
mekanisme adat, namun tatacara adat yang dimaksud berbeda
dengan tatacara yang pernah dilakukan pendahulu mereka, di
mana oknum yang melakukan pelanggaran seharusnya disidang
di muka para tetua adat, dan disaksikan oleh utusan-utusan
lembaga yang ada di Toro. Namun faktanya, penyelesaian
kasus hanya ditangani oleh salah seorang Totua ngata, dan tidak
melibatkan unsur lain. Terlebih lagi, penyelesaian kasus tidak
dilakukan di Lobo, namun di kediaman salah seorang tetua
adat. Hal tersebut terjadi secara berulang untuk kasus-kasus
lain, sehingga menimbulkan kesan, utamaya bagi para pelaku
pelanggaran bahwa penyelesaian pelanggaran yang dilakukan
“mudah diatur”.
Kejadian tersebut di atas menimbulkan keluhan dan
kekecewaan beberapa kalangan masyarakat terhadap kinerja
lembaga adat dalam menangani kasus tersebut. Lembaga
adat dinilai subjektif, dan dicurigai “bekerjasama” dengan
oknum tersebut. Sejak saat itu, bermunculan ragam tanggapan
dan kritik, termasuk dari kalangan anggota lembaga adat itu
sendiri yang menilai semakin lemahnya peran kolektif lembaga
adat akibat dominansi salah seorang Totua ngata. Kondisi ini
mendorong respon kolektif masyarakat, yang mendesak untuk
segera dilakukannya penataan kembali terhadap lembaga

92 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


kepemimpinan lokal di Toro. Langkah konkrit yang dilakukan
adalah pelaksanaan musyawarah desa pertama di Toro, yang
diselenggarakan pada tanggal 4 – 7 Desember 2000. Isu yang
diangkat menyangkut penataan lembaga kepemimpinan
lokal di Toro, khususnya terhadap pembenahan struktur
kelembagaannya.
Dalam pertemuan pertama tersebut di atas, berkembang
pemikiran untuk memperluas sistem keanggotaan dewan
adat (totua ngata), yakni dengan memberikan kesempatan bagi
utusan-utusan masyarakat di luar totua ngata yang ada saat itu.
Pemikiran tersebut didasari oleh penilaian masyarakat bahwa
selama ini kesempatan untuk menjadi anggota lembaga adat
hanya dimiliki oleh kalangan tertentu; keturunan Maradika
saja.
Pemikiran lain yang juga berkembang adalah adanya
keinginan untuk menjadikan pemerintahan desa ”identik”
dengan fungsi pemerintahan di bawah totua ngata di masa
pra-kolonial, serta keinginan untuk menghidupkan kembali
lembaga permusyawaratan di Toro. Upaya memberlakukan
kembali lembaga-lembaga kepemimpinan masa lalu
dimaksudkan untuk mentransformasi sistem kepemimpinan
tradisional ke dalam bentuk lembaga-lembaga baru yang
memiliki fungsi serupa. Secara skematis, struktur kelembagaan
yang ditawarkan saat itu disajikan pada gambar 27.
Gambar 27 secara jelas memperlihatkan bahwa
pemerintah desa, dalam hal ini kepala desa dan perangkatnya
berada di bawah dewan adat (totua ngata dan wakil tokoh
masyarakat). Dengan demikian, secara struktural, pemerintah
desa merupakan perangkat operasional dari lembaga adat.
Sehingga, pemerintah desa bertanggung jawab sepenuhnya
pada dewan adat.

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 93


untuk mentransformasi sistem kepemimpinan tradisional ke dalam bentu
lembaga baru yang memiliki fungsi serupa. Secara skematis, struktur kelemb
ditawarkan saat itu disajikan pada gambar 27.

DewanAdat

Wakil tokoh
Totuangata
masyarakat

Badan pengawasan &


Pemeriksaan ngata

Pemerintah desa

Masyarakat Adat Toro

Gambar 27 Struktur hubungan antar Lembaga Hasil Musyawarah I,


tahun 2001.
Gambar 27 Struktur hubungan antar Lembaga Hasil Musyawarah I, tahun 2001.

Namun demikian, upaya tersebut tidak sepenuhnya


diterima oleh seluruh perserta musyawarah. Bahkan
menimbulkan konflik internal dikalangan masyarakat Toro.
Kasus berikut memberikan gambaran tentang terjadinya selisih
pendapat atas usulan yang dihasilkan (FL 2005).
”..... keputusan tentang penataan kembali
kepemimpinan lokal di Toro, ternyata tidak
sepenuhnya disetujui oleh peserta yang hadir saat
itu. Situasi ini terus berlanjut meskipun musyawarah
telah selesai dilaksanakan. Bahkan kejadian ini
mengakibatkan terjadinya disharmonisasi hubungan
internal di antara anggota-anggota lembaga adat,
yang berimbas pada upaya penataan kelembagaan

94 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


kepemimpinan di Toro...
Melalui proses mediasi yang dilakukan beberapa tokoh
masyarakat di Toro, akhirnya disepakati untuk melaksanakan
kembali musyawarah desa. Rencana tersebut baru dapat
direalisasikan pada bulan April 2001. Kegiatan musyawarah ke
dua ini dihadiri sekitar 40 orang, yang terdiri atas perwakilan
lembaga dan utusan tiap-tiap dusun (boya) yang ada di Toro.
Dalam musyawarah tersebut mengemuka sejumlah isu krusial di
antaranya: struktur dan komposisi lembaga adat yang terkesan
dibatasi; tidak adanya struktur dan pola-pola hubungan yang
jelas antar lembaga; serta tidak dimilikinya aturan-aturan baku
terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
alam di Toro.
Penelitian Dhiaulhaq, De Bruyn, and Gritten (2015)
menunjukkan bahwa mediasi telah memainkan peran penting
dalam memfasilitasi proses transformasi konflik dan telah
memfasilitasi terciptanya lingkungan yang kondusif untuk
dialog multi-pihak, membangun kepercayaan di antara pihak-
pihak yang berkepentingan, serta menyelesaikan proses
pemecahan masalah, menghasilkan solusi yang disepakati
bersama, memperbaiki hubungan, dan komitmen terhadap
kerja sama jangka panjang. Para pihak juga merasa bahwa
mediasi yang sukses juga berkontribusi terhadap perbaikan
kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan di lokasi studi.
Namun, studi tersebut menemukan bahwa mediasi bukanlah
peluru perak dan bahwa mediasi saja tidak cukup dalam
menangani penyebab konflik, khususnya ketidaksetaraan
struktural. Tantangan lain dalam penerapan mediasi juga telah
diidentifikasi seperti persyaratan kapasitas, dan juga biaya
yang harus dikeluarkan
Berbeda dengan musyawarah pertama, pada musyawarah
ke dua sebagian besar isu yang diangkat disetujui untuk
dibahas. Melalui pertemuan ini berhasil disepakati beberapa
point penting, di antaranya:
Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 95
(a) Seluruh lembaga yang ada di Toro harus dipadukan,
dan dimasukkan dalam struktur pemerintahan di Toro,
yang terdiri atas: pemerintah desa, lembaga adat, Badan
Perwakilan Desa (BPD), dan Organisasi Perempuan Adat
Ngata Toro (OPANT).
(b) Perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian beberapa istilah
seperti lembaga adat diubah menjadi lembaga masyarakat
adat (LMA), pemerintah desa diubah menjadi pemerintah
ngata, dan badan perwakilan desa diubah menjadi lembaga
perwakilan ngata.
Usulan tersebut baru berhasil ditindak lanjuti setelah
dilakukan pertemuan ke tiga, pada tanggal 25 – 30 oktober
2003. Kegiatan ini dihadiri oleh 80 utusan dari tiap lembaga
dan dusun yang ada di Toro. Berbeda dengan dua pertemuan
sebelumnnya, pada pertemuan ketiga menyerupai kegiatan
workshop, sebab kegiatan ini semata-mata membahas hasil
rumusan terhadap rancangan struktur kelembagaan, dan
sejumlah aturan main terkait pemanfaatan sumberdaya alam
di Toro.
Seperti diuraikan terdahulu, bahwa struktur kelembagaan
yang berlaku di Toro hingga saat ini merupakan hasil dari
pertemuan ke tiga, di mana struktur pemerintahan desa terdiri
atas pemerintah desa (pemerintah ngata), Lembaga Masyarakat
Adat (LMA), dan Lembaga Perwakilan Ngata (LPN). Ketiga
lembaga ini berkedudukan sejajar dalam struktur organisasinya.
Faktor yang membedakan ketiganya terletak pada fungsi dan
perannya masing-masing.
Sementara itu, aturan-aturan main yang berhasil
dirumuskan pada pertemuan ke tiga ini di antaranya: (a)
struktur dan hubungan kerja antar lembaga; (b) fungsi dan
struktur lembaga masyarakat adat (LMA); dan (c) Pengelolaan
Sumberdaya Alam (PSDA). Selain itu berhasil disusun rencana
strategis (Renstra) Toro untuk lima tahun kedepan (tahun 2003-
2008). Dalam renstra tersebut memuat visi (antoa) masyarakat

96 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


Toro: ”terwujudnya kebersamaan ngata untuk kehidupan yang
harmonis dengan alam dan berkelanjutan (Hintuwu ngata molingku
katuwua)”. Sedangkan misi yang termuat dalam renstra tersebut
di antaranya: (a) memelihara dan mempertahankan adat secara
konsisten; (b) meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan
dan tingkat perekonomian masyarakat; dan (c) membangun
solidaritas perjuangan masyarakat adat antar desa. Renstra
inilah yang dijadikan acuan pembuatan draft peraturan desa
(Perdes) Toro, yang di dalamnya mengatur sistem pemerintahan
yang baru di Toro.

Struktur dan hubungan kerja antar lembaga


Komponen kelembagaan di Toro terdiri atas
pemerintahan ngata dan lembaga kemasyarakatan. Lembaga
Pemerintahan ngata Toro terdiri atas: (a) Lembaga Pemerintah
ngata dan (b) Lembaga Perwakilan Ngata (LPN). Sedangkan
lembaga kemasyarakatan di Toro terdiri atas (a) Lembaga
Masyarakat Adat (LMA) dan (b) Organisasi Perempuan Ngata
Toro (OPANT).
Dalam Perdes secara jelas diatur pula fungsi dan peran tiap-
tiap lembaga beserta wewenang yang dimiliki. Pemerintah desa
memiliki wewenang dalam menjalankan fungsi pemerintahan
di tingkat desa. Selain menjalankan fungsi pemerintahan,
pemerintah desa bersama dengan LPN menyusun, membahas,
dan menetapkan sejumlah peraturan desa serta anggaran
pendapatan dan belanja desa. Selain dengan LPN, pemerintah
bersama-sama dengan LMA mengeluarkan izin serta mengatur
pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah adat Toro. LPN
sebagai lembaga legislatif desa juga memiliki wewenang dan
tugas dalam menyelenggarakan pemilihan kepala desa, dengan
membentuk panitia pemilihan serta mengusulkan pelantikan
dan pemberhentian kepala desa kepada bupati. Fungsi utama
dan penting dari lembaga ini adalah dalam hal pelaksanakan

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 97


pengawasan terhadap implementasi peraturan desa dan
anggaran pendapatan dan belanja desa.
Sementara itu, LMA sebagai lembaga kemasyarakatan
desa merupakan mitra pemerintahan desa dalam mendorong
kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan
pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan yang
berpedoman pada hukum adat. Olehnya, wewenang yang
dimiliki oleh LMA di antaranya: (a) mewakili masyarakat adat
dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan masyarakat adat;
(b) bersama dengan pemerintah desa memberikan izin dan
mengatur pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah hukum
adat Toro yang telah dipetakan secara partisipatif; (c) mengelola
hak-hak adat dan/atau harta kekayaan adat untuk meningkatkan
kemajuan dan taraf hidup masyarakat; (d) membuat aturan
dan sanksi adat mengenai hubungan antar manusia (hintuwu)
dan interaksi manusia-alam (katuwua) yang dicakup dalam
pengaturan hukum adat, serta (e) menyelenggarakan peradilan
adat untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran adat ataupun
sengketa antar warga masyarakat. Secara skematis, disajikan
pada Gambar 28.
Dengan demikian, fungsi utama LMA di Toro adalah
memberdayakan, melestarikan, dan mengembangkan adat
istiadat serta kebiasaan hidup yang telah berlangsung turun-
temurun untuk menjaga tata harmoni sosial, memperkaya
identitas budaya, dan menjamin stabilitas ekologi, serta
melakukan kerja sama dengan desa-desa di sekitar (tongki ngata)
Toro dalam kerangka pelaksanaan wewenang dan tugasnya.
Dengan jelasnya struktur dan hubungan kerja antar
lembaga, maka semakin jelas pulalah sistem kelembagaan
di Toro, utamanya dalam mengatur dan mengendalikan
perilaku masyarakat, serta menghambat munculnya perilaku
oportunistik yang dapat merugikan ekosistem sumberdaya
hutan (la. Kasper el al. 1996 dan Basturo 2006).

98 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


serta (e) menyelenggarakan peradilan adat untuk menyelesaikan berbagai pelang
ataupun sengketa antar warga masyarakat. Secara skematis, disajikan pada Gamb

LMA
Pemerintah LPN
Totua Ngata, OPANT Ngata

Masyarakat Adat
Ngata Toro

Keterangan
Garis mitra kerja pengabdian LMA : Lembaga Masyarakat Adat
LPN : Lembaga Perwakian Ngata
Garis pengawasan
Garis perwakilan aspirasi OPANT : Organisasi Perempuan
Adat Ngata Toro

Gambar 28 Struktur Hubungan antar Lembaga Hasil Musyawarah


Tahun
Gambar 28 Struktur Hubungan 2005.
antar Lembaga Hasil Musyawarah
Tahun 2005.

Ketentuan pengelolaan sumberdaya alam


Dengan demikian, fungsi utama LMA di Toro adalah memberdayakan, m
Dalam ketentuan pengelolaan sumberdaya alam di Toro
secara eksplisit diatur prosedur
dan mengembangkan pembukaan
adat istiadat lahan, hidup
serta kebiasaan pengambilan
yang telah berlangs
hasil hutan
temurun kayu
untuk dan non
menjaga tatakayu, bahan
harmoni obat-obatan
sosial, tradisional,
memperkaya identitas budaya, dan
hingga pertambangan tradisional, termasuk prihal perizinan
stabilitas ekologi, serta melakukan kerja sama dengan desa-desa di sekitar (to
dan biaya yang dibebankan kepada pemohon. Dalam prosedur
Toro dalam kerangka
pembukaan pelaksanaan
lahan, aturan adat wewenang
menetapkan dan bahwa
tugasnya.
kategori
lahan Dengan
yang dapat dibuka
jelasnya struktur dan Oma,
adalah utamanya
hubungan Oma Ngura
kerja antar lembaga, maka sem
dan Oma Ntua. Sementara itu, kategori lahan lainnya terutama
pulalah sistem kelembagaan di Toro, utamanya dalam mengatur dan men
pangale tidak diperkenankan untuk dibuka dengan alasan
perilaku masyarakat, serta menghambat munculnya perilaku oportunistik y
apapun.
Setiapekosistem
merugikan yang sumberdaya
ingin membuka lahanel al.diwajibkan
hutan (la. Kasper 1996 dan Basturo 2006).
mengajukan permohonan kepada pemerintah desa melalui
Ketentuan pengelolaan sumberdaya alam
99
Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Dalam ketentuan pengelolaan sumberdaya alam di Toro secara eksp
prosedur pembukaan lahan, pengambilan hasil hutan kayu dan non kayu, b
LMA disertai alasan, lokasi yang akan dimanfaatkan, dan
luas lahan yang dibutuhkan. Pemberian izin akan diputuskan
setelah sebelumya dilakukan musyawarah antara LMA dan
pemerintah desa. Dasar yang digunakan dalam memutuskan
pemberian izin tersebut adalah alasan yang dikemukakan
si pemohon, lokasi dan luas lahan, serta prinsip-prinsip
kearifan tradisional. Namun demikian, salah seorang informan
kunci (AL) menjelaskan bahwa di antara empat persyaratan
tersebut, prasyarat utama adalah mampu-tidaknya yang
bersangkutan memenuhi prinsip-prinsip kearifan tradisional,
di antaranya: kecermatannya dalam memperhatikan musim,
tidak melakukan pembakaran dalam membuka lahan,
memperhatikan kemiringan lahan, serta tidak mengganggu
mata air yang berada di dekatnya. Hal tersebut dimaksudkan
untuk meminimalkan resiko kerusakan yang akan ditimbulkan.
Izin pengelolaan dikeluarkan oleh pemerintah desa.
Dalam hal mana izin diberikan, pembukaan lahan harus
didahului dengan upacara adat “mohamele manu bula1” yang
dilakukan sesuai kepercayaan yang dianut pemohon. Batasan-
batasan pembagian lahan diatur menurut asal-usul historis
tanah, kebutuhan lahan dan kemampuan mengolah dengan
tetap memperhatikan rasa keadilan. Pengelolaan lahan
dilakukan secara berkelompok atau gotong-royong (mome
ala pale) dengan mengedepankan orientasi sosial dan bukan
semata-mata ekonomis.
Dalam ketentuan izin pengambilan kayu dijelaskan
bahwa izin dikeluarkan apabila tujuan pemanfaatan semata-
mata untuk kebutuhan domestik, seperti: bangunan sosial,
ramuan rumah, perabot dapur, dan alat-alat pertanian. Namun
dalam perkembangannya, saat ini telah diperkenankan pula
memanen kayu untuk kebutuhan bahan baku industri meubel

1 Dalam konteks kekinian, upacara tersebut disamakan dengan


istilah selamatan, yang disimbolkan dengan pemotongan ternak unggas atau
ternak lain, sesuai kemampuan si pemohon.

100 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


dan kusen berskala lokal.
Prosedur pengajuan izin menyerupai prosedur
pembukaan lahan. Hanya saja, dalam izin pemanfaatan kayu,
pemohon harus menyebutkan jenis kayu, lokasi penebangan,
dan kubikasi kayu yang dibutuhkan. Namun demikian, dalam
prosedur perizinan tidak diatur atau ditentukan batas kubikasi
kayu yang diperbolehkan untuk ditebang. Izin penebangan
dikeluarkan oleh pemerintah desa, dan si pemohon terlebih
dahulu harus melakukan upacara adat “mowurera pu kau2”
yang diiringi dengan menancapkan kapak di salah satu
pohon yang tumbuh di lokasi tersebut. Selain itu, si pemohon
harus memperhatikan prinsip-prinsip ekologis berdasarkan
kearifan tradisional mereka, yaitu kayu yang ditebang minimal
berdiameter 60 cm, dan tidak melakukan penebangan di
daerah Taolo, yaitu di lokasi-lokasi yang bertopografi miring,
sepanjang daerah aliran sungai, dan di tempat yang rawan
longsor dan erosi.
Demikian halnya dengan hasil hutan non kayu seperti
rotan, damar, gaharu, bahan wewangian, dan obat-obatan,
selain untuk kebutuhan domestik, juga dapat digunakan
untuk tujuan komersil. Prosedur pengajuan dan persyaratan
perizinan, khususnya untuk kebutuhan komersil, menyerupai
prosedur pemanfaatan hasil hutan kayu. Faktor pembeda
terletak pada aturan pengambilan atau pemanenannya.
Rotan yang akan dipanen harus berumur lebih dari 3
tahun, dan penetapan lokasi ditentukan oleh hasil musyawarah
lembaga adat, dengan memperhatikan prinsip rotasi (ra ombo).
Hal ini dimaksudkan agar kelestarian rotan dapat terpelihara
dengan baik. Selain itu, hal penting yang harus diperhatikan

2 Upacara ini dahulu digunakan sebagai ritual sebelum mereka


melakukan penebangan. Bisa-tidaknya pohon-pohon di lokasi tersebut
ditebang, ditunjukkan oleh kapak yang ditancapkan pada batang pohon,
di mana bila dalam rentang waktu beberapa hari, kapak tersebut masih
tertancap, berarti pohon tersebut dapat ditebang. Demikian sebaliknya.

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 101


oleh pemohon adalah larangan untuk mengilir atau menarik
rotan sepanjang daerah aliran sungai pada saat tanaman
padi di sawah ataupun ladang mulai berbulir. Bila hal ini
tidak diperhatikan, maka akan berakibat terhadap gagalnya
panen (nakahoana) padi-padi milik masyarakat, terutama yang
memanfaatkan pengairan dari aliran sungai tersebut.
Sementara itu, untuk pengambilan gaharu, masyarakat
hanya diperkenankan untuk pohon yang telah berumur
tua. Demikian halnya untuk penyadapan damar, di mana
pohon yang akan diolah minimal memiliki diameter 50 cm,
dan dilarang melakukan penebangan. Selain itu, hal utama
yang harus diperhatikan adalah sejarah penguasaan lahan.
Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya sengketa
dikemudian hari terkait klaim terhadap pemilikan pohon
damar tersebut. Selain jenis-jenis hasil hutan non kayu tersebut
di atas, diatur pula mengenai prosedur pengambilan untuk
hasil hutan lainnya, seperti pandan hutan, dan liur burung
wallet (ilu tonci popore). Kedua jenis hasil hutan ini memiliki
prosedur pemanfaatan hasil hutan yang relative sama dengan
hasil hutan lainnya. Selain itu, ditegaskan pula perihal larangan
untuk merusak habitat flora dan fauna, memasang jerat dan
berburu, menggunakan stroom dan racun untuk menangkap
ikan. Sementara itu, aturan tentang aktifitas penambangan
tradisional juga mensyaratkan beberapa hal di antaranya: (a)
penambangan harus dilakukan secara tradisional dengan
menggunakan dulang yang terbuat dari kayu (mangemo),
melarang penggunaan alat modern, dan bahan-bahan kimia
yang akan berdampak terhadap kerusakan lingkungan.
Secara keseluruhan, permohonan izin dilakukan secara
tertulis kepada pemerintah desa melalui LMA, dengan cara
mengisi formulir yang telah disediakan. Pemberian izin
diputuskan melalui musyawarah LMA dan pemerintah desa.
Surat izin dikeluarkan oleh pemerintah desa, mengetahui LMA,
dan tembusan kepada OPANT dan LPN. Setiap penerbitan

102 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


surat izin dikenai biaya adminsitrasi dan biaya konpensasi
pemulihan (restitusi) dengan nilai yang disesuaikan untuk
setiap jenis SDA yang dikelola, sebagai berikut:
Tabel 22 Komponen biaya pemanfaatan sumberdaya alam di Toro

No Bentuk pemanfaatan Biaya (Rp) Satuan


A d m i n i s - Restitusi
trasi
1. Pembukaan lahan 50.000 25.000 Per are
2. Pegelolaan kayu 10.000 25.000 Per ku�-
bik
3. Pengolahan rotan 10.000 25.000 Per ton
4. Pegelolaan gaharu 50.000 100.000 Per kilo
5. Pengelolaan damar 10.000 200.000 Per ton
6. Pengelolaan obat-obatan 10.000 10% Dari nilai
tradisional jual
7. Pertambangan tradision�
- 25.000 25.000 Per gram
al
8. Pengambilan liur burung 25.000 50.000 Per kilo
wallet
Sumber: Dokumen aturan pengelolaan sumberdaya alam Toro 2002.

Biaya kompensasi dikenakan terhadap permohonan izin


pemanfaatan di luar kepentingan sosial (komersil). Meskipun si
pemohon telah membayar biaya restitusi, bukan berarti mereka
lepas tanggung jawab untuk mempertahankan kelestariannya.
Biaya tersebut hanya digunakan sebagai dana cadangan bila
mana terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap lahan-lahan
yang dikelola masyarakat.
Untuk menjaga stabilitas pemanfaatan lahan dan hasil
hutan oleh masyarakat, maka diatur pula mengenai sanksi
pelanggaran dan mekanisme penjatuhan sanksi. Bentuk dan
nilai sanksi terkait dengan pelanggaran kepemilikan lahan dan
pengelolaan sumberdaya hutan. Bentuk-bentuk sanksi yang

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 103


diatur meliputi:
a. Kepemilikan lahan dan pengelolaan hasil hutan (kayu,
rotan, gaharu dan damar), dan perburuan hewan yang
dilindungi (anoa dan babi rusa), yang tidak berdasar-
kan kebijakan hukum adat, dikenakan sanksi berupa;
tolu ungu, tolo mpulu, tolu ngkau (tiga ekor hewan kerbau
atau sapi, tigapuluh dulang/piring, dan tiga lembar kain
mbesa/kain adat). Apabila dikonversi ke dalam rupiah,
nilainya bisa mencapai lima juta rupiah.
b. Penambangan yang tidak berdasarkan hukum adat, dike-
nakan sanksi adat berupa pitu ongu, pitu mbulu, pitu ng-
kau, (tujuh ekor hewan kerbau/sapi, tujuh puluh dulang
dan tujuh lembar kain mbesa/kain adat). Jika dirupiahkan
nilainya mencapai sebelas juta rupiah.
c. Penangkapan ikan yang menggunakan bahan kimia bera-
cun, stroom listrik atau sejenisnya yang dapat merugikan
keberlanjutan dan kelestarian jenis-jenis ikan dikenakan
sanksi adat yakni; rongu, rompulu, rongkau (dua ekor he-
wan kerbau/sapi, dua puluh dulang dan dua lembar kain
mbesa/kain adat). Bila dirupiahkan nilainya mencapai
tiga juta rupiah.
Setiap bentuk laporan atas pelanggaran yang terjadi,
baik yang berasal dari masyarakat, Tondo ngata, maupun
Polhut ditujukan secara lisan maupun tertulis kepada LMA
dan pemerintah desa. Laporan-laporan yang diterima akan
dikelompokkan oleh LMA, dengan maksud memisahkan jenis
pelanggaran mana yang dapat dan tidak dapat diselesaikan
melalui mekanisme peradilan adat. Bagi pelanggaran yang
masuk dalam kategori dapat diselesaikan melalui mekanisme
peradilan adat, maka akan segera dilakukan musyawarah LMA
untuk membahasnya. Sedangkan kasus-kasus yang tidak bisa
diselesaikan oleh LMA, biasanya dilakukan musyawarah lintas
lembaga (pemerintah desa, OPANT, lembaga keagamaan, dan

104 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


utusan tiap boya) guna menetapkan jenis sanksi yang akan
diberikan, seperti disajikan pada Gambar 29.

Laporan
Pelanggaran

Musyawarah
LMA
dengan
pemerintah
Tertulis

Lisan
Lemba Musyawarah
ga lain Lintas
Lembaga

Penetapan
Sanksi Adat

Penetapan
Sanksi Negara

Gambar 29 Skema mekanisme penjatuhan sanksi atas pelanggaran


pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan di Toro.
Pemberian sanksi bagi setiap pelanggaran merupakan
wujud dari penegakan norma-norma, yang didasarkan pada
nilai yang
Gambar berkembang
29Skema mekanisme di kalangan
penjatuhan masyarakat
sanksi lokal. Bagi
atas pelanggaran
masyarakatpemanfaatan
Toro, aturan-aturan tersebut
sumberdaya lahan bukan
dan hutan semata-mata
di Toro.
sanksi, namun lebih jauh dimaknai sebagai “pantangan”. Bentuk
pantangan ini terkait erat dengan nilai-nilai yang tertanam
pada setiap individu dalam komunitas masyarakat, sehingga
lebihPemberian
bertahan sanksi bagi setiap
dan dipatuhi bilapelanggaran
dibandingkan merupakan wujud dari peneg
sanksi-sanksi
norma, yang didasarkan pada nilai yang berkembang di kalangan masyarak
Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 105
masyarakat Toro, aturan-aturan tersebut bukan semata-mata sanksi, namu
dimaknai sebagai “pantangan”. Bentuk pantangan ini terkait erat dengan ni
formal bentukan pemerintah (McKean 1992; Sallatang 1999;
Li 2000). Oleh karena itu, sanksi-sanksi adat tersebut dipatuhi
dan diterapkan secara konsisten, maka dapat menjadi insentif
terhadap kelestarian TNLL, khususnya kawasan hutan yang
masuk dalam wilayah adat Toro.

Aktor-aktor yang berperan dalam proses revitalisasi


kelembagaan adat
Revitalisasi yang berlangsung di Toro tidak lepas dari
peran kepemimpinan lokal dan beberapa tokoh perjuangan
di Toro. Tokoh-tokoh atau aktor-aktor lokal penting yang
aktif dalam memperjuangkan revitalisasi kelembagaan adat
diantaranya; Kepala Desa (Naftali B. Porentjo), tokoh-tokoh
Totua ngata (CH. Towaha, P.Toheke, Ace Lagimpu, Andreas
Lagimpu, Rahman Pepuloi), tokoh wanita (Rukmini Rizal,
Sinarjati Lagimpu), tokoh-tokoh pemuda (Silas Lahigi, Berwin
P. Toheke), serta seorang pendeta Protestan (Ferdy Lumba),
yang masing-masing memainkan peranan dalam proses
revitalisasi.
Peran kepala desa amat menentukan, utamanya dalam
mengadaptasi aspek-aspek tradisi dan kelembagan tradisional
ke dalam kondisi saat ini. Berdasarkan inisiatifnya dicoba untuk
menginternalisasikan aspek-aspek tradisi sistem pemerintahan
tradisional ke dalam sistem pemerintah formal. Langkah awal
yang dilakukan adalah dengan memposisikan secara langsung
tokoh Totua ngata dan perwakilan tokoh perempuan sebagai
anggota BPD tanpa melalui mekanisme pemilihan, sementara
selebihnya dipilih berdasarkan proporsi tiap-tiap dusun (boya).
Terobosan yang dilakukan memiliki konsekuensi terhadap
kurangnya wewenang kepala desa. Namun hal tersebut
didasari oleh kesadaran kolektif yang dimiliki, sebagai upaya
mendukung revitalisasi fungsi dan wewenang tradisional yang
dimiliki lembaga adat di masa lalu (Sohibuddin 2003).

106 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


Selain kepala desa, para Totua ngata di Toro memiliki andil
besar dalam proses revitalisasi. Peran utama yang dimainkan
terutama pada proses penggalian aspek-aspek pengetahuan
tradisional, meliputi pengetahuan ekologis pemanfaatan
sumberdaya hutan, dan sejumlah nilai dan norma sosial yang
merasionalkannya. Demikian halnya dengan tokoh pemuda,
Silas Lagihi dan Berwin P. Toheke, yang juga aktif membantu
proses-proses penggalian terhadap potensi kearifan lokal
yang dimiliki pendahulu-pendahulu mereka. Selain tokoh
pemuda di Toro, juga yang tak kalah berperan adalah tokoh-
tokoh perempuan, di antaranya: Rukmini Rizal dan Sinarjati
Lagimpu, yang berjuang dalam menggali kembali peran-
peran perempuan adat Toro (Tina ngata). Salah satu wujud
konkrit yang dilakukan adalah memperjuangkan berdirinya
Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro (OPANT). Organisasi
ini dimaksudkan sebagai perwujudan Tina ngata di masa
sekarang. Perjuangan yang dilakukan oleh tokoh perempuan
tersebut tidak sebatas pada lingkup internal Toro, namun
dilakukan pula diseminasi ke desa-desa lain di sekitar TNLL.
Hal ini tak lain dimaksudkan untuk mendapatkan dukungan,
bukan saja pada lingkup lokal Toro namun juga pada lingkup
yang lebih luas.
Tokoh lain yang tak kalah penting dalam memperjuangkan
revitalisasi kelembagaan adat di Toro adalah Pdt. Ferdi Lumba
dan Andreas Lagimpu. Kedua tokoh ini memiliki kemampuan
untuk merasionalkan berbagai pengetahuan dan praktek-
praktek tradisional yang dimiliki oleh masyarakat adat Toro ke
dalam konteks modern, yang lebih bisa dipahami dan diterima
oleh berbagai pihak, termasuk pihak luar. Mereka juga memiliki
relasi jaringan keluar dengan berbagai kalangan ORNOP dan
aliansi masyarakat adat.
Uraian tersebut memberikan gambaran bahwa kolektifitas
internal di Toro masih berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan
melalui pembagian peran yang baik dalam upaya mencapai

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 107


tujuan revitalisasi kelembagaan adat di Toro. Selain itu, adanya
dukungan dan komitmen masyarakat dalam menerapkan
aturan main yang dihasilkan melalui proses revitalisasi
merupakan cerminan modal sosial yang kuat, utamanya
“kepercayaan” masyarakat terhadap lembaga adat. Kolektifitas
dan modal sosial merupakan dua komponen penting yang
mengindikasikan berfungsinya kelembagaan dalam sistem
sosial kehidupan masyarakat di Toro, yang merupakan
salah satu jaminan terhadap efektifitas pencapain revitalisasi
kelembagaan yang sedang diperjuangkan (Grant 2001; Flint
2005). Sungguhpun demikian, performansi kelembagaan
adat yang dihasilkan melalui revitalisasi perlu diuji melalui
perspektif etik maupun emik masyarakat Toro.

B. Performansi Kelembagaan Adat


Perspektif Etik terhadap Kinerja Kelembagaan Adat
Kelembagaan yang baik, berkembang, dan dipertahankan
oleh suatu komunitas sedikitnya memiliki tiga fungsi, di
antaranya: (a) mampu memberikan pedoman kepada anggota-
anggota masyarakat bagaimana mereka harus bertingkah
laku atau bersikap dalam menghadapi berbagai masalah yang
dihadapi, terutama menyangkut kebutuhan-kebutuhannya; (b)
mampu menjaga keutuhan masyarakat; dan (c) memberikan
pegangan kepada masyarakat untuk keperluan dalam suatu
pengendalian dan pengawasan sosial (social control) (Sallatang
1999; Grant 2001).
Salah satu fungsi dan peran kelembagaan adat di Toro
adalah mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
alam, baik yang menjadi hak bersama (nanu hangkani) maupun
yang menjadi hak individu (nanu handua). Pola pengaturan
tersebut menciptakan suatu sistem hubungan sosial yang
terstruktur, sebagai upaya mewujudkan nilai-nilai dan tata
cara umum tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhan

108 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


masyarakat.
Konsep Ostrom (1994) cukup relevan digunakan untuk
memahami lebih jauh bagaimana kegiatan-kegiatan yang
dilakukan masyarakat lokal dapat mempengaruhi pengelolaan
hutan secara positif terhadap kelestarian sumberdaya alam,
di bawah pengendalian/kontrol kolektif lembaga adat. Ia
menguraikan delapan ‘prinsip rancangan’, yang jika dipenuhi
akan mengarah kepada pengelolaan efektif sumberdaya
alam milik bersama, yaitu: (1) batas-batas sumberdaya alam
dan kelompok penggunanya didefinisikan secara jelas; (2)
mekanisme pemanfaatan sumberdaya alam yang spesifik
dan sesuai dengan kondisi lokal; (3) modifikasi kebijakan
dilakukan secara partisipatif dan dikelola secara lokal; (4)
terdapat mekanisme pemantauan sumberdaya alam; (5)
terdapat mekanisme penyelesaian konflik yang efisien; (6) para
pengguna menetapkan dan menerapkan sanksi yang mengikat;
(7) terdapat berbagai bentuk masukan; dan (8) adanya komitmen
terhadap kelestarian.
Pada bab sebelumnya dijelaskan bahwa dalam proses
revitalisasi kelembagaan adat, masyarakat Toro secara
bertahap melakukan upaya-upaya untuk mendapatkan
pengakuan atas wilayah hukum adatnya. Beberapa hal yang
telah dilakukan untuk mendapat pengakuan tersebut di
antaranya: (a) pembuatan peta partisipatif wilayah hukum
adat oleh masyarakat Toro; (b) pembenahan terhadap struktur
kelembagaan adat; (c) penyusunan aturan main terkait
pemanfaatan sumberdaya alam yang meliputi; mekanisme
penguasaan lahan, proses perizinan pemanfaatan lahan dan
hasil hutan, mekanisme resolusi konflik, dan sanksi terhadap
pelanggaran pemanfaatan sumberdaya alam.
Upaya-upaya tersebut menghasilkan pengakuan dari
pihak BTNLL dan desa-desa lain yang berbatasan langsung
dengan wilayah hukum adat Toro, di antaranya adalah desa
Katu, desa Oo Parese, dan desa Sungku. Pengakuan tersebut

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 109


semakin mempertegas eksistensi masyarakat adat Toro dalam
mengelola lahan dan hutan di wilayah hukum adatnya. Salah
satu wujud kepastian hak adalah kejelasan mengenai tata batas
antara ruang hidup masyarakat dengan pihak-pihak lainnya (la.
Suhardjito 1999; Kartodihardjo 2006). Kepastian hak atas lahan
dan hasil hutan menjadi prasyarat bagi pencapaian kelestarian
pengelolaan sumberdaya alam.
Pembenahan utama dilakukan terhadap aturan main
(rule of the game) dalam mengelola dan memanfaatkan
sumberdaya lahan dan hutan di Toro. Pasca revitalisasi, telah
berhasil terdokumentasi sejumlah nilai dan norma-norma adat
pendahulu mereka dalam mengelola dan memanfaatakan
sumberdaya hutan. Sejumlah nilai dan norma sosial yang
dianggap relevan dengan konteks masa kini diadaptasi ke
dalam aturan formal pemanfaatan sumberdaya alam dan
lahan di Toro. Bentuk konkrit aturan main yang dimiliki oleh
masyarakat adat Toro saat ini di antaranya: aturan tentang
pengelolaan sumberdaya alam, fungsi dan struktur Lembaga
Masyarakat Adat, dan aturan tentang struktur hubungan kerja
antar lembaga (2002); Rencana Strategis Lembaga Masyarakat
Adat Toro untuk periode 2003 - 2009 (2003); dan yang terbaru
adalah Draft Peraturan desa Toro (2005). Melalui aturan-aturan
tersebut, sistem pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan di
Toro diatur secara spesifik dan sesuai dengan nilai dan norma
sosial yang berlaku di Toro. Olehnya hak kepemilikan (property
right) terhadap lahan-lahan di Toro semakin jelas.
Terkait dengan pembenahan struktur kelembagaan
adat di Toro, saat ini telah diatur secara jelas menyangkut
kedudukan, wewenang, dan tugas pemerintah desa, LMA, dan
LPN. Aturan tersebut diatur dalam Perdes Toro Bab V, pasal 16
sampai dengan pasal 25. Dalam implementasi di lapangan, LMA
dibantu oleh Tondo ngata yang dipercayakan untuk mengawasi
sumberdaya hutan di wilayah hukum adat Toro. Jumlah
mereka tergolong sedikit (9 orang), tentunya bila dibandingkan

110 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


dengan keseluruhan luas wilayah adat Toro (22.950 ha), namun
mereka adalah orang-orang pilihan dari setiap dusunnya (boya),
yang memiliki pengalaman dan kemampuan dalam mengenal
dengan baik kondisi hutan di Toro (Gambar 30 & 31).

Gambar 30 Anggota Tondo ngata Gambar 31 Anggota Tondo


melakukan persiapan sebelum ngata berangkat ke dalam hutan
menjalankan tugasnya (Foto: (Foto: Golar 2005).
Golar 2005).
k kecil untuk mengawasi hutan.
Sejak penandatanganan prasasti kesepakatan pengawasan
bersama antara BTNLL dan LMA, Tondo ngata telah berhasil
menggagalkan beberapa kegiatan illegal loging dan perambahan
hutan, baik yang dilakukan oleh masyarakat Toro maupun
oknum lainnya. Salah satunya adalah penangkapan seorang
warga Toro yang sedang membuka lahan kebun di dalam
kawasan TNLL, seperti kasus NL berikut:
....NL, seorang warga Toro, yang sehari-hari bekerja
sebagai pencari rotan ditangkap oleh anggota Tondo
ngata saat sedang membuka lahan untuk berkebun.
Ketika ditanya oleh petugas Tondo ngata mengapa
melakukan perambahan; ia beralasan karena tidak
memiliki lahan garapan, olehnya ia membuka lahan
hutan, yang menurutnya tidak diketahui merupakan
kawasan pangale....
Kejadian tersebut sangat mengejutkan bagi pihak Tondo
ngata, sebab selama ini perambahan hutan hanya dilakukan
oleh warga di luar Toro. Tapi kini mereka mendapati warga

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 111


Toro yang merambah hutan. Atas kesepakatan Totua ngata, NL
disidang secara adat, dan dijatuhi sanksi sesuai mekanisme
penjatuhan sanksi yang telah diatur dalam aturan main
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan di
Toro.
Salah satu faktor yang turut mendukung keberhasilan
Tondo ngata dalam menjaga kelestarian hutan di wilayah hukum
adat adalah kepedulian dan komitmen masyarakat dalam
membantu tugas Tondo ngata. Misalnya dengan memberikan
laporan apabila mereka menjumpai pelanggaran di dalam
hutan, walaupun yang melakukan pelanggaran adalah warga
Toro sendiri. Perilaku yang ditunjukkan oleh masyarakat
tersebut merupakan cerminan bahwa kontrol sosial di Toro
masih berjalan dengan baik.
Selain berfungsi dalam melakukan pengaturan
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan,
LMA juga berperan sebagai wadah resolusi sengketa atau
konflik, baik yang terjadi sesama manusia (hintuwu), maupun
antara manusia dengan sumberdaya alam (katuwua). Melalui
“self regulating mechanism” yang dimiliki, lembaga adat Toro
sering kali lebih efektif dalam menyelesaikan sengketa dan
pemulih situasi ketertiban sosial, bila dibandingkan lembaga
formal lainnya. Masyarakat umumnya membawa kasus-kasus
atau sengketa-sengketa yang dialaminya kepada LMA. Sengketa
yang terjadi diselesaikan melalui negosiasi internal, dan jarang
sekali mengundang lembaga dari luar sebagai mediator.
Terlebih bila kasus atau konflik yang terjadi menyangkut sistem
nilai dan norma sosial, pelanggaran aturan-aturan adat dalam
memanfaatkan sumberdaya hutan, dan pelanggaran susila.
Namun demikian, bila konflik telah mengarah pada kasus atau
tindak kriminal murni, seperti pembunuhan atau perampokan,
maka selain diselesaikan secara adat, juga dilimpahkan pada
pihak yang berwenang. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
sistem penyelesaian konflik yang berlaku di Toro lebih

112 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


mengedepankan fungsi rekonsiliasi dan reintegrasi sosial yang
konkrit, seperti yang ditekankan dalam praktek peradilan adat.
Dalam rangka mewujudkan pengelolaan sumberdaya
hutan yang lestari, selain dibutuhkan kelembagaan adat
yang berfungsi dan berperan dengan baik, juga dibutuhkan
sejumlah masukan (input), di antaranya: peningkatan kapasitas
sumberdaya manusia dalam mengelola dan memanfaatkan
sumberdaya hutan. Dalam penerapannya, LMA menjalin
kemitraan dengan sejumlah ORNOP di tingkat lokal, nasional,
maupun internasional seperti diuraikan pada bab sebelumnya.
Bentuk-bentuk kemitraan yang terjalin dengan berbagai
ORNOP dan institusi-instutusi lain diutamakan pada upaya
peningkatan kemampuan3 sumberdaya mayarakat dalam
mengelola, memanfaatkan, dan mengendalikan kerusakan
sumberdaya lahan dan hutan di wilayah hukum adatnya.
Berdasarkan uraian di atas terbukti bahwa kedelapan
prinsip yang dikembangkan Ostrom (1994), sebagian besar
telah sesuai dengan kelembagaan adat di Toro. Terkait dengan
kejelasan batas-batas sumberdaya hutan dan kelompok
pengguna, mekanisme pemanfaatan sumberdaya alam, dan
modifikasi kebijakan dapat dijelaskan melalui kemampuan
masyarakat Toro dalam menyelesaikan permasalahan tata
batas antara “ruang hidup masyarakat” dengan pihak BTNLL,
yang dilakukan melalui pengaturan batas juridiksi4 tradisional,
beserta seperangkat norma-norma yang mengatur pemanfaatan
sumberdaya lahan dan hutan. Selain itu, pembenahan

3 Peningkatan kemampuan sumberdaya manusia di Toro telah


dibuktikan melalui pelatihan pembuatan peta, difasilitasi YTM, monitoring
kerusakan, dan pemantauan terhadap sumberdaya alam, difasilitasi TNC.
Sementara itu, STORMA dan institusi peneliti lainnya telah menyumbangkan
informasi berharga tentang gambaran potensi sumberdaya alam yang dimiliki
oleh masyarakat Toro.
4 Batas juridiksi dalam penelitian ini didefinisikan sebagai batas
wilayah kekuasan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu komunitas
masyarakat (Pakpahan 1989)

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 113


struktur lembaga yang dilakukan semakin memperjelas
aturan representasi, “siapa berperan apa” di Toro. Revitalisasi
kelembagaan adat, atau dalam konsep Ostrom diistilahkan
dengan modifikasi kebijakan, dilakukan secara partisipatif dan
melibatkan perwakilan masyarakat adat Toro.
Sementara itu, terkait dengan kemampuan masyarakat
Toro dalam “melindungi sumberdaya alam” dan “pemantauan”
dapat dijelaskan melalui eksistensi Tondo ngata, yang merupakan
tenaga operasional lembaga adat dalam mengamankan
sumberdaya alam di wilayah hukum adat. Demikian halnya
dengan mekanisme penyelesaikan konflik yang berjalan efektif,
disebabkan telah adanya sejumlah aturan yang mengatur hal
tersebut di Toro, termasuk di dalamnya sanksi-sanksi yang
menyertainya.
Terkait dengan “berbagai bentuk masukan” dapat
dijelaskan melalui sejumlah upaya yang telah dilakukan
masyarakat Toro dalam meningkatkan kemampuan
sumberdaya manusia dalam mengelola dan memanfaatkan
sumberdaya lahan dan hutan secara berkelanjutan. Salah
satunya melalui kerjasama dengan berbagai ORNOP dan
lembaga-lembaga penelitian dalam dan luar negeri. Hal ini
membuktikan adanya komitmen yang dimiliki oleh masyarakat
Toro untuk mempertahankan kelestarian sumberdaya
alamnya. Kerjasama dan interaksi antara pemilik hutan skala
kecil sangat berharga. Pertama, memberikan dasar pengelolaan
hutan yang efektif dan efisien dalam skala yang lebih besar.
Kedua, menyediakan platform untuk interaksi, pertukaran
pengetahuan, pembelajaran dan berbagi informasi (Põllumäe,
Lilleleht, and Korjus 2016).

Persfektif Emik terhadap Kinerja Kelembagaan Adat


Penilaian internal dimaksudkan untuk mengetahui
perspektif emik masyarakat dalam menilai kinerja kelembagaan

114 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


adat Toro pasca revitalisasi, utamanya dalam mengatur
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Berbeda
dengan penilaian kinerja kelembagaan adat yang menggunakan
kriteria Ostrom, dalam penilaian internal digunakan kriteria
yang berasal dari sudut pandang masyarakat. Penilaian
difokuskan terhadap aturan main yang dihasilkan melalui
revitalisasi kelembagaan adat. Kriteria yang dihasilkan
disajikan pada Tabel 23.

Tabel 23 Penetapan kriteria umum dalam menilai kinerja


kelembagaan adat dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya hutan di Toro

No Kriteria yang dihasilkan Modus %


(n=30)
1. Aturan mudah diterapkan 25 83.3
2. Pembagian peran adat dan pemerintah 5 16.7
jelas
3. Tidak merugikan masyarakat
7 23.3
4. Memberikan penegasan terhadap tata
batas kawasan 28 93.3
5. Kejelasan status penguasaan lahan 22 73.3
6. Memberikan kemudahan akses terha- 90.0
dap lahan dan hutan 27
7. Memberikan rasa aman 16.7
5
8. Penerapan sanksi bersifat adil 50.0
15
9. Kemudahan memperoleh lahan 16.7
5
10. Izin memanfaatkan kayu lebih mudah 10.0
3
11. Mampu membatasi pendatang
16.7
5
Sumber: Data primer setelah diolah 2006.

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 115


Tabel 23 menunjukkan bahwa dari 11 kriteria yang di
sebutkan oleh responden, diperoleh 5 kriteria masyarakat
yang memiliki nilai modus di atas 50%. Dengan demikian
kriteria tersebut dianggap sebagai kriteria umum yang dapat
digunakan untuk menilai sikap responden terhadap kinerja
kelembagaan adat yang baru. Kriteria tersebut di antaranya;
(a) aturan main yang mudah diterapkan; (b) ada penegasan
terhadap tata batas; (c) kejelasan status penguasaan lahan; (d)
kemudahan akses terhadap sumberdaya lahan dan hutan; dan
(e) penerapan sanksi yang bersifat adil.
Dengan menggunakan model sikap Fishbein (Santoso
2005), kriteria-kriteria tersebut diukur berdasarkan keyakinan
(belief) responden terhadap sejumlah kriteria yang diajukan,
dan didasarkan atas evaluasi (evaluation) responden terhadap
kinerja kelembagaan adat Toro. Dalam pengukuran belief,
pertanyaan yang diajukan tidak dikaitkan dengan kriteria
kinerja kelembagaan Toro, namun kriteria penilaian kinerja
kelembagaan secara umum. Sementara itu pengukuran
evaluation didasarkan atas penilaian kinerja kelembagaan adat
Toro oleh responden. Hasil perhitungan keakinan dan evaluasi
responden terhdap kinerja kelembagaan adat Toro disajikan
pada Tabel 24 dan Gambar 32.

Tabel 24 Penilaian sikap responden terhadap kinerja kelembagaan


adat dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
hutan di Toro

No Kriteria Rata-rata Rata-rata


Belief Evaluation
1. Mudah diterapkan oleh seluruh
4.5 3.6
masyarakat
2. Memebrikan penegasan terhadap
4.4 4.5
tata batas kawasan
3. Kejelasan status penguasaan lahan 4.3 3.8

116 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


4. Memberikan kemudahan akses terh-
4.2 4.1
adap lahan dan hutan
5. Penerapan sanksi bersifat adil 4.3 4.2
Sumber: Data primer setelah diolah 2006.
Keterangan:
- belief : 1 = sangat tidak penting; 2 = tidak penting; 3 = cukup
penting; 4 = penting ; dan 5 = sangat penting
- evaluation : 1 = sangat tidak puas; 2 = tidak puas; 3 = netral;
4 = puas; dan 5 = sangat puas

5
4.5 4.4 4.5
4.5 4.3 4.2 4.1 4.3 4.2
4 3.8
3.6
3.5
3
Penilaian

2.5
2
1.5
1
0.5
0
1 2 3 4 5
Kriteria

Keterangan : Belief Evaluation

Gambar 32 Diagram perbandingan


Gambar 32 Diagramantara nilai rata-rataantara
perbandingan dan rata-rata bel
belief nilai
evaluation.
dan evaluation.

Tabel2424dan
Tabel dan Gambar
Gambar 32 32 di atas
di atas menunjukkan,
menunjukkan, bahwabahwa kriter
kriteria-kriteria umumdi
masyarakat tersebut masyarakat tersebut diaturan
atas, di antaranya atas, diyang
antaranya
mudah diterapka
aturan yang mudah diterapkan; penegasan tata batas; kejelasan
batas;penguasaan
status kejelasan lahan;
statuskemudahan
penguasaan lahan;
akses kemudahan
terhadap lahan dan akses terh
sumberdaya hutan; serta penerapan sanksi yang adil, dinilai pent
Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 117
responden dalam mengukur kinerja suatu kelembagaan. Menurut mer
buruk suatu aturan dicirikan oleh beberapa hal, di antaranya (a) tingkat
sumberdaya hutan; serta penerapan sanksi yang adil, dinilai
penting oleh seluruh responden dalam mengukur kinerja suatu
kelembagaan. Menurut mereka, kriteria baik-buruk suatu
aturan dicirikan oleh beberapa hal, di antaranya (a) tingkat
kemudahan untuk diterapkan, yang dicirikan oleh penggunaan
bahasa yang sederhana, tidak bertentangan dengan nilai, norma,
dan adat istiadat, memiliki pedoman pelaksanaan yang jelas,
serta disosialisasikan secara terus-menerus kepada masyarakat;
(b) aturan tersebut harus mampu memberikan penegasan
terhadap batas-batas kawasan, sehingga dapat meredam
munculnya konflik dalam pemanfaatannya; (c) tata guna lahan
diatur secara jelas sehingga penguasaannya tidak tumpang
tindih; (d) akses masyarakat terhadap lahan dan hutan relatif
lebih mudah, serta; (e) penerapan sanksi terhadap pelanggaran
yang dilakukan bersifat adil, dan tidak memandang asal etnis,
agama, dan status sosial.
Sementara itu, evaluasi (evaluation) responden terhadap
kinerja kelembagaan adat menunjukkan nilai yang bervariasi,
utamanya terhadap kriteria kemudahan dalam penerapan
aturan dan kejelasan status penguasaan lahan. Kedua kriteria
tersebut diberi skor lebih rendah oleh responden.
Aturan yang ada, khususnya tentang pemanfaatan dan
pengolahan sumberdaya lahan dan hutan, belum sepenuhnya
dapat diterapkan oleh masyarakat. Hal tersebut lebih
disebabkan karena aturan-aturan yang belum tersosialisasi
dengan baik di tingkat masyarakat. Bahkan, beberapa
responden mengaku belum mengetahui tentang adanya aturan
tersebut. Hal berbeda disampaikan oleh responden lainnya,
di mana mereka mengaku telah mengetahui tentang adanya
aturan pemanfaatan sumberdaya alam, namun aturan tersebut
belum sepenuhnya berjalan. Dicontohkan bahwa dalam aturan
dijelaskan ‘mekanisme perizinan pemanfaatan lahan harus
diajukan kepada kepala desa melalui lembaga adat’.
Namun kenyataannya, beberapa dari masyarakat dapat

118 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


pula mengajukan izin secara langsung kepada pemerintah desa
tanpa melalui lembaga adat. Kasus lain dicontohkan perihal
aturan pembukaan lahan, di mana bagi masyarakat yang akan
membuka lahan disyaratkan untuk memperhatikan musim
berdasarkan perhitungan bulan dan bintang. Faktanya, proses
perizinan dapat dilakukan kapan saja. Hal ini mengidikasikan
belum konsistennya penerapan peraturan pemanfaatan
sumberdaya alam di Toro. Sungguhpun demikian, sebagian
besar masyarakat memandang hal tersebut sebagai suatu hal
yang wajar, sebagai suatu proses dinamika ke arah pembenahan
kelembagaan adat di Toro.
Terkait dengan kejelasan aturan tentang status
penguasaan lahan, terdapat beberapa hal yang masih
menimbulkan interpretasi ganda masyarakat. Dalam aturan
disebutkan bahwa ‘batasan-batasan pembagian lahan diatur
menurut asal-usul historis tanah, kebutuhan lahan, dan
kemampuan mengolah dengan tetap memperhatikan rasa
keadilan’. Bagi sebagian masyarakat utamanya etnis asli asal-
usul historis diterjemahkan sebagai warisan dari pendahulu
mereka, sehingga mereka secara otomatis berhak terhadap
lahan tersebut. Berbeda dengan sikap etnis pendatang, yang
memandang aturan tersebut sebagai ‘pembatasan’ terhadap
kesempatan mereka untuk membuka lahan, utamanya pada
lahan oma dan pangale.
Sementara itu, responden lain justeru memandang aturan
pemanfaatan sumberdaya alam yang telah dibuat justeru
berupaya untuk memberikan kesempatan yang merata bagi
masyarakat Toro dalam memanfaatkan sumberdaya lahan di
wilayah kelola adat. Hal ini dibuktikan dengan penegasan yang
terdapat dalam aturan tersebut untuk memperhatikan ‘rasa
keadilan’. Penegasan ini mengandung makna bahwa siapa
saja, tanpa memandang asal-usul etnis dan agama, asalkan
warga Toro maka dia memiliki kesempatan yang sama untuk
memanfaatkan sumberdaya alam di Toro.

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 119


Meskipun demikian, secara keseluruhan sikap masyarakat
yang diukur berdasarkan kriteria umum masyarakat
menunjukkan sikap positip terhadap kinerja kelembagaan
yang baru, utamanya dalam mengatur pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya alam di Toro. Hal ini mulai dirasakan
sejak dilakukannya revitalisasi, atau menurut versi mereka
setelah adanya pengakuan dari pihak BTNLL terhadap
wilayah hukum adat Toro. Hal positif yang dirasakan, antara
lain meningkatnya fungsi dan peran lembaga adat dalam
mengatur tata batas di wilayah hukum adat. Dahulu, sebelum
digulirkannya revitalisasi, konflik masyarakat dengan pihak
TNLL, atau desa-desa lain sering terjadi. Penelitian Kashwan
(2016) menunjukkan bahwa adanya konflik penggunaan
lahan antara masyarakat lokal dengan pihak pemerintah tidak
serta merta mengurangi permintaan masyarakat lokal untuk
mengelolah hutan secara bersama-sama.
Kejelasan tata batas secara tidak langsung juga
berpengaruh positif terhadap mekanisme pemanfaatan
sumberdaya lahan dan hutan di Toro. Masyarakat merasa lebih
mudah dalam memilah dan memilih bentuk pemanfaatan
lahan yang sesuai dengan tipologi lahan di Toro. Selain itu,
hal mendasar yang langsung dirasakan secara positif oleh
masyarakat adalah adanya keberpihakan lembaga adat kepada
upaya pengembangan ekonomi lokal, dengan kebijakan yang
membatasi pemanfaatan sumberdaya hutan, utamanya kayu,
hanya untuk masyarakat Toro. Salah satunya adalah adanya
aturan yang secara tegas melarang penjualan kayu dalam
bentuk log ke luar Toro, sehingga membatasi ruang gerak
pengusaha-pengusaha luar maupun free rider lain yang ingin
melakukan spekulasi di Toro. Sebaliknya, bagi usaha-usaha
masyarakat berskala lokal, lembaga adat tetap memberikan
izin untuk memanfaatkan kayu, tentunya melalui mekanisme
dan aturan-aturan adat yang telah ditetapkan.
Bagi masyarakat, penetapan larangan bagi pihak luar

120 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


untuk memanfaatkan kayu di Toro merupakan salah satu
kebijakan strategis lembaga adat yang dirasakan langsung
oleh masyarakat. Dengan adanya kebijakan tersebut, peluang
pengembangan usaha meubel berskala lokal terbuka lebar,
sehingga setiap warga Toro memiliki peluang yang sama untuk
meningkatkan taraf hidupnya.

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 121


122 Dr. Golar, S.Hut, M.Si
BAB VI
IMPLIKASI REVITALISASI
KELEMBAGAAN ADAT
TERHADAP KELESTARIAN
SUMBER DAYA HUTAN

D alam bab sebelumnya dijelaskan tentang bagaimana


performansi kelembagaan adat Toro dalam mengelola
sumberdaya hutan. Untuk menganalisnya telah digunakan
kriteria Ostrom dan kriteria emik masyarakat, di mana
kedua kriteria tersebut memuat sejumlah kondisi sosial yang
dibutuhkan dalam mengukur performansi kelembagaan
dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
alam milik umum (common property resources). Namun
demikian, kriteria tersebut masih perlu dilengkapi dengan
implikasi kelembagaan yang direvitalisasi terhadap kelestarian
sumberdaya hutan.
Disertasi ini menggunakan perangkat kriteria dan
indikator (K&I), dalam menjelaskan sejauhmana implikasi dari
aturan main dan struktur kelembagaan adat yang direvitalisasi
terhadap kelestarian sumberdaya hutan. Pendekatan K&I
yang digunakan adalah perangkat Kriteria dan Indikator
LEI (LEI 2004). Di dalam naskah akademik LEI dijelaskan

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 123


bahwa, untuk melakukan penilaian perlu ditetapkan lebih
awal variabel-variabel penting di antaranya: fungsi kawasan,
status penguasaan lahan, orientasi usaha, dan jenis hasil hutan yang
dihasilkan. Keempat Variabel tersebut digunakan untuk melihat
keberagaman praktek pengelolaan hutan secara lebih spesifik,
dan tentunya bermanfaat dalam memposisikan sumberdaya
hutan yang dijadikan objek kajian.
Variabel fungsi kawasan dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok,
yaitu: kawasan budidaya kehutanan (KBK), kawasan budidaya
non kehutanan (KBNK), dan kawasan yang dilindungi (KD). Bagi
KBK dan KD, pertimbangan utama terletak pada kepentingan
publik dibandingkan kepentingan pihak pengelola. Sedangkan
pada KBNK berlaku sebaliknya.
Variabel status penguasaan lahan dibedakan menjadi lahan
publik yang dikuasai negara, lahan adat, dan lahan dengan
hak milik formal berdasarkan hukum positif. Variabel ini akan
menentukan otoritas, hak, dan kewajiban bagi pemegang hak
penguasaan lahan. Penggunaan variabel ini, selain merujuk
pada ketetapan yang diberikan oleh hukum positif secara
formal, juga mengacu dan bersandar pada pengakuan hukum
adat setempat. Dengan demikian, secara teori maupun praktek,
pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat dapat dilakukan
pada semua status penguasaan lahan, di mana pada ketiganya
terdapat perbedaan hak dan kewajiban bagi pelaku-pelakunya.
Dengan demikian kejelasan terhadap status penguasaan
lahan sangat menentukan perilaku pengelola, sehingga akan
menentukan pula terhadap pencapaian keberlanjutan fungsi
hutan.
Variabel orientasi usaha, dibedakan menjadi orientasi usaha
yang bersifat komersial dan subsisten. Secara teoritis, perilaku
yang berorientasi komersial akan cenderung mengutamakan
keuntungan dan akumulasi modal. Sebaliknya, perilaku
subsisten cenderung akan memanfaatkan sumberdaya hutan
secara terbatas, serta memperhatikan kapasitas produksi

124 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


alamiahnya. Karena itu, di dalam pengelolaan hutan yang
berorientasi komersial, kecenderungan untuk melakukan
eksploitasi berlebih sangat terbuka dalam rangka mencapai
tingkatan ekonomi tertentu, yang tentunya berorientasi pada
keuntungan dan peningkatan modal (capital), melalui re-
investasi (reinvestation) (Suharjito et al. 2003: 5). Olehnya, di
dalam pola pengelolaan hutan yang berorientasi komersial,
peluang terjadinya pengelolaan hutan yang tidak lestari
akan sangat besar. Sebaliknya, pengelolaan hutan yang lebih
pada tujuan pemenuhan kebutuhan subsisten akan memiliki
kecenderungan terhadap pemeliharaan kelestarian fungsi
hutan yang lebih baik (LEI 2004).
Variabel jenis produk, membedakan produk utama yang
hendak dikelola, kayu dan atau non kayu dari hutan. Pembedaan
ini sedikit-banyaknya akan berpengaruh terhadap kelestarian
fungsi ekologis hutan. Pemanenan kayu akan cenderung
memberikan dampak ekologis lebih besar, dibandingkan
pemanenan non-kayu maupun jasa, meskipun tidak berarti
bahwa, seluruh usaha pengelolaan hasil hutan non kayu tidak
akan menimbulkan kerusakan fungsi ekologis hutan.

A. Tipologi Hutan di Toro


Mengacu pada variabel fungsi kawasan, wilayah Toro
sebagian dimasukkan dalam kawasan TNLL, selebihnya
merupakan Areal Penggunaan Lain (APL) (Gambar 33). Namun
demikian, berdasarkan status penguasaan lahan, orientasi
usaha, dan jenis hasil hutan, wilayah desa Toro dikategorikan
sebagai tanah adat.1 Hal ini disebabkan karena sebagian besar

1 Lahan adat diterminologikan sebagai sebidang tanah yang diklaim


sebagai hak milik suatu komunitas tertentu, dan pengelolaannya diatur
berdasarkan hukum adat mereka, terlepas dari keberadaannya yang terletak
di dalam kawasan yang diklaim sebagai Tanah Negara (TN) oleh pemerintah
maupun yang berada di luar kawasan TN dan yang dalam hal penguasaannya
bersifat individual maupun komunal (LEI 2004).
Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 125
tipologi lahan adat, utamanya wana dan pangale, dikuasai
secara komunal atau bersama oleh seluruh anggota komunitas
(communal-customary land), dan sepenuhnya dikelola oleh
lembaga adat Toro.
Berdasarkan karakterisitik kedua wilayah di atas, serta
sumberdaya alam yang dimiliki desa Toro, instrument K&I LEI
yang sesuai untuk digunakan dalam mengukur secara relatif
kelestarian sumberdaya hutan yang dikelola oleh lembaga
adat adalah kategori K-II, no. 09 dan no. 10. Kategori tersebut
diperuntukkan bagi sumberdaya hutan yang menghasilkan
kayu secara komersial pada tanah publik/negara, dan tanah-
tanah adat yang dikuasai secara komunal.
Meskipun wilayah kelola adat Toro sebagian besar
merupakan kawasan lindung, namun di beberapa tipologi
lahan adat, seperti: pangale, pahawa pongko dan oma, masyarakat
masih diperkenankan untuk memanfaatkan sumberdaya lahan,
hasil hutan kayu dan non kayu, sehingga dapat dikategorikan
”sama” dengan kawasan budidaya kehutanan. Selain itu,
kategori tersebut juga menekankan pada kebutuhan dalam
menjaga sejumlah kepentingan komunal, meliputi kepentingan
ekologi, ekonomi, dan sosial yang berimbang. Olehnya, sangat
sesuai dengan konsep pengelolaan sumberdaya hutan oleh
masyarakat adat Toro.

126 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


Sumber: Direktorat Jenderal Inventarisasi Tata Guna Hutan dan
Kebun, DEPHUTBUN, 1998.

Gambar 33 Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan Propinsi Sulawesi


Tengah (1998), (Dishut 2000).

B. Kelestarian Fungsi Sosial


Kelestarian fungsi sosial memiliki pengertian, bahwa
kelembagaan adat yang terkait dengan pengelolaan dan

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 127


pemanfaatan sumberdaya hutan dapat memberikan jaminan
keberlanjutan fungsi pengelolaan dan pemanfaatan hutan,
utamanya bagi kehidupan seluruh anggota komunitas secara
lintas generasi (LEI 2004). Dengan demikian jelas bahwa
sasaran dari kelestarian fungsi sosial adalah dibuatnya aturan
main yang dapat memberikan jaminan bagi kesejahteraan
masyarakat, utamanya mereka yang berinteraksi secara
langsung dengan sumberdaya hutan.
Kelestarian fungsi sosial diukur dengan menggunakan
empat kriteria, di antaranya: (1) kejelasan tentang hak
penguasaan dan pengelolaan lahan atau areal hutan yang
dipergunakan; (2) keterjaminan dalam pengembangan dan
ketahanan ekonomi komunitas; (3) terbangun pola hubungan
sosial yang setara dalam proses produksi; dan (4) keadilan
manfaat menurut kepentingan komunitas.

Kejelasan Hak Penguasaan dan Pengelolaan Lahan atau


Areal Hutan
Kriteria ini digunakan untuk menganalisis pola hubungan
kuasa antara komunitas Toro dengan sumberdaya lahan dan
hasil hutan. Melalui pola hubungan kuasa akan ditentukan
pola-pola pemanfaatan/penggunaan lahan hutan. Analisis
ditujukan terhadap kelembagaan yang mengatur pola-pola
pemanfaatan lahan dan sumberdaya hutan, status peguasaan
lahan, kejelasan batas-batas kawasan, dan mekanisme resolusi
konflik yang dimiliki oleh lembaga adat Toro.
Keempat indikator tersebut di atas memiliki kesepadanan
dengan kriteria kelestarian berdasarkan pemahaman
masyarakat Toro, utamanya terhadap “kejelasan status
lahan” dan “jaminan kelembagaan terhadap penyelesaian
konflik pemanfaatan lahan dan hasil hutan yang bersifat
adil”. Kedua kriteria tersebut dapat memberikan jaminan
terhadap pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya lahan

128 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


oleh masyarakat secara aman. Pemberian skor terhadap kriteria
kejelasan hak penguasan dan pengelolaan lahan atau areal
hutan disajikan pada Tabel 25.

Tabel 25 Skor kriteria kejelasan hak penguasaan dan pengelolaan


lahan atau areal hutan

No Indikator Bobot Nilai Skor

1. Pengelola hutan adalah warga 1.0 5.0 5.0


komunitas
2. Status lahan tidak dalam 1.0 5.0 5.0
sengketa dengan warga ang-
gota komunitas maupun pi-
hak lain
3. Kejelasan batas-batas areal 1.0 5.0 5.0
hutan yang dipergunakan
4. Digunakan tata cara atau me- 1.0 5.0 5.0
kanisme penyelesaian sengke-
ta yang berkeadilan terhadap
klaim/sengketa yang terjadi
Rerata Skor 5.0
Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.

Tabel 25 menunjukkan bahwa rerata skor yang dihasilkan


oleh kriteria kejelasan hak penguasaan dan pengelolaan lahan
atau areal hutan masuk dalam kategori baik (5.0). Seperti
dijelaskan sebelumnya, bahwa sumberdaya hutan di Toro
dikelola oleh lembaga adat, dan dimanfaatkan sepenuhnya
oleh masyarakat lokal. Sebenarnya, jauh sebelum adanya
pengakuan dari pihak BTNLL, wilayah kelola adat Toro telah
mendapatkan pengakuan dari desa-desa lain, terutama yang
berbatasan langsung dengan wilayah desa Toro, seperti desa
Katu, Oo Parese, dan Sungku. Olehnya, peluang terjadinya

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 129


sengketa terhadap pemanfaatan lahan, utamanya dengan
desa lain, sangatlah kecil. Kalaupun ada, lembaga adat telah
memiliki resolusi konflik yang diakui dan disepakati bersama
baik internal maupun eksternal Toro, meliputi: metode
musyawarah, mediasi, dan mekanisme peradilan adat.
Dalam penerapannya, khususnya terhadap konflik
internal di Toro, lembaga adat tidak sekedar menyelesaikan
sengketa yang terjadi, namun lebih jauh mengupayakan
untuk merekatkan kembali kekerabatan kedua belah pihak
yang bertikai. Upaya tersebut biasanya dilakukan melalui
”upacara pendamaian”, di mana penyelenggaraan ditanggung
sepenuhnya oleh kedua belah pihak. Hal ini pula yang
menyebabkan hampir setiap sengketa lahan yang terjadi di
Toro dapat diselesaikan dengan baik (Gambar 34 & 35).
Meskipun batas-batas lahan tidak nampak secara fisik,
namun masyarakat mampu mengenali dengan mudah di
lapangan. Hal ini lebih disebabkan karena lembaga adat
menggunakan batas-batas alam sebagai penandanya, seperti:
punggung bukit dan sungai. Sementara itu, untuk membedakan
tiap-tiap tipologi lahan tradisional digunakan “tanaman
indikator” (damar dan rotan), “karakteristik biofisik lahan”
(kemiringan dan ketinggian tempat); dan sejumlah “tanda-
tanda lain yang mencirikan lokasi yang dilindungi” (mata air
dan tanaman obat-obatan).

130 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


Gambar 34 Rapat penyelesaian Gambar 35 Makan Bersama sebagai
sengketa lahan antar masyarakat Toro simbolisasi selesainya sengketa di antara
(Foto: Golar 2005). mereka (Foto: Golar 2005).

Keterjaminan terhadap pengembangan dan ketahanan


ekonomi Komunitas
Kriteria ini digunakan untuk menganalisis sejauhmana
kelembagaan adat yang direvitalisasi mampu mengatur dan
mempertahankan pola keseimbangan di dalam aktivitas
pemanfaatan sumberdaya hutan, baik untuk kepentingan
ekonomi, sosial, maupun budaya. Secara mikro, kriteria ini
bermanfaat untuk mengetahui efektifitas dari aturan main
yang telah direvitalisasi dalam mengatur pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya alam, utamanya dalam memperkuat
kemampuan pengembangan ekonomi masyarakat. Dengan
demikian, secara relatif diharapkan bahwa tiap-tiap warga
masyarakat dapat memenuhi segala kebutuhan keluarganya
melalui aktifitas produksi di dalam hutan. Pemberian skor
terhadap kriteria keterjaminan pengembangan dan ketahanan
ekonomi komunitas disajikan pada Tabel 26.

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 131


Tabel 26 Skor kriteria keterjaminan terhadap pengembangan dan
ketahanan Ekonomi komunitas

No Indikator Bob- Nilai Skor


ot
1. Sumber-sumber ekonomi komu-
nitas terjaga dan mampu men-
1.0 4.0 4.0
dukung kelangsungan hidup ko-
munitas dalam lintas generasi
2. Terjaganya integrasi kegiatan 1.0 5.0 5.0
ekonomi kayu dengan kegiatan
non ekonomi di dalam kawasan
hutan
3. Penerapan teknologi produk-
si dan sistem pengelolaan dapat
1.0 5.0 5.0
mempertahankan tingkat penye-
rapan tenaga kerja laki-laki mau-
pun perempuan
Rerata nilai Skor 4.6
Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.

Tabel 26 menunjukkan bahwa secara umum skor


kriteria keterjaminan terhadap pengembangan dan ketahanan
ekonomi komunitas masuk dalam kategori baik (skor=4.6).
Berdasarkan penjelasan masyarakat, peluang akses mereka
terhadap sumberdaya lahan dan hutan saat ini jauh lebih baik
bila dibandingkan sebelum ada kesepakatan dengan pihak
BTNLL. Lebih dari 70% atau lebih kurang 365 rumahtangga
di Toro menyatakan “baik”, bahkan 17.2%, atau lebih kurang
88 rumahtangga menyatakan “sangat baik” bila dibandingkan
sebelum digulirkannya revitalisasi (Gambar 36).

132 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


80 71
70
60
50
(%) 40
30
17.2
20
9.6
10 2.2
0
sangat baik baik sedang buruk
kategori

Gambar 36 Peluang akses masyarakat terhadap sumberdaya lahan dan


hutan pasca revitalisasi (sumber: data STORMA 2004, diolah).

Sebelum ada kelembagaan adat yang secara khusus


mengatur tentang pemanfaatan lahan dan hasil hutan kayu
di Toro, masyarakat hanya menggantungkan hidupnya
dari hasil sawah dan mengumpul rotan (ba’rotan). Sebelum
tahun 1996, rata-rata (50%) rumahtangga di Toro melakukan
kegiatan mengumpul rotan, utamanya di saat sawah-sawah
mereka mengalami paceklik. Mereka masuk ke dalam hutan
berminggu-minggu untuk mecari rotan sesuai pesanan. Dalam
setiap minggunya mereka menghasilkan 150 kg -100 kg, dengan
harga berkisar antara Rp 100.000.00–Rp 200.000.00. Sementara
itu, biaya yang dikeluarkan untuk bekal mereka ke dalam
hutan (gula, rokok, dan lauk-pauk) adalah Rp 50.000.00 – Rp
80.000.00. Dengan demikian, nampak jelas bahwa hasil yang
diperoleh masyarakat tidak seimbang dengan pengorbanan
yang dikeluarkan.
Hal tersebut di atas dikeluhkan oleh istri-istri mereka,
di mana hasil yang diperoleh dari usaha mengumpul rotan
Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 133
dinilai tidak sebanding dengan waktu dan biaya yang telah
dikorbankan, bahkan cenderung “merugi” disebabkan
sepulang merotan suami-suami mereka sering mengeluh sakit,
sehingga mereka harus mengeluarkan lagi sejumlah biaya
untuk membeli obat. Hal serupa dikemukakan oleh kepala
desa Toro, bahwa kegiatan mengumpul rotan yang dikerjakan
oleh masyarakatnya tidak lagi memberikan untung, bahkan
tidak sedikit dari mereka mengalami kerugian disebabkan
tidak mampu lagi untuk memenuhi target sesuai pesanan
pembeli, sementara uang panjar telah diterima, sehingga
menjadi beban hutang bagi mereka. Untuk membayarnya,
mereka sering menjual lahan-lahan yang dimiliki atau langsung
menyerahkan lahan tersebut kepada si pemberi panjar2 untuk
melunasi hutangnya. Hal tersebutlah yang menjadi salah
satu dasar pertimbangan lembaga adat dan pemerintah desa
untuk memberikan peluang bagi masyarakatnya dalam
memanfaatkan lahan-lahan dan hasil hutan di wilayah kelola
adat Toro.
Pemberian peluang tersebut berpengaruh positif terhadap
tingkat pendapatan masyarakat. Bagi mereka yang selama ini
hanya mengandalkan hasil panen sawah, dengan dibukanya
peluang tersebut, kini mereka dapat memanfaatkan lahan-
lahan di bawah tegakan hutan, baik untuk ditanami kakao,
kopi dan vanilli. Situasi ini secara langsung telah memberikan
tambahan pendapatan (add incomes) masyarakat di Toro. Kajian
yang dilakukan Schwarze (2005), menjelaskan bahwa hasil
yang diperoleh dari sektor pertanian pasca kesepakatan (2000-
2004), utamanya untuk komoditas kakao, kopi, dan vanila telah
memberikan kontribusi sebesar 44% terhadap total pendapatan
rumahtangga di Toro. Demikian halnya terhadap peluang
untuk memanfaatkan hasil hutan kayu, dirasakan sangat
berarti oleh masyarakat, utamanya bagi mereka yang sedang
mengembangkan usaha meubel berskala lokal.
2 Pemberi panjar adalah pedagang pengumpul di Desa Toro, yang
juga menerima pesanan dari eksportir di Palu.
134 Dr. Golar, S.Hut, M.Si
Seperti dijelaskan terdahulu, bahwa bahan baku kayu
yang digunakan oleh pengrajin meubel di Toro umumnya
diperoleh dengan cara memesan pada seseorang yang berprofesi
penebang (chainsaw man). Untuk setiap 1 m3 kayu, misanya
untuk jenis tahiti dan cempaka, si pengrajin rata-rata membayar
Rp 300.000.00 kepada si penebang (dalam bentuk papan atau
balok sesuai pesanan). Harga tersebut tidak termasuk biaya
angkut dari hutan ke tempat si pengrajin. Untuk jasa tersebut,
biasanya dikenakan biaya tambahan sebesar Rp 250.000.00 – Rp
300.000.00. Selain biaya tersebut, pemilik kayu berkewajiban
pula untuk membayar kas desa sebesar Rp 25.000.00 untuk
tiap 1 m3. Dengan demikian, setiap 1 m3 kayu di Toro memiliki
harga berkisar Rp 550.000.00–Rp 600.000.00.
Meskipun demikian, nilai jual kembali dari produk yang
telah dihasilkan dihasilkan, seperti: pintu, kusen, dan meubel
jauh lebih menguntungkan. Sebagai ilustrasi, dalam 1 m3 kayu
hasil tebangan dapat dibuat menjadi 30–50 lembar papan,
tergantung ukuran dan ketebalannya. Dari papan-papan
tersebut, bila ingin dibuat menjadi pintu sedikitnya dibutuhkan
dua lembar papan. Bila telah menjadi pintu oleh si pengrajin
dihargai Rp 200.000.00. Jika diasumsikan bahwa, dalam 1 m3
kayu dapat dibuat menjadi 20 buah pintu, maka pendapatan
kotor yang dapat diterima pengrajin tersebut adalah sebesar Rp
4.000.000.00, atau berkisar Rp 2.500.000.00 (setelah dikurangi
dengan komponen biaya).
Hal tersebut di atas membuktikan bahwa lembaga adat dan
pemerintah desa Toro telah menjalankan salah satu fungsinya
dalam mendukung dan menjaga keutuhan masyarakat, melalui
jaminan kepastian usaha dan keberlanjutan sumber-sumber
ekonomi komunitas. Indikator ini memiliki kesepadanan
dengan kriteria “emik”, yaitu “adanya keterjaminan terhadap
sumber-sumber ekonomi masyarakat melalui pemberian
kesempatan dalam memanfaatkan hasil hutan di wilayah
kelola adat Toro”.

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 135


Peningkatan pendapatan masyarakat dapat diindikasikan
melalui kemampuan masyarakat Toro dalam menginstalasi
jaringan listrik; di mana lebih dari setengah (60%) rumah
tangga di Toro telah memasangnya secara individu, dan sekitar
20% yang mencantol pada keluarga lain. Selain itu, hal lain
yang mencirikan adalah peningkatan daya beli masyarakat
Toro terhadap kebutuhan sekunder, seperti: membeli pesawat
televisi, radio, parabola, dan kendaraan bermotor (Tabel 27).
Hal tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi peningkatan
kesejahteraan masyarakat seiring digulirkannya revitalisasi
kelembagaan adat, yang secara langsung telah memberikan
proporsi berimbang dalam memanfaatkan sumberdaya lahan
dan hutan di Toro.

Tabel 27 Data pemilikan asset ekonomi keluarga di Toro tahun 2004

No Jenis asset Jumlah %


(Jiwa)
1. Sambungan listrik sendiri 317 61
2. Pesawat televisi 72 14
3. Pesawat radio 375 72
4. Parabola 43 8
5. VCD 116 22
6. Motor 70 13
Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.
Keterangan: Persentase dihitung berdasarkan total rumahtang-
ga di Toro (253 kk)

Meskipun saat ini motif ekonomi telah mewarnai sistem


pemanfaatan lahan di Toro, namun prosesi adat, sebagai
salah satu tahapan dalam aktivitas pemanfaatan lahan hutan
masih tetap dijumpai. Namun, kini wujudnya lebih kepada
pendekatan yang sifatnya keagamaan. Hal ini merupakan

136 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


satu indikasi masih bertahannya sistem kearifan tradisional
Toro dalam aktifitas pemanfaatan lahan dan hasil hutan, yang
mampu mengintegrasikan aktivitas sosial budaya, religius, dan
non-ekonomis lainnya secara sinergis.
Untuk menjaga keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya
lahan dan hutan di Toro, secara tegas diatur tentang pembatasan
kategori wilayah adat yang dapat dan tidak dapat dimanfaatkan
kayunya. Tipe lahan yang diperkenankan untuk dimanfaatkan
kayunya adalah oma (oma ntua dan oma ngura) dan pahawa pongko.
Sementara itu, untuk tipe pangale kini tidak lagi diperkenankan
untuk dimanfaatkan kayunya. Hal tersebut dimaksudkan agar
sumberdaya hutan dan lahan yang dipertahankan, baik sebagai
hutan yang dilindungi maupun sebagai hutan cadangan adat
dapat terpelihara dengan baik. Upaya lain yang ditempuh oleh
pemerintah desa dan lembaga adat di Toro adalah melalui
himbauan kepada warga masyarakat untuk tidak menjual
lahan pada orang di luar Toro. Alasan yang mendasari
himbauan tersebut adalah untuk menjaga tertib sosial, terutama
yang berkaitan dengan kesinambungan tradisi. Alasan yang
mendasari adalah “jika Toro secara turun-temurun dihuni, dan
lahan dimiliki atau dikuasai oleh penduduk lokal, maka ”sistem
pengaturan sosial” yang diperankan oleh lembaga adat akan
berjalan dengan baik. Semakin homogen suatu masyarakat,
akan semakin mudah memelihara kesinambungan nilai-nilai
sosial-budaya masyarakat, yang tentunya menjadi insentif bagi
kelestarian hutan di Toro” (bdk. Li 2002; Leach et al 1997).
Konsepsi pemikiran tokoh masyarakat di Toro, sejalan
dengan studi yang pernah dilakukan oleh Universitas Idaho di
Amerika Serikat, yang menunjukkan bahwa praktek-praktek
yang dilakukan oleh penduduk asli di hutan lindung Bosawas,
Nikaragua, secara drastis mampu mengurangi pembukaan
hutan menjadi jauh lebih sedikit dibandingkan dengan mereka
yang bukan penduduk asli. Dalam tahun 2002, rata-rata setiap
petani yang bukan penduduk asli membuka hutan 17 kali

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 137


lebih luas dibandingkan dengan penduduk asli. Para petani
pendatang membuka hutan lebih luas karena pada saat mereka
selesai berladang, mereka membiarkan lahannya ditumbuhi
rumput. Sebaliknya, suku Mayangnas dan Miskitus (suku
asli) tidak pernah membiarkan lahannya tidur. Mereka terus
menerus menanami ladangnya dengan tanaman pertanian.
Para petani pendatang menggunakan sebagian rumput yang
tumbuh untuk makanan ternaknya. Sebagian dari mereka
dengan mudah mengklaim lahan tersebut sebagai tanah
peninggalan leluhur mereka. Para penduduk asli sebaliknya
menjaga ternak mereka di dalam perkampungannya, dan
mengelola lahan garapannya secara berkelompok (Hecht et al.
2006).
Studi tersebut di atas sekaligus menegaskan bahwa
tindakan protektif yang dilakukan oleh lembaga adat Toro,
dalam mencegah masuknya pendatang untuk mengelola lahan
dan hutan di Toro cukup rasional. Sekaligus membuktikan
komitment lembaga adat mempertahankan kelestarian
sumberdaya hutan untuk generasi mendatang.

Pola hubungan sosial yang setara dalam proses produksi


Kriteria ini digunakan dalam menilai bagaimana
pola hubungan sosial yang terbangun dalam pengelolaan
sumberdaya hutan, termasuk di dalamnya kejelasan pembagian
wewenang dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Toro.
Kewenangan yang jelas akan menunjukkan adanya kejelasan
pertanggung-jawaban atas kinerja, maupun atas dampak-
dampak yang mungkin ditimbulkan dari segala aktifitas
pengelolaan sumberdaya hutan. Pemberian skor terhadap
kriteria tersebut disajikan pada Tabel 28.

138 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


Tabel 28 Skor kriteria terbangunnya pola hubungan sosial yang
setara dalam proses produksi

No Indikator Bobot Nilai Skor

1. Pola hubungan sosial yang ter-


bangun antara berbagai pihak
1.0 5.0 5.0
dalam pengelolaan merupakan
hubungan sosial yang relatif se-
jajar
2. Pembagian kewenangan jelas 1.0 4.0 4.0
dan demokratis dalam kelem-
bagaan pengelolaan SDH
Rerata nilai Skor 4.5
Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.

Tabel 28 menunjukkan bahwa kriteria terbangunnya pola


hubungan sosial yang setara dalam proses produksi masuk
dalam kategori baik (skor= 4.5). Seperti dijelaskan sebelumnya,
terdapat dua tipologi penguasaan lahan di wilayah kelola adat
Toro yakni: (a) tipologi lahan yang dikuasai secara kolektif
(nanu hangkani), seperti: wanangkiki, wana, pangale, dan pahawa
pongko, dan (b) tipologi lahan yang kuasai secara individu (nanu
handua), seperti oma dan balingkea. Pengaturan pemanfaatan
lahan-lahan tersebut merupakan wewenang lembaga adat
dan pemerintah desa. Hal ini berarti bahwa, meskipun lahan
yang akan dikelola oleh masyarakat masuk dalam tipologi
lahan yang dapat dikuasai secara individu, namun bila ingin
mengelolanya mereka tetap harus melalui proses perizinan
kepada pemerintah desa dan lembaga adat.
Hal tersebut di atas dimaksudkan agar pemerintah
desa dan lembaga adat dapat tetap memantau segala aktifitas
pemanfaatan lahan dan hasil hutan di wilayah kelola adat Toro.
Selain itu, hal ini juga dimaksudkan agar bila terjadi konflik
internal yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 139


lahan dan hasil hutan pihak lembaga adat telah memiliki data
konkrit terkait penguasaan dan pemanfaatan lahan di wilayah
kelola adatnya, sehingga penyelesaian yang ditempuh oleh
pihak lembaga adat diharapkan tidak merugikan salah satu
pihak yang bertikai.
Dalam proses perizinan, masyarakat diminta untuk
mengemukakan tujuan pemanfaatan lahan atau hasil hutan, dan
letak lokasi lahan tersebut. Bila lokasi terletak pada lahan yang
dapat dikuasai secara individu, maka si pemohon berkewajiban
menyertakan informasi luasan, sejarah kepemilikan, serta data
atau informasi menyangkut pemilik lahan yang berbatasan
langsung dengan lokasi yang akan diajukan untuk dikelola atau
dimanfaatkan hasilnya. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah
kemungkinan munculnya tuntutan di kemudian hari terkait
pemanfaatan lahan tersebut, dan aturan ini diberlakukan
bagi setiap warga Toro, tanpa melihat asal-usul etnisnya.
Dengan demikian, pola hubungan sosial yang terbangun di
Toro, utamanya dalam memanfaatkan dan mengelola hutan
merupakan hubungan sosial yang relatif sejajar.
Sebelum pemerintah desa mengeluarkan izin akan
dilakukan konsultasi antara pemerintah desa dengan pihak
lembaga adat, dalam hal ini pihak tondo ngata. Hal tersebut
dilakukan karena tondo ngata selaku tenaga operasional
lembaga adat dianggap mengetahui dan menguasai kondisi
lokasi di wilayah hukum adat Toro. Keputusan yang akan
diambil pihak pemerintah sangat bergantung pada hasil
konsultasi tersebut. Namun demikian, di tingkat lapangan
masih ditemukan bahwa proses perizinan ada kalanya
diperoleh langsung dari pemerintah desa tanpa melalui proses
konsultasi dengan lembaga adat, utamanya bagi mereka yang
mengajukan izin pemanfaatan di lokasi nanu handua. Hal ini
mengindikasikan bahwa pembagian tugas dan wewenang
pengelolaan sumberdaya hutan antara pemerintah desa dan
pihak lembaga adat belum berjalan baik. Proses perizinan

140 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


mereka yang mengajukan izin pemanfaatan di lokasi nanu handua. Hal ini mengi
bahwa pembagian tugas dan wewenang pengelolaan sumberdaya hutan antara p
desa dan pihak lembaga adat belum berjalan baik. Proses perizinan untuk mem
untuk memanfaatkan lahan dan sumberdaya hutan disajikan
lahan dan
pada sumberdaya
Gambar 37. hutan disajikan pada Gambar 37.

Kepala desa
Layak/ tidak
Toro

Pengajuan
masyarakat

Lembaga
Adat
(Tondongata)

Gambar 37 Bagan alir proses perizinan pemanfaatan kayu di Toro.


Gambar 37 Bagan alir proses perizinan pemanfaatan kayu di Toro.

Keadilan manfaat menurut kepentingan komunitas


Kriteria ini digunakan untuk mengetahui ada-tidaknya
kompensasi yang diberikan oleh pihak lembaga adat dan
pemerintah desa kepada masyarakat Toro, utamanya terhadap
kerugian yang diakibatkan pengelolaan dan pemanfaatan
hutan; sejauhmana tingkat keterlibatan masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya hutan, kesamaan hak yang dimiliki
anggota komunitas, dan ada-tidaknya diskriminasi etnis dan
agama. Selain itu, kriteria ini digunakan pula untuk mengetahui
mekanisme pertanggung-jawaban lembaga adat kepada
masyarakat, terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
hutan. Hasil skor terhadap kriteria keadilan manfaat menurut
kepentingan komunitas disajikan pada Tabel 29.

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 141


Tabel 29 Skor kriteria keadilan manfaat menurut kepentingan
komunitas

No Indikator Bobot Nilai Skor

1. Ada kompensasi atas kerugian


yang diderita komunitas secara
1.0 3.0 3.0
keseluruhan akibat pengelolaan
hutan oleh kelompok dan disepa-
kati seluruh warga komunitas
2. Seluruh warga komunitas dan 1.0 3.0 3.0
publik terbuka untuk terlibat da-
lam penyelenggaraan pengelo-
laan SDH
3. Ada mekanisme pertanggung-
jawaban publik dari pengelola
1.0 5.0 5.0
terhadap komunitas
Rerata nilai Skor 3.6
Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.

Tabel 29 menunjukkan bahwa secara keseluruhan


penilaian terhadap kriteria keadilan manfaat masuk dalam
kategori sedang (3.60). Hal ini didasari oleh fakta bahwa
mekanisme konpensasi terhadap dampak pemanfaatan hutan
belum diatur secara khusus di Toro. Berdasarkan penjelasan
informan kunci, dan dipadu dengan hasil focus group discussion,
diketahui bahwa makna kompensasi di Toro adalah ”pemberian
atau perolehan kesempatan yang sama”, terutama bagi
setiap warga Toro dalam memanfaatkan sumberdaya hutan
di wilayah kelola adat. Di sini nampak bahwa kompensasi
hanya diberlakukan khusus bagi masyarakat Toro. Hal ini
menunjukkan tingkat pemahaman, dan tingkat pengakuan
terhadap kepentingan masyarakat yang berada di luar Toro
belum memadai. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa

142 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


tingkat pemahaman masyarakat Toro terhadap kelestariaan
hutan masih “bersifat lokal”. Artinya, dalam konteks
pemikiran masyarakat tentang kelestarian hutan masih sebatas
kepentingan warga masyarakat Toro.
Sementara itu, mekanisme pertangung-jawaban publik
dari pihak lembaga adat dan pemerintah desa kepada
masyarakat telah berjalan di Toro. Pemerintah desa dan
lembaga adat menginformasikan prihal kondisi sumberdaya
hutan di Toro saat ini melalui forum non-formal, seperti saat
ibadah Shalat Jum’at, maupun kebaktian di gereja-gereja yang
ada di Toro. Informasi yang disampaikan kepada masyarakat
didasarkan pada informasi yang diperoleh dari patroli tondo
ngata.

C. Kelestarian Fungsi Produksi


Kelestarian Sumber Daya
Dalam mengukur kriteria kelestarian sumberdaya hutan
digunakan beberapa indikator di antaranya: kejelasan status
dan batas lahan; perubahan luas lahan yang diakibatkan
gangguan alam maupun manusia; manajemen pemeliharaan
hutan yang dilakukan; dan penggunaan sistem silvikultur
yang sesuai daya dukung hutan. Hasil skor terhadap kriteria
kelestarian sumberdaya disajikan pada Tabel 30.
Tabel 30 Skor kriteria kelestarian sumberdaya

No Indikator Bobot Nilai Skor

1. Status dan batas lahan jelas 1.0 5.0 5.0


2. Perubahan luas lahan yang di- 1.0 4.0 4.0
tumbuhi tanaman, terutama yang
diakibatkan gangguan alam mau-
pun manusia
3. Manajemen pemeliharaan hutan 1.0 3.0 3.0

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 143


4. Teknik silvikultur sesuai daya 1.0 4.0 4.0
dukung hutan
Rerata nilai Skor 4.00
Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.

Tabel 30 menunjukkan bahwa penilaian terhadap kriteria


kelestarian sumberdaya termasuk dalam kategori baik (4.00).
Pada uraian terdahulu dijelasan, bahwa sejak digagasnya
revitalisasi di Toro, status dan batas kawasan telah terdefenisikan
secara jelas, dan dikonkritkan ke dalam peta partisipatif
komunitas adat Toro. Peta ini pula yang dijadikan dasar untuk
memperoleh pengakuan pihak BTNLL terhadap wilayah kelola
adat mereka. Pengakuan yang diberikan oleh pihak BTNLL,
melalui surat pernyataan no. 651/VI.BTNLL.1/2000, tentang
pengakuan terhadap eksistensi lembaga adat Toro dalam
mengelola sumberdaya hutan, semakin memperkuat status
wilayah kelola adat yang selama ini diklaim sebagai bagian dari
TNLL, seluas ± 18.360 ha. Dengan demikian, total luas defenitif
wilayah kelola adat Toro adalah seluas 22.950 ha sesuai peta
partisipatifnya.
Lahan-lahan yang dikuasai oleh masyarakat di Toro pada
umumnya telah mendapatkan pengakuan dari lembaga adat.
Hal ini secara jelas diatur dalam peraturan tentang Pengelolaan
Sumberdaya Alam (PSDA) Tahun 2002, Bab I, point 3 (Lampiran
5), dan Perdes Toro No.1 Tahun 2004, Bab V pasal 16-18, tentang
kedudukan, wewenang, dan tugas pemerintah desa, dan
pasal 21-23 tentang kedudukan, wewenang, dan tugas LMA
(lampiran 4), yang intinya bahwa, bagi setiap warga Toro yang
ingin membuka lahan harus mengajukan ijin kepada pihak
lembaga adat dan pemerintah desa. Tanpa melalui mekanisme
tersebut, segala aktifitas pembukaan lahan yang dilakukan oleh
warga Toro dianggap illegal.
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa mekanisme

144 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


perizinan tersebut di atas telah berjalan di Toro. Aturan yang
diberlakukan tersebut telah mampu meredam laju konversi
lahan hutan dan aktifitas pemanfaatan sumberdaya hutan
secara berlebihan. Menurut masyarakat, bila dibandingkan
sebelum digulirkannya revitalisasi, laju konversi lahan hutan
di Toro saat ini lebih terkendali. Dengan demikian akan
berdampak positif terhadap kelestarian sumberdaya hutan di
wilayah adat Toro.
Sementara itu, prosedur pemeliharaan hutan yang
diterapkan di Toro memiliki perbedaan dengan prosedur
pemeliharaan hutan yang sering diterapkan pada pengelolaan
hutan yang berskala komersil (sesuai arahan kriteria LEI).
Mekanisme pemeliharaan terhadap sumberdaya hutan di
Toro terintegrasi dengan sistem pemanfaatan tradisional.
Artinya, dalam setiap aktifitas pemanfaatan yang dilakukan
masyarakat, baik itu pemanfaatan lahan maupun hasil hutan
diwajibkan kepadanya untuk melakukan pemeliharaan.
Komitmen tersebut disepakati sejak proses awal pengajuan
izin pemanfaatan lahan dan hasil hutan di Toro. suatu bentuk
kontrak sosial yang terjalin antara masyarakat sebagai pihak
pemanfaat hutan dengan lembaga adat sebagai pihak pengelola
hutan.
Hal tersebut di atas didukung pula oleh teknik
“silvikultur tradisional,”3 di Toro, yang mencakup upaya
regenerasi, pemeliharaan, dan teknik pemungutan hasil.
Kegiatan regenerasi dan pemungutan hasil merupakan dua
kegiatan yang merupakan satu kesatuan tidak terpisah.
Dalam ilmu silvikultur, pemungutan hasil adalah upaya
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi terjadinya proses
regenerasi atau pertumbuhan dari anakan dengan kualiatas
baik (Soekotjo 2006). Di Toro, meskipun masyarakat tidak

3 Mekanisme penyelenggaraan dan pemeliharaan hutan tradisional,


yang sesuai dengan kaidah ilmiah dalam pengaturan komposisi dan
pertumbuhan hutan.

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 145


melakukan penanaman kembali pada lahan-lahan yang telah
di tebang kayunya, namun mereka sangat memperhatikan
dan menjaga kondisi anakan alam sebelum dilakukan
kegiatan penebangan. Bermodalkan keyakinan dan sejumlah
pengalaman yang diperoleh dari pendahulu mereka, diyakini
bahwa anakan-anakan tersebut akan tumbuh dengan baik dan
siap menggantikan pohon yang telah di tebang, asalkan dalam
proses penebangan anakan-anakan tersebut tidak terganggu.
Beberapa informan di Toro tidak satupun yang mampu
memberikan penjelasan secara rinci prihal kriteria yang
digunakan untuk menentukan kualitas anakan alam, yang
terjamin pertumbuhannya dan berapa jumlah minimal yang
seharusnya tersedia di lapangan, sehingga lokasi tersebut
dianggap layak untuk dipanen kayunya. Hal ini penting
diketahui, sebab jaminan terhadap regenerasi pohon yang
akan ditebang sangat bergantung pada anakan yang memiliki
jaminan pertumbuhan yang baik, meskipun lokasi tersebut
tidak diperuntukan secara khusus sebagai hutan produksi.
Namun demikian, kelembagaan adat Toro yang
direvitalisasi dapat dipandang sebagai suatu upaya penataan
hutan yang dilakukan oleh pemerintah desa dan lembaga
adat di Toro dalam rangka mempertahankan kelestarian
sumberdaya hutan di wilayah hukum adatnya.

Kelestarian Hasil
Tingkat kelestarian hasil dari suatu unit pengelolaan
hutan biasanya dicirikan oleh dilakukannya penataan areal,
adanya kepastian potensi hutan yang akan di produksi;
dilakukan pengaturan terhadap hasil hutan serta; ada upaya
efisiensi dalam pemanfaatannya. Secara lebih rinci kriteria dan
indikator LEI menambahkan beberapa komponen yang perlu
diukur terkait dengan penilaian terhadap kelestarian hasil,
di antaranya: keabsahan sistem lacak balak; dan pengaturan

146 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


manfaat hasil hutan. Hasil skor terhadap kriteria kelestarian
hasil disajikan pada Tabel 31.
Tabel 31 Skor kriteria kelestarian hasil

No Indikator Bobot Nilai Skor

1. Penataan areal pengelolan hutan 1.0 3.0 3.0


2. Kepastian adanya potensi produk- 1.0 3.0 3.0
si untuk dipanen lestari
3. Pengaturan hasil 1.0 3.0 3.0
4. Efisiensi pemanfaatan hutan 1.0 4.0 4.0
5. Keabsahan sistem lacak balak da- 1.0 3.0 3.0
6. lam hutan 1.0 3.0 3.0
Pengaturan manfaat hasil
Rerata nilai Skor 3.10
Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.

Tabel 31 di atas menunjukan bahwa penilaian terhadap


kelestarian hasil dari pengelolaan dan pemanfaatan hutan di
Toro masuk dalam kategori sedang (3.40). Penilaian tersebut
didasari atas fakta bahwa penataan areal pengelolaan hutan
tidak diatur secara spesifik. Tidak dimilikinya rencana
pengelolaan untuk tiap-tiap tipologi lahan merupakan salah
satu buktinya. Kondisi ini didasari fakta bahwa hingga saat
ini “tidak tersedia data rill” menyangkut potensi kayu dan
non kayu di tiap-tiap tipologi hutan adatnya, sehingga tidak
ada dasar yang kuat bagi lembaga adat dan pemerintah desa
dalam menetapkan rencana pengelolaan hutan secara spesifik.
Hal lain yang juga menjadi faktor pembatas adalah sebagian
besar wilayah Toro masuk memiliki topografi curam sehingga
perlu dilindungi, olehnya diperlukan ekstra hati-hati dalam
menentukan secara spesifik rencana pengelolaannya.
Guna mengantisipasi faktor-faktor pembatas tersebut di
Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 147
atas, pihak lembaga adat dan pemerintah desa telah melakukan
sejumlah tindakan prepentif, yang intinya adalah untuk
mebatasi sedini mungkin pemanfaatan sumberdaya hutan
yang melampaui batas. Upaya yang dilakukan antara lain: (a)
setiap pengajuan ijin pemanfaatan harus menetapkan lokasi
dengan tepat (tidak termasuk dalam wilayah yang dilindungi);
(b) melakukan pembatasan pada skala penebangan, di mana
jarak minimal antara satu pohon yang akan ditebang dengan
pohon lain adalah 200 meter, dengan maksud agar struktur dan
komposisi tegakan dapat dipertahankan, dan (c) mengupayakan
efisiensi pemanfaatan sumberdaya hutan dengan cara
mengurangi limbah-limbah penebangan, dan melarang
dilakukannya penebangan pohon saat mengumpulkan rotan.
Namun demikian, Implementasi di lapangan masih sulit
mencapai tataran ideal seperti yang disyaratkan. Hingga saat
ini sisa-sisa penebangan (limbah) akibat kesalahan penebangan,
maunpun yang sengaja ditinggalkan masih sering dijumpai
(Gambar 38 & 39). Tidak adanya standar prosedur penebangan
pohon menjadi salah satu penyebabnya.

Gambar 38 Limbah kayu yang Gambar 39 Alat yang digunakan


dihasilkan dalam proses penebangan untuk melakukan kegiatan
pohon di Toro (Dokumentasi Golar penebangan pohon di Toro
2005). (Dokumentasi Perkumpulan KARSA
Palu 2005).

148 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


Terkait dengan keabsahan sistem lacak balak, terutama
kesesuaian antara jenis dan lokasi penebangan yang diusulkan
masyarakat dengan realisasi di lapangan, ditemukan adanya
perbedaan. Berbagai argumentasi dikemukakan masyarakat
terkait perbedaan tersebut, di antaranya: adanya kendala
lokasi yang terlalu curam; pohon yang belum layak di tebang;
serta tidak tersedia anakan, seperti yang disyaratkan kepada
mereka. Olehnya, masyarakat akan mencari lokasi lain sebagai
penggantinya. Beberapa hal yang sering menyebabkan
terjadinya perubahan lokasi, di antaranya: (a) informasi
yang tidak akurat di terima oleh masyarakat, dan dijadikan
dasar dalam mengajukan izin penebangan kayu. Umumnya
masyarakat hanya menerima informasi tentang keberadaan
pohon beserta lokasinya dari para pencari rotan, yang terkadang
bersifat umum; (b) adanya prioritas jenis kayu tertentu yang
akan di tebang, seperti tahiti dan cempaka, yang terkadang
tidak dijumpai pada lokasi awal yang telah diusulkannya.
Sehingga mereka terpaksa mencari lokasi lain yang ditumbuhi
oleh kedua jenis pohon tersebut.
Namun, perubahan lokasi yang dilakukan biasanya
tidak dikonfirmasi kembali kepada pihak lembaga adat atau
pemerintah desa, dan menurut masyarakat hal tersebut pun
tidak dipermasalahkan oleh pemerintah desa atau lembaga
adat, selama mereka tidak melanggar kelembagaan adat, yaitu
untuk tidak menebang pada kawasan pangale, wana, dan wana
ngkiki. Mereka hanya melaporkan jumlah kubikasi dan jenis
kayu yang telah ditebang. Dengan demikian, pihak tondo ngata
mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi dan memastikan
lokasi asal penebangan yang dilakukan. Hal ini menjadi salah
satu faktor penghambat dalam pengaturan dan pemanfaatan
hasil hutan di Toro secara profesional.

Kelestarian Usaha
Dalam konsep pengelolaan sumberdaya hutan modern,

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 149


kestabilan usaha lazim diukur dengan sejumlah instrument
ekonomi, yang menekankan pada profitabilitas usaha yang
dilakukan. Untuk pengelolaan hutan berskala lokal, ukuran yang
digunakan umumnya lebih sederhana, terdiri atas indikator
kesehatan usaha, kemampuan akses pasar,dimilikinya sistem
informasi manajemen, ketersediaan tenaga terampil, investasi
dan re-investasi yang dilakukan, serta kontribusi terhadap
peningkatan kondisi sosial dan ekonomi setempat (LEI 2004).
Hasil skor terhadap kriteria kelestarian usaha disajikan pada
Tabel 32.
Tabel 32 Skor kriteria kelestarian usaha

No Indikator Bobot Nilai Skor

1. Kesehatan usaha 1.0 3.0 3.0


2. Kemampuan akses pasar 1.0 3.0 3.0
3. Sistem informasi manajemen 1.0 3.0 3.0
4. Ketersediaan tenaga terampil 1.0 3.0 3.0
5. Investasi dan re-investasi penge-
6. lolaan hutan 1.0 3.0 3.0
Kontribusi terhadap peningkatan
kondisi sosial dan ekonomi se-
1.0 5.0 5.0
tempat

Rerata nilai Skor 3.30


Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.

Kesehatan usaha pengelolaan hutan di Toro dicirikan


oleh adanya kemampuan pihak pengelola (pemerintah desa
dan lembaga adat) dalam memberikan jaminan terhadap
kesinambungan pemanfaatan hutan. Di Toro, salah satu
indikator yang mencirikan kesehatan usaha adalah dimilikinya

150 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


kelembagaan adat, yang secara tegas membatasi setiap
usaha untuk menjual kayu, baik dalam bentuk log maupun
papan ke luar Toro. Pemanfaatan kayu saat ini sepenuhnya
diperuntukkan bagi upaya pengembangan usaha lokal
masyasrakat Toro. Pembatasan tersebut dirasakan sebagai
insentif dan jaminan bagi sumber perolehan bahan baku usaha
meubel di Toro. Meskipun usaha tersebut di atas masih berskala
lokal, namun produk dihasilkan kini diminati oleh pembeli
yang datangnya dari desa sekitar, kecamatan, bahkan dari Palu.
Hal ini mengindikasikan adanya kemampuan produk lokal di
Toro untuk bersaing dan menembus pasar hingga ke Kota Palu.
Dengan demikian, peluang pengembangan usaha tersebut di
Toro semakin terbuka lebar bagi seluruh masyarakat di Toro.
Namun demikian, hingga saat ini pihak pengelola belum
memiliki sistem informasi manajemen (SIM) yang memadai.
SIM yang dimaksudkan dalam hal ini adalah data based atau
file arsip desa yang terdokumentasikan dengan baik tentang
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di wilayah
kelola adatnya, utamanya yang telah dan sedang dilakukan.
Meskipun pengelolaan hutan di Toro tidak memfokuskan
terhadap aspek produksi, namun keberadaan SIM amatlah
diperlukan, utamanya dalam mengevaluasi kinerja pengelolaan
dan mengukur kelestarian hutan yang telah dicapai, sebagai
salah satu komponen penting dalam perbaikan kinerja
pengelolaan di masa yang akan datang.
Sementara itu, terkait dengan upaya investasi
dan re-investasi pengelolaan sumberdaya hutan, yang
dicirikan oleh adanya alokasi dana khusus bagi perbaikan
kinerja pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan
(perencanaan, perlindungan, produksi, dan pembinaan hutan,
pengembangan sumberdaya manusia, prasarana dan sarana
hutan, serta manajemen usaha) belum tersedia di Toro. Salah
satu contohnya adalah belum tersedianya alokasi dana khusus
kepada tenaga operasional lembaga adat (tondo ngata) yang

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 151


tetap. Selama ini operasionalisasi tondo ngata memperoleh dana
yang bersifat insidentil dari berbagai pihak, seperti bantuan
dalam kegiatan patroli tondo ngata dan POLHUT yang diperoleh
dari pihak TNC dan STROMA. Hal ini penting diperhatikan,
meskipun para anggota tondo ngata mau melakukannya dengan
suka cita walau tanpa diberikan gaji, namun perlu disadari
bahwa waktu mereka yang digunakan untuk menafkahi istri
dan keluarganya “tersita” oleh tugas-tugasnya sebagai tondo
ngata. Olehnya, wajar bila insentif terhadap tugas yang diemban
anggota tondo ngata tersebut mendapatkan perhatian secara
khusus dari pihak pemerintah desa, atau dari pihak otoritas
TNLL, yang juga menikmati hasil pekerjaan tondo ngata di Toro
dalam mengawasi dan mempertahankan kelestarian TNLL.

D. Kelestarian Fungsi Ekologis


Kelestarian fungsi ekologis diterminologikan sebagai
kemampuan lembaga adat dalam mendukung dan memelihara
keseimbangan integrasi komunitas kehidupan hayati, yang
memiliki komposisi jenis, keanekaragaman, dan berbagai
fungsi yang seimbang dan terpadu, seperti kondisi habitat
alaminya. Kriteria yang digunakan untuk menganalisisnya
antara lain: (1) stabilitas ekosistem hutan yang dapat dipelihara
serta gangguan terhadapnya dapat diminimalisir dan dikelola;
dan (2) sintasan spesies endemik, langka, atau dilindungi dapat
dipertahankan dan gangguan terhadap sintasan tersebut dapat
diminimalisir.

Stabilitas ekosistem hutan dipelihara dan gangguan


terhadapnya dapat diminimalisir dan dikelola
Pengelolaan setiap sistem penggunaan lahan harus
mempertimbangkan karakteristik dan batas wilayah yang
dilindungi dengan intensitas penggunaan yang berbeda-beda.
Seperti halnya di dalam wilayah kelola adat Toro, terdapat

152 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


daerah yang dilindungi berdasarkan ketentuan-ketentuan
adat, seperti sempadan sungai, mata air, dan daerah-daerah
curam. Eksistensi daerah yang dilindungi tersebut bergantung
sepenuhnya kepada performansi kelembagaan adat Toro. Hasil
penilaian terhadap kriteria stabilitas ekosistem hutan disajikan
pada Tabel 33.
Tabel 33 Skor kriteria stabilitas ekosistem hutan dapat dipelihara dan
gangguan terhadapnya dapat diminimalisir dan dikelola

No Indikator Bobot Nilai Skor

1 Adanya tata batas dan upaya pen- 1.0 4.0 4.0


gelolaan kawasan-kawasan yang
seharusnya dilindungi dalam
areal
2 Tersedianya aturan kelola pro- 1.0 4.0 4.0
duksi yang meminimasi ganggu-
an terhadap integritas lingkungan
3 Ketersediaan informasi dan doku- 1.0 3.0 3.0
men dampak kegiatan
4 Adanya kegiatan kelola lingkun- 1.0 3.0 3.0
gan yang efektif
Rerata nilai Skor 3.5
Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.

Salah satu komponen penting dalam menjaga kestabilan


ekosistem hutan pada kawasan yang dilindungi adalah adanya
tata batas yang jelas, sehingga dapat dibedakan dengan
kawasan-kawasan lainnya. Meskipun tidak terdapat batas-
batas fisik di lapangan, namun masyarakat Toro pada umumnya
mampu untuk mengenali dan membedakan berdasarkan ciri-
ciri wilayah yang dilindungi oleh kelembagaan adat. Ciri-ciri
ini diketahui oleh masyarakat Toro, dan mereka mampu secara
jelas mendeskripsikannya. Hal ini mengindikasikan bahwa

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 153


setiap warga Toro telah mengetahui secara pasti tentang lahan-
lahan mana saja yang dapat dimanfaatkan dan yang harus
dilindungi.
Lembaga adat melalui sejumlah aturan mainnya, juga
mengendalikan atau membatasi pemanfaatan sumberdaya
hutan yang berlebih, utamanya terhadap kawasan-kawasan
yang dilindungi guna memberi peluang bagi pemulihan
ekosistem4. Selain dilakukan pembatasan, juga terdapat
sejumlah larangan untuk memanfaatkan kayu, utamanya pada
sepanjang sempadan sungai, sumber-sumber mata air, daerah
rawan longsor, serta beberapa lokasi yang dikeramatkan oleh
penduduk setempat. Meskipun demikian, pemanfaatan hasil
hutan non-kayu (rotan dan buah-buahan), pada kawasan
tersebut masih diperkenankan tentunya dengan jumlah yang
terbatas (sebatas keperluan ekonomi keluarga) sehingga tidak
menimbulkan dampak kerusakan terhadap ekosistem tempat
mereka mengekstraksinya.
Dalam upaya mencegah kemungkinan terjadinya konversi
terhadap kawasan yang dilindungi, secara periodik lembaga
adat menugaskan tondo ngata untuk terus memantau kondisi
kawasan-kawasan tersebut dan melaporkannya pada lembaga
adat. Selain tondo ngata, lembaga adat juga sering mendapatkan
laporan dan informasi mengenai kondisi sumberdaya hutan
di wilayah kelola adatnya melalui para pencari rotan. Upaya
tersebut dimaksudkan agar lembaga adat dapat tetap memiliki
informasi terkini, perihal kondisi sumberdaya hutan di wilayah
kelola adatnya. Hal tersebut membuktikan bahwa meskipun
pihak tondo ngata tidak mendatangi tiap-tiap lokasi tempat

4 Pembatasan pemanfaatan diutamakan bagi hasil hutan kayu dan


non kayu (rotan). Pembatasan bukan saja terhadap karakteristik lokasinya
(tofografi, ketinggian dsb), namun lebih jauh pada perkiraan kemampuan
suatu lahan untuk ”dipulihkan”. Khusus terhadap hasil hutan non kayu,
utamanya rotan dan pandan hutan, terdapat penggiliran tempat dan waktu
(ra-ombo).

154 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


mereka memungut rotan, namun masyarakat tetap patuh
untuk tidak melakukan pelanggaran sesuai ketentuan adat.
Suatu perilaku arif, yang masih dipertahankan oleh komunitas
Toro hingga saat ini.
Hal ini lebih disebabkan karena pembatasan terhadap
pemanfaatan kawasan yang dilindungi bagi masyarakat tidak
dipandang semata-mata sebagai suatu bentuk “larangan”,
namun lebih pada “pantangan”, sehingga memiliki konsekuensi
terhadap sanksi sosial yang lebih besar. Hal inilah yang
membuat eksistensi kawasan yang dilindungi di Toro dapat
tetap dipertahankan5.

Sintasan spesies endemik dilindungi dan dipertahankan,


serta gangguannya dapat diminimumkan
Tersedianya informasi mengenai spesies endemik atau
spesies dilindungi beserta habitanya, utamanya dalam kawasan
yang akan dikelola, merupakan salah satu faktor penunjang
kinerja kelembagaan. Namun, informasi tersebut amat minim
dimiliki oleh masyarakat adat di Toro. Selama ini, lembaga adat
hanya mengandalkan informasi dari tondo ngata dan informasi
dari masyarakat, Seperti disajikan pada Tabel 34.
Tabel 34 Skor kiteria sintasan spesies endemik dilindungi dan
dipertahankan, serta gangguannya dapat diminimumkan

No Indikator Bobot Nilai Skor


1 Tersedianya informasi mengenai
spesies endemik/ langka/ dilind-
ungi dan agihan habitatnya yang 1.0 3.0 30
penting dalam kawasan

5 Beberapa indikasi eksistensi kawasan yang dilindungi di Toro,


diantaranya: debit air sungai yang normal sepanjang tahun, serta belum
pernah terjadi tanah longsor yang menyebabkan kerugian baik materi
maupun nyawa.

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 155


2 Adanya upaya meminimumkan 1.0 3.0 3.0
dampak kelola produksi terhadap
spesies
Rerata nilai Skor 3.0
Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.

Tabel 34 menunjukkan bahwa penilaian terhadap kriteria


tersebut termasuk dalam kategori sedang (3.0). Beberapa
kajian terdahulu yang dilakukan oleh lembaga penelitian
asing, maupun peneliti-peneliti dari Universitas Tadulako,
diketahui bahwa terdapat 4 (empat) spesies mamalia besar, di
antaranya anoa, babirusa, babi liar Sulawesi, dan monyet Toki
yang diperkirakan hidup di kawasan TNLL. Namun, hingga
saat ini tidak dapat diketahui secara pasti tentang distribusi
atau kelimpahannya (TNC 2004). Hasil pendugaan terhadap
populasi Anoa dan babi liar Sulawesi, yang didasarkan pada
jejak kotoran diketahui bahwa pada kawasan hutan, termasuk
di wilayah kelola adat Toro, masih dijumpai jejak anoa maupun
babi liar, seperti disajikan pada Gambar 40.
Berbeda dengan metode di atas, masyarakat Toro
menggunakan pendekatan jejak kaki yang ditinggalkan
oleh hewan tersebut untuk mengetahui keberadaannya.
Menurut masyarakat jejak kaki dapat bertahan lebih lama
bila dibandingkan dengan jejak kotoran yang ditinggalkan.
Melalui cara itu, jejak-jejak anoa dan babi liar Sulawesi masih
sering dijumpai oleh penduduk yang kebetulan mencari
rotan di kawasan wana. Informasi tersebut biasanya langsung
disampaikan pada petugas tondo ngata. Cara inilah yang
selama ini digunakan oleh masyarakat Toro dalam memantau
keberadaan fauna yang dilindungi di wilayah Toro.

156 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


biasanya langsung disampaikan pada petugas tondo ngata. Cara inilah yang s
digunakan oleh masyarakat Toro dalam memantau keberadaan fauna yang dili
wilayah Toro.

Lokasi

Gambar 40 Perbandingan tingkat temuan jejak kotoran Anoa dan


Gambar
babi 40 Perbandingan
liar Sulawesi di 8 lokasitingkat temuan
berbeda; jejakdiadaptasi
(sumber: kotoran Anoa dan babi liar Sula
dari TNC
lokasi berbeda;
2004; dan (sumber: diadaptasi
Pitopang 2006). dari TNC 2004; dan Pitopang 200
Ancaman paling penting bagi anoa dan babi liar Sulawesi
Ancaman paling penting bagi anoa dan babi liar Sulawesi di TNLL adala
di TNLL adalah masalah perburuan. Seperti di Toro, ancaman
perburuan.
terhadap Sepertiperburuan
aktifitas di Toro, ancaman
liar datang terhadap aktifitas perburuan
dari penduduk desa liar da
lain, yang hidup
penduduk dekat
desa lain, yangdengan wilayah-wilayah
hidup dekat hutan Toro.
dengan wilayah-wilayah hutan Toro. Ha
Hasil patroli tondo ngata, yang dilaksanakan pada bulan Juli
tondo ngata, yang dilaksanakan pada bulan Juli 2005, berhasil menemukan bebe
2005, berhasil menemukan beberapa jerat yang dipasang di
yang dipasang
hutan (wilayahdikelola
hutanadat),
(wilayah
olehkelola adat), oleh
penduduk yangpenduduk
berasal yang
dari berasal dari
desa
(SaidKatu (Said
Tohoho Tohoho
2005, 2005,
diskusi diskusi
pribadi). pribadi).
Di Toro, telahDi Toro,secara
diatur telahjelas melalui
diatur secara jelas melalui peraturan tentang PSDA, Bab II,
tentang PSDA, Bab II, yang memuat tentang larangan untuk memasang jerat ata
yang memuat tentang larangan untuk memasang jerat atau
di dalam
berburu di hutan, menggunakan
dalam hutan, alat stroom
menggunakan dan racun
alat stroom danuntuk
racunmenangkap
untuk menangkap ikan, dan penggunaan senapan angin. Selain
itu, masyarakat juga dihimbau untuk tidak merusak habitatnya
dengan tidak melakukan pemanfaatan sumberdaya hutan
secara ekstrim. Wilayah yang ditetapkan oleh lembaga adat

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 157


sebagai sintasan hewan-hewan liar tersebut adalah kawasan
wana dan wana ngkiki. Hal ini merupakan indikasi adanya upaya
lembaga adat untuk melokalisir dan melindungi populasi serta
habitat fauna langka Sulawesi dari dampak kelola produksi
hutan yang dilakukan.
Terkait dengan potensi flora di Toro, hingga saat ini
lembaga adat belum memiliki informasi rill menyangkut
struktur dan komposisi flora endemik pada kawasan kelola adat
Toro. Namun demikian, upaya-upaya yang mengarah pada
pelestarian dan perlindungan flora endemik dan dilindungi
telah dilakukan. Salah satunya adalah dengan menugaskan
tondo ngata untuk menginventarisasi dan mengumpulkan jenis-
jenis baru yang belum mereka ketahui. Selanjutnya, sampel
tersebut mereka serahkan pada LSM atau lembaga penelitian
mitranya untuk diidentifikasi.
Kajian terkini dari Pitopang (2006) melaporkan bahwa
sedikitnya ditemukan 52 spesies pohon kayu yang memiliki
nilai ekonomi penting, dan 66 spesies yang tergolong endemik
Sulawesi yang terdapat di hutan Toro. Khusus yang tumbuh
pada hutan primer (wana), dijumpai sedikitnya 63 pohon per 0.25
ha. Jumlah spesies ini secara gradual berkurang untuk kawasan
pangale, pahawa pongko dan oma. Hal tersebut disebabkan karena
tiap-tiap tipologi lahan di Toro memiliki pola dan intensitas
pemanfaatan lahan dan hasil hutan yang berbeda-beda. Secara
gradual pula, intensitas pemanfaatan lahan oleh masyarakat
semakin tinggi pada kawasan-kawasan di bawahnya (pangale,
pahawa pongko, dan oma). Hal tersebut membuktikan, bahwa
meskipun batas-batas antar tiap-tiap tipologi pemanfaatan
lahan merupakan “batas imajiner”, namun terbukti mampu
membatasi perilaku masyarakat dalam memanfaatkan lahan
dan hasil hutan pada kawasan-kawasan tersebut. Bila kondisi
ini dapat dipertahankan dengan baik, maka kelestarian ekologis
hutan Toro akan lebih terjamin.

158 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


E. Penilaian terhadap Tingkat Kelestarian Hutan
Implikasi performansi kelembagaan adat terhadap
Kelestarian sumberdaya hutan dinilai berdasarkan skor
indikator di tiap-tiap kriteria yang telah diuraikan sebelumnya.
Pencapaian kelestarian merupakan nilai total seluruh indikator
yang digunakan (LEI 2004). Masing-masing skor yang
dihasilkan dikelompokkan ke dalam tiap-tiap kriteria dan
prinsipnya masing-masing, seperti disajikan pada Tabel 35- 37.
Tabel 35 Skor kriteria dan indikator LEI untuk kelestarian fungsi
sosial

Dimensi Hasil
Kelestarian Fungsi Sosial
Kejelasan Terja- Terba- Keadilan
tentang minnya ngun manfaat
hak pengem- pola menurut
pengua- hubun-
saan dan bangan gan kepent-
Dimensi pengelo- dan sosial ingan
laan lahan ketahanan yang komuni-
atau areal ekonomi setara tas
hutan dalam
yang komunitas proses
dipergu- produk-
nakan si
1. MANAJE-
MEN KAWA- 5.0
SAN
1.1. Pemantapan
5.0
Kawasan
1.2. Penataan 5.0
2. MANAJE-
MEN HUTAN
2.1. Kelola Pro- 4.0
5.0 5.0 -
duksi 5.0

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 159


2.2. Kelola Ling-
- - - -
kungan
3.0
2.3. Kelola Sosial - 5.0 -
3.0
3. PENATA-
AN KELEM- - 3.0
BAGAAN
3.1. Akuntabili-
4.0 -
tas Publik
3.2. Penataan
- -
Organisasi
3.3. Peningkatan
- -
SDM
Sumber: Hasil pengukuran nilai C&I LEI 2006.

Tabel 36 Kriteria dan indikator LEI untuk kelestarian fungsi produksi

Dimensi Hasil
Kelestarian Fungsi Sosial
Dimensi Kelestarian Kelestarian Kelestarian
Sumber- Hasil Usaha
daya
1. MANAJEMEN
KAWASAN
1.1. Pemantapan
5.0 -
Kawasan
1.2. Penataan
4.0 3.0
Kawasan
2. MANAJEMEN
HUTAN
2.1. Kelola Pro- 3.0
3.0 3.0
duksi 3.0

160 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


2.2. Kelola Ling-
- 4.0 -
kungan
2.3. Kelola Sosial 4.0 3.0 3.0
3. PENATAAN
KELEMBAGAAN
3.1. Akuntabilitas
- 3.0
Publik
3.2. Penataan Or-
3.0 3.0
ganisasi
3.3. Peningkatan
- 3.0
SDM
3.4. Manajemen
- 5.0
Keuangan
Sumber: Hasil pengukuran nilai C&I LEI 2006.

Tabel 37 Kriteria dan indikator LEI untuk kelestarian fungsi ekologi

Dimensi Hasil
Kelestarian Fungsi Lingkunngan
Dimensi Stabilitas eko- Sintasan spesies
sistem langka/ende-
mik/ dilindungi
1. MANAJEMEN
KAWASAN
1.1. Pemantapan Kawa- 4.0 3.0
san
1.2. Penataan Kawasan - -
2. MANAJEMEN HU-
TAN
2.1. Kelola Produksi 4.0 -
3.0 -
2.2. Kelola Lingkungan 3.0 3.0
2.3. Kelola Sosial - -

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 161


3. PENATAAN KELEM-
BAGAAN
3.1. Akuntabilitas Publik
3.2. Penataan Organisasi
3.3. Peningkatan SDM
Sumber: Hasil pengukuran nilai C&I LEI 2006.

Tabel di atas (tabel 35-37) menunjukkan matriks sebaran


skor indikator tiap-tiap prinsip kelestarian berdasarkan
dimensi manajemen dan hasil. Dimensi manajemen kawasan,
baik itu berupa pemantapan atau penataan kawasan umumnya
telah terpenuhi oleh kinerja kelembagaan adat di Toro. Hal
ini dibuktikan melalui kejelasan status dan batas lahan,
serta mekanisme penyelesaian konflik yang berjalan dengan
baik. Keamanan dan kepastian kawasan merupakan “syarat
keharusan” bagi tercapainya pengelolaan hutan yang lestari. Hal
tersebut erat kaitannya dengan beberapa manfaat yang dapat
diberikan, di antaranya: (1) memberikan jaminan terhadap
perolehan manfaat bagi pemegang hak, (2) secara relatif
meniadakan sengketa antara pemegang hak dengan pihak lain,
(3) dapat menunjukan adanya dukungan dari pihak-pihak lain
yang bukan pemegang hak kepada pemegang hak, dan (4) ada
kewenangan pada pemegang hak untuk melakukan tuntutan
secara hukum terhadap pihak-pihak yang tidak berhak (LEI
2004).
Terkait dengan dimensi manajemen hutan, utamanya
komponen kelola produksi, masih dijumpai berapa indikator
yang belum terpenuhi, di antaranya: (a) tidak tersedianya
informasi dan dokumentasi yang memadai terhadap dampak
kegiatan produksi yang telah dilakukan oleh masyarakat; (b)
tidak tersedianya data potensi hutan yang layak dipanen secara
lestari. Kedua komponen ini dapat mempengaruhi kinerja
pengelolaan dan pemanfaatan hutan di Toro.
Dimensi penataan kelembagaan (akuntabilitas publik,

162 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


penataan organisasi, peningkatan sumberdaya manusia,
dan manajemen keuangan) merupakan “syarat perlu” bagi
pencapaian pengelolaan hutan yang lestari. Indikator
kelestarian hutan yang terkait dengan ketiga dimensi penataan
kelembagaan masih belum terpenuhi seluruhnya di Toro.
Indikator dimaksud di antaranya: (a) mekanisme pertangung-
jawaban publik, (b) efisiensi pemanfatan hasil hutan, (c) sistem
informasi manajemen pengelolaan hutan; dan (d) tenaga
terampil yang mampu memanfaatkan sumberdaya hutan secara
efisien dan terkendali. Untuk mengetahui kecenderungan
kelestarian hutan yang dihasilkan oleh kelembagaan adat Toro
dapat dilihat pada Tabel 38.
Tabel 38 Skor total indikator pada tiap-tiap prinsip kelestarian
hutan

No Prinsip Kategori
Baik Cukup Jelek
1 Kelestarian fungsi sosial 7.0 4.0 0.0
2 Kelesetarian fungsi produksi 7.0 10.0 0.0
3 Kelestarian Ekologi 2.0 4.0 0.0
Total 16.0 18.0 0.0
Persentase (%) 48.0 52.0 0.0
Sumber: data primer setelah diolah (2006).

Tabel 38 menujukkan bahwa indikator di tiap-tiap prinsip


hanya tersebar pada dua kategori penilaian, yaitu kategori
baik (3.68 – 5.00) sebesar 48.0% dan cukup (2.34 – 3.67) sebesar
52.0%. Mengacu pada metode pemberian kategori LEI, maka
kelembagaan adat Toro masuk dalam kategori “telah memenuhi
persyaratan minimum pencapaian pengelolaan yang lestari6”,

6 Skor yang masuk dalam kategori ‘baik’ lebih besar dari 50%, dan
jumlah skor yang masuk dalam kategori ‘cukup’ lebih besar dari 25%.

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 163


yakni adanya keseimbagan pada ketiga prinsip kelestarian;
kelestarian fungsi sosial, kelestarian fungsi produksi, dan
kelestarian ekologi, yang dihasilkan oleh kinerja pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan di Toro.
Kriteria tersebut di atas memiliki keselarasan dengan
kriteria emik penilaian kelestarian hutan, terutama terhadap
komponen “kejelasan satus lahan”, yang dapat memberikan
jaminan pemanfaatan dan pengelolaan oleh masyarakat secara
aman; “jaminan keadilan lembaga adat dalam penyelesaian
konflik pemanfaatan lahan”; serta “jaminan terhadap sumber-
sumber ekonomi masyarakat”.

164 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


BAB VII
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
KEBIJAKAN

A. Kesimpulan
Telah terjadi perubahan lingkungan yang disebabkan
intervensi ekonomi pasar dan dinamika politik. Intervensi
ekonomi pasar lebih disebabkan perubahan preferensi
ekonomi masyarakat akibat permintaan yang tinggi terhadap
tanaman komersil di Toro, seperti: kakao, kopi, dan vanilla.
Sementara itu, tekanan politik yang terjadi di Toro, baik
internal maupun eksternal, didominasi oleh masalah-masalah
ketidak-seimbangan hak penguasaan dan pemilikan lahan di
Toro, dan melemahnya fungsi kontrol lembaga adat terhadap
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan.
Perubahan preferensi ekonomi masyarakat serta dinamika
politik di Toro berimplikasi terhadap kestabilan sumberdaya
hutan di Toro. Secara meluas, perubahan-perubahan yang
terjadi membuat masyarakat merespon dengan melakukan
revitalisasi terhadap kelembagaan. Wujud revitalisasi dalam
bentuk perubahan kelembagaan adat, yang terdiri atas struktur
organisasi dan aturan main.
Kelembagaan adat yang direvitalisasi telah dinilai
baik berdasarkan kriteria Ostrom maupun kriteria umum

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 165


masyarakat Toro, yang terdiri atas: kejelasan batas-batas
sumberdaya hutan dan kelompok pengguna, mekanisme
pemanfaatan sumberdaya alam, dan modifikasi kebijakan yang
dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan perwakilan
masyarakat Toro, kemampuan masyarakat dalam “melindungi
sumberdaya alam, mekanisme penyelesaian konflik yang
berjalan efektif, serta kemampuan lembaga adat dalam menjalin
kemitraan dengan lembaga lain di luar Toro.
Perubahan kelembagaan adat secara umum memiliki
implikasi terhadap kelestarian pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya hutan di Toro. Beberapa hal yang mencirikan di
antaranya: telah dilakukan penataan wilayah kelola adat; status
dan batas lahan yang jelas; hak pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya hutan yang telah didefenisikan; dimilikinya
mekanisme resolusi konflik yang efektif; serta mekanisme
pemantauan sumberdaya alam yang telah berjalan. Sementara
itu, terkait dengan dimensi manajemen hutan utamanya pada
komponen kelola produksi, masih dijumpai kelemahan di
antaranya: tidak tersedianya informasi dan dokumentasi yang
memadai terhadap dampak kegiatan produksi yang telah
dilakukan; tidak tersedianya data potensi hutan yang dapat
dipanen secara lestari; tidak jelasnya mekanisme pertangung-
jawaban publik; rendahnya efisiensi pemanfaatan hasil hutan;
belum tersedianya sistem informasi manajemen pengelolaan
hutan; dan kurangnya tenaga terampil dan teknologi yang
mampu memanfaatkan sumberdaya hutan secara efisien dan
terkendali.
Eksistensi sumberdaya hutan sangat penting bagi
masyarakat Toro. Hal tersebut tercermin melalui pola hubungan
yang kompleks antara masyarakat dengan sumberdaya hutan.
Hutan tidak saja menjadi sumber matapencaharian, namun
lebih jauh merupakan simbol harmonisasi hubungan antara
masyarakat dan lingkungannya, yang tercermin pada nilai-
nilai dan falsafah hidup mereka: “Mahintuwu mampanimpu

166 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


katuwua toiboli Topehoi” (Melindungi kehidupan dan
sumberdaya lingkungan yang telah dianugerahkan kepada
kami oleh Tuhan YME). Olehnya, masyarakat berusaha untuk
menguatkan kembali kelembagaan adatnya dalam rangka
mempertahankan kelestarian sumberdaya hutannya.

B. Implikasi Kebijakan
Kajian ini menunjukkan bahwa masyarakat Toro,
memiliki kemampuan dalam mengatur pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah kelola adatnya
secara baik. Tekanan Intervensi ekonomi pasar dan dinamika
politik direspon melalui strategi pengaturan pemanfaatan
sumberdaya lahan dan hutan, diversifikasi sumber-sumber
matapencaharian, dan pengembangan jaringan antara lembaga
di luar Toro.
Pengaturan pemanfaatan sumber daya lahan dan
hutan melalui kategorisasi lahan tradisional yang dimiliki,
menjadikan masyarakat Toro lebih konsisten dalam mengelola
dan memanfaatkan sumberdaya hutan. Hal ini ditunjang
oleh keeratan hubungan yang terjalin antara masyarakat
Toro dan sumberdaya hutannya, disebabkan sistem nilai
dan norma sosial yang masih bertahan di Toro. Keeratan
hubungan tersebut ditunjang pula oleh adanya kejelasan hak
milik (property right) dan aturan-aturan lokal, yang sesuai
dengan harapan dan tuntutan masyarakat Toro. Hal ini
sejalan dengan hasil kajian Bromley 1989; Badstue et al. 2006;
Murray et al. 2006, yang menjelaskan bahwa faktor utama
penentu keberhasilan komunitas lokal dalam mempertahankan
kelestarian sumberdaya hutan adalah adanya kejelasan property
right serta berfungsinya dengan baik sistem kelembagaan lokal.
Sistem kelembagaan dimaksud meliputi norma (norm), sanksi
(sanction), nilai (value), dan kepercayaan (belief), yang telah
mengakar, dan diterima secara luas oleh masyarakat dalam

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 167


menciptakan interaksi sesama manusia, dan antara manusia
dengan sumberdaya alam.
Pengembangan usaha yang dilakukan oleh masyarakat,
sebagai bentuk respon terhadap intervensi ekonomi pasar,
mendapat dukungan dari kelembagaan adat di Toro. Dalam
hal ini, masyarakat diberikan peluang untuk memanfaatkan
sumberdaya hutan, dalam rangka mengembangkan usaha
skala lokal mereka di Toro. Hal ini merupakan insentif bagi
masyarakat, yang dapat memperkuat modal sosial di Toro (bdk.
Grant 2003; Ghate 2004).
Hal tersebut di atas merupakan peluang, dan sekaligus
potensi yang dapat diadopsi oleh pemerintah, utamanya
dalam mengembangkan sistem zonasi taman nasional yang
akomodatif, efektif, dan efisien. Hal ini didasarkan atas beberapa
pertimbangan di antaranya: (1) kategorisasi lahan yang dibuat
oleh masyarakat adat Toro memiliki kesetaraan, meskipun
tidak sama dengan konsep zonasi ideal taman nasional di
Indonesia; (2) kuatnya modal sosial masyarakat Toro menjadi
salah satu jaminan terhadap keberhasilan penerapannya di
lapangan; (3) kategorisasi lahan tradisional masyarakat Toro
telah melembaga, dan terinternalisasi dengan baik pada pola
kehidupan masyarakat Toro sehari-hari; (4) pola pengelolan
sumberdaya lahan dan hutan secara tradisional dijumpai pula
di lokasi lain, seperti yang dijumpai pada masyarakat adat
Kesepuhan Banten Kidul dan masyarakat adat Kenekes, yang
menerapkan sistem zonasi adat, Leuweung kolot dan leuweung
titipan (Hanafi et al 2004); Masyarakat Baduy, dengan konsep
zonasi tradisionalnya (Iskandar 1992); Masyarakat Dayak
Kenyah dengan sistem tataguna lahan tradisional “Tana‘Ulen”
(Sardjono 2004); dan masih banyak contoh lainnya, yang
membuktikan kehandalan pengelolaan sumberdaya lahan
dan hutan yang dilakukan masyarakat lokal. Masyarakat adat
dianggap sebagai pengelola utama dan penghuni habitat yang

168 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


merawat dengan baik keanekaragaman hayati di dalam hutan
(Toledo 2013).
Di samping, di dalam Peraturan Menteri Kehutanan
No.P.56/ Menhut/-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman
Nasional, dijelaskan bahwa “penataan zona taman nasional
harus didasarkan pada potensi dan fungsi kawasan, dengan
memperhatikan aspek ekologi, ekonomi, dan budaya”.
Dinyatakan pula secara eksplisit bahwa dalam rangka zonasi
taman nasional, pemerintah menumbuh kembangkan peranserta
masyarakat. Hal tersebut merupakan peluang yang cukup
baik untuk mencoba menginternalisasikan zonasi tradisional
masyarakat Toro ke dalam sistem zonasi TNLL yang akan
dibuat. Misalnya wilayah wana ngkiki disetarakan dengan zona
inti; wana disetarakan dengan zona rimba; pangale disetarakan
dengan zona pemanfaatan tradisional; dan oma disetarakan
dengan zona pemanfaatan intensif. Dengan demikian,
diharapkan pengakuan kewenangan secara formal terhadap
wilayah kelola adat Toro akan terwujud. Hal ini penting dalam
memposisikan Toro dan masyarakat adat lainnya, sebagai
suatu entitas masyarakat yang memiliki kesempatan untuk
melakukan aksi bersama (collective action) di dalam mengelola
dan mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan.

Implikasi Teori dan Metodologi


Teori Bennett telah mampu menjelaskan persoalan
adaptasi pada kasus Toro, di mana revitalisasi kelembagaan
adat merupakan pilihan masyarakat dalam merespon
perubahan lingkungan di Toro. Pilihan tersebut merupakan
wujud strategi adaptasi, yang didasarkan atas kepentingan
kolektif masyarakat dalam mempertahankan kelestarian
sumberdaya hutan, dengan tetap memberikan peluang bagi
setiap masyarakat di Toro dalam memanfaatkan sumberdaya
hutan secara adil (Bennett 1976; Turnbull 2002).

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 169


Temuan ini sejajar dengan temuan-temuan lain yang
terkait dengan masalah adaptasi sosial-kultural, seperti
Pranowo (1985) mengkaji adaptasi masyarakat lereng Gunung
Merapi terhadap intervensi politik; Ayoola (1998) mengkaji
respon penduduk desa Igalas, Nigeria Tengah terhadap
kelangkaan lahan akibat tekanan penduduk melalui pengaturan
pola tanam campuran (mix cropping); Suharjito (2002)
mengkaji strategi adaptasi keluarga/ rumahtangga melalui
pengembangan sistem agroforestry kebun-talun, sebagai wujud
respon terhadap tekanan penduduk dan intervensi ekonomi
pasar; Demikian halnya dengan Gomes (1993), mengkaji
strategi adaptasi suku asli Semai, Malaysia, terhadap resiko
kegagalan produksi lahan melalui penganekaragaman aktivitas
produksi. Kieft (2001), mengkaji respon komunitas lokal dalam
mengatasi permasalahan kelangkaan lahan di dalam menjamin
ketersediaan pangan, melalui pola “berlapis”.
Meskipun demikian, kajian-kajian adaptasi tersebut di atas
memberikan hasil yang berbeda dengan kasus Toro. Perbedaan
tersebut lebih disebabkan oleh teori adaptasi yang digunakan.
Pada kasus Toro digunakan konsep adaptasi dari Bennett
(1967), yang dikombinasikan dengan konsep Turnbull (1992)
dan Ostrom (1994), di mana kajian adaptasi lebih ditekankan
pada respon kolektif masyarakat terhadap perubahan
lingkungan. Sementara itu, kasus lain lebih menekankan
pada respon individu dalam suatu komunitas masyarakat.
Perbedaan lainnya juga disebabkan oleh beragamnya tipologi
masyarakat yang dikaji, serta pola-pola interaksi yang terjalin
antara masyarakat dengan sumberdaya hutan.

170 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


DAFTAR PUSTAKA

Abubakari, Z., P. van der Molen, R.M. Bennett, and E.D.


Kuusaana. 2016. “Land Consolidation, Customary
Lands, and Ghana’s Northern Savannah Ecological Zone:
An Evaluation of the Possibilities and Pitfalls.” Land
Use Policy 54 (July):386–98. https://doi.org/10.1016/j.
landusepol.2016.02.033
Adimihardja L. 1999. Petani Merajut Tradisi di Era Globalisasi.
Bandung: Humaniora Utama Press.
Agrawal A. 2005. Environmentaly: community, intimate,
government, and the making of environmental subjects
in Komaon, India Current Anthropology, 46-161-90
Agrawal A. 1998. Indigenous and scientific knowledge: some
critical comments, Jurnal Antropologi Indonesia no 55-th.
XXII 1998 hlm: 14-22
Agrawal A, Yadama GN. 1997. How do Local Institutions Mediate
Market and Population Pressures on Resources? Forest
Panchayats in Kumaon, India. Development and Change
28: 435-465. Institute of Social Studies.
Alikodra HS, Syaukani HR. 2004. Bumi Makin Panas Banjir
Makin Luas: Menyibak Tragedi Kehancuan Hutan.

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 171


Bandung: Nuansa.
Alland AJR. 1975. Adaptation, Di dalam: Annual Review of
Anthropology, Vol. 4 (1975), 59-73. URL: http://links.jstor.
org/sici?sici= 0084-6570. Diakses tanggal 2 Juli 2006
Anau et al. 2000. Pemetaan desa partisipatif dan penyelesaian
konflik batas: studi kasus di desa-desa daerah aliran
sungai Malinau. Bogor: CIFOR.
Arnold JEM. 1998. Managing Forest as Common Property. Bogor:
CIFOR.
Atran S. 1999. Folk Ecology and Commons management in the
Maya Lowlands. Proceeding of The National Academy
of Science USA. Di dalam: Pandey DN. 1993. Wildlife,
National Park, and People. Indian Forester 119: 521-529.
Awang SA. 1993. Pembangunan Masyarakat dan Keseriusan
Mewujudkannya dalam Pengelolaan Hutan yang
Lestari di Indonesia. Di dalam: Sumardi A. et al. (ed).
1993 Norma-Norma Kelestarian Sosial, Ekonomi, dan
Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Yogyakarta:
Fahutan UGM.
Ayoola GB. Indigenous Knowledge and Agricultural Extension
delivery. Indigenous Knowledge Development Monitor
2001; No 9 Mei: pp.28-29.
Azis ASR. 2003. Memahami Fenomena Sosial Melalui Studi
Kasus. Di dalam Bungin B. (editor). 2003. Analisis
Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan
Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm: 18-35
Bachtiar, Anas Rizki, Wayan Windia, and Ni Wayan Sri Astiti.
2016. “Persepsi Masyarakat Dan Strategi Pengembangan
Agrowisata Salak Di Desa Sibetan Kecamatan Bebandem
Kabupaten Karangasem Bali.” Jurnal Manajemen Agribisnis
4 (1): 26–36.
Badstue LB et al. 2006. Examining the Role of Collective Action

172 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


in an Informal Seed System: A Case Study from the Central
Valleys of Oaxaca, Mexico. Di dalam: Human Ecology, Vol.
34, No. 2.hlm : 249-272.
Baird, Ian G. 2015. “Translocal Assemblages and the Circulation
of the Concept of ‘indigenous Peoples’ in Laos.” Political
Geography 46 (May):54–64. https://doi.org/10.1016/j.
polgeo.2014.12.001
Baland JJP, Platteau. 1996. Halting degradation of natural resources:
Is there a role for rural communities? Di dalam: Pagde A,
Kim Y, Daugherty PJ. 2006. What Makes Community Forest
Management Successful: A Meta-Study From Community
Forests Throughout the World. Society and Natural
Resources, 19
Barlett PF. 1980. Adaptive Strategies in Peasant Agricultural
Production. Annual Review of Anthropology, Vol. 9. Hlm:
545-573.
Basturo X. 2006. How Locally Designed Access and Use Controls
Can Prevent the Tragedy of the Commons in a Mexican Small-
Scale Fishing Community. Di dalam: Society and Natural
Resources, Vol 18: hlm: 643–659.
Basuni S. 2003. Inovasi Institusi untuk Meningkatkan Kinerja
daerah Penyangga Kawasan Konservasi (Studi kasus di
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat).
(Disertasi) tidak Dipublikasikan. Bogor: Institut Pertanain
Bogor.
Baur H. 2003. Local Perception of Waza National Park, Northen
Cameroon. (Abstrak). Environmentan Coservation.
Cambridge University Press 30: 175-181
Beevers, Michael D. 2016. “Forest Governance and Post-
Conflict Peace in Liberia: Emerging Contestation and
Opportunities for Change?” The Extractive Industries
and Society 3 (2):320–28. https://doi.org/10.1016/j.
exis.2015.07.007

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 173


Bhattarai TN. 1985. Community forestry development in Nepal.
National Curriculum Development Workshop Paper.
Kathmandu, Nepal: Ministry of Forest and Soil
Conservation.
Bhattacharya, Prodyut, Lolita Pradhan, and Ganesh Yadav. 2010.
“Joint Forest Management in India: Experiences of Two
Decades.” Resources, Conservation and Recycling 54 (8):469–
80. https://doi.org/10.1016/j.resconrec.2009.10.003
Berkers F, Jolly D. 2001. Adapting to climate change: social-
ecological resilience di dalam: a Canadian western Arctic
community. Conservation Ecology 5 (2): 18. [online]:
http://www.consecol.org/vol5/iss2/art18. Diakses: 24
Pebruari 2007.
Berkes F. 2004. Knowledge, Learning and the Resilience of Social-
Ecological Systems. Paper for the Panel “Knowledge for
the Development of Adaptive Co-Management”, session
organizers.IACSP ‘04, Oaxaca, Mexico, Agustus 2004.
Bennett JW. 1976. The Ecological Transition: Cultural Anthropology
and Human Adaptation. New York: Pergamon Press Inc.
Black JA, Champion DJ. 1992. Metode dan Masalah Penelitian
Sosial. Koeswara et al., penerjemah. Bandung: Eresco.
Bohensky E, T. Lynam. 2005. Evaluating responses in complex
adaptive systems: insights on water management from the
Southern African Millennium Ecosystem Assessment
(SAfMA). Ecology and Society 10 (1): 11. [online] http://
www.ecologyandsociety.org/vol10/iss1/art11/
(diakses: tanggal 24 September 2006).
Borrini-Feyerabend G, Farvar MT, Nguinguiri JC, Ndangang
VA. 2000. Co-management of Natural Resources: Organising,
Negotiating and Learning-by-Doing. GTZ and IUCN,
Kasparek Verlag, Heidelberg Germany.
Bromley DB. 1989. Making the commons work (Ed). San
Francisco, CA: Institute for Contemporary Studies.

174 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


Bungin B. 2003. Teknik-Teknik Analisis Kualitatif dalam
Penelitian Sosial. Di dalam Bungin B. (ed). 2003. Analisis
Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan
Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm: 83-105
Burger R. 1998. Water Users Associations in Kazakhstan: An
Institutional Analysis. Harvard Institute for International
Development (HIIID) Cambridge. Di dalam: Kartodiharjo
et al. Kajian Institusi Pengelolaan DAS dan Konservasi
Tanah. Bogor : K3SB.
Burkard G. 2002. Stability or Sustainability? Dimensions of Socio-
economic Security in a Rain Forest Margin. Palu, Indonesia:
Discussion Paper No 6, STORMA
Butt, Nathalie, Kimberly Epps, Han Overman, Takuya Iwamura,
and Jose M.V. Fragoso. 2015. “Assessing Carbon Stocks
Using Indigenous Peoples’ Field Measurements in
Amazonian Guyana.” Forest Ecology and Management
338 (February):191–99. https://doi.org/10.1016/j.
foreco.2014.11.014
Campbell JY. 2003. Beragam Pandangan Mengenai Kehutanan
Masyarakat (Community Forestry di Indonesia). Di dalam:
Kemana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan dan
Perumusan Kebijakan di Indonesia. Jakarta, Yayasan
Obor Indonesia.
Cardona, Walter Cano, Wil de Jong, Pieter A. Zuidema, and
Rene Boot. 2014. “Diverse Local Regulatory Responses
to a New Forestry Regime in Forest Communities in
the Bolivian Amazon.” Land Use Policy 39 (July):224–32.
https://doi.org/10.1016/j.landusepol.2014.02.013
Ceddia, M. Graziano, Ulrich Gunter, and Alexandre Corriveau-
Bourque. 2015. “Land Tenure and Agricultural Expansion
in Latin America: The Role of Indigenous Peoples’ and
Local Communities’ Forest Rights.” Global Environmental

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 175


Change 35 (November):316–22. https://doi.org/10.1016/j.
gloenvcha.2015.09.010
Colfer CJP. 1999. The BAG (Basic assessment guide for human well-
being). Criteria & Indicators Toolbox Series No. 5. Bogor,
Indonesia: CIFOR.
Colfer CJP. 2005. The Complex Forest: Comunities, Uncertainty,
and Adavtife Collaborative Management. Resource for he
future, Bogor: Washington, SC and CIFOR.
Colfer, Carol J. Pierce. 2011. “Marginalized Forest Peoples’
Perceptions of the Legitimacy of Governance: An
Exploration.” World Development 39 (12):2147–64. https://
doi.org/10.1016/j.worlddev.2011.04.012
Cookey, Peter Emmanuel, Rotchanatch Darnswasdi, and
Chatchai Ratanachai. 2016. “Local People’s Perceptions of
Lake Basin Water Governance Performance in Thailand.”
Ocean & Coastal Management 120 (February):11–28.
https://doi.org/10.1016/j.ocecoaman.2015.11.015
Cundill GNR, Fabricius C, Marti N. 2006 Foghorns to the Future:
Using Knowledge and Transdisciplinarity to Navigate Complex
Systems. Di dalam: Ecology and Society 10 (2): 8. http://
www.ecologyandsociety.org/vol10/iss2/art8/. (Diakses
8 Maret 2006).
Darusman D. 2002 Pembenahan Kehutanan Indonesia:
Dokumentasi Kronologis Tulisan 1986-2002. Bogor:
Laboratorium Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan,
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Darusman D. 2001 Komparasi Antar Usaha Kehutanan. Di
dalam: Resiliensi Kehutanan Masyarakat Indonesia.
Yogyakarta, Debut Press.
Daur, Naomi, Yahia O. Adam, and Jürgen Pretzsch. 2016. “A
Historical Political Ecology of Forest Access and Use in
Sudan: Implications for Sustainable Rural Livelihoods.”
Land Use Policy 58 (December):95–101. https://doi.

176 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


org/10.1016/j.landusepol.2016.06.016
Dave, Radhika, Emma L. Tompkins, and Kate Schreckenberg.
2017. “Forest Ecosystem Services Derived by Smallholder
Farmers in Northwestern Madagascar: Storm Hazard
Mitigation and Participation in Forest Management.”
Forest Policy and Economics 84 (November):72–82. https://
doi.org/10.1016/j.forpol.2016.09.002
David E, Wollenberg E, Dachang L. 2003. Introduction. Di dalam
: Local Forest management, The Impacts of Devolution Policies.
Earthscan London. Sterling VA.
Dear CE, Myers OE. 2005. Conflicting Understandings of
Wilderness and Subsistence in Alaskan National Parks.
Society and Natural Resources, 18: hlm 821-837.
Departemen Kehutanan. 2000. DEPHUT website, http://
dephut.gov.id. (Diakses 18 Juni 2004)
Devung S. 1997 Tana’Ulen Sistem tradisional Pengolahan Hutan
oleh dan Untuk Rakyat. Studi Kasus dari DAS Bahau
Kaltim, Kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang.
Pusat Perhutanan Sosial (CSF) Samarinda: Unmul.
Dhiaulhaq, Ahmad, Toon De Bruyn, and David Gritten. 2015.
“The Use and Effectiveness of Mediation in Forest and
Land Conflict Transformation in Southeast Asia: Case
Studies from Cambodia, Indonesia and Thailand.”
Environmental Science & Policy 45 (January):132–45.
https://doi.org/10.1016/j.envsci.2014.10.009
Dove MR. 1983. Studi Kasus tentang Sistem Perladangan Suku
Kantu’ Kalimantan, PRISMA 4: 63 – 67.
Dove MR. 1988. Sistem Perladangan di Indonesia. Suatu Studi
Kasus dari Kalimantan Barat Yogyakarta: UGM Press.
Ellen R. 1997. Indigenous knowledge of the rainforest: Perception,
extraction, and conservation. University of Kent, Canterbury.
ELSAM/ICEL. 2001. Whose Nation? Whose Resourcs Towards

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 177


a New Paradigm of Environmental Justice and the National
Interest of Indonesia. Didalam: Kemana Harus Melangkah?
Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan Indonesia.
Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Faisal, Sri M. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan
Sumberdaya Hutan, Bogor. Pustaka LATIN.
Faust H, Maerten M, Weber M, Nunung R, van Rheenen T,
Birner R. 2003. Does Migration Lead to Destabilization of
Forest Margins? Evidence from an Interdisciplinary Field
Study in Central Sulawesi, STORMA Discussion Paper
Series on Social and Economic Dynamics in Rainforest
Margins, No. 11.
Fay C, Sirait M 2003. Mereformasi Para Reformis di Indonesia
Pasca Soeharto. Di dalam: Kemana Harus Melangkah?:
Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di
Indonesia. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Flint CG, Luloff AE. 2005 Natrural Resource-Based Communities,
Risk, and Disater: An Intersection of Theories. Di dalam:
Society and Natural Resources, 18: hlm 399- 412.
Fremerey M. 2002. “Local Communities as Learning Organisations:
The Case of The Village of Toro, Central Sulawesi, Indonesia.”
Di dalam : Storma Discussion Paper Series. No 6.
Gottingen & Bogor : STORMA.
Fritz-Vietta, Nadine V.M. 2016. “What Can Forest Values
Tell Us about Human Well-Being? Insights from Two
Biosphere Reserves in Madagascar.” Landscape and Urban
Planning 147 (March):28–37. https://doi.org/10.1016/j.
landurbplan.2015.11.006
Garcia MB. 1994. Introductory Sociology: A Unifield Approach
with Accompanying Work Book. Metro Manila, Philippines:
National Book Store. Inc.
Gerold G, Fremery M, Guhardja E. 2004. Land Use, Nature
Conservation and the Stability of Rainforest Margins in

178 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


Southeast Asia. Springer, Berlin Heidelberg New York.
Ghate R. 2004. Traditional and Non-traditional Indigenous Informal
Institutions in Forest Management. Di dalam : EGDI and
UNU-WIDER Confrence 17 – 18 September 2004, Helsinki,
Finland. Hlm 1 – 19.
Gilmour DA, Fisher RJ. 1998. Sejarah Communitry Forestry di
Nepal. Di dalam: Seri Kajian Komuniti Forestri, Seri 1
Tahun 1.
Goldman M. 2003. Partitioned Nature, Privileged Knowledge:
Community-Based Conservation in Tanzania. Development
and Change 34 (5): 833-862. Institute of Social Studies.
Goldschmidt W. 1971. The Dinamyc Adaptation of Sebei Law. Di
dalam: Soeharjito D. 2002. Kebun Talun: Strategi Adaptasi
Sosial Kultural dan Ekologi Masyarakat Pertanian
lahan Kering di Desa Buniwangi, Sukabumi, Jawa Barat
(Disertasi) tidak Dipublikasikan. Depok: Universitas
Indonesia.
Gomes AG. 1993. Konfrontasi dan Kontinuitas: Produksi
Komoditi Sederhana di Kalangan Orang Asli. Di
dalam: Gomes AG dan Ghee LT, editor. Suku Asli dan
Pembangunan di Asia Tenggara. Jakarta, Indonesia:
Yayasan Obor. Hlm. 18-58.
Gomes AG, Ghee LT. 1993. Suku Asli dan Pembangunan di
Asia Tenggara. Di dalam: Gomes AG dan Ghee LT, editor.
Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara. Jakarta,
Indonesia: Yayasan Obor. Hlm. 18-58.
Gooner C. 2001. Pengelolaan Sumberdaya di Sebuah Desa
Anak benuaq: Strategi, Dinamika dan Prospek. Sebuah
Studi kasus dari Kalimantan Timur Indonesia. Deutsche
Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ)
Gmbh Postfach 5180 D-65726 Eschborn, Germany.
Grant E. 2001. Social Capital and Community Strategies:
Neighbourhood Development in Guatemala City, Development

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 179


and Change Vol. 32: hlm. 975-997.
Greiner L. 1998. Working with Indigenous Knowledge: A Guide
for Researches. IDRC: Ottawa Canada. Di dalam: Bahan
Ajaran Agroforestry. Bogor: World Agroforestry Centre
(ICRAF): 5
Guèze, Maximilien, Ana Catarina Luz, Jaime Paneque-Gálvez,
Manuel J. Macía, Martí Orta-Martínez, Joan Pino, and
Victoria Reyes-García. 2015. “Shifts in Indigenous Culture
Relate to Forest Tree Diversity: A Case Study from the
Tsimane’, Bolivian Amazon.” Biological Conservation
186 (June):251–59. https://doi.org/10.1016/j.
biocon.2015.03.026
Hamzah, Hamzah, Didik Suharjito, and Istomo Istomo. 2016.
“Efektifitas Kelembagaan Lokal Dalam Pengelolaan
Sumber Daya Hutan Pada Masyarakat Nagari Simanau,
Kabupaten Solok.” RISALAH KEBIJAKAN PERTANIAN
DAN LINGKUNGAN: Rumusan Kajian Strategis Bidang
Pertanian Dan Lingkungan 2 (2): 116. doi:10.20957/
jkebijakan.v2i2.10979
Hanna S, M. Munasinghe. 1995. Property rights and the
environment: Social and ecological Issues. Washington, DC:
ESD.
Hecht SB, Kandel S, Gomez I, Cuellar N, Rosa H. 2006.
Globalization, Forest Resurgence, and Environmental Politics
in El Salvador. World Development, Vol. 34 (2).
Hirakuri SR. 2003. Can Law Save the Forest: Lesson from Finland
and Brazil. Jakarta, Indonesia: CIFOR.
Hoogvelt, Ankie MM. 1976 The Sociology of Developing Scieties.
London: The Mc. Millan Press Ltd.
Ife J. 1995. Community Development: Creating Community
Alternatives-Vision Analysis and Practice. Melbourne 3205
Australia: Longman Australia Pty Ltd
IUCN. 1994. Guidlines for protected Areas Management

180 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


Categories, IUCN Commissions on National Parks
and Protected Areas (CNPPA)-World Conservation
Monitoring Centre (WCMC), Gland - Switzerland and
Cambridge, UK.
Iskandar J. 1992. Ekologi Perladangan di Indonesia, Studi Kasus
dari Daerah Baduy, Banten Selatan Jawa Barat. Jakarta:
Djambatan.
Kadir. W, Abdul, Nurhaedah M, and Rini Purwanti. 2013.
“Conflict Resolution at of Bantimurung Bulusaraung
National Park of South Sulawesi Province.”
JURNALPenelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan 10 (3):
186–98.
Kaimowitz. 2003. Refleksi Empat Tahun Mengembangkan
Sosial Forestri di Era Desentralisasi, Intisari Lokakarya
Nasional Sosial Forestri Cimacan, 10 – 12 September
2002, Bogor, Center for International Forestry Research
(CIFOR)
Kameri-Mbote P. 2006. Conflict and Cooperation: Making the
Case for Environmental Pathways to Peacebuilding in
the Great Lakes Region. Woodrow Wilson International
Center: Washington, DC.
Kartasubrata J. 2003. Social Forestry dan Agroforestry di Asia
(Buku I). Bogor: Lab Poleksos IPB.
Kartodihardjo H. et al. 2000. Kajian Institusi Pengelolaan DAS
dan Konservasi Tanah. Bogor: K3SB.
Kartodihardjo H. 2004. Pelajaran Sudah Usai: Menyoal
Kebijakan Pengelolaan Sumbedaya Alam di Kawasan
Ekosistem Halimun. Makalah Seminar Sehari ”Kawasan
Halimun: Nyoreng Alam ka Tukang, Nyawang Anu
Bakal Datang”, Bogor. 17 Pebruari 2004.
Kartodihardjo H. 2006. Refleksi Kerangka Pikir Rimbawan:
Menguak Masalah Institusi dan Politik Pengelolaan
Sumberdaya Hutan. Bogor: Himpunan Alumni Fakultas

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 181


Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Kasper W, Streit M.E. 1998. Institutional Economic: Social Order
and Public Policy. Cheltenham, UK. Northampton, MA,
USA: Edward Elgar.
Kashwan, Prakash. 2016. “What Explains the Demand for
Collective Forest Rights amidst Land Use Conflicts?” Journal
of Environmental Management 183 (December):657–66.
https://doi.org/10.1016/j.jenvman.2016.08.031
Kief J. 2001. Indigenous Variety Development in Food Crops
Strategies on Timor: Their Relevance for In-Situ Biodiversity
Conservation and Food Security. Indigenous Knowledge
Development Monitor 2001; No 9 Juli: 7 - 15.
Kusumosuwidho S. 2004. Dasar-Dasar Demografi. Jakarta:
Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.
Lagimpu A. 2002. Revitalisasi Kelembagaan Tradisional
Masyarakat Adat. Makalah disampaikan pada Seminar
dan Lokakarya Masyarakat Adat Ngata Toro, 25-30
Oktober 2002.
Lambini, Cosmas Kombat, and Trung Thanh Nguyen. 2014.
“A Comparative Analysis of the Effects of Institutional
Property Rights on Forest Livelihoods and Forest
Conditions: Evidence from Ghana and Vietnam.” Forest
Policy and Economics 38 (January):178–90. https://doi.
org/10.1016/j.forpol.2013.09.006
LEI. 2004. Pedoman Lei 99-44: Pedoman Pengambilan
Keputusan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis
Masyarakat Lestari (PHBML). Indonesia: Lembaga
Ekolebel Indonesia.
Li T. 2000. Articulating indigenous identity in Indonesia:
resource politics and the tribal slot. Working Paper
(WP-007). Berkeley Workshop On Environmental
Politics. Institute Of International Studies, University Of

182 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


California, Berkeley.
Liu D, David E. 2003. The Promises and Limitations of Devolution
and Local Forest Management in China. On Local Forest
Management, The Impacts of Devolution Policies. London.
Sterling VA: Earthscan.
Leach M, Mearns R, Scoones I. 1997. Challenges to Community-
Based Sustainable Development: Dynamics, Entitlements,
Institutions. IDS Bulletin. 28(4): 4-14.
Legawa IM. 1999. Subak: Organisasi Sosio-Religius di Bali. Di
Dalam: Soedjito. H. 2006. Kearifan Tradisional dan Cagar
Biosfer di Indonesia. Prosiding Piagam MAB 2005 Untuk
Peneliti Muda dan Praktisi Lingkungan di Indonesia.
Komite Nasional MAB-Indonesia-LIPI; Bogor, 24-27
Agustus 2005. Jakarta: Komite MAB Nasional Indonesia-
LIPI Press.
Ludang, Yetrie. 2017. Keragaman Hayati Ruang Terbuka Hijau
Berbasis Pengetahuan Ulayat Di Kota Palangkaraya. Banten:
An1mage.
Lynch O, K. Talbott. 1995 Balancing acts: community-based forest
management and national law in Asia and the Pacific. World
Resources Institute, Washington, DC.
Maertens et al. 2002. Explaining Agricultural Land Use in Villages
Surrounding the Lore Lindu National Park in Central Sulawesi,
Indonesia. Di dalam : STORMA Discussion Paper Series.
No 4. Gottingen & Bogor: STORMA.
Marimin. 2004. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.
Jakarta. Grasindo.
Marks JS, Zadoroznyj M. 2005. Managing Sustainable Urban
Water Re-use: Structural Context and Cultures of Trust.
Di dalam: Society and Natural Resources, 18: hlm 557-572.
Mattulada 1994. Lingkungan Hidup Manusia. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 183


McKean MA. 1992. Management of Traditional Common Lands
(Iriaichi) in Japan. Di dalam: D.W. Bromley, editor. Making
the Commons Work: Theory, Practice, and Policy. San
Francisco, California: Institute for Contemporary Studies
Press.
Meilby, Henrik, Carsten Smith-Hall, Anja Byg, Helle Overgaard
Larsen, Øystein Juul Nielsen, Lila Puri, and Santosh
Rayamajhi. 2014. “Are Forest Incomes Sustainable?
Firewood and Timber Extraction and Productivity
in Community Managed Forests in Nepal.” World
Development 64 (December): S113–24. doi:10.1016/j.
worlddev.2014.03.011.
Merrill R, Effendi E. 1999. Impact of Indonesia’s crisis : IV. Protected
Area Management. NRM News 1(1) 15. Jakarta, Indonesia:
Natural Resources Management Project.
Miller, Elmer S, Charles AW. 1979. An Introduction to Antropology.
Englewood Cliffs. New York: Prestice-Hall, Inc.
Mohammed, Abrar J, Makoto Inoue, and Ganesh Shivakoti.
2017. “Moving Forward in Collaborative Forest
Management: Role of External Actors for Sustainable
Forest Socio-Ecological Systems.” Forest Policy and
Economics 74 (January):13–19. https://doi.org/10.1016/j.
forpol.2016.10.010
Moran, Emilio F. 1982. Human Adaptability an Introduction
to Ecological Anthropology. Di dalam: Seminar dampak
Timbal Balik antar Pembangunan Kota dan Perumahan
di Indonesia dan Lingkungan Global. Bandung: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Pemukiman- Indonesia
dan Building Research Institute-Jepang; 19-20 Maret 2001.
Mueller DJ. 1986. Pengukuran Sikap Sosial, Pegangan untuk
Peneliti dan Praktisi. Kartawidjaja ES, penerjemah.
Bandung: Bumi Aksara. Terjemahan dari: Measuring Social
Attitudes, A Handbook for Researchers and Praktitioners.

184 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


Muhadjir N. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:
Rake Sarasin.
Mulyana D. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma
Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Munggoro DW. 1998. Sejarah dan Evolusi Pemikiran Komuniti
Forerstri. Di dalam: Seri kajian Komuniti Forestri;
Menguak Evolusi Pemikiran Komuniti Forestri; Seri 1
Tahun 1 Maret 1998.
Murray, Grant, Barbara Neis, and Jahn Petter Johnsen. 2006.
“Lessons Learned from Reconstructing Interactions
Between Local Ecological Knowledge, Fisheries Science,
and Fisheries Management in the Commercial Fisheries of
Newfoundland and Labrador, Canada.” Human Ecology
34 (4): 549–71. doi:10.1007/s10745-006-9010-8
Muzzazinah. 2016. “Etnobotani Indigofera Di Indonesia
Ethnobotany of Indigofera in Indonesia.” BIOEDUKASI
9 (2): 7–13..
Nababan A. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis
Masyarakat Adat: Tantangan dan Peluang. Di Dalam:
Makalah Pelatihan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Daerah. PPLH-IPB. 5 Juli 2002: hlm 1-5.
Nabli MK, JB. Nugent 1989. The New Institutional Economics and
Economic Development: An Intruduction. Nabli and Nugent,
editor. The New Institutional Economics and Development:
Theory and Application to Tunisia, Amsterdam, The
Netherlands: Elsvier Science Publishers
Nemarundwe N. 2001. Kolaborasi Kelembagaan dan Share
Learning untuk Pengelolaan Hutan di Distrik Chivi,
Zimbabwe. LATIN, penerjemah. Bogor; Pustaka Latin.
Terjemahan dari: Institutional collaboration dan share
learning on Forest Management in Chivi Distric, Zimbabwe.
Ngo M. 1999. Profil Komunitas Desa/Hutan di Kalimantan

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 185


dan Implikasinya: Sebuah Pengantar Diskusi tentang
Strategi IPARR. Di dalam: Suharjito D, editor. Hak-hak
Penguasaan Atas Hutan di Indonesia . Bogor P3KM. hlm
19 – 47.
Nkemnyi, Mbunya Francis, Tom De Herdt, George B. Chuyong,
and Tom Vanwing. 2016. “Reconstituting the Role of
Indigenous Structures in Protected Forest Management
in Cameroon.” Forest Policy and Economics 67 (June):45–51.
https://doi.org/10.1016/j.forpol.2016.03.012.
North D. 1990. Institutions, Institutional Changes and Economic
Performance. Cabridge: Cambridge University Press.
Novikova, Natalya Ivanovna. 2016. “Who Is Responsible for
the Russian Arctic?: Co-Operation between Indigenous
Peoples and Industrial Companies in the Context of Legal
Pluralism.” Energy Research & Social Science 16 (June):98–
110. https://doi.org/10.1016/j.erss.2016.03.017
Oakley, P. 1991. Project with People: The Practice of Participation in
Rural Development, ILO, Geneva.
Ohorella, Syarif, Didik Suharjito, and Iin Ichwandi. 2011.
“Efektifitas Kelembangaan Lokal Dalam Pengelolaan
Sumber Daya Hutan Pada Masyarakat Rumahkay Di
Seram Bagian Barat.” Jurnal Manajemen Hutan Tropika
XVII (2): 49–55
Ostrom E. 1990. Governing the Common: The Evolution of
Institutions for Collective Action. New York: Cambridge
University Press.
Ostrom E. 1994. Neither Market nor State: Governance of Common-
pool Resources in the Twenty-first Century. Washington, DC:
International Food Policy Research Institute.
Pagde A, Kim Y, Daugherty PJ. 2006. What Makes Community
Forest Management Successful: A Meta-Study From
Community Forests Throughout the World. Society and
Natural Resources, 19: hlm: 33–52

186 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


Pakpahan A. 1989. Kerangka Analitik Untuk Penelitian
Rekayasa Sosial: Perspektif Ekonomi Institusi. Di Dalam
Pasandaran et.al. (ed) 1989. Evolusi Kelembagaan
Pedesaan di Tengah Perkembangan Teknologi Pertanian.
Bogor: Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian.
Pandey DN. 1993. Wildlife, National Park, and People. Indian
Forester 119: 521-529.
Parlee B, Berkes F. 2006. Indigenous Knowledge of Ecological
Variability and Commons Management: A Case Study on
Berry Harvesting from Northern Canada Human Ecology
hlm. 34: 515–528.
Pawennari H. 2004. TALUTN TANAQ; Sistem Pengetahuan
Lokal Komunitas Dayak Benuaq dalam Aktivitas
Perladangan di Desa Melapen Baru kabupaten Kutai
Barat kalimantan Timur [Disertasi]. Makassar: Program
Pasca Sarjana, Universitas Hasanuddin.
Põllumäe, Priit, Ando Lilleleht, and Henn Korjus. 2016.
“Institutional Barriers in Forest Owners’ Cooperation: The
Case of Estonia.” Forest Policy and Economics 65 (April):9–16.
https://doi.org/10.1016/j.forpol.2016.01.005
Potter L, S. Badcock. 2000. The Effect of Indonesia’s Decentralization
on Forests and Estate Crops: Case Study of Riau Province,
the Original Districts of Kampar and Indragiri Hulu. Bogor,
Indonesia: CIFOR.
Prabhu R, CJP. Colfer, R.G. Dudley. 1999. Guidelines for
Developing, Testing, and Selecting Criteria and Indicators
for Sustainable Management: A C & I Developer’s eference.
CIFOR C & I Toolbox Series 1. Bogor, Indonesia: CIFOR.
Pranowo. 1985. Manusia dan Hutan; Proses Perubahan Ekologi
di Lereng Gunung Merapi. Jogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Purwanto Y. 2004. Etnobotani Masyarakat Tanimbar-kei,

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 187


Maluku Tenggara: Sistem Pengetahuan dan Pemanfaatan
Keanekaragaman Jenis Tumbuhan. Perhimpunan
Masyarakat Etnobotani Indonesia- Bogor: Pusata
Penelitian Biologi LIPI.
Rahmwati, Rita, Subair, Idris, Gentini, Dian Ekowati, and
Usep Setiawan. 2008. “Pengetahuan Lokal Masyarakat
Adat Kesepuhan: Adaptasi, Konflik Dan Dinamika
Sosio-Ekologis.” Sodality: Jurnal Transdisiplim Sosiologi,
Komunikasi, Dan Ekologi Manusia 2 (2): 151–90.
Ramakrishnan PS. 2003. Biodiversity Conservation: Lesson
from the Budhist Demajong Landscape in Sikkim, India
Di Dalam: Soedjito. H. 2006. Kearifan Tradisional dan
Cagar Biosfer di Indonesia. Prosiding Piagam MAB
2005 Untuk Peneliti Muda dan Praktisi Lingkungan di
Indonesia. Komite Nasional MAB-Indonesia-LIPI; Bogor,
24-27 Agustus 2005. Jakarta: Komite MAB Nasional
Indonesia-LIPI Press.
Rasmussen L N and Meinen-Dick R. 1995. Local Organizations
for Natural Resource Management: Lesson from Theoretical
and Empirical Literature. Http://www.ifpri.org/divs/eptd/dp/
paper/eptdpll.pdf (Diakses tanggal 5 oktober 2003)
Riggs, Rebecca Anne, Jeffrey Sayer, Chris Margules, Agni
Klintuni Boedhihartono, James Douglas Langston,
and Hari Sutanto. 2016. “Forest Tenure and Conflict in
Indonesia: Contested Rights in Rempek Village, Lombok.”
Land Use Policy 57 (November):241–49. https://doi.
org/10.1016/j.landusepol.2016.06.002
Ritchie B, McDOugall C, Haggith M, de Oliveira NB. 2000.
Criteria and Indicator of Sustainability Managed Forest
Landscapes. Bogor-Indonesia: CIFOR
Richards M. 1997. Common Property Resource Institutions and
Forest Management in Latin America. Development and
Change 28: 435-465. Institute of Social Studies.

188 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


Rodgers G. 1994. Workers, Institutions and Economic Growth in
Asia. Geneva. Switzerland: International Institute for
Labour Studies.
Ruf F. 2005. Faktor Harga dan Non Harga dalan Revolusi Hijau
: Di Dalam: Ruf F dan Lancon (ed). 2005. Dari Sistem
Tebas dan Bakar ke Peremajaan Kembali: Revolusi Hijau
di Dataran Tinggi Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
Ruttan VW, Hayami Y. 1984 Toward a Theory if Induced
Institutional Innovation. Journal of Development Studies.
Vol. 20: 203-22.
Sahlins MD. 1968. “Culture and Environment: The Study of Cultural
Ecology”. Di dalam: Robert A. Manners dan David Kaplan,
editor. Theory in Anthropology: A Source Book. Chicago:
Aldine. hlm 367-73.
Sallatang A. 1999 . Masyarakat, Budaya, dan Lingkungan.
Makassar: Materi Diklat TMPP Angkatan XXI UNHAS.
Sangaji A. 2001. Konflik Agraria di Taman Nasional Lora
Lindu: Tersungkurnya Komunitas-Komunitas Asli. Paper
Disajikan pada Dialog Politik tentang Pengetahuan dan
Hak-Hak Masyarakat Adat di Sekitar TNLL. Palu: YTM
dan NRM/EPIQ.
Sangaji A. 2002 Politik Konservasi: Orang Katu di Behoa Kakau.
Editor. San Afri Awang. Bogor: KpSHK.
Santika, Truly, Erik Meijaard, Sugeng Budiharta, Elizabeth
A. Law, Ahmad Kusworo, Joseph A. Hutabarat, Tito P.
Indrawan, et al. 2017. “Community Forest Management
in Indonesia: Avoided Deforestation in the Context
of Anthropogenic and Climate Complexities.” Global
Environmental Change 46 (September): 60–71. doi:10.1016/j.
gloenvcha.2017.08.002
Sardjono MA. 2004. Mosaik Sosiologi Kehutanan: masyarakat
Lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya. Jogyakarta:
Debut press.

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 189


Sayer A. 1984. Method in Social Science: A Realist Approach.
Australia: Hutchinson Publishing Group.
Schmid A 1987. Property, Power, and an Inquiry into Law and
Economic. New York: Praeger.
Schneider ED. 1992. Monitoring for Ecological Integrity: The State
of The Art. Di dalam: DH. McKenzie, DE. Hyatt dan JE.
McDonald, editor. Ecological Indicators, London: Volume
2, h. 1403–1419. Elsevier Applied Science.
Sevila CG. 1993. Pengantar Metode Penelitian, penerjemah
Tuwu A dan Syah A. Jakarta: UI-Press.
Shohibuddin M. 2003 Artikulasi Kearifan Tradisional
dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam sebagai Proses
Reproduksi Budaya (Studi Komunitas Toro di Pinggiran
Kawasan Hutan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi
Tengah[tesis]. IPB, Bogor.
Shohibuddin M. 2005. “Dimensi Etis dalam Revitalisasi Identitas
Ngata Untuk Klaim atas Teritori dan Sumberdaya Lokal:
Perjuangan Otonomi Desa di Sebuah Komunitas Tepi
Hutan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah.”
Paper disampaikan pada Seminar Internasional Dinamika
Politik Lokal di Indonesia: Etika, Politik & Demokrasi,
Diselenggarakan oleh Percik Salatiga, 1-4 Agustus 2005.
Sirait E. 2005. Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Kemasyarakatan
Melalui Revitalisasi dan Refungsionalisasi Kearifan
Lokal (Studi Kasus Pengelolaan Sumberdaya Cendana
di Kabupaten Timor Tengah Selatan Propinsi Nusa
Tenggara Timur) [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Sitorus S. 2004 “Revolusi Coklat” Social Formation, Agrarian
Structure, and Forest Margins in Upland Sulawesi, Indonesia,
Di dalam: G. Gerold, M. Fremerey & E. Guhardja, Land
Use, Nature Conservation and the Stability of Rainforest
Margins is Southeast Asia, Berlin, Heidelberg & New

190 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


York: Springer-Verlag.
Sitorus S. 2006. Reklaim Tanah Hutan. Jurnal Pembaruan Desa
dan Agraria. Jogyakarta: LAPERA, Putaka Utama.
Smith, EA, M. Wishnie. 2000. Conservation and Subsistence in
Small-Scale Societies. Annual. Review. Anthropology.,
No. 29: 493-524, 2000.
Soedjito. 1986. Transformasi Sosial Menuju Masyarakat
Industri. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Soedjito H. (ed) 2004a. Pedoman Pengelolaan Cagar Biosfer di
Indonesia. Panitia Nasional MAB Indonesia-Jakarta. LIPI.
Soedjito H. (ed) 2004b. Panduan Cagar Biosfer di Indonesia di
Indonesia. Panitia Nasional MAB Indonesia-LIPI. Jakarta.
Soedjito H. 2005 Apo Kayan: Sebongkah Sorga di Tanah
Kenyah. Bogor: Himpunan Ekologi Indonesia.
Soedjito H, Sukara E. 2006. Mengilmiahkan Pengetahuan
Tradisional: Sumber Ilmu Masa Depan Indonesia. Di
Dalam Soedjito. H. 2006. Kearifan Tradisional dan Cagar
Biosfer di Indonesia. Prosiding Piagam MAB 2005 untuk
Peneliti Muda dan Praktisi Lingkungan di Indonesia.
Komite Nasional MAB-Indonesia-LIPI; Bogor, 24-27
Agustus 2005. Jakarta: Komite MAB Nasional Indonesia-
LIPI Press. hlm.57-118.
Suharjito D. 1998. Kelembagaan Lokal Pemanfaatan Sumberdaya
Alam: Studi Kasus pada Orang Mioko. Jurnal Manajemen
Hutan Tropika, Vol IV no. 1-2, Fakultas IPB.
Suharjito D. 1999. Common Property Sumberdaya Hutan di
Indonesia: Tinjauan Antropologi. Dalam Hak-Hak
Pengusahaan atas Hutan di Indonesia. Bogor: P3KM,
Fakultas Kehutanan IPB.
Suharjito D. 2002. Kebun Talun: Strategi Adaptasi Sosial
Kultural dan Ekologi Masyarakat Pertanian lahan Kering
di Desa Buniwangi, Sukabumi, Jawa Barat (Disertasi)

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 191


tidak Dipublikasikan. Depok: Universitas Indonesia.
Suharjito D. 2003. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya
Agroforestry. Bahan Ajaran Agroforestry. Bogor: World
Agroforestry Centre (ICRAF): 5.
Suharto E. 2005 Membangun Masyarakat Memberdayakan
Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan
Sosisal dan Pekerjaan Sosial. Jakarta: PT. Refika Aditama.
Soekanto S. 1981. Meninjau Hukum adat di Indonesia. Suatu
Pengantar untuk mempelajari Hukum Adat. Jakarta: CV.
Rajawali.
Soekanto S. 1983. Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur
Masyarakat. Jakarta: CV. Rajawali.
Soekanto S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV.
Rajawali.
Soekanto S. 2004. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi. Jakarta:
CV. Rajawali.
Soekotjo. 2006. Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan
Departemen Kehutanan Republik Indonesia.
Soekmadi R. 2002. National park Management in Indonesia,
Focused on the Issues of Decentralization and Local
Participation. Dissertation. Faculty of Forestry Science and
Forest Ecology, Georg-August University og Goettingen.
Soemarwoto O. 2000. Atur-Diri-Sendiri Paradigma Baru
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Soentoro. 1989. Keragaan Hubungan dan Penguasaan Tanah
pada Pasca Adopsi Teknologi (Kasus di Sulawesi Selatan).
Di dalam: Pasandaran et al. Bogor: Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Soeprapto R. 2002. Interaksionisme Simbolik. Jakarta: Pustaka
Pelajar.
Southwold-Llewellyn S. 2006. Devolution of Forest Management:

192 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


A Cautionary Case of Pukhtun Jirgas in Dispute Settlements.
Di dalam: Human Ecology 34: hlm 637-653.
Subroto D. 1997. Sistem Pengelolaan Hutan Lindung Tradisional
Tana’Ulen oleh Masyarakat Dayak Kenyah di Desa Batu
Majang Kecamatan Long Bagun, Kabupaten Kutai.
Fakultas Kehutanan Unmul. Samarinda. (Skripsi-tidak
dipublikasikan).
Suhendang E. 2004. Kemelut Dalam Pengurusan Hutan: Sejarah
Panjang Kesenjangan antara Konsepsi Pemikiran dan
Kenyataan. Bogor: Fakultas Kehutanan Intitut Pertanian
Bogor
Sunito S. 2004. Robo and the Water Buffalo: The Lost Souls of
the Pekurehua of the Napu Valley. In: Gerhard Gerold,
Michael Fremerey, Edi Guhardja (eds.) (2004) Land Use,
Nature Conservation and the Stability of Rainforest
Margins in Southeast Asia. Springer.
Sunito S, Mappatoba M, Saharia K, D.H. Hasan. 1999. Wuasa:
Case-Study of a Village in Lore-Lindu region. Institut
Pertanian Bogor, Universitas Tadulako, George-August
Universitat Gottingen, University of Kassel.
Thamrin, Husni, and Zulfan Saam. 2016. “Eco-Religio-Culture,
Suatu Alternatif Pengelolaan Lingkungan.” AL-Fikra:
Jurnal Ilmiah Keislaman 15 (1): 84–136
Taniguchi M. 1992. Participatory Development: A Key Element in
Developmenet Strategies for the 1990s. Di dalam: Kidrar Ue.
(Ed.) 1992. Change: Threat or Opportunity for Human
Progress? Vol. IV. Changes in the Human Dimension of
Development, Ethics, and Values. United Nations. New
York.
Telfer WR, Garde MJ. 2006. Indigenous Knowledge of Rock
Kangaroo Ecology in Western Arnhem Land, Australia. Di
dalam: Human Ecology, Vol 34. No 3. Hlm: 379-406
Thrupp LA. 1989. Legitimizing Local Knowledge: From

Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 193


Displacement to Empowerment for Third World People.
Agricultire and Human Values. Summer Issue.
The Nature Consevancy (TNC). 2001. Survey Demografi:
Pola Perubahan Populasi dan Pengaruhnya Terhadap
manajemen Tanam Nasional Lore Lindu, Sulawesi
Tengah.
The Nature Consevancy (TNC). 2002: Lore Lindu National
Park, Draft Management Plan 2002 – 2027, Volume l, Data
and Analysis.
Toledo, Víctor M. 2013. “Indigenous Peoples and Biodiversity.”
In Encyclopedia of Biodiversity, 269–78. Elsevier. https://
doi.org/10.1016/B978-0-12-384719-5.00299-9
Turnbull CM. 2002. The Mbuti Pygmies: Change and Adaptation.
Wadworth/Thomson Learning 10 Davis Drive Belmont,
CA 94002-3098 USA.
Uphoff N. 1986. Local Institution Development: An Analytical
Sourcebook with Cases. Kamurian Press.
Van Peursen CA. 1988. Strategi Kebudayaan. Hartoko D,
penerjemah. Yogyakarta: Kanisius. Terjemahan dari:
Starategie van de Cultuur.
Vayda AP. 1996. Methods and explanations in the Study of Human
Actions and Their environmental Effets. Special Publications.
Bogor, Indonesia: Center for International Forestry
Rsearch
Yasin M. 2004. Arti dan Tujuan Demografi. Di dalam Lembaga
Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2004.
Dasar-Dasar Demografi. Jakarta: Lembaga Penerbitan
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Yin RK. 1997. Studi Kasus (Desain dan Metode). Rajawali
Grafinfo Persada Jakarta.
Wade R. 1988. Village republics: economic conditions for collective
action in south India. Di dalam: Pagde A., Kim Y., Daugherty

194 Dr. Golar, S.Hut, M.Si


P.J. 2006. What Makes Community Forest Management
Successful: A Meta-Study From Community Forests
Throughout the World. Society and Natural Resources, 19.
Walhi. 2004 Kekerasan di Hutan: Pengelolaan Kawasan
Konservasi Indonesia. http://www.walhi.or.id/kampanye/
hutan/konservasi/ kekeras_ hut_konserv _li_210103 (Diakses
03 Juni 2005).
Walters BB, C. Sabogal, LK Snook, dan E Almeida. 2005.
Constrain and Opportunities for Better Silvicultural Practice
in Tropical Forestry: An Interdiciplinary Approach. Di dalam:
Forest Ecology and Management, Vol 209 (1-2) April: hlm
3-18.
Waren DM. 1991. Using Indigenous Knowledge for Agricultural
Development. World Bank Discussion Paper 127.
Washington DC.
Wibowo AP. 1993. Pilihan Kelembagaan dalam Pembagunan
Hutan yang Berkelanjutan Di dalam: Jurnal Ilmu-Ilmu
Sosial No. 4 tahun 1993. PAU Ilmu-Ilmu Sosial UI dan PT
Gramedia Pustaka Utama Jakarta. Hlm: 27-38.
Winarto Y. 1998. Pengetahuan Lokal dalam Wacana Kebijakan
Pengelolaan Sumberdya Alam: Seri Kajian Komuniti
Forestri Seri 1 Tahun 1 : 22-28.
Wiratno, Indriyo D, Syarifudin A, Kartikasari A. 2004. Berkaca
di Cermin Retak: Refleksi Konservasi dan Implikasi
Bagi Pengelolaan Taman Nasional. Jakarta: The Gibbon
Foundation Indonesia, PILI-NGO Movement.
Wollenberg E. dan C.J. Pierce Colfer 1996. Social sustainability in
the forest. ITTO Newsletter 6(2): 9–11.
Wrangham R. 2003. Diskursus Kebijakan yang Berubah dan
Masyarakat Adat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Wyatt, Stephen, Jean-François Fortier, David C. Natcher,
Margaret A. (Peggy) Smith, and Martin Hébert. 2013.
“Collaboration between Aboriginal Peoples and the
Adaptasi Masyarakat Tepian Hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 195
Canadian Forest Sector: A Typology of Arrangements
for Establishing Control and Determining Benefits
of Forestlands.” Journal of Environmental Management
115 (January):21–31. https://doi.org/10.1016/j.
jenvman.2012.10.038

196 Dr. Golar, S.Hut, M.Si

Anda mungkin juga menyukai