Anda di halaman 1dari 5

WARTA KOTA, LOS ANGELES - Jumlah kasus penyakit ginjal kronis global yang

disebabkan oleh polusi udara mencapai lebih dari 10 juta setiap tahun menurut hasil studi baru
yang disampaikan di American Society of Nephrology Kidney Week 2017 pada 31 Oktober-5
November di New Orleans, Louisiana.

Para peneliti dari Clinical Epidemiology Center di Virginia Saint Louis Health Care System
sebelumnya menggambarkan hubungan antara peningkatan gangguan partikel halus dan risiko
perkembangan penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease/CKD).

Dalam penelitian terkini, para periset menggunakan metodologi studi Beban Penyakit Global
dalam riset terkini untuk memperkirakan beban penyakit yang disebabkan oleh polusi udara.

Hasil dari studi tersebut menunjukkan bahwa bebannya sangat beragam berdasarkan geografi,
dengan nilai yang lebih tinggi terlihat di Amerika Tengah serta Asia Selatan.

"Polusi udara mungkin setidaknya menjelaskan peningkatan kejadian CKD dengan asal yang tak
diketahui di banyak wilayah di seluruh dunia. Dan kenaikan Mesoamerican nephropathy di
Meksiko dan Amerika Tengah," kata pemimpin peneliti Benjamin Bowe dalam satu siaran pers
yang dikutip kantor berita Xinhua. .

Editor: Hertanto Soebijoto

Hipertensi atau tingginya tekanan darah bukan hanya menyebabkan penyakit jantung tapi juga
ginjal. Saat tekanan darah naik, pembuluh darah dalam ginjal tertekan dan mengakibatkan
pembuluh rusak serta menghambat proses penyaringan dalam ginjal bekerja dengan baik.

Menurut ahli penyakit dalam dan hipertensi, dr. Tunggul D. Situmorang, Sp.PD-KGH, gangguan
fungsi ginjal akibat hipertensi bisa berupa penyakit ginjal akut, ginjal kronis dan gagal ginjal.
Dalam kasus berat, ginjal sudah tidak dapat lagi menjalankan sebagian atau seluruh fungsinya.

"Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko meningkatnya kematian pada pada pasien
hemodialisis. Di samping itu, berdasarkan data dari Indonesian Renal Registry (IRL) tahun 2013,
penyebab utama kasus gagal ginjal di Indonesia ternyata penyakit hipertensi," katanya, melalui
siaran pers,

MENGENAL PENYAKIT GAGAL GINJAL DI INDONESIA

KOMPAS.com - Pelawak senior Eko Ndaru Djumadi atau Eko DJ (65) meninggal dunia pada
Senin (27/3/2017) karena penyakit gagal ginjal yang sudah cukup lama dideritanya. Penyakit ini
sebenarnya banyak terjadi di Indonesia. Gagal ginjal terjadi jika ginjal tidak dapat melakukan
tugasnya menyaring produk sisa keluar dari darah dengan baik. Kondisi ini dapat terjadi
bertahun-tahun tanpa diketahui sampai terjadi kerusakan parah. Sekitar dua pertiga kasus gagal
ginjal pada orang dewasa diakibatkan karena diabetes dan tekanan darah tinggi yang tidak
diobati. Penyebab lain gagal ginjal adalah infeksi, cedera, terkena racun, atau obat-obatan.
Penyakit gagal ginjal bisa dideteksi dengan melakukan pemeriksaan urine untuk mengukur
jumlah protein. Adanya kadar protein yang berlebihan dalam sampel urine biasanya menjadi
pertanda adanya kerusakan nefron (unit penyaring pada ginjal).
Jika pemeriksaan darah dan urine menunjukkan adanya penurunan pada fungsi ginjal, dokter
akan melakukan pemeriksaan USG ginjal. Seperti dikutip dari Mayo Clinic, gagal ginjal kronis
akan mengenai hampir semua sistem tubuh. Penyakit ini bahkan dapat berkembang menjadi
penyakit ginjal stadium akhir. Jika ini terjadi, maka ginjal berhenti berfungsi dan pilihanya
hanyalah cuci darah atau cangkok ginjal untuk mempertahankan hidup. Menurut dr. Irsyal
Rusad, Sp.PD, bila ginjal yang sudah mengalami kerusakan tidak digantikan fungsinya, maka
sisa-sisa sampah proses metabolisme tubuh, toksin seperti urea, kreatinin, kelebihan cairan, dan
sebagainya akan menumpuk dalam tubuh. Kondisi ini dapat menyebabkan bermacam keluhan,
seperti sesak nafas, mual, muntah, tubuh bengkak, hipertensi dan bahkan kematian mendadak.
"Jadi, kalau memang sudah mengalami gagal ginjal yang harus menjalani cuci darah, sesuai
dengan rekomendasi dokter yang merawat, keluhan itu akan dialaminya," katanya kepada
Kompas.com, 20 April 2014. Pilihan terapi pengobatan lainnya adalah cangkok ginjal. Prosedur
ini sudah mengalami banyak kemajuan dan aman. Dokter-dokter di Indonesia juga sudah banyak
melakukannya. Persoalannya adalah mencari donor yang memiliki kesesuaian antara jaringan
donor dan penerima.
DISKUSIKAN :

1. Mengapa partikel udara menjadi salah satu penyebab gagal ginjal ?


2. Menurutmu apa yang menyebabkan angka gagal ginjal di Indonesia tinggi?
3. Upaya apa yang kamu bisa lakukan untuk mengurangi angka gagal ginjal?
4. Seandainya kamu adalah DPR/Kemenkes kebijakan apa yang kamu ingin lakukan?
WASPADAI THE SILENT KILLER . GAGAL GINJAL
KOMPAS.com - Penyakit ginjal kronis kerap disebut sebagai the silent killer. Sering kali
penderita tidak merasakan gejala tertentu hingga penyakit sudah memasuki stadium lanjut dan
fungsi ginjal telah menurun. “Penyakit ini baru diketahui orang umumnya ketika sudah mencapai
stadium tiga sampai empat. Pasien heran saat disuruh cuci darah karena tidak tahu sudah terkena
penyakit ginjal sebelumnya,” ujar Guru Besar Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia (FKUI), Parlindungan Siregar, seperti dikutip Kompas.com, Jumat (13/3/2015).
Keterlambatan deteksi dan penanganan penyakit tersebut menyebabkan prevalensi kematian
akibat ginjal kronis di beberapa negara cukup tinggi. Data dari US Centers for Disesase Control
and Prevention menunjukkan, sekitar 25 juta orang atau 10 persen penduduk Amerika Serikat
menderita penyakit ginjal kronis. Lebih dari 48.000 penderita meninggal setiap tahunnya. Di
Indonesia, jumlah penderita penyakit ginjal kronis juga cukup banyak. Menurut riset
Kementerian Kesehatan pada 2013, prevalensi ginjal kronis nasional mencapai 0,2 persen.
Artinya, setiap 10.000 orang penduduk Indonesia ada 2 penderita penyakit ini. Lebih lanjut, data
World Health Organizations (WHO) pada 2014 menyebutkan kematian akibat penyakit ginjal
kronis di Indonesia mencapai 2,93 persen populasi atau sekitar 41.000 orang. Mengenali
penyebab dan pemicu Mengingat bahayanya penyakit tersebut, faktor-faktor pemicu ginjal
kronis sebaiknya diketahui oleh masyarakat agar pencegahan dapat dilakukan. Kebiasaan buruk
sehari-hari tanpa kita sadari bisa menjadi salah satu faktor pemicu ginjal kronis, misalnya kurang
minum. Dilansir dari situs web prodia.co.id, Kamis (5/3/2015), kurang minum dapat
mengakibatkan tubuh rawan terkena infeksi saluran kemih. Lambat laun, infeksi saluran kemih
bisa berkembang menjadi infeksi ginjal.

Selain itu, kebiasaan mengonsumsi makanan dengan zat kimia—seperti bahan pewarna,
pengawaet, dan penyedap rasa—juga berbahaya bagi ginjal. Zat-zat kimia tersebut bisa
mengendap di ginjal hingga ujung-ujungnya fungsi organ menurun. Namun, faktor yang paling
sering memicu penyebab ginjal kronis adalah diabetes melitus dan hipertensi. Faktor berikutnya
barulah batu di saluran kemih yang disertai dengan infeksi ginjal atau infeksi saluran kemih.
“Jumlah pasien (ginjal kronis) yang menjalani cuci darah akibat hipertensi dan diabetes
mencapai 60 persen,” ucap Ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), Dhameizar,
seperti dikutip Kompas.com, Jumat (13/3/2015). Fakta serupa juga dikatakan oleh Kepala
Tenaga Medis National Kidney Foundation, Joseph Vassalotti. Dia menyebutkan, dua pertiga
dari kasus ginjal kronis disebabkan oleh diabetes melitus dan hipertensi. “Kondisi kedua
penyakit tersebut dapat merusak pembuluh darah kecil di ginjal. Akibatnya, kemampuan organ
untuk menyaring ‘limbah’ metabolisme dari darah berkurang,” kata Vassalotti, seperti dikutip
livescience.com, Senin (9/3/2015). Deteksi dini Dengan paparan di atas, pengobatan yang tepat
untuk diabetes melitus dan hipertensi akan meminimalkan risiko gagal ginjal. Selain itu, deteksi
dini juga tak ada salahnya dilakukan, sekalipun belum ada gejala gangguan ginjal sama sekali. Di
antara gejala yang perlu diwaspadai sebagai penanda awal gangguan ginjal adalah cepat lelah,
nafsu makan menurun, sulit tidur, sering ingin buang air kecil pada malam hari, dan
pembengkakan kaki. Pemeriksaan dini yang bisa ditempuh adalah melalui tes Cystatin C darah di
laboratorium. Nilai laju filtrasi glomerulus (FLG) akan diukur di tes ini, dengan menghitung
jumlah darah yang disaring glomerulus—bagian ginjal yang berfungsi sebagai penyaring.
Deteksi dini penyakit ginjal kronis juga bisa dilakukan di laboratorium dengan pemeriksaan
albumine urine kuantitatif. Tahap paling awal untuk risiko nefropati diabeti—istilah medis untuk
penyakit ginjal serius, termasuk dari komplikasi diabetes dan hipertensi—ditandai dengan
mikroalbuminuria, yaitu ditemukannya sejumlah kecil protein albumin di dalam urine.

Bila mikroalbuminuria terjadi, artinya ada gangguan stadium dini pada glomerulus ginjal, yang
ini masih bisa diobati. Tes ini dilakukan dengan sampel air seni yang telah ditampung selama 24
jam atau rentang waktu tertentu—bila memang tidak memungkinkan pengambilan sampel urine
tertampun 24 jam. Urine yang diambil sewaktu juga bisa menjadi alternatif, tetapi hasil
pemeriksaan harus dibandingkan dengan nilai kreatinin— “limbah” kimia dalam darah yang
disaring oleh ginjal dan dibuang ke dalam urine. Hasil pemeriksaan albumine urine kuantitatif
dikatakan normal apabila urin yang ditampung selama 24 jam (mg/24 jam) kurang dari 30, urin
ditampung dalam waktu tertentu (mg/menit) < 20, dan urin diambil sewaktu (mg/mg kreatinin)
kurang dari 30. Tes tersebut sebaiknya dilakukan pada masa pubertas atau lima tahun setelah
seseorang mendapat diagnosis menderita diabetes melitus tipe satu. Sementara itu, penyandang
diabetes melitus tipe dua sebaiknya melakukan pemeriksaan awal segera setelah mendapat
didiagnosis, kemudian rutin mengecek urine setahun sekali atau sesuai petunjuk dokter. Seperti
kata pepatah, selalu lebih baik menyiapkan payung sebelum hujan, mencegah sebelum kejadian,
memeriksa diri sedini mungkin sebelum sakit tiba. Waspadalah!

Anda mungkin juga menyukai