Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

TENTANG USHUL FIQIH

Mata Kuliah : Ushul Fiqih


Dosen Pengampu : Bp. Mishbah Khoiruddin Zuhri, MA

DI SUSUN OLEH KELOMPOK 01 :

1. Didha Akbar Prakosa 1704026103


2. Ahmad Sidiq Setiawan 1704026149

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan pada Allah SWT yang telah senantiasa melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Sholawat dan salam semoga tetap terlimpahkan
pada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW yang kita tunggu syafa‟atnya kelak di hari
kiamat.

Makalah ini kami susun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh.
Sebagai kelompok pertama dalam pembuatan makalah mata kuliah Ushul Fiqh, kami
berusaha menyajikan materi tentang gambaran awal tentang Ushul Fiqh sesuai RPS yang
diberikan. Makalah ini menjadi tampak sisi kekhususannya dari makalah lain, mengingat
makalh ini membahas pengenalan awal mata kuliah Ushul Fiqh. Karena, berangkat dari
pengenalan materi awal inilah pembahasan bab lain akan bisa berkembang menjadi berbagai
macam pembahasan.

Kami akui, makalah ini mungkin masih terkesan kurang lengkap dan sempurna dari
berbagai sisi. Oleh karena itu, kami sangat menerima dengan tangan terbuka berkenaan
dengan kritik dan saran dari para pembaca. Demi mendukung kelengkapan dan
kesempurnaan makalah kami.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah menyempatkan diri
membaca dan berkontribusi dalam penyusunan makalah ini. Kami harap makalah ini dapat
menyampaikan ilmu dengan baik dan bermanfaat kepada para pembaca khususnya bagi para
pengkaji ilmu ushul fiqh serta memperkaya khazanah intelektual kita.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Islam menghadapi tantangan lebih serius , terutama pada abad
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk menjawab berbagai permasalahan
baru yang berhubungan dengan hukum islam, para ahlinya sudah tidak bisa lagi hanya
mengandalkan ilmu tentang fiqh, hasil ijtihad di masa lampau. Alasannya, karena
teryata warisan fiqh yang terdapat dalam buku buku klasik, bukan saja terbatas
kemampuannya dalam menjangkau masalah masalah baru yang belum ada
sebelumnya, tetapi di sana sini mungkin terdapat pendapat-pendapat yang tidak atau
kurang relevan dengan abad kemajuan saat ini. Oleh karena itu, umat Islam perlu
mengadakan penyegaran kembali terhadap warisan fikih. Dalam konteks ini, ijtihad
mutlak harus dikuasai oleh mereka yang akan melakukannya. Metode ijtihad itulah
yang dikenal dengan Metode Ushul Fiqh.
Dalam menerapkan ijtihad yaitu melalu ilmu ushul fiqh, maka sebelumnya
kita perlu mengenal apa itu ushul fiqh. Salah satu faktor yang membedakan satu ilmu
dengan ilmu lainnya ialah dari sisi objek pembahsannya. Dengan memahami objek
kajian ushul fiqh kita menjadi semakin faham pengertian ushul fiqh sehingga
terbedakan antara ushul fiqh dengtan disiplin ilmu lainnya. Terutama pada cabang
ilmu lain yang pembahasannya dekat dengan ushul fiqh yang terkadang orang-orang
sering kesulitan melihat perbedaannya.
Tidak hanya sekedar mengetahui saja, ilmu ini juga diharapkan dapat
diterapkan sesuai tujuannya dan bermanfaat dalam menghadapi tantangan masalah
masalah baru yang perlu untuk ditarik ijtihadnya mengingat masalah tersebut belum
pernah terjadi di zaman sebelumnya.
Tentu ilmu ini yaitu ushul fiqh, tidaklah muncul dengan sendirinya di tengah-
tengah para penuntut ilmu. Terdapat proses dan alasan-alasan tertentu yang melatar
belakangi munculnya cabang ilmu ini. Semua itu Insyaallah akan dibahas satu per-
satu dalam makalah ini semaksimal mungkin.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari Ushul Fiqh ?
2. Apa objek kajian dari Ushul Fiqh ?
3. Apa perbedaan antara Ushul Fiqh, Fiqh, dan Qawaid Fiqh ?
4. Apa Tujuan dan Fungsi Ushul Fiqh ?
5. Bagaimanakah sumber pengambilan Ushul Fiqh ?
6. Bagaimanakah Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ushul Fiqh
Untuk memahami Ushul Fiqh, terlebih dahulu perlu diketahui pengertian dari masing
masing kata yang membentuknya, yaitu Al- Ushul dan al-Fiqh. Setelah itu pengetian
tersebut digabungkan menjadi satu menjadi pengetian dari Ushul Fiqh.

Kata Ushul Fiqh terdiri dari dua kata, yaitu kata Ushul (‫ )اصىل‬dan kata Fiqh (‫)انفقه‬.
Pertama, Kata Ushul (‫ )اصىل‬merupakan jamak dari kata Ashl (‫)األصم‬. Kata Ushul secara
etimologis mempunyai arti yaitu “landasan tempat membangun sesuatu.” Sedangkan
secara istilah, al-ashu memiliki banyak pengertian, diantaranya : Berakar, berasal, pangkal,
asal, sumber, pokok, induk, pusat, asas, dasar, semula, asli, kaidah, dan silsilah. Seperti
firman Allah SWT dalam Surah Ibrahim(14) ayat 24 :

              



24. tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti
pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.

Namun, secara istilah seperti yang dikemukakan Wahbah az-Zuhaili guru besar
Universitas Damaskus, meskipun mengandung beberapa pengertian, bila kata al-Ashl
dikaitkan dengan kata al-Fiqh, istilah al-Ashl yang lebih tepat adalah sebagai berikut:
Bermakna dalil, seperti dalam contoh ‫“ األصم في وجىب انصهىة انكتاب وانسنة‬Dalil
wajib Sholat adalah Al-Qur‟an dan Sunnah”. Dengan demikian kata Ushul Al-Fiqh berarti
dalil-dalil fiqh, seperti Al-Qur‟an, Sunnah Rasullulah, ijma‟ dll.1
Kedua, kata al-Fiqh menurut bahasa berarti pemahaman, contohnya Allah berfirman
dalam:

             

      

91. mereka berkata: "Hai Syu'aib, Kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan
Sesungguhnya Kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena
keluargamu tentulah Kami telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi
kami." (Q.S. Hud : 91)

1
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Kencana, Jakarta, 2005, h.2.
Sedangkan menurut istilah, dalam pandangan az-Zuhaili, terdapat beberapa pendapat
tentang definisi Fiqh. Berikut definisinya:

Menurut Imam Abu Hanifah dan kalangan pengikutnya “pengetahuan diri seseorang
tentang hak dan kewajibannya dari segi amal dan perbuatan.”2

Ulama yang datang kemudian, seperti Ibnu Subki dari kalangan Syafi‟iyah
mendefinisikan sebagai :

‫انعهى تاأل حكاو انشرعية انعًهية انًكتسة ين أدنتها انتفصيهية‬


“Pengetahuan tentang hukum Syara‟ yang berhubungan dengan amal perbuatan, yang
digali dari satu per satu dalilnya.”

Kata al-ilmu (pengetahuan) secara umum mencakup pengetahuan secara yakin dan
pengetahuan yangt sampai ke tingkay zhan(perkiraan). Namun yang dimaksud dentgan
kata al-„ilmu dalam definisi tersebut ialah pengetahuan yang sampai ke tingkat zhan atau
asumsi.3

Bila digabung kata tersebut maka ushul fiqih secara etimologis berarti pangkal atau
asal dari ilmu fiqih. Adapun pengertian ushul fiqih secara terminologis menurut Ar-Raji,
seperti yang dikutip oleh Dr. Iyad bin Nami As-Sulmi yaitu “Koleksi ilmu fiqih yang
bersifat global, cara mengeluarkan hukum fiqih, dan keadaan orang yang mengeluarkan
hukum fiqih.”

Menurut Kamaluddin bin al-Hammam dalam kitab tahrir, yang dikutip oleh Prof. Abu
Zahrah, yaitu: ilmu untuk menentukan kaidah-kaidah yang menghasilkan istinbath fiqh.
Dalam definisi ushul fiqih berarti ilmu tentang metode/cara menggali hukum-hukum
amaliyah yang bersumber dari dalil-dalil Al-Qur‟an dan As-Sunnah yang bersifat rinci.

Menurut madzab Syafi‟i, pengertian ushul fiqih adalah ilmu untuk mengetahui dalil-
dalil fiqih secara global, metode istinbath, dan persyaratan mujtahid. Sedangkan menurut
madzab Hanafi, Maliki, dan Hambali, pengertian ushul fiqih adalah ilmu tentang kaidah-
kaidah yang membahas tentang metode istinbath hukum dari dalil-dalil yang terperinci,
atau disebut juga dengan ilmu kaidah-kaidah fiqih. 4

B. Objek Kajian Ushul Fiqih


Menurut Prof. Dr. Satria Efendi M. Zein, ia berpegang kepada pendapat Imam Abu
Hamid al-Ghazali, bahwa kajian ushul fiqih ada empat yaitu:
1. Pembahasan tentang hukum syara‟ dan yang berhubungan dengannya, seperti hakim,
mahkum fih, dan mahkum „alaih.
2. Pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum.

2
Ibid., h. 3.
3
Ibid., h. 4.
4
Mardani, Ushul Fiqh, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, h.6-7.
3. Pembahasan tentang tentang cara mengistinbathkan hukum dari sumber-sumber dan
dalil-dalil itu.
4. Pembahasan tentang ijtihad.5
Meskipun yang menjadi objek bahasan ushul fiqih ada empat seperti dikemukakan di
atas, namun Wahbah Zuhaili dalam bukunya Al-Qosith fi Ushul Fiqih menjelaskan bahwa
yang menjadi inti dari objek kajian ushul fiqih adalah tentang dua hal, yaitu dalil-dalil
secara globaldan tentang ahkam (Hukum Syara‟). Menurut Dr. Abdurrahman Dahlan, jika
diperinci lebih jauh, maka kajian objek ushul fiqih terdiri atas beberapa pembahasan, yaitu
sebagai berikut.
1. Sumber dan dalil hukum. Dalam konteks ini, objek kajian ushul fiqih tidak hanya
berbicara tentang Al-Qur‟an dan As-Sunnah dari segi kedudukannya sebagai sumber
hukum, tetapi juga mencakup bentuk-bentuk lafalnya, tingkat kepastian dan
ketidakpastian tunjukan maknanya (qath‟i ad-dalalah dan zanni ad-dalalah) dan lain-
lain. Di samping itu, berkaitan dengan dalil-dalil hukum, ushul fiqih membahas pula
dalil-dalil yang disepakati para ulama, seperti ijma‟ dan qiyas, dan dalil-dalil yang
tidak terdapat kesepakatan diantara mereka, seperti istihsan, mashlahah mursalah,
„istishab, „urf, dan syar‟u man qablana. Bahkan dalam pembahasan sumber dan dalil
syara‟ ini, berkaitan pula dengan persoalan pertentangan antara dalil (ta‟arudh al-
adhillah).
2. Kaidah-kaidah dan cara menerapkan kaidah-kaidah tersebut pada sumber dan daliln
hukum.
3. Mujtahid dan ijtihad. Untuk menerapkan kaidah-kaidah pada dalil hukum secara
benar, harus dilakukan oleh orang yang ahli. Orang yang ahli itu disebut mujtahid.
Karena itu, ushul fiqih membahas kriteria dan persyaratan mujtahid dan tingkatan
ijtihad yang dihasilkannya. Lebih dari itu, dibahas pula tentang orang-orang yang
tidak berwenang melakukan ijtihad dan perang yang dapat dimainkannya dalam
lingkaran hukum, sehingga ada pula pembahasan tentang orang awam dan taqlid.
4. Hukum-hukum syara‟. Hasil akhir dari npembahasan ushul fiqih adalah hukum-
hukum syara‟ yang dihasilkannya. Akan tetapi, berkaitan dengan hukum ini, ada pula
pembahasan tentang hakim , mahkum fih (macam-macam hukum taklifi)dan mahkum
„alaih (muhkalaf dan persyaratannya).6

C. Perbedaan Kajian Ushul Fiqh, Fiqh dan Qawaid Fiqh


Objek kajian ushul fiqih berbeda dengan objek kajian fiqih. Objek kajian fiqih adalah
hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia beserta dalil-dalilnya yang
terperinci. Sedangkan kajian objek ushul fiqih menurut abu zahrah adalah mengenai
metodologi penerapan hukum-hukum fiqih. Fiqih dan ushul fiqih sama-sama membahas
dalil-dalil syara‟ akan tetapi tinjauannya berbeda. Fiqih membahas dalil-dalil tersebut
untuk menetapkan hukum-hukum cabang yang berhubungan dengan perbuatan manusia,

5
Ibid., h. 7.
6
Ibid., h.8-9.
sedangkan ushul fiqih meninjau dari segi metode penerapan hukum, klasifikasi
argumentasi serta situasi dan kondisi yang melatarbelakangi dalil-dalil tersebut.7
Perbedaaan antara qawaid fiqhiyah dengan ushul fiqih yaitu bahwa ushul fiqih adalah
kaidah atau metode yang dipergunakan oleh fuqaha dalam menggali hukum syara‟ agar
tidak terjadi kesalahan. Sedangkan qawaid fiqhiyah adalah himpunan hukum-hukum
syara‟ yang serupa atau sejenis disebabkan adanya titik persamaan, atau adanya ketetapan
fiqih yang merangkaikan kaidah tersebut. Seperti kaidah-kaidah pemilikan dalam Islam,
kaidah-kaidah dhaman, kaidah-kaidah khiyar, kaidah-kaidah fasakh secara umum. Jadi
qawaid fiqhiyah adalah kaidah atau teori yang diambil dari atau menghimpun masalah-
masalah fiqih yang bermacam-macam sebagai hasil ijtihad para mujtahid.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan, bahwa ruang linglup qawaid fiqhiyah
adalah masalah-masalah fiqih yang mempunyai titik peramaaan. Sedangkan ushul fiqih
adalah dasar untuk menggali hukum-hukum fiqihyang bermacam-macam dan dapat
dihubungkan antara satu sama yang lain. 8

D. Tujuan dan Manfaat Ushul Fiqih


Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin, tujuan yang hendak dicapai dari ilmu ushul fiqih
ialah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara‟ yang terinci agar
sampai kepada hukum-hukum syara‟ yang bersifat „amali, yang ditunjuk oleh dalil-dalil
itu. Dalam kaidah ushul serta bahasannya itu dapat dipahami nash-nash syara‟ dan hukum
yang terkandung di dalamnya. Demikian pula dapat dipahami secara baik dan tepat apa-
apa yang dirumuskan ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada rumusan itu.
Dalam hal ini ada dua maksud mengetahui ushul fiqih yaitu : pertama, bila kita telah
mengetahui metode ushul fiqih yang dirumuskan ulama terdahulu, maka bila suatu ketika
kita menghadapi suatu masalah baru yang tidak mungkin ditemukan hukumnya dalam
kitab-kitab fiqih terdahulu, maka kita akan mencari jawaban hukum terhadap masalah baru
itu dengan cara menerapkan jaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu.
Kedua, bika kita menghadapi masalah hukum fiqih yang terurai dalam kitab-kitab
fiqih, tetapi mengalami kesukaran dalam penerapannya, karena sudah begitu jauh
perbuatan yang terjadi, dan kita ingin mengkaji ulang rumusan fuqaha lama itu dan ingin
merumuskan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan dan tuntutan kondisi yang
menghendakinya, maka usaha yang harus ditempuh adalah merumuskan kaidah baruyang
memungkinkan timbulnya rumusan baru dalam fiqih. Kaji ulang terhadap suatu kaidah
atau menentukan kaidah baru itu tidak mungkin dapat dilakukan bila tidak mengetahui
secara baik usaha dan cara ulama lama dalam merumuskan kaidahnya. Hal ini akan
diketahui secara baik dalam ilmu ushul fiqih.

E. Sumber Pengambilan Ushul Fiqih


1. Al Qur‟an

7
Ibid., h.7.
8
Ibid., h. 19.
Semua ulama sepakat bahwa Al-Qur‟an merupakan sumber ajaran islam sekaligus
hukum Islam yang pertama dan paling utama. Seperti terdapat dalam firman Allah
SWT :
Al Qiyamah ayat 17-18

         

17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya.
18. apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.

Al Isra‟ ayat 9

            

   

9. Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi
khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada
pahala yang besar,

Ayat tersebut menegaskan bahwa Al-Qur‟an merupakan petunjuk bagi orang-orang


yang beriman. Menurut ulama Ushul Fiqih ayat itu dapat dapat memaknai bahwa Al-
qur‟an menjadi patokan atau kaidah dan tatanan hukum manusia agar menjalankan
kehidupan dengan baik dan benar menurut paraturan atau hukum-hukum Allah SWT.9

Modal dasar keyakinan atas Al-Qur‟an adalh kimanan, sebagai fondasiketakwaan,


sedangkan ketakwaan yang sempurna harus didasarkan apada keyakinan bahwa Al-Qur‟an
sebagai petunjuknya.
Al-Qur‟an adalah petunjuk dan sumber hukum bagi kehidupan manusia. Menurut
Moenawar Chalil, Al-Qur‟an adalah landasan amaliah manusia yang paling sempurna
dengan penjelasan yang sempurna dari Rasulallah SAW. Yang tidak pernah
menjelaskannya dengan hawa nafsu, kecuali atas dasar wahyu dari Allah SWT.

2. Sunnah Rasulullah
Yang kedua adalah sunnah Rasulullah. Secara Umum fungsi Sunnah adalah
sebagai Bayan (Penjelasan) atauTabyiin (menjelaskan ayat-ayat hukum dalam Al-
Qur‟an).seperti di tunjukan oleh ayat 44 Surat Al-Nahl :

            



9
Moenawar Chalil, Kembali Al-Qur‟an dan As-Sunnah, Bula Bintang, Jakarta, 1974, hlm.180
44. keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar
kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[829] dan supaya
mereka memikirkan,

[829] Yakni: perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al Quran.

ada beberapa bentuk fungsi Sunnah terhaap Al-Qur‟an:


1) Menjelaskan isi Al-Qur‟an antara lain dengan merinci ayat-ayat Global.
2) Membuat aturan tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajiban yang
disebutkan pokok-pokoknya di dalam Al-Qur‟an.
3) Menetapkan hukum yang belum di singgung dalam Al-Qur‟an.10

3. Ijma‟
Kata Ijma‟ secara bahasa berarti “Kebulatan tekad terhadap sesuatu persoalan”
atau “ Kesepakatan tentang sesuatu masalah”.
Menurut istilah Ushul Fiqih seperti dikemukakan „Abdul-Karim Zaidan, adalah
“keputusan para mujtahid dari kalangan umat islam tentang hukuman syara‟ pada satu
masa setelah Rasulullah”.
Ijma‟ diartikan kesepakatan (Al-Ittifaq) terhadap sesuatu. Pengertian ini di
kemukakan oleh al-Asnamy Nihayassaul Lil Asnawi yang mengutip pendapat Abu Ali
Al-Farisi dalam Kitab Al-Idha. Pernyataan “ajmi‟u” dapat di artikn bahwa “mereka
menjadai sependapat”. Pendapat tersebut di perkuat Oleh Firman Allah SWT. Dalam
Surat Yunus ayat 15:

              

                    

       


15. dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak
mengharapkan Pertemuan dengan Kami berkata: "Datangkanlah Al Quran yang lain dari ini[675] atau
gantilah dia[676]". Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. aku tidak
mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku
kepada siksa hari yang besar (kiamat)".

[675] Maksudnya: datangkanlah kitab yang baru untuk Kami baca yang tidak ada di dalamnya hal-hal
kebangkitan kubur, hidup sesudah mati dan sebagainya.
[676] Maksudnya: gantilah ayat-ayat yang menerangkan siksa dengan ayat-ayat yang menerangkan
rahmat, dan yang mencela tuhan-tuhan Kami dengan yang memujinya dan sebagainya.

Kesepakatan semua mujtahid dari Nabi Muhammad SAW sesudah wafatnya beliau
pada suatu masa terhadap suatu perkara.11 Syarat-syarat Ijma‟ yaitu :
a. Yang bersepakat adalah para mujtahid
b. Yang bersepakat adalah seluruh Mujtahid

10
Rachmat Syafe‟i, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 2007, hlm:66
11
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih , Imprint Bumi Aksara, Jakarta, 2011, hal: 84
c. Para Mujtahid Harue Umat Muhammad SAW
d. Dilakukan Setelah wafatnya Nabi
e. Kesepakat mereka harus berhubungan dengan syari‟at

4. Qiyas
Para Ulama Ushul Fikih menganggap qiyas secara sah dapat dijadikan dalil hukum
dengan berbagai argumentasi, antara lain:

              

              



59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. 12

Ayat ini menunjukkan bahwa jika ada perselisihan pendapat diantaranya ulama
tentang hukum suatu masalah, maka jalan keluarnya, dengan mengembalikannya
kepada Al-qur‟an dan sunnah Rasulullah. Cara mengembalikannya antara lain dengan
melakukan Qiyas.
Operasional penggunaan qiyas dimulai dengan mengeluarkan hukum yang terdapat
pada kasus yang memiliki nash. Cara ini memerlukan kerja nalar yang luar biasa yang
tidak cukup yang tidak hanya dengan pemahamanmakna lafadz saja. Selanjutnya
mujtahid mencari dan meneliti ada dantidaknya nash-nya, apabila ada illatnya
itu faqih menggunakan ketentuan Hukum pada kedua kasus itu berdasarkan
keadilan illat. Dengan demikian yang dicari mujtahid disini adalah illat hukum yang
terdapat pada nash (pokok hukum).13

F. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqih

Pertumbuhan Ushuul Fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak
zaman Rasulullah SAW.sampai pada zaman tersusunnya ushul fiqh sebagai salah satu
bidang ilmu pada abad ke-2 Hijriah. Di zaman Rasulullha SAW., sumber hukum islam
hanya dua, yaitu al-Qur‟an dan sunnah. Apabila ia muncul suatu kasus, Rasulullah SAW.
Menunggu turunnya waahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut.Apabila wahyu
tidak turun, maka beliau menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang
kemudian dikenal dengan hadits atau Sunnah.

12
Satria Effendi, M. Zein, ushul Fiqih, kencana, Jakarta,2009, hlm:131

13
Satria Effendi, M. Zein, ushul Fiqih, kencana, Jakarta,2009, hlm: 87
Dala menetapkan hukum dari berbagai kasus di zaman Rasulullah SAW.Yang tidak
ada ketentuannya dalam Al-Qur‟an, para ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa ada
isyarat bahwa Rasulullah SAW. Menetapakannya melalui ijtihad. Hal ini dapat diketahui
melalui sabda Rassulullah SAW. :

Artinya :“Sesungguhnya saya adalah manusia (biasa), apabila saya perintahkan


kepadamu sesuatu yang menyangkut agamamu, maka ambillah dia. Dan apabila aku
perintahkan kepadamu sesuatu yang berasal dari pendapatku, maka sesungguhnya aku
adalah manusia (biasa)”. (H.R. Muslim dari RAfi‟ ibn Khudaij)

Hasil ijtihad Rasulullah SAW. Ini secara otomatis menjadi sunnah sebagai sumber
hukum dan dalil bagi umat Islam.

Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW. Juga menggunakan qiyas ketika menjawab
pertanyaan para sahabat.Misalnya, beliau qiyas ketika mejawab pertanyaan „Umar ibn al-
Khaththab tentang batal-tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya. Rasulullah
SAW. Ketika itu bersabda :

Artinya :“Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu


batal ?” „Umar menjawab, „Tidak apa-apa‟ (tidak batal). Rasulullah SAW. Kemudian
bersabda, “Maka teruskan puasamu.” (H.R. al-Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)

Rasulullah SAW. Dalam hadits ini, menurut para ushul fiqh, mengqiyaskan hukum
mencium istri dalam keadaan berpuasa.Jika berkumur-kumur tidak membatalkan puasa,
maka mencium istri pun tidak membatalkan puasa.

Cara-cara Rasulullah SAW. Dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit
munculnya ilmu ushul fiqh ada bersamaan dengan hadirnya “fiqh”, yaitu sejak zaman
Rasulullah SAW.Bibit ini semakin jelas di zaman para sahabat, karena wahyu dan Sunnah
Rasul tidak ada lagi, sementara persoalan yang mereka hadapi semakin berkembang. Para
tokoh mujtahid yang termasyhur di zaman sahabat, diantaranya „Umar ibn al-Khaththab,
„Ali ibn Abi Thalib, dan „Abdullah ibn Mas‟ud. Dalam berijtihad, „Umar ibn al-Khaththab
seringkali mempertimbangkan kemaslahatan umat, dibanding sekedar menerapkan nasshs
secara zhahir, sementara tujuan hukum tidak tercapai. Misalnya, demi kemaslahatan rakyat
yang ditaklukan pasukan Islam disuatu daerah, „Umar ibn al-Khaththab menetapkan
bahwa tanah di daerah tersebut tidak diambil pasukan Islam, melainkan dibiarkan digarap
oleh penduduk setempat, dengan syarat setiap panen harus diserahkan sekian persen
kepada pemerintahan Islam.Sikap ini diambil „Umar ibn al-Khaththab didasarkan atas
pemikiran bahwa apabila tanah pertanian didaerah itu diambil pemerintah Islam, maka
rakyat di daerah tersebut tidak memiliki mata pencaharian, yang akibatnya bisa
memberatkan beban Negara. Para ulama ushul fiqh berpendapat bahwa landasan
pemikiran „Umar ibn al-Khaththab dalam kasus ini adalah demi kemaslahatan
(mashlahah).

„Ali ibn Abi Thalib juga melakukan ijtihad dengan menggunakan qiyas yaitu meng-
qiyas-kan hukuman orang yang meminum khamar dengan hukuman orang yang
melakukanqadzaf (menuduh orang lain berbuat zina). Alasan „Ali ibn Abi Thalib adalah
bahwa seseorang yang mabuk karena meminum khamar akan mengigau. Apabila ia
mengigau, maka ucapannya tidak bisa dikontrol, dan akan menuduh orang lain berbuat
zina. Hukuman bagi pelaku qadzaf adalah 80 kali dera. Oleh sebab itu, hukuman orang
meminum khamar sama dengan hukuman menuduh orang lain berbuat zina.
Perkembangan permasalahan di zaman sahabat ini memerlukan upaya ijtihad yang
semakin luas.14

Selain bertebarnya para sahabat diberbagai daerah yang saling berbeda budaya,
dalam kasus yang sama, hukum di satu daerah dapat berbeda dengan di daerah lainnya.
Perbedaan hukum ini berawal dari perbedaan cara pandang dalam menetapkan hukum
pada kasus tersebut.

Di zaman tabi‟in, permasalahan hukum yang muncul pun semakin kompleks.Para


tabi‟in melakukan ijtihad diberbagai daerah Islam.Di Madinah muncul berbagai fatwa
berkaitan dengan berbagai persoalan baru, sebagaimana dikemukakan Sa‟id ibn al-
Musayyab.Di Irak muncul „Alqamah ibn Waqqas, al-Laits dan Ibrahim al-Nakha‟i.Di
Bashrah muncul pula mujtahid di kalangan tabi‟in, seperti Hasan al-Bashri.

Titik tolak para Ulama tersebut dalam menetapkan hukum bisa berbeda; yang satu
melihat dari sudut mashlahat, sementara yang lain menetapkan hukumnya melalui qiyas.
Ulama ushul fiqh Irak lebih dikenal dengan penggunaan ra‟yu, dalam setiap kasus yang
dihadapi mereka berusaha mencari berbagai „illat-nya; sehingga dengan „illat ini mereka
dapat menyamakan hukum kasus yang dihadapi dengan hukum yang ada nash-nya.Sikap
ulama Irak ini bukan berarti meninggalkan Sunnah Rasulullah SAW., tetapi sikap itu
mereka ambil karena sangat sedikit Sunnah Rasulullah SAW.Yang bisa mereka
temukan.Adapun para ulama Madinah banyak menggunakan Hadits-hadits Rasulullah
SAW., karena mereka dengan mudah dapat melacak Sunnah Rasulullah SAW di daerah
tersebut. Di sinilah awal perbedaan dalam mengistinbathkan hukum dikalangan ulama
fiqh.Akibatnya, muncul tiga kelompok ulama, yaitu Madrasah al-„Iraq, Madrasah al-
Kufah, dan Madrasah al-Madinah. Penamaan ini menunjukkan perbedaan cara dan metode
yang dugunakannya dalam menggali hukum. Pada perkembangan selanjutnya, Madrasah
al-„Iraq dan Madrasah al-Kufah lebih dikenal dengan sebutan Madrasah al-
Ra‟yi,sedangkan Madrasah al-Madinah dikenal dengan sebutan Madrasah al-Hadits.

Setelah itu muncul para imam mujtahid, khususnya imam mazhab yang empat, yaitu :

1. Nu‟man ibn al-Tsabit yang lebih dikenal dengan nama Imam Abu Hanifah (80-150
H/699-767 M),

2. Malik ibn Anas, yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik (93-179 H/712-795
M),

3. Muhammad ibn Idris al-Syafi‟i, yang lebih populer dengan sebutan Imam al-Syafi‟i
(150-204 H/767-820 M),
14
Op cit., Mardani, h. 10.
4. Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241 H/780-855 M).

Masing-masing imam merumuskan metode ushul fiqh sendiri, sehingga terlihat


dengan jelas perbedaan antara satu imam dengan imam lainnya dalam mengistinbathkan
hukum dari al-Qur‟an dan Sunnah.Imam Abu Hanifah mengemukakan urutan dalil dalam
mengistinbathkan hukum sebagai berikut :al-Qur‟an; Sunnah; fatwa yang didasarkan atas
kesepakatan para sahabat; fatwa para tabi‟in yang sejalan dengan pemikiran
mereka; qiyasdan istihsan. Imam Malik, disamping berpegang kepada al-Qur‟an, Sunnah,
juga banyak mengistinbathkan hukum berdasarkan amalan penduduk Madinah („amal ahl
al-madinah). Akan tetapi Imam Malik juga banyak menolak mengamalkan Sunnah,
apabila terjadi pertentangan Sunnah dimaksud dengan al-Qur‟an.15

Selanjutnya Imam al-Syafi‟i dengan metode-metode ijtihadnya dan sekaligus buat


petama sekali membukukaan ilmu ushul fiqh yang dibarengi dengan dalil-dalilnya.Kitab
ushul fiqh yang disusun Imam al-Syafi‟i tersebut bernama al-Risalah.Kitab ini disusun
berdasarkan khazanah fiqh yang ditinggalkan para sahabat, tabi‟in, dan Imam-imam
mujtahid sebelumnya.Imam al-Syafi‟I berupaya mempelajari secara seksama perdebatan
yang terjadi antara ahl al-hadits yang bermarkas di Madinah dengan ahl al-ra‟yi di
Irak.Dari kedua aliran ini Imam al-Syafi‟i berusaha untuk mengompromikan pandangan
kedua aliran tersebut, serta menyusun teori-teori ushul fiqhnya.Dalam kitabnya, al-
Risalah,Imam al-Syafi‟i berusaha memperlihatkan pendapat yang shahih dan pendapat
yang tidak shahih, stelah melakukan berbagai analisis dari pandangan kedua aliran, Irak
dan Madinah.Berdasarkan analisisnya inilah dia membuat teori ushul fiqh; yang
diharapkan dapat dijadikan patokan umum dalam mengistinbathkan hukum, mulai dari
generasinya sampai generasi selanjutnya.

Kandungan kitab al-Risalah ini pada masa sesudah Imam al-Syafi‟i mejadi bahan
pembasan para ulama ushul fiqh secara luas. Pembahasan mereka ada yang berbentuk
men-syarh (menjelaskan) secara luas apa yang dikemukakan Imam al-Syafi‟i dalam
kitabnya itu, tanpa mengubah atau mengurangi apa yang ada dalam kitab tersebut. Juga
ada yang melakukan pembahasan bersifat analisis terhadap pendapat dan teori Imam al-
Syafi‟i, dengan mengemukakan aspek-aspek kekuatan dan kelemahan teori Imam al-
Syafi‟i; dan terkadang mengemukakan pendapat yang berlawanan dengan pendapat Imam
al-Syafi‟i. Misalnya ulama ushul fiqh dari kalangan Hanafi mengakui teori-teori ushul fiqh
Imam al-Syafi‟i, tetapi mereka menambahkan metode atau teori lainnya,
yaitu istihsan dan „urf dalam mengistinbathkan hukum. Ulama ushul fiqh Malikiyyah juga
melakukan hal yang sama, yaitu menambahkan ijma‟ ahl al-madinah (kesepakatan
penduduk Madinah), karena status ijma‟ ahl al-madinah, menurut mereka, merupakan
Sunnah yang secara turun temurun dilaksanakan sejak zaman Rasulullah SAW. Sampai ke
zaman mereka.Ijma‟ ahl al-madinah tersebut tidak diterima Imam al-Syafi‟i sebagai salah
satu dalil dalam menetapkan hukum Islam.Di samping itu, ulama ushul fiqh Malikiyyah
juga menambahkan metode istihsan, mashlahah mursalah (yang keduanya ditolak Imam
al-Syafi‟i) dan metode sad al-zari‟ah.

15
Op cit., Mardani, h. 12-14
Para Imam Mazhab dari ke empat Mazhab tersebut sepakat dengan dalil-dalil yang
dikemukakan Imam al-Syafi‟i, yaitu al-Qur‟an, Sunnah, ijma‟ dan qiyas.Tetapi masing-
masing Mazhab menambahkan metode istinbath hukum lainnya, seperti yang
dikemukakan di atas. Dalam analisis para ahli ushul fiqh kontemporer, seperti Husain
Hamid Hasan, dari berbagai metoode yang dikemukakan para Imam Mazhab di atas,
ulama ushul fiqh Syafi‟iyyah (para pengikut Imam al-Syafi‟i) ternyata menerima metode
„urf, mashlahah mursalah, dan sadd al-zari‟ah.Akan tetapi, mereka menolak
metode istihsan dan ijma‟ ahl al-madinah, karena dipandang tidak dapat dijadikan salah
satu metode dalam mengistibathkan hukum Islam.16

Terlepas dari perbedaan pendapat kalangan ushul fiqh (termasuk di kalangan Imam
Mazhab yang empat), tentang berbagai metode ijtihad yang ada, para analisis ushul fiqh
menyatakan bahwa pada masa keempat Imam Mazhab tersebut ushul fiqh menemukan
bentuknya yang “sempurna”, sehingga generasi-generasi sesudahnya cenderung hanya
memilih dan menggunakan metode yang sesuai dengan kasus yang mereka hadapi pada
zamannya masing-masing.

16
Op cit., Mardani, h. 14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata Ushul Fiqh terdiri dari dua kata, yaitu kata Ushul (‫ )اصىل‬dan kata Fiqh (‫)انفقه‬.
Pertama, Kata Ushul (‫ )اصىل‬merupakan jamak dari kata Ashl (‫)األصم‬. Kata Ushul secara
etimologis mempunyai arti yaitu “landasan tempat membangun sesuatu.” Sedangkan
secara istilah, al-ashu memiliki banyak pengertian, diantaranya : Berakar, berasal, pangkal,
asal, sumber, pokok, induk, pusat, asas, dasar, semula, asli, kaidah, dan silsilah.
Objek kajian ushul fiqih Menurut Prof. Dr. Satria Efendi M. Zein, ia berpegang
kepada pendapat Imam Abu Hamid al-Ghazali, bahwa kajian ushul fiqih ada empat yaitu:
1. Pembahasan tentang hukum syara‟ dan yang berhubungan dengannya, seperti hakim,
mahkum fih, dan mahkum „alaih.
2. Pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum.
3. Pembahasan tentang tentang cara mengistinbathkan hukum dari sumber-sumber dan
dalil-dalil itu.
4. Pembahasan tentang ijtihad.

Objek kajian fiqih adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia
beserta dalil-dalilnya yang terperinci. Sedangkan kajian objek ushul fiqih menurut abu
zahrah adalah mengenai metodologi penerapan hukum-hukum fiqih. Fiqih dan ushul fiqih
sama-sama membahas dalil-dalil syara‟ akan tetapi tinjauannya berbeda. Fiqih membahas
dalil-dalil tersebut untuk menetapkan hukum-hukum cabang yang berhubungan dengan
perbuatan manusia, sedangkan ushul fiqih meninjau dari segi metode penerapan hukum,
klasifikasi argumentasi serta situasi dan kondisi yang melatarbelakangi dalil-dalil tersebut.

Perbedaaan antara qawaid fiqhiyah dengan ushul fiqih yaitu bahwa ushul fiqih adalah
kaidah atau metode yang dipergunakan oleh fuqaha dalam menggali hukum syara‟ agar
tidak terjadi kesalahan. Sedangkan qawaid fiqhiyah adalah himpunan hukum-hukum
syara‟ yang serupa atau sejenis disebabkan adanya titik persamaan, atau adanya ketetapan
fiqih yang merangkaikan kaidah tersebut. Seperti kaidah-kaidah pemilikan dalam Islam,
kaidah-kaidah dhaman, kaidah-kaidah khiyar, kaidah-kaidah fasakh secara umum. Jadi
qawaid fiqhiyah adalah kaidah atau teori yang diambil dari atau menghimpun masalah-
masalah fiqih yang bermacam-macam sebagai hasil ijtihad para mujtahid

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan, bahwa ruang linglup qawaid fiqhiyah
adalah masalah-masalah fiqih yang mempunyai titik peramaaan. Sedangkan ushul fiqih
adalah dasar untuk menggali hukum-hukum fiqihyang bermacam-macam dan dapat
dihubungkan antara satu sama yang lain.

Tujuan dan urgensi ushul fiqih adalah mengemukakan syarat-syarat yang harus
dimiliki oleh seseorang mujtahid, agar mampu menggali hukum syara‟ secara tepat dan
lain-lain.
Sumber pengambilan ushul fiqih ada 4 (empat) yaitu Al-Qur‟an, Sunnah Rasulullah,
Ijma‟ dan Qiyas. Mengenai keharusan berpegang kepada keempat sumber tersebut dapat
di pahami dari ayat 59 surat An-Nisa:

             

              

 

59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Sejarah perkembangan ushul fiqih terlihat pada masa ushul fiqih sebelum dibukukan
dan ushul fiqih sesudah dibukukan dan ushul fiqih pasca Syafi‟i.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana.

Mardani. 2013. Ushul Fiqh. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Chalil, Moenawar. 1974. Kembali Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Jakarta : Bula Bintang.

Syafe‟i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung : Pustaka Setia.

Asmawi. 2011 Perbandingan Ushul Fiqih. Jakarta : Imprint Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai