Anda di halaman 1dari 53

DAFTAR ISI

BAB I ...................................................................................................................... 2

PENDAHULUAN .................................................................................................. 2

A. Latar Belakang ............................................................................................. 2

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 3

BAB II ..................................................................................................................... 4

PEMBAHASAN ..................................................................................................... 4

A. Apa dan Bagaimana Puasa ........................................................................... 4

B. Kekayaan Hikmah Dalam Puasa .................................................................. 7

C. Macam-Macam Puasa .................................................................................. 8

D. Waktu Masuknya Puasa ............................................................................. 42

BAB III ................................................................................................................. 51

PENUTUP ............................................................................................................. 51

Kesimpulan ........................................................................................................ 51

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 52

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa puasa merupakan salah


satu dari 5 rukun islam..Hukum berpuasa adalah wajib, Karena bila kita
tidak berpuasa sedangkan kita mampu dan memiliki waktu untuk berpuasa,
maka kita tidak memenuhi rukun islam dan belum bisa dikatakan islam
sepenuhnya.

Namun bila kita lihat masyarakat secara umum, tidak sedikit dari
mereka yang tidak cukup paham tentang puasa. Padahal ibadah ini
merupakan salah satu ibadah krusial dalam islam. Oleh Karena itu, kita
sebagai muslim yang menyadari hal ini, memiliki tanggung jawab untuk
bisa menjawab problematika di masyarakat, seperti puasa,.

Sehingga saat kita beribadah, tidak hanya sekedar


mempraktekannya namun juga memahami makna dan hakikat dari puasa itu
sendiri. Dengan semakin memahami tentang puasa, diharapkan dapat
meningkat pula kualitas dan kuantitas ibadah puasa kita. Cara meningkatkan
kuantitas puasa kita adalah dengan melaksanakan puasa-puasa sunnah.
Dengan semakin memahami mana saja ibadah puasa sunnah kita menjadi
paham kapankah kita bisa mengatur waktu untuk melakukan ibadah sunnah
kita sehinnga intensitas ibadah kita semakin diperlebar dengan banyaknya
ibadah sunnah yang kita lakukan tanpa harus mengganngu jadwal sehari-

2
hari karena telah memahami waktu waktu puasa sunnah, maka mengatur
waktu untuk berpuasa menjadim lebih terkontrol.

Dengan memahami puasa kita juga dituntut untuk semakin dekat


dengan Allah, Karena dengan memahami hakikat puasa, kita akan paham
bahwa puasa tidak sekedar menahan lapar dan haus, namun puasa adalah
menahan dari segala hal yang membuat diri kita dikuasai oleh nafsu dan
dilakukan karena perintah dan ridho dari Allah Subhanahu wa ta ‘ala.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah definisi dari puasa ?


2. Apa hikmah yang didapat dari berpuasa ?
3. Apa sajakah macam-macam puasa dalam islam ?
4. Kapankah waktu kita diwajibkan berpuasa ?

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Apa dan Bagaimana Puasa

Puasa dalam bahasa arab disebut ash-shiyaam dan ash-syoum


keduannya adalah masdar yang secara kebahasaan berarti menahan atau
mengekang. Dalam istilah syariat islam puasa atau syaum berarti suatu
bentuk ibadah berupa menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual
dan hal-hal lain yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga waktu
magrib dengan niat mencari ridho allah. Dalam penggunaan istilah puasa
selanjutnya tidak boeh diartikan secara harfiah yaitu menahan diri. Tapi,
sudah menjadi istilh agama, yaitu sebagaimana disebutkan diatas. Sama
separti sholat yang arti harfiah nya adalah doa tidak lagi diartikan doa tapi
suatu ibadah yang dimulai dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan
taslim.

Sebenarnya kaum muslimin seharusnya lebih memasyarakatkan


istilah syoum daripada puasa. Sebab, puasa berasal dari bahasa sanskerta
dengan srti yang berbeda dengan kaum muslimin. Dengan demikian, karena
mayoritas dan sudah membudaya beratus-ratus tahun istilah puasa menjadi
istilah yang dimiliki kaum muslimin dengan perngertian sama dengan
syoum.1

1
Miftah Faridl, Puasa Ibadah Kaya Makna, Gema Insani, Jakarta, 2007, h. 13-15.

4
Puasa dalam islam merupakan ibadah yang unik, khas islam.
Meskipun namannya sama puasa orang islam tidak sama dengan kaum-
kaum yang lain. Adakah kaum yang lain juga ada aturan puasa?, jawabnya:
ada. Al-Qur,an sendiri yang menyatakan hal itu ketika membahas perintah
puasa ramadhan, allah berfirman:

‫علَى‬ ِّ ِ ‫علَ ْي ُك ُم‬


َ ِ‫الصيَا ُم َك َما ُكت‬
َ ‫ب‬ َ ِ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ُكت‬
َ ‫ب‬
َ‫الَّذِينَ ِم ْن قَ ْب ِل ُك ْم لَعَلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬
Artinya: “wahai orang-orang beriman! Diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu
bertaqwa.”(Q.S Al-Baqarah:183)

Yang dimaksud “orang-orang sebelum kamu” tentu adalah kaum


lain karen kaaum muslimin adalah umat terakhir dengan nabi dan risalah
terakhir. Berarti, orang yahudi ada perintah puasa. Demikian pula dengan
nasrani. Kit juga menyaksikan umat-umat lain ada syariat puas di dalam
agamannya.

Sekali lagi meskipun namannya sama, aturan puasa masing-masing


agama berbeda. Islam aturannya sudah jelas. Agama lain ada yang berpuasa
berhari-hari. Seperti puasa dalam rangka tirakat agar keinginannya tercapai
dalam ajaran agama hindu. Atau puasa nyambung (wisal) yaitu puasa terus
tanpa berbuka. Padahal islam mengajarrkan untuk mnyegerakan berbuka
dan mengakhirkan saur. Bagi yang mencampuradukan ibadah dalam islam
dengan aturan yang lain, niscaya puasanya tidak diterima oleh allah SAW.

Umat Nabi Musa a.s dan umat Nabi Isa a.s telah menerima
kewajiban puasa sebulan ramadhan. Namun mereka melakukan perbuahan.
Pendeta-pendeta di kalangan mereka menambah puasa 10 hari sehingga
menjadi 40 hari. Suatu ketika salah seorang pendeta jatuh sakit. Mereka lalu
bernadzar, “jika allah menyembuhkan dya kami akan menambah puasa 10

5
hari.” Sesudah ia sembuh mereka menepati nadzharnya menambah 10 hari
lagi, lalu dirasa lampau berat bagi mereka bila jatuh dimusim panas. Mereka
menderita karenannya, kemudian mereka pindahkan puasa itu ke musim
semi.

Nabi Musa a.s di perintahkan puasa 40 hari terlebih dahulu


sebagaimana syarat sebelum menerima taurat. Pemimpin Bani Ijrail ini
melakukan puasa dari tanggal 1 Dzulqa,dah sam pai tanggal 10 dzulhijjah.
Taurat di terima nabi musa bersamaan pada hari raya idhul adha. Puasa 40
hari ini lalu dilakukan orang-orang yahudi sampai saat ini. Mereka puasa
hari ke 10 pada bulan ke 7 menurut perhitugan mereka.

Al-Qur,an berfirman : “dan kami telah menjajikan kepada musa


(memberikan taurat) 30 malam, dan kami sempurnakan malam itu dengan
10 malam lagi, maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan tuhnnya 40
malam......”(Al-A,raf:142)

Perintah puasa di dalam islam tidak memberatkan, tapi juga tidak di


gampang-gampangkan.terbukti dengan adnnya pengecualian bagi golongan
tertentu. Seperti mereka yang sakit dan apabila puasa di khawatirkan
memperparah sakitnya.puasa di dalam islam selain mngandung aturan
menahan diri dari yang membtalkan, juga adab-adabnya, etikannya. Ada
juga hal-hal yang dapat menambah pahala puasa dan ajda juga yang dapat
menguranginnya.

Kwajiban puasa di tetapkan pada bulan sya,ban 2 hijriyah menurut


ijmak ulama’. Setelah penentuan kwajiban puasa tersebut rasulullah SAW
telah melakukan puasa terlebih dahulu sebanyak 9 kali ramadhan.adapun
cara ritusl puasa yang sepertisaat ini adalah ke khususan umat muhammad.2

2
Muhammad Najib Sadjak, Terjemah-Terjamah Matan At-taqrib wa al-ghoyah,
Kampoeng Kyai, Jatirogo, 2013, h.85.

6
B. Kekayaan Hikmah Dalam Puasa
1. Ibadah puasa merupakan wujud rasa syukur kepada allah karena
merupakan ibadah yang di wajibkan.ibadah adalah sebuah nikmat yang
allah berikan kepada hamba-Nya agar mereka selalu berintersksi
kepada allah. andaikan puasa bukan sebuah ibadah, maka bisa jadi
perbuatan menahan lapar dan dahaga tersebut tidak begitu berarti.
2. Puasa adalah alat untuk mengetes ketaatan dan amanah seorang
muslim, sebab puasa adalah ibadah yang khusus dimana ia
mengetahuinnya hanya orang yang berpuasa dan allah semata.
Kalaupun saja berpura-pura puasa dengan menampakkan badan yang
lemas namun, yang tau hanya allah dan dirinnya.
3. Ibadah puasa dapat melepaskan diri manusia dari nafsu kebinatangan
sebab, binatang pekerjaannya hanya minum dan makan sja untuk
mempertahankan hidupnya. Jika manusia berpuasa, maka ia berarti
telah membersihkan jiwanya dari sifat kebinatangan dan mendekati
sifat malaikat.
4. Sesungguhnya para dokter menyatakan bahwa manusia akan mampu
makan dengan rakus dan tanpa batas karena, hal ini akan menjadikan
penyakit yang berbahaya bagi pencernaan.
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2009) ,hal.
5. Puasa alat melemahkan nafsu syahwat. Nafsu syahwat merupakan
salah stu kesamaan antara manusia dan hewan. Jika seseorang tidak
mampu menikah dan takut terjerumuskan ke lembah zina, maka
disarankan untuk berpuasa.
6. Jika manusia dalam keadaan puasa dia akan merasakan perasaan lapar,
sehingga membuahkan rasa kasih sayang kepada fakir miskin yang
tidak mendapatkan makanan yang bisa menutupi lapar dan dahaga.3

3
Miftah Faridl, op.cit., h. 149-151.

7
C. Macam-Macam Puasa

1. Puasa terdiri dari puasa wajib dan puasa sunnah, Puasa wajib terdiri dari
tiga macam :
a. Wajib karena waktu, yaitu puasa ramadhan.
b. Wajib karena sebab, yaitu puasa kafarat dan qadha.
c. Puasa yang diwajibkan orang atas dirinya, yaitu puasa nazar 4

2. Adapun puasa Sunnah terdiri atas :


a. Puasa Sya’ban.
b. Puasa Enam Hari di Bulan Syawal.
c. Puasa Muharram.
d. Puasa ‘Arafah.
e. Puasa Tasu’a dan ‘Asyura.
f. Puasa padan Hari Putih.
g. Puasa Hari Senin Kamis.
h. Puasa Daud (Puasa sehari lalu tidak puasa sehari secara menerus)
i. Puasa 10 Hari di Bulan Dzulhijjah,5

4
Syaikh Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf Azazy, Tamammul Minnah Shahih Fiqh Sunnah, Jilid
2, Pustaka As-Sunnah, Jakarta, 2010, h. 200.
5
Ibid., h. 264-274.

8
1. Puasa Wajib

a. Hukum Puasa Ramadhan

Puasa Ramadhan hukumnya wajib berdasarkan Al-Quran,


As-Sunnah dan Al-Ijma.

1) Kewajiban puasa termaktub dalam Al-Qran, yaitu Allah


berfirman :

ِّ ِ ‫علَ ْي ُك ُم‬
َ ِ‫الصيَا ُم َك َما ُكت‬
‫ب‬ َ ‫ب‬ َ ِ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ُكت‬
َ‫علَى الَّذِينَ ِم ْن قَ ْب ِل ُك ْم لَعَلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬
َ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa” (Q.S Al-Baqarah 2:183)

ِ َّ‫آن ُهدًى ِللن‬


‫اس‬ ُ ‫ضانَ الَّذِي أ ُ ْن ِز َل فِي ِه ْالقُ ْر‬َ ‫ش ْه ُر َر َم‬ َ
‫ت ِمنَ ْال ُهدَى‬ٍ ‫ش ِهدَ ِم ْن ُك ُم َوبَ ِيِّنَا‬ ِ َ‫َو ْالفُ ْرق‬
َ ‫ان فَ َم ْن‬
ُ َ‫ش ْه َر فَ ْلي‬
ُ‫ص ْمه‬ َّ ‫ال‬
Artinya : “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di

9
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa..” (Q.S Al-Baqarah 2:185)

2) Kewajiban puasa juga terdapat dalam As-Sunnah,


berikut haditsnya :

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata :


Rasullullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Islam
dibangun di atas lima(tonggak) : Syahadat Laa ilaaha illa
Allah dan (syahadat) Muhammad Rasullullah, menegakkan
shalat, membayar zakat, hajji, dan puasa Ramadhan.” (HR
Bukhari :8)

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi


Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau beresabda : “Islam
dibangun di atas lima (tonggak) : beribadah kepada Allah

10
dan mengingkari (peribadahan) kepada selain-Nya,
menegakkan shalat membayar zakat, haji dan puasa
Ramadhan.” (HR. Muslim no.16)6

Semua ulama sepakat kalua puasa Ramadhan


hukumnya wajib. Orang Islam yang telah baligh dan berakal
wajib melaksanakan puasa kecuali wanita yang sedang haid
dan nifas, maka bagi mereka haram hukumnya berpuasa.
Jika pun tetap berpuasa maka tidak sah dan wajib mengganti
di hari yang lain.

Wanita yang sedang hamil dan menyusui boleh tidak


berpuasa dan menggantinya di hari lain jika khawatir
terhadap kesehatan dirinya dan anaknya dan tetap sah jika
berpuasa. Namun jika kekhawatiran hanya terhadap
kesehatan anaknya saja maka wajib mengganti dan
membayar kafarah yaitu satu mud setiap harinya. Demikian
menurut Imam Syafi’i dan Imam hambali.

Sedangkan Imam Hanafi berpendapat tidak


wajib kafarah. Imam Maliki berpendapat lain, wajib kafarah
untuk wanita yang menyusui dan tidak wajib bagi wanita
yang hamil. Pendapat kedua Imam Maliki adalah tidak ada
kafarah atas keduanya.Empat imam mazhab sepakat bahwa
musafir dan orang sakit yang tidak bisa disembuhkan boleh
tidak berpuasa dan sah jika tetap berpuasa. Namun jika
membahayakan diri mereka maka hukumnya makruh.
Imam Hambali berpendapat boleh musafir
membatalkan puasanya apabila hari sebelumnya berpuasa

6
Zulkifli, Rambu-Rambu Fiqh Ibadah : Mengharmoniskan Hubungan Vertikal dan Horizontal,
Kalimedia, Yogyakarta, 2017, h. 103-104.

11
kemudian melakukan perjalanan. Sedangkan tiga imam lain
berpendapat tidak boleh membatalkan puasa.

Anak kecil yang belum mampu dan orang gila


permanen tidak wajib berpuasa. Dianjurkan kepada orang
tua untuk memerintahkan anaknya berpuasa saat umur 7
tahun, dan jika tidak berpuasa di umur 10 tahun
diperbolehkan ‘memukul’ anaknya (maaf pakai tanda kutip,
agak sedikit sensitif urusan KDRT di negeri kita).

Orang sakit yang tidak bisa disembuhkan dan orang


tua renta tidak wajib berpuasa namun diwajibkan
membayar fidyah. Demikian pendapat Imam Hanafi dan
pendapat paling shahih dari Imam Syafi’i. Imam Hambali
berpendapat hanya wajib memberi makan satu sha kurma
atau satu mud gandum. Sedangkan Imam Maliki
berpendapat tidak wajib berpuasa dan tidak wajib membayar
fidyah.

12
b. Hukum Puasa Kafarat dan Qadha

1.) Puasa Kafarat

Salah satu hal yang membatalkan puasa adalah berjima’


secara sengaja saat berpuasa di bulan Ramadha. Sehingga
apabila seseorang berjima’ dalam kondisi ia mengetahui dan
sengaja pada siang hari bulan Ramadhan, maka dia berdosa dan
puasanya rusak serta wajib baginya mengqadha’ dengan kafarat.
Berikut dasar haditsnya :

Dari Abu Hurairah Radhiyallu‘anhu,beliau berkata, ketika


kami duduk-duduk bersama Rasululloh saw,tiba-tiba datang
seseorang sambil berkata: “Wahai, Rasulullah, celaka!” Beliau
manjawab, “Ada apa denganmu?” Dia berkata, “Aku berhubungan
dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.’’(Dalam riwayat lain
berbunyi : aku berhubngan dengan istriku di bulan ramadhan). Maka
Rasulullah saw berkata, “Apakah kamu mempunyai budak untuk

13
dimerdekakan?” Dia menjawab, “Tidak!” Lalu Nabi saw berkata
lagi, “Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut ?” Dia
menjawab “Tidak !” Lalu Nabi bertanya lagi: “Mampukah kamu
memberi makan enam puluh orang miskin ?’’ Dia menjawab,
“Tidak” Lalu rosulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini,
Nabi diberi satu ‘irq berisi kurma, Al-Irq adalah alat takaran (maka)
Beliau berkata: “Mana orang yang tadi? Dia menjawab, “Saya
orangnya.” Beliau berkata lagi: “Ambillah ini dan bersedekahlah
dengannya!” Kemudian orang tersebut berkata: “Apakah kepada
orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Alloh, tidak
ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir
dariku”. Maka Rasulullah tertawa sampai tampak gigi
taringnya,kemudian (Beliau Rosulullah) berkata: “Berilah makan
keluarga.(HR. Al-Bukhari 1936,1937,2600,5368,6087.)

Kami sengaja tidak membahas kafarat secara khusus karena terdapat


kelompok lain yang mendapatkan bagian materi ini secara khusus, kami hanya
membahasnya sedikit karena, terdapat satu pelanggaran dalam berpuasa
dalam islam yang mana bila dilakukan pelanggaran itu maka harus
membayarnya dengan kafarat, dan salah satu cara untuk melakukan kafarat
adalah dengan melakukan suatu jenis puasan, yaitu puasa kaffarat.

Catatan dalam Puasa Kaffarat :

a) Disyaratkan dalam puasa kffarat harus 2 bulan berturut-turut,


sebagaimana disebutkan dalam nash hadits di atas. Dan yang
dimaksud adalah 2 bulan dalam hijriyah bukan masehi.
b) Seandainya seseorang berjima’pada puasa wajib, selain Ramadhan,
atau puasa nafilah maka puasanya rusak, dan tidak melazimkan
kafarat baginya. Pendapat ini yang dipastikan jumhur ulama.

14
c) Seseorang yang memiliki rukhshah untuk berbuka apabila ia
berjima’, seperti halnya seorang musafir atau orang yang sakit,
maka tidak ada dosa baginya dan tidak melazimkan kffarat, karena
ia dibolehkan berbuka, dengan syarat tidak merusak puasa istrinya
(pasangannya) apabila ia berpuasa. Namun hal itu boleh apabila
istrinya juga memiliki rukhshah untuk berbuka atau ia telah bersih
dari haidlnya pada pertengahan hari.
d) Wajib bagi wanita untuk membayar kaffarat juga apabila ia
menyetujui suaminya berjima’, dan ini adalah pendapat jumhur,
dan inilah yang palong rajih, karena wanita memiliki kesamaan
dengan laki-laki dalam hukum, melainkan bila ada dalil yang
mengkhususkan kepada salah satu dari keduanya, hal tersebut
berdasarkan hadits yang shahih, “Para wanita adalah belahan laki-
laki.”
e) Para ulama’ berbeda pendapat tentang kadar memberi makanan.
”Imam” Malik, Asy-Syafi’I, dan Ahmad berpendapat bahwa
pemmberian makanan kepada orang miskin adalah satu mud
makanan pokok, sementara al-Hanafiyyah berpendapat
bahwasanya tidak sah melainkan 2 mud. Pendapat pertama lebih
rajih karena disebutkan dalam sebagian riwayat hadits bahwa satu
‘araq (keranjang) berisi lima belas sha’ dan telah dimaklumi bahwa
satu sha’ adalah empat mud, sehingga bagian masing-masing orang
miskin adalah seperempat sha’ yakni satu mud.
f) Apabila kesulitan sehingga tidak mampu membayar kaffarat, maka
tetap menjadi tanggungjawabnya hingga pada saat ia memiliki
kemudahan menunaikannya, dan inilah yang dirajihkan oleh Ibnu
Daqiqil ‘liq, dan inilah madzab Malik dan Abu Hanifa
rahimahullah.7

7
Syaikh Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf Azazy, op.cit., h. 222-224.

15
2.) Puasa Qadha’

Puasa Qadha adalah puasa yang dilakukan dalam rangka mengganti


puasa wajib yang rusak. Hukum puasa qadha adalah wajib, karena membayar
hutang puasa memang hukumnya wajib sejatinya. Berbeda dengan Kafarat,
kafarat kita lakukan bila kita melakukan pelanggaran puasam wajib di bulan
Ramadhan dengan berjima’, sehingga dalam mengqadha puasa merupakan
mengganti puasa wajib di Bulan Ramadhan yang rusak selain dikarenakan
jima’. Berikut dasar dalil puasa qadha :

‫سفَ ٍر فَ ِعدَّة ٌ ِم ْن أَي ٍَّام أُخ ََر‬ َ ‫ضا أَ ْو‬


َ ‫علَى‬ ً ‫َو َم ْن َكانَ َم ِري‬
Artinya : “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)

Dalil wanita haidh dan nifas adalah hadits dari ‘Aisyah,


beliau mengatakan,

‫ص ْو ِم َوالَ نُؤْ َم ُر‬


َّ ‫اء ال‬
ِ ‫ض‬َ َ‫صيبُنَا ذَ ِل َك فَنُؤْ َم ُر ِبق‬
ِ ُ‫َكانَ ي‬
‫صالَ ِة‬
َّ ‫اء ال‬
ِ ‫ض‬َ َ‫ ِبق‬.

“Kami dulu mengalami haidh. Kami diperintarkan untuk


mengqodho puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho’
shalat.”( HR. Muslim no. 335)

16
Beberapa masalah yang berkaitan dengan puasa qadha’ :

a.) Tidak wajib berturut-turut dalam mengqadha puasa


Tidak wajib berturut-turut dalam mengqadha ‘ hari-hari
tersebut, bagi yang menghendaki bias melakukan secara terpisah,
karena Allah berfirman :

‫ فَ ِعدَّة ٌ ِم ْن أَي ٍَّام أُخ ََر‬:

Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari


yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (Q.S Al-Baqarah
:184)

Dalam ayat tersebut Allah menyebutkannya secara mutlak tanpa


Batasan berturut turut.8

Ibnu Abbas berkata, “Tidak mengapa melakukan secara


terpisah.”(Al-Bukhari 4/188)

Al-Imam Ahmad ditanya tentang qadha ‘ Ramadhan, maka


ia menjawab, “Apabila ia menghendaki maka ia
melakukannya secara terpisah, jika menghendaki ia bias

8
Syaikh Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf Azazy, op.cit., h. 250.

17
melakukannya berturut-turut.9

Qodho’ Ramadhan boleh ditunda, maksudnya tidak mesti


dilakukan setelah bulan Ramadhan yaitu di bulan Syawal. Namun
boleh dilakukan di bulan Dzulhijah sampai bulan Sya’ban, asalkan
sebelum masuk Ramadhan berikutnya. Di antara pendukung hal ini
adalah ‘Aisyah pernah menunda qodho’ puasanya sampai bulan
Sya’ban.

Dari Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa beliau


mendengar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

َّ‫ى ِإال‬ ِ ‫ فَ َما أَ ْستَ ِطي ُع أَ ْن أَ ْق‬، َ‫ضان‬


َ ‫ض‬ َ ‫ص ْو ُم ِم ْن َر َم‬ َّ َ‫عل‬
َّ ‫ى ال‬ ُ ‫َكانَ يَ ُك‬
َ ‫ون‬
َ‫ش ْع َبان‬
َ ‫فِى‬

“Aku masih memiliki utang puasa Ramadhan. Aku tidaklah


mampu mengqodho’nya kecuali di bulan Sya’ban.” Yahya (salah
satu perowi hadits) mengatakan bahwa hal ini dilakukan ‘Aisyah
karena beliau sibuk mengurus Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.(HR. Bukhari: 1950)

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini


terdapat dalil bolehnya mengundurkan qodho’ Ramadhan baik

9
Abu Dawud hal, Masa’il al-Imam Ahmad. h. 95.

18
mengundurkannya karena ada udzur atau pun tidak.”(Fatul Bari
4/191)

Akan tetapi yang dianjurkan adalah qodho’ Ramadhan


dilakukan dengan segera (tanpa ditunda-tunda) berdasarkan firman
Allah Ta’ala yang memerintahkan untuk bersegera dalam
melakukan kebaikan,

َ‫سا ِبقُون‬ ِ ‫عونَ فِي ْال َخي َْرا‬


َ ‫ت َو ُه ْم لَ َها‬ ُ ‫ار‬
ِ ‫س‬َ ُ‫أُُ ولَئِ َك ي‬

“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan


dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al
Mu’minun: 61)

b.) Hukum Mengakhirkan Qodho’ Ramadhan Hingga Ramadhan


Berikutnya

Hal ini sering dialami oleh sebagian saudara-saudara kita.


Ketika Ramadhan misalnya, dia mengalami haidh selama 7 hari dan
punya kewajiban qodho’ setelah Ramadhan. Setelah Ramadhan
sampai bulan Sya’ban, dia sebenarnya mampu untuk membayar
utang puasa Ramadhan tersebut, namun belum kunjung dilunasi
sampai Ramadhan tahun berikutnya. Inilah yang menjadi
permasalahan kita, apakah dia memiliki kewajiban qodho’ puasa
saja ataukah memiliki tambahan kewajiban lainnya.

Sebagian ulama mengatakan bahwa bagi orang yang sengaja


mengakhirkan qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya,

19
maka dia cukup mengqodho’ puasa tersebut disertai dengan taubat.
Pendapat ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Hazm.

Namun, Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i mengatakan


bahwa jika dia meninggalkan qodho’ puasa dengan sengaja, maka di
samping mengqodho’ puasa, dia juga memiliki kewajiban memberi
makan orang miskin bagi setiap hari yang belum diqodho’. Pendapat
inilah yang lebih kuat sebagaimana difatwakan oleh beberapa
sahabat seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz –pernah


menjabat sebagai ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa Saudi
Arabia)- ditanyakan, “Apa hukum seseorang yang meninggalkan
qodho’ puasa Ramadhan hingga masuk Ramadhan berikutnya dan
dia tidak memiliki udzur untuk menunaikan qodho’ tersebut.
Apakah cukup baginya bertaubat dan menunaikan qodho’ atau dia
memiliki kewajiban kafaroh?”

Syaikh Ibnu Baz menjawab, “Dia wajib bertaubat kepada


Allah subhanahu wa ta’ala dan dia wajib memberi makan kepada
orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan disertai dengan
qodho’ puasanya. Ukuran makanan untuk orang miskin adalah
setengah sha’ Nabawi dari makanan pokok negeri tersebut (kurma,
gandum, beras atau semacamnya) dan ukurannya adalah sekitar 1,5
kg sebagai ukuran pendekatan. Dan tidak ada kafaroh (tebusan)
selain itu. Hal inilah yang difatwakan oleh beberapa
sahabat radhiyallahu ‘anhum seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma.

20
Namun apabila dia menunda qodho’nya karena ada udzur
seperti sakit atau bersafar, atau pada wanita karena hamil atau
menyusui dan sulit untuk berpuasa, maka tidak ada kewajiban bagi
mereka selain mengqodho’ puasanya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz,
no. 15 hal. 347.) 10

c. Hukum Puasa Nazar


Nazar adalah mengharuskan suatu ibadah yang pada
dasarnya menurut syariat tidaklah wajib dengan lafazh yang
menunjukkan hal itu, seperti seorang yang mengatakan,”Demi
Allah aku harus mensedekahkan uang dengan jumlah sekian,”
atau,”Apabila Allah menyembuhkan penyakitku maka wajib
bagiku untuk berpuasa tiga hari.” Atau lafazh-lafazh yang seperti
itu. (Fiqhus Sunnah juz III hal 33)

Jadi, makna nadzar tidak terbatas pada ibadah puasa saja,


namun lebih luas lagi. Menunaikan apa yang telah dinadzarkan
adalah wajib hukumnya , selama apa yang dinadzarkan tidak
bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah.. Berikut dasar dalil
tentang wajibnya menunaikan nadzar.:

Disyariatkannya nadzar bisa dilihat dari dalil-dalil yang ada


didalam Al Qur’an maupun sunnah :

َ ُ‫َو ْليُوفُوا نُذ‬


‫ور ُه ْم‬

10
Muhammad Abduh Tausikal,”Permasalahan Qodha Puasa Ramadhan.”, diakses dari
https://muslim.or.id/1362-permasalahan-qodho-puasa-ramadhan.html, pada tanggal 27 September
20117, pukul 13.03.

21
Artinya : “Dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-
nazar mereka.” (QS. Al-Hajj : 29)

ً ‫يُوفُونَ ِبالنَّذْ ِر َويَخَافُونَ يَ ْو ًما َكانَ ش َُّرهُ ُم ْست َ ِط‬


‫يرا‬
Artinya : “Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari
yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al-Insan : 7)

ِّ ‫َو َما أَنفَ ْقتُم ِ ِّمن نَّفَقَ ٍة أ َ ْو نَذَ ْرتُم ِ ِّمن نَّ ْذ ٍر فَإِ َّن‬
‫اّللَ يَ ْعلَ ُمهُ َو َما‬
‫ار‬
ٍ ‫ص‬ َّ ‫ِل‬
َ ‫لظا ِل ِمينَ ِم ْن أَن‬
Artinya : “Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang
kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. orang-
orang yang berbuat zalim tidak ada seorang penolongpun baginya.”
(QS. Al-Baqoroh : 270)

Adapun didalam as Sunnah, diantaranya hadits berikut


:

dari Aisyah bahwa Rasulullah saw


bersabda,”Barangsiapa yang bernazar untuk menaati Allah
maka taatilah dan barangsiapa yang bernazar untuk maksiat
terhadap-Nya maka janganlah dia bermaksiat terhadap-Nya.”
(HR.Bukhari)

Suatau ketika Umar bin Khottob ketika berada di


Ji’ronah setelah kembali dari Thaif berkata,”Wahai Rasulullah
sesungguhnya aku pernah bernazar pada masa jahiliyah untuk
melakukan itikaf sehari di Masjidil Haram maka apa

22
pendapatmu?” beliau saw bersabda,”Pergilah (ke sana) dan
beritikaflah sehari.” (HR. Muslim)

2. Puasa Sunnah

a. Puasa Sya’ban

ْ َ‫شةَ ا ُ ِّم اْل ُمؤْ ِمنِيْنَ رض اَنَّ َها قَال‬


‫ت‬ َ ِ‫ َع ْن َعائ‬: َ‫َكان‬
‫ َو يُ ْف ِط ُر‬،‫ص ْو ُم َحتَّى نَقُ ْو َل الَ يُ ْف ِط ُر‬
ُ َ‫س ْو ُل هللاِ ص ي‬ ُ ‫َر‬
ُ َ‫ َحتَّى نَقُ ْو َل الَ ي‬. ‫هللا ص‬
‫ص ْو ُم‬ ُ ‫َو َما َرأ َ ْيتُ َر‬
ِ ‫س ْو َل‬
َ‫ضان‬ ُّ َ‫ش ْه ٍر ق‬
َ ‫ط اِالَّ َر َم‬ َ ‫ام‬ ِ ‫اِ ْست َ ْك َم َل‬. ‫َو َما َرأ َ ْيتُهُ فِى‬
َ َ ‫صي‬
َ‫ش ْعبَان‬ ِ ُ‫ش ْه ٍر ا َ ْكثَ َر ِم ْنه‬
َ ‫صيَا ًما فِى‬ َ . ‫مسلم‬
Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin RA, ia berkata, “Adalah
Rasulullah SAW berpuasa, sehingga kami mengira seolah-olah
beliau tidak pernah berbuka. Dan (apabila) beliau tidak berpuasa,
kami mengira seolah-olah beliau tidak pernah berpuasa. Dan saya
tidak pernah melihat Rasulullah SAW berpuasa sebulan penuh
melainkan di bulan Ramadlan, dan tidak pernah saya lihat beliau
memperbanyak puasa pada bulan lain seperti bulan Sya’ban”. (HR.
Muslim)

Dari Usamah bin Zaid ia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai


Rasullullah, Aku tidak melihat engkau berpuasa pada bulan sya’ban,
‘beliau menjawab, ‘Itu adalah satu bulan yang dilupakan oleh

23
manusia antara Rajab dan Ramadhan, padahal ia adalah bulan
dimana amal-amal akan diangkat padanya menuju Rabbul ‘Alamin,
Aku suka diangkat amalku dalam keadaan aku berpuasa.“(HR. An-
Nasa’i : 2074)

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ َ‫ان فَالَ ت‬
‫صو ُموا‬ ُ ‫ش ْع َب‬
َ ‫ف‬ َ َ‫ِإذَا ا ْنت‬
َ ‫ص‬
“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, janganlah berpuasa.” (HR.
Tirmidzi no. 738 dan Abu Daud no. 2337)

ُ ‫ض‬
‫ان‬ َ ‫ص ْو َم َحتَّى َي ِجى َء َر َم‬
َ َ‫ش ْع َبانَ فَال‬
َ ‫ف ِم ْن‬ ْ ِّ‫ِإذَا َكانَ ال ِن‬
ُ ‫ص‬
“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, maka tidak ada puasa sampai
dating Ramadhan.” (HR. Ibnu Majah no. 1651)

Keterangan :

Puasa dalam bulan Sya’ban ini tidak ada ketentuan jumlah


hari dan tanggal-tanggalnya, hanya yang biasa dilakukan oleh
Rasulullah SAW adalah kurang dari satu bulan. Tegasnya tidak satu
bulan penuh. Lalu dari hadits kedua, kita ketahui hikmah puasa
sya’ban karena manusia banyak yang melupakannya dan bulan
tersebut merupakan bulan diangkatnya amal-amal kepada Allah.

Lalu makna dari hadits ke-dua dan ke-tiga, At-Tirmidzi


berkata, “Makna hadits ini menurut sebagian ahli ilmu bahwa
seseorang berbuka kemudian apabila tersisa sedikit bulan Sya’ban
ia mulai berpuasa karena bulan Ramadhan.”

Ibnu Khuzaimah berkata, “Yakni: Janganlah kalian


menyambung bulan Sya’ban dengan bulan Ramadhan, sehingga
kalian berpuasa seluruh bulan sya’ban, bukan berarti melarang

24
puasa apabila masuk mpertengahan bulan Sya’ban dengan larangan
mutlak.

Kesimpulannya bahwa larangan tersebut dibawa kepada


pengkhususan separuh terakhir atau tidak mrnyambung blan
Sya’ban dengan bulan Ramadhan, apakah orag yang berpuasa pada
awalnya dan tidak mengkhususkan akhirnya dan tidak
menyambungnya.11

b. Puasa enam hari di bulan Syawwal

‫س ْو َل هللاِ ص قَا َل‬


ُ ‫ي ا َ َّن َر‬
ِّ ‫ار‬
ِ ‫ص‬َ ‫ب اْالَ ْن‬
َ ‫ َع ْن ا َ ِبى اَي ُّْو‬:
َ‫ َكان‬،‫ضانَ ث ُ َّم اَتْبَعَهُ ِستًّا ِم ْن ش ََّوا ٍل‬
َ ‫ام َر َم‬
َ ‫ص‬َ ‫َم ْن‬
‫صيَ ِام الدَّ ْه ِر‬
ِ ‫َك‬

Dari Abu Ayyub Al-Anshariy, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,


“Barangsiapa puasa Ramadlan lalu ia iringi dengan puasa enam hari dari
Syawwal, adalah (pahalanya) itu seperti puasa setahun”. (HR. Muslim
juz 2, hal. 822)

‫س ْو ِل هللاِ ص‬ُ ‫س ْو ِل هللاِ ص َع ْن َر‬ ُ ‫َع ْن ث َ ْوبَانَ َم ْولَى َر‬


‫اَنَّهُ قَا َل‬: ‫ام‬ ْ ‫ام ِستَّةَ اَي ٍَّام بَ ْعدَ اْل ِف‬
َ ‫ط ِر َكانَ ت َ َم‬ َ ‫ص‬َ ‫َم ْن‬
َ ‫سنَ ِة َم ْن َجا َء ِباْل َح‬
‫سنَ ِة فَلَهُ َع ْش ُر ا َ ْمثَا ِل َها‬ َّ ‫ال‬

11
Syaikh Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf Azazy, op.cit., h. 265.

25
Dari Tsauban bekas budak Rasulullah SAW dari Rasulullah SAW,
beliau bersabda, “Barangsiapa puasa enam hari sesudah Hari Raya
‘Iedul Fithri, adalah (serupa) sempurna setahun, (karena) barangsiapa
mengerjakan kebaikan, maka ia mendapat pahala sepuluh kali ganda”.
(HR. Ibnu Majah juz 1, hal. 547)

‫س ْو َل هللاِ ص قَا َل‬ ُ ‫ َع ْن ث َ ْوبَانَ ا َ َّن َر‬: ‫ش ْه ٍر‬ َ ‫صيَا ُم‬ ِ


َ ‫ِبعَ ْش َرةِ ا َ ْش ُه ٍر َو ِست َّ ِة اَي ٍَّام بَ ْعدَ ُه َّن ِب‬
‫ش ْه َري ِْن فَذ ِل َك ت َ َما ُم‬
ُ‫ضانَ َو ِستَّةَ اَي ٍَّام بَ ْعدَه‬
َ ‫ش ْه َر َر َم‬
َ ‫سنَ ٍة يَ ْعنِى‬
َ

Dari Tsauban bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Puasa sebulan


(Ramadlan) pahalanya sama dengan sepuluh bulan, dan enam hari
sesudahnya pahalanya sama dengan dua bulan. Maka yang demikian itu
(pahalanya) sama dengan puasa setahun penuh. Yakni bulan Ramadlan
dan enam hari sesudahnya (Syawwal). (HR. Darimiy juz 2 hal. 21)

Keterangan :
a. Nabi SAW menggembirakan ummatnya agar suka berpuasa enam
hari di bulan Syawwal, dengan menyatakan bahwa orang yang berpuasa
satu bulan dibulan Ramadlan kemudian berpuasa enam hari di bulan
Syawwal, maka pahalanya semisal dengan puasa setahun.
Pengertiannya demikian :
Puasa Ramadlan (yang biasanya 30 hari) pahalanya senilai berpuasa 300
hari, karena tiap-tiap satu hari mendapat pahala 10 kali lipat. Dan 6 hari
di bulan Syawwal senilai dengan puasa 60 hari, sehingga semuanya
berjumlah 360 hari atau sama dengan 1 tahun.

26
b. Enam hari dalam bulan Syawwal itu tidak mesti harus berturut-
turut yang dimulai dari tanggal 2 (tepat sehabis hari raya) sebagaimana
yang biasa dikerjakan oleh ummat Islam pada umumnya. Karena tidak
ada penjelasan yang tegas dari agama atau keterangan yang sharih
(terang) dan shahih (kuat) dari agama. Dan kita tidak boleh membuat
ketentuan sendiri dalam masalah ‘ibadah. Jadi, boleh dan tetap
dipandang sempurna oleh syara’ bila kita mengerjakan berselang-seling
maupun berturut-turut yang tidak dimulai tanggal 2 Syawwal (tepat
sehabis hari raya), yang penting masih dalam bulan Syawwal. Kalaupun
hendak mengerjakan tepat sehabis hari raya dengan berturut-turutpun
tidak mengapa, asal tidak dengan keyakinan bahwa itulah cara yang
paling sah yang dituntunkan oleh syara’.

c. Hadits riwayat Muslim yang dijadikan dalil puasa Syawwal


tersebut ada sebagian ‘ulama yang menganggap lemah, karena di dalam
sanadnya ada rawi Sa’ad bin Sa’id bin Qais yang dicela oleh sebagian
ulama ahli hadits. Namun sebagian ‘ulama ahli hadits yang lain
berpendapat bahwa celanya Sa’ad bin Sa’id bin Qais tersebut tidak
sampai menyebabkan hadits itu menjadi dlaif (lemah). Lagi pula
hadits riwayat Muslim itu dikuatkan oleh dua hadits berikutnya yang
diriwayatkan Ibnu Majah dan Darimiy dimana dalam sanadnya tidak
terdapat rawi Sa’ad bin Sa’id bin Qais yang dipermasalahkan tersebut.
Jadi hadits itu tetap bisa dipakai sebagai dalil. [Bagi yang ingin
mengetahui identitas Sa’ad bin Sa’id bin Qais lebih lanjut silakan baca
Tahdzibut-Tahdzib juz 3 hal. 408 no. 876, Mizanul I’tidal juz 2 hal. 120
no. 3109, Al-Jarhu wat Ta’dil juz 4 hal. 84 no. 370 dan Taqribut Tahdzib
hal. 171 no. 2237]. Walloohu a’lam.

27
c. Puasa Muharram
Puasa Muharram adalah puasa di bulan Muharram.

Hadits shahih tentang puasa Muharram

Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dia berkata:


Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

َ ‫اّللِ ْال ُم َح َّر ُم َوأ َ ْف‬


‫ض ُل‬ َّ ‫ش ْه ُر‬ َ َ‫ضان‬ ِّ ِ ‫ض ُل‬
َ ‫الصيَ ِام بَ ْعدَ َر َم‬ َ ‫أ َ ْف‬
‫ص َالة ُ اللَّ ْي ِل‬
َ ‫ض ِة‬ َ ‫ص َالةِ بَ ْعدَ ْالفَ ِري‬َّ ‫ال‬

“Seutama-utama puasa setelah Ramadlan ialah puasa di bulan


Muharram, dan seutama-utama shalat sesudah shalat fardhu, ialah shalat
malam.” (HR. Muslim no. 1163)

d. Puasa ‘Arafah
Disunnahkan puasa hari arafah selain Jama’ah Haji.

‫ َع ْن ا َ ِبى قَتَادَة َ قَا َل‬: ‫هللا ص‬ِ ‫س ْو ُل‬ ُ ‫قَا َل َر‬: ‫ص ْو ُم يَ ْو ِم‬
َ
ً‫اضيَةً َو ُم ْست َ ْقبَلَة‬ َ ‫ َع َرفَةَ يُ َكفِّ ُر‬. ‫الجماعة اال‬
ِ ‫سنَتَي ِْن َم‬
‫البخارى و الترمذى‬

Dari Abu Qatadah ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Puasa


pada hari ‘Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) itu bisa menghapus dosa-

28
dosa dua tahun, yaitu setahun yang lampau dan setahun yang akan
datang”. (HR. Jama’ah kecuali Bukhari dan Tirmidzi)

‫ي رض قَا َل‬ ِّ ‫س ِع ْي ِد اْل ُخ ْد ِر‬


َ ‫ َع ْن ا َ ِبى‬: ‫هللا‬
ِ ‫س ْو ُل‬ ُ ‫قَا َل َر‬
‫ص‬: ٌ‫سنَة‬َ ‫سنَةٌ ا َ َما َمهُ َو‬َ ُ‫غ ِف َر لَه‬ُ َ‫ام يَ ْو َم َع َرفَة‬
َ ‫ص‬ َ ‫َم ْن‬
ُ‫خ َْلفَه‬. ‫ش ْو َرا َء‬
ُ ‫ام َعا‬
َ ‫ص‬َ ‫َو َم ْن‬
ٌ‫سنَة‬
َ ُ‫غ ِف َر لَه‬
ُ . ‫الطبرانى فى االوسط باسناد حسن‬

Dari Abu Sa’id Al-Khudriy RA, ia berkata : Rasulullah SAW


bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa ‘Arafah, diampuni baginya
(dosanya) setahun yang lalu dan setahun berikutnya. Dan barangsiapa
yang berpuasa ‘Asyura’, diampuni baginya (dosanya) satu tahun”. (HR.
Thabrani, di dalam Al-Ausath dengan sanad hasan)

Keterangan : Puasa ‘Arafah ini disyariatkan bagi orang-orang


yang tidak sedang melaksanakan Hajji. Sedang bagi yang sedang
berhajji di Padang ‘Arafah, maka tidak diperkenankan
melaksanakannya sebagaimana riwayat di bawah ini :

‫ع ْن اَ ِبى ُه َري َْرةَ قَا َل‬


َ : ‫ع ْن‬
َ ‫س ْو ُل هللاِ ص‬
ُ ‫نَ َهى َر‬

29
ٍ ‫ع َرفَةَ ِبعَ َرفَا‬
‫ت‬ َ ‫ص ْو ِم يَ ْو ِم‬
َ . ‫احمد و ابن ماجه‬

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah SAW melarang puasa


‘Arafah di padang ‘Arafah”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

e. Puasa Asyura’
Puasa Asyura, adalah puasa pada hari ‘Asyura, yaitu tanggal 10
Muharram.
Berikut dasar haditsnya :

‫سلَّ َم ْال َمدِينَةَ فَ َرأَى‬ َ ‫صلَّى ال ُهم‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُّ ‫قَد َِم النَّ ِب‬
َ ‫ي‬
‫ورا َء فَقَا َل َما َهذَا قَالُوا‬
َ ‫ش‬ ُ َ ‫ْاليَ ُهودَ ت‬
ُ ‫صو ُم يَ ْو َمعَا‬
‫صا ِل ٌح َهذَا يَ ْو ٌم نَ َّجى ال ُهل بَنِي ِإ ْس َرائِي َل‬
َ ‫َهذَا يَ ْو ٌم‬
‫ش ْك ًرا قَا َل فَأَنَا أَ َح ُّق‬
ُ ‫سى‬
َ ‫صا َمهُ ُمو‬ َ ‫ِم ْن‬
َ َ‫عدُ ِّ ِو ِه ْم ف‬
ُ‫ص ْو ُمهُ ت َ ْع ِظ ْي ًما لَه‬
ُ َ‫سى ِم ْن ُك ْم ن َْح ُن ن‬
َ ‫ِب ُمو‬

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, kemudian beliau melihat


orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya :”Apa ini?”
Mereka menjawab :”Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah
menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari
itu sebagai wujud syukur. Maka beliau Rasulullah menjawab :”Aku lebih
berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa

30
pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu.”( HR. Al-
Bukhari 4/244, 6/429, 7/274)

ِّ ‫علَى ْال ُجو ِد‬


ِ‫ي‬ َ ُ‫س ِفينَة‬ ْ ‫َو َهذَا يَ ْو ُم ا ْست َ َو‬
َّ ‫ت فِي ِه ال‬
‫ش ْك ًرا ِ َّّللِ تَعَالَى‬
ُ ‫صا َمهُ نُو ٌح‬
َ َ‫ف‬
“Ia adalah hari mendaratnya kapal Nuh di atas gunung “Judi” lalu Nuh
berpuasa pada hari itu sebagai wujud rasa syukur”( HR. Ahmad 2/359-360)

َ‫سنَة‬
َّ ‫ورا َء فَقَا َل يُ َك ِفِّ ُر ال‬
َ ‫ش‬ُ ‫عا‬ َ ‫ع ْن‬
َ ‫ص ْو ِم يَ ْو ِم‬ َ ‫س ِئ َل‬
ُ ‫َو‬
ِ ‫ْال َم‬
َ‫اضيَة‬
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa di hari
Asyura, maka beliau menjawab : “Puasa itu bisa menghapuskan (dosa-dosa
kecil) pada tahun kemarin”( HR. Muslim 2/818-819,HR. Abu Daud 2425)

Cara berpuasa pada hari asyura’


1.) Berpuasa selama 3 hari tanggal 9, 10, dan 11 Muharram
Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dengan lafadz sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim
dalam al-Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2/2:

ُ ‫خَا ِلفُوا ْاليَ ُهودَ َو‬


ُ‫صو ُموا يَ ْو ًما قَ ْبلَهُ َو يَ ْو ًما بَ ْعدَه‬
“Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya.”

31
Dan pada riwayat ath-Thahawi menurut penuturan pengarang Al-Urf asy-
Syadzi:

َ ُ ‫صو ُموا قَ ْبلَهُ أ َ ْو بَ ْعدَهُ يَ ْو ًما َو الَ ت‬


‫ش ِبِّ ُه َوا‬ ُ ‫صو ُموهُ َو‬
ُ
‫ِب ْاليَ ُه ْو ِد‬
“Puasalah pada hari Asyura dan berpuasalah sehari sebelum dan
setelahnya dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi.”

Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari 4/246 juga mengisyaratkan


keutamaan cara ini. Dan termasuk yang memilih pendapat puasa tiga
hari tersebut (9, 10 dan 11 Muharram) adalah Asy-Syaukani (Nailul
Authar 4/245) dan Syaikh Muhamad Yusuf Al-Banury dalam Ma’arifus
Sunan 5/434

2.) Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram

Mayoritas hadits menunjukkan cara ini:

‫سلَّ َم يَ ْو َم‬ َ ‫صلَّى ال ُهت‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫سو ُل ال ِهع‬ ُ ‫ام َر‬
َ ‫ص‬َ
ُ‫سو َل ال ِهس ِإنَّه‬ ُ ‫ام ِه قَالُوا يَا َر‬ ِ ‫ورا َء َوأ َ َم َر ِب‬
ِ َ ‫صي‬ َ ‫ش‬ُ ‫عا‬َ
َُ ‫سو ُل ال ِه‬ ُ ‫ارى فَقَا َل َر‬َ ‫ص‬َ َّ‫ظ ُمهُ ْاليَ ُهودُ َوالن‬ ِّ ِ َ‫يَ ْو ٌم تُع‬
‫سلَّ َم فَإِذَا َكانَ ْالعَا ُم ْال ُم ْق ِب ُل ِإ ْن‬ َ ‫صلَّى ال ُهم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ
ِ ْ ‫ص ْمنَا ْاليَ ْو َم التَّا ِس َع قَا َل فَلَ ْم يَأ‬
‫ت ْالعَا ُم‬ ُ ُ‫اّلل‬َّ ‫شَا َء‬
َ َُُ ‫صلَّى اله‬
‫علَ ْي ِه‬ َ َُ ‫سو ُل ال ِه‬ ُ ‫ي َر‬ َ ِِّ‫ْال ُم ْق ِب ُل َحتَّى ت ُ ُوف‬
‫سلَّ َم‬
َ ‫َو‬

32
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura
dan memerintahkan berpuasa. Para shahabat berkata:”Ya Rasulullah,
sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi.” Maka beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Di tahun depan insya Allah kita
akan berpuasa pada tanggal 9.”, tetapi sebelum datang tahun depan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.”(HR. Muslim
2/796)

3.) Berpuasa Dua Hari yaitu tanggal 9 dan 10 atau 10 dan 11


Muharram

ُ َ‫ش ْو َرا َء َوخَا ِلفُوا ْال َي ُهود‬


‫صو ُموا‬ ُ ‫عا‬
َ ‫صو ُموا َي ْو َم‬
ُ
‫قَ ْبلَهُ يَ ْو ًما أَ ْو بَ ْعدَهُ يَ ْو ًما‬
“Berpuasalah pada hari Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah
sehari sebelumnya atau sehari setelahnya” (As-Sunan al-Ma’tsurah
karya As-Syafi’i no 338 dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tahdzibul
Atsar 1/218.)

4.) Berpuasa pada 10 Muharram saja


Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/246) :”Puasa Asyura mempunyai 3
tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan diatasnya
ditambah puasa pada tanggal 9, dan tingkatan diatasnya ditambah
12
puasa pada tanggal 9 dan 11. Wallahu a’lam.”

12
Aris Munandar bin S.Ahmadi,” Hari Asyura 10 Muharram Antara Sunnah Dan Bid’ah”, diakses
dari : https://almanhaj.or.id/2034-hari-asyura-10-muharram-antara-sunnah-dan-bidah.html, pada
04 Oktober 2017, pukul 12.57.

33
f. Puasa Pada Hari-Hari Putih

Hari-hari putih adalah tiga hari tanggal tiga belas, empat belas, lima
belas, yakni hari-hari dimana rembulan berada dalam keadaan bulan
purnama, dinamakan juga dengan hari-hari bercahaya.

ِّ ‫شةَ زَ ْو َج النَّ ِب‬


‫ي‬ َ ِ‫ت َعائ‬ ْ َ‫سأَل‬َ ‫َع ْن ُمعَاذَة َ اْلعَدَ ِويَّ ِة اَنَّ َها‬
‫ص‬: ‫ش ْه ٍر‬ َ ‫ص ْو ُم ِم ْن ُك ِّل‬
ُ َ‫هللا ص ي‬ ِ ‫س ْو ُل‬ ُ ‫ا َ َكانَ َر‬
ْ َ‫ثَالَثَةَ اَي ٍَّام؟ قَال‬: ‫نَعَ ْم‬. ‫فَقُ ْلتُ لَ َها‬: ‫ش ْه ِر‬
‫ت‬ َّ ‫ي اَي َِّام ال‬
ِّ َ ‫ِم ْن ا‬
‫ت‬ْ َ‫ص ْو ُم؟ قَال‬ُ َ‫ َكانَ ي‬: ‫ش ْه ِر‬ ِّ َ ‫لَ ْم يَ ُك ْن يُبَا ِلى ِم ْن أ‬
َّ ‫ي اَي َِّام ال‬
‫ص ْو ُم‬
ُ َ‫ي‬
Dari Mu’adzah Al-’Adawiyah bahwasanya ia bertanya kepada
‘Aisyah istri Nabi SAW, “Apakah Rasulullah SAW berpuasa tiga hari
pada setiap bulan ?”. ‘Aisyah menjawab, “Ya”. Lalu aku bertanya lagi
kepadanya, “Pada tanggal berapa beliau berpuasa ?”. ‘Aisyah
menjawab, “Beliau tidak peduli tanggal berapa saja berpuasa pada bulan
tersebut”. (HR. Muslim juz 2, hal. 818)

‫ع ْن ا َ ِبى ذَ ِّر قَا َل‬


َ : ‫س ْو ُل هللاِ ص‬ ُ ‫قَا َل َر‬: ‫ام‬ َ ‫َم ْن‬
َ ‫ص‬
ِ ‫ش ْه ٍر ثَالَثَةَ اَي ٍَّام فَذ ِل َك‬
‫صيَا ُم الدَّ ْه ِر‬ َ ‫ ِم ْن ُك ِّل‬. ‫فَا َ ْنزَ َل‬
‫ص ِديْقَ ذ ِل َك فِى ِكتَا ِب ِه‬ ْ َ‫الى ت‬َ َ‫ار َك َو تَع‬ َ َ‫هللاُ تَب‬. ‫َم ْن‬
َ ‫سنَ ِة فَلَه‬
‫ع ْش ُر ا َ ْمثَا ِل َها‬ َ ‫ َجا َء ِباْل َح‬. ٍ‫ا َ ْل َي ْو ُم ِبعَ ْش َرة‬
34
Dari Abu Dzarr, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda,
“Barangsiapa berpuasa tiga hari setiap bulan, maka yang demikian itu
sama dengan puasa sepanjang masa”. Kemudian Allah Tabaaraka wa
Ta’aalaa menurunkan ayat yang membenarkan hal itu dalam kitab-Nya.
(Barangsiapa beramal baik, maka baginya pahala sepuluh kali lipat) [Al-
An’aam : 160]. Puasa satu hari sama dengan sepuluh hari (pahalanya).
(HR. Tirmidzi jz 2, hal. 131, no. 759)

ُ ‫قَا َل َر‬: َ‫ت ِمن‬


‫س ْو ُل هللاِ ص‬ ُ ‫ اِذَا‬،‫يَا اَبَا ذَ ِّر‬
َ ‫ص ْم‬
‫ع ْش َرة َ َو اَ ْربَ َع‬ َ َ‫ص ْم ثَال‬
َ ‫ث‬ ُ َ‫ش ْه ِر ثَالَثَةَ اَي ٍَّام ف‬
َّ ‫ال‬
َ ‫س َع ْش َرة‬ َ ‫ع ْش َرةَ َوخ َْم‬ َ
Bersabda Rasulullah SAW, “Hai Abu Dzarr, kalau engkau mau
puasa tiga hari dari satu bulan, maka puasalah pada hari yang ke-13, 14
dan 15”. (HR. Tirmidzi juz 2, hal. 130, no. 758)

g. Puasa Hari Senin dan Kamis


Yaitu puasa sunnah yang dilakukan secara bergantian di hari Senin
dan Kamis. Berikut dasar haditsnya :

ُ ‫شة‬ ْ َ‫قَال‬: ‫ام‬


َ ِ‫ت َعائ‬ َ َ ‫صي‬ِ ‫ي ص َكانَ يَت َ َح َّرى‬ َّ ‫اِ َّن النَّ ِب‬
‫اْ ِالثْنَي ِْن َواْلخ َِمي ِْس‬. ‫الخمسة اال ابا داود‬

35
Telah berkata ‘Aisyah, “Bahwasanya Nabi SAW biasa
mementingkan puasa Senin dan Kamis”. (HR. Khamsah kecuali
Abu Dawud)

‫ي ص قَا َل‬ َّ ِ‫ َع ْن اَبِى ُه َري َْرة َ رض ا َ َّن النَّب‬: ‫ض اْالَ ْع َما ُل‬ ُ ‫ت ُ ْع َر‬
‫ ُك َّل اثْنَي ٍْن َو خ َِمي ٍْس‬. ‫صائِ ٌم‬
َ ‫ض َع َم ِلى َو اَنَا‬
َ ‫ب ا َ ْن يُ ْع َر‬ُّ ‫فَا ُ ِح‬.
‫احمد و الترمذى‬
Dari Abu Hurairah RA, bahwasanya Nabi SAW bersabda,
“Amal-amal ditampakkan (dilaporkan) setiap hari Senin dan Kamis.
Maka aku senang manakala amalku ditampakkan sedang aku
berpuasa”. [HR Ahmad dan Tirmidzi]

َ ‫سئِ َل َع ْن‬
‫ص ْو ِم‬ َّ ‫َع ْن ا َ ِبى قَتَادَة َ رض ا َ َّن النَّ ِب‬
ُ ‫يص‬
‫يَ ْو ِم اْ ِالثْنَي ِْن فَقَا َل‬: ‫ذ ِل َك يَ ْو ٌم ُو ِلدْتُ فِ ْي ِه َو ا ُ ْن ِز َل‬
َّ َ‫عل‬
‫ي ِف ْي ِه‬ َ . ‫احمد و البخارى و مسلم‬
Dari Abu Qatadah RA bahwasanya Nabi SAW ditanya tentang
berpuasa di hari Senin. Maka beliau bersabda, “Hari Senin adalah hari
kelahiranku dan hari diturunkannya wahyu kepadaku”. [HR. Ahmad,
Bukhari dan Muslim]

36
h. Puasa Daud
Puasa Daud adalah puasa yang paling utama diantara puasa sunnah
yang lain. Yaitu berpuasa secara bergantian hari. Sehari berpuasa,
sehari tidak, begitu seterusnya.

‫ع ْم ٍرو قَا َل‬ َ ‫ع ْن‬


َ ‫ع ْب ِد هللاِ ب ِْن‬ ُ ‫قَا َل َر‬:
َ : ‫س ْو ُل هللاِ ص‬
ُ َ‫ َكانَ ي‬،َ‫ص ْو ُم اَ ِخى دَ ُاود‬
‫ص ْو ُم يَ ْو ًما َو‬ َ ‫ص ْو ِم‬ َّ ‫ض ُل ال‬ َ ‫ا َ ْف‬
‫يُ ْف ِط ُر يَ ْو ًما َو الَ يَ ِف ُّر اِذَا الَقَى‬
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata : Rasulullah SAW
bersabda, “Seutama-utama puasa adalah puasa saudaraku Dawud.
Adalah beliau sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa, dan ia tidak
lari bila bertemu musuh”. (HR. Tirmidzi juz 2, hal. 134, no. 767)

‫اص قَا َل‬ ِ َ‫ع ْم ِرو ب ِْن ْالع‬ َ ‫ع ْن‬


َ ‫ع ْب ِد هللاِ ب ِْن‬ َ : ِ‫س ْو ُل هللا‬ ُ ‫ا ُ ْخ ِب َر َر‬
‫ص اَنَّهُ يَقُ ْو ُل‬: ‫ار َما‬ ُ َ‫َالَقُ ْو َم َّن اللَّ ْي َل َو َال‬
َ ‫ص ْو َم َّن النَّ َه‬
ُ ‫فَقَا َل َر‬: ُ‫ِي تَقُ ْو ُل ذ ِل َك؟ فَقُ ْلت‬
ُ‫ ِع ْشت‬. ‫س ْو ُل هللاِ ص‬ ْ ‫ت الَّذ‬
َ ‫آ ْن‬
ُ ‫قَ ْد قُ ْلتُهُ يَا َر‬. ‫س ْو ُل هللاِ ص‬
ُ‫لَه‬: ِ‫س ْو َل هللا‬ ُ ‫فَقَا َل َر‬: َ‫فَ ِانَّ َك ال‬
‫ش ْه ِر‬ ُ ‫ص ْم َو اَ ْف ِط ْر َو نَ ْم َو قُ ْم َو‬
َّ ‫ص ْم ِمنَ ال‬ ُ َ‫ ف‬،‫ت َ ْست َ ِط ْي ُع ذ ِل َك‬

37
‫صيَ ِام‬ ِ ‫سنَةَ ِبعَ ْش ِر ا َ ْمثَا ِل َها َو ذ ِل َك ِمثْ ُل‬
َ ‫ثَالَثَةَ اَي ٍَّام فَا َِّن اْل َح‬
َ ‫قُ ْلتُ فَ ِانِّى ا ُ ِطي ُْق ا َ ْف‬. ‫قَا َل‬: ‫ص ْم‬
‫الدَّ ْه ِر‬. ‫قَا َل‬: ‫ض َل ِم ْن ذ ِل َك‬ ُ
‫يَ ْو ًما َو ا َ ْف ِط ْر َي ْو َمي ِْن‬. ‫قَا َل‬: ‫ض َل ِم ْن‬ ُ ‫قُ ْلتُ فَ ِانِّى ا ُ ِط‬
َ ‫يق اَ ْف‬
ِ‫سو َل هللا‬ ُ ‫ذ ِل َك يَا َر‬. ‫قَا َل‬: ‫ص ْم يَ ْو ًما َو اَ ْف ِط ْر يَ ْو ًما َو ذ ِل َك‬
ُ
ِّ ‫سالَ ُم َو ُه َو اَ ْعدَ ُل ال‬
‫صيَ ِام‬ ِ ُ‫قَا َل قُ ْلت‬
َّ ‫صيَا ُم دَ ُاودَ َعلَ ْي ِه ال‬.
‫ض َل ِم ْن ذ ِل َك‬ َ ‫فَ ِانِّى ا ُ ِطي ُْق اَ ْف‬. ‫س ْو ُل هللاِ ص‬ ُ ‫قَا َل َر‬: َ‫ال‬
‫ض َل ِم ْن ذ ِل َك‬َ ‫اَ ْف‬. ‫ع ْم ٍرو رض‬ َ ‫قَا َل‬: َ‫َالَ ْن اَ ُك ْون‬
َ ‫ع ْبدُ هللاِ ب ُْن‬
‫ي ِم ْن‬َّ َ‫ب اِل‬
ُّ ‫س ْو ُل هللاِ ص ا َ َح‬ َ ‫قَ ِب ْلتُ الثَّالَثَةَ اْالَي‬
ُ ‫َّام الَّتِ ْي قَا َل َر‬
‫اَ ْه ِل ْي َو َما ِل ْي‬
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash, ia berkata : Rasulullah
SAW diberitahu bahwasanya ia mengatakan, “Sungguh aku akan shalat
malam terus-menerus dan aku akan puasa di siang harinya selama aku
hidup”. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kamu orang yang
mengatakan demikian itu ?”. Lalu aku jawab, “Sungguh aku telah
mengatakannya, ya Rasulullah”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya kamu tidak akan kuat yang demikian itu, maka
berpuasalah dan berbukalah, tidurlah dan shalat malamlah, dan
berpuasalah tiga hari setiap bulan. Karena kebaikan itu dibalas dengan
sepuluh kali lipat. Maka yang demikian itu seperti berpuasa sepanjang
masa”. ‘Abdullah bin ‘Amr berkata : Lalu aku berkata, “Sesungguhnya
aku kuat lebih dari itu”. Beliau SAW bersabda, “Berpuasalah satu hari

38
dan berbukalah dua hari”. ‘Abdullah bin ‘Amr berkata : Lalu aku
berkata lagi, “Sesungguhnya aku kuat lebih dari itu, ya Rasulullah”.
Beliau SAW bersabda, “Berpuasalah satu hari dan berbukalah satu hari,
yang demikian itu puasanya Nabi Dawud AS, dan itulah puasa yang
lebih adil”. ‘Abdullah bin ‘Amr berkata : Lalu aku berkata lagi,
“Sesungguhnya aku kuat lebih dari itu”. Rasulullah SAW bersabda,
“Tidak ada yang lebih dari itu”. ‘Abdullah bin ‘Amr RA berkata,
“Sungguh aku menerima (puasa) tiga hari yang telah disabdakan
Rasulullah SAW itu lebih aku sukai daripada keluargaku dan hartaku”.
(HR. Muslim juz 2, hal. 812)

i. Puasa 10 Hari di bulan Dzulhijjah

Di antara yang menunjukkan keutamaan sepuluh hari pertama bulan


Dzulhijah adalah hadits Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,

« َّ ‫ب ِإلَى‬
ِ‫اّلل‬ َّ ‫َما ِم ْن أَي ٍَّام ْالعَ َم ُل ال‬
ُّ ‫صا ِل ُح فِي َها أَ َح‬
‫ قَالُوا يَا‬.‫َّام ْالعَ ْش ِر‬
َ ‫ يَ ْع ِنى أَي‬.» ‫ِم ْن َه ِذ ِه األَي َِّام‬
« ‫اّللِ قَا َل‬ َ ‫اّللِ َوالَ ْال ِج َهادُ فِى‬
َّ ‫س ِبي ِل‬ َّ ‫سو َل‬
ُ ‫َر‬
‫اّللِ ِإالَّ َر ُج ٌل خ ََر َج‬
َّ ‫س ِبي ِل‬ َ ‫َوالَ ْال ِج َهادُ فِى‬
ْ ‫» ِبنَ ْف ِس ِه َو َما ِل ِه فَلَ ْم يَ ْر ِج ْع ِم ْن ذَ ِل َك ِبش‬.
ٍ‫َىء‬

39
“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah
melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10
hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak
pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang
berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang
kembali satupun.” (HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757,
Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih
sesuai syarat Bukhari-Muslim)

Adapun dalil yang menunjukkan istimewanya puasa di awal


Dzulhijjah karena dilakukan pula oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Sebagaimana diceritakan dari Hunaidah bin Kholid, dari
istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan,

‫صو ُم ِت ْس َع ذِى ْال ِح َّج ِة‬ ُ َ‫ ي‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫اّلل‬ ِ َّ ‫سو ُل‬ُ ‫َكانَ َر‬
‫ش ْه ِر‬َّ ‫ش ْه ٍر أ َ َّو َل اثْنَي ِْن ِمنَ ال‬
َ ‫ورا َء َوثَالَثَةَ أَي ٍَّام ِم ْن ُك ِِّل‬ َ ‫ش‬ُ ‫َويَ ْو َم َعا‬
َ ‫َو ْالخ َِم‬
.‫يس‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa


pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10
Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya, …” (HR. Abu Daud
no. 2437. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ada sebuah riwayat dari ‘Aisyah yang menyebutkan,

40
‫صا ِئ ًما ِفى‬
َ -‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫اّلل‬ ُ ‫َما َرأَيْتُ َر‬
َّ ‫سو َل‬
ُّ َ‫ْالعَ ْش ِر ق‬
‫ط‬
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berpuasa pada sepuluh hari bulan Dzulhijah sama sekali.”
(HR. Muslim no. 1176).
Mengenai riwayat di atas, para ulama memiliki beberapa penjelasan.
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam meninggalkan puasa ketika itu –padahal beliau
suka melakukannya- karena khawatir umatnya menganggap puasa
tersebut wajib. (Fathul Bari, 3: 390, Mawqi’ Al Islam)
Inti dari penjelasan ini, boleh berpuasa penuh selama
sembilan hari bulan Dzulhijah (dari tanggal 1 sampai 9 Dzulhijah)
atau berpuasa pada sebagian harinya saja. Bisa diniatkan dengan
puasa Daud atau bebas pada hari yang mana saja, namun jangan
sampai ditinggalkan puasa Arafah. Karena puasa Arafah akan
menghapuskan dosa selama dua tahun.
Hal ini berdasarkan hadits Abu Qotadah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

‫سنَةَ الَّتِى‬
َّ ‫اّللِ أ َ ْن يُ َك ِفِّ َر ال‬
َّ ‫علَى‬َ ‫ِب‬ ُ ‫ع َرفَةَ أ َ ْحتَس‬
َ ‫صيَا ُم يَ ْو ِم‬
ِ
ُ ‫ورا َء أَ ْحتَس‬
‫ِب‬ َ ‫ش‬ ُ ‫عا‬ َ ‫صيَا ُم يَ ْو ِم‬ِ ‫سنَةَ الَّ ِتى بَ ْعدَهُ َو‬
َّ ‫قَ ْبلَهُ َوال‬
ُ‫سنَةَ الَّتِى قَ ْبلَه‬
َّ ‫اّللِ أَ ْن يُ َك ِفِّ َر ال‬
َّ ‫علَى‬
َ
“Puasa Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu
dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan
menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 1162).

41
D. Waktu Masuknya Puasa

Cara mengetahui puasa ini ada 2 macam yaitu hisab dan rukyat. Kemajuan
teknologi belakangan memudahkan proses hisab dan rukyat tersebut.
Disiplin ilmu astronomi dan kelengkapan teknologi semacam planetarium
atau teleskop atau secara khusus ilmu falaq yang berkembang di dunia
islam, semuanya mendukung validitas penetapan waktu puasa.
Rukyat adalah suatu cara untuk menetapkan awal-awal bulan
Ramadhan dengan cara melihat bulan sabit dan bila udara mendung atau
cuaca buruk. Sehingga bulan tidak bisa dilihat maka hendaknya
menggunakan istikmal, yaitu menyempurnakan bulan sya’ban menjadi 30
hari. Di Indonesia pelaksanaan rukyat untuk penetapan puasa ramadhan
telah dikoordinasi dengan Departemen Agama.
Hisab adalah suatu cara untuk menetapkan awal bulan Ramadhan
dengan cara menggunakan perhitungan secara astronomi, sehingga dapat
ditentukan secara eksak letak bulan. Seperti cara rukyat yang telah
dikoordinasi pemerintah, maka cara hisab pun sama. Di Indonesia
penetapan awal dan akhir bulan Ramadhan ini dengan cara yang manapun
memang telah diambil kewenangan koordinatifnya oleh pemerintah. 13
Adapun lembaga-lembaga keagamaan seperti Nahdlatul (NU),
Muhammadiyah, PERSIS, Jami’at al-Khair dan sebagainya berfungsi
sebagai pemberi masukan hasil rukyat dan hisabnya dalam rangka
pengambilan ketetapan awal dan akhir Ramadhan.

Berikut metode Rukyat sebagaimana yang pemerintah kita pakai


dalam menentukan awal Ramadhan :

13
Zulkifli, op.cit., h. 108-109.

42
1. Metode Pertama, Melihat Hilal Bulan Ramadhan

Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu


‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

‫ فَإِ ْن‬،‫ َو ِإذَا َرأ َ ْيت ُ ُموهُ فَأ َ ْف ِط ُروا‬،‫صو ُموا‬ُ َ‫ِإذَا َرأ َ ْيت ُ ُم ْال ِه َال َل ف‬
ُ‫علَ ْي ُك ْم فَا ْقد ُِروا لَه‬ ُ
َ ‫غ َّم‬
“Jika kalian melihat hilal (bulan Ramadhan), maka berpuasalah.
Jika kalian melihat hilal (bulan Syawwal), maka berbukalah (berhari
rayalah). Jika hilal tidak terlihat, maka genapkanlah (bulan Sya’ban
menjadi tiga puluh hari)” [HR. Bukhari (1900) dan Muslim (8/1080)]

Imam Ahmad dan An-Nasa’i meriwayatkan dari Ibnu


‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda,

ُ‫ َو َال ت ُ ْف ِط ُروا َحتَّى ت َ َر ْوه‬،‫صو ُموا َحتَّى تَ َر ْوا ْال ِه َال َل‬
ُ َ ‫َال ت‬
“Janganlah kalian berpuasa sampai melihat hilal (bulan
Ramadhan). Dan jangan berbuka (berhari raya) sampai melihat hilal
(bulan Syawwal).”[ HR. Bukhari (1906) dan Muslim (3/1080)]

Ath-Thabrani meriwayatkan dari Thalq bin


‘Ali radhiyallahu ‘anhu,

43
َ ‫ِإ َّن هللاَ َجعَ َل َه ِذ ِه ْاأل َ ِهلَّةَ َم َوا ِق‬
ُ‫ فَإِذَا َرأَ ْيت ُ ُموه‬،‫يت‬
‫ َو ِإذَا َرأَ ْيت ُ ُموهُ فَأ َ ْف ِط ُروا‬،‫صو ُموا‬ُ َ‫ف‬
“Sesungguhnya Allah menjadikan hilal ini sebagai tanda-tanda
waktu. Jika kalian melihatnya (hilal bulan Ramadhan), maka berpuasalah.
Jika kalian melihatnya (hilal bulan Syawwal), maka berbukalah (berhari
rayalah).”[ HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (8/397 nomor
8237).]

Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,

،‫صو ُموا ِل ُرؤْ يَتِ ِه‬


ُ ‫ ف‬،‫اس‬ َ ِ‫َجعَ َل هللاَ ْاأل َ ِهلَّةَ َم َواق‬
ِ َّ‫يت ِللن‬
‫َوأ َ ْف ِط ُروا ِل ُرؤْ يَتِ ِه‬
“Allah menjadikan hilal sebagai tanda waktu bagi manusia.
Berpuasalah karena melihatnya (hilal bulan Ramadhan). Dan
berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya (hilal bulan
Syawwal).[ HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1/423), Ahmad
dalam Al-Musnad (4/23), Daruquthni dalam Sunan-nya (2/163).
Al-Hakim berkata,”Shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim.”
Disepakati oleh Adz-Dzahabi.]

Dalam hadits-hadits yang mulia ini, wajibnya berpuasa


di bulan Ramadhan dikaitkan dengan melihat hilal bulan
Ramadhan. Juga terdapat larangan untuk berpuasa tanpa
melihat hilal. Allah Ta’ala telah menjadikan hilal (bulan) sebagai
tanda (petunjuk) waktu bagi manusia, yang dengan hilal tersebut

44
diketahuilah waktu-waktu ibadah dan muamalah mereka.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

ِ ِّ ‫اس َو ْال َح‬


‫ج‬ َ ‫ع ِن ْاأل َ ِهلَّ ِة قُ ْل ِه‬
ِ َّ‫ي َم َوا ِقيتُ ِللن‬ َ ‫يَ ْسأَلُون ََك‬
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah,
‘Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah)
haji’” (QS. Al Baqarah [2]: 189).

Hal ini adalah rahmat Allah Ta’ala dan kemudahan bagi umat
manusia, ketika mengaitkan wajibnya puasa Ramadhan dengan suatu
perkara yang jelas dan tanda yang nyata, yang bisa dilihat dengan
penglihatan mereka. Dan tidaklah disyaratkan bahwa hilal tersebut harus
dilihat oleh semua manusia. Jika sebagian mereka telah melihatnya,
meskipun hanya satu orang, maka wajib bagi semua manusia untuk
berpuasa.

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, ”Seseorang


mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ’Aku telah
melihat hilal.’ Yang dimaksud adalah hilal bulan Ramadhan. Maka
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

َّ ‫أَتَ ْش َهدُ أَ ْن َال ِإلَهَ ِإ َّال‬


‫اّللُ؟‬
‘Apakah Engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang
berhak disembah kecuali Allah?’

Orang tersebut berkata, ‘Ya’. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi


wa sallam berkata,

45
ُ ‫أَت َ ْش َهدُ أَ َّن ُم َح َّمدًا َر‬
ِ َّ ‫سو ُل‬
‫اّلل؟‬
‘Apakah Engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan
Allah?’

Orang tersebut berkata,’Ya’. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


berkata,

ُ َ‫اس أ َ ْن ي‬
َ ‫صو ُموا‬
‫غدًا‬ ِ َّ‫يَا ِب َال ُل أَذِّ ِْن فِي الن‬
‘Wahai Bilal, umumkanlah kepada kaum muslimin untuk berpuasa
besok hari.’”[ HR. Abu Dawud (2340 dan 2341)]

Diriwayatkan pula dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,

ُ‫صلَّى هللا‬ َّ ‫سو َل‬


َ ِ‫اّلل‬ ُ ‫ فَأ َ ْخبَ ْرتُ َر‬،‫اس ْال ِه َال َل‬ ُ َّ‫ت َ َرائِى الن‬
‫ام ِه‬
ِ َ ‫صي‬ َ َّ‫ َوأَ َم َر الن‬،‫ام‬
ِ ‫اس ِب‬ َ ‫ص‬َ َ‫ أ َ ِنِّي َرأَ ْيتُهُ ف‬،‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ
”Banyak orang berusaha melihat hilal. Kemudian aku
mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa aku sungguh-sungguh melihatnya. Kemudian beliau
berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa” [HR.
Abu Dawud (2342). Dinilai shahih oleh Al-Albani.]

46
2. Menggenapkan Bulan Sya’ban Menjadi Tiga Puluh Hari

Berdasarkan metode penentuan awal masuk bulan


Ramadhan dengan melihat hilal, jika hilal tidak terlihat, maka bulan
Sya’ban digenapkan menjadi tiga puluh hari.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ‫علَ ْي ُك ْم فَا ْقد ُِروا لَه‬ ُ ‫فَإِ ْن‬


َ ‫غ َّم‬
“Jika hilal tidak terlihat, maka genapkanlah (bulan Sya’ban
menjadi tiga puluh hari).”

Maksud perkataan beliau, (‫علَ ْي ُكم‬ ُ ) adalah jika sesuatu


َ ‫غ َّم‬
menutupi hilal, sehingga tidak bisa dilihat pada malam ketiga puluh
bulan Sya’ban, baik berupa mendung atau debu, maka hitunglah
bilangan bulan Sya’ban secara sempurna, yaitu dengan
menggenapkannya menjadi tiga puluh hari. Hal ini sebagaimana
yang ditunjukkan oleh hadits yang lainnya,

َ‫علَ ْي ُك ْم فَأ َ ْك ِملُوا ال ِعدَّةَ ثَالَثِين‬ ُ ‫فَإِ ْن‬


َ ‫غ َّم‬
“Jika hilal tidak terlihat, maka genapkanlah (bulan
Sya’ban) menjadi tiga puluh hari.”[ HR. Bukhari (1907) dan
Muslim (1081).]

Maksudnya adalah larangan berpuasa pada hari yang


diragukan. Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu,

47
َ ‫صى أَبَا ْالقَا ِس ِم‬
ُ‫صلَّى هللا‬ َ ‫ فَقَ ْد‬،‫ام َهذَا ْاليَ ْو َم‬
َ ‫ع‬ َ ‫ص‬َ ‫َم ْن‬
‫سلَّ َم‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ
“Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka
sungguh dia telah durhaka kepada Abul Qasim (yaitu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam).” [HR. Abu Dawud (2334); At-
Tirmidzi (686); An-Nasa’i (2190); dan Ibnu Majah (1645)]

Wajib atas setiap muslim untuk mengikuti petunjuk yang


datang dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam ibadah puasa dan ibadah lain seluruhnya.
Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
membatasi pengetahuan tentang masuknya bulan Ramadhan
dengan salah satu dari dua tanda yang nyata, yang diketahui oleh
orang awam dan orang terpelajar, yaitu melihat hilal atau
menggenapkan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh
hari. Barangsiapa yang mendatangkan suatu metode untuk
(menentukan) mulai wajibnya berpuasa (Ramadhan), selain metode
yang telah dijelaskan oleh syariat, maka dia telah durhaka kepada
Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini
sebagaimana orang-orang yang mengatakan bahwa wajib untuk
menggunakan hisab untuk menentukan masuknya bulan
Ramadhan. Padahal dalam metode hisab mungkin terdapat
kesalahan, dan juga sesuatu yang sulit (tersembunyi) yang tidak
bisa dikuasai oleh semua orang.

48
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, ”Aku
melihat manusia dalam bulan Ramadhan dan juga bulan lainnya, di
antara mereka ada yang mendengarkan perkataan sebagian ahli
hisab yang bodoh, bahwa hilal telah atau belum terlihat. Mereka
mengikuti perkataan tersebut baik dalam batin mereka atau batin
dan lahir mereka. Sampai-sampai datang berita kepadaku bahwa
sebagian qadhi (hakim) ada yang menolak persaksian sejumlah
orang shalih karena perkataan ahli hisab yang bodoh dan pendusta
bahwa hilal telah atau belum terlihat. Maka mereka termasuk orang
yang mendustakan kebenaran …” sampai perkataan Syaikhul
Islam, “Maka kita telah mengetahui dengan pasti dari agama
Islam bahwa menentukan hilal Ramadhan, haji, ‘iddah, atau
ilaa’ (dari hukum-hukum yang dikaitkan dengan hilal)
berdasarkan perkataan ahli hisab (bahwa hilal telah atau
belum terlihat) maka hal ini tidak diperbolehkan. Dalil-dalil
tegas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal ini
sangatlah banyak. Kaum muslimin telah bersepakat dengan hal
ini, dan tidak diketahui sama sekali adanya perselisihan di
antara mereka, baik generasi terdahulu atau pun generasi
belakangan.” (Majmu’ Fatawa (25/131, 132)

Dalam menentukan masuknya bulan Ramadhan dengan ilmu


hisab ini terdapat kesulitan dan kesempitan bagi umat ini. Dan
Allah Ta’ala berfirman,

‫ج‬ ِ ِّ‫علَ ْي ُك ْم ِفي الد‬


ٍ ‫ِين ِم ْن َح َر‬ َ ‫َو َما َجعَ َل‬

49
“Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu
dalam agama suatu kesempitan” (QS. Al Hajj [22]: 78).

Maka kewajiban setiap muslim adalah membatasi diri atas


apa yang telah ditetapkan oleh syariat Allah Ta’ala dan Rasul-
Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana wajib bagi kaum
muslimin untuk membatasi diri atas apa yang telah
Allah Ta’ala syariatkan dalam perkara selain hilal dan juga saling
menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.14

14
Muhammad Saifuddin Hakim, “Metode Menentukan Masuknya bulan Ramadhan”, diakses dari
: https://muslim.or.id/25722-metode-menentukan-masuknya-bulan-ramadhan.html, pada
tanggal 04 Oktober 2017, pukul 13.57.

50
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Puasa adalah salah satu rukun islam yang wajib dikerjakan oleh hamba Allah
yang bertakwa, didalamnya banyak terdapat manfaat bagi jasmani dan rohani,
puasa sendiri dibagi menjadi dua macam, yaitu puasa wajib dan puasa sunah.

Puasa wajib adalah puasa wajib dikerjakan yang dilaksanakan mendapat pahala
dan tidak dikerjakan mendapat dosa. Puasa Sunnah adalah puasa yang boleh
dikerjakan ataupun tidak. Puasa wajib meliputi puasa ramadhan, puasa kafarat, dan
puasa nadzar. Sedangkan puasa sunah meliputi Puasa Sya’ban, Puasa Enam Hari di
Bulan Syawal, Puasa Muharram, Puasa ‘Arafah, Puasa‘Asyura, Puasa pada Hari
Putih, Puasa Hari Senin Kamis, Puasa Daud (Puasa sehari lalu tidak puasa sehari
secara menerus) dan Puasa 10 Hari di Bulan Dzulhijjah.

Ternyata tidak sedikit aturan aturan khusus dalam berpuasa, terlebih lagi dalam
puasa sunnah. Perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang hukum dan
aturan berpuasa, bahkan waktu masuknya puasa merupakan hal yang harus kita
sikapi dengan bijaksana, meskipun terdapat beberapa perbedaan pendapat di antara
mereka semua itu tidak lain mereka lakukan dalam tujuan mulia yamng sama, untuk
menjelaskan kepada umat apalagi yang awam dan memudahkan kita dalam
memahami agama islam.

Puasa mengandung banyak hikmah baik dalam segi kejiwaan seperti


membiasakan sabar dan berprilaku baik. Dalam segi sosial seperti sikap saling
tolong menolong.dalam segi kesehatan seperti, membersihkan usus. Maupun dalam
segi rohani yaitu selalu berdzikir kepada Allah.

51
DAFTAR PUSTAKA

Adil bin Yusuf Azazy, Syaikh Abu Abdurrahman. 2010. Tamammul Minnah
Shahih Fiqh Sunnah, Jilid 2. Jakarta: Pustaka As-Sunnah.

Faridl, Miftah. 2007. Puasa Ibadah Kaya Makna. Jakarta: Gema Insani.

Dawud, Abu. Masa’il al-Imam Ahmad.

Sadjak, Muhammad. 2013. Terjemah-Terjamah Matan At-taqrib wa al-ghoyah.


Jatirogo: Kampoeng Kyai.

Zulkifli. 2017. Rambu-Rambu Fiqh Ibadah : Mengharmoniskan Hubungan Vertikal


dan Horizontal. Yogyakarta : Kalimedia.

Tausikal, Muhammad Abduh. 2017. Permasalahan Qodha Puasa Ramadhan.


Diakses dari: https://muslim.or.id/1362-permasalahan-qodho-puasa-
ramadhan.html. (27 September 2017, pukul 13.03.)

Munandar bin S.Ahmadi, Aris. 2017. Hari Asyura 10 Muharram Antara Sunnah
Dan Bid’ah. Diakses dari : https://almanhaj.or.id/2034-hari-asyura-10-muharram-
antara-sunnah-danbidah.html. (04 Oktober 2017, pukul 12.57.)

52
Hakim , Muhammad Saifuddin. 2017. Metode Menentukan Masuknya bulan
Ramadhan. Diakses dari : https://muslim.or.id/25722-metode-menentukan-
masuknya-bulanramadhan.html. (04 Oktober 2017, pukul 13.57.)

53

Anda mungkin juga menyukai