All About Hipoglikemia
All About Hipoglikemia
Pada diabetes, hipoglikemi timbul akibat penggunaan kombinasi relative atau absolut
insulin dan gangguan pertahanan fisiologis dalam mempertahankan penurunan glukosa plasma.
Pengaturan kadar glukosa yang merupakan mekanisme pertahanan yang mencegah atau
menyeimbangkan kejadian hipoglikemia mengalami gangguan pada pasien diabetes tipe 1 dan
pasien diabetes tipe 2 tahap lanjut. Dengan demikian, regulasi glukosa tersebut digunakan
sebagai respon terhadap hipoglikemia pada keadaan kekurangan insulin endogen sehingga
terwujud sebagai penurunan tingkat insulin dan meningkatkan kadar glukagon disertai dengan
penekanan peningkatan epinefrin. Gangguan respons autonomic (adrenomedullar dan neuron
simpatetik) dikaitkan dengan presentasi klinis diamati dari ketidaksadaran hipoglikemia.
Selanjutnya, hal ini menyatakan bahwa respon sympathoadrenal berkurang (konsep
hipoglikemia-terkait kegagalan otonom) yang disebabkan oleh hipoglikemia yang terakhir,
mengakibatkan gangguan glukosa kontra-regulasi dan ketidaksadaran akibat hipoglikemia yang
muncul sebagai siklus berulang hipoglikemi (Cryer, 2011).
Episode terapi hiperinsulinemi, akibat tidak teraturnya distribusi endogen (terapi insulin
secretagogue) atau eksogen (terapi insulin) insulin ke dalam sirkulasi, memulai urutan yang
mungkin, atau tidak mungkin, berujung dalam sebuah episode hipoglikemi. Kelebijhan terapi
insulin absolut menyebabkan episode hipoglikemia terisolasi meskipun pertahanan
counterregulatory glukosa utuh terhadap hipoglikemi (Gambar 2). Tapi, itu merupakan
peristiwa biasa. Hipoglikemia iatrogenik biasanya merupakan hasil dari interaksi ringan-sedang
kelebihan absolut atau relatif (ketersediaan glukosa rendah) terapi insulin dan pertahanan
fisiologis dan perilaku akibat penurunan konsentrasi plasma glukosa pada DMT1 dan T2DM.
Dalam T1DM, dikarenakan kegagalan fugsi β-sel insulin tidak menurun sebagai respon kadar
glukosa turun; pertahanan fisiologis pertama hilang. Selain itu, tingkat glukagon tidak
meningkat pada penurunan kadar glukosa, pertahanan fisiologis kedua hilang. Itu pun masuk
akal sebagai kegagalan β-sel jika terjadi penurunan sekresi β-sel, ditambah dengan konsentrasi
α-sel glukosa yang rendah, yang secara normal memberi sinyal sekresi α-sel. Akhirnya,
peningkatan kadar epinefrin sebagai akibat penurunan kadar glukosa pun ditekan, pertahanan
fisiologis ketiga dikompromikan (The Endocrine Society, 2009).
Meskipun sering disebabkan oleh kejadian hipoglikemia yg baru atau didahului dengan
latihan atau tidur, mekanisme ditekannya respon sympathoadrenal penurunan kadar glukosa
darah tidak diketahui. Meskipun demikian, penekanan respon epinefrin adalah penanda
penurunan respon saraf simpatis dan yang terakhir sebagian besar menghasilkan pengurangan
gejala hipoglikemi menyebabkan ketidaksadaran hipoglikemia (atau gangguan kesadaran
hipoglikemia) dan dengan demikian kehilangan pertahanan perilaku, konsumsi karbohidrat.
Dalam pengaturan terapi hiperinsulinemia, penurunan konsentrasi plasma glukosa, gagalnya
penurunan insulin, dan gagalnya peningkatan glukagon, penekanan peningkatan epinefrin
menyebabkan sindrom klinis cacat glukosa counterregulation glukosa dikaitkan dengan
peningkatan risiko 25 kali lipat atau lebih besar hipoglikemia iatrogenic. Penekanan
sympathoadrenal, khususnya penekanan saraf simaptik, menyebabkan sindrom klinis
ketidaksadaran hipoglikemia yang dikaitkan dengan risiko 6 kali lipat dari hipoglikemia
iatrogenic. Patofisiologi glukosa counterregulation adalah sama di T1DM dan T2DM meskipun
dengan paruh waktu, berbed. β-sel gagal, dan karena itu kehilangan respon insulin dan
konsentrasi glukagon menyebabkan penurunan kadar plasma glukosa, berkembang pada awal
T1DM tetapi lebih secara bertahap di T2DM. Dengan demikian, rusaknya pengaturan glukosa
counterregulation – gagalnya gagalnya peningkatan glukagon - berkembang pada awal T1DM
dan kemudian di T2DM dan itu dan ketidaksadaran hipoglikemia, dan dengan demikian
hipoglikemia iatrogenik, menjadi masalah umum di awal T1DM dan kemudian di T2DM.
Konsep hipoglikemia-terkait kegagalan otonom (HAAF) pada diabetes (Gambar 2)
menyebutkan bahwa hipoglikemia yang baru, begitu juga saat latihan sebelumnya atau tidur,
menyebabkan baik counterregulation glukosa rusak (dengan mengurangi kenaikan di epinefrin
dalam pengaturan kegagalan penurunan di insulin dan kegagalan peningkatan glukagon selama
hipoglikemia berikutnya) dan ketidaksadaran hipoglikemia (dengan mengurangi
sympathoadrenal dan dihasilkan respon gejala hipoglikemia neurogenik selama berikutnya)
dan, karena itu, tercipta lingkaran setan pada hipoglikemia berulang. Mungkin dukungan yang
paling menarik untuk konsep Mekanisme dari penekanan respon sympathoadrenal terhadap
penurunan kadar glukosa darah, fitur kunci dari HAAF, tidak diketahui. Ini harus melibatkan
sistem saraf pusat atau komponen aferen eferen dari sistem sympathoadrenal. Teori meliputi
peningkatan darah-ke-otak pengangkutan bahan bakar metabolisme, efek dari mediator
sistemik seperti kortisol pada otak, mekanisme hipotalamus diubah dan aktivasi dari jaringan
otak penghambatan dimediasi melalui thalamus (The Endocrine Society, 2009).
Dekstrosa
Pada pasien yang tidak dapat mengkonsumsi glukosa oral seperti pada pasien penurunan
kesadaran, kejang, atau perubahan status mental dapat diberikan cairan dekstrosa secara intra
vena baik perifer maupun sentral. Konsentrasi dekstrosa 50% pada air dapat diberikan pada
pasien dewasa, sementara dekstrosa dengan konsentrasi 25% biasa digunakan sebgai terapi
pada pasien anak. Perlu diperhatikan pada cairan dekstrosa 50% dan 25% dapat menyebabkan
nekrosis jaringan jika diberikan pada jalur intra vena yang tidak benar, oleh karena itu, cairan
tersebut harus diberikan pada jalur IV yang paten (Treatment of severe diabetic hyplogicemia
with: an underutilizes therapeutic approach, 2011).
Glukagon
Glukagon merupakan lini pertama terapi hipoglikemi pada pasien hipoglikemi dengan
terapi insulin karena glukagon merupakan hormon utama pengatur insulin. Tidak seperti
dekstrosa, glukagon diberikan melalui subkutan atau intra muskular. Hal ini menjadi penting
karena glucagon dapat dijadikan pilihan terapi selagi menunggu paramedic datang untuk
memberikan dekstrosa (Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an underutilizes
therapeutic approach, 2011).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa glucagon efektif dalam menyediakan kembali
glukosa darah dan dapat mengembalikan kesadaran, serta sifatnya aman dalam penanganan
hipoglikemia berat baik diberikan secara intra vena, subkutan, ataupun intra muskular.
Glukagon yang diberikan secara parenteral biasa diberikan pada pasien DM tipe 1 dengan
riwayat hipoglikemia berat. Glukagon yang diberikan secara intra vena biasa diberikan pada
pasien hipoglikemia berat dengan DM tipe 2.
Mengingat bahwa glukagon menstimulasi sekresi insulin berkaitan dengan glikogenolisis
maka sangat perlu diperhatikan pemberian glukagon pada pasien DM tipe 2 dengan terapi
insulin atau dengan komplikasi tertentu. Glukagon sangat tidak disarankan diberikan secara
infus intra vena atau dengan pasien yang menggunakan sulfonilurea; pada pasein tersebut lebih
baik diberikan glukosa secara bolus kemudian diikuti dengan infus hingga efek dari sulfonilurea
telah habis.
Mual dan muntah sering dilaporkan sebagai efek samping terhadap penggunaan glucagon
dengan dosis >1mg, namun menurut penelitian yang pernah dilaporkan sangat jarang
membahas tentang kejadian mual dan muntah tersebut, selain itu mual dan muntah tetap akan
dapat terjadi walaupun tanpa penggunaan glukagon. Ada juga laporan mengenai reaksi alergi
setelah pemberian glukagon, namun hal ini biasanya terjadi apabila glukagon diberikan sebagai
terapi selain untuk hipoglikemia (Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an
underutilizes therapeutic approach, 2011).
Manajemen Hipoglikemia Menurut Perkeni
Stadium permulaan (sadar)
1. Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop atau permen
gula murni (bukan
pemanis pengganti gula) atau gula diet atau gula
diabetes) dan makanan yang
mengandung karbohidrat
2. Hentikan obat hipoglikemik sementara
3. Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
4. Pertahankan glukosa darah sekitar 200 mg/dl (bila sebelumnya tidak
sadar)
5. Cari penyebab
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia)
1. Diberikan larutan Dextrose 40% sebanyak 2 flakon (=50 ml) bolus
intravena
2. Diberikan cairan Dextrose 10% per infus, 6 jam per kolf
3. Periksa glukosa darah sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan
glukometer:
1. Bila GDs < 50 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 50ml IV
2. Bila GDs < 100 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 25ml IV
4. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dextrose 40%
1. Bila GDs < 50 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 50ml IV
2. Bila GDs < 100 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 25ml IV
3. Bila GDs 100-200 mg/dl, tanpa bolus Dextrose 40%
4. Bila GDs > 200 mg/dl, pertimbangkan menurunkan kecepatan drip
Dextrose 10%
5. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs
setiap 2 jam,
dengan protocol sesuai diatas. Bila GDs > 200 mg/dl,
pertimbangkan mengganti infuse
dengan Dextrose 5% atau NaCl 0,9%
6. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 4 jam,
dengan protocol sesuai diatas. Bila GDs > 200 mg/dl,
pertimbangkan mengganti infuse
dengan Dextrose 5% atau NaCl 0,9%
14
7. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, sliding scale setiap 6 jam :
2. Eckman, A., & Golden, S. (2011, March 2). Diabetes Guided - Trinidad and Tobago.
Dipetik January 8, 2012, dari John Hopkins Point of care Information Technology:
http://www.ttdiabetesguide.org/index.html
4. Rutecki, G. W. (2011, June 22). Recurrent Hypoglicemia: When Diabaetes IS Not the
Cause. Dipetik January 8, 2012, dari ConsultantLive: http://www.consultantlive.com/
5. The Endocrine Society. (2009). The Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism.
Evaluation and Management of Adult Hypoglycemic Disorders: An Endocrine Society
Clinical Practice Guideline , 18.
8. Rani AA, Soegondo S, Nasir AU, dkk, editor. Hipoglikemia. Dalam : Panduan
Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta :
InternaPublishing. 2009. Hal 23-5.