Anda di halaman 1dari 8

Patogenesis

Pertahanan fisiologis terhadap penurunan konsentrasi plasma glukosa, pada individu


nondiabetes, termasuk penurunan dalam sekresi insulin, yang terjadi sebagai penurunan kadar
glukosa dalam kisaran fisiologis dan peningkatan produksi glukosa hati (dan ginjal), dan
kenaikan dalam glukagon dan sekresi epinefrin, yang terjadi sebagai kadar glukosa jatuh tepat
di bawah kisaran fisiologis dan merangsang produksi glukosa hepatik (Gambar 1). Peningkatan
level epinefrin juga secara normal memobilosasi precursor glukonegenesis dari otot dan lemak,
merangsang produksi glukosa ginjal, dan membatasi penggunaan glukosa oleh otot dan lemak,
dan membatasi seresi insulin. Pertahanan perilaku terhadap penurunan konsentrasi plasma
glukosa adalah penggunaan karbohidrat sebagai persepsi neurogenik (otonom) dengan gejala
(misalnya, palpitasi, tremor dan kecemasan/gairah yang dimediasi katekolamin-dimediasi atau
adrenergik dan berkeringat, kelaparan dan parestesia yang dimediasi asetilkolin atau
kolinergik) (Gambar 1). Ini adalah sebagian besar berasal dari saraf simpatik, bukan
adrenomedullary. Sejauh mana gejala neuroglycopenic ringan seperti perubahan kesadaran,
pemikiran atau perubahan psikomotor masih belum jelas, kesadaran hipoglikemia sebagian
besar dicegah dengan antagonisme farmakologis sesuai gejala neurogenic. Gejala
neuroglycopenic parah termasuk kebingungan, kejang dan kehilangan kesadaran. Semua
pertahanan, bukan hanya sekresi insulin, terdapat pada DMT1 dan DMT2 lanjut (Cryer, 2011).
Patofisiologi

Pada diabetes, hipoglikemi timbul akibat penggunaan kombinasi relative atau absolut
insulin dan gangguan pertahanan fisiologis dalam mempertahankan penurunan glukosa plasma.
Pengaturan kadar glukosa yang merupakan mekanisme pertahanan yang mencegah atau
menyeimbangkan kejadian hipoglikemia mengalami gangguan pada pasien diabetes tipe 1 dan
pasien diabetes tipe 2 tahap lanjut. Dengan demikian, regulasi glukosa tersebut digunakan
sebagai respon terhadap hipoglikemia pada keadaan kekurangan insulin endogen sehingga
terwujud sebagai penurunan tingkat insulin dan meningkatkan kadar glukagon disertai dengan
penekanan peningkatan epinefrin. Gangguan respons autonomic (adrenomedullar dan neuron
simpatetik) dikaitkan dengan presentasi klinis diamati dari ketidaksadaran hipoglikemia.
Selanjutnya, hal ini menyatakan bahwa respon sympathoadrenal berkurang (konsep
hipoglikemia-terkait kegagalan otonom) yang disebabkan oleh hipoglikemia yang terakhir,
mengakibatkan gangguan glukosa kontra-regulasi dan ketidaksadaran akibat hipoglikemia yang
muncul sebagai siklus berulang hipoglikemi (Cryer, 2011).

Episode terapi hiperinsulinemi, akibat tidak teraturnya distribusi endogen (terapi insulin
secretagogue) atau eksogen (terapi insulin) insulin ke dalam sirkulasi, memulai urutan yang
mungkin, atau tidak mungkin, berujung dalam sebuah episode hipoglikemi. Kelebijhan terapi
insulin absolut menyebabkan episode hipoglikemia terisolasi meskipun pertahanan
counterregulatory glukosa utuh terhadap hipoglikemi (Gambar 2). Tapi, itu merupakan
peristiwa biasa. Hipoglikemia iatrogenik biasanya merupakan hasil dari interaksi ringan-sedang
kelebihan absolut atau relatif (ketersediaan glukosa rendah) terapi insulin dan pertahanan
fisiologis dan perilaku akibat penurunan konsentrasi plasma glukosa pada DMT1 dan T2DM.
Dalam T1DM, dikarenakan kegagalan fugsi β-sel insulin tidak menurun sebagai respon kadar
glukosa turun; pertahanan fisiologis pertama hilang. Selain itu, tingkat glukagon tidak
meningkat pada penurunan kadar glukosa, pertahanan fisiologis kedua hilang. Itu pun masuk
akal sebagai kegagalan β-sel jika terjadi penurunan sekresi β-sel, ditambah dengan konsentrasi
α-sel glukosa yang rendah, yang secara normal memberi sinyal sekresi α-sel. Akhirnya,
peningkatan kadar epinefrin sebagai akibat penurunan kadar glukosa pun ditekan, pertahanan
fisiologis ketiga dikompromikan (The Endocrine Society, 2009).

Meskipun sering disebabkan oleh kejadian hipoglikemia yg baru atau didahului dengan
latihan atau tidur, mekanisme ditekannya respon sympathoadrenal penurunan kadar glukosa
darah tidak diketahui. Meskipun demikian, penekanan respon epinefrin adalah penanda
penurunan respon saraf simpatis dan yang terakhir sebagian besar menghasilkan pengurangan
gejala hipoglikemi menyebabkan ketidaksadaran hipoglikemia (atau gangguan kesadaran
hipoglikemia) dan dengan demikian kehilangan pertahanan perilaku, konsumsi karbohidrat.
Dalam pengaturan terapi hiperinsulinemia, penurunan konsentrasi plasma glukosa, gagalnya
penurunan insulin, dan gagalnya peningkatan glukagon, penekanan peningkatan epinefrin
menyebabkan sindrom klinis cacat glukosa counterregulation glukosa dikaitkan dengan
peningkatan risiko 25 kali lipat atau lebih besar hipoglikemia iatrogenic. Penekanan
sympathoadrenal, khususnya penekanan saraf simaptik, menyebabkan sindrom klinis
ketidaksadaran hipoglikemia yang dikaitkan dengan risiko 6 kali lipat dari hipoglikemia
iatrogenic. Patofisiologi glukosa counterregulation adalah sama di T1DM dan T2DM meskipun
dengan paruh waktu, berbed. β-sel gagal, dan karena itu kehilangan respon insulin dan
konsentrasi glukagon menyebabkan penurunan kadar plasma glukosa, berkembang pada awal
T1DM tetapi lebih secara bertahap di T2DM. Dengan demikian, rusaknya pengaturan glukosa
counterregulation – gagalnya gagalnya peningkatan glukagon - berkembang pada awal T1DM
dan kemudian di T2DM dan itu dan ketidaksadaran hipoglikemia, dan dengan demikian
hipoglikemia iatrogenik, menjadi masalah umum di awal T1DM dan kemudian di T2DM.
Konsep hipoglikemia-terkait kegagalan otonom (HAAF) pada diabetes (Gambar 2)
menyebutkan bahwa hipoglikemia yang baru, begitu juga saat latihan sebelumnya atau tidur,
menyebabkan baik counterregulation glukosa rusak (dengan mengurangi kenaikan di epinefrin
dalam pengaturan kegagalan penurunan di insulin dan kegagalan peningkatan glukagon selama
hipoglikemia berikutnya) dan ketidaksadaran hipoglikemia (dengan mengurangi
sympathoadrenal dan dihasilkan respon gejala hipoglikemia neurogenik selama berikutnya)
dan, karena itu, tercipta lingkaran setan pada hipoglikemia berulang. Mungkin dukungan yang
paling menarik untuk konsep Mekanisme dari penekanan respon sympathoadrenal terhadap
penurunan kadar glukosa darah, fitur kunci dari HAAF, tidak diketahui. Ini harus melibatkan
sistem saraf pusat atau komponen aferen eferen dari sistem sympathoadrenal. Teori meliputi
peningkatan darah-ke-otak pengangkutan bahan bakar metabolisme, efek dari mediator
sistemik seperti kortisol pada otak, mekanisme hipotalamus diubah dan aktivasi dari jaringan
otak penghambatan dimediasi melalui thalamus (The Endocrine Society, 2009).

3.4 Tanda dan Gejala


Manifestasi klinis dari hipoglikemi berat tampak sebagai gejala-gejala yang berhubungan
dengan aktivasi simpatoadrenal dan neuroglikopenia. Aktivasi simpatoadrenal tampak sebagai
gejala berkeringat, takikardi, takipnea, kecemasan, gemetar, dan mual. Gejala neuroglikopenia
meliputi perubahan penglihatan, lelah, pusing, sakit kepala, perubahan kesadaran, perubahan
status mental, kejang, koma, hingga menyebabkan kematian (Rutecki, 2011).
Berdasarkan Eckman&Golden, terdapat trias yang menjadi tanda dan gejala hipoglikemi
yang dikenal sebagai trias Whipple. Trias Whipple ialah gejala muncul dan konsisten dalam
keadaan hipoglikemia, nilai konsentrasi glukosa plasma rendah, dan terdapat perbaikan klinis
ketika konsentrasi glukosa plasma dinaikkan (Eckman & Golden, 2011).

3.5 Manajemen Hipoglikemia


Penanganan hipoglikemia tergantung pada derajat keparahan hipoglikemia itu sendiri.
Hipoglikemia ringan hingga sedang lebih mudah ditangani yaitu dengan intake oral karbohidrat
aksi cepat seperti minuman glukosa, tablet, atau makanan ringan. Hipoglikemia derajat berat
memerlukan tindakan segera dan khusus (Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an
underutilizes therapeutic approach, 2011).

Dekstrosa
Pada pasien yang tidak dapat mengkonsumsi glukosa oral seperti pada pasien penurunan
kesadaran, kejang, atau perubahan status mental dapat diberikan cairan dekstrosa secara intra
vena baik perifer maupun sentral. Konsentrasi dekstrosa 50% pada air dapat diberikan pada
pasien dewasa, sementara dekstrosa dengan konsentrasi 25% biasa digunakan sebgai terapi
pada pasien anak. Perlu diperhatikan pada cairan dekstrosa 50% dan 25% dapat menyebabkan
nekrosis jaringan jika diberikan pada jalur intra vena yang tidak benar, oleh karena itu, cairan
tersebut harus diberikan pada jalur IV yang paten (Treatment of severe diabetic hyplogicemia
with: an underutilizes therapeutic approach, 2011).

Glukagon
Glukagon merupakan lini pertama terapi hipoglikemi pada pasien hipoglikemi dengan
terapi insulin karena glukagon merupakan hormon utama pengatur insulin. Tidak seperti
dekstrosa, glukagon diberikan melalui subkutan atau intra muskular. Hal ini menjadi penting
karena glucagon dapat dijadikan pilihan terapi selagi menunggu paramedic datang untuk
memberikan dekstrosa (Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an underutilizes
therapeutic approach, 2011).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa glucagon efektif dalam menyediakan kembali
glukosa darah dan dapat mengembalikan kesadaran, serta sifatnya aman dalam penanganan
hipoglikemia berat baik diberikan secara intra vena, subkutan, ataupun intra muskular.
Glukagon yang diberikan secara parenteral biasa diberikan pada pasien DM tipe 1 dengan
riwayat hipoglikemia berat. Glukagon yang diberikan secara intra vena biasa diberikan pada
pasien hipoglikemia berat dengan DM tipe 2.
Mengingat bahwa glukagon menstimulasi sekresi insulin berkaitan dengan glikogenolisis
maka sangat perlu diperhatikan pemberian glukagon pada pasien DM tipe 2 dengan terapi
insulin atau dengan komplikasi tertentu. Glukagon sangat tidak disarankan diberikan secara
infus intra vena atau dengan pasien yang menggunakan sulfonilurea; pada pasein tersebut lebih
baik diberikan glukosa secara bolus kemudian diikuti dengan infus hingga efek dari sulfonilurea
telah habis.
Mual dan muntah sering dilaporkan sebagai efek samping terhadap penggunaan glucagon
dengan dosis >1mg, namun menurut penelitian yang pernah dilaporkan sangat jarang
membahas tentang kejadian mual dan muntah tersebut, selain itu mual dan muntah tetap akan
dapat terjadi walaupun tanpa penggunaan glukagon. Ada juga laporan mengenai reaksi alergi
setelah pemberian glukagon, namun hal ini biasanya terjadi apabila glukagon diberikan sebagai
terapi selain untuk hipoglikemia (Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an
underutilizes therapeutic approach, 2011).
Manajemen Hipoglikemia Menurut Perkeni
Stadium permulaan (sadar)
1. Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop atau permen 
gula murni (bukan
pemanis pengganti gula) atau gula diet atau gula 
diabetes) dan makanan yang
mengandung karbohidrat
2. Hentikan obat hipoglikemik sementara
3. Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
4. Pertahankan glukosa darah sekitar 200 mg/dl (bila sebelumnya tidak 
sadar)
5. Cari penyebab 


Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia)

1. Diberikan larutan Dextrose 40% sebanyak 2 flakon (=50 ml) bolus 
intravena
2. Diberikan cairan Dextrose 10% per infus, 6 jam per kolf
3. Periksa glukosa darah sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan 
glukometer:
1. Bila GDs < 50 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 50ml IV
2. Bila GDs < 100 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 25ml IV
4. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dextrose 40%
1. Bila GDs < 50 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 50ml IV
2. Bila GDs < 100 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 25ml IV
3. Bila GDs 100-200 mg/dl, tanpa bolus Dextrose 40%
4. Bila GDs > 200 mg/dl, pertimbangkan menurunkan kecepatan drip 
Dextrose 10%
5. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs 
setiap 2 jam,
dengan protocol sesuai diatas. Bila GDs > 200 mg/dl, 
pertimbangkan mengganti infuse
dengan Dextrose 5% atau NaCl 0,9%
6. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 4 jam,
dengan protocol sesuai diatas. Bila GDs > 200 mg/dl, 
pertimbangkan mengganti infuse
dengan Dextrose 5% atau NaCl 0,9%
14
7. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, sliding scale setiap 6 jam :

8. Bila hipoglikemia belum te teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin seperti


adrenalin, kortison dosis tinggi, atau glucagon 0,5-1 mg IV/IM (bila penyebabnya insulin)
9. Bila pasien belum sadar, GDs sekitar 200 mg/dl : Hidrokortison 100 mg per 4 jam selama
12 jam atau Deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan Manitol 1,5-2
g/kgBB IV setiap 6-8 jam. Cari penyebab lain kesadaran menurun.
DAFTAR PUSTAKA

1. Cryer, P. E. (2011). Hypoglicemia During Therapy of Diabetes. Dipetik January 8,


2012, dari Endotext.org: http://www.endotext.org/

2. Eckman, A., & Golden, S. (2011, March 2). Diabetes Guided - Trinidad and Tobago.
Dipetik January 8, 2012, dari John Hopkins Point of care Information Technology:
http://www.ttdiabetesguide.org/index.html

3. Epidemiology of Hypoglikemia. (2011, May). Dipetik January 8, 2012, dari Diabates


Treatments: http://diabetesmellitustreatments.com//

4. Rutecki, G. W. (2011, June 22). Recurrent Hypoglicemia: When Diabaetes IS Not the
Cause. Dipetik January 8, 2012, dari ConsultantLive: http://www.consultantlive.com/

5. The Endocrine Society. (2009). The Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism.
Evaluation and Management of Adult Hypoglycemic Disorders: An Endocrine Society
Clinical Practice Guideline , 18.

6. Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an underutilizes therapeutic approach.


(2011, September 6). Dipetik January 8, 2012, dari Dovepress open acces to scientific
and medical research: http://www.dovepress.com/diabetes-metabolic-syndrome-and-
obesity-targets-and-therapy-journal

7. Sastroasmoro S, Soegondo S, Rani A, editor. Hipoglikemia. Dalam : Panduan


Pelayanan Medis Departemen Penyakit Dalam. Jakarta : RSUP Nasional Dr. Cipto
Mangunkusumo. 2007. Hal : 5-8.

8. Rani AA, Soegondo S, Nasir AU, dkk, editor. Hipoglikemia. Dalam : Panduan
Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta :
InternaPublishing. 2009. Hal 23-5.

Anda mungkin juga menyukai