PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PTERYGIUM
I. Defenisi
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah
kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah
kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di
daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian
pterygium akan berwarna merah. (1)
Pterygium berasal dari bahasa yunani, yaitu pteron yang artinya “wing” atau
sayap. Menurut Hamurwono pterygium merupakan Konjungtiva bulbi patologik
yang menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh
menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea. (2)
Gambar 1. Pterygium
II. Epidemiologi
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim
panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor
yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah <370
lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah
dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas lintang 400.(3)
2
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada
lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang
dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis
lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan
daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang.
Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan
peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah. Pasien di bawah umur 15
tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi pterygium meningkat dengan umur,
terutama dekade ke 2 dan 3 kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49
tahun. Pterygium rekuren sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan
umur tua. Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan
dengan merokok, pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan di luar
rumah.(3,4)
3
1. Konjungtiva Palpebra
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian
posterior kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi
menjadi konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan
dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi zona
marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada
mucocutaneus junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara pada
sisi medial dari zona marginal konjungtiva palpebra sehingga terbentuk
komunikasi antara konjungtiva dengan sistem lakrimal. Kemudian zona tarsal
konjungtiva merupakan bagian dari konjungtiva palpebralis yang melekat erat
pada tarsus. Zona ini bersifat sangat vaskuler dan translusen. Zona terakhir
adalah zona orbital, yang mulai dari ujung perifer tarsus hingga forniks.
Pergerakan bola mata menyebabkan perlipatan horisontal konjungtiva orbital,
terutama jika mata terbuka. Secara fungsional, konjungtiva palpebra
merupakan daerah dimana reaksi patologis bisa ditemui.(6)
2. Konjungtiva Bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya.
Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat
translusen sehingga sklera dibawahnya dapat divisualisasikan. Konjungtiva
bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan alveolar, yang
memungkinkan mata bergerak ke segala arah. Konjungtiva bulbi juga melekat
pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh kapsula tenon. Sekitar 3 mm
dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu dengan kapsula tenon dan sklera.(6)
3. Konjungtiva Forniks
Merupkan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva
bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada
struktur sekitarnya konjungtiva forniks ini melekat secara longgar dengan
struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta
muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva
4
forniks dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut
berkontraksi. (6)
Gambar 2. Konjugtiva
5
mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air
mata prakornea secara merata.(6)
Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel
superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di
bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan
adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat
mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum.(6)
Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3
bulan. Hal ini menjelaskan konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat
papilar bukan folikular dan mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan
fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng
tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang
konjungtiva.(6)
Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal
aksesorius (kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip
kelenjar lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause
berada di forniks atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak di
tepi tarsus atas.(6)
6
disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal atau menipis
dan biasanya menunjukkan dysplasia. (7)
Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi,
bahan iritan lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko
pterygium. Orang yang banyak menghabiskan waktunya dengan melakukan
aktivitas di luar ruangan lebih sering mengalami pterygium dan pinguekula
dibandingkan dengan orang yang melakukan aktivitas di dalam ruangan.
Kelompok masyarakat yang sering terkena pterygium adalah petani, nelayan atau
olahragawan (golf) dan tukang kebun. Kebanyakan timbulnya pterygium memang
multifaktorial dan termasuk kemungkinan adanya keturunan (faktor herediter). (7)
Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab
dominannya pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui namun
kemungkinan disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra violet di area
tersebut. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kornea sendiri dapat bekerja
seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat memfokuskan sinar ultra violet ke
area nasal tersebut. (7)
Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang
menyerupai tumor. Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan
setelah dilakukannya reseksi dan jenis terapi yang diikuti selanjutnya (radiasi,
antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda neoplasia dan apoptosis
ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini merupakan kelainan pertumbuhan
yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol daripada kelainan
degeneratif. (7)
7
IV.II. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)
Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium
adalah alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu,
polutan). UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen
pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta
over produksi dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi
seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi
adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler
subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman akibat
pertumbuhan jaringan fibrovaskuler. (7)
8
5. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab
pterygium. (7)
6. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel
tertentu seperti asap rokok, pasir merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya pterygium. (7)
V. Patofisiologi
Terjadinya pterigium berhubungan erat dengan paparan sinar ultraviolet,
kekeringan, inflamasi dan paparan angin dan debu atau factor iritan lainnya. UV-
B yang bersifat mutagen terhadap gen P53 yang berfungsi sebagai tumor
suppressor gene pada stem sel di basal limbus. (8)
Pelepasan yang berlebih dari sitokin seperti transforming growth factor
beta (TGF-β) dan vascular endothelial growth factor (VEGF) yang berperanan
penting dalam peningkatan regulasi kolagen, migrasi sel angiogenesis. (8)
Selanjutnya terjadi perubahan patologi yang terdiri dari degenerasi
kolagen elastoid dan adanya jaringan fibrovaskular supepithelial. Pada kornea
nampak kerusakan pada membrane bowman oleh karena bertumbuhnya jaringan
fibrovaskuler, yang sering kali disertai dengan adanya inflamasi ringan. Epitel
bisa normal, tebal atau tipis dan kadang-kadang terjadi dysplasia. (8)
9
mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat
mengalami keluhan lebih cepat.
- Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau ptrerigium
rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterigium sering
nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai
4 mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan
tear film dan menimbulkan astigmat.
- Tipe III: Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik.
Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona
optik membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai kornea >
4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada
kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang
meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan
bola mata serta kebutaan
2. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
- Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.
- Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai
pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
- Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak
melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter
pupil sekitar 3-4 mm).
- Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan.
10
Gambar 5. Pterigium stadium 3 Gambar 6. Pterigium stadium 4
11
Gambar 7. Bagian Pterygium
VIII. Diagnosis
1. Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan keluhan berupa mata sering berair dan tampak
merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang memberikan keluhan
berupa gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat didapatkan adanya diplopia,
biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan
12
khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik, keluhan subjektif dapat
berupa rasa panas, gatal, dan ada yang mengganjal. (2)
2. Pemeriksaan fisis
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada
permukaan konjuntiva. Pterigium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan
tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskuler dan flat.(9)
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah
topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme
ireguler yang disebabkan oleh pterigium.(4)
IX. Penatalaksanaan
1. Konservatif
Penanganan pterigium pada tahap awal adalah berupa tindakann
konservatif seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi maupun
paparan sinar ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti UV dan pemberian
air mata buatan/topical lubricating drops.(7)
2. Tindakan operatif
Adapun indikasi operasi menurut Ziegler and Guilermo Pico, yaitu:
Menurut Ziegler :
a. Mengganggu visus
b. Mengganggu pergerakan bola mata
c. Berkembang progresif
d. Mendahului suatu operasi intraokuler
e. Kosmetik
Menurut Guilermo Pico :
a. Progresif, resiko rekurensi > luas
b. Mengganggu visus
c. Mengganggu pergerakan bola mata
13
d. Di depan apeks pterigium terdapat Grey Zone
e. Pada pterigium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat
f. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik. (7)
14
X. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pterigium adalah pinguekula dan pseudopterigium.
Pinguekula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan pada
orangtua, terutama yang matanya sering mendapatkan rangsangan sinar matahari,
debu, dan angin panas. Yang membedakan pterigium dengan pinguekula adalah
bentuk nodul, terdiri atas jaringan hyaline dan jaringan elastic kuning, jarang
bertumbuh besar, tetapi sering meradang. (7)
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang
cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea,
sehingga konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterigium juga sering dilaporkan
sebagai dampak sekunder penyakit peradangan pada kornea. Pseudopterigium
dapat ditemukan dibagian apapun pada kornea dan biasanya berbentuk oblieq.
Sedangkan pterigium ditemukan secara horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9. (7)
XI. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul pada pterygium, adalah :
- Distorsi dan penglihatan berkurang
- Mata merah
- Iritasi
- Scar (jaringan parut) kronis pada konjungtiva dan kornea
- Pada pasien yang belum exicisi, scar pada otot rectus medial dapat
menyebabkan terjadinya diplopia. (3)
15
Komplikasi post eksisi pterygium, adalah:
- Infeksi, reaksi bahan jahitan (benang), diplopia, scar cornea,
conjungtiva graft longgar dan komplikasi yang jarang termasuk
perforasi bola mata, vitreous hemorrhage atau retinal detachment.
- Penggunaan mytomicin C post operasi dapat menyebabkan ectasia
atau melting pada sclera dan kornea.
- Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterygium adalah rekuren
pterygium post operasi. (3)
XII. Prognosis
Pterygium merupakan suatu neoplasma konjungtiva benigna,
umumnya prognosisnya baik secara kosmetik maupun penglihatan, namun
hal itu juga tergangtung dari ada tidaknya infeksi pada daerah pembedahan.
Untuk mencegah kekambuhan pterygium (sekitar 50-80%) sebaiknya
dilakukan penyinaran dengan strontium yang mengeluarkan sinar beta, dan
apabila residif maka dilakukan pembedahan ulang. Pada beberapa kasus
pterygium dapat berkembang menjadi degenerasi kearah keganasan jaringan
epitel (10)
16
BAB III
KESIMPULAN
Pterygium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata
dan merupakan yang tersering nomor dua di indonesia setelah katarak, hal ini
dikarenakan oleh letak geografis indonesia disekitar garis khatulistiwa sehingga
banyak terpapar oleh sinar ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab
dari pterygium. Pterygium banyak diderita oleh laki-laki karena umumnya
aktivitas laki-laki lebih banyak diluar ruangan, serta dialami oleh pasien diatas 40
tahun karena faktor degeneratif.
Penderita dengan pterygium dapat tidak menunjukan gejala ataupun
(asimptomatik), bisa juga menunjukan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi
benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung stadiumnya. Terapi
dari pterygium umumnya tidak perlu diobati, hingga perawatan secara konservatif
seperti memberikan anti inflamasi pada ptrygium yang iritatif. Pada pembedahan
akan dilakukan jika ptrygium sudah sangat mengganggu bagi penderita semisal
gangguan visual, dan pembedahan inipun hasilnya kurang maksimal karena angka
kekambuhan cukup tinggi mengingat tingginya kuantitas sianar UV di indonesia.
Walaupun begitu penyakit ini dapat di cegah dengan menganjurkan untuk
memakai kacamata pelindung sinar matahari..
17
DAFTAR PUSTAKA
18