Anda di halaman 1dari 13

TUGAS BACA SUBDIVISI PERINATOLOGI

MENINGITIS NEONATORUM

(DIAGNOSIS, TATALAKSANA DAN OUTCOME)

dr. Ida Ayu Agung Wijayanti

Pembimbing

dr. I Wayan Dharma Artana , Sp.A (K)

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

RSUP SANGLAH DENPASAR


MENINGITIS NEONATORUM

PENDAHULUAN
Meningitis adalah peradangan yang mengenai sebagian atau seluruh
selaput otak (meningen) yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel darah putih
dalam cairan serebrospinal. Kejadian meningitis memiliki tingkat kematian yang
tinggi, terutama pada periode neonatal.1
Meningitis neonatorum adalah penyakit yang ditandai sebagai hasil
dari infeksi dan inflamasi yang terjadi pada selaput otak (meningen) dan biasanya
terjadi antara 0 - 28 hari kehidupan. 1
Inisiden meningitis neonatorum bervariasi antara 0,2 - 2,7 per 1.000
kelahiran dan cenderung meningkat di negara-negara yang sedang berkembang.
Tingkat kematian mencapai 25 - 50 % kasus. Selain angka kematian yang cukup
tinggi, banyak penderita meningitis yang menjadi cacat akibat keterlambatan dalam
diagnosis dan pengobatan. Meningitis bakteri selalu menjadi ancaman besar bagi
kesehatan dunia. Data WHO (2009) memperkirakan jumlah kasus meningitis dan
kasus kecacatan neurologis lainnya sekitar 500.000 dengan Case Fatality Rate
(CFR) 10% di seluruh dunia. 1
Dari tahun ke tahun insiden meningitis tidak banyak mengalami
perbaikan meskipun sudah tersedia antimikroba yang ampuh dan vaksin yang
efektif, akan tetapi penyakit ini tetap menjadi penyebab signifikan morbiditas dan
mortalitas pada bayi dan neonatus. 1
Mengingat angka kejadian meningitis saat ini masih cukup tinggi,
kemampuan diagnosis dini yang tepat dan terapi agresif adekuat sangat diperlukan
untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas pada meningitis. Penulis berkeinginan
menyajikan masalah ini agar dapat menjadi bahan masukan kepada diri penulis dan
petugas kesehatan serta menjadi bekal yang berharga dalam perpustakaan
pengetahuan para klinisi.
PENGERTIAN
Meningitis adalah peradangan yang mengenai sebagian atau seluruh
selaput otak (meningen) yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel darah putih
dalam cairan serebrospinal. 2,3
Meningitis neonatorum adalah penyakit yang ditandai sebagai hasil dari
infeksi dan inflamasi yang terjadi pada selaput otak (meningen) dan biasanya terjadi
antara 0 - 28 hari kehidupan. 2,3

ETIOLOGI

Gambar 1. Penyebab meningitis berdasarkan umur

Meningitis neonatorum merupakan hasil dari bakteremia yang berperan


penting dalam sepsis neonatorum; semakin tinggi jumlah koloni dalam kultur
darah, semakin tinggi risiko meningitis. Organisme yang paling banyak berperan
menyebabkan sindrom sepsis onset lambat adalah Stafilokokus koagulase negatif,
Staphylococcus aureus, E. Coli, Klebsiella, pseudomonas, Enterobacter, Candida,
Streptokokus grup B, Serratia, Acinobacter dan bakteri Anaerob. 2,3
Bakteri sering didapatkan dari flora vaginal ibu di mana flora usus gram
negatif (Escherichia coli) dan Streptococcus grup B adalah patogen predominan.
Pada neonatus preterm yang menerima berbagai terapi antimikroba, berbagai
prosedur pembedahan sering didapatkan Staphilococcus epidermidis dan Candida
sp sebagai penyebab meningitis. Listeria monocytogenes merupakan patogen yang
jarang dijumpai tetapi sering menyebabkan mortalitas. 2,3
Meningitis Streptococcus grup B dengan onset dini yang terjadi dalam 7
hari pertama kehidupan sering dihubungkan dengan komplikasi obstetri sebelum
atau saat persalinan. Penyakit ini sering menyerang bayi preterm atau pun bayi
dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Meningitis onset lanjut terjadi setelah 7
hari pertama kehidupan yang disebabkan oleh patogen nosokomial atau patogen
selama masa perinatal.Streptococcus grup B serotipe 3 adalah 90% penyebab
meningitis onset lanjut. 2,3
Penggunaan alat bantu respirasi meningkatkan resiko meningitis
oleh Serratia marcescens, Pseudomonas aeruginosa dan Proteus mirabilis. Infeksi
olehCitrobacter diversus dan Salmonella sp jarang terjadi tetapi memberikan
mortalitas tinggi pada penderita yang juga menderita abses otak.2,3

DIAGNOSIS
Dalam mendiagnosis meningitis neonatorum dapat di lihat dari gejala klinis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

a. Gejala klinis
Gejala klinis meningitis pada neonatus tidak spesifik meliputi gejala sebagai
berikut: bayi sulit menyusu , tampak lethargi, irritable, apnea, apatis,
demam, muntah dan kejang. Perlu juga ditanyakan apakah ada faktor infeksi
dari ibu. 2,4,5

b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
 Tanda disfungsi serebral seperti confusion, irritable, deliriun sampai koma,
biasanya disertai febris.
 Pada bayi didapatkan ubun-ubun yang membonjol
 Tanda-tanda rangsang meningen didapatkan pada kurang lebih 50%
penderita meningitis bakterialis. Jika rangsang meningen tidak ada,
kemungkinan meningitis belum dapat disingkirkan. Perasat Brudzinski,
Kernig ataupun kaku kuduk merupakan petunjuk yang sangat membantu
dalam menegakan diagnosis meningitis. Tetapi perasat ini negatif pada anak
yang sangat muda, debilitas, bayi malnutrisi.
 Palsy nervus kranialis, merupakan akibat TIK atau adanya eksudat yang
menyerang syaraf.
 Gejala neurologis fokal yang disebabkan karena adanya iskemia sekunder
terhadap inflamasi vaskuler dan trombosis. Adanya gejala ini memberikan
prognosis buruk terhadap hospitalisasi dan timbulnya sekuelae jangka
panjang.
 Bangkitan kejang umum atau fokal terjadi pada 30% penderita. Bangkitan
yang memanjang dan tidak terkendali khususnya bila ditemukan sebelum
hari ke-4 hospitalisasi merupakan faktor yang memberikan prognosis akan
adanya sekuelae yang berat.
 Papil edema dan gejala TIK dapat muncul seperti koma, peningkatan
tekanan darah disertai bradikardia dan palsy nervus III. Adanya papil edema
memberikan alternatif diagnosis yang mungkin seperti abses otak.
 Pada tahap akhir penyakit, beberapa penderita menunjukkan gejala SSP
fokal dan sistemik (seperti febris) yang memberikan petunjuk adanya
transudasi cairan yang cukup banyak pada ruang subdural. Insidensi efusi
subdural tergantung pada etiologinya.
Pemeriksaan sistemik yang dilakukan dapat memberikan petunjuk terhadap
etiologi meningitis:
 Makula dan petekiae yang cepat berkembang menjadi purpura dapat
memberikan petunjuk adanya meningococcemia tanpa atau disertai
meningitis.
 Sinusitis atau otitis yang ditandai oleh rhinorrhea atau otorrhea
menunjukkan adanya kebocoran LCS yang disebabkan oleh
infeksi Streptococcus pneumoniae atau Haemophilus influenzae dan
meningitis yang berhubungan dengan fraktur basis cranii.
 Adanya murmur merupakan manifestasi dari endokarditis infektif sekunder
terhadap pertumbuhan bakteri di meningen. 2,4,5

c. Pemeriksaan Penunjang
Lumbal Pungsi
Meningitis adalah keadaan gawat darurat medik. Diagnosis pasti
ditegakkan melalui isolasi bakteri dari LCS dengan metode lumbal pungsi.
Adanya inflamasi pada meningen ditandai oleh pleositosis, peningkatan kadar
protein, dan penurunan kadar glukosa LCS. Tekanan LCS (opening pressure)
juga warna LCS (keruh, jernih, berdarah) perlu untuk dinilai. Jika LCS tidak
jernih maka pemberian terapi dilakukan secepatnya tanpa menunggu hasil
pemeriksaan LCS. Pada spesimen LCS dilakukan pemeriksaan kimiawi
(glukosa, protein), jumlah total leukosit dan hitung jenis (differential count),
pewarnaan gram dan kultur. Pada beberapa kasus, test rapid bacterial antigen
perlu dilakukan. 2,4,5

Interpretasi LCS
indeks LCS bervariasi menurut usia, dengan nilai normal pada bayi yang
kurang didefinisikan. Pada prakteknya jumlah leukosit LCS ≥20 / mm3
adalah sugestif meningitis bakteri.
Kadar glukosa LCS umumnya kurang dari 40 mg/dL dengan kadar
protein LCS lebih dari 100 mg/dL. Tetapi penilaian ini sangat bervariasi pada
penderita terutama pada meningitis dengan onset yang sangat dini.
Pemeriksaan lumbal punksi pada penderita dengan perjalanan penyakit yang
fulminan dan memiliki respon imun yang lemah kadang-kadang tidak
menunjukkan perubahan kimiawi dan sitologis LCS.
Pada kasus penderita yang tidak diterapi terjadi peningkatan jumlah
leukosit yang didominasi oleh sel Polimorfonuklear (PMN) pada saat
dilakukan pemeriksaan lumbal pungsi. Pewarnaan gram
dari cytocentrifuged LCS dapat memperlihatkan morfologi bakteri.
Spesimen LCS harus langsung dikultur pada media agar darah atau agar
cokelat. Kultur darah juga perlu dilakukan.
Gambar 2. Interpretasi LCS

Analisis polymerase chain reaction (PCR) adalah alat diagnostik


yang kuat dengan sensitivitas dan kekhususan yang sangat baik. Ini
memungkinkan identifikasi antigen streptokokus kelompok B (GBS) dalam
urin atau LCS, dan ini adalah standar untuk identifikasi virus herpes simpleks
(HSV) dan enterovirus di LCS. Pada neonatus, PCR memiliki sensitivitas 71-
100% untuk HSV namun spesifik 98-99%. Jika PCR HSV awal bersifat
negatif namun dicurigai adanya meningitis dapat dilakukan lumbal pungsi
ulang dan 5-7 . Darah di LCS juga dapat menyebabkan hasil negatif palsu.
Pengulangan pemeriksaan lumbal pungsi pada bayi selama
pengobatan antibiotiik masihmenjadia perdebatan . beberapa ahli
beranggapan pengulangan lumbal pungsi harus dilakukan pada 48 jam setelah
terapi untuk evaluasi, namun disisi lain beranggapan lumbal pungsi hanya
diulang bila kondisi klinis tidak mengalami perbaikan daldam 24-72 jam
setelah memulai terapi. 2,4,5

Pemeriksaan MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah modalitas
neuroimaging pilihan untuk mengidentifikasi daerah fokus infeksi, infark,
perdarahan sekunder, edema serebral, hidrosefalus, atau jarang formasi
abses. Ini harus dipertimbangkan bila terdapat kelianan neurologis fokal,
infeksi persisten, atau kemunduran klinis. Pemeriksaasn MRI lanjutan
berguna untuk mengikuti resolusi infeksi, dan juga berkontribusi terhadap
prognosis penyakit. 2,4,5

Pemeriksaan lainnya
Meskipun computed tomography (CT) memiliki resiko radiasi lebih
besar pada bayi namun pemeriksan ini lebih mudah, dan cepat dibandingkan
MRI terutama dalam pengambilan keputusan untuk intervensi
neurosurgical potensial, seperti ventriculostomy untuk hidrosefalus. atau
drainase operasi empiema atau abses. Ini mungkin sangat sesuai untuk
neonatus kritis yang dipertimbangkan untuk bedah saraf. 2,4,5

PENATALAKSANAAN
a. Perawatan medik
Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke
meningitis. Idealnya kultur darah dan LCS dilakukan sebelum pemberian
antimikroba. Jika neonatus dalam terapi dengan menggunakan ventilator atau
menurut pertimbangan klinis bahwa punksi tersebut berbahaya maka lumbal punksi
dapat ditunda hingga keadaan stabil. Lumbal punksi yang dilakukan beberapa hari
setelah terapi inisial masih memberikan gambaran abnormal pada pemeriksaan
kimiawi dan sitologis. Akses intravena dan pemantauan pemberian cairan secara
ketat perlu dilakukan. Neonatus dengan meningitis sangat rentan untuk jatuh ke
dalam keadaan hiponatremia yang berhubungan dengan SIADH. Perubahan
elektrolit ini juga berperan dalam memicu terjadinya kejang khususnya dalam 72
jam pertama. Cairan NaCl 0,9% dalam glukosa 5% diberikan sampai elektrolit
serum pada neonatus mencapai normal.2,4
Peningkatan tekanan intrakranial sekunder terhadap edema serebral jarang terjadi
pada bayi tetapi tetap diperlukan pemantauan analisis gas darah untuk menjamin
oksigenasi yang adekuat dan stabilitas metabolisme.
Pemeriksaan penunjang seperti MRI dengan gadoteriol, USG, atau CT scan dengan
kontras diperlukan untuk menyelidiki ada tidaknya kelainan intrakranial. Pada
neonatus yang sudah sembuh dari meningitis perlu dilakukan uji fungsi
pendengaran untuk menskrining gangguan pendengaran. 2,3,4
Pada bayi dan anak-anak, penanganan meningitis bakterial akut meliputi terapi
antimikroba yang adekuat serta terapi suportif. Terapi cairan dan elektrolit
dilakukan dengan: memperhatikan tanda-tanda vital dan status neurologis sehingga
dapat menentukan input dan output yang akurat, penggunaan cairan dengan jenis
dan volume yang sesuai untuk mengurangi perkembangan edema serebral. Anak-
anak harus mendapat terapi cairan untuk mempertahankan tekanan darah sistolik
sekitar 80 mmHg, jumlah urine output 500 ml/m2/hari dan perfusi jaringan yang
adekuat. Dopamin dan agen inotropik lainnya dapat digunakan untuk
mempertahankan tekanan darah dan sirkulasi yang adekuat.

b. Terapi Antimikroba Untuk Neonatus


Antimikroba diberikan segera setelah akses vena dibuat. Secara konservatif
terapi antimikroba yang diberikan terdiri dari kombinasi ampicillin dan
aminoglikosida. Ampicillin memberikan jangkauan yang baik terhadap kokus gram
positif termasuk Streptococcus grup B, Enterococcus, Listeria
monocytogenes, beberapa strainEscherichia coli, HIB dan dapat mencapai kadar
adekuat dalam LCS. 2,3,4
Aminoglikosida seperti gentamycin, amikacin, tobramycin baik dalam
melawan basil gram negatif termasuk Pseudomonas aeruginosa, Serratia
marcescens. Tetapi aminoglikosida memiliki kadar rendah dalam LCS atau cairan
ventrikel bahkan pada saat meningen sedang mengalami peradangan. Beberapa
cephalosporin generasi III dapat mencapai LCS dengan kadar tinggi dan berfungsi
secara efektif melawan infeksi gram negatif. Pada suatu percobaan didapatkan hasil
bahwa ceftriaxone berkompetisi dengan bilirubin dalam mengikat albumin.
Ceftriaxone dalam kadar terapeutik mengurangi konsentrasi cadangan albumin
pada serum neonatus sebanyak 39% sehingga ceftriaxone dapat meningkatkan
resiko bilirubin encephalopathy khususnya pada neonatus beresiko tinggi.
Penelitian lain menyimpulkan bahwa tak satu pun cephalosporin memiliki aktivitas
baik melawan L. monocytogenes dan Enterococcussehingga obat ini tidak pernah
digunakan sebagai obat tunggal untuk terapi inisial. Disarankan kombinasi
ampicillin dengan cephalosporin generasi III.
Jika patogen sensitif terhadap ampicillin dengan MIC (minimum inhibition
concentration) yang sangat rendah maka ampicillin dapat dilanjutkan sebagai obat
tunggal. Cefotaxime dan ceftriaxone memberikan aktivitas yang baik melawan
kebanyakan S. pneumoniaeyang resisten terhadap penicillin. Kombinasi
Vancomycin dan cefotaxime dianjurkan untuk penderita S. pneumoniae meningitis
sebelum uji sensitivitas antimikroba dilakukan. 2,3,4
Di antara aminoglikosida, gentamycin dan tobramycin digunakan secara
luas disertai kombinasi dengan ampicillin. Pemberian gentamycin secara
intrathecal dianggap tidak memberikan keuntungan tambahan. Aminoglikosida jika
digunakan bersama ampicillin atau penicillin juga memiliki efek sinergis
melawan Streptococcus grup B danEnterococcus.Tidak jarang didapatkan laporan
rekurensi setelah terapi adekuat dengan penicillin atau ampicillin terhadap kedua
patogen tersebut karena adanya resistensi. 2,3,4
Infeksi yang melibatkan Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa
memerlukan antimikroba lain seperti oxacillin, methicillin, vancomycin atau
kombinasi ceftazidime dan aminoglikosida. Etiologi dan gejala klinik menentukan
durasi terapi, biasanya terapi selama 10-21 hari adekuat untuk infeksi Streptococcus
grup B. Terapi memerlukan waktu lama untuk mensterilkan LCS dari basil gram
negatif yaitu sekitar 3-4 minggu. Pemeriksaan LCS selama terapi mungkin
diperlukan untuk memastikan LCS steril . Pemeriksaan ulang terhadap LCS
berguna dalam 48-72 jam setelah terapi inisial untuk memantau respon terhadap
terapi, khususnya meningitis oleh basil gram negatif. 2,3,4
OUTCOME

Sekuelae jangka panjang didapat pada 30% penderita dan bervariasi


tergantung etiologi, usia penderita, gejala klinis dan terapi. Pemantauan ketat
berskala jangka panjang sangat penting untuk mendeteksi sekuelae. Sekuelae pada
SSP meliputi tuli, buta kortikal, hemiparesis, quadriparesis, hipertonia otot, ataxia,
kejang kompleks, retardasi motorik, kesulitan belajar, hidrocephalus non-
komunikan, atropi serebral. Pasien meningitis neonatorum berada pada risiko
untuk terjadinya kecacatan sedang hingga berat. Sebanyak 25-50% memiliki
masalah yang signifikan dengan bahasa, fungsi motorik, pendengaran, penglihatan,
dan kognisi; 5-20% mengalami epilepsi di masa mendatang. Korban juga lebih
cenderung mengalami defisit visual, penyakit telinga tengah, dan masalah perilaku.
Sebanyak 20% dari anak-anak, diidentifikasi normal hingga usia 5 tahun,
selanjutnya mungkin mengalami kesulitan pendidikan yang signifikan berlangsung
hingga akhir masa remaja. 6,7
Pasien dengan riwayat menderita meningitis memiliki resiko lebih besar
untuk terjadi kecacatan neurologis kemudian hari. Pada penelian study prospective
yang diikuti oleh 1717 anak usia 5 tahun , didapatkan resiko 10 kali lebih besar
terjadinya kecacatan neurologis sedang hingga berat dibandingkan anak yang tidak
pernah menderita meningitis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 415
neonatus dengan sepsis dan meningitis selam atahun 2008 hingga 2012 yang
menilai neurologis outcome pada pasien meningitis dengan pemeriksaan brain
sonographic, didapatkan sekitar 20 % pasien mengalami kelainan neurologis
berupa hidrosefalus, edema otak , abses otak, dan subdural effusion. Sehingga
pemeriksasan brain sonographic cukup direkomendasikan untuk bayi yang
dicurigai menderita meningitis. 6,7
Gangguan pendengaran terjadi pada 20-30% anak. Pemberian dini
dexamethasone dapat mengurangi komplikasi audiologis pada meningitis.
Gangguan pendengaran berat dapat menganggu perkembangan bicara sehingga
evaluasi audiologis rutin dan pemantauan perkembangan dilakukan tiap kali
kunjungan ke petugas kesehatan. 6,7
Gangguan pengelihatan juga sering ditemukan pada kasus neonatal
meningitis di kemudian hari. Namun pada salah satu penelitian disebutkan tidak da
perbedaan ketajaman visual yang signifikan pada kasus meningitis.
Jika ditemukan sekuelae motorik maka perlu dilakukan terapi fisik,
okupasional, rehabilitasi untuk menghindari kerusakan di kemudian hari dan
mengoptimalkan fungsi motorik. 6,7
Penderita dengan penurunan kesadaran memiliki resiko tinggi mendapatkan
sekuelae atau resiko kematian. Adanya kejang dalam suatu episode meningitis
merupakan faktor resiko timbul sekuelae neurologis atau mortalitas. Meningitis
yang disebabkan oleh S. pneumoniae, L. monocytogenes dan basil gram negatif
memiliki case fatality rate lebih tinggi daripada meningitis oleh bakteri lain. 6,7
Indikator prognosis yang buruk meliputi berat badan lahir rendah, prematur,
leukopenia signifikan atau neutropenia, tingkat tinggi protein dalam cairan
serebrospinal (CSF), sterilisasi CSF tertunda, dan koma.6,7
DAFTAR PUSTAKA

1. Brouwer MC dkk. Epidemiology, Diagnosis and Antimicrobal Treatment of


Acute Bacterial Meningitis.Clinical Microbiology Reviews.2010;23 (3):467-
492.
2. Ku Lawrence C, Boggess kim., Wolkowiez Michael. Bacterial Meningitis in the
Infant. Clin Perinatol. 2015; 42(1): 29–45
3. Brouwer M, Tunkel A, Beek D. Epidemiology, Diagnosis, and Antimicrobial
Treatment of Acute Bacterial Meningitis.Clinical Microbiology Reviews. 2010;
23 (3) : p. 467–492
4. Gupta G. Neonatal Meningitis. [diakses tanggal 15 Februari 2018 ] tersedia di:
https://emedicine.medscape.com/article/1176960-overview
5. Shlamovitz, GZ. Lumbar Puncture (LP) Interpretation of Cerebrospinal. [diakses
tanggal 15 Februari 2018 ] tersedia di:
https://emedicine.medscape.com/article/2172226-overview
6. Stevens JP, Eames M, Kent A, Halket S, Holt D. Long term outcome of neonatal
meningitis .Arch Dis Child Fetal Neonatal .2003;88:179– 184
7. Khalessi N, Afsharkhas L. Neonatal Meningitis: Risk Factors, Causes and
Neurologic Complications. Iran J Child Neurol. 2014 ;8(4): 46-50.

Anda mungkin juga menyukai