MENINGITIS NEONATORUM
Pembimbing
PENDAHULUAN
Meningitis adalah peradangan yang mengenai sebagian atau seluruh
selaput otak (meningen) yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel darah putih
dalam cairan serebrospinal. Kejadian meningitis memiliki tingkat kematian yang
tinggi, terutama pada periode neonatal.1
Meningitis neonatorum adalah penyakit yang ditandai sebagai hasil
dari infeksi dan inflamasi yang terjadi pada selaput otak (meningen) dan biasanya
terjadi antara 0 - 28 hari kehidupan. 1
Inisiden meningitis neonatorum bervariasi antara 0,2 - 2,7 per 1.000
kelahiran dan cenderung meningkat di negara-negara yang sedang berkembang.
Tingkat kematian mencapai 25 - 50 % kasus. Selain angka kematian yang cukup
tinggi, banyak penderita meningitis yang menjadi cacat akibat keterlambatan dalam
diagnosis dan pengobatan. Meningitis bakteri selalu menjadi ancaman besar bagi
kesehatan dunia. Data WHO (2009) memperkirakan jumlah kasus meningitis dan
kasus kecacatan neurologis lainnya sekitar 500.000 dengan Case Fatality Rate
(CFR) 10% di seluruh dunia. 1
Dari tahun ke tahun insiden meningitis tidak banyak mengalami
perbaikan meskipun sudah tersedia antimikroba yang ampuh dan vaksin yang
efektif, akan tetapi penyakit ini tetap menjadi penyebab signifikan morbiditas dan
mortalitas pada bayi dan neonatus. 1
Mengingat angka kejadian meningitis saat ini masih cukup tinggi,
kemampuan diagnosis dini yang tepat dan terapi agresif adekuat sangat diperlukan
untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas pada meningitis. Penulis berkeinginan
menyajikan masalah ini agar dapat menjadi bahan masukan kepada diri penulis dan
petugas kesehatan serta menjadi bekal yang berharga dalam perpustakaan
pengetahuan para klinisi.
PENGERTIAN
Meningitis adalah peradangan yang mengenai sebagian atau seluruh
selaput otak (meningen) yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel darah putih
dalam cairan serebrospinal. 2,3
Meningitis neonatorum adalah penyakit yang ditandai sebagai hasil dari
infeksi dan inflamasi yang terjadi pada selaput otak (meningen) dan biasanya terjadi
antara 0 - 28 hari kehidupan. 2,3
ETIOLOGI
DIAGNOSIS
Dalam mendiagnosis meningitis neonatorum dapat di lihat dari gejala klinis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
a. Gejala klinis
Gejala klinis meningitis pada neonatus tidak spesifik meliputi gejala sebagai
berikut: bayi sulit menyusu , tampak lethargi, irritable, apnea, apatis,
demam, muntah dan kejang. Perlu juga ditanyakan apakah ada faktor infeksi
dari ibu. 2,4,5
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
Tanda disfungsi serebral seperti confusion, irritable, deliriun sampai koma,
biasanya disertai febris.
Pada bayi didapatkan ubun-ubun yang membonjol
Tanda-tanda rangsang meningen didapatkan pada kurang lebih 50%
penderita meningitis bakterialis. Jika rangsang meningen tidak ada,
kemungkinan meningitis belum dapat disingkirkan. Perasat Brudzinski,
Kernig ataupun kaku kuduk merupakan petunjuk yang sangat membantu
dalam menegakan diagnosis meningitis. Tetapi perasat ini negatif pada anak
yang sangat muda, debilitas, bayi malnutrisi.
Palsy nervus kranialis, merupakan akibat TIK atau adanya eksudat yang
menyerang syaraf.
Gejala neurologis fokal yang disebabkan karena adanya iskemia sekunder
terhadap inflamasi vaskuler dan trombosis. Adanya gejala ini memberikan
prognosis buruk terhadap hospitalisasi dan timbulnya sekuelae jangka
panjang.
Bangkitan kejang umum atau fokal terjadi pada 30% penderita. Bangkitan
yang memanjang dan tidak terkendali khususnya bila ditemukan sebelum
hari ke-4 hospitalisasi merupakan faktor yang memberikan prognosis akan
adanya sekuelae yang berat.
Papil edema dan gejala TIK dapat muncul seperti koma, peningkatan
tekanan darah disertai bradikardia dan palsy nervus III. Adanya papil edema
memberikan alternatif diagnosis yang mungkin seperti abses otak.
Pada tahap akhir penyakit, beberapa penderita menunjukkan gejala SSP
fokal dan sistemik (seperti febris) yang memberikan petunjuk adanya
transudasi cairan yang cukup banyak pada ruang subdural. Insidensi efusi
subdural tergantung pada etiologinya.
Pemeriksaan sistemik yang dilakukan dapat memberikan petunjuk terhadap
etiologi meningitis:
Makula dan petekiae yang cepat berkembang menjadi purpura dapat
memberikan petunjuk adanya meningococcemia tanpa atau disertai
meningitis.
Sinusitis atau otitis yang ditandai oleh rhinorrhea atau otorrhea
menunjukkan adanya kebocoran LCS yang disebabkan oleh
infeksi Streptococcus pneumoniae atau Haemophilus influenzae dan
meningitis yang berhubungan dengan fraktur basis cranii.
Adanya murmur merupakan manifestasi dari endokarditis infektif sekunder
terhadap pertumbuhan bakteri di meningen. 2,4,5
c. Pemeriksaan Penunjang
Lumbal Pungsi
Meningitis adalah keadaan gawat darurat medik. Diagnosis pasti
ditegakkan melalui isolasi bakteri dari LCS dengan metode lumbal pungsi.
Adanya inflamasi pada meningen ditandai oleh pleositosis, peningkatan kadar
protein, dan penurunan kadar glukosa LCS. Tekanan LCS (opening pressure)
juga warna LCS (keruh, jernih, berdarah) perlu untuk dinilai. Jika LCS tidak
jernih maka pemberian terapi dilakukan secepatnya tanpa menunggu hasil
pemeriksaan LCS. Pada spesimen LCS dilakukan pemeriksaan kimiawi
(glukosa, protein), jumlah total leukosit dan hitung jenis (differential count),
pewarnaan gram dan kultur. Pada beberapa kasus, test rapid bacterial antigen
perlu dilakukan. 2,4,5
Interpretasi LCS
indeks LCS bervariasi menurut usia, dengan nilai normal pada bayi yang
kurang didefinisikan. Pada prakteknya jumlah leukosit LCS ≥20 / mm3
adalah sugestif meningitis bakteri.
Kadar glukosa LCS umumnya kurang dari 40 mg/dL dengan kadar
protein LCS lebih dari 100 mg/dL. Tetapi penilaian ini sangat bervariasi pada
penderita terutama pada meningitis dengan onset yang sangat dini.
Pemeriksaan lumbal punksi pada penderita dengan perjalanan penyakit yang
fulminan dan memiliki respon imun yang lemah kadang-kadang tidak
menunjukkan perubahan kimiawi dan sitologis LCS.
Pada kasus penderita yang tidak diterapi terjadi peningkatan jumlah
leukosit yang didominasi oleh sel Polimorfonuklear (PMN) pada saat
dilakukan pemeriksaan lumbal pungsi. Pewarnaan gram
dari cytocentrifuged LCS dapat memperlihatkan morfologi bakteri.
Spesimen LCS harus langsung dikultur pada media agar darah atau agar
cokelat. Kultur darah juga perlu dilakukan.
Gambar 2. Interpretasi LCS
Pemeriksaan MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah modalitas
neuroimaging pilihan untuk mengidentifikasi daerah fokus infeksi, infark,
perdarahan sekunder, edema serebral, hidrosefalus, atau jarang formasi
abses. Ini harus dipertimbangkan bila terdapat kelianan neurologis fokal,
infeksi persisten, atau kemunduran klinis. Pemeriksaasn MRI lanjutan
berguna untuk mengikuti resolusi infeksi, dan juga berkontribusi terhadap
prognosis penyakit. 2,4,5
Pemeriksaan lainnya
Meskipun computed tomography (CT) memiliki resiko radiasi lebih
besar pada bayi namun pemeriksan ini lebih mudah, dan cepat dibandingkan
MRI terutama dalam pengambilan keputusan untuk intervensi
neurosurgical potensial, seperti ventriculostomy untuk hidrosefalus. atau
drainase operasi empiema atau abses. Ini mungkin sangat sesuai untuk
neonatus kritis yang dipertimbangkan untuk bedah saraf. 2,4,5
PENATALAKSANAAN
a. Perawatan medik
Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke
meningitis. Idealnya kultur darah dan LCS dilakukan sebelum pemberian
antimikroba. Jika neonatus dalam terapi dengan menggunakan ventilator atau
menurut pertimbangan klinis bahwa punksi tersebut berbahaya maka lumbal punksi
dapat ditunda hingga keadaan stabil. Lumbal punksi yang dilakukan beberapa hari
setelah terapi inisial masih memberikan gambaran abnormal pada pemeriksaan
kimiawi dan sitologis. Akses intravena dan pemantauan pemberian cairan secara
ketat perlu dilakukan. Neonatus dengan meningitis sangat rentan untuk jatuh ke
dalam keadaan hiponatremia yang berhubungan dengan SIADH. Perubahan
elektrolit ini juga berperan dalam memicu terjadinya kejang khususnya dalam 72
jam pertama. Cairan NaCl 0,9% dalam glukosa 5% diberikan sampai elektrolit
serum pada neonatus mencapai normal.2,4
Peningkatan tekanan intrakranial sekunder terhadap edema serebral jarang terjadi
pada bayi tetapi tetap diperlukan pemantauan analisis gas darah untuk menjamin
oksigenasi yang adekuat dan stabilitas metabolisme.
Pemeriksaan penunjang seperti MRI dengan gadoteriol, USG, atau CT scan dengan
kontras diperlukan untuk menyelidiki ada tidaknya kelainan intrakranial. Pada
neonatus yang sudah sembuh dari meningitis perlu dilakukan uji fungsi
pendengaran untuk menskrining gangguan pendengaran. 2,3,4
Pada bayi dan anak-anak, penanganan meningitis bakterial akut meliputi terapi
antimikroba yang adekuat serta terapi suportif. Terapi cairan dan elektrolit
dilakukan dengan: memperhatikan tanda-tanda vital dan status neurologis sehingga
dapat menentukan input dan output yang akurat, penggunaan cairan dengan jenis
dan volume yang sesuai untuk mengurangi perkembangan edema serebral. Anak-
anak harus mendapat terapi cairan untuk mempertahankan tekanan darah sistolik
sekitar 80 mmHg, jumlah urine output 500 ml/m2/hari dan perfusi jaringan yang
adekuat. Dopamin dan agen inotropik lainnya dapat digunakan untuk
mempertahankan tekanan darah dan sirkulasi yang adekuat.