Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi

2.1.1 Faktor Risiko Hipertensi

a. Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi

1. Berat badan

Mempertahankan indeks massa tubuh normal (18,5−24,9 kg/m2) membantu

mengontrol tekanan darah. Bahkan tekanan darah sistol dapat dikurangi antara

5−10 mmHg untuk setiap penurunan 10 kg berat badan (Martin, 2008).

2. Diet

Menurut The Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH), diet adalah

rencana yang menekankan untuk mengonsumsi buah-buahan, sayuran, dan produk

olahan susu rendah lemak, serta berhati-hati dalam mengonsumsi lemak jenuh.

Program diet ini disarankan oleh National Heart, Lung, and Blood Institute dan

American Heart Association (AHA), serta menjadi dasar dari piramida makanan

terbaru dari United States Departement of Agriculture. Diet ini dinyatakan terkait

dengan penurunan tekanan darah sistol antara rentang 8−14 mmHg dan dapat

membantu mengurangi dan mengendalikan berat badan dan asupan natrium

(Martin, 2008).

3. Konsumsi garam

Asupan garam merupakan salah satu faktor risiko hipertensi yang dapat

dimodifikasi. Konsumsi garam tidak boleh lebih dari enam gram (satu sendok teh)

8
9

dalam satu hari, atau sama dengan 2.300 mg natrium untuk kebutuhan tiap orang

(Susanto, 2010).

4. Merokok

Merokok dapat meningkatkan beban kerja jantung dan meningkatkan tekanan

darah. Nikotin yang terdapat dalam rokok sangat membahayakan kesehatan,

karena nikotin dapat meningkatkan penggumpalan darah dalam pembuluh darah

dan dapat menyebabkan pengapuran pada dinding pembuluh darah. Nikotin

bersifat toksik terhadap jaringan saraf yang menyebabkan peningkatan tekanan

darah sistolik dan diastolik, peningkatan denyut jantung, meningkatnya kontraksi

otot jantung, pemakaian O2 bertambah, dan aliran darah pada koroner meningkat

(Smeltzer & Bare, 2002).

5. Alkohol

Alkohol memiliki efek yang hampir sama dengan karbon monoksida, yaitu dapat

meningkatkan keasaman darah. Darah akan menjadi kental sehingga jantung akan

dipaksa bekerja lebih kuat lagi agar darah yang sampai ke jaringan mencukupi

(Komaling & Wongkar, 2013 dalam Anggraeny, Wahiduddin & Rismayanti,

2014). Konsumsi alkohol diakui sebagai salah satu faktor penting yang memiliki

hubungan dengan tekanan darah. Semakin banyak alkohol yang diminum, maka

semakin tinggi pula tekanan darah peminumnya. Mengonsumsi tiga gelas atau

lebih minuman beralkohol perhari dapat meningkatkan risiko menderita hipertensi

sebesar dua kali (Bustan, 2007 dalam Anggraeny, Wahiduddin & Rismayanti,

2014).
10

6. Pekerjaan

Pekerja lebih berisiko mengalami hipertensi karena dipengaruhi faktor perilaku

dan kebiasaan. Kebiasaan terlalu banyak bekerja, kurang berolahraga, tidak

memperhatikan gizi seimbang, dan konsumsi lemak tinggi dapat menimbulkan

hipertensi pada pekerja. Individu yang merasa tidak nyaman dengan pekerjaannya

ataupun yang tidak memiliki pekerjaan juga lebih berisiko menderita hipertensi

(Rundengan, 2006 dalam Lidya, 2009).

7. Aktivitas fisik

Aktifitas fisik secara rutin akan membantu mengontrol tekanan darah. Kegiatan

aerobik secara teratur setidaknya 30 menit per hari yang dilakukan selama satu

minggu dapat menurunkan tekanan darah sistol hingga 9 mmHg (Martin, 2008).

8. Faktor stres

Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui saraf simpatis yang dapat

meningkatkan tekanan darah secara intermiten. Apabila stres berlangsung lama,

dapat mengakibatkan peningkatan tekanan darah yang menetap (Roehandi, 2008).

b. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi

1. Riwayat keluarga

Berdasarkan riset menunjukkan faktor genetik sekitar 30% berhubungan dengan

kejadian hipertensi primer. Faktor genetik berpengaruh dalam pengaturan sistem

renin-angiotensin-aldosteron dan lainnya yang memengaruhi tonus vaskuler,

transportasi garam dan air pada ginjal yang berhubungan dengan perkembangan

hipertensi, walaupun hubungan faktor genetik secara langsung dengan hipertensi


11

belum ditemukan (Kasper, et al., 2005; Lemone & Burke, 2008 dalam

Martiningsih, 2011).

2. Usia

Bertambahnya usia menyebabkan dinding arteri mengalami penebalan akibat

adanya penumpukan zat kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah

menyempit dan menjadi kaku. Pada usia lanjut terjadi peningkatan resistensi

perifer dan aktivitas simpatik. Pengaturan tekanan darah yaitu refleks baroreseptor

semakin berkurang sensitivitasnya dan peran ginjal juga semakin berkurang

karena aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus menurun (Anggraini dkk,

2009). Berkurangnya elastisitas arteri sehingga menjadi kaku menyebabkan

volume darah yang dialirkan lebih sedikit daripada kebutuhan tubuh. Dalam

keadaan ini jantung akan mengompensasi dengan cara memompa darah lebih kuat

atau dengan meningkatkan denyut jantung. Keadaan ini diperburuk lagi oleh

aterosklerosis. Akibat dari bermasalahnya pembuluh darah arteri maka hanya

tekanan darah sistol yang meningkat tinggi (Susalit, 2001).

3. Jenis Kelamin

Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita. Pria lebih banyak

mengalami kemungkinan menderita hipertensi dibandingkan wanita. Perbedaan

risiko hipertensi pada gender ini dipengaruhi oleh faktor psikologis, faktor

perilaku, dan pekerjaan (Basha, 2004; Rundengan, 2006 dalam Lidya, 2009).
12

2.1.2 Klasifikasi Hipertensi

Klasifikasi hipertensi menurut Joint National Committee on Prevention,

Detection, Evaluation, and the Treatment of High Blood Pressure 7 (JNC 7) yang

dikaji oleh 33 ahli hipertensi nasional Amerika Serikat dijabarkan pada tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC 7

Klasifikasi tekanan darah Tekanan darah sistol Tekanan darah diastol


(mmHg) (mmHg)
Normal < 120 Dan < 80
Prehipertensi 120 – 139 Atau 80 – 89
Hipertensi stadium 1 140 – 159 Atau 90 – 99
Hipertensi stadium 2 > 160 Atau > 100
Sumber: Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and the Treatment of
High Blood Pressure 7 (JNC 7), 2003

2.1.3 Diagnosis Hipertensi

Pada semua usia, diagnosis hipertensi memerlukan pengukuran berulang dalam

keadaan istirahat, tanpa ansietas, kopi, alkohol, dan merokok (Kuswardhani,

2006). Diagnosis hipertensi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis meliputi keluhan yang sering dialami,

lama hipertensi, hasil pengukuran tekanan darah selama ini, riwayat pengobatan

dan kepatuhan berobat, gaya hidup, riwayat penyakit penyerta, dan riwayat

keluarga. Pemeriksaan fisik terdiri dari hasil pengukuran tekanan darah saat ini,

pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus organ, serta funduskopi.

Pemeriksaan penunjang meliputi laboratorium rutin, kimia darah (ureum,

kreatinin, gula darah, kolesterol, elektrolit), elektrokardiografi, dan radiologi dada.

Pemeriksaan lanjut dapat dilakukan ekokardiografi dan ultrasonografi (Zulkhair,

2000 dalam Hendraswari, 2008).


13

2.1.4 Penatalaksanaan Hipertensi

Menurut JNC 7 rekomendasi target tekanan darah yang harus dicapai adalah

<140/90 mmHg dan target tekanan darah untuk pasien penyakit gagal ginjal

kronik dan diabetes adalah 130/80 mmHg. American Heart Association (AHA)

merekomendasikan target tekanan darah yang harus dicapai, yaitu 140/90 mmHg,

130/80 mmHg untuk pasien dengan penyakit ginjal kronik, penyakit arteri kronik

atau ekuivalen penyakit arteri kronik, dan ≤ 120/80 mmHg untuk pasien dengan

gagal jantung. Sedangkan menurut National Kidney Foundation (NKF), target

tekanan darah yang harus dicapai adalah 130/80 mmHg untuk pasien dengan

penyakit ginjal kronik dan diabetes, dan < 125/75 mmHg untuk pasien dengan > 1

gram proteinuria (Cohen & Townsend, 2008).

a. Penatalaksanaan Farmakologi

1. Diuretik thiazide merupakan obat pertama yang biasanya diberikan untuk

mengobati hipertensi. Diuretik membantu ginjal membuang garam dan air

yang akan mengurangi volume cairan di seluruh tubuh sehingga menurunkan

tekanan darah. Diuretik juga menyebabkan pelebaran pembuluh darah dan

hilangnya kalium melalui air, sehingga harus diberikan tambahan kalium atau

obat penahan kalium (Martin, 2008).

2. Beta Blocker (BB) yang terdiri dari atenolol, bisoprolol, metoprolol, nadolol,

propanolol dan carvedilol. Golongan obat ini mengakibatkan penurunan

frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan

curah jantung (Martin, 2008).


14

3. Calcium Channel Blockers (CCB) terdiri dari dua jenis yang digunakan untuk

pengelolaan hipertensi, yaitu dihidropiridin dan non dihidropiridin.

Dihidropiridin seperti amlodipine dan nifedipine mengontrol tekanan darah

dengan langsung merelaksasikan otot polos yang mengelilingi arteri. Non

dihidropiridin seperti verapamil dan diltiazem menurunkan tekanan darah

dengan menginduksi vasodilatasi dan mengurangi kontraktilitas miokard

(Martin, 2008).

4. Angiotensin Conferting Enzyme Inhibitor (ACE-Inhibitor) dan ARBs dengan

mekanisme berbeda, menghalangi sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron

(RAA). ACE inhibotor menghalangi pengubahan peptida angiotensin I

menjadi angiotensin II (vasokonstriktor kuat), sedangkan ARBs langsung

menempati angiotensin II subtipe 1 reseptor. Obat-obatan yang termasuk

dalam golongan ACE inhibitor adalah benazepril, captopril, enalapril,

fosinopril, lisinopril, moexipril, perindopril, quinapril, ramipril, dan

trandolapril (Martin, 2008).

5. Alpha Blockers menurunkan tekanan darah dengan menghambat reseptor alfa

otot polos arteri. Jenis obat yang termasuk golongan ini adalah doxazosin,

prazosin, dan terazosin (Martin, 2008).

6. Direct Vasodilator atau vasodilator langsung menyebabkan melebarnya

pembuluh darah. Yang termasuk obat golongan ini adalah hydralazine dan

minoxidil (Martin, 2008).


15

b. Penatalaksanaan Non Farmakologi

Terapi non farmakologis dari hipertensi meliputi penurunan berat badan, olahraga

secara teratur, diet rendah garam dan lemak, serta terapi komplementer (Yuliarti,

2011 dalam Ramadi, 2012). Terapi komplementer bersifat terapi pengobatan

alamiah, diataranya adalah dengan terapi herbal, terapi nutrisi, relaksasi progresif,

meditasi, terapi tawa, akupuntur, aromaterapi, dan refleksologi (Sustrani, 2007

dalam Ramadi, 2012).

Terapi dengan tanaman herbal adalah terapi komplementer nonfarmakologi yang

termasuk dalam Biological Based Therapy (BTT) yang telah dikembangkan dan

dipergunakan secara luas di seluruh dunia. Tanaman herbal sering disebut dengan

obat tradisional. Terapi komplementer dengan terapi herbal dapat dilakukan

selama satu minggu pada penderita bersangkutan. Setelah satu minggu kemudian

diamati kembali apakah terjadi perubahan-perubahan yang diinginkan (Tusilawati,

2010).

Tumbuh-tumbuhan yang dapat digunakan untuk terapi herbal dalam pengobatan

hipertensi diataranya adalah bawang putih, seledri, bunga rosella, belimbing

wuluh, dan daun alpukat. Bawang putih dan seledri kurang disukai oleh

masyarakat karena rasanya kurang enak untuk dijadikan obat. Sedangkan bunga

rosella dan belimbing wuluh memiliki rasa asam yang pada umumnya kurang

disukai oleh masyarakat (Rachdian, 2011 dalam Ramadi, 2012).


16

2.2 Daun Alpukat

2.2.1 Jenis Alpukat

Alpukat adalah jenis pohon tropis yang selalu hijau sepanjang tahun dan dapat

tumbuh antara 40−80 meter. Tanaman ini memiliki daun yang lebar, bertekstur

kasar, warna hijau tua dengan serat daun yang lebih pucat. Terdapat tiga ras

alpukat, yaitu Guatemalan (Persea nubigena var. guatamalensis L. Wms),

Mexican (P. americana var. drymifolia Blake), dan West Indian (P. americana

Mill. var. americana) (Nesbitt, Stein & Kamas, 2010). Tanaman alpukat yang

tumbuh di Indonesia berasal dari Amerika Tengah yang beriklim tropis, yaitu ras

Persea americana Mill. Karakteristik tanaman ini adalah daunnya yang tidak

berbau, warna daunnya lebih terang dibandingkan kedua ras lain, buahnya

berukuran besar dengan berat antara 400−2.300 gram, buah bertangkai pendek,

kulit buah licin agak liat dan tebal (Warung Informasi Teknologi RI, 2006). Pohon

alpukat yang tumbuh di Indonesia ditampilkan pada gambar 1.

Gambar 1. Daun Alpukat (Persea americana Mill.)


17

2.2.2 Taksonomi Tanaman Alpukat

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Viridaeplantae

Infrakingdom : Streptophyta

Divisi : Tracheophyta

Subdivisi : Spermatophyta

Infradivisi : Angiospermae

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Laurales

Famili : Lauraceae

Genus : Persea Mill.

Species : Persea americana Mill.

Sumber: http://www.itis.gov

2.2.3 Kandungan Kimia Daun Alpukat

Arukwe et al. (2012) telah meneliti kandungan kimia dalam daun, buah dan biji

alpukat (Persea americana Mill.). Daun yang diuji adalah daun yang segar.

Kandungan kimia daun alpukat disajikan dalam tabel 2 dan tabel 3.

Tabel 2. Kandungan Kimia Daun Alpukat (Persea americana Mill.) (mg/100 g)

Saponin 1.29 ± 0.08 mg


Tanin 0.68 ± 0.06 mg
Flavonoid 8.11 ± 0.14 mg
Cyanogenic glycosides Tidak terdeteksi
Alkaloid 0.51 ± 0.21 mg
Fenol 3.41 ± 0.64 mg
Steroid 1.21 ± 0.14 mg
Sumber: Arukwe et al (2012)
18

Tabel 3. Kisaran Komposisi Daun Alpukat (Persea americana Mill.) (g/100 g)

Kandungan air 5.33 ± 0.62 g


Lemak 4.01 ± 0.16 g
Protein 25.54 ± 2.52 g
Serat 38.40 ± 5.12 g
Abu 19.38 ± 4.34 g
Karbohidrat 7.34 ± 0.41 g
Sumber: Arukwe et al (2012)

Daun alpukat memiliki kadar air tidak lebih dari 14%, kadar abu total tidak lebih

dari 5,0% dan kadar abu tidak larut asam tidak lebih dari 1,0% (Suplemen I

Farmakope Herbal Indonesia, 2010). Daun alpukat mengandung flavonoid,

saponin dan alkaloid. Zat-zat yang terkandung dalam daun alpukat bersifat

sebagai peluruh kencing (diuretik), dapat menurunkan tekanan darah, anti radang

(anti inflamasi), dan pereda sakit (analgetik) (Redaksi Agromedia, 2009 dalam

Ramadi, 2012).

2.3 Pengaruh Kandungan Daun Alpukat Terhadap Tekanan Darah

Air rebusan daun alpukat memiliki manfaat untuk menurunkan tekanan darah. Zat

flavonoid yang berkhasiat sebagai diuretik bekerja dengan cara membuang

kelebihan air dan natrium melalui pengeluaran urine. Berkurangnya air dalam

darah mengakibatkan volume darah menurun sehingga pekerjaan jantung menjadi

ringan (Widharto, 2007). Berkurangnya jumlah air dan garam dalam tubuh

menyebabkan pembuluh darah mengalami vasodilatasi sehingga tekanan darah

perlahan-lahan mengalami penurunan (Utami, 2008 dalam Faridah, 2014). Selain

itu flavonoid juga bersifat sebagai antioksidan eksogen yang membantu dalam

mencegah atau memperlambat kemajuan berbagai oksidatif stres yang

berhubungan dengan penyakit (Owolabi, Coke & Jaja, 2010; Sulistyowati, 2006).
19

2.3.1 Peran Flavonoid dalam Menurunkan Tekanan Darah

a. Sebagai Antioksidan

Flavonoid dapat bersifat sebagai antioksidan dengan cara menangkap radikal

bebas, sehingga sangat penting dalam mempertahankan keseimbangan antara

oksidan dengan antioksidan di dalam tubuh (Koncazak et al, 2004 dalam

Sumardika & Jawi, 2012). Flavonoid mampu memerbaiki fungsi endotel

pembuluh darah, dapat mengurangi kepekaan Low Density Lipoprotein (LDL)

terhadap pengaruh radikal bebas (Kwon, 2007; Ling, 2001 dalam Sumardika &

Jawi, 2012) dan dapat bersifat hipolipidemik, antiinflamasi serta sebagai

antioksidan (Sumardika & Jawi, 2012). Antioksidan merupakan agen protektif

yang secara signifikan dapat mencegah kerusakan oksidatif. Antioksidan bekerja

dengan menonaktifkan spesies oksigen reaktif (Sulistyowati, 2006).

Flavonoid adalah antioksidan eksogen yang telah dibuktikan bermanfaat dalam

mencegah kerusakan sel akibat stres oksidatif. Mekanisme kerja dari flavonoid

sebagai antioksidan secara langsung adalah dengan mendonorkan ion hidrogenik

sehingga dapat menetralisir efek toksik dari radikal bebas. Flavonoid sebagai

antioksidan secara tidak langsung, yaitu dengan meningkatkan ekspresi gen

antioksidan endogen melalui beberapa mekanisme. Salah satu mekanisme

peningkatan ekspresi gen antioksidan adalah melalui aktivasi nucleat factor

erythroid 2 related factor 2 (Nrf2) sehingga terjadi peningkatan gen yang

berperan dalam sintesis enzim antioksidan endogen seperti misalnya gen

Superoxide Dismutasei (SOD) (Sumardika & Jawi, 2012).


20

Flavonoid yang merupakan senyawa polifenol memiliki efek atheroprotektif yang

meliputi efek antioksidan kuat. Flavonoid dapat mencegah dan mengurangi stres

oksidatif dengan menangkap radikal bebas dan meningkatkan sintesis Nitrit

Oksida (NO). Flavonoid dapat meningkatkan kemampuan platelet untuk

melepaskan NO dan menghambat pembentukan trombus (Setyawan, 2008). NO

merupakan senyawa yang bersifat toksik dan berumur pendek yang berperan

penting sebagai regulator kardiovaskuler dan meningkatkan tekanan darah.

Sebagai antioksidan flavonoid dapat menghambat penggumpalan keping-keping

darah, merangsang produksi NO yang menyebabkan relaksasi pembuluh darah,

dan untuk menghambat pertumbuhan kanker. Flavonoid dapat meningkatkan

aktivitas dari Nitric Oxide Synthase (NOS) pada sel endotel pembuluh darah. NO

yang disintesa dalam endotel dan otot polos selanjutnya merangsang guanylate

cyclase untuk membentuk cGMP sehingga terjadi vasodilatasi (Athiroh &

Permatasari, 2013).

b. Sebagai Diuretik

Ada tiga jenis diuretika yaitu diuretika osmotik, diuretika air dan diuretika yang

menyebabkan terjadinya peningkatan laju filtrasi glomerulus. Tanaman yang

berpotensi sebagai obat peluruh atau memperlancar air kencing pada umumnya

berhubungan dengan diuretika osmotik. Pada prinsipnya diuretika osmotik adalah

kemampuan dari zat yang terkandung dalam tanaman untuk meningkatan tekanan

osmotik pada lumen tubulus ginjal. Kondisi demikian akan menyebabkan

akumulasi air di tubulus ginjal yang kemudian akan dikeluarkan sebagai urin

(Trihardjana, 2007).
21

Beberapa penyakit yang berkaitan dengan retensi volume air tubuh seperti edema,

tekanan darah tinggi sebagai akibat meningkatnya volume darah diharapkan dapat

dikurangi gejalanya dengan tanaman yang memiliki efek diuresis atau

meningkatkan produksi urine (Trihardjana, 2007). Flavonoid akan memengaruhi

kerja dari Angiotensin Converting Enzym (ACE) (Mills & Bone, 2000 dalam

Ariestha, 2010). Penghambatan ACE akan menginhibisi perubahan angiotensin I

menjadi angiotensin II yang menyebabkan vasodilatasi sehingga TPR turun dan

dapat menurunkan tekanan darah (Mills & Bone, 2000; Saseen, J.J & Carter, B.L.,

2005 dalam Ariestha, 2010). Efek lainnya dapat menyebabkan penurunan retensi

air dan garam oleh ginjal, sekresi aldosteron, dan sekresi anti diuretic hormone

(ADH) oleh kelenjar hipopituitari. Sekresi aldosteron yang menurun berefek

terhadap penurunan retensi air dan garam oleh ginjal, sedangkan penurunan

sekresi ADH menyebabkan penurunan absorpsi air. Penurunan retensi air dan

garam serta absorpsi air menyebabkan volume darah menurun, akibatnya tekanan

darah menurun (Guyton & Hall, 2007).

2.3.2 Keamanan Daun Alpukat

Daun alpukat (Persea americana Mill.) secara empiris telah digunakan di

masyarakat sebagai obat antihipertensi, namun belum mendapatkan informasi

yang cukup untuk digunakan selama masa kehamilan. Selama kehamilan ibu dan

janin selalu terhubung. Obat yang dikonsumsi oleh ibu hamil dapat menembus

plasenta, sehingga penggunaannya perlu berhati-hati. Berdasarkan penelitian

Anastasia (2013) manunjukkan hasil bahwa ekstrak etanol daun alpukat pada

dosis 2527 mg/kgBB dan 3249 mg/kgBB memberikan efek pengurangan jumlah
22

fetus pada mencit. Jumlah fetus menurun dengan meningkatnya dosis ekstrak

etanol daun alpukat yang diberikan. Hal ini dikarenakan pemberian dosis

teratogen yang semakin tinggi akan mempengaruhi pembelahan sel fetus sehingga

frekuensi pembelahan sel menurun, sehingga terjadi pengurangan atau bahkan

peniadaan jumlah fetus yang dihasilkan pada awal proses pembentukan embrio

(Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, 2013).

Peneliti tidak menemukan referensi yang meneliti mengenai toksisitas daun

alpukat jika dikonsumsi oleh penderita hipertensi. Penelitian yang dilakukan di

Indonesia maupun di luar negeri menyebutkan bahwa daun alpukat dapat

dimanfaatkan sebagai pengobatan herbal untuk hipertensi. Dari beberapa

penelitian yang menggunakan daun alpukat sebagai terapi herbal pada hipertensi

juga tidak menyebutkan adanya efek samping ataupun efek teratogenik dari

tanaman tersebut.

Anda mungkin juga menyukai