Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN
ANAKKU BATUK DAN SULIT BERNAFAS

Kasus I

Andi berumur 2,8 tahun. Ibunya membawa berobat ke Puskesmas karena batuk pilek
selama 4 hari. Setelah memeriksa, petugas kesehatan menemukan nadi : 110x/menit,
pernafasan ; 32x/ menit, suhu; 38,6 o . dokter keudian memberikan obat.

Kasus II

Seeorang anak perempuan berusia 3 tahun dibawa oleh ibunya ke puskesmas karena
batuk sejak 2 hari yang lalu, berdahak putih. Keluhan disertai demam (+). Demam nak
turun.

Pada pemerisksaan fisik nadi : 122x/ menit, pernafasan ; 52x/ menit, suhu ; 38,2o . saat
ini anak tampak sulit bernafas dan lemah, terdapat retraksi dinding dada.

Dokter kemudian melakukan tindakan dan merujuk pasien ke rumah sakit untuk
mendapat penanganan dari dokter spesialis anak.
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Seven Jump
1. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam
skenario
Dalam skenario ini kami mengklarifikasi istilah sebagai berikut:
a. Retraksi : penarikan dinding dada kearah dalam saat bernafas disertai
dengan peningkatan frekuensi nafas.
2. Langkah II: Menentukan/mendefinisikan permasalahan
Permasalahan pada skenario ini yaitu sebagai berikut :
a. Apa hubungan antara keluhan dengan usia pasien pada kasus 1?
b. Bagaimana patofisiologi terjadinya batuk – pilek?
c. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik pada kasus 1 dan 2 ?
d. Apakah obat yang bias diberikan pada pasien di kasus 1 dan 2?
e. Apa perbedaan fisiologi pernapasan anak dan orang dewasa?
f. Bagaimana hubungan onset dengan keluhan yang dialami pasien?
g. Apa saja jenis-jenis demam pada anakn dan contoh penyakitnya?
h. Bagaimana pemberian dosis obat pada anak?
i. Bagaimana interpretasi keluhan yang dialami pasien pada kasus 1 dan 2?
j. Bagaimana tatalaksana pada pasien di kasus 1 dan 2?
k. Bagaimanakah perkembangan sistem imunitas pada anak?
l. Mengapa pasien perlu dirujuk ke dokter spesialis anak?
m. Apa saja Differential Diagnosis yang dapat diajukan dari kasus 1 dan 2?
n. Apa saja yang termasuk kegawadaruratan system pernapasan pada anak?
o. Bagaimanakan terjadinya retraksi dada dan sulit bernapas, lemah pada anak?
p. Apa sajakah pemeriksaann penunjang yang bias dilakukan pada pasien kasus
2?
3. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat penyataan sementara
mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah 2)
a. Fisiologi pernapasan pada anak
Anak-anak bukan miniatur orang dewasa sehingga kita memerlukan
pengetahuan mengenai isu-isu yang berhubungan dengan usia dan
perkembangananak yang berdampak pada perawatan anak-anak, termasuk
pemahaman tentang perbedaan anatomis dan fisiologis di seluruh kelompok usia.
(Barnes, 2003)

I. Pertumbuhan paru-paru pada anak


5 fase perkembangan paru (Rudolf,2003)

Perkembangan paru-paru dibagi menjadi lima tahap, empat di antaranya

terjadi saat di kandungan.

a. Fase embrio paru melibatkan pertumbuhan saluran udara utama dan selesai pada 6
minggu kehamilan.

b. Fase pseudoglandular (6-16 minggu): percabangan jalan napas dan acinus (yang
akan menjadi tempat pertukaran udara) mulai berkembang.

c. Fase canalicular (16-28 minggu): meliputi vaskularisasi dari mesenkim distal dan
pengembangan acinus. Pada fase ini kapiler mendekati epitel saluran napas, sehingga
berpotensi untuk pertukaran gas.

d. Fase saccular (26-36 minggu): Saces membentuk alveoli.

e. Fase alveolar dimulai pada 36 minggu kehamilan dan berlanjut sampai periode
postnatal.

2. Jalan Napas

Setelah percabangan jalan napas selesai, diperkirakan terdapat 25.000 bronkiolus


terminal. Setelah kelahiran, pertumbuhan saluran napas terus berlanjut dengan
peningkatan panjang dan diameter

3. Alveoli

Setelah kelahiran, diperkirakan ada 20 juta alveoli. Penggandaan


alveoli

meningkat mencapai 200 juta alveoli hingga usia 3 tahun setelah itu penggandaan

akan menurun.

4. Saluran Agunan Ventilasi

Dalam paru-paru orang dewasa gas dapat melewati pori-pori Kohn (lubang antara
alveoli) dan kanal Lambert (saluran antara terminal bronchioles dan alveoli yang
berdekatan) sedangkan agunan saluran ventilasi pada paru-paru bayi yang baru
lahir lebih sedikit bahkan tidak ada.

5. Ruang Jaringan ikat

Ruang interstisial mengandung kolagen dan elastin yang sedikit saat


lahir, sehingga ruang udara lebih rentan terhadap cedera akibat tekanan
tinggi (barotrauma) atau peregangan paru. Elastin akan meningkat seiring
bertambahnya alveoli.

Paru-paru janin terisi oleh cairan sampai saatnya dilahirkan. Ketika bayi melewati
vagina, secara bertahap paru-paru akan menekan cairan ini keluar. Meskipun
demikian suction mungkin perlu dilakukan untuk mengeluarkan mukus residual
dari hidung dan mulut sebelum tertelan. Cairan sisa kemudian akan diabsorbsi
melalui kapiler paru ke kelenjar limfe. Kurangnya oksigen, meningkatnya
karbon dioksida serta stimulus lainnya mengaktifkan kemo reseptor arteri
pusat dan perifer sehingga bayi akan menghirup udara untuk pertama kalinya.
Setelah ini, paru-paru akan menggunakan udara dan tidak akan menghasilkan
cairan.

Bayi mengalami hipoksia saat lahir dan pernapasan menunjukkan struktur


biphasic peralihan. Menurut Merenstein dan Gardner (1998) dalam Introduction
to the Anatomy and Physiology of Children, pada dua sampai dua belas minggu
pertama kehidupan extra-rahim otot-otot di arteri paru menjadi lebih tipis,
membesar, bertambah panjang dan bercabang, yang kemudian akan mengurangi
resistensi pembuluh darah paru dan tekanan darah di sisi kanan jantung.

Hingga usia empat minggu bayi bernapas melalui hidung dan tidak beradaptasi
dengan baik untuk pernapasan melalui mulut. Mereka memiliki saluran udara
kecil yang akan bertambah sempit saat bengkak atau terhalang sekresi, sehingga
mereka harus bekerja lebih keras untuk bernapas. Bayi yang memiliki kesulitan
bernapas menjadi kurang mendapat asupan nutrisi sehingga terjadi penurunan
berat badan dengan cepat. Bayi memiliki saluran pernapasan yang pendek
sehingga risiko masuknya bahan infektif tinggi dan rentan terhadap infeksi virus
dan bakteri (MacGregor, 2001).

B. Perbedaan Anatomi dan Fisiologi Paru pada Tahap Perkembangan Anak

Bayi (0-12 bulan) dan Batita (12 bulan-2 tahun)


a. Saluran pernapasan lebih pendek sehingga strukturtrakea, bronki, dan
pernapasan bawah memiliki jarak yang berdekatan dan penularan agen
infeksius jauh lebih mudah.
b. Upaya pernapasan pada bayi sebagian besar dengan perut
c. Produksi IgA di mukosa paru ditambah dengan lumen trakea dan struktur
pernapasan bagian bawah yang sempit menyebabkan bayi menjadi lebih rentan
terhadap kesulitan pernapasan akibat edema, lender atau aspirasi benda asing
d. Sedikitnya alveolar permukaan untuk pertukaran gas.
e. Bunyi napas atas yang jauh lebih mudah bertransmisi ke dada pada anak-
anak, membuat auskultasi saluran pernapasan bawah menantang

Balita (3-5 tahun) dan anak usia sekolah (6-11 tahun)

a. Pola napas dan denyut jantung menurun dengan naiknya tekanan darah.
Denyut jantung berbanding terbalik dengan ukuran tubuh.
b. Jantung mencapai posisi dewasa dalam rongga dada dengan 7 tahun
c. Di bawah 7 tahun, gerakan pernafasan terutama menggunakan perut
atau diafragma. Sedangkan anak yanglebih tua, khususnya anak perempuan,
menggunakan toraks
d. Episode infeksi pernapasan sering terjadi selama periode ini.

Remaja (12-18 tahun)

a. Peningkatan volume darah dengan anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan


anak perempuan (mungkin karena peningkatan otot pada anak laki-laki
saat pubertas)
b. Diameter dan panjang paru-paru meningkat bersamaandengan peningkatan
volume pernapasan, kapasitas vital dan efisiensi fungsional pernapasan.
Perubahan lebih terlihat jelas pada anak laki-laki karena pertumbuhan paru-
paru yang lebih besar
c. Pola pernapasan menurun menjadi seperti dewasa.

Pneumonia membunuh 2 juta anak dibawah usia 5 tahun setiap tahunnya dan 20%
diantaranya berasal dari negara dengan penghasilan rendah (Cantin, 2008). Jumlah ini
bahkan lebih banyak dibandingkan kasus kematian pada anak akibat AIDS, TBC, maupun
malaria.
Dari penjabaran diatas kita dapat mengetahui bahwa bayi memang rentan terkena
pneumonia karena secara anatomis maupun fisiologis, organ pernapasan bayi masih
berada dalam tahap peralihan dari kehidupan di dalam kandungan sehingga rentan
terhadap infeksi bakteri atau virus yang dapat menjadi penyebab pneumonia pada anak.

Sumber:

Barnes, K. (Ed.). (2003). Paediatrics: A Clinical Guide for Nurse Practitioners. Oxford:
Butterworth–Heinemann.
Cantin, A.M. (2008). Childhood Pneumonia and Oxygen Treatment. The Lancet;
ProQuest

7. Macam bentuk demam


a. Berdasarkan etiologi:
a. Bakterial: membaik setelah administras antibakterial
b. Viral: suhu akan menurun perlahan dalam hitungan minggu
c. Noninfeksius: inflamasi, malignansi, heat stroke, gangguan
termoregulator sentral, thyrotoxicosis
b. Berdasarkan onset
a. Intermitten: pola perubahan suhu mengikuti irama sirkadian tubuh.
Biasanya suhu akan tinggi pada malam hari dan membaik pada siang
hari.
b. Sustained: demam berlanjut, dapat mengalami variasi suhu namun tidak
lebih dari 0.5°C
c. Remitten: demam berlanjut namun dapat mengalami variasi perubahan
suhu lebih dari 0.5°C
d. Relapsing: demam diawali dengan periode febril kemudian diikuti
perubahan suhu menjadi normal
e. Tertiana: demam pada hari pertama dan ketiga
f. Quartana: demam pada hari pertama dan keempat
Sulit bernapas
Kesulitan bernapas dapat disebabkan karena dua kondisi:
a. Obstruktif
a. Dikarenakan adanya obstruksi pada jalan napas
b. Penderita kerap sulit dalam mengeluarkan napas sehingga terjadi
penumpukan udara di dalam paru dan rongga dada
c. Contoh penyakit: asma dan ppok
b. Restriktif
a. Dikarenakan paru yang tidak bisa mengembang dengan seharusnya.
Penyebab sulitnya mengembang bisa karena inflamasi, kekakuan pada
parenkim paru. Hal ini menyebabkan aktivitas difusi udara di dalam
alveolus juga berkurang
b. Contoh penyakit: pneumonia dan atelectasis

Retraksi dinding dada merupakan tanda dimana seseorang mengalami kesulitan untuk
bernapas. Retraksi dinding dada juga dikenal dengan istilah tarikan dinding dada bagian
bawah ke dalam . Kesulitan untuk bernapas pada anak bisa disebabkan oleh tiga
penyebab yang berbeda, antara lain obstruksi saluran pernapasan atas seperti croup,
obstruksi saluran pernapasn bawah seperti asma dan bronchiolitis, dan penyakit jantung
parenkimal seperti pneumonia, edema pulmonal, serta sindrom distress pernapasan akut.
Pada anak dengan pneumonia terjadi penurunan kemampuan paru untuk berkembang
sebagaimana mestinya. Hal ini membuat tubuh untuk merespon kekurangan oksigen yang
ada di paru-paru untuk bernapas lebih cepat. Akan tetapi dengan kondisi paru-paru yang
kaku oleh fibrin dan disertai dengan konsolidasi alveoli menyebabkan paru akan tetap
kesulitan untuk berkembang. Akibatnya timbul tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam.
Anak dengan kasus pneumonia yang berat biasanya akan mengalami retraksi
dinding dada. Akan tetapi retraksi ini tidak selalu disertai dengan pernapasan cepat
dikarenakan anak sudah kehabisan energi untuk bernapas. Hal ini merupakan tanda
bahaya dikarenakan insidensi kematian yang tinggi. Hal tersebut mengarahkan dugaan
menuju pneumonia berat atau penyakit sangat berat.

COMMON COLD

Common Cold merupakan infeksi primer di nasofaring dan hidung yang sering dijumpai
pada bayi dan anak. Dibedakan istilah nasofaringitis akut untuk anak dan common cold
untuk orang dewasa oleh karena manifestasi klinis penyakit ini pada orang dewasa dan
anak berlainan. Pada anak infeksi lebih luas, mencakup daerah sinus paranasal, telinga
tengah disamping nasofaring, disertai demam yang tinggi. Pada orang dewasa infeksi
mencakup daerah terbatas dan biasanya tidak disertai demam yang tinggi.

Etiologi
Penyebab penyakit ini adalah virus. Masa menular penyakit ini beberapa jam sebelum
gejala timbul sampai 1-2 hari sesudah menghilangnya gejala.

Faktor predisposisi

Kelelahan, gizi buruk, anemia, dan kedinginan.infeksi sekunder banyak dijumpai pada
anak kecil. Penyakit ini sering diderita ketika pergantian musim.

Patologi anatomi

Sub mukosa dinding edematous disertai vasodilatasi pembuluh darah. Terdapat infiltrasi
leukosit mula-mula sel mononukleus, kemudian polimorfonukleus. Sel epitel superficial
banyak yang terlepas. Regenerasi sel epitel terjadi setelah melewati masa akut.

Gejala klinis

Gejala nasofaringitis dengan pilek, batuk sedikit, dan kadang-kadang bersin. Dari
hiduyng keluar sekret jernih yang dapat kental dan purulen bila terjadi infeksi sekunder
oleh kokus. Sekret ini dangat merangsang anak kecil. Sumbatan hidung (kongesti)
menyebabkan anak bernapas melalui mulut dan menjadi gelisah. Pada anak yang lebih
besar kadang didapatkan nyeri pada otot, pusing, dan anoreksia. Sumbatan hidung
(kongesti) disertai selaput lendir tenggorok yang kering menambah rasa nyeri.

Komplikasi

1. Sinusitis Paranasal
2. Penutupan tuba Eustachii sehingga terjadi OMA
3. Penyebaran infeksi ke saluran napas bagian bawah; laringitism trakeitis,
bronkitis, dan bronkopneumonia.

Pemberian Dosis Obat Pada Anak

Amoksisilin merupakan penisilin spektrum luas.


indikasi
Infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas bagian atas, bronkitis, pneumonia, otitis
media, abses gigi, osteomielitis, penyakit Lyme pada anak, profilaksis endokarditis,
profilaksis paska-splenektomi, infeksi ginekologik, gonore, eradikasi Helicobacter pylori.
kontra indikasi
Hipersensitif terhadap golongan penisilin (lihat catatan diatas).
Peringatan Perhatian
Riwayat alergi, gangguan ginjal, ruam eritematosus umum terjadi pada demam karena
infeksi pada kelenjar limfe, leukemia limfositik kronik, dan infeksi HIV.
Dosis
Infeksi karena organisme yang sensitif :
Oral :
• > 10 tahun, 250 mg setiap 8 jam, dosis digandakan pada infeksi berat,
• <10 tahun, 125 mg setiap 8 jam, digandakan pada infeksi berat.
Neonatus infeksi biasa/ standar
IV, IM : 25 mg/kgBB/kali

Infeksi berat (meningitis atau septikemia)


IV, IM : 50 mg/kgBB/kali
interval
Untuk usia gestasi < 37 minggu = 28 hari setiap 12 jam, > 28 hari setiap 8 jam
Untuk usia gestasi = 37 minggu = 7 hari setiap 12 jam, > 7 hari setiap 8 jam
Interval dosis dapat diturunkan dari tiap 8 menjadi 6 jam pada tersangka meningitis atau
septikemia, jika fungsi ginjal normal.
Bayi 1- 3 bulan :
• Oral : 20 -30 mg/ kgBB/hari dalam dosis terbagi setiap 12 jam.
• Bayi > 3 bulan dan anak : 25 – 50 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi setiap 8 jam atau
25 -50 mg/ kgBB/ hari dalam dosis terbagi tiap 12 jam.
Otitis media (terapi jangka pendek) :
Oral : 3 – 10 tahun, 750 mg 2 kali sehari selama 2 hari. Otitis media akut dengan strain S.
pneumonia yg resisten 80 -90 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi setiap 12 jam.
Uncomplicated Gonorrhea :
• < 2 tahun : Probenesid, dikontraindikasikan untuk usia ini.
• = 2 tahun : 50 mg/kgBB ditambah Probenesid 25 mg/kgBB dalam dosis tunggal.
pencegahan : Endokarditis,
50 mg/kgBB 1 jam sebelum prosedur. Setelah kontak dengan Anthrax : < 40kg : 45
mg/KgBB/ hari dalam dosis terbagi setiap 8 jam. = 40 kg : 500 mg setiap 8 jam.
Demam rematik : 1 – 5 tahun : 2 kali 125 mg/hari; 6 – 12 tahun: 2 kali 250 mg/hari
efek samping
Mual dan muntah, diare; ruam (hipersensitivitas atau reaksi toksik; bias menjadi serius –
hentikan pengobatan); reaksi hipersensitivitas termasuk urtikaria, angioedema,
anafilaksis, reaksi serum sickness, anemia hemolitik, nefritis interstitial (lihat juga catatan
diatas). Jarang : kolitis, neutropenia, trombositopenia, gangguan koagulasi, gangguan
sistem saraf pusat termasuk konvulsi (berhubungan dengan dosis tinggi atau kerusakan
fungsi ginjal).
sediaan
Kapsul : 250 mg, 500 mg. Serbuk suspensi oral : 125 mg/5 mL

PARACETAMOL

indikasi
Nyeri ringan sampai sedang, termasuk dismenorea dan sakit kepala, nyeri pada
osteoarteritis dan jaringan lunak, demam termasuk paska imunisasi dan migren akut.
Peringatan Perhatian
Gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, ketergantungan alkohol, bayi baru lahir
yang ikterus.
Dosis
Demam paska imunisasi
Oral : 2 – 3 bulan: 60 mg dapat diulang setelah 4 – 6 jam, orang tua agar menghubungi
dokter bila demam menetap setelah dosis ke-2.
nyeri ringan sampai sedang, demam
Oral : < 3 bulan: 10 mg/kgBB (bila ikterik : 5 mg/kgBB); 3 bulan – 1 tahun : 60– 125 mg;
1 – 5 tahun: 120 – 250 mg; 6 – 12 tahun: 250 – 500 mg. Dosis dapat diulang setelah 4 – 6
jam (maksimum 4 dosis/ 24 jam).
Rektal: 1 – 5 tahun : 125 – 250 mg; 6 – 12 tahun: 250 – 500 mg. Dosis dapat diulang
setelah 4 – 6 jam (maksimum 4 dosis/ 24 jam).
serangan migrain akut
Oral : Anak 6 –12 tahun: 250 – 500 mg. Dosis dapat diulang setelah 4 – 6 jam
(maksimum 4 dosis/24 jam).
Rektal: 6 -12 tahun: 250 – 500 mg; > 12 tahun :0,5 – 1 g. Dosis dapat diulang setelah 4 –
6 jam (maksimum 4 dosis/24 jam)
efek samping
Jarang : ruam dan gangguan darah, overdosis: nekrosis hati, gangguan fungsi ginjal.
sediaan
Tablet 120 mg, 500 mg. Sirup 120 mg/5 mL [60 mL], 160 mg/5 mL [60 mL].
Suspensi 250 mg/5 mL [60 mL].

CETIRIZIN
indikasi
• Rinitis alergi, alergi yang disebabkan oleh serbuk sari dan kapuk pada dewasa dan anak
di atas 2 tahun. Dengan gejala umum: bersin-bersin, hidung berlendir, pruritus sekitar
hidung dan mata dan mata yang berair.
• Urtikaria kronik: pengobatan untuk manifestasi kulit dari urtikaria kronik idiopatik
dewasa dan anak di atas 2 tahun.
kontra indikasi
• Hipersensitivitas terhadap cetirizin diHCL.
• Wanita menyusui.
peringatan
• Hindari penggunaan obat saat mengemudi maupun mengoperasikan mesin.
• Tidak dianjurkan penggunaan pada wanita hamil, kecuali sangat
diperlukan.
• Keamanan dan efktivitas pada anak < 2 tahun belum diteliti lebih lanjut.
• Kurangi dosis pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
• Kategori B.
efek samping
Nyeri kepala, agitasi, rasa kering di mulut, mual.
sediaan
• Tablet 10 mg, 5 mg

Ambroxol

Ambroxol, yang berefek mukokinetik dan sekretolitik, dapat mengeluarkan lendir yang
kental dan lengket dari saluran pernafasan dan mengurangi staknasi cairan sekresi.
Pengeluaran lendir dipermudah sehingga melegakan pernafasan. Sekresi lendir menjadi
normal kembali selama pengobatan dengan Ambril. Baik batuk maupun volume dahak
dapat berkurang secara bermakna. Dengan demikian cairan sekresi yang berupa selaput
pada permukaan mukosa saluran pernafasan dapat melaksanakan fungsi proteksi secara
normal kembali. Penggunaan jangka panjang dimungkinkan karena preparat ini
mempunyai toleransi yang baik.

 Indikasi
Gangguan saluran pernafasan sehubungan dengan sekresi bronkial yangabnormal
baik akut maupun kronis, khususnya pada keadaan-
keadaan eksaserbasi dari penyakit-penyakit bronkitis kronis, bronkitis asmatis,
asma bronkial.
 Dosis pemakaian
Bila tidak dianjurkan lain oleh dokter, anjuran pemakaian untuk anak berdasarkan
jumlah dosis perhari yaitu 1,2 – 1,6 mg Ambroxol HCI per kg berat badan.
Tablet :

Dewasa dan anak-anak diatas 12 tahun tablet 3 kali sehari.

Anak-anak antara 5-12 tahun 1/2 tablet 3 kali sehari.

Pada pemakaian jangka panjang dosis pemberian sebaiknya dikurangi menjadi 2


kali sehari.Tablet sebaiknya ditelan sesudah makan bersama sedikit air.

Sirup :

Anak-anaks/d 2 tahun 2,5 ml (V; sendok takaran), 2 kali sehari

Anak-anak2-5 tahun 2,5 ml (V2 sendok takaran), 3 kali sehari.

Anak-anakdi atas 5 tahun 5ml{ 1 sendok takaran), 2- 3 kali sehari.

Dewasa 10 ml (2 sendok takaran), 3 kali sehari.


Takaran pemakaian di
atas cocok untuk pengobatan gangguan saluran pernafasan akut dan
untuk pengobatan awal pada keadaan kronis sampai 14 hari. Pada pemakaian lebih lama
takaran pemakaian bisa diturunkan menjadi separuhnya.Sirup
sebaiknya diminum sesudah makan.

 Interaksi Obat Penggunaan Ambroxol dapat meningkatkan kerja atau efektivitas dar
i antibiotik karena dapat dikatakan jika mukus semakin cepat dan
mudah untuk dikeluarkan, maka bakteri atau virus penyebab penyakit yang
terjerat pada mukus juga akan dikeluarkan
 Pada studi preklinis tidak menunjukkan adanya efek yang mengkhawatirkan,
akan tetapi keamanan pemakaian pada wanita hamil/menyusui belum diketahui den
gan pasti. Meskipun demikian, seperti halnya dengan penggunaan obat-obat lain,
pemakaian pada kehamilan trimester I harus hati-hati.

Efek samping :
 Ambrixol umumnya mempunyai toleransi yang baik.
Efek samping ringan pada saluran pencernaan pernah dilaporkan walaupun jarang.
Reaksi alergi jarang terjadi, beberapa pasien yang
alergi tersebut juga menunjukkan reaksi alergi terhadap preparat lain.
 Kontraindikasi : Tidak diketahui adanya kontraindikasi.
BROMHEKSIN
 Sediaan : Tablet, sirup.
 Manfaat obat Mukolitik dan ekspektoran.
 Mekanisme kerja Pengurangan viskositas dahak. Stimulasi pada sekresi,
gerakan siliar, pembentuk surfaktan. Perbaikan penangkal imunologis setempat.
 Indikasi Sekretolitik pada infeksi jalan pernapasan yang akut dan
kronis serta pada penyakit paru dengan pembentukan mucus berlebih.
 Kontraindikasi Hipersensitivitas, wanita hamil, menyusui,
 Efek samping Reaksi alergi, gangguaan gastrointestinal ringan.
 Interaksi obat Hati-hati penggunaan dengan obat lain.
 Dosis Dewasa: 3x 8mg/hari.
Erdosteine (Edotin®)
 Sifat mukolitik lebih baik daripada bromheksin
 Efek samping ringan, biasanya hanya di saluran cerna.
Asetilsistein (Fluimucil®)
 Digunakan sebagai mukolitik, dan mencegah keracunan parasetamol
 Efek samping: bronkospasme, gangguan saluran cerna
 Asetilsistein memecah ikatan disulfida pada dahak.
Bromheksin (Bisolvon®)
 Digunakan sebagai mukolitik
 Efek samping: diare, mual, muntah.
 Juga memiliki efek antioksidan

OBAT BATUK EKSPEKTORAN

Guaifenesin/gliseril guaiakolat/GG
 Digunakan sebagai ekspektoran pd batuk berdahak, mekanisme kerjanya dg cara
meningkatkan volume dan menurunkan viskositas dahak di trakea dan bronki,
kemudian merangsang pengeluaran dahak menuju faring.Efek samping: mual,
muntah, batu ginjal.
Agonis β2
Salbutamol (Ventolin®, Asmacare®)
 Digunakan sebagai pilihan pertama obat asma.
 Efek samping: tremor, sakit kepala, kram otot, mulut kering, serta aritmia.
 Biasanya diberikan dalam bentuk MDI (metered dose inhaler), atau nebulizer
supaya efeknya lebih cepat. Dapat pula diberikan per oral dan juga intra vena.
Fenoterol (Berotec®)
 Efek samping meliputi tremor ringan pada otot rangka, palpitasi, takikardi, sakit
kepala, batuk, berkeringat.
 Diberikan dalam bentuk MDI atau juga cairan untuk inhalasi (dihirup lewat
nebulizer).
Terbutaline (Bricasma®)
 Efek samping hampir sama dg efek samping fenoterol.
 Dapat diberikan dalam bentuk tablet, infus, respule, atau juga turbuhaler.
Orciprenaline/metaproterenol (Alupent®)
 Efek samping: palpitasi, tremor di jari.
 Dapat diberikan dalam bentuk tablet, dan MDI.
Salmeterol (Seretide®, kombinasi salmeterol dg fluticasone)
 Tergolong LABA (long acting beta adrenoceptor agonist)
 Waktu kerja lebih lama (12 jam) daripada salbutamol (4-6 jam)
 Hanya digunakan utk kasus severe persistent asthma yg sebelumnya pernah diterapi
dg salbutamol.
 Biasanya salmeterol dikombinasikan dg kortikosteroid.
Formoterol (Symbicort®, suatu kombinasi budesonide (golongan kortikosteroid) dg
formoterol)
 Tergolong LABA (long acting beta adrenoceptor agonist)
 Lebih cepat mula kerjanya dan lebih manjur dibanding salmeterol
Antikolinergik
Ipatropium bromida (Atrovent®)
 Mekanisme kerja: menghambat mAChR (reseptor asetilkolin muskarinik), shg
terjadi bronkodilasi.
 Efek samping: mengantuk, mulut kering.
 Biasanya diberikan dalam bentuk MDI, atau juga larutan inhalasi (hirup) utk
nebulizer.
Tiotropium bromida (Spiriva®)
 Digunakan untuk terapi pemeliharaan (maintenance) pasien dg penyakit paru
obstruktif kronik.
 Mekanisme kerja sama dg ipatropium bromida, juga memiliki efek samping yang
sama.
Glukokortikoid
Budesonide (Pulmicort®)
 Tidak digunakan pada pasien dg TBC
 Efek samping: candidiasis (tumbuhnya jamur candida) di mulut/tenggorokan,
perubahan sensasi indra pembau dan pengecap.
 Tidak seperti steroid lainnya, budesonide memiliki efek sedikit pada poros
hipotalamik-pituitari-adrenal, hal ini menyebabkan budesonide tidak begitu
memerlukan tapering off (dikurangi perlahan) dosisnya sebelum dihentikan.
Deksametason
 Kontraindikasi: infeksi parah, ulkus gastrointestinal, osteoporosis, sistemik TBC.
 Efek samping: gastritis, osteoporosis
 Tersedia dalam bentuk tablet dan injeksi
Metilprednisolon
Prednison
Antagonis Leukotriene
 Nama lain Leukast
 Mekanisme kerja: menghambat leukotriene, yg merupakan senyawa yg diproduksi
sistem kekebalan tubuh. Leukotriene menyebabkan inflamasi pada asma dan
bronkitis, serta mengecilkan jalan pernafasan.
 Antagonis leukotriene kurang efektif dibandingkan kortikosteroid dlm menangani
asma, shg kurang disukai.
Zafirlukast (Accolate®
 Tersedia dalam bentuk tablet Zileuton
 Montelukast

ANTIHISTAMIN
 Antihistamin adalah obat dengan efek antagonis terhadap histamin. Di pasaran
banyak dijumpai berbagai jenis antihistamin dengan berbagai macam indikasinya.
Antihistamin terutama dipergunakan untuk terapi simtomatik terhadap reaksi alergi
atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin berlebih. Penggunaan
antihistamin secara rasional perlu dipelajari untuk lebih menjelaskan perannya
dalam terapi karena pada saat ini banyak antihistamin generasi baru yang diajukan
sebagai obat yang banyak menjanjikan keuntungan.
 Pada garis besarnya antihistamin dibagi dalam 2 golongan besar, yang menghambat
reseptor H1 dan yang menghambat reseptor H2. Yang lazim disebut antihistamin
adalah antagonis reseptor histamin H1 (AH1). Semua kelas antihistamin H1 struktur
kimianya menyerupai histamin. Antihistamin H1 dikelompokkan dalam AH1
tradisional atau konvensional (generasi I), dan AH1 non-sedatif (generasi I). Mereka
dibagi dalam beberapa subkelas.
 EtilendiaminAntazolin, tripelanamin, pirilamin.
 EtanolaminKarbinoksamin, difenhidramin, doksilamin.
 AlkilaminKlorfeniramin, deksklorfeniramin, dimetinden, feniramin.
 PiperazinSetirizin, homoklorsiklizin, hidroksizin, oksatomid.
 PiperidinSiproheptadin.
 FenotiasinPrometasin.
 Lain-LainAkrivastin, astemizol, azatadin, klemastin, levokobastin, loratadin,
mebhidrolin, terfenadin, ketotifen.
 Yang termasuk golongan antihistamin generasi baru adalah setirizin, akrivastin,
astemizol, levokobastin, loratadin, dan terfenadin.
 Farmakokinetik Absorbsi AH1 berjalan sangat cepat setelah pemberian secara oral
menyebabkan efek sistemik dalam waktu kurang dari 30 menit. Hepar merupakan
tempat metabolisme utama (70-90%), dengan sedikit obat yang diekskresi dalam
urin dalam bentuk yang tidak berubah.
 Mekanisme kerja Antihistamin bekerja dengan cara kompetisi dengan histamin
untuk suatu reseptor yang spesifik pada permukaan sel. Hampir semua AH1
mempunyai kemampuan yang sama dalam memblok histamin. Pemilihan
antihistamin terutama adalah berkenaan dengan efek sampingnya. Antihistamin juga
lebih baik sebagai pengobatan profilaksis daripada untuk mengatasi serangan. Mula
kerja AH1 nonsedatif relatif lebih lambat; afinitas terhadap reseptor AH1 lebih kuat
dan masa kerjanya lebih lama. Astemizol, loratadin dan setirizin merupakan
preparat dengan masa kerja lama sehingga cukup diberi 1 kali sehari. Beberapa jenis
AH1 golongan baru dan ketotifen dapat menstabilkan sel mast sehingga dapat
mencegah pelepasan histamin dan mediator kimia lainnya; juga ada yang
menunjukkan penghambatan terhadap ekspresi molekul adhesi (ICAM-1) dan
penghambatan adhesi antara eosinofil dan neutrofil pada sel endotel. Oleh karena
dapat mencegah pelepasan mediator kimia dari sel mast, maka ketotifen dan
beberapa jenis AH1 generasi baru dapat digunakan sebagai terapi profilaksis yang
lebih kuat untuk reaksi alergi yang bersifat kronik.
 Penggunaan klinis Antihistamin adalah obat yang paling banyak dipakai sebagai
terapi simtomatik untuk reaksi alergi yang terjadi. Semua jenis antihistamin sangat
mirip aktivitas farmakologinya. Pemilihan antihistamin terutama terhadap efek
sampingnya dan bersifat individual. Pada seorang pasien yang memberikan hasil
kurang memuaskan dengan satu jenis antihistamin dapat ditukar dengan jenis lain,
terutama dari subkelas yang berbeda
Efek yang tidak diinginkan
 Mengantuk Antihistamin termasuk dalam golongan obat yang sangat aman
pemakaiannya. Efek samping yang sering terjadi adalah rasa mengantuk dan
gangguan kesadaran yang ringan (somnolen).
 Efek antikolinergikPada pasien yang sensitif atau kalau diberikan dalam dosis
besar. Eksitasi, kegelisahan, mulut kering, palpitasi dan retensi urin dapat terjadi.
Pada pasien dengan gangguan saraf pusat dapat terjadi kejang.
 DiskrasiaMeskipun efek samping ini jarang, tetapi kadang-kadang dapat
menimbulkan diskrasia darah, panas dan neuropati.
 SensitisasiPada pemakaian topikal sensitisasi dapat terjadi dan menimbulkan
urtikaria, eksim dan petekie.

4. Langkah IV: Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan


sementara mengenai permasalahan pada langkah 3

BASIC KNOWLEGDE
 ETIOLOGI
 Fisiologi  FAKTOR
pernafasan anak RISIKO

DIAGNOSIS PATOGENESIS

 Anamnesis
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan
penunjang
PATOFISIOLOGI

 Batuk berdahak
 Demam naik turun
TATALAKSANA  Sulit bernafas
 Retraksi dinding dada
 Promotif
 Preventif
 Kuratif
 Rehabilitatif

5. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran


a. Fisiologi pernafasan pada anak.
b. Patofisiologi keluhan
a. Batuk berdahak pada anak
b. Demam naik turun
c. Sulit bernafas
d. Retraksi dinding dada
c. Anamnesis, pemeriksaan fisik, vital sign.
d. Diagnosis dan DD.
a. Common cold (influenza)
b. Pertusis
c. Asma
d. Bronchitis
e. Bronkopneumonia
f. Pneumonia
g. Tuberculosis anak
e. Tatalaksana

6. Langkah VI: Mengumpulkan informasi tambahan di luar waktu diskusi kelompok


7. Langkah VII: Melakukan sintesa dan pengujian informasi yang telah terkumpul
DAYA TAHAN TRAKTUS RESPIRATORIUS

Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk
mencegah infeksi, terdiri dari:

1. Susunan anatomis rongga hidung


2. Jaringan limfoid di naso-oro-faring
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret liat
yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut
4. Refleks batuk
5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi
6. Drainase sistem limfatik dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional
7. Fagositosis, aksi enzimatik dan respon imuno-humoral terutama dari
imunoglobulin A (Ig A)

PERKEMBANGAN SISTEM IMUNITAS

Kita mengenal dua jenis sistem imun di dalam tubuh manusia, yaitu sistem imun
innate (primitif) yang bersifat tidak spesifik, dan sistem imun adaptif yang bersifat lebih
canggih, lebih spesifik terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh kita. Komponen
yang berperan dalam sistem imun innate antara lain makrofag, sel natural-killer,
granulosit (basofil, eosinofil, neutrofil), sel mast, komplemen. Komponen yang berperan
dalam sistem imun adaptif antara lain sel B, antibodi, sel T (CD4+ dan CD8+).

Saat tubuh manusia melawan patogen dari luar, kedua sistem imun ini bekerja
secara bersamaan, akan tetapi dengan kecepatan yang berbeda. Jika tubuh kita terserang
benda asing, sistem imun yang terlebih dahulu diaktifkan adalah sistem imun innate,
sedangkan sistem imun adaptif lebih banyak dipersiapkan untuk menyerang patogen
yang lebih spesifik. Sel-sel yang berperan dalam sistem imun adaptif mempunyai
kemampuan untuk mengingat (memory cell). Tubuh kita tidak bisa menyimpan antibodi
spesifik yang terlalu lama. Memory cell ini berperan untuk mengingat patogen yang
pernah masuk ke dalam tubuh kita, dan memberikan respon imun yang lebih cepat
dibandingkan saat terpapar pertama kali.

Pada saat di dalam rahim, janin menunjukkan respon imun spesifik yang rendah
terhadap antigen makanan dan inhalan. Limfosit T muncul pada usia kehamilan 13
minggu. Prekursor sel T mulai teraktivasi pada usia kehamilan 18-22 minggu. Antibodi
IgG ibu meningkat dan ditransfer ke janin pada usia kehamilan 20 minggu ke atas.

Berikut ini adalah tabel mengenai tahap-tahap perkembangan sistem imun pada
masa kehamilan.
Pada saat lahir, bayi mempunyai sistem imun naif yang membutuhkan paparan
antigen asing agar berkembang secara normal. Imunitas yang didapat dari ibu tidak dapat
memberikan efek proteksi terhadap seluruh infeksi dan hanya bertahan beberapa saat.
Pada bayi aterm yang lahir dari ibu dengan kondisi yang baik, antibodi spesifik ini dapat
umumnya menetap sampai 18 bulan.

Berikut ini adalah tabel maturasi sistem imun yang sangat bergantung pada usia
kehamilan.

Fungsi Perbedaan selama masa bayi Implikasi

Imunitas non-spesifik Fagosit tidak dapat bermigrasi Respon terhadap infeksi


ke tempat infeksi walaupun lambat
aktivitas bakterisidalnya
normal

Produksi sitokin Produksi sitokin lebih rendah, Respon populasi sel lain yang
khususnya sitokin Th1, seperti bergantung pada sitokin
IFN-γ oleh sel T tersebut terganggu, misalnya
sel natural killer.
Sel natural killer (NK) Belum terbentuk secara Respon terhadap infeksi virus
sempurna. Hal ini disebabkan tidak efisien.
produksi sitokin imatur dari sel
T dan monosit.

Sistem komplemen Berkembang secara progresif Fagositosis tidak efisien


selama tahun pertama
kehidupan

Imunitas spesifik (sel T dan Berkembang pada usia Sel B dan sel T yang relatif
sel B) kehamilan awal. naif tersebut mengindikasikan
respon imun terhadap infeksi
Sel T dan sel B pertama kali
bakteri atau virus relatif
muncul pada organ-organ
inefisien pada bayi baru lahir,
berikut:
khususnya bayi prematur.
- Sumsum tulang (8-10
Stimulasi antigen berulang
minggu)
menyebabkan maturasi yang
- Timus (8 minggu) sempurna dari imunitas
spesifik selama tahun-tahun
- Limpa (8 minggu)
pertama kehidupan.
- Nodus limfoid (11 minggu)

- Appendiks (11 minggu)

- Tonsil (14 minggu)

Respon imun spesifik muncul


sekitar usia kehamilan 12
minggu. Akan tetapi, sel B dan
sel T masih bersifat naif.

Sub grup IgG tidak diproduksi


sampai tahun ke-2 kehidupan.

Produksi imunoglobulin Produksi isotipe Ketidakmampuan untuk


imunoglobulin maasih belum merespon bakteri berkapsul
sempurna. polisakarida, seperti
meningokokus dan
Kadar IgM, IgA, dan IgE
pneumokokus sampai usia 2
serum masih rendah.
tahun.
IgG terutama berasal dari ibu.
Ketidakmampuan untuk
merespon vaksin polisakarida

Proteksi antibodi ibu dari IgG yang melawan infeksi Memberikan proteksi terhadap
plasenta organisme melewati plasenta. infeksi yang pernah dipaparkan
kepada ibu, atau yang pernah
diberikan imunisasi kepada ibu
(misalnya campak dan
penyakit meningokokus)

Dapat berinterferensi dengan


vaksin seperti MMR.

Perbedaan fisiologis sistem respirasi pada anak dan dewasa


a. Dinding dada
1) Pada anak, otot dinding dada lebih mudah jenuh. Hal ini disebabkan karena
otot yang ada masih tersusun sebagian besar oleh serat tipe 2, yang memiliki
ciri berkontraksi dengan cepat dan mudah lelah. Sifat yang berkebalikan
dimiliki oleh serat tipe I. maka dari itu anak lebih rentan terhadap kelelahan
bernapas, yang menyebabkan onset dekompensasi yang lebih cepat. Seiring
bertambah dewasanya anak, maka persentasi serat tipe 1 terhadap tipe 2 juga
meningkat.
2) Rusuk pada anak tersusun lebih horizontal dan diafragma lebih pipih.
Sebagai konsekuensi, bayi tidak berkemampuan untuk menduplikasi
efisiensi dari gerakan ke atas dan ke bawah yang ditimbulkan oleh rusuk
yang tersusun lebih miring dan diafragma yang lebih berkubah.
3) Rusuk pada anak lebih lembut daripada dewasa. Walaupun menguntungkan
saat proses kelahiran, hal ini menyebabkan bayi lebih rentan pada kondisi
patologis pernapasan.
b. Kemoreseptor
1) Maturasi dari kemoreseptor karotid memengaruhi respon terhadap hipoksia
pada fase pertumbuhan yang berbeda. Tidak seperti orang dewasa yang
menunjukkan respon yang segera dan berkelanjutan terhadap hipoksia
dengan hiperventilasi, bayi menunjukan respon bifasik. Setelah masa inisial
(1-2 menit) dari hiperventilasi, bayi akan mengalami hipoventilasi dan apnea
dengan tetap dalam keadaan hipoksemia. Maka dari itu bayi lebih rentan
terhadap gagal napas dibanding orang dewasa.
2) Sensitivitas dari sensor CO2 yang belum matang. (Kliegman et al, 2016)
Respon imun terhadap cedera paru
a. Penyakit lokal dan sistemik bisa menimbulkan respon inflamasi pada paru.
Penyakit lokal meliputi infeksi, aspirasi, asfiksia, trauma, dan inhalasi iritan
kimia. Penyakit sistemik meliputi sepsis, syok, trauma, dan bypass
kardiopulmoner.
b. Respon inflamatori diperantarai oleh pelepasan sitokin dan mediator lainnya.
c. Pada paru, makrofag alveolar menjadi pemeran utama dalam respon sitokin awal,
memroduksi tumor necrosis factor-α dan interleukin-1β. Produksi sitokin ini akan
memicu kaskade inflamatori dan berujung pada migrasi sel darah putih ke
jaringan paru.
d. Konsekuensi dari patofisiologis inflamasi meliputi cedera pada endotel kapiler
paru dan sel epitel alveoli (menyebabkan meningkatnya permeabilitas dan
eksudasi), vasokonstriksi pulmoner (yang menyebabkan hipertensi pulmoner dan
meningkatnya afterload ventrikel kanan. (Kliegman et al, 2016)
Alasan dokter merujuk pasien ke dokter spesialis anak
Pada pasien demam berusia lebih dari 3 bulan dan memiliki kesan umum yang
baik, jika anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak mengindikasikan adanya proses suatu
penyakit yang parah, maka pasien hanya perlu diikuti perkembangannya. Namun, jika
anak terlihat sakit, atau terdapat indikasi sakit yang parah melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik maka diperlukan rujukan ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi untuk
dilakukan pemeriksaan penunjang. (Kliegman et al, 2016)

Tindakan awal yang dilakukan dokter


Takipnea dan retraksi dinding dada pada pasien mengindikasikan terdapat distres
respiratori. Manajemen yang bertujuan untuk mamastikan jalan napas terjaga dan
menyediakan oksigenasi yang adekuat dibutuhkan. Bantuan respirasi noninvasif
dibutuhkan untuk menjaga tekanan positif pada jalan napas, memperbaiki komplians,
memperbaiki volume tidal yang berimplikasi pada membaiknya ventilasi. Cannula nasal
beraliran tinggi yang mengalirkan gas sebanyak 4-16 L/menit menyediakan tekanan jalan
napas positif yang kontinyu (CPAP). CPAP bisa dilakukan menggunakan tight-fitting
facial mask yang dihubungkan dengan ventilator atau alat tekanan positif lainnya. CPAP
noninvasif cocok digunakan untuk penyakit yang menimbulkan penurunan komplians
paru dan kapasitas residual fungsional yang rendah seperti atelektasis dan pneumonia.
Risiko meliputi iritasi nasal, hiperinflasi, distensi abdomen yang disebabkan karena udara
yang tertelan. (Kliegman et al, 2016)

Bentuk Sediaan Obat Pediatri

BSO Padat:

a. Pulvis
b. Pulveres
c. Tablet hisap

BSO Semi Padat:

a. Salep
b. Gel
c. Cream

BSO Cair:
a. Sirup
b. Larutan
c. Emulsi
d. Eliksir
e. Suspense
f. Injeksi

Perhitungan Dosis

1. Secara Individual; menggunakan ukuran fisik anak (Berat Badan, Luas


Permukaan Tubuh)
a. Dengan ukuran berat badan anak yaitu mengalikan berat badan anak dengan
besar dosis tiap kg
b. Perhitungan dengan ukuran luas permukaan tubuh anak
𝐿𝑃𝑇 𝑎𝑛𝑎𝑘
Dosis pediatri: 1,73 𝑚𝑚2 x Dosis Dewasa

2. Dihitung Berdasarkan Dosis Dewasa


a. Berdasarkan Umur Anak (Dalil Young & Dilling)
𝑈𝑚𝑢𝑟 𝑎𝑛𝑎𝑘 (𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛)
Dosis pediatri: Dosis Dewasa x 20

b. Berdasarkan Berat Badan (Dalil Clark)


𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑘𝑔)
Dosis pediatri: Dosis Dewasa x 70

Obat yang digunakan pada pasien


1. Acetaminophen
a. Dosis: 150 mg/kgBB/dosis
b. BSO:
1) Sirup: 150 mg/5ml
2) Kaplet: 325, 500, dan 650 mg
3) Tablet kunyah: 80 mg
c. Kontraindikasi: hipersensitivitas terhadap asetaminofen, penderita penyakit
hati yang parah
2. Pseudoephedrine
a. Dosis: 7.5 mg/5ml, 30mg/5ml, 1.25 ml pada anak 2-6 tahun
b. BSO:
1) Drop oral: 7.5 mg/0/8ml
2) Syrup: 30 mg/5 ml
c. Kontraindikasi: hipersensitivitas, neonatus, hipertensi
3. Cetirizine
a. Dosis: Tab anak 6-12 tahun 10 ml sekali sehari. 2-6 tahun 5 ml sekali
sehari. Drop anak 6-12 tahun 1 ml sekali sehari, 2-6 tahun 0.5 mml sekali
sehari.
b. BSO:
1) Tablet
2) Drop oral
c. Kontraindikasi: laktasi, kehamilan (MIMS, 2015)

KEGAGALAN PERNAPASAN AKUT (KPA)

Kegagalan pernapasan akut (KPA) adalah suatu kegawatan yang disebabkan oleh
gangguan pertukaran oksigen dan karbon dioksida, sehingga sistem pernapasan tidak
mampu memenuhi kebutuhan metabolism tubuh.

Faktor predisposisi

1. Struktur anatomi
a. Dinding dada: Dinding dada pada bayi dan anak masih lunak disertai
insersi tulang iga yang kurang kokoh letak iga lebih horizontal, dan
pertumbuhan otot interkostal yang belum sempurna, menyebabkan
pergerakan dinding dada yang terbatas. Oleh sebab itu diafragma
memegang peranan penting dalam pernapasan.
b. Saluran pernapasan: Pada bayi dan anak relatif lebih besar dibandingkan
dengan dewasa. Ketika terjadi pembengkakan, pada bayi akan
mengakibatkan penurunan luas saluran pernapasan 75%, sedangkan pada
dewasa hanya 19%.
2. Kerentanan terhadap infeksi
3. Kelainan kongenital
4. Faktor fisiologi dan metabolik

Jenis Penyakit Penyebab KPA pada Neonatus

Penyebab Neonatus
Jalan napas bagian atas
Hidung Atresia
Kongesti Nasal
Faring Sindrom Pierre-Robin
Laring Laring Infantil
Kriste Laring
Trakea Trakeomalasia
Jalan napas bagian bawah
Bronkus/Bronkiolus Pneumonia aspirasi
Aspirasi cairan lambung
Alveoli IRDS
Pneumonia
Perdarahan paru
Edema paru
Hernia diafragmatika
Kompresi pulmonal Pneumotoraks
Hernia diafragmatika
Omfalokel
Gastrosisis
Distensi abdomen
Susunan saraf Asfiksia neonatal
Kejang
Apnu
Tetanus neonatorum

Jenis Penyakit Penyebab KPA Bayi/Anak

Penyebab Bayi/Anak
Jalan napas bagian atas
Faring Makroglosis
Hipertrofi tonsil
Laring Laringotrakeobronkitis
Epiglotitis akut
Laringitis difterika
Edema/ Stenosis pasca intubasi
Trakea Benda asing
Jalan napas bagian bawah
Bronkus/Bronkiolus Bronkiolitis
Status asmatikus
Alveoli Pneumonia
Kelainan jantung bawaan
Trauma
Tenggelam
Luka bakar
Kompresi Pulmonal Pneumotoraks
Trauma dada
Susunan Saraf Trauma
Ensefalitis
Takaran obat berlebihan
Status epileptikus
Sindrom Guillain-Barre

COMMON COLD & FLU

Common cold atau salesma ini disebabkan oleh virus, yang paling sering adalah
rhinoviruses. Rata-rata anak-anak akan mengalami common cold 3-8 kali per tahun.
Seiring pertumbuhan usia dan perkembangan sistem imun, frekuensi ini akan semakin
menurun, terutama di atas 6 tahun. 3 gejala yang sering muncul yaitu hidung tersumbat,
bersin-bersin, dan pilek. Pada remaja dan dewasa jarang disertai dengan demam, tapi
kadang muncul pada balita dan anak-anak. Selain itu dapat disertai dengan batuk yang
muncul setelah pilek. Biasanya terjadi pada musim dingin atau hujan. Common cold
biasanya akan sembuh sendiri setelah satu minggu, tapi batuk mungkin akan bertahan
lebih lama. Bila common cold lebih dari satu minggu belum sembuh, dapat mengarah ke
infeksi bakteri seperti sinusitis atau alergi.

Sedangkan flu disebabkan oleh virus influenza. Sebagian besar orang mengalami
flu 2-3 kali per tahun. Tidak seperti common cold, flu menyebabkan demam pada anak-
anak maupun dewasa. Biasanya flu dimulai dengan demam, lemas dan tidak enak badan.
Selain itu juga disertai dengan batuk kering dan sakit kepala. Bersin dan pilek jarang
terjadi.

Tanda & Gejala Common Cold Flu


Demam Ringan, pada anak-anak Tinggi, bisa pada anak-anak dan
Batuk Ringan dewasa
Sakit kepala Jarang Kering, berat
Kelelahan, lemas Ringan Sering, tiba-tiba
Muntah/diare Tidak ada Dapat berlangsung lebih dari 2
Pilek Sering minggu
Bersin Sering Kadang
Nyeri tenggorokan Sering Kadang
Kadang
Kadang

PNEUMONIA PADA ANAK


1. Etiologi:
a. Noninfeksius: aspirasi, asam lambung, benda asing, hidrokarbon,
substansi lipoid, reaksi hipersensitivitas,
b. Bakteri:
i. Streptococcus pneumoniae (paling umum pada anak berusia 3
minggu sampai 4 tahun)
ii. Chlamydophila pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae paling
umum pada anak yang berusia 5 tahun atau lebih
iii. GABHS
iv. Staphylococcus aureus
v. Haemophillus influenza
vi. Salmonella
vii. Escherichia coli
viii. Pneumocystis jiroveci
c. Virus
i. Respiratory syncytial virus (RSV) dan rhinovirus paling umum
terutama pada anak yang lebih muda dari 2 tahun.
ii. Influenza virus
iii. Parainfluenza virus
iv. Adenovirus
v. Enterovirus
vi. Human metapneumovirus
Kultur yang didapatkan dari sputum anak biasanya tidak bisa
merefleksikan secara akurat penyebab dari infeksi saluran pernapasan bawah.
Sementara itu penggunaan uji diagnostik molekuler bisa mengidentifikasi bakteri
dan virus penyebab pneumonia

2. Patofisiologi
Saluran napas bawah pada keadaan normal tetap steril dengan
mekanisme perlindungan fisiologis, termasuk klirens mukosilier, sekresi dari
IgA, batuk. Trauma, anestesi, dan aspirasi.
Pneumonia viral biasanya merupakan akibat dari infeksi pada saluran
pernapasan, dibarengi dengan cedera pada epitel respirasi yang menyebabkan
obstruksi jalan napas yang diakibatkan pembengkakan, sekresi abnormal, dan
limbah seluler. Jalan napas yang lebih sempit pada balita membuatnya lebih
rentan terhadap infeksi. Infeksi viral juga dapat menyebabkan infeksi sekunder
yang diakibatkan oleh bakteri dengan cara mengganggu mekanisme perlindungan
inang, mengubah sekresi, dan memodifikasi flora bakterial.
Pneumonia bakterial paling sering terjadi karena kolonisasi di trakea dan
kemudian masuk ke paru, namun infeksi langsung ke paru juga bisa terjadi pada
kondisi bakteremia. Saat bakteri sudah berada di parenkim paru, mekanisme
terjadinya infeksi bergantung pada masing-masing bakteri.
a. S. pneumoniae menimbulkan edema lokal yang membantu proliferasi
bakteri, sering menyebabkan keterlibatan lobus fokal.
b. M. pneumoniae melekat pada epitel respirasi, menghambat mekanisme
silier, dan mengakibatkan destruksi sel dan respon inflamasi di subepitel.
Seiring dengan berjalannya infesi, limbah seluler, sel inflamasi, dan
mucus menyebabkan obstruksi jalan napas dan kemudian menyebar
sepanjang percabangan bronkial
c. S. aureus bermanifestasi dengan bronkopneumonia konfluen, yang mana
kerap unilateral dan memiliki ciri khas kehadiran area nekrosis disertai
perdarahan yang luas dan kavitasi ireguler dari parenkim paru. Hal ini
menyebabkan pneumatokel, empyema, dan fistula bronkopulmoner.
d. GABHS menyebabkan infeksi yang lebih difus dengan pneumonia
interstisial. Patologinya meliputi nekrosis mukosa trakeobronkial,
formasi eksudat dalam jumlah besar, edema, perdarahan lokal dengan
perluasan ke dalam septa interalveolar. Keterlibatan pembuluh linfatik
meningkatkan risiko keterlibatan pleura.
3. Manifestasi Klinis
a. Sering didahului oleh ISPA (rhinitis dan batuk)
b. Demam. Pada infeksi viral demam lebih rendah suhunya dibanding
bakterial.
c. Takipnea
d. Retraksi dada
e. Sianosis dan letargi pada infeksi yang parah, terutama pada balita.
f. Nyeri dada
g. Nyeri abdominal pada pneumonia di lobus paru bagian bawah.
4. Diagnosis
a. Infiltrat pada radiografi dada (PA dan lateral). Infeksi viral biasanya
ditandai dengan hiperinflasi dengan infiltrat interstisial bilateral
b. Tes diagnostik molekuler pada infeksi viral
c. Diagnosis definitif dari infeksi bakterial didapat dari kultur dari darah,
cairan pleura, atau paru. Kultur sputum memiliki nilai diagnostik yang
rendah sementara aspirasi paru perkutan jarang dilakukan karena
invasive.
5. Prognosis
a. Pada pneumonia bakterial tanpa komplikasi biasanya menunjukkan
respon terhadap terapi dalam 48-96 jam setelah inisiasi antibiotik.
b. Berbagai kemungkinan harus dipertimbangkan jika anak tidak membaik
dengan terapi antibiotik: (1) komplikasi seperti empyema, (2) resistensi,
(3) etiologi nonbakterial seperti virus dan fungus dan aspirasi dari benda
asing atau makanan, (4) obstruksi bronkhial yang disebabkan lesi
endobronchial, benda asing, atau sumbatan mucus, (5) penyakit yang
mendasari seperti imunodefisiensi, dyskinesia silier, cystic fibrosis,
sekuestrasi pulmoner, malformasi jalan napas kongenital, dan (6)
penyebab noninfeksius yang lain (termasuk bronchiolitis obliterans,
pneumonitis hipersensitivitas, pneumonia eosinofilik, aspirasi,
granulomatosis dengan poliangiitis (Wegener granulomatosis).
(Kliegman et al, 2016)
Pneumonia merupakan infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus
dan jaringan interstisial. Penyebab tersering pneumonia bakterial adalah
S.pneumoniae. virus lebih sering ditemukan pada anak <5 tahun, dan Respiratory
Syncytial Virus (RSV) merupakan penyebab tersering pada anak <3 tahun.
Mycoplasma pneumonia dan Chlamydia pneumonia lebih sering ditemukan pada
anak usia >10 tahun. Beberapa faktor risiko yang meningkatkan angka kejadian
pneumonia adalah defek anatomi bawaan, imunodefisiensi, polusi, GERD, aspirasi,
gizi buruk, terdapat anggota keluarga serumah yang menderita b/atuk, sanitasi yang
buruk, dan kamar tidur yang terlalu padat.
Diagnosis
a. Anamnesis
Bergantung pada berat ringannya infeksi, secara umum dapat ditemukan,
 Gejala infeksi umum, demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
nafsu makan, keluhan gastointestinal (mual, muntah, diare)
 Gejala respiratori, batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas
cuping hidung, air hunger, merintih, sianosis.
b. Pemeriksaan fisik
Dapat ditemukan pekak perkusi, suara napas melemah, dan terdengar
ronki. Pada neonatus dan bayi kecil, gejala pneumonia tidak selalu jelas terlihat.
Umumnya tidak ditemukan kelainan pada perkusi dan auskultasi paru.
Pernapasan tak teratur, dan hipopnea dapat ditemukan pada bayi muda.
c. Pemeriksaan penunjang
i. Pemeriksaan darah tepi lengkap, pada pneumonia viral/ Mycoplasma
leukosit normal atau sedikit meningkat. Dan pada pneumonia bakterial,
terjadi leukositosis, predominan PMN. Pada infeksi Chlamydia kadang
ditemukan eusinofilia.
ii. Foto rontgen toraks, secara umum, gambara foto toraks pada
pneumonia dapat berupa:
 Infiltrat interstisial: peningkatan corakan bronkovaskuler,
hiperaerasi
 Infiltrat alveolar (konsolidasi paru dengan air bronchogram),
disebut pneumonia lobaris bila mengenai satu lobus paru
 Bronkopneumonia: bercak-bercak infiltrat difus merata pada
kedua paru, disertai corakan peribronkial
 Penebalan peribronkial, infiltrat interstisial merata, dan
hiperinflasi cenderung terlihat pada pneuminia virus.
iii. Pemeriksaan kultur dan pewarnaan Gram sputum, direkomendasikan
pada tatalaksana anak dengan pneumonia berat.
iv. Pemeriksaan Antigen Virus, dengan atau tanpa kultur, dilakukan pada
anak usia <18 bulan
v. Analisis cairan pleura, bila terdapat efusi pleura.
vi. Pemeriksaan C-reactive protein (CRP)
Klasifikasi WHO menggunakan kriteria klinis berikut, untuk diagnosis
pneumonia pada daerah dengan keterbatasan sarana
a. Bayi berusia <2 bulan
 Pneumonia berat, napas cepat (>60 kali/menit), atau ada retraksi yang
berat
 Pneumonia sangat berat, tidak mau menetek, kejang, letargis,
demam/hipotermia, bradipnea, dan pernapasa ireguler.
b. Bayi berusia 2 bulan – 5 tahun
 Pneumonia ringan, napas cepat (>50 kali/menit) pada usia dua bulan
hingga 1 tahun, >40 kali/menit pada usia 1-5 tahun)
 Pneumonia berat, ada retraksi
 Pneumonia sangat berat, tidak dapat makan/minum, kejang, letargis,
malnutrisi.
Tata Laksana
Pada anak usia <5 tahun, amoksisilin merupakan antibiotik oral lini pertama,
alternatifnya meliputi ko-amoksiklav, eritromisin, klaritromisin, atau azitromisin.
Pada anak >5 tahun, antibiotik lini pertama adalah makrolid karena pneumonia
sering disebabkan M.pneumoniae.
1. Pneumonia ringan
 Rawat jalan
 Kotrimoksasol (4 mg TMP/KgBB/kali – 20 mg
sulfametoksazol/KgBB/kali, 2 kali sehari selama 3 hari, atau
amoksisilin 25 mg/KgBB/kali, 2 kali sehri selama 3 hari
2. Pneumonia berat
 Oksigen untuk mempertahankan saturasi >92% dipantau setiap 4
jam, bila stabil, pemberian oksigen dapat dihentikan
 Bila asupan per oral kurang, dapat diberikan cairan intravena dan
dilakukan balans cairan ketat agar tidak terjadi hidrasi berlebihan.
 Pada distress pernapasan berat, pemberian makanan per oral harus
dihindari, dapat diganti dengan NGT/ intravena dengan perhitungan
balans cairan yang ketat.
 Bila suhu >390 C dapat diberikan parasetamol
 Pemberian antibiotik lini pertama amoksisilin 50-100 mg/KgBB IV
atau IM setiap 8 jam, dan lini kedua berupa seftriakson 80-100
mg/KgBB IM atau IV satu kali sehari
Indikasi Rawat Inap
Untuk Bayi
i. Saturasi oksigen < 92%
ii. Frekuensi napas >60 kali per menit
iii. Distress pernapasan, apnea interitten, atau grunting
iv. Tidak mau makan atau menetek
v. Keluarga tidak bisa merawat di rumah
Untuk Anak
i. Saturasi oksigen < 92%
ii. Frekuensi napas >50 kali per menit
iii. Distress pernapasan, apnea interitten, atau grunting
iv. Terdapat tanda dehidrasi
v. Keluarga tidak bisa merawat di rumah
Komplikasi
 Pneumonia Staphylococcus
- Perburukan klinis yang cepat walaupun sudah diterapi
- Foto toraks: pneumotoraks dengan efusi pleura
- Apusan sputum: kokus Gram positif
- Infeksi kulit yang disertai pus/pustula yang mendukung diagnosis
 Empiema torasis, komplikasi tersering pada pneumonia barterial
 Perikarditis purulenta
 Infeksi ekstrapulmoner, misalnya meningitis purulenta
 Miokarditis (pada anak usia 2-24 bulan)

BRONKIOLITIS
Bronkiolitis adalah penyakit obstruksi akibat inflamasi akut pada bronkioli
yang terjadi pada anak <2 tahunn. Insidensi tertinggi terjadi pada usia 3-6 bulan, dan
umumnya disebabkan oleh infeksi virus. Penyebab yang paling banyak adalah
Respiratory Sensitial Virus (RSV), kira-kira 95% dari total kasus bronkiolitis akut.
Penyakit ini merupakan penyebab rawat inap tersering pada anak berusia 2-6
bulan.faktor risiko terjadinya bronkiolitis berat terdiri dari usia uda, lahir prematur,
kelainan jantung bawaan, chronic lung disease of prematurity, orang tua perokok,
berada di tempat penitipan, dan tingkat sosioekonomi rendah.
Diagnosis
a. Anamnesis
Gejala awal berupa pilek ringan, batuk, dan demam. Satu sampai dua hari
setelah gejala awal timbul, akan muncul batuk disertai sesak napas. Selanjutnya
dapat ditemukan mengi, sianosis, grunting (merintih), muntah setelah batuk,
rewel, dan penurunan nafsu makan. Batuk kering dan mengi khas untuk
bronkiolitis.
b. Pemeriksaan fisik
Dapat ditemukan demam ringan disertai takipnea, napas cuping hidung,
retraksi dinding dada, hiperinflasi dinding dada (membedakan bronkiolitis
dengan pneumonia), expiratory effort (ekspirasi memanjang, mengi).
Jika gejala memberat, dapat terjadi apnea terutama pada bayi berusia <6
minggu, bayi prematur, atau dengan berat bayu lahir rendah. Mengi disebabkan
oleh adanya obstruksi saluran napas bawah sebagai respon inflamasi akut.
c. Pemeriksaan penunjang
i. Saturasi oksigen, dilakukan pada setiap anak yang datang ke rumah
sakit dengan bronkiolitis. Bila saturasi oksigen >94% dipertimbangkan
rawat jalan
ii. Pemeriksaan darah tepi, utuk menyingkirkan etiologi lain, tidak khas
iii. Analisis gas darah, pada distress pernapasan berat dan kemungkinan
mengalami gagal napas, ada gambaran hiperkarbia karena adanya air
traping.
iv. Foto rontgen toraks, ditemukan gambaran hiperinflasi paru dan patchy
infiltrate, penigkatan diameter anteriposterior pada foto lateral. Air
trapping, diafragma datar, atelektasis.
v. Pemeriksaan rapid test antigen RSV
Tata Laksana
Umumnya tidak memerlukan pengobatan. Terapi suportif berupa pemberian
oksigen, dan nasal suction dapat dilakukan, paling baik diberikan via nasal prongs
1-2 L/menit (0,5 L/menit pada bayi muda). Pasien klinis ringan dapat rawat jalan,
sedangkan pasien dengan klinis berat harus rawat inap.
Indikasi Rawat di Ruang Intensif
vi. Gagal mempertahankan saturasi oksigen >92% dengan terapi oksigen
vii. Perburukan status pernapasan, ditandai dengan peningkatan distres
pernapasan, dan/atau kelelahan,
viii. Apnea berulang
Komplikasi
Komplikasi yang bisa terjadi seperti Acute respiratory distress syndrome
(ARDS), pneumotoraks, penyakit paru kronis, dan bronkiolitis berat pada bayi
berhubungan dengan terjadinya asma pada usia 3 tahun (Chris, 2014).

DIFTERI
Difteri adalah infeksi bakteri yang bersumber dari Corynebacterium
diphtheriae, yang biasanya mempengaruhi selaput lendir dan tenggorokan. Difteri
umumnya menyebabkan sakit tenggorokan, demam, kelenjar bengkak, dan lemas.
Dalam tahap lanjut, difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, ginjal dan
sistem saraf. Kondisi seperti itu pada akhirnya bisa berakibat sangat fatal dan berujung
pada kematian.
Tanda dan gejala
Tanda dan gejala difteri meliputi, sakit tenggorokan dan suara serak, nyeri
saat menelan, pembengkakan kelenjar (kelenjar getah bening membesar) di leher, dan
terbentuknya sebuah membran tebal abu-abu menutupi tenggorokan dan amandel, sulit
bernapas atau napas cepat, demam, dan menggigil. Tanda dan gejala biasanya mulai
muncul 2-5 hari setelah seseorang menjadi terinfeksi. Orang yang terinfeksi C.
Diphtheria seringkali tidak merasakan sesuatu atau tidak ada tanda-tanda dan gejala
sama sekali.
Orang yang terinfeksi namun tidak menyadarinya dikenal sebagai carier
(pembawa) difteri. Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai
penderita maupun sebagai carier. Tipe kedua dari difteri dapat mempengaruhi kulit,
menyebabkan nyeri kemerahan, dan bengkak yang khas terkait dengan infeksi bakteri
kulit lainnya. Sementara itu pada kasus yang jarang, infeksi difteri juga mempengaruhi
mata.
Penularan
Bakteri C.diphtheriae dapat menyebar melalui tiga rute:
1. Bersin: Ketika orang yang terinfeksi bersin atau batuk, mereka akan
melepaskan uap air yang terkontaminasi dan memungkinkan orang di
sekitarnya terpapar bakteri tersebut.
2. Kontaminasi barang pribadi: Penularan difteri bisa berasal dari barang-barang
pribadi seperti gelas yang belum dicuci.
3. Barang rumah tangga: Dalam kasus yang jarang, difteri menyebar melalui
barang-barang rumah tangga yang biasanya dipakai secara bersamaan, seperti
handuk atau mainan.
Selain itu, Anda juga dapat terkontaminasi bakteri berbahaya tersebut
apabila menyentuh luka orang yang sudah terinfeksi. Orang yang telah terinfeksi
bakteri difteri dan belum diobati dapat menginfeksi orang nonimmunized selama enam
minggu - bahkan jika mereka tidak menunjukkan gejala apapun.
Faktor risiko
Orang-orang yang berada pada risiko tertular difteri meliputi:
1. Anak-anak dan orang dewasa yang tidak mendapatkan imunisasi terbaru
2. Orang yang hidup dalam kondisi tempat tingal penuh sesak atau tidak sehat
3. Orang yang memiliki gangguan sistem kekebalan
4. Siapapun yang bepergian ke tempat atau daerah endemik difteri
Difteri jarang terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan
Eropa, karena telah mewajibkan imunisasi pada anak-anak selama beberapa dekade.
Komplikasi
Jika tidak diobati, difteri dapat menyebabkan:
1. Gangguan pernapasan
C. Diphtheriae dapat menghasilkan racun yang menginfeksi jaringan di daerah
hidung dan tenggorokan. Infeksi tersebut menghasilkan membaran putih keabu-
abuan (psedomembrane) terdiri dari membran sel-sel mati, bakteri dan zat
lainnya. Membran ini dapat menghambat pernapasan.
2. Kerusakan jantung
Toksin (racun) difteri dapat menyebar melalui aliran darah dan merusak jaringan
lain dalam tubuh Anda, seperti otot jantung, sehingga menyebabkan komplikasi
seperti radang pada otot jantung (miokarditis). Kerusakan jantung akibat
miokarditis muncul sebagai kelainan ringan pada elektrokardiogram yang
menyebabkan gagal jantung kongestif dan kematian mendadak.
3. Kerusakan saraf
Toksin juga dapat menyebabkan kerusakan saraf khususnya pada tenggorokan, di
mana konduksi saraf yang buruk dapat menyebabkan kesulitan menelan. Bahkan
saraf pada lengan dan kaki juga bisa meradang yang menyebabkan otot menjadi
lemah. Jika racun ini merusak otot-otot kontrol yang digunakan untuk bernapas,
maka otot-otot ini dapat menjadi lumpuh. Kalau sudah seperti itu, maka
diperlukan alat bantu napas.
Dengan pengobatan, kebanyakan orang dengan difteri dapat bertahan dari
komplikasi ini, namun pemulihannya akan berjalan lama.
Perawatan dan obat-obatan
Difteri adalah penyakit yang serius. Para ahli di Mayo Clinic, memaparkan,
ada beberapa upaya pengobatan yang dapat dilakukan diantaranya:
1. Pemberian antitoksin: Setelah dokter memastikan diagnosa awal difteri, anak
yang terinfeksi atau orang dewasa harus menerima suatu antitoksin.
Antitoksin itu disuntikkan ke pembuluh darah atau otot untuk menetralkan
toksin difteri yang sudah terkontaminasi dalam tubuh. Sebelum memberikan
antitoksin, dokter mungkin melakukan tes alergi kulit untuk memastikan
bahwa orang yang terinfeksi tidak memiliki alergi terhadap antitoksin. Dokter
awalnya akan memberikan dosis kecil dari antitoksin dan kemudian secara
bertahap meningkatkan dosisnya.
2. Antibiotik: Difteri juga dapat diobati dengan antibiotik, seperti penisilin atau
eritromisin. Antibiotik membantu membunuh bakteri di dalam tubuh dan
membersihkan infeksi. Anak-anak dan orang dewasa yang telah terinfeksi
difteri dianjurkan untuk menjalani perawatan di rumah sakit untuk perawatan.
Mereka mungkin akan diisolasi di unit perawatan intensif karena difteri dapat
menyebar dengan mudah ke orang sekitar terutama yang tidak mendapatkan imunisasi
penyakit ini.

PERTUSIS
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent
cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Pertusis adalah penyakit infeksi akut
yang menyerang saluran pernapasan yang disebabkan oleh Bordetella pertussis,
bakteri Gram-negatif berbentuk kokobasilus. Organisme ini menghasilkan toksin yang
merusak epitel saluran pernapasan dan memberikan efek sistemik berupa sindrom
yang terdiri dari batuk yang spasmodik dan paroksismal disertai nada mengi karena
pasien berupaya keras untuk menarik napas, sehingga pada akhir batuk disertai bunyi
yang khas.
Sampai saat ini manusia dikenal sebagai satu-satunya tuan rumah dan
penularannya melalui udara secara kontak langsung dari droplet penderita selama
batuk. Merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat
menimbulkanattack rate sebesar 80-100% pada penduduk yang rentan, dengan
pertama kali dikenali pada abad pertengahan (tahun 1640) oleh Guillaume de Baillou
dan isolasi B. pertussis sebagai etiologi dilaporkan oleh Bordet dan Gengou pada
tahun 1906.
Epidemiologi
Pada masa pravaksin, pertusis menyerang anak prasekolah. Kurang dari 10%
kasus terjadi pada bayi usia <1 tahun. Setelah mulai dilakukan imunisasi (tahun 1940),
kejadian pertusis menurun drastis, dari 200.000 kasus/tahun menjadi 1.010 kasus pada
tahun 1976. Sejak itu, imunisasi pertusis dianggap memiliki kemampuan perlindungan
seumur hidup, sehingga tidak perlu diproduksi vaksin pertusis untuk usia >7 tahun.
Mulai tahun 1980 ditemukan peningkatan kejadian pertusis pada bayi, usia
11-18 tahun, dan dewasa, dengan cakupan imunisasi pertusis rutin yang luas. Centers
of Disease Control and Prevention (CDC) (tahun 2004) melaporkan 25.827 kasus
pertusis di AS, suatu angka yang tinggi sejak tahun 1950-an dengan proporsi 35%
kejadian pada usia 11-18 tahun (30 per 100.000). Angka yang jauh lebih tinggi
diperlihatkan oleh sebuah penelitian prospektif terhadap individu dengan gejala batuk
paroksismal atau batuk yang menetap >7 hari, ternyata didapatkan perkiraan insidens
pertusis pada remaja sekitar 997 per 100.000.
Kejadian luar biasa pertusis dialami Massachusett (1996) dengan 67% kasus
berusia 10-19 tahun, kemudian Wisconsin (2002-2003) sebesar 313 kasus dengan 70%
berusia 10-19 tahun.
Remaja merupakan reservoir B. Pertussis dan menjadi sumber penularan
pertusis bagi bayi kecil, golongan risiko tinggi untuk mengalami komplikasi pertusis,
menjalani perawatan di Rumah Sakit, dan mengalami kematian. Sebuah studi kasus-
kontrol menunjukkan adanya faktor risiko terjadinya pertusis pada bayi saat timbulnya
kejadian luar biasa di Chicago. Rasio odds sebesar 7,4 bila usia ibu 15-19 tahun dan
13,9 bila ibu batuk >7 hari. Hal yang menarik disimpulkan dari penelitian tersebut,
bahwa usia ibu yang lebih tua tidak dapat teridentifikasi sebagai faktor risiko
terjadinya pertusis.
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan
penyakit ini berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini
dapat berlangsung dalam tiga stadium, yaitu stadium kataralis (prodromal,pra
paroksismal), stadium akut paroksismal (spasmodik), dan stadium konvalesens.
Manifestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik, usia, dan status imunisasi.
Pertusis pada remaja dapat dikenali dengan gejala sebagai berikut: 72-
100% batuk paroksismal, susah tidur dan sesak, 50-70% muntah setelah abtuk, 30-
65% mengalami whoop, 1-2% rawat inap karena pneumonia atau fraktur tulang iga,
dan 0,2-1% kejang atau penurunan kesadaran. Laporan dari Kanada menunjukkan
manifestasi batuk hingga >3 minggu bahkan 47% mengalami batuk >9 minggu. Di
AS, rata-rata batuk akibat pertusis 3,4 bulan setelah munculnya gejala. Sehingga
bukanlah hal yang jarang, bila petugas kesehatan terlambat mengenali pertusis pada
remaja. Beberapa penelitian prospektif memperlihatkan bahwa bila remaja berobat
akibat batuk nonspesifik >1 minggu, kemungkinan akibat pertusis sekitar 13-20%
dengan hampir 20% tidak memperlihatkan manifestasi paroksismal, whoop, atau
muntah setelah batuk. Dengan demikian, remaja diyakini memiliki peranan penting
pada penyebaran pertusis pada bayi baru lahir dan anak. Kesulitan mengenali gejala
pada awal timbulnya penyakit, meningkatkan angka penularan dan keterlambatan
memberikan profilaksis.
Berikut ini adalah gejala klasik dari pertusis:
1. Stadium kataralis (1-2 minggu)
Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu
timbulnya rinore dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva,
lakrimasi, batuk ringan, dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya
diagnosis pertusis belum dapat ditegakkan karena sukar dibedakan
dengan common cold. Sejumlah besar organisme tersebar dalam droplet dan anak
sangat infeksius, pada tahap ini kuman mudah diisolasi
2. Stadium paroksismal/stadium spasmodik
Frekuensi dan derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan 5-10 kali
batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang
mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop), udara yang dihisap
melalui glotis yang menyempit. Pada remaja, bunyi whoop sering tidak terdengar.
Selama serangan wajah merah dan sianosis, mata menonjol, lidah menjulur,
lakrimasi, salivasi, dan distensi vena leher bahkan sampai terjadi petekia di wajah
(terutama di konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi
sampai mucous plug pada saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk
paroksismal cukup khas, sehingga seringkali menjadi kecurigaan apakah anak
menderita pertusis walaupun tidak disertai bunyi whoop.
3. Stadium konvalesens ( 1-2 minggu)
Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah
dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk
biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2-3
minggu. Pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksismal kembali.
Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan
dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat kontak
dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan
bunyi whoop yang jelas. Perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi. Gejala
klinis yang didapat pada pemeriksaan fisis tergantung dari stadium saat pasien
diperiksa.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000-50.000/μL
dengan limfosistosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium
paroksismal. Pada bayi jumlah lekositosis tidak menolong untuk diagnosis, oleh
karena respons limfositosis juga terjadi pada infeksi lain. Isolasi B. pertussis dari
sekret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis pertusis pada media khusus
Bordet-gengou. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium
paroksismal 94% pada minggu ke-3, dan menurun sampai 20% untuk waktu
berikutnya.
Dengan metode PCR yang lebih sensitif dibanding pemeriksaan kultur untuk
mendeteksi B. pertussis, terutama setelah 3-4 minggu setelah batuk dan sudah
diberikan pengobatan antibiotik. PCR saat ini merupakan pilihan yang paling tepat
karena nilai sensitivitas yang tinggi, namun belum tersedia. Tes serologi berguna pada
stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada individu dengan
biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum
terhadap FHA dan PT. Nilai IgM serum FHA dan PT menggambarkan respons imun
primer baik disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan
tes yang paling sensitif dan spesifik untuk mengetahui infeksi alami dan tidak tampak
setelah imunisasi pertusis. Pemeriksaan lainnya yaitu foto toraks dapat
memperlihatkan infiltrat perihiler, atelektasis, atau empisema.

CROUP
Sindroma croup adalah sindrom klinis yang ditandai dengan suara serak,
batuk menggonggong, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya stres pernapasan.
Sindrom croup atau laringotrakeobronkitis akut disebabkan oleh virus yang
menyerang saluran respiratori atas. Virus yang paling sering menyebabkan sindroma
croup ini biasanya adalah Para-influenza tipe 1 virus (HPIV-1) (Rahajoe et al., 2008).
Gejala klinis di awali dengan suara serak, batuk menggonggong dan stridor
inspiratoir. Bila terjadi obstruksi stridor menjadi makin berat, tetapi dalam kondisi
yang sudah payah stridor melemah. Dalam waktu 12-48 jam sudah terjadi gejala
obstruksi saluran napas atas. Pada beberapa kasus hanya didapati suara serak dan
batuk menggonggong, tanpa obstruksi napas. Keadaan ini akan membaik dalam waktu
3 sampai 7 hari. Pada kasus lain terjadi obstruksi napas yang makin berat, ditandai
dengan takipneu, takikardia, sianosis dan pernapasan cuping hidung. Pada
pemeriksaan toraks dapat ditemukan retraksi supraklavikular, suprasternal, interkostal,
epigastrial (Rahajoe et al., 2008)
Bila anak mengalami hipoksia, anak tampak gelisah, tetapi jika hipoksia
bertambah berat anak tampak diam, lemas, kesadaran menurun. Pada kondisi yang
berat dapat menjadi gagal napas. Pada kasus yang berat proses penyembuhan terjadi
setelah 7-14 hari1. Anak akan sering menangis, rewel, dan akan merasa nyaman jika
duduk di tempat tidur atau digendong (Rahajoe et al., 2008).
Tatalaksana
Diagnosis etiologi pneumonia sangat sulit untuk dilakukan, sehingga
pemberian antibiotik diberikan secara empirik sesuai dengan pola kuman tersering
yaitu Streptococcus pneumonia dan H. influenza. Pemberian antibiotik sesuai
kelompok umur. Untuk umur dibawah 3 bulan diberikan golongan penisilin dan
aminoglikosida. Untuk usia > 3 bulan, pilihan utama adalah ampisilin dipadu dengan
kloramfenikol. Bila keadaan pasien berat atau terdapat empiema, antibiotik adalah
golongan sefalosporin. Antibiotik parenteral diberikan sampai 48-72 jam setelah panas
turun, dilanjutkan dengan pemberian per oral selama 7 – 10 hari. Bila diduga
penyebab pneumonia adalah S.aureus, kloksasilin dapat segera diberikan. Bila alergi
terhadap penisilin dapat diberikan cefazolin, klindamisin, atau vancomycin. Lama
pengobatan untuk Stafilokokus adalah 3 – 4 minggu
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Pada skenario kasus I diketahui bahwa pasien datang dengan keluhan


batuk pilek mengindikasikan dugaan pasien menderita common cold. Selain itu,
hasil pemeriksaan fisik yang didapat menunjukkan adanya demam serta
peningkatan laju pernafasan. Hal ini semakin menguatkan bahwa pasien
menderita common cold yang disebabkan oleh virus. Penatalaksaan pada kasus I
ini, karena penyakit ini disebabkan oleh virus sehingga terapinya berupa self
limitting. Selain itu, untuk mengurang keluhan batuk dapat diberikan antitusif
serta demam dapat diberikan antipiretik.

Pada skenario kasus II diketahui bahwa pasien mengeluh batu pilek


dengan dahak putih mengindikasikan adanya proses inflamasi atau infeksi pada
sistem pernafasan. Ditambah lagi hasil pemeriksaan fisik yang menunjukkan
adanya demam serta peningkatan laju pernafasan. Hal ini mengindikasikan
bahwa pasien menderita pneumonia akut. Hal ini diperkuat dengan pasien yang
sulit bernafas serta adanya retraksi dinding dada. Penatalaksanaan yang diberikan
bergantung pada hasil pemeriksaan penunjang. Akan tetapi, sebaiknya ketika
menunggu hasil pemeriksaan penunjang maka pasien dapat diberikan terapi
simptomatik berupa antitusif serta antipiretik. Dikarenakan pneumonia terbanyak
disebabkan oleh bakteri maka dapat diberikan antibiotik.

B. SARAN

1. Sebaiknya untuk pasien kasus I dapat diberikan terapi simptomatik. Untuk


kasus II dapat diberikan terapi simptomatik terlebih dahulu serta diberikan
oksigen untuk menghindari adanya syok sebelum dirujuk ke spesialis anak.
2. Sebaiknya peserta diskusi lebih mendalami materi yang akan didiskusikan
agar diskusi lebih lancar.
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. Dyspnea: How to Assess and Palliate Dyspnea (Air-Hunger). 2006.


Diunduh dari: http://summit.stanford.edu/pcn/M07_Dyspnea/pathophys.html.
akses pada tanggal 22 Maret 2016.

Behrman. 1999. NELSON: IlmuKesehatan Anak. Jakarta: EGC

Hassan, R. Husein A. 1998. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Penerbit FK UI

Kliegman, R.B., et al. (2016) Nelson Textbook of Pediatrics, 20th ed. Philadelphia:
Elsevier.

Manning HL, Schwartzstein RM, Epstein FH [editor]. Pathophysiology of Dyspnea. N


Engl J Med 1995; 333:1547-1553.

Matondang, C. Wahdiyat, I. Sastroasmoro, S. 2003. Diagnosis Fisik pada Anak. Jakarta:


Sagung Seto.

MIMS. (2015) MIMS Drug Information System. Dibuka 24 Februari 2016.


http://www.mims.com/indonesia

Sari Pediatri, Vol. 6, No. 2, September 2004: 64-70. “Batuk Kronik pada Anak : masalah
dan tatalaksana

Sherwood,L (2008). Human physiology : From cells to systems, 7th edition. Philadelphia
: Lippincott Williams and Wilkins.

Tanto, Chris., et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran, Esssentials of Medicine Edisi IV.
Jakarta: Media Aesculapius.
LAPORAN TUTORIAL
BLOK PEDIATRI SKENARIO 2
“Anakku batuk dan sulit bernafas”

KELOMPOK 12
AULIA ULFAH M. D. G0013048
HUMAMUDDIN G0013114
LAILA NINDA SHOFIA G0013132
MUFTI AKBAR G0013156
NI’MATUL MUFIDAH G0013174
NUZULA CHAFIDH G0013184
OKTANIA IMAS W. G0013186
RABBANI ICKSAN M. G0013192
SALMA ROMNALIA A. G0013212
SILVIA HENI MORENA G0013218
YUSUF RYADI G0013242
ZAFIRA AULIA RAHMA G0013244

TUTOR: Atik Maftuhah, dr.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2016

Anda mungkin juga menyukai