Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara global, neonatal jaundice adalah kondisi yang tidak dapat

dicegah pada > 60% neonatus sebagai suatu kondisi fisiologis dalam minggu

pertama postnatal yang umumnya tidak membahayakan, namun 5 – 25% dapat

berupa jaundice patologis (Greco, et al., 2015; Hossain, et al., 2015). Ikterus

neonatorum dapat memberat menjadi acute atau chronic bilirubin

encephalopathy (ABE atau CBE) atau kern icterus dengan resiko mortalitas

yang tinggi, dapat juga mengalami sequelae neurodevelopmental jangka

panjang, seperti palsi serebral, gangguan pendengaran sensorineural, gangguan

kecerdasan dan keterlambatan perkembangan (Greco, et al., 2015; Olusanya,

Osibanjo, & Slusher, 2015). ABE , CBE, dan sequelae neurologis jangka

panjang dapat dicegah dengan identifikasi dini dan penanganan adekuat

terhadap ikterus nenatorum (Greco, et al., 2015).

Beban dalam aspek kesehatan oleh karena hiperbilirubinemia neonatal

secara signifikan didominasi negara berpendapatan rendah dan sedang, di

antaranya meliputi Afrika Sub-Saharan dan Asia Selatan yang berkontribusi

1,1 juta bayi dengan hiperbilirubinemia berat per tahun (Olusanya, Osibanjo,

& Slusher, 2015). Sebuah studi melaporkan prevalensi ikterus neonatorum

berat (Total Serum Bilirubin (TSB) > 20 mg/dL) dan ABE pada 8 Rumah Sakit

di 3 Daerah di Indonesia sebesar 6,8% dan 2,2% secara berturut-turut, berujung


pada case fatality ratio (CFR) sebesar 24,2% dan 74,9% secara berturut-turut,

yang sebagian besar terjadi di lokasi terpencil di mana hanya terdapat sumber

daya minimal untuk penanganan ikterus neonatorum (Greco, et al., 2015).

Pemahaman mengenai ikterus neonatorum, meliputi identifikasi secara klinis,

patofisiologi, profil laboratorium dan pemeriksaan penunjang, terapi,

prognosis dan komplikasi penting dalam menurunkan beban kesehatan oleh

ikterus neonatorum.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah definisi dari ikterus neonatorum?

2. Bagaimanakah patofisiologi ikterus neonatorum?

3. Bagaimanakah fitur-fitur klinis ikterus neonatorum?

4. Bagaimanakah profil pemeriksaan penunjang ikterus neonatorum?

5. Bagaimanakah manajemen ikterus neonatorum secara medis?

6. Bagaimanakah prognosis dan komplikasi yang dapat terjadi pada ikterus

neonatorum?

C. Tujuan

1. Memahami definisi dari ikterus neonatorum.

2. Memahami patofisiologi ikterus neonatorum.

3. Memahami fitur-fitur klinis ikterus neonatorum.

4. Mengetahui profil pemeriksaan penunjang ikterus neonatorum.

5. Memahami manajemen ikterus neonatorum secara medis.


6. Memahami prognosis dan komplikasi yang dapat terjadi pada ikterus

neonatorum.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Ikterus Neonatorum

Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit

dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu

bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi

bilirubin serum >5 mg/dL. Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila

serum bilirubin >2mg/dL. Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis

berupa pewarnaan kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih

mengacu pada gambaran kadar bilirubin serum total.

B. Patofisiologi

Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%)

terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari

senyawa lain seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks

haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah.

Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan

untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan

tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam

air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin

dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air.

Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati ,hepatosit
melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan larutnya air dengan

mengikat bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk). Dalam

bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem

empedu untuk diekskresikan.

Saat masuk ke dalam usus ,bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon

menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan

diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus

melalui jalur enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke

hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam empedu

untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik

ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama urin.

Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl. Ikterus akan

muncul pada dewasa bila serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang baru

lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl Hiperbilirubinemia dapat

disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan hati

normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati(karena

rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah

normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga

akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin

tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu

(sekitar 2-2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang

kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice.


C. Gejala Klinis

Ikterus dapat diklasifikasikan menjadi ikterus fisiologis dan patologis.

Ikterus fisiologis ditandai keadaaan umum bayi toleransi minum baik, berat

badan naik, dan kuning m,enghilang pada minggu 1-2 pasca kelahiran.

Sedangkan ikterus patologis memiliki ciri:

1. Dimulai sebelum usia 24 jam

2. Peningkatn bilirubin serum >5 mg/dL/24 jam atau kadar bilirubin

terkonjugasi >2 mg/dL (>20% bilirubin total)

3. Disertai demam atau tanda sakit (muntah, lethargi, kesulitan minum,

penurunan berat badan, asfiksia, apnea, takipnea, instabilitas)

4. Ikterus pada bayi berat lahir rendah

5. Ikterus pada neonatus kurang bulan (telapak tangan dan kaki bayi kuning)

6. Menetap >2 minggu

D. Pemeriksaan Fisik

Inspeksi warna kuning pada kulit, konjungtiva dan mukosa serta warna

feses (dempul) dan urine (coklat tua). Ikterus terbaik dilihat dari cahaya

matahari dengan meregangkan daerah kulit yang diperiksa, dan perkiraan kadar

bilirubin dilihat dengan rumus Kramer (Tabel II.D.1)

Periksa tanda-tanda dehidrasi, lethargi (sepsis), pucat (anemia

hemolitik), trauma lahir, ptekie, mikrosefali (kelainan kongenital),

hepatosplenomegali, hipotiroiudisme, atau massa abdomen (duktus

koleodokus).
Tabel II.D.1. Rumus Kramer untuk Total Cutaneus Billirubin (TcB)

Rata-rata serum bilirubin


Zona Bagian Tubuh yang Kuning
indirek

1 Kepala dan leher 100 µmol/L (6 mg/dL)

2 Pusat – leher 150 µmol/L (9 mg/dL)

3 Pusat – paha 300 µmol/L (12 mg/dL)

4 Lengan dan tungkai 250 µmol/L (15 mg/dL)

5 Tangan dan kaki >250 µmol/L (>15 mg/dL)

E. Pemeriksaan Penunjang

Bilirubin total dan direk bila curiga kolestasis atau ikterus menetap >2

minggu, darah perifer lengkap dan hapusan darah tepi (morfologi eritrosit),

golongan darah, uji Coombs bila dicurigai inkompabilitas ABO, kadar enzim

G6PD, uji fungsi hati, urinalis. Pemeriksaan penunjang ikterus neonatorum

secara ringkas tertera di Tabel II.D.2.

F. Penatalaksanaan dan Terapi

Ikterus neonatal yang muncul pada hari pertama postnatal atau

dengan kadar TSB yang mencapai ambang batas transfusi tukar adalah

emergensi medis. (Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guidelines

Program, 2017)

Tabel II.D.2. Pemeriksaan Penunjang Icterus Neonatorum


Waktu Diagnosis Banding Anjuran Pemeriksaan

Hari ke-1 Infeksi intrauterin, sferositosis, Kadar bilirubin, Hb,

penyaklit hemolitik golongan darah ibu dan

bayi, uji coombs,

hematokrit, darah perifer

lengkap

Hari ke-2 Infeksi, fisiologis, keadaan hari 1 Seperti hari pertama,

yang terlambat muncul ditambah: darah tepi,

biakan darah/urin, pungsi

lumbal (atas indikasi)

Hari ke-3 fisiologis Urinalis pancaran tengah,

s/d 5 darah tepi, golongan darah,

dan uji Coombs (pada

kecurigaan hemolitik)

>5 hari, Infeksi, anemia hemolitik, kuning Pemeriksaan darah dan

atau karena ASI, obat-obatan, urin, sesuai dugaan

menetap galaktosemia, hipotiroid, penyebab.

>10 hari fibrosiskistik, ikterus obstruktif.

Penanganan ikterus neonatorum meliputi penanganan terhadap kondisi

hiperbilirubinemia, dan terhadap kondisi patologis yang mendasarinya.

Modalitas penanganan hiperbilirubinemia pada ikterus neonatorum meliputi

fototerapi, transfusi tukar, dan terapi farmakologis adjungtif. Selain itu, hidrasi
adekuat penting dipertimbangkan pada kasus ikterus neonatorum dengan kadar

bilirubinemia sedang hingga tinggi. Pada bayi yang berusia ≥ 12 jam dengan

kadar TSB tidak lebih dari 50 mikromol/L di bawah ambang batas fototerapi,

pemeriksaan total serum bilirubin (TSB) diulang dalam 6 – 24 jam sesuai

indikasi klinis. (Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guidelines

Program, 2017)

1. Fototerapi

Fototerapi terkontraindikasi pada kondisi porfiria kongenital atau

riwayat keluarga porfiria, atau penggunaan zat atau obat photosensitizing

konkomitan. (Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guidelines

Program, 2017)

Fototerapi dimulai jika mencapai ambang batas indikasi fototerapi

pada grafik fototerapi berdasarkan usia gestasional bayi dan berat tubuh

bayi seperti yang tertera pada Gambar II.F.1 - 6. Efikasi fototerapi pada

penanganan ikterus neonatorum dipengaruhi beberapa faktor, meliputi

etiologi dan keparahan ikterus, jenis sumber cahaya (hijau-biru (~460 –

490 nm) efektif, namun biru khusus (~460 nm) paling efektif), dosis

fototerapi, jarak sumber cahaya dengan pasien (sesuai instruksi

penggunaan), luas permukaan tubuh bayi yang terpapar fototerapi (bisa

ditingkatkan dengan menggunakan alas fiber optik atau matras light-

emitting diode (LED) di bawah bayi, dan dengan menyingkirkan popok

bila peningkatan ikterus refrakter), dan cahaya fototerapi sebaiknya tegak


lurus terhadap permukaan inkubator untuk meminimalkan pemantulan.

(Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guidelines Program, 2017)

Selama fototerapi, bila TSB menurun atau cenderung tidak naik

signifikan dalam 12 – 24 berikutnya, pemeriksaan TSB dilakukan tiap 12

– 24 jam. Jika TSB stabil atau menurun setelah 24 jam fototerapi,

pemeriksaan TSB dilakukan tiap 24 jam. Frekuensi pemeriksaan TSB

ditingkatkan sesuai indikasi klinis (pertimbangkan pemeriksaan TSB tiap

4 – 6 jam pada kadar TSB yang meningkat, dilakukan hingga kadar TSB

stabil). Sinar fototerapi perlu diinaktivasi ketika pengambilan darah

dilakukan. Dilakukan monitoring temperatur tiap jam dalam 4 jam

pertama, lalu tiap 4 – 6 jam. Diperlukan modalitas monitoring saturasi dan

apnea apabila menggunakan terapi sinar biru konvensional yang akan

mempersulit observasi visual terhadap ada tidaknya sianosis. (Queensland

Maternity and Neonatal Clinical Guidelines Program, 2017)

Fototerapi kontinu multipel dilakukan jika TSB meningkat > 8,5

mikromol/L/jam, < 50 mikromol/L dari ambang batas indikasi transfusi

tukar, atau refrakter terhadap fototerapi tunggal. Fototerapi kontinu

multipel dapat dikurangi menjadi fototerapi tunggal jika TSB ≥ 50

mikromol/L di bawah ambang batas indikasi transfusi tukar. (Queensland

Maternity and Neonatal Clinical Guidelines Program, 2017)

Sarana fototerapi pada bayi dengan usia gestasional ≥ 37 minggu

menggunakan sinar biru konvensional (berhubungan dengan penurunan

TSB lebih besar, dan durasi fototerapi lebih singkat), overhead LED atau
modalitas fototerapi lainnya lebih dipilih daripada fototerapi fiberoptik

sebagai penanganan lini pertama. Pada bayi preterm, fototerapi dini

berkaitan dengan TSB puncak yang lebih rendah, dan fototerapi cenderung

lebih lama bila menggunakan fototerapi konvensional. (Queensland

Maternity and Neonatal Clinical Guidelines Program, 2017)

Diperlukan eyepatch untuk perlindungan retina imatur, yang dapat

dilepas saat pemberian makan atau perawatan mata dan diganti tiap hendak

memulai fototerapi. (Queensland Maternity and Neonatal Clinical

Guidelines Program, 2017)

Diperlukan monitoring hidrasi. Menyusui dilakukan tiap 3 – 4 jam

atau sesuai usia (bayi dibangunkan bila perlu), dan bila perlu, disertai

asupan tambahan apabila terdapat penurunan berat badan berlebihan (eg:

> 12% berat badan bayi pada bayi yang menyusui), tanda hipovolemia atau

dehidrasi, dan output feses < 3 feses kecil per hari. Asupan tambahan,

sesuai informed consent, menggunakan expressed breast milk (EBM)

maternal paling dipilih, dapat juga menggunakan susu formula, dapat

diberikan secara intragastrik sesuai, dan pada kasus berat dapat juga

dibutuhkan terapi intravena. (Queensland Maternity and Neonatal Clinical

Guidelines Program, 2017)

Efek samping fototerapi perlu diperhatikan, meliputi insensible

water loss (cenderung lebih sering pada fototerapi konvensional daripada

LED), hipermotilitas intestinal (terkait distensi abdomen, berak cair, dan

diare), fotosensitivitas, sindroma bayi perunggu (dapat terjadi pada bayi


dengan kolestasis) yang bisa namun jarang disertai purpura dan erupsi

bulosa, dan rebound jaundice yang dapat terjadi setelah penghentian

fototerapi. (Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guidelines

Program, 2017)

Fototerapi dihentikan jika TSB > 50 mikromol/L di bawah ambang

batas indikasi fototerapi. Dilakukan pemeriksaan ada tidaknya rebound

jaundice dengan pemeriksaan TSB tiap 12 – 24 jam setelah penghentian

fototerapi. Faktor resiko rebound jaundice berat meliputi prematuritas,

penyakit hemolitik, dan fototerapi selama hospitalisasi postnatal.

(Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guidelines Program, 2017)

2. Transfusi Tukar

Transfusi tukar dilakukan bilai kadar TSB mencapai ambang batas

indikasi transfusi tukar dan diduga tidak akan menurun di bawah ambang

batas tersebut dalam 6 jam dengan fototerapi kontinu multipel, atau jika

ada tanda ensefalopati bilirubin (disarankan untuk segera transfusi

tukar). Ambang batas TSB indikasi transfusi tukar tertera pada Gambar

II.F.1 – 6. (Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guidelines

Program, 2017)

Selama persiapan transfusi tukar, diperlukan konsultasi manajemen

pasien dengan Spesialis Anak, pelaksanaan fototerapi kontinu multipel,

pertimbangan penggunaan Intravenous Immunoglobulin (IVIg),

pertimbangan pengambilan darah untuk investigasi etiologi langka

hiperbilirubinemia berat (tidak berguna bila dilakukan setelah transfusi


tukar). Diskusi dengan orang tua atau carer, memastikan bahwa informasi

mengenai alasan pertimbangan terapi transfusi tukar, kemungkinan durasi

terapinya, kemungkinan efek sampingnya, kapan bayi dapat ditemui dan

boleh diajak interaksi kembali, dan perlunya admisi ke perawatan intensif.

(Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guidelines Program, 2017)

Efek samping transfusi tukar dapat meliputi trombositopenia,

hipokalsemia, malfungsi kateter, hipotensi, trombosis vena, hipokalemia,

hipoglikemia, vasospasme, apnea, bradikardia, sianosis, dan necrotizing

enterocolitis. (Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guidelines

Program, 2017)

3. Terapi Adjungtif Farmakologis

Terapi adjungtif farmakologis di antaranya meliputi penggunaan

IVIg, phenobarbitone, dan ursodeoxycholic acid (Ullah, Rahman, &

Hedayati, 2016; Wong, et al., 2014).

Pemberian IVIg (Intravenous Immunoglobulin) (500 mg/kg dalam

4 jam) pada bayi sebagai adjungtif terhadap fototerapi kontinu multipel

pada kasus penyakit hemolitik rhesus atau ABO ketika TSB meningkat >

8,5 mikromol/L/jam yang refrakter terhadap fototerapi kontinu multipel

(Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guidelines Program, 2017).

IVIg telah dikemukakan menghentikan hemolisis dengan memblok

receptor Fc sehingga mencegah pengikatan antibodi ke antigen pada sel

darah merah (Mundy & Bhatia, 2015).


Phenobarbitone memperbaiki konjugasi, ekskresi, dan hepatic

uptake bilirubin sehingga membantu menurunkan kadar TSB (Ullah,

Rahman, & Hedayati, 2016).

Ursodeoxycholic acid meningkatkan aliran empedu dan membantu

menurunkan kadar TSB (Wong et al., 2014).

G. Prognosis dan Komplikasi

Perparahan ikterus neonatorum menjadi ensefalopati bilirubin sangat

dapat dicegah dan berprognosis sangat baik (dengan sedikit atau tanpa resiko

sequealae neurodevelopmental), namun kemungkinan akan sukar apabila

didasari oleh sepsis atau hemolisis akut, dengan cara yang meliputi identifikasi

bayi dengan peningkatan resiko hiperbilirubinemia berat, dan manajemen dini

dan adekuat (Greco, et al., 2015; Kuzniewicz, et al., 2014; Wong, et al., 2014).

Faktor-faktor resiko terjadinya hiperbilirubinemia signifikan

(mengindikasi terapi) dan neuropati bilirubin meliputi kadar bilirubin serum >

340 mikromol/L pada bayi dengan usia gestasional ≥ 37 minggu, peningkatan

bilirubin secara cepat (> 8,5 mikromol/L/jam), dan tanda klinis ensefalopati

bilirubin, hipoalbuminemia, komorbiditas (eg: sepsis, asfiksia, dan asidosis),

selain itu juga primiparitas (OR, 6,42), inkompatibilitas ABO (OR 4,01),

penyakit hemolitik rhesus (OR 20,63), defisiensi G6PD (OR 8,01),

polimorfisme UGT1A1 (OR 4,92), preterm (OR 1,71), berat badan rendah atau

penurunan berat badan (OR, 6,26), sepsis (OR 9,15), bilirubin transkutan atau

total yang tinggi (OR 1,46), riwayat saudara kandung terindikasi fototerapi,

ikterus makroskopik dalam 24 jam pertama postnatal, dan keinginan ibu untuk
memberikan ASI eksklusif (ASI tetap dilanjutkan meskipun ikterus) (National

Institute of Health and Care Excellence, 2016; Queensland Maternity and

Neonatal Clinical Guidelines Program, 2017; Olusanya, Osibanjo, & Slusher,

2015).

Faktor-faktor resiko ikterus patologis juga meliputi Gilbert’s Syndrome,

Criggler-Najjar Syndrome, defisiensi piruvate kinase, defisiensi hexokinase,

defek struktural RBC (eg: sferositosis dan eliptositosis), polisitemia,

penggunaan obat tertentu (eg: streptomisin, kloramfenikol, sulfisoxazole), dan

gangguan metabolik tertentu (eg: hipotiroidisme, galaktosemia) (Khalid,

Qadir, & Salat, 2015).

Komplikasi berupa kernikterus akan berdampak ireversibel dengan

gejala yang menetap seumur hidup (di antaranya meliputi letargi, paralisis otot

okular, retardasi mental, kejang, dystonia, dan bahkan kematian), di mana 60%

penderita tidak mampu berjalan, 36% mengalami retardasi mental berat, 12%

membutuhkan feeding tube, 56% mengalami gangguan pendengaran berat, dan

sering pula ditemukan apnea yang dapat memberat secara akut (makin rendah

usia kehamilan, makin sering ditemukan), serta bagi penderita yang selamat,

dapat mengalami koreoatetosis bilateral dengan spasme otot involunter, dan

gangguan neurodevelopmental lain seperti hipotonia, balismus, tremor,

gangguan pendengaran sensorineural (beberapa kasus didapatkan remisi pada

1 tahun follow-up) dan hambatan kemampuan motorik, serta akan rentan

terhadap ensefalopati bilirubin dan bergantung pada fototerapi seumur hidup

yang dapat berlangsung 6 – 12 jam per hari untuk keselamatannya (Amin,


Bhutani, & Watchko; 2014; Wells, Ahmed, & Musser, 2013; Khalid, Qadir, &

Salat, 2015; Yueh, et al., 2016).

H. KIE

Ikterus adalah hal yang sering ditemukan pada neonatus, dan dapat terjadi pada

semua neonatus, yang tampak sebagai diskolorasi kekuningan pada kulit dan sklera

mata bayi yang muncul biasanya 2 – 4 hari postnatal yang dapat ekstensi ke

ekstremitas. Beberapa bayi yang lebih beresiko mengalami ikterus adalah bayi yang

lahir sebelum 38 minggu usia kehamilan, susah menyusu, mengalami memar, infeksi,

riwayat saudara kandung yang mengalami ikterus, atau bergolongan darah berbeda

dengan ibunya. Pada sebagian besar bayi, ini adalah proses normal, dan tidak

membahayakan, dan menghilang dalam 1 – 2 minggu atau 3 minggu jika bayi

prematur tanpa memerlukan suatu penanganan khusus. Ikterus neonatorum jarang

bersifat berat, namun, meskipun berat atau tidak, bila tidak ditangani akan

berkemungkinan memberat dan menyebabkan gangguan di otak akibat tingginya

kadar bilirubin darah, yang mengarah pada munculnya gejala seperti kejang dan

spasme otot, gangguan pertumbuhan fisik dan intelektual, serta gangguan

pendengaran. (Queensland Department of Health, 2015)

Upaya pasien mencari pertolongan medis perlu dilakukan bila terdapat ikterus

terutama dalam 24 jam pertama postnatal, ikterus yang muncul kembali setelah selesai

penanganan sebelumnya, ikterus yang ekstensi progresif, ikterus yang tetap ada

setelah 14 hari postnatal, berak berwarna pucat seperti kapur, urin kuning tua seperti

teh atau bahkan tidak ada urinasi, gangguan feeding, atau tampak sakit. (Queensland

Department of Health, 2015)


Feeding penting dilakukan secara rutin dan sering, yaitu setiap kali bayi

meminta atau setidaknya tiap 3 – 4 jam, karena hal ini membantu fungsi sistem

pencernaan bayi dan mempercepat pembuangan bilirubin. Ikterus breastfeeding

adalah ikterus yang tidak membahayakan yang dapat muncul dalam 5 – 7 hari

postnatal, dan kegiatan menyusui dapat tetap dilakukan pada kondisi ini. (Queensland

Department of Health, 2015)

Dapat diperlukan pemeriksaan kadar bilirubin bayi dengan beberapa modalitas

yang meliputi transcutaneous bilirubin test (TCB) dan serum bilirubin test (SBR).

TCB menggunakan alat khusus yang akan dipaparkan ke kulit bayi untuk mendeteksi

kadar bilirubin, yang, apabila tinggi, dapat diikuti saran untuk dilakukan SBR

menggunakan sampel darah bayi untuk menentukan terapi. (Queensland

Department of Health, 2015)

Efek samping modalitas terapi yang akan dilaksanakan perlu diinformasikan.

(Queensland Department of Health, 2015)

Terapi ikterus biasanya berupa fototerapi di mana bayi dipaparkan pada

sumber cahaya tertentu untuk membantu bayi memecah bilirubin lebih cepat.

(Queensland Department of Health, 2015)

Bayi sebaiknya dilakukan follow-up dalam 1 – 3 hari paskaterapi untuk

evaluasi ikterus, berat badan, feeding, urinasi, dan fungsi pencernaan. Jika ditemukan

ikterus pada follow-up, dapat disarankan untuk melakukan terapi ikterus kembali.

(Queensland Department of Health, 2015)

Prognosis ikterus neonatorum sangat baik bila ikterus teridentifikasi

sejak dini dan dilakukan manajemen adekuat bila terindikasi. (Queensland

Department of Health, 2015)


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ikterus neonatorum sering terjadi pada neonatus dan seringkali

fisiologis serta tidak membahayakan, namun sebagaian kasus dapat progresi

menjadi hiperbilirubinemia berat dan predisposisi ensefalopati bilirubin, yang,

bila ikterus neonatorum tidak diidentifikasi dan ditangani dini dan adekuat,

dapat menyebabkan ensefalopati bilirubin dengan sequelae

neurodevelopmental yang sering kali ireversibel disertai ketergantungan

fototerapi untuk keselamatan pasien seumur hidup. Ikterus neonatorum secara

klinis nampak sebagai diskolorasi kuning pada kulit dan sklera mata neonatus.

Modalitas terapi ikterus neonatorum meliputi fototerapi, transfusi tukar, dan

terapi farmakologis adjungtif, yang pelaksanaannya sesuai indikasi dan disertai

pemantauan klinis dan laboratorium terutama kadar TSB sebagai parameter

terapi. Prognosis ikterus neonatorum sangat baik apabila teridentifikasi dan

tertangani dini dan adekuat. Pasien perlu diinformasikan bahwa ikterus

neonatorum dapat terjadi pada semua bayi, dan sebagain besar bersifat

fisiologis dan tidak membahayakan, meskipun sebagian dapat progresi dan

predisposisi ensefalopati bilirubin, namun dapat dicegah dengan manajemen

yang dini dan adekuat.

B. Saran
Identifikasi populasi bayi beresiko ikterus neonatorum, pencegahan
hiperbilirubinemia berat, dan penanganan ikterus penting dilakukan untuk

mencegah komplikasi berupa ensefalopati bilirubin yang berkontribusi

signifikan terhadap morbiditas dan mortalitas.


Daftar Pustaka

Amin, S. B., Bhutani, V. K., Watchko, J. F. (2014). Apnea in Acute Bilirubin


Encephalopathy. Semin Perinatol. 2014 Nov; 38(7): 407–411. doi:
10.1053/j.semperi.2014.08.003
Arifputera, A., dkk.2014.Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke-4. Jakarta. Media
Aesculapius.
Greco, C., Arnolda, G., Boo, N., Iskander, I., Okolo, A. A., Rohsiswatmo, R., et al.
(2015). Neonatal Jaundice in Low- and Middle-Income Countries: Lessons
and Future Directions from the 2015 Don Ostrow Trieste Yellow Retreat.
Neonatology 2016;110:172-180. DOI:10.1159/000445708
Hossein, M., Begum, M., Ahmed, S., Absar, M. N. (2015). Causes, Management
and Immediate Complications of Management of Neonatal Jaundice --- A
Hospital-Based Study. J Enam Med Col 2015; 5(2): 104–109. doi:
http://dx.doi.org/10.3329/jemc.v5i2.23384
Khalid, S., Qadir, M., Salat, M. S. (2015). Spontaneous improvement in
sensorineural hearing loss developed as a complication of neonatal
hyperbilirubinemia. J Pak Med Assoc. 2015 Sep;65(9):1018-21.
Kuzniewicz, M. Z., Wickremashinghe, A. C., Wu, Y. W., McCulloch, C. E., Walsh,
E. M., Wi, S., et al. (2014). Incidence, etiology, and outcomes of hazardous
hyperbilirubinemia in newborns. Pediatrics. 2014 Sep;134(3):504-9. doi:
10.1542/peds.2014-0987
Mundy, C. A., Bhatia, J. (2015). Immunoglobulin transfusion in hemolytic disease
of the newborn: place in therapy. International Journal of Clinical
Transfusion Medicine 2015:3 41–45.
National Institute of Health and Care Excellence (NICE). Jaundice in newborn
babies under 28 days. 2016. United Kingdom: NICE, pp 13.
Olusanya, B. O., Osibanjo, F. B., Slusher, T. M. (2015). Risk Factors for Severe
Neonatal Hyperbilirubinemia in Low and Middle-Income Countries: A
Systematic Review and Meta-Analysis. PLoS ONE 10(2): e0117229.
DOI:10.1371/journal. pone.0117229
Ullah, S., Rahman, K., Hedayati, M. (2016). Hyperbilirubinemia in Neonates:
Types, Causes, Clinical Examinations, Preventive Measures and
Treatments: A Narrative Review Article. Iran J Public Health, Vol. 45,
No.5, May 2016, pp.558-568.
Queensland Department of Health. (Agustus, 2015). Neonatal Jaundice. Diakses di:
https://www.health.qld.gov.au/__data/assets/pdf_file/0010/142300/c-
jaundice.pdf
Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guidelines Program. Neonatal
Jaundice. 2017. Queensland: Queensland Health, pp 8, 10, 16 – 23.
Wells, C. Ahmed, A., Musser, A. (2013). Strategies for Neonatal
Hyperbilirubinemia: A Literature Review. MCN Am J Matern Child Nurs.
2013 Nov-Dec;38(6):377-82;quiz 383-4. doi:
10.1097/NMC.0b013e3182a1fb7a.
Wong, R. J., Abrams, S. A., Kim, M. S., Bhutani, V. K. (2014). Treatment of
unconjugated hyperbilirubinemia in term and late preterm infants.
UpToDate 2014. Diakses di: https://goo.gl/KvSrPI
Yueh, M., Chen, S., Nguyen, N., Tukey, R. H. (2016). Bilirubin-Induced
Neurotoxicity and Environmental Impacts on Hyperbilirubinemia
Development. J Environ Anal Toxicol 2016, 6:6. DOI: 10.4172/2161-
0525.1000414

Anda mungkin juga menyukai