2. Epidemiologi
Pada tahun 2016, di AS diperkirakan ada sekitar 8.220 kasus baru leukemia
mieloid kronik dan sekitar 1.070 orang meninggal karena penyakit tersebut. Usia
median saat didiagnosis leukemia mieloid kronik 55-60 tahun, penyakit ini
terutama dijumpai pada orang dewasa. Di Indonesia median usia saat didiagnosis
leukemia mieloid kronik adalah 34-35 tahun. Leukemia mieloid kronik dijumpai
sekitar 15% dari semua leukemia dan 7-20% dari leukemia pada dewasa.Pria
sedikit lebih sering dibandingkan wanita (1,3-2,2 : 1).
3. Etiologi
Penyebab sebagian besar jenis leukemia tidak diketahui, tetapi ada beberapa
faktor risiko leukemia diantaranya:
a. Faktor Genetik
Anak-anak dengan down’s syndrome memiliki risiko 10-20 kali lipat
mengalami leukemia dari pada anak-anak normal. Terdapat pula penyakit turunan
lainnya seperti Fanconi’s anemia dan Bloom syndrome, yang ditandai dengan
dengan ketidakstabilan genetik dan ketidakmampuan memperbaiki kerusakan
DNA yang berhubungan dengan meningkatnya risiko leukemia.
b. Bahan Kimia
Paparan jangka panjang terhadap benzene dapat mengakibatkan leukemia
akut. Paparan jangka panjang terhadap herbisida, pestisida dan bahan kimia
pertanian lain, berhubungan dengan meningkatnya risiko leukemia. Banyak
pewarna rambut yang mengandung bahan kimia yang menyebabkan kanker dan
berhuhungan dengan leukemia, terutama dalam jangka panjang.
c. Merokok
Menghisap rokok dapat menyebabkan leukemia, terlebih bila mengandung
senyawa penyebab leukemia seperti benzene. Merokok pada usia remaja
menyebabkan peningkatan yang relative tidak terlalu besar berkembangnya
leukemia. Tapi, pada orang di atas usia 60 tahun merokok meningkatkan risiko
dua kali lipat berkembangnya LGA/LMA dan tiga kali lipat LLA.
d. Virus
Acute T cell leukemia berhubungan dengan infeksi oleh human T cell
leukemia virus (HTLV); human lymphotrophic virus-1 penyebab leukemia pada
manusia. Pada pasien yang terinfeksi, protein HTLV melekat pada protein
lymphocytes yang bertanggung jawab dalam mengatur pertumbuhan sel. Jika
HLTV melekat, maka dia mengganggu pertumbuhan sel normal dan mengkorup
fungsinya. Leukemia ini jarang terjadi di Amerika Serikat. Umumnya terjadi di
Asia dan sebagian Karibia.
4. Klasifikasi Leukemia
4.1 Leukemia Akut
Leukemia akut merupakan suatu penyakit yang serius, berkembang dengan
cepat, dan apabila tidak diterapi dapat menyebabkan kematian dalam beberapa
minggu atau bulan. Leukemia akut dapat mempengaruhi jalan perkembangan sel
limfoid akut atau jalur perkembangan sel mieloid akut.
4.1.1. Leukemia Limfositik Akut
LLA adalah keganasan klonal dari sel-sel prekursor limfoid. Lebih dari 80 %
kasus, sel-sel ganas berasal sari limfosit B, dan sisanya merupakan leukemia sel T.
LLA terjadi pada 80% kasus leukemia akut anak- anak. Insidensi puncak LLA
adalah pada umur 3-7 tahun. LLA juga dapat tampak pada orang dewasa,
menyebabkan sekitar 20 % leukemia akut dewasa.
Tanpa pengobatan rata-rata hidup penderita LLA 3-6 bulan. Dengan
pengobatan rata-rata hidup penderita LLA yang berumur di bawah 2 tahun dan
50% penderita LLA yang berumur antara 2-10 tahun rata-rata hidup 2-10 tahun.
Menurut Djajadiman (2001) sekitar 60-70 % dari 100 anak yang menderita LLA
dapat disembuhkan dengan pengobatan kemoterapi.
4.1.2. Leukemia Granulostik/Mielositik Akut
LGA/LMA adalah suatu penyakit yang ditandai dengan transformasi
neoplastik dan gangguan differensiasi sel-sel progenitor dari sel myeloid. Pada
LGA/LMA terjadi proliferasi dari salah satu unsur sel yang memproduksi sel
darah yang ganas. Sel yang ganas tersebut menginfiltrasi sumsum tulang dengan
menyebabkan kegagalan fungsi tulang normal dalam proses hematopoetik normal.
Dengan pengobatan angka remisi (waktu berkurangnya gejala penyakit ) penderita
LGA/LMA mencapai 50- 75 %, tetapi angka rata-rata hidup masih 2 tahun dan
yang dapat hidup lebih dari 5 tahun hanya 10 %. Pada saat ini 50 % anak-anak
dan kira-kira 35 % orang dewasa muda disembuhkan dengan kemoterapi intensif.
Jika tidak ada pengobatan, penderita LGA/LMA meninggal kira-kira 3-6 bulan.
5. Patofisiologi
Penyakit leukemia ditandai oleh adanya proliferasi tak terkendali dari satu
atau beberapa jenis sel darah. Hal ini terjadi karena adanya perubahan pada
kromosom sel induk sistem hemopoetik. Sel sistem hemopoetik adalah sel yang
terus menerus berproliferasi, karena itu sel ini lebih potensial untuk
bcrtransformasi menjadi sel ganas dan lebih peka terhadap obat toksik seperti
sitostatika dan radiasi. Penelitian morfologik menunjukkan bahwa pada Leukemia
Limfositik Akut (LLA) terjadi hambatan diferensiasi dan sel limfoblas yang
neoplastik memperlihatkan waktu generasi yang memanjang, bukan memendek.
Oleh karena itu, akumulasi sel blas terjadi akibat ekspansi klonal dan kegagalan
pematangan progeni menjadi sel matur fungsional. Akibat penumpukan sel blas di
sumsum tulang, sel bakal hemopoetik mengalami tekanan (sudoyo, 2007)
Kelainan paling mendasar dalam proses terjadinya keganasan adalah kelainan
genetik sel. Proses transformasi menjadi sel ganas dimulai saat DNA gen suatu sel
mengalami perubahan. Akibat proliferasi sel yang tidak terkendali ini tcrjadi
kenaikan kadar satu atau beberapa jenis sel darah dan penghambatan
pembentukan sel darah lainnya dengan akibat terjadinya anemia, trombositopenia
dan granulositopenia.
Perubahan kromosom yang terjadi merupakan tahap awal onkogenesis dan
prosesnya sangat kompleks, melibatkan faktor intrinsik (host) dan ekstrinsik
(lingkungan).
Leukemia diduga mulai sebagai suatu proliferasi local dari sel neoplastik,
timbul dalam sumsum tulang dan limfe noduli (dimana limfosit terutama
dibentuk) atau dalam lien, hepar dan tymus. Sel neoplastik ini kemudian
disebarkan melalui aliran darah yang kemudian tersangkut dalam jaringan
pembentuk darah dimana terus terjadi aktifitas proliferasi, menginfiltrasi banyak
jaringan tubuh, misalnya tulang dan ginjal. Gambaran darah menunjukan sel yang
inmatur. Lebih sering limfosit dan kadang-kadang mieloblast. Normalnya tulang
marrow diganti dengan tumor yang malignan, imaturnya sel blast. Adanya
proliferasi sel blast, produksi eritrosit dan platelet terganggu sehingga akan
menimbulkan anemia dan trombositipenia (Aguayo dkk, 2006)
Adanya priliferasi sel blast, produksi eritrosit dan platelet terganggu sehingga
menimbulkan anemia dan trombositopenia. System etikuloendotelial akan
terpengaruh dan menyebabkan gangguan system pertahanan tubuh dan mudah
mengalami infeksi (Aguayo dkk, 2006).
Manifestasi akan tampak pada gambaran gagalnya bone marrow dan infiltrasi
organ, system syaraf pusat. Gangguan pada nutrisi dan metabolisme. Depresi
sumsum tulang yang akan berdampak pada penurunan leukosit, eritrosit, faktor
pembekuan dan peningkatan tekanan jaringan (Aguayo dkk, 2006).
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Gejala yang terlihat pada darah tepi berdasarkan pada kelainan sumsum tulang
berupa pansitopenia, limfositosis yang kadang-kadang menyebabkan gambaran
darah tepi menoton dan terdapat sel blas. Terdapatnya sel blas dalam darah tepi
merupakan gajala patognomik untuk leukemia.kolesterol mungkin rendah, asam
urat dapat meningkat , hipogamaglobinea. Dari pemeriksaan sumsum tulang akan
ditemukan gambaran yang menoton, yaitu hanya terdiri dari sel limfopoietik
patologis sedangkan sistem lain terdesak (aplasia sekunder). Pada LMA selain
gambaran yang menoton, terlihat pula adanya hiatus leukemia ialah keadaan yang
memperlihatkan banyak sel blas (mieloblas), beberapa sel tua (segmen) dan
sangat kurang bentuk pematangan sel yang berada di antaranya (promielosit,
mielosit, metamielosit dan sel batang).
b. Biopsi Limpa
Pemeriksaan ini memperlihatkan proliferase sel leukemia dan sel yang berasal
dari jaringan limpa yang terdesak, seperti limfosit normal, RES, granulosit, dan
pulp cell.
d. Cairan Serebrospinal
Bila terdapat peninggian jumlah sel patologis dan protein,berarti suatu
leukemia meningeal. Kelainan ini dapat terjadi setiap saat pada perjalanan
penyakit baik dalam keadaan remisi maupun keadaan kambuh. Untuk
mencegahnya diberikan metotreksat (MTX) secara intratekal secara rutin pada
setiap pasien baru atau pasien yang menunjukkan gejala tekanan intrakranial
meninggi.
Untuk menentukan pengobatannya harus diketahui jenis kelainan yang
ditemukan. Pada leukemia biasanya didapatkan dari hasil darah tepi berupa
limfositosis lebih dari 80% atau terdapat sel blas. Juga diperlukan pemeriksaan
dari sumsum tulang dengan menggunakan mikroskop elektron akan terlihat
adanya sel patologis.
7. Penatalaksanaan
a. Penetalaksanaan Medis
1) Transfusi darah, biasanya diberikan jika kadar Hb kurang dari 6g%. Pada
trombositopenia yang berat dan perdarahan masif, dapat diberikan transfusi
trombosit dan bila terdapat tanda-tanda DIC dapat diberikan heparin
2) Kortikosteroid (prednison, kortison, deksametason dan sebagainya). Setelah
dicapai remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya dihentikan.
3) Sitostatika. Selain sitostatika yang lama (6-merkaptopurin atau 6-mp,
metotreksat atau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih
poten seperti vinkristin (Oncovin), rubidomisin (daunorubycine) dan
berbagai nama obat lainnya. Umumnya sitostatika diberikan dalam
kombinasi bersama-sama dengan prednison. Pada pemberian obat-obatan ini
sering terdapat efek samping berupa alopesia (botak), stomatitis, leukopenia,
infeksi sekunder atau kandidiasis. Bila jumlah leukosit kurang dari
2000/mm3 pemberiannya harus hati-hati.
4) Imunoterapi, merupakan cara pengobatan terbaru. Setelah tercapai remisi
dan jumlah sel leukemia cukup rendah (105-106), imunoterapi mulai
diberikan (mengenai cara pengobatan yang terbaru masih dalam
pengembangan).
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Masalah pasien yang perlu diperhatikan umumnya sama dengan pasien lain
yang menderita penyakit darah. Tetapi karena prognosis pasien pada umumnya
kurang menggembirakan (sama seperti pasien kanker lainnya) maka pendekatan
psikososial harus diutamakan. Yang perlu diusahakan ialah ruangan yang aseptik
dan cara bekerja yang aseptik pula. Sikap perawat yang ramah dan lembut
diharapkan tidak hanya untuk pasien saja tetapi juga pada keluarga yang dalam
hal ini sangat peka perasaannya jika mengetahui penyakit anaknya atau
keluarganya.
Beberapa cara yang bisa kita anjurkan adalah hindari menyikat gigi terlalu
keras, karena bulu sikat gigi dapat mencederai gusi. Menyarankan klien supaya
berhati-hati ketika berjalan di lantai yang licin seperti kamar mandi agar tidak
jatuh. Memberikan klien dan keluarganya pendidikan kesehatan bagaimana cara
mengatasi perdarahan hidung, misalnya dibendung dengan kapas atau perban,
posisi kepala menengadah.
Untuk menangani infeksi klien harus menjaga kebersihan diri, seperti mencuci
tangan, mandi 3x sehari. Menganjurkan keluarga klien untuk menjaga keersihan
diri mereka, membatasi jumlah pengunjung karena dikhawatirkan dapat
menularkan penyaki-penyakit seperti flu dan batuk. Menciptakan lingkungan yang
bersih dan jika perlu pertahankan tehnik isolasi.
B. Clinical Pathway
Leukemia
Intoleransi
Hemoglobin Pertahanan Imunitas Pendarahan
Aktivitas
1. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan infiltrasi leukosit ke jaringan
sistemik
b. Resiko Infeksi berhubungan dengan menurunnya daya tahan
tubuh yang berkaitan dengan neutropenia/ menurunnya sistem imun
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan secara
menyeluruh akibat anemia
3 Rencana Tindakan Keperawatan
Berg SL, Steuber CP, Poplack DG. Clinical Manifestation of Acute Lymphoblastic
Leukemia. In Hoffman ed: Hematology: Basic Principles and Practice 3rd
ed. Churchill Livingstone Inc. 2000, pp 1070-76.
Lab / UPF Ilmu Bedah, 2007. Pedoman Diagnosis Dan Terapi. Surabaya,
Fakultas Kedokteran Airlangga / RSUD. dr. Soetomo.
Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK
UI, 2007.