Anda di halaman 1dari 20

Pengakuan Berdasarkan Prinsip Teritorial

Pengakuan (recognition) harus dibedakan dengan pelaksanaan (enforcement). Menurut


Sudargo Gautama, pengakuan tidak begitu mendalam akibatnya dari pada pelaksanaan.
Melaksanakan keputusan meminta lebih banyak, seperti tindakan-tindakan aktif dari instansi
tertentu yang berkaitan dengan peradilan dan administrasi, terhadap pengakuan tidak diperlukan
atau diharapkan tindakan yang demikian itu. Oleh karena itu, kiranya mudah dimengerti
mengapa orang dapat dengan mudah sampai pada pengakuan keputusan yang diucapkan di luar
negeri dari pada pelaksanaannya.
Putusan-putusan badan peradilan suatu negara tidak dapat dilaksanakan di wilayah negara
lain. Hal ini merupakan asas dalam Hukum Perdata Internasional (HPI) dan sudah lama dianut
dalam berkontrak, dimana putusan Hakim suatu negara hanya dapat dilaksanakan di wilayah
negaranya saja. Negara Indonesia menganut ketentutan bahwa putusan Hakim asing tidak dapat
dilaksanakan di wilayah Indonesia. Putusan Hakim asing tidak dapat dianggap sama dan
sederajat dengan putusan Hakim Indonesia sendiri yang dapat dilaksanakan di Indonesia sendiri.
Ketentuan tersebut erat kaitannya dengan principle of territorial soveregnty (prinsip kedaualatan
teritorial) dimana berdasarkan asas ini putusan Hakim asing tidak dapat secara langsung
dilaksanakan di wilayah negara lain atas ketentuannya sendiri. Dalam Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 tidak merumuskan pengertian arbitrase nasional, justru disebutkan adalah
pengertian putusan arbitrase internasional. Dalam Pasal 1 Angka 9 disebutkan; ”Putusan
arbitrase internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau
arbitrase perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga
arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap
sebagai putusan arbitrase internasional”.
Jika menggunakan penafsiran argumentum a contrario dapat dirumuskan pengertian
putusan arbitrase nasional sebagai putusan yang dijatuhkan di wilayah hukum Republik
Indonesia berdasarkan ketentuan hukum Republik Indonesia. Dari rumusan tersebut, jelas bahwa
untuk menentukan apakah putusan arbitrase merupakan putusan arbitrase nasional atau
internasional digunakan prinsip kewilayahan atau kedaulatan teritorial. Oleh karena itu,
sepanjang putusan arbitrase dilakukan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, putusan
tersebut dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase internasional atau asing. Jadi, ciri putusan
arbitrase asing yang didasarkan pada faktor teritorial tidak mensyaratkan perbedaan
kewarganegaraan dan perbedaan tata hukum. Meskipun para pihak yang terlibat dalam sengketa
adalah warga negara Indonesia, jika putusan arbitrase atas sengketa mereka dijatuhkan di luar
wilayah hukum Indonesia, maka secara otomatis putusan tersebut dikualifikasikan sebagai
putusan arbitrase asing. Di sini jelas karena faktor teritorial mengungguli faktor
kewarganegaraan dan faktor tata hukum.
Prinsip teritorial di atas juga dianut oleh Konvensi New York 1958 hal ini terdapat pada
Pasal 1 Ayat (1) konvensi tersebut. Dalam ketentuan ini lebih menegaskan prinsip kewilayahan,
bahkan tidak melihat lagi perbedaan mengenai status kewarganegaraan para pihak dan juga
hukum yang digunakan. Jadi, putusan arbitrase dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing
atau Internasional jika diputuskan di luar wilayah negara yang diminta pengakuan (recognition)
dan eksekusi (enforcement). Di samping itu, Pasal 1 Ayat (1) Konvesi New York 1958 juga
menyatakan bahwa ruang lingkup konvensi berlaku atas putusan-putusan arbitrase yang tidak
dianggap sebagai putusan-putusan domestik di negara di mana pengakuan dan pelaksanaan
arbitrase tersebut dimohonkan.
Ketentuan tersebut menyangkut putusan yang dilakukan di dalam negeri dengan
menggunakan hukum asing. Artinya, jika para pihak menggunakan hukum asing sebagai dasar
bagi penyelesaian sengketa mereka, maka, walaupun putusan arbitrase tersebut dijatuhkan di
wilayah Republik Indonesia, putusan arbitrase tersebut tetap merupakan putusan arbitrase
Internasional (bagi Indonesia). Sebaliknya, walaupun para pihak yang bersengketa bukan warga
negara Indonesia, tetapi mempergunakan hukum Indonesia sebagai hukum substantif bagi
penyelesaian sengketa arbitrase mereka di Indonesia, maka putusan arbitrase tersebut merupakan
putusan arbitrase nasional.
Dalam kaitan itu, perlu dibedakan antara pelaksanaan putusan arbitrase Nasional dengan
arbitrase Internasional. Pelaksanaan arbitrase Nasional berdasarkan Keppres Nomor 34 Tahun
1981 tentang Ratifikasi Konvensi New York 1985, dan Perma Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Untuk Pelaksanaan arbitrase Internasional
berdasarkan Konvensi New York 1985. Lahirnya Perma Nomor 1 Tahun 1990, ditujukan untuk
mengantisipasi permasalahan pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing.
Dikeluarkannya Perma ini, maka berakhir masa kekosongan hukum tentang pelaksanaan
eksekusi putusan arbitrase asing. Jangkauan kekuatan Perma ini tidak hanya meliputi arbitrase
asing yang telah ada sebelum Perma dikeluarkan, baik terhadap putusan yang belum pernah
diajukan, maupun yang sudah pernah ditolak eksekusinya. Penolakan atau pernyataan eksekusi
putusan arbitrase asing tidak dapat diterima atas alasan peraturan pelaksana belum ada seperti
yang terjadi di masa sebelum Perma Nomor 1 Tahun 1990 berlaku.

Pengakuan Terhadap Putusan Arbitrase Asing


Putusan-putusan badan peradilan dan arbitrase suatu negara tidak dapat dilaksanakan di
wilayah negara lain. Hal ini merupakan asas pengakuan terhadap unsur-unsur dalam HPI dan
sudah lama dianut dalam berkontrak, dimana putusan Hakim suatu negara hanya dapat
dilaksanakan di wilayah negaranya saja.
Negara Indonesia menganut ketentutan bahwa putusan Hakim asing tidak dapat diakui
untuk dilaksanakan di wilayah Indonesia. Putusan Hakim asing tidak dapat dianggap sama atau
sederajat dengan putusan Hakim Indonesia sendiri yang dapat dilaksanakan di Indonesia sendiri.
Ketentuan tersebut erat kaitannya dengan prinsip kedaualatan teritorial dimana berdasarkan asas
ini putusan Hakim asing tidak dapat secara langsung dilaksanakan di wilayah negara lain atas
ketentuannya sendiri.
Konvensi arbitrase Internasional utama yang erat kaitannya dengan pengakuan adalah
The New York Convention on the Recognition and Enforcement of Arbitrase Awards of 1958
yakni Konvensi New York tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase tahun 1958.
Dimana bahwa dalam konvensi ini tidak berkenaan dengan peraturan pelaksanaan arbitrase
internasional, tetapi mengatur masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional yang dibuat oleh berbagai badan arbitrase, baik domestik maupun internasional.
Konvensi ini juga mengatur pelaksanaan kesepakatan-kesepakatan arbitrase.
Dalam Pasal II Konvensi New York 1958, dinyatakan bahwa:
1. Setiap orang yang mengadakan perjanjian harus mengakui perjanjian tertulis dimana para
pihak menyerahkan semua perselisihan yang telah atau akan timbul di antara mereka
sehubungan dengan hubungan hukum yang telah ditentukan, baik yang bersifat
kontraktual atau tidak, berkenaan dengan sesuatu hal yang dapat diselesaikan melalui
arbitrase, kepada arbitrase;
2. Istilah kesepakatan tertulis memuat klausa arbitrase di dalam sebuah perjanjian atau
sebuah kesepakatan arbitrase, yang ditandatangani oleh para pihak atau dimuat dalam
exchange of letter atau telegram;
3. Pengadilan dari suatu negara yang membuat perjanjian, saat ini bertindak dengan para
pihak telah membuat kesepakatan menurut pengertian pasal ini, atas permintaan dari
salah satu pihak akan merujukkan para pihak kepada arbitrase, kecuali bila pengadilan
tersebut menemukan bahwa kesepakatan tersebut batal demi hukum, tidak berlaku atau
tidak mungkin dilaksanakan. Konvensi New York berfungsi untuk mendorong kerjasama
antara negara-negara pembuat kontrak, dan menyeragamkan kebiasaan negara-negara
tersebut dalam melaksanakan putusan arbitrase asing. Konvensi ini dianggap sebagai
traktat Internasional yang paling penting sehubungan dengan arbitrase komersial
Internasional, karena konvensi ini menawarkan kepastian dan efisiensi dalam
pelaksanaan putusan-putusan arbitrase Internasional.
Negara Indonesia telah meratifikasi Konvensi New York 1958 ini melalui Keppres
Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Dalam
ratifikasi tersebut, Indonesia meletakkan persyaratan yaitu; Pertama, Indonesia hanya akan
melaksanakan putusan apabila putusan tersebut mengenai sengketa yang termasuk ke dlaam
ruang lingkup hukum dagang. Kedua, Indonesia hanya akan melaksanakan ptusan arbitrase
asing, apabila negara dimana putusan arbitrase tersebut dibuat, juga adalah negara peserta
Konvensi New York 1958. prinsip ini dikenal pula dengan istilah resiprositas. Ketiga, Indonesia
hanya akan melaksanakan putusan arbitrase asing apabila putusan tersebut tidak melanggar
ketertiban umum ditanah air. Sebaliknya apabila ternyata putusan tersebut melanggar ketertiban
umum, maka putusan tersebut tidak akan diakui dan dilaksankan.
Dalam Konvensi New York 1958, mengatur masalah pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase di dalam wilayah para pihak yang membuat perjanjian. Putusan arbitrase asing
adalah putusan arbitrase yang dibuat di luar yurisdiksi pihak yang membuat perjanjian, yang di
wilayah merekalah putusan tersebut akan diakui dan dilaksanakan.Konsep yang luas ini meliputi
putusan arbitrase yang dibuat di luar negara dimana putusan itu akan dilaksanakan. Traktat ini
juga dapat diperluas pada putusan-putusan yang dianggap sebagai putusan dalam negeri yang
tunduk pada hukum dari negara tempat dimana dibuat pelaksanaan putusan tersebut. Dengan
demikian putusan arbitrase asing adalah setiap putusan arbitrase yang pengaruhnya tidak
didasarkan pada hukum domestik di tempat putusan tersebut akan diakui dan dilaksanakan.
Menurut Pasal I Ayat (2) Konvensi New York 1958, istilah putusan arbitrase memuat bukan saja
putusan yang dibuat oleh para arbiter yang ditunjuk untuk setiap kasus, namun juga putusan yang
dibuat oleh badan-badan arbitrase permanen dimana para pihak telah menyerahkan kasus
mereka.
69 Pasal I Konvensi New York 1958.
Berdasarkan pengertian arbitrase asing, menyiaratkan kewajiban yang luas bagi para pihak
pembuat perjanjian terhadap Konvensi New York 1958. Kewajiban ini mengharuskan pihak
pembuat perjanjian melaksanakan putusan arbitrase yang ditetapkan menurut hukum suatu
negara yang menolak untuk menerima Konvensi New York 1958. Konsekuensi ini tidak
konsisten dengan pengertian resiproksitas (timbal balik), yang menjadi dasar dari kebanyakan
konvensi dan traktat internasional.
Para pihak yang terikat dalam pembuatan kontrak atau perjanjian dalam konvensi ini
diijinkan untuk mengumumkan bahwa pelaksanaan putusan hanya terbatas pada mereka yang
melakukan hubungan komersial sebagaimana diakui di dalam hukum pihak yang membuat
perjanjian atau kontrak tersebut. Ketentuan putusan hakim asing pada umumnya tidak dapat
dilaksanakan di Indonesia, karena dalam hal tertentu ada putusan asing yang dapat dilaksanakan
di Indonesia. Pasal 346 R.V. menyebutkan, bahwa kecuali dalam hal-hal yang ditentukan oleh
Pasal 724 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan undang-undang lain, putusan-
putusan Hakim asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Jadi, putusan Hakim asing mengenai
perhitungan umum terhadap kapal atau pemilik kargo yang diangkut oleh kapal yang
bersangkutan dan berdomisili di Indonesia, berdasarkan ketentuan tersebut tidak dapat
dilaksanakan di Indonesia. Akan tetapi keputusan arbitrase pada umumnya dapat dilaksanakan di
luar negeri.
Putusan asing di Indoensia hanya akan dihormati dan tidak akan dilaksanakan. Sengketa
yang diputus di luar negeri harus diperiksa ulang kembali dari poses awalnya. Putusan asing
hanya sekedar suatu ”fakta”, berupa putusan yang sifatnya tidak mengikuti hakim di Indonesia,
karena Rv masih menjadi pedoman di Indonesia, dalam Pasal 436 Rv antara lain menyatakan
bahwa ”...keputusan-keputusan yang diberikan oleh badan-badan peradilan di luar negeri tidak
dapat dieksekusi atau dilaksanakan di Indonesia.” Kedaulatan hukum adalah harga yang sangat
tinggi untuk dibayar. Belum lagi masalah formalitas putusan, sistem hukum yang diterapkan,
serta proses putusan itu sendiri dibuat. Untuk putusan misalnya yang sederhana, putusan di
Indonesia harus dimulai dengan kepala putusan yang berbunyi, “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tidak adanya bunyi kepala putusan tersebut, maka akan membuat
putusan tersebut menjadi tidak sah atau batal (null and void). Kendala lain yang mengganjal
adalah bahwa konvensi-konvensi yang ada akan mendapat resistensi dari negara-negara yang
sedang berkembang. Masalahnya adalah menyangkut fakta bahwa negara-negara inilah yang
kemungkinan akan lebih banyak dihadapkan pada masalah permohonan pengakuan putusan
badan pengadilan asing. Masalah lain misalnya Indonesia belum atau tidak mau menjadi anggota
the Hague Conference, dengan demikian prospek ke depan terhadap mengikatnya substansi
aturan Konvensi Den Haag 2005, masih tetap tampak jauh dari harapan. Hal ini berlainan dengan
keputusan di dalam pengadilan. Secara internasional, pengaturan pelaksanaan pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase asing diatur dalam Konvensi New York Tahun 1958 tentang
Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, yang mulai berlaku sejak tanggal 7 Juni
1959.
Dalam Pasal V Konvensi New York 1958, memuat alasan-alasan yang dapat diajukan
oleh para pihak untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing.
Prinsipnya yaitu bahwa pihak yang mengajukan putusan arbitrase harus mengajukan dan
membuktikan alasan-alasan penolakan tersebut. Pasal ini memuat 7 (tujuh) alasan penolakan
pelaksanaan suatu putusan arbitrase yaitu:
1. Bahwa para pihak yang terkait dalam perjanjian tersebut ternyata menurut hukum
nasionalnya tidak mampu atau menurut hukum yang mengatur perjanjian tersebut atau
menurut hukum negara dimana putusan tersebut dibuat apabila tidak ada petunjuk hukum
mana yang berlaku;

2. Pihak terhadap mana putusan diminta tidak diberikan pemberitahuan yang sepatutnya
tentang penunjukan arbitrator atau persidangan arbitrase atau tidak dapat
mempertahankan sengketa (pembelaannya);

3. Putusan yang dikeluarkan tidak menyangkut hal-hal yang diserahkan untuk diputuskan
oleh arbitrase, atau putusan tersebut mengandung hal-hal yang berada di luar dari hal-hal
yang seharusnya diputuskan oleh badan arbitrase; dan

4. Komposisi arbitrator atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan persetujuan para pihak
atau tidak sesuai dengan hukum nasional tempat arbitrase berlangsung, atau putusan
tersebut belum mengikat terhadap para pihak atau dikesampingkan atau ditangguhkan
oleh pejabat yang berwenang di negara dimana putusan dibuat.
Konvensi New York Tahun 1958 tersebut telah diratifikasi Pemerintah Republik
Indonesia melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 1981. Keppres ratifikasi
tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Peraturan
Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Asing. Tata cara pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase di luar negeri kemudian
diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.

Peraturan yang menjadi sumber hukum tata cara pemberian exequatur putusan arbitrase
asing terdiri atas Konvensi New York 1958 dan Perma Nomor 1 Tahun 1990. peraturan yang
menjadi sumber hukum pelaksanaan eksekusinya sendiri tetap berpedoman pada Pasal 436 R.V.
dengan menerapkan pasal-pasal tentang tata cara eksekusi yang diatur dalam Pasal 195-224
HIR.Belakangan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Menurut Pasal 2
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990, yang dimaksud dengan putusan arbitrase
asing adalah putusan yang dijatuhkan suatu badan arbitrase atau arbiter perorangan di luar
wilayah hukum Republik Indonesia, ataupun putusan suatu badan arbitrase ataupun arbiter
perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan
arbitrase asing yang berkakekuatan hukum tetap sesuai dengan Keppres Nomor 34 Tahun 1981.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menggunakan istilah arbitrase Internasional. Menurut
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, putusan arbitrase Internasional adalah
putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah
hukum Republik Indonesia, atau suatu putusan lembaga arbitrase/arbiter perorangan yang
menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase Internasional.
Ciri putusan arbitase asing di dasarkan pada faktor wilayah atau teritorial. Setiap putusan
yang dijatuhkan di luar teritorial Republik Indonesia dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase
asing.
Hal ini, tidak menguntungkan syarat perbedaan kewarganegaraan maupun perbedaan tata
hukum, meskipun para pihak yang terlibat di dalam putusan adalah orang-orang Indonesia dan
sama-sama warga negara Indonesia, jika putusannya dijatuhkan di luar negeri, putusan tersebut
dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing. Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 jo Pasal 3 Perma Nomor 1 Tahun 1990 dinyatakan bahwa putusan hanya diakui dan dapat
dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Putusan itu dijatuhkan oleh badan arbitase atau arbiter perorangan di suatu negara yang
dengan negara Indonesia ataupun bersama-sama negara Indonesia terikat dalam suatu
konvensi internasional perihal pengakuan serta pelaksanaan putusan arbitrase asing.
Pelaksanaanna didasarkan atas asas timbal balik (resiprositas);

2. Putusan-putusan arbitrase asing tersebut di atas hanyalah terbatas pada putusan-putusan


yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang;

3. Putusan-putusan arbitrase asing tersebut di atas hanya dapat dilaksanakan di Indonesia


terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

Pelaksanaan Putusan Pengadilan atau Arbitrase Asing


Umumnya ketentuan putusan Hakim asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia.
Dikatakan pada umumnya, karena dalam hal tertentu ada putusan asing yang dapat dilaksanakan
di Indonesia. Pasal 346 R.V. menyebutkan, bahwa kecuali dalam hal-hal yang ditentukan oleh
Pasal 724 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan undang-undang lain, putusan-
putusan Hakim asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Jadi, putusan Hakim asing mengenai
perhitungan avarai umum (grosse avaraij) terhadap oemilik kapal atau pemilik kargo yang
diangkut oleh kapal yang bersangkutan dan berdomisili di Indonesia, berdasarkan ketentuan
tersebut tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Keputusan arbitrase pada umumnya dapat
dilaksanakan di luar negeri. Hal ini berlainan dengan keputusan di dalam pengadilan. Secara
internasional, pengaturan pelaksanaan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing diatur
dalam Konvensi New York Tahun 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Asing, yang mulai berlaku sejak tanggal 7 Juni 1959 Konvensi New York Tahun 1958 tersebut
telah diratifikasi Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor
34 Tahun 1981. Keppres ratifikasi tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung
Republik Indonesia melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 1990 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Tata cara pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase di luar negeri kemudian diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Peraturan yang menjadi sumber hukum tata cara pemberian pelaksanaan putusan arbitrase
asing terdiri atas Konvensi New York 1958 dan Perma Nomor 1 Tahun 1990. Sedangkan
peraturan yang menjadi sumber hukum pelaksanaan eksekusinya sendiri tetap berpedoman pada
Pasal 436 R.V. dengan menerapkan pasal-pasal tentang tata cara eksekusi yang diatur dalam
Pasal 195-224 HIR.Belakangan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
Menurut Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990, yang dimaksud dengan
putusan arbitrase asing adalah putusan yang dijatuhkan suatu badan arbitrase atau arbiter
perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, ataupun putusan suatu badan arbitrase
ataupun arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai
suatu putusan arbitrase asing yang berkakekuatan hukum tetap sesuai dengan Keppres Nomor 34
Tahun 1981. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menggunakan istilah arbitrase
Internasional. Menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, putusan
arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter
perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau suatu putusan lembaga
arbitrase/arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap
sebagai putusan arbitrase Internasional.
Ciri putusan arbitrase asing di dasarkan pada faktor teritorial, tidak menguntungkan
syarat perbedaan kewarganegaraan maupun perbedaan tata hukum, meskipun para pihak yang
terlibat di dalam putusan adalah orang-orang Indonesia dan sama-sama warga negara Indonesia,
jika putusannya dijatuhkan di luar negeri, putusan tersebut dikualifikasikan sebagai putusan
arbitrase asing. Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 jo Pasal 3 Perma Nomor 1
Tahun 1990 dinyatakan bahwa putusan hanya diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah hukum
Indonesia apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu
negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral
maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan arbitrase
internasional;
2. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada
putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum
perdagangan;
3. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat
dilaksanakan di Indonesia terbbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan
ketertiban umum;
4. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh
eksekuatur dari ketua pengadilan negeri Jakarta Pusat; dan
5. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut
negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat
dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari amhkamah agung Republik Indonesia
yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Untuk lebih jeasnya, mengenai pengaturan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan
Arbitrase Asing di Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Penyelesaian Masalah, telah menggariskan ketentuan di dalam Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, Pasal
68, dan Pasal 69. Pasal 67 dinyatakan sebagai berikut:
(1) Permohonan pelaksanaan Putusan arbitrase internasional dilakukan setelah putusan
tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitra Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat;
(2) Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat1 harus
disertai dengan:
a. Lembar asli atau salinan otentik Putusan arbitrase internasional, sesuai ketentuan
perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam
bahasa Indonesia;
b. Lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan arbitrase
internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah
terjemahan resminya dalam bahas Indonesia; dan
c. Keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat
Putusan arbitrase internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa
negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral
dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan
arbitrase internasional.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak dapat diajukan banding maupun
kasasi,dan penolakan terhadap pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase asing
dapat diajukan di tingkat kasasi, serta dengan pertimbangan Mahkamah Agung Republik
Indonesia. Untuk lebih jelasnya di dalam Pasal 68 dinyatakan sebagai berikut:
(1) Terhadap putusan ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam
pasal 66 huruf d yang mengakui dan melaksanakan Putusan arbitrase internasional, tidak
dapat diajukan banding atau kasasi;
(2) Terhadap putusan ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam
pasal 66 huruf d yang menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu Putusan
arbitrase internasional, dapat diajukan kasasi;
(3) Mahkamah agung mempertimbangkan serta memutuskan setiap kasasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat 2, dalam jangka waktu paling lama 90 hari setelah permohonan
kasasi tersebut diterima oleh mahkamah agung; dan
(4) Terhadap putusan mahkamah agung sebagaiman dimaksud dalam pasal 66 huruf e, tidak
dapat diajukan upaya perlawanan.
Karena itu masalah utama bagi Indonesia saat ini adalah tidak adanya peraturan mengenai
prosedur pelaksanaan putusan arbitrase yang didapatkan melalui pengadilan Indonesia, sehingga
putusan arbitrase asing tidak dapat dilaksanakan secara langsung di Indonesia. Pada tahun 1990,
Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Nomor 1 Tahun 1999 tentang
Kompetensi Pengadilan Arbitrase, yang intinya menegaskan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat diberi kuasa sebagai badan yang berwenang manangani pelaksanaan putusan arbitrase
(Ayat 1). Sementara pada Ayat 2 disebutkan bahwa setiap putusan arbitrase memiliki status final
dan mengikat. Sedangkan Ayat 3 satu demi satu mengatur mengenai persyaratan prosedur
penyelenggaraan yaitu dinyatakan bahwa putusan arbitrase asing hanya dapat dilaksanakan di
Indonesia bila putusan tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia.
Syarat-syarat suatu putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di Indonesia bila
memenuhi ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Penyelesaian Masalah, antara lain putusan arbitrase itu dijatuhkan oleh arbiter atau Majelis
Arbitrase di suatu negara yang terikat oleh perjanjian dengan Indonesia secara bilateral atau
multilateral tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase Internasional.
Sementara itu, menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentan Arbitrase dan
Penyelesaian Sengketa, putusan arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia apabila
putusan arbitrase itu dijatuhkan oleh arbiter atau Majelis Arbitrase di siatu negara yang terikat
secara bilateral maupun multilateral terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
Internasional. Putusan inipun hanya terbatas pada putusan yang masuk dalam lingkup hukum
perdagangan. Putusan ini juga dapat dilaksanakan setelah mendapat eksekuatur dari Ketua
Pengadilan Negeri. Akan tetapi bila putusan itu menyangkut negara Republik Indonesia, maka
putusan itu baru dapat dilaksanakan setelah mendapat eksekuatur dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia. Putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang melaksanakan putusan
arbitrase asing tidak dapat diajukan banding ataupun kasasi, hanya saja putusan Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menolaklah yang dapat diajukan kasasi.

Penolakan Terhadap Putusan Pengadilan Arbitrase Asing


Penolakan terhadap putusan pengadilan arbitase asing, sangat berkaitan erat dengan
fungsi dan kewenangan suatu lemabaga arbitrase domestik. Putusan arbitrase asing yang
domohonkan untuk dilaksanakan atau diaeksekusi pada suatu negara tertentu dapat ditolak
permohonannya jika tidak sesuai atau bertentangan dengan kewenangan (kompetensi atau
jurisdiksi) suatu negara.
Begitu pula dengan suatu perkara yang belum diputus ataupun yang akan dieksekusi pada
suatu negara tertentu, dapat dibatalkan permohonannya apabila bertentangan dengan wilayah
kekuasaan hukum negara tersebut. Misalnya di Indonesia, Permohonan pembatalan hanya dapat
diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan
permohonan pembatalan disebut dalam pasal-pasal harus dibuktikan dengan putusan pengadilan.
Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka
putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk
mengabulkan atau menolak permohonan. Masalah pembatalan putusan arbitrase di Indonesia
dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yaitu sebagai berikut: Pasal 70
menyebutkan bahwa: ”Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan
pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui
palsu atu dinyatakan palsu;
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan; dan
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa.”

Dalam Pasal 71 dinyatakan bahwa, “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus


diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan
pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negeri.” Menurut Pasal 72, dinyatakan
bahwa:
(1) Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada ketua pengadilan
negeri;
(2) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dikabulkan, ketua pengadilan
negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan
arbitrase;
(3) Putusan atas permohonan pembatalan ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama
30 hari sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diterima;
(4) Terhadap putusan pengadilan negeri dapat diajukan permohonan banding ke mahkamah
agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir; dan
(5) Mahkamah agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding
sebagaimana dimaksud dalam ayat 4 dalam waktu paling lama 30 hari setelah
permohonan banding tersebut diterima oleh mahkamah agung.
Masalah penolakan terhadap putusan pengadilan arbitase asing, erat kaitannya dengan
masalah kewenangan (kompetensi atau yurisdiksi) suatu lemabaga arbitrase domestik untuk
menerima, mengadili, dan memutus, serta mengeksekusi terhadap suatu perkara bisnis
Internasional. Yurisdiksi pengadilan di dalam kaidah HPI merupakan kekuasaan dan
kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan menentukan suatu permasalahan yang dimintakan
kepadanya untuk diputuskan dalam setiap kasus yang melibatkan paling tidak satu elemen
hukum asing yang relevan. Yurisdiksi yang diakui dan dijalankan secara internasional, bagi
pengadilan suatu negara harus mempunyai kaitan tertentu dengan para pihak atau harta kekayaan
yang dipersengketakan.
Pengadilan Arbitrase sebelum memeriksa atau mengadili perkara yang diajukan
kepadanya, terlebih dahulu harus meneliti apakah ia berwenang mengadili perkara tersebut.
Salah satu cara untuk menentukan berwenang atau tidaknya ia mengadili perkara yang
bersangkutan adalah dengan meneliti klausul pilihan yurisdiksi yang terdapat di dalam kontrak
yang bersangkutan. Hakim yang mengadili suatu perkara yang mengandung elemen asing
menemui adanya pilihan forum yang menunjuk kepada badan peradilan lain atau menunjuk
kepada badan arbitrase lain tetapi berlainan kompetensi relatifnya, maka Hakim yang
bersangkutan harus menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara tersebut.

Anda mungkin juga menyukai