2. Pihak terhadap mana putusan diminta tidak diberikan pemberitahuan yang sepatutnya
tentang penunjukan arbitrator atau persidangan arbitrase atau tidak dapat
mempertahankan sengketa (pembelaannya);
3. Putusan yang dikeluarkan tidak menyangkut hal-hal yang diserahkan untuk diputuskan
oleh arbitrase, atau putusan tersebut mengandung hal-hal yang berada di luar dari hal-hal
yang seharusnya diputuskan oleh badan arbitrase; dan
4. Komposisi arbitrator atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan persetujuan para pihak
atau tidak sesuai dengan hukum nasional tempat arbitrase berlangsung, atau putusan
tersebut belum mengikat terhadap para pihak atau dikesampingkan atau ditangguhkan
oleh pejabat yang berwenang di negara dimana putusan dibuat.
Konvensi New York Tahun 1958 tersebut telah diratifikasi Pemerintah Republik
Indonesia melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 1981. Keppres ratifikasi
tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Peraturan
Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Asing. Tata cara pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase di luar negeri kemudian
diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Peraturan yang menjadi sumber hukum tata cara pemberian exequatur putusan arbitrase
asing terdiri atas Konvensi New York 1958 dan Perma Nomor 1 Tahun 1990. peraturan yang
menjadi sumber hukum pelaksanaan eksekusinya sendiri tetap berpedoman pada Pasal 436 R.V.
dengan menerapkan pasal-pasal tentang tata cara eksekusi yang diatur dalam Pasal 195-224
HIR.Belakangan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Menurut Pasal 2
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990, yang dimaksud dengan putusan arbitrase
asing adalah putusan yang dijatuhkan suatu badan arbitrase atau arbiter perorangan di luar
wilayah hukum Republik Indonesia, ataupun putusan suatu badan arbitrase ataupun arbiter
perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan
arbitrase asing yang berkakekuatan hukum tetap sesuai dengan Keppres Nomor 34 Tahun 1981.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menggunakan istilah arbitrase Internasional. Menurut
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, putusan arbitrase Internasional adalah
putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah
hukum Republik Indonesia, atau suatu putusan lembaga arbitrase/arbiter perorangan yang
menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase Internasional.
Ciri putusan arbitase asing di dasarkan pada faktor wilayah atau teritorial. Setiap putusan
yang dijatuhkan di luar teritorial Republik Indonesia dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase
asing.
Hal ini, tidak menguntungkan syarat perbedaan kewarganegaraan maupun perbedaan tata
hukum, meskipun para pihak yang terlibat di dalam putusan adalah orang-orang Indonesia dan
sama-sama warga negara Indonesia, jika putusannya dijatuhkan di luar negeri, putusan tersebut
dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing. Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 jo Pasal 3 Perma Nomor 1 Tahun 1990 dinyatakan bahwa putusan hanya diakui dan dapat
dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Putusan itu dijatuhkan oleh badan arbitase atau arbiter perorangan di suatu negara yang
dengan negara Indonesia ataupun bersama-sama negara Indonesia terikat dalam suatu
konvensi internasional perihal pengakuan serta pelaksanaan putusan arbitrase asing.
Pelaksanaanna didasarkan atas asas timbal balik (resiprositas);
Untuk lebih jeasnya, mengenai pengaturan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan
Arbitrase Asing di Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Penyelesaian Masalah, telah menggariskan ketentuan di dalam Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, Pasal
68, dan Pasal 69. Pasal 67 dinyatakan sebagai berikut:
(1) Permohonan pelaksanaan Putusan arbitrase internasional dilakukan setelah putusan
tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitra Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat;
(2) Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat1 harus
disertai dengan:
a. Lembar asli atau salinan otentik Putusan arbitrase internasional, sesuai ketentuan
perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam
bahasa Indonesia;
b. Lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan arbitrase
internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah
terjemahan resminya dalam bahas Indonesia; dan
c. Keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat
Putusan arbitrase internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa
negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral
dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan
arbitrase internasional.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak dapat diajukan banding maupun
kasasi,dan penolakan terhadap pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase asing
dapat diajukan di tingkat kasasi, serta dengan pertimbangan Mahkamah Agung Republik
Indonesia. Untuk lebih jelasnya di dalam Pasal 68 dinyatakan sebagai berikut:
(1) Terhadap putusan ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam
pasal 66 huruf d yang mengakui dan melaksanakan Putusan arbitrase internasional, tidak
dapat diajukan banding atau kasasi;
(2) Terhadap putusan ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam
pasal 66 huruf d yang menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu Putusan
arbitrase internasional, dapat diajukan kasasi;
(3) Mahkamah agung mempertimbangkan serta memutuskan setiap kasasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat 2, dalam jangka waktu paling lama 90 hari setelah permohonan
kasasi tersebut diterima oleh mahkamah agung; dan
(4) Terhadap putusan mahkamah agung sebagaiman dimaksud dalam pasal 66 huruf e, tidak
dapat diajukan upaya perlawanan.
Karena itu masalah utama bagi Indonesia saat ini adalah tidak adanya peraturan mengenai
prosedur pelaksanaan putusan arbitrase yang didapatkan melalui pengadilan Indonesia, sehingga
putusan arbitrase asing tidak dapat dilaksanakan secara langsung di Indonesia. Pada tahun 1990,
Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Nomor 1 Tahun 1999 tentang
Kompetensi Pengadilan Arbitrase, yang intinya menegaskan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat diberi kuasa sebagai badan yang berwenang manangani pelaksanaan putusan arbitrase
(Ayat 1). Sementara pada Ayat 2 disebutkan bahwa setiap putusan arbitrase memiliki status final
dan mengikat. Sedangkan Ayat 3 satu demi satu mengatur mengenai persyaratan prosedur
penyelenggaraan yaitu dinyatakan bahwa putusan arbitrase asing hanya dapat dilaksanakan di
Indonesia bila putusan tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia.
Syarat-syarat suatu putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di Indonesia bila
memenuhi ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Penyelesaian Masalah, antara lain putusan arbitrase itu dijatuhkan oleh arbiter atau Majelis
Arbitrase di suatu negara yang terikat oleh perjanjian dengan Indonesia secara bilateral atau
multilateral tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase Internasional.
Sementara itu, menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentan Arbitrase dan
Penyelesaian Sengketa, putusan arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia apabila
putusan arbitrase itu dijatuhkan oleh arbiter atau Majelis Arbitrase di siatu negara yang terikat
secara bilateral maupun multilateral terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
Internasional. Putusan inipun hanya terbatas pada putusan yang masuk dalam lingkup hukum
perdagangan. Putusan ini juga dapat dilaksanakan setelah mendapat eksekuatur dari Ketua
Pengadilan Negeri. Akan tetapi bila putusan itu menyangkut negara Republik Indonesia, maka
putusan itu baru dapat dilaksanakan setelah mendapat eksekuatur dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia. Putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang melaksanakan putusan
arbitrase asing tidak dapat diajukan banding ataupun kasasi, hanya saja putusan Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menolaklah yang dapat diajukan kasasi.