Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

ILMU PENYAKIT MATA

KERATITIS

Pembimbing:
dr. Yulia Fitriani, Sp.M

Disusun oleh:
Bella Rizky RG G4A016102

KSMF ILMU PENYAKIT MATA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2018
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui referat dengan judul :

KERATITIS

Pada tanggal Februari 2018

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti


program profesi dokter di Bagian Ilmu Penyakit Mata
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun oleh:

Bella Rizky RG G4A016102

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Yulia Fitriani, Sp.M


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.
Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., karena
atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas referat
ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW beserta para pengikut setianya.
Terima kasih penulis sampaikan kepada para pengajar, fasilitator,
dan narasumber KSMF Ilmu Penyakit Mata, terutama dr. Yulia Fitriani,
Sp.M, selaku pembimbing penulis. Penulis menyadari referat ini masih
sangat jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaannya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga referat ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis yang sedang menempuh pendidikan
dan dapat dijadikan pelajaran bagi yang membacanya.

Purwokerto, Februari 2018

Penulis
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii


KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
I. PENDAHULUAN....................................................................................... 1
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan histologi kornea ................................................................... 2
B. Fisiologi kornea......................................................................................... 5
C. Definisi ...................................................................................................... 7
D. Epidemiologi ............................................................................................. 7
E. Klasifikasi ................................................................................................ 8
F. Etiologi ...................................................................................................... 10
G. Patofisiologi .............................................................................................. 10
H. Gejala Klinis ............................................................................................. 12
I. Penegakan Diagnosis ................................................................................ 16
J. Diagnosis Banding .................................................................................... 19
K. Penatalaksanaan ........................................................................................ 20
L. Komplikasi ................................................................................................ 23
M. Prognosis ................................................................................................... 23
KESIMPULAN...........................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 25
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keratitis adalah radang pada kornea atau infiltrasi sel radang pada
kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh sehingga tajam
penglihatan menurun. Infeksi keratitis dapat disebabkan oleh adanya infeksi
bakteri, virus, jamur, protozoa dan juga dapat terjadi karena adanya reaksi
hipersensitivitas. Data World Health Organization (WHO) menyebutkan
terdapat 39 juta orang mengalami kebutaan. Kebutaan kornea menempati
urutan kelima sebagai penyebab kebutaan penduduk di dunia setelah katarak,
glaukoma, degenerasi makula, dan kelainan refraksi, sedangkan di negara-
negara berkembang beriklim tropis, kebutaan kornea merupakan urutan kedua
setelah katarak sebagai penyebab kebutaan dan penurunan ketajaman
penglihatan (Vaughan, 2012).
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, infeksi kornea masih
menempati urutan tertinggi dari infeksi mata pada umumnya, dan bahkan
masih merupakan salah satu penyebab kebutaan. Keratitis yang disebabkan
oleh bakteri adalah jenis keratitis yang paling parah komplikasinya. Sekitar
10 – 15% kasus keratitits yang disebabkan oleh bakteri mengakibatkan
hilangnya penglihatan secara permanen. Dinegara maju seperti Amerika
Serikat sekitar 25.000 penduduk menderita penyakit ini setiap tahunnya
(Vaughan, 2012).
Komplikasi yang dapat terjadi akibat keratitis ini dapat berupa jaringan
parut pada kornea yang dapat menganggu tajamnya penglihatan bahkan dapat
menyebabkan terjadinya kebutaan permanen, namun dengan penanganan
yang cepat dan terapi yang tepat komplikasi akibat keratitis ini dapat dicegah.
Oleh karena itu, perlu diagnosis yang tepat sesuai dengan etiologinya guna
penatalaksanaan lebih lanjut untuk mencegah terjadinya komplikasi
(Roderick, 2009).
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Histologi Kornea


Kornea merupakan organ avaskuler yang bersifat transparan
berukuran11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal. Kornea berasal dari
bahasa latin cornum yang berarti tanduk. Kornea merupakan selaput bening
mata yang tembus cahaya dan lapisan jaringan yang menutup bola mata
bagian depan. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari
aquous humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai
tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus (Roderick
2009).
Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-
ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan
dengan konjungtiva. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama
berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar dan saraf trigeminus. Korena
diinervasi oleh cabang pertama dari nervus trigeminus yang menyebabkan
segala kerusakan pada kornea (abrasi kornea, keratitis, dan gangguan lain
pada kornea) menimbulkan rasa sakit, fotofobia, dan refleks lakrimasi.
Kornea yang merupakan selaput bening mata ini memiliki beberapa lapisan
(Khurana, 2007). Secara histologi kornea terdiri dari :
1. Epitel
Epitel kornea merupakan lanjutan dari konjungtiva disusun oleh
epitel gepeng berlapis tanpa lapisan tanduk. Lapisan ini merupakan lapisan
kornea terluar yang langsung kontak dengan dunia luar dan terdiri atas 5-6
lapis sel. Pada bagian basal terdapat sel kolumner, 2 lapisan diatasnya
disusun oleh sel poligonal atau sel payung dan 2 lapisan paling atas
disusun oleh sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel
muda ini terdorong ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat
dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui
desmosom dan makula okluden, ikatan ini menghambat pengaliran air,
elektrolit dan glukosa melalui barrier. Tebal lapisan epitel kira-kira 5 %
(0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea, selain itu epitel kornea
memiliki kemampuan untuk beregenerasi (Ilyas, 2015).
2. Membran Bowman
Lapisan ini terletak dibawah membran basalis epitel kornea.
Membran bowman merupakan lapisan aseluler yang tersusun dari serat
kolagen tipe 1 yang tersusun secara tidak teratur. Lapisan ini tidak
memiliki daya regenerasi (Ilyas, 2015).
3. Stroma
Stroma kornea tersusun dari serat-serat kolagen tipe 1 yang berjalan
secara paralel membentuk lamel kolagen dengan sel-sel fibroblas
diantaranya. Lamel kolagen ini berjalan paralel dengan permukaan kornea
dan bertanggung jawab terhadap kejernihan kornea. Keratinosit merupakan
sel stroma yang merupakan fibroblas yang berada diantara lamela kornea
dan diduga bertanggung jawab dalam proses membentuk bahan dasar dan
serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma. Stroma
ini merupakan lapisan yang 90% menyusun ketebalan kornea (Ilyas,
2015).
4. Membran Descement
Membran descemet merupakan membran dasar yang tebal tersusun
dari serat-serat kolagen yang dapat dibedakan dari stroma kornea. Bersifat
sangat elastis dan jernih yang tampak amorf pada pemeriksaan mikroskop
elektron, membran ini berkembang terus seumur hidup dan mempunyai
tebal + 40 mm. Lebih kompak dan elastis daripada membran bowman.
Juga lebih resisten terhadap trauma dan proses patologik lainnya
dibandingkan dengan bagian-bagian kornea yang lain (Ilyas, 2015).
5. Endotel
Lapisan ini merupakan lapisan kornea yang paling dalam tersusun
dari epitel selapis gepeng atau kuboid rendah. Sel-sel ini mensintesa
protein yang mungkin diperlukan untuk memelihara membran descement.
Endotel dari kornea ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel
berbeda dengan lapisan epitel karena tidak mempunyai daya regenerasi,
sebaliknya endotel mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi
kepadatan seluruh endotel dan memberikan dampak pada regulasi cairan,
jika endotel tidak lagi dapat menjaga keseimbangan cairan yang tepat
akibat gangguan sistem pompa endotel, stroma bengkak karena kelebihan
cairan (edema kornea) dan kemudian hilangnya transparansi (kekeruhan)
akan terjadi (Ilyas, 2015).
Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh epitel dan endotel yang
merupakan membran semipermeabel, kedua lapisan ini mempertahankan
kejernihan daripada kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan ini maka
akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada kornea (Jusuf, 2012).

Gambar 2.1 Histologi Kornea (Kanski, 2011)


B. Fisiologi Kornea
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang
dilalui berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh
strukturnya yang uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau
keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa”
bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel
(Roderick, 2009).

Gambar 2.2 Kornea (Standring, 2008)

1. Transparansi Kornea
Sifat transparan dari kornea dihasilkan oleh berbagai faktor yang
saling berhubungan, yaitu susunan dari lamela kornea, sifat avaskular,
serta keadaan dehidrasi relatif (70%) yang dijaga oleh adanya efek barrier
dari epitelium, endotelium, dan pompa bikarbonat yang bekerja secara
aktif pada endothelium (Cassidy, 2005).
Keadaan dehidrasi tersebut dihasilkan oleh evaporasi air dari laporan
air mata prekorneal yang menghasilkan lapisan dengan sifat hipertonis.
Dalam hal ini, endotelium memegang peranan yang lebih besar daripada
epitelium. Demikian pula bila terjadi kerusakan pada endotelium, akan
diperoleh dampak yang lebih besar (Cassidy, 2005).
Penetrasi pada kornea yang sehat atau intak oleh obat bersifat
bifasik. Substansi larut lemak dapat melewati epithelium dan substansi
larut air dapat melewati stroma. Obat yang diharapkan untuk dapat
menembus kornea harus memiliki kedua sifat tersebut (Khurana, 2007).
2. Metabolisme Kornea
Kornea membutuhkan energi untuk menyokong fungsinya. Adapun
sumber energi kornea diperoleh melalui (Vaughan, 2012) :
a. Zat terlarut, misalnya glukosa, masuk ke kornea secara pasif melalui
difusi sederhana maupun secara transpor aktif melalui aqueous humor,
serta melalui difusi dari kapiler perilimbal.
b. Oksigen, secara langsung diperoleh dari udara atmosfer melalui lapisan
air mata. Proses ini dijalankan secara aktif melalui epitelium.
Sumber energi ini kemudian diproses atau dimetabolisme, terutama
oleh epitelium dan endotelium. Dalam hal ini, karena epitelium jauh lebih
tebal daripada endotelium, suplai energi yang dibutuhkan pun jauh lebih
besar, sehingga akitivitas metabolisme tertinggi di mata dijalankan oleh
kornea. Kornea adalah jaringan yang braditrofik, yaitu jaringan dengan
metabolisme yang lambat dan karenanya juga penyembuhan yang lambat
(Lang, 2000).
Sebagaimana jaringan lain, epitelium dapat melangsungkan
metabolisme secara aerobik maupun anaerobik. Secara aerobik, proses
yang terjadi adalah glikolisis (30%) dan heksosa monofosfat (65%). Secara
anaerobik, metabolisme akan menghasilkan karbondioksida, air, dan juga
asam laktat. Kornea juga dilengkapi oleh beberapa materi antioksidan
untuk menangkal radikal bebas yang dapat terjadi sebagai efek samping
dari proses metabolisme. Antioksidan yang terkandung dalam jumlah
terbesar pada kornea adalah glutation reduktase, selain terdapat pula
askorbat, superoksida dismutase, serta katalase (Lang, 2000).
3. Proteksi dan Persarafan Kornea
Struktur ini menerima persarafan dari cabang ophtalmika dari nervus
trigeminalis. Kornea sendiri adalah sebuah struktur vital pada mata dan
karenanya juga bersifat sangat sensitif. Sensasi taktil minimal telah dapat
menimbulkan refleks penutupan mata. Adapun lesi pada kornea akan
membuat ujung saraf bebas terpajan dan sebagai akibatnya, akan timbul
nyeri hebat diikuti refleks pengeluaran air mata beserta lisozim yang
terkandung di dalamnya (epifora) dan penutupan mata secara involunter
(blefarospasme) sebagai mekanisme proteksinya (Lang, 2000).
4. Resistensi Kornea terhadap Infeksi
Epitelium kornea, dengan sifat hidrofobik dan regenerasi cepatnya,
merupakan pelindung yang sangat baik dari masuknya mikroorganisme ke
dalam kornea. Akan tetapi, bila lapisan ini mengalami kerusakan, lapisan
stroma yang avaskular serta lapisan bowman dapat menjadi tempat yang
baik bagi mikroorganisme, misalnya bakteri, amuba, dan jamur. Faktor
predisposisi yang dapat memicu inflamasi pada kornea di antaranya adalah
blefaritis, perubahan pada epitel kornea (misalnya mata kering),
penggunaan lensa kontak, lagoftalmus, kelainan neuroparalitik, trauma,
dan penggunaan kortikosteroid, untuk dapat menimbulkan infeksi,
diperlukan inokulum dalam jumlah besar atau keadaan defisiensi imun
(Vaughan, 2012).

C. Definisi
Keratitis adalah radang pada kornea atau infiltrasi sel radang pada kornea
yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh sehingga tajam penglihatan
menurun. Infeksi pada kornea bisa mengenai lapisan superfisial yaitu pada
lapisan epitel atau membran bowman dan lapisan profunda jika sudah
mengenai lapisan stroma (Vaughan, 2012).

D. Epidemiologi
Data World Health Organization (WHO) menyebutkan terdapat 39 juta
orang mengalami kebutaan. Kebutaan kornea menempati urutan kelima
sebagai penyebab kebutaan penduduk di dunia setelah katarak, glaukoma,
degenerasi makula, dan kelainan refraksi, sedangkan di negara-negara
berkembang beriklim tropis, kebutaan kornea merupakan urutan kedua
setelah katarak sebagai penyebab kebutaan dan penurunan ketajaman
penglihatan (Vaughan, 2012). Perkiraan angka prevalensi kebutaan kornea di
India baik pada satu mata atau lebih adalah 0,66%. Berdasarkan Survei
Kesehatan Indera tahun 1993-1996 didapatkan bahwa kelainan kornea
menempati urutan kelima sebagai penyebab kebutaan setelah katarak,
glaukoma, kelainan refraksi, serta gangguan retina. Penyebab kebutaan
kornea terbanyak adalah keratitis (Sulvia, 2013).
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, infeksi kornea masih
menempati urutan tertinggi dari infeksi mata pada umumnya, dan bahkan
masih merupakan salah satu penyebab kebutaan. Keratitis yang disebabkan
oleh bakteri adalah jenis keratitis yang paling parah komplikasinya. Sekitar
10 – 15% kasus keratitits yang disebabkan oleh bakteri mengakibatkan
hilangnya penglihatan secara permanen. Dinegara maju seperti Amerika
Serikat sekitar 25.000 penduduk menderita penyakit ini setiap tahunnya.
Insiden ini dihubungkan dengan penggunaan lensa kontak yang
berkepanjangan (Vaughan, 2012).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSUP Dr. Sardjito,
kekeruhan kornea akibat keratitis merupakan penyebab kebutaan terbesar
kedua setelah katarak. Kekeruhan kornea akibat keratitis infeksi sampai saat
ini masih menjadi ancaman yang serius terhadap bahaya kebutaan. Angka
kejadian keratitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan wanita,
64% penderita keratitis adalah laki-laki dan 36% penderita keratitis adalah
perempuan (Sulvia, 2013).

E. Klasifikasi
Berdasarkan lapisan kornea yang terkena keratitis dapat diklasifikasikan
menjadi keratitis superfisialis apabila lapisan epitel dan lapisan bowman yang
terkena, dan keratitis profunda apabila lapisan stroma yang terkena.
Berdasarkan pada lesi kornea, keratitis dapat diklasifikasikan menjadi
(Vaughan, 2012) :
1. Keratitis epitelial
Epitel kornea terlibat pada kebanyakan jenis konjungtivitis dan
keratitis, dan pada kasus-kasus tertentu merupakan satu-satunya jaringan
yang terlibat (misalnya pada keratitis pungtata superfisialis). Perubahan
pada epitel sangat bervariasi, dari edema biasa dan vakuolasi sampai erosi
kecil-kecil, pembuntukan filament, keratinisasi parsial, dan lain-lain. Lesi-
lesi itu juga bervariasi lokasinya pada kornea. Semua variasi ini
mempunyai makna diagnostik yang penting dan pemeriksaan
biomikroskopik dengan dan tanpa pulasan fluorosein yang merupakan
bagian dari setiap pemeriksaan mata bagian luar
2. Keratitis stroma
Respon stroma kornea terhadap penyakit termasuk infiltrasi, yang
menunjukkan akumulasi sel – sel radang; edema muncul sebagai
penebalan kornea, pengkeruhan atau parut; penipisan dan perlunakan, yang
dapat berakibat perforasi, dan vaskulasrisasi. Pada respon ini kurang
spesifik bagi penyakit ini, tidak seperti pada keratitis epithelial dan dokter
sering harus mengandalkan informasi klinik dan pemeriksaan labpratorium
untuk menetapkan penyebabnya
3. Keratitis endotelial
Disfungsi endothelium kornea akan berakibat ederma kornea, yang
mula-mula mengenai stroma dan epitel. Ini berbeda dari edema kornea
yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intraokuler, yang mulai pada
epitel kemudian stroma. Selama kornea tidak terlalu sembab, sering masih
mungkin dilihat kelainan morfologik endotel kornea dengan slitlamp. Sel–
sel radang pada endotel (endapan keratik atau keratik precipitat) tidak
selalu menandakan adanya penyakit endotel karena sel radang juga
merupakan manifestasi dari uveitis anterior, yang dapat atau tidak
menyertai keratitis stroma
Berdasarkan pada penyebabnya, keratitis dapat diklasifikasikan menjadi
(Ilyas, 2012) :
1. Keratitis bakterial
2. Keratitis viral
3. Keratitis jamur
4. Keratitis protozoa
5. Keratitis alergi
a. Keratokonjungtivitis fliktenularis
b. Keratitis fasikularis
c. Keratokonjungtivitis vernal
d. Keratokonjungtivitis epidemi
Klasifikasi lain keratitis dapat diklasfikasikan menjadi (Ilyas, 2012) :
1. Keratitis dimmer atau keratitis numularis
2. Keratitis filamentosa
3. Keratitis lagoftalmus
4. Keratitis neuroparalitik
5. Keratitis sika
6. Keratitis sklerotikan

F. Etiologi
Keratitis merupakan kelainan pada kornea yang sering terjadi,
merupakan peradangan pada kornea yang dapat disebabkan oleh bakteri,
virus, protozoa ataupun jamur. Penyebab non infeksi juga dapat memicu
terjadinya keratitis, beberapa kondisi seperti kurangnya air mata, keracunan
obat, penggunaan lensa kontak, trauma pada mata, proses autoimun,
defisiensi vitamin A, kelainan pada palpebra dan kelainan pada sistem
persarafan mata juga dapat menjadi penyebab atau faktor resiko terjadinya
keratitis (Vaughan, 2012).

G. Patofisiologi
Beberapa faktor resiko termasuk terpaparnya mata terhadap
kontaminasi benda asing, gangguan pada film air mata alami, mikrotrauma
epitel permukaan kornea, penurunan fungsi kekebalan tubuh pada permukaan
mata, hipoksia kornea pada pengguna lensa kontak dan lensa yang tidak tepat
atau kebersihan mata yang kurang serta faktor resiko lain dapat menjadi
penyebab terjadinya abrasi atau rusaknya lapisan kornea (Eby, 2016).
Abrasi pada kornea dapat memudahkan masuknya bakteri, virus, jamur
ataupun protozoa dan agen infeksi maupun non infeksi lain terhadap kornea.
Mikroorganisme yang masuk kedalam kornea ini dapat mengeluarkan enzim
atau toksin yang bersifat litik terhadap epitel kornea, sehingga
mikroorganisme ini dapat menembus masuk kedalam jaringan kornea yang
lebih dalam. Terdapatnya mikroorganisme dan toksin dalam jaringan kornea
akan memicu terjadinya respon imun pada kornea (Eby, 2016).
Kornea merupakan bagian mata yang avaskuler sehingga respon imun
pada awal mulanya akan diperankan oleh sel stroma epitel yang berperan
sebagai makrofag dan disusul dengan dilatasi pembuluh darah pada jaringan
sekitar kornea. Dilatasi vaskuler pada jaringan kornea ini akan menimbulkan
manifestasi klinis berupa injeksi perikornea atau mata menjadi merah (Patel,
2012).
Dilatasi pembuluh darah pada jaringan perikornea akan menyebabkan
terjadinya infiltrasi dari sel-sel leukosit berupa sel polimorfonuklear, sel
plasma yang akan menghasilkan enzim proteolitik, sitokin dan interleukin pro
inflamasi untuk menyerang dan melisiskan mikroorganisme yang berada pada
kornea. Adanya infiltrasi sel-sel leukosit pro inflamasi ini akan menyebabkan
terbentuknya infiltrat pada jaringan kornea. Selain itu, adanya sitokin yang
dihasilkan oleh sel pro inflamasi ini akan merusak jaringan epitel kornea dan
memperluas kerusakan kornea sehingga menimbulkan bercak keabuan atau
kekeruhan pada kornea dan kornea menjadi tidak licin (Patel, 2012).
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya,
dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab
susunan sel dan seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Bias cahaya
terjadi di permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan
kejernihan kornea, segera mengganggu pembentukan bayangan yang baik di
retina. Oleh karenanya kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan
gangguan penglihatan yang hebat terutama bila letaknya di daerah pupil
(Srinivasan, 2007).
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada
kornea baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan
fotofobia. Rasa sakit juga diperberat dengan adanya gesekan palpebra
(terutama palbebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh
(Vaughan, 2012).
H. Gejala Klinis
Gejala klinis pada keratitis dapat berbeda antara satu jenis keratitis
dengan keratitis yang lain. Secara umum, terdapat trias keluhan keratitis yaitu
gejala mata merah, rasa silau (fotofobia) dan merasa kelilipan
(blefarospasma). keluhan yang dirasakan pada pasien dengan keratitis
umumnya berupa nyeri pada mata, pengeluaran air mata berlebihan,
fotofobia, penurunan visus, sensasi benda asing, rasa panas, iritasi okuler dan
blefarospasme. Oleh karena korea memiliki banyak serat-serat saraf,
kebanyakan lesi kornea baik superfisial ataupun profunda, dapat
menyebabkan nyeri dan fotofobia (Vaughan, 2012).
Nyeri pada keratitis diperparah degan pergerakan dari palpebral
(umunnya palpebral superior) terhadap kornea dan biasanya menetap hingga
terjadi penyembuhan karena kornea bersifat sebagai jendela mata dan
merefraksikan cahaya, lesi kornea sering kali mengakibatkan penglihatan
menjadi kabur, terutama ketika lesinya berada dibagian sentral (Ilyas, 2015).
Lesi kornea pada keratitis juga berbeda antara satu jenis keratitis
dengan keratitis yang lain, misalnya pada keratitis pungtata dapat ditemukan
adanya lesi kornea berupa lesi epithelia multiple sebanyak 1 – 50 lesi (rata-
rata sekitar 20 lesi didapatkan). Lesi epithelia yang didapatkan pada keratitis
pungtata superfisial berupa kumpulan bintik – bintik kelabu yang berbentuk
oval atau bulat dan cenderung berakumulasi di daerah pupil. Opasitas pada
kornea tersebut tidak tampak apabila di inspeksi secara langsung, tetapi dapat
dilihat dengan slitlamp ataupun loup setelah diberi flouresen (Ilyas, 2015).

I. Penegakan Diagnosis
1. Keratitis bakterial
a. Anamnesis
Kecurigaan akan adanya keratitis pada pasien dapat timbul pada
pasien yang datang dengan trias keluhan keratitis yaitu gejala mata
merah, rasa silau (fotofobia) dan merasa kelilipan (blefarospasma).
Kebanyakan bakteri tidak dapat menetrasi kornea sepanjang epitel
kornea masih intak, hanya bakteri gonococci dan difteri yang dapat
menetrasi epitel korea yang intak (Ilyas, 2015).
Gejala keratitis bakteria diantaranya adalah nyeri disertai dengan
adanya sensasi benda asing pada mata, fotofobia, penurunan visus atau
pandangan menjadi buram, lakrimasi, mata merah dan sekret purulen.
Sekret purulen khas untuk keratitis bakteri sedangkan keratitis virus
mempunyai sekret yang berair (Ilyas, 2015).
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada keratitis meliputi inspeksi dengan
menggunakan slit lamp dengan pencahayaan yang baik. Selain itu untuk
melihat adanya defek pada epitel kornea yang tidak dapat dengan slit
lamp dapat dilakukan pemeriksaan fluoresein untuk melihat adanya
defek pada epitel kornea. Hasil pemeriksaan positif apabila ditemukan
permukaan kornea berwarna hijau dengan sinar biru (Ilyas, 2015).
Temuan dari pemeriksaan kornea yang diperoleh adalah adanya
defek epitel dengan infiltrat berwarna putih kelabu dengan batas tegas.
Defek kemudian meluas dan terjadilah edema stroma serta pelipatan
membran descement. Gambaran ulkus bakteri berupa area berwarna
putih kekuningan dengan bentuk oval atau iregular, batas ulkus
membengkak dan terangkat, basis ulkus tertutup oleh jaringan nekrotik,
dengan edema stroma di sekitar area ulkus. Dapat pula ditemukan
hipopion (Vaughan, 2012).
Keratitis Staphylococcus aureus biasanya berbentuk bulat atau oval
dengan infiltrasi padat, infeksi cenderung berkembang perlahan dan
infiltrat biasanya dangkal, serta lokasi sekitar kornea bersih, jika tidak
di atasi dengan baik akan terjadi ulkus dengan infiltrate yang padat
(Kanski, 2011).
Gambar 2.3 Keratitis bakteri (Khurana, 2007)
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu
menegakan diagnosis keratitis bakterial adalah kultur bakteri, dengan
menggores bagian tepi ulkus kornea menggunakan spatula steril lalu
ditanam dimedia cokelat, darah dan agar sabouraud, kemudian
dilakukan pengecatan dengan gram. Biopsi dapat dilakukan apabila
hasil kultur menunjukan hasil negatif dan tidak ada perbaikan atau
respon terhadap terapi (Vaughan, 2012).
2. Keratitis viral
a. Anamnesis
Herpes simpleks virus (HSV) merupakan penyebab paling sering
keratitis viral. Pasien seringkali datang dengan keluhan mata terasa
nyeri, mata terasa silau (fotofobia), mata berair, kelopak mata bengkak,
penurunan tajam penglihatan, mata merah (injeksi konjungtiva) dan
pada beberapa kasus dapat diawali dengan demam (Vaughan, 2012).
b. Pemeriksaan fisik
Keratitis viral yang disebabkan oleh HSV virus dapat menunjukan
gambaran khas berupa ulkus dendritik yang terbentuk pada epitel kornea
yaitu infiltrat pada permukaan kornea yang membentuk cabang dan pola
percabangan linear khas dengan tepi yang kabur dan memiliki bulbus-
bulbus terminalis pada ujungnya. Pemulasan dengam fluoresein
membuat ulkus dendritik mudah dilihat. Ulkus dendritik yang kronik
akan berkembang menjadi ulkus geografik yaitu bentuk ulkus dendritik
kronik dengan lesi dendritik yang halus berbentuk lebeih lebar dengan
tepi ulkus yang tidak terlalu kabur. Selain adanya gambaran ulkus khas
pada infeksi virus HSV, sensasi kornea juga mengalami penurunan pada
infeksi keratitis viral (Vaughan, 2012).
Lesi epitelial kornea lain yang dapat ditimbulkan oleh virus HSV
berupa keratitis epitelial bercak, keratitis epiteal stelata, dan keratitis
filametosa, namun semua ini umumnya hanya sementara dan akan
berkembang menjadi ulkus dendritik dalam waktu 2 hari. Keratitis HSV
yang mengenai stroma akan menunjukan gambaran keratitis disiformis
yaitu bentuk penyakit stroma yang paling umum pada infeksi HSV.
Keratitis ini membentuk kekeruhan infiltrat yang bulat atau lonjong pada
jaringan kornea disertai dengan edema kornea didaerah sentral yang
berupa cakram (Vaughan, 2012).

Gambar 2.4 Keratitis HSV (Khurana, 2007)


c. Pemeriksaan penunjang
Kerokan lesi epitel kornea pada keratitis HSV dapat ditemukan
adanya sel-sel raksasa multinuklear. Pemeriksaan PCR dapat digunakan
untuk mengidentifikasi HSV dari jaringan dan cairan juga dari sel-sel
epitel kornea secara akurat, namun pada kebanyakan kasus, diagnosis
dapat ditegakan secara klinis berdasarkan ulkus dendritik dan ulkus
geografik serta adanya penurunan pada sensasi kornea (Vaughan, 2012).
3. Keratitis jamur
a. Anamnesis
Kejadian keratitis jamur umumnya lebih jarang terjadi
dibandingkan dengan keratitis bakterial. Keratitis jamur seringkali
terjadi pada orang yang bekerja didaerah pertanian, orang yang
menggunakan steroid dalam jangka waktu yang lama dan pengguna
lensa kontak (Vaughan, 2012). Keluhan biasanya timbul 5 hari sampai 3
minggu setelah kontak. Pasien dengan keratitis jamur umumnya
mengeluhkan sakit mata hebat, mata berair, pandangan silau, tajam
penglihatan menurun, mata merah dan kadang sulit untuk membuka
mata (Ilyas, 2015).
b. Pemeriksaan fisik
Hasil pemeriksaan mata pada keratitis jamur dapat ditemukan
adanya ulkus indolen dengan infiltrat berwarna abu disertai dengan
hipopion, peradangan yang nyata pada bola mata, ulserasi superfisial
dan adanya lesi satelit yang umumnya lesi satelit menginfiltrasi daerah
yang jauh dari lesi utama. Pada keratitis jamur juga dapat ditemukan
adanya ulkus pada kornea (Ilyas, 2015).

Gambar 2.5 Keratitis Jamur (Khurana, 2007)


c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakan
diagnosis keratitis jamur adalah dengan pemeriksaan KOH 10%, dengan
mengambil kerokan dari ulkus kornea yang ditetesi KOH 10% hasil
positif apabila ditemukan adanya hifa. Selain pemeriksaan dengan KOH
10% pemeriksaan kultur jamur dan pewarnaan dengan giemsa dapat
dilakukan untuk menemukan adanya jamur pada kerokan kornea.
Pemeriksaan histopatologi dapat dipertimbangkan apabila hasil
pemeriksaan dengan KOH 10%, kultur dan pewarnaan menunjukan hasil
negatif serta tidak adanya respon terhadap terapi yang diberikan (Ilyas,
2015).
4. Keratitis protozoa
a. Anamnesis
Acanthamoeba merupakan protozoa hidup bebas yang terdapat
didalam air tercemar dan merupakan penyebab terjadinya keratitis
protozoa. Infeksi kornea karena acanthamoeba banyak dihubungkan
dengan penggunaan lensa kontak. Pada anamnesis umumnya pasien
mengeluhkan rasa nyeri yang tidak sebanding dengan temuan klinisnya,
mata merah dan fotofobia. Pasien bisanya datang dengan keluhan nyeri
hebat, pandangan kabur, merasa silau, sensasi benda asing, dan keluar air
mata pada sebelah mata. Penting untuk menanyakan kebiasaan
menggunakan kontak lensa dan riwayat trauma yang disertai kontaminasi
tanah atau air ke dalam mata (Gross, 2003).
b. Pemeriksaan fisik
Tanda klinis yang khas pada keratitis Acanthamoeba adalah
ditemukan ulkus kornea indolen, cincin stroma, dan infiltrat perineural,
tetapi hanya sering ditemukan perubahan-perubahan yang terbatas pada
epitel kornea. Pada awalnya terlihat abu-abu putih pada superfisial dan
nonsupuratif infiltrat. Seiringan dengan perkembangan penyakit
sebagian atau terbentuk infiltrat berbentuk cincin yang sempurna di
daerah parasentral kornea (Graffi, 2013).

Gambar 2.6 Keratitis Acanthamoeba (Graffi, 2013)


c. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis ditegakkan dengan biakan di atas media khusus (agar
non nutrien yang dilapisi E.coli). Pengambilan sampel lebih baik
dilakukan dengan biopsi kornea karena kemungkinan diperlukan
pemeriksaan histopatologi untuk menemukan bentuk-bentuk amoeba
(trofozoit atau kista). Sitologi impresi dan confocal microscopy adalah
teknik-teknik diagnostik yang lebih modern. Larutan dan tempat lensa
kontak harus dikultur. Seringkali, bentuk amoeba dapat ditemukan pada
cairan tempat penyimpanan lensa kontak (Biswell, 2010).
5. Keratitis alergi
a. Anamnesis
Gejala keratitis alergi bervariasi tergantung pada jenis keratitisnya.
Secara umum gelaja pada keratitis alergi berupa gatal, mata terasa silau,
rasa mengganjal pada mata, mata merah, penglihatan menjadi buram,
mata kotor, mata berair, papul, pustul, benjolan berbatas tegas pada
konjungtiva dan pada beberapa kasus dapat ditemukan adanya riwayat
alergi pada keluarga (Ilyas, 2015).
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan mata dapat ditemukan adanya benjolan
umumnya pada konjuntiva palpebra. Pada limbus tampak benjolan
putih kemerahan dikelilingi daerah konjungtiva berwarna merah.
Hipertrofi papil berbentuk cobble stone pada konjungtiva palpebra
superior dan konjungtiva daerah limbus umumnya ditemukan (Ilyas,
2015).

Gambar 2.7 Keratokonjuntivitis Alergi (Ilyas, 2015)


c. Pemeriksaan penunjang
Penegakan diagnosis umumnya dapat ditegakan berdasarkan klinis.
Pada pemeriksaan histologik biasanya ditemukan adanya sel eosinofil,
degenerasi hialin dan pengelupasan lapisan tanduk epitel kornea (Ilyas,
2015).

J. Diagnosis Banding
1. Uveitis
Uveitis adalah peradangan yang terjadi pada iris, corpus ciliare, atau
koroid. Uveitis dapat juga terjadi sekunder akibat keratitis atau skleritis.
Uveitis biasanya terjadi pada usia 20-50 tahun. Uveitis dapat di bagi
menjadi 3 bentuk yaitu uveitis anterior, intermediet dan posterior. Gejala
pada uveitis anterior adalah nyeri, fotofobia dan penglihatan kabur.
Uveitis anterior biasanya terjadi unilateral dan onsetnya akut. Tanda dari
uveitis intermediet adalah peradangan vitreus. Uveitis intermediet
memiliki gejala khas yaitu floaters dan penglihatan kabur. Nyeri,
fotofobia dan mata merah biasanya tidak ada. Sedangkan gejala pada
uveitis posterior adalah floaters, kehilangan lapangan pandang atau
penurunan tajam penglihatan yang mungkin parah (Vaughan, 2012).
2. Oftalmika simpatika
Oftalmika simpatika merupakan peradangan bilateral dengan gejala
klinis penglihatan menurun dan mata merah. Biasanya terjadi akibat
trauma tembus atau bedah mata intraokular. Tanda dini dari penyakit ini
adalah gangguan binokular akomodasi atau tanda radang ringan uvea
anterior ataupun posterior. Tanda yang terlihat adalah mata sakit dan
fotofobia pada kedua mata (Ilyas, 2015).
3. Endoftalmitis
Endoftalmitis merupakan peradangan berat dalam bola mata,
biasanya akibat infeksi setelah trauma atau bedah, atau endogen akibat
sepsis. Endoftalmitis terbagi dua yaitu endoftalmitis eksogen akibat
trauma atau infeksi sekunder setelah proses pembedahan dan
endoftalmitis endogen terjadi akibat penyebaran bakteri, jamur, ataupun
parasit dari fokus infeksi di dalam tubuh. Peradangan akibat bakteri akan
memberikan gambaran klinik rasa sakit yang sangat, kelopak merah dan
bengkak, kelopak sukar di buka, konjungtiva keruh dan merah, kornea
keruh, bilik mata depan keruh yang kadang-kadang di sertai hipopion
(Ilyas, 2015).

K. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan keratitis adalah mengeradikasi penyebab
keratitis, menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi
pada kornea, mempercepat penyembuhan defek epitel, mengatasi komplikasi,
serta memperbaiki ketajaman penglihatan. Ada beberapa hal yang perlu
dinilai dalam mengevaluasi keadaan klinis keratitis meliputi: rasa sakit,
fotofobia, lakrimasi, rasa mengganjal, ukuran ulkus dan luasnya infiltrat.
Terapi yang diberikan pada keratitis satu dengan yang lainnya berbeda, terapi
diberikan berdasarkan pada penyebab dari keratitis (Kanski, 2011).
1. Medikamentosa
a. Keratitis bakteri
Penatalaksanaan keratitis bakteri hendaknya memperhatikan
pemilihan antibiotik yang tepat. Pilihan antibiotik bakteri gram
positif yang dapat digunakan adalah cefazolin, vancomisin,
moxifloxacin, atau gatifloxacin. Vancomisin dapat digunakan pada
pasien yang resisten terhadap bakteri staphylococcus. Pilihan
antibiotik untuk bakteri gram negatif bentuk batang adalah
tobramycin, ceftazidime, dan fluorokuinolon, sedangkan untuk
bakteri gram negatif bentuk kokus dapat digunakan ceftriaxon,
ceftazidime, moxifloxacin atau gatifloxacin. Sediaan antibiotik yang
diberikan dapat berupa antibiotik topikal atau antibiotik
subkonjungtiva (Novita, 2015).
b. Keratitis viral
Obat topikal yang digunakan sebagai antiviral pada keratitis
herpes adalah idoxuridine, trifluridine, vidarabine dan asiklovir.
Trifuridine dan asiklovir efektif untuk infeksi stromal. Idoxuridine
dan trifuridine seringkali menimbulkan efek toksik. Pemberian
asiklovir oral dapat diberikan untuk keratitis viral yang berat. Dosis
asiklovir yang diberikan untuk pasien dengan imunocompormised
adalah 5x800 mg dan untuk pasien non imunocompormised dapat
diberikan 5x400 mg. Asiklovir dapat diberikan dengan dosis 2x400
mg sebagai terapi profilaksis terhadap rekurensi keratitis herpes
(Vaughan, 2012).
c. Keratitis jamur
Terapi pada keratitis jamur dapat diberikan obat antifungi.
Antifungi topikal harus diberikan setiap jam selama 48 jam dan
diturunkan bila tanda sudah mereda. Keratitis candida dapat diterapi
dengan amphotericin B 0,15% atau econazole 1%, alternatif yang
dapat digunakan adalah natamycin 5%, fluconazole 2%, dan
clotrimazole 1%. Infeksi fungi filamentosa diterapi dengan
natamycin 5% atau econazole 1%, alternatif yang dapat digunakan
adalah amphotericin B 0,15% dan miconazole 1% (Kanski, 2011).
Antifungi sistemik dapat diberikan pada kasus berat, bila lesi
dekat dari limbus, atau suspek endoftalmitis. Dapat diberikan
itraconazole 200 mg setiap hari, kemudian diturunkan menjadi 100
mg setiap hari, atau fluconazole 200 mg dua kali sehari. Pemberian
obat sikloplegik, sebaiknya diberikan atropin 1% untuk mencegah
spasme siliar dan untuk mencegah pembentukan sinekia posterior
dari iridosiklitis sekunder (Kanski, 2011).
Atropin juga meningkatkan aliran darah ke uvea anterior dengan
menurunkan tekanan pada uvea anterior sehingga membawa lebih
banyak antibodi ke dalam aqueous humour. Atropin juga
menurunkan eksudasi dengan menurunkan hiperemia dan
permeabilitas vaskular. Keratoplasti dapat dilakukan apabila tidak
ada respon terhadap terapi (Khurana, 2007).
d. Keratitis protozoa
Terapi dengan obat pada keratitis acanthamoeba umumnya
dimulai dengan isethionat propamidine 1% dan polyhexametilen
0,01-0,02%. Tetes mata neomisin chlorhexidine dapat digunakan
sebagai terapi alternatif. Polyhexametilen 0,01-0,02% efektif untuk
acanthamoeba pada fase tropozoid dan kista (Lorenzo, 2015).
Antimikroba topikal ini diberikan perjam secepatnya setelah
debridement kornea atau untuk beberapa hari pada terapi awal.
Kemudian dilanjutkan perjam selama 3 hari (dianjurkan 9 kali
perhari) tergantung respon klinis. Frekuensi dikurangi setiap 3 jam.
Diberikan mungkin selama 2 minggu sebelum respon terapi di
observasi, total durasi minimal 3-4 minggu. Beberapa penulis
menganjurkan pengobatan 6-12 bulan (Lorenzo, 2015).
Ketika terapi dihentikan, observasi ketat pada pasien disarankan
untuk mengatasi infeksi berulang. Beberapa pasien memperlihatkan
keberhasilan terapi menggunakan antibiotik monoterapi. Jika
mencoba, maka pasien dengan pertama kali terkena dapat diberikan
(Lorenzo, 2015).
e. Keratitis alergi
Terapi pada keratitis alergi dapat diberikan antihistamin dan
pemberian steroid sebaiknya dihindari. Selain itu dapat juga dikompres
dengan air dingin (Ilyas, 2015).
2. Non medikamentosa
Pengobatan keratitis non medikamentosa meliputi (Kunwar, 2013) :
a. Debridement
b. Apabila memakai lensa kontak, secepatnya untuk melepaskannya.
c. Tidak boleh dibebat
d. Jangan memegang atau menggosok-gosok mata yang meradang.
e. Sekret yang terbentuk dibersihkan 4 kali sehari.
f. Mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan sesering
mungkin dan mengeringkannya dengan handuk atau kain yang bersih
g. Menghindari asap rokok, karena dengan asap rokok dapat
memperpanjang proses penyembuhan luka
L. Komplikasi
Peradangan yang terjadi pada permukaan kornea dengan pengobatan yang
baik dapat sembuh tanpa meninggalkan jaringan parut. Terjadinya peradangan
kornea yang dalam dapat meninggalkan jaringan parut. Komplikasi lain yang
dapat terjadi berupa penipisan jaringan kornea yang berakhirnya dengan
adanya perforasi pada kornea. Beberapa komplikasi yang lain diantaranya
(Roderick, 2009) :
1. Gangguan refraksi
2. Jaringan parut permanen
3. Ulkus kornea
4. Perforasi kornea
5. Glaukoma sekunder

M. Prognosis
Keratitis superfisialis yang diobati dengan baik akan sembuh tanpa
meninggalkan jaringan parut. Terjadinya keratitis yang kronik dan tidak
mendapatkan terapi dengan baik dapat meninggalkan jaringan parut. Kelainan
visus bergantung pada virulensi organisme, luas dan lokasi keratitis serta
vaskularisasi dan deposisi kolagen (Roderick, 2009).
III. KESIMPULAN

1. Keratitis adalah radang pada kornea atau infiltrasi sel radang pada kornea
yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh sehingga tajam penglihatan
menurun
2. Keratitis dapat disebabkan oleh adanya infeksi bakteri, virus, jamur, protozoa
dan alergi
3. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lapisan kornea yang terkena,
penyebab dan yang tidak terklasifikasikan
4. Gejala keratitis dapat berbeda-beda pada setiap keratitis bergantung pada
etiologinya, namun secara umum terdapat trias keratitis yaitu gejala mata
merah, rasa silau (fotofobia) dan merasa kelilipan (blefarospasma)
5. Diagnosis ditegakan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan
penunjang
6. Terapi medikamentosa bergantung pada penyebab keratitis
7. Komplikasi pada keratitis berupa jaringan parut pada kornea, perforasi kornea
dan gangguan refraksi
8. Prognosis keratitis bergantung pada terapi, virulensi mikroorganisme, las dan
lokasi keratitis serta vaskularisasi dan deposisi kolagen
IV. DAFTAR PUSTAKA

Biswell D. 2010. Kornea. Dalam: Riordan-Eva P, Witcher JP, editor. Vaughan &
Ausbury oftalmologi Umum ed 17. Jakarta: EGC; p125-49
Cassidy L, Oliver J. Ophthalmology at a Glance. Massachusetts: Blackwell
Science; 2005. p.66-8.
Eby, A.M., dan L.Hazlett D. 2016.” Pseudomonas Keratitis, a Review of Where
We’ve Been and What Lies Ahead”, Journal Microbiology Biochemistry
Technology, Vol.8 (1) : 009-013
Graffi S et al. 2013. Acanthamoeba Keratitis. Medical Association Journal, 182-5.
Gross E. 2003. Complications of Contact Lenses, In: Duane’s clinical
Opthalmology, (fourth volume). Lippincott williams & wilkins. USA.
Ilyas, Sidarta. 2015. Ilmu Penyakit Mata Edisi kelima. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Jusuf AA. Diktat Kuliah; Tinjauan Histologi Bola Mata, Alat Keseimbangan dan
Pendengaran.Bagian Histologi, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2012.
Kanski JJ. Clinical Ophtalmology: a systematic approach 7th ed. USA: Elsevier.
2011.
Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. 4th ed. New Delhi: New Age
International; 2007. p. 89-126.
Lang GK. 2000. Ophhalmology. Stuttgart: Thieme. p.117-41.
Lorenzo JM, et al. 2015. An Update on Acanthamoeba Keratitis: Diagnosis,
Pathogenesis and Treatment. Jurnal: Parasite. 22,10.
Novita, Dina. 2015. Pengobatan Rasional Pada Ulkus Kornea Bakteri. Med Hosp.
Vol 3 (1) : 70-72
Patel, S.V. 2012. “Graft survival and endothelial outcomes in the new era of
endothelial keratoplasty”. Journal Exer Vol 95(1):40-7
Roderick B. Kornea. In: Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum Edisi 17.
Jakarta: EGC. 2009. p. 125-49.
Srinivasan, M., Gonzales, C., George, C., Cevallos, V., Mascarenhas, J., Asokan,
B,. et al. 2007. “Epidemiologi and aetiological diagnosis of corneal
ulcer”. British Journal Ophtalmology Vol 81(11) : 965-971
Standring, Susan. 2008. Gray’s Anatomy The Anatomical Basis of Clinical
Practice, 40th Edition. Spain: The Publisher
Sulvia, Farida., Redjeki AS., Sulistyowati Y., 2013. Karakteristik Penderita
Keratitis di Rumah Sakit Mata Dr. Yap Yogyakarta Periode 1 Januari –
31desember 2011. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia. 1-9
Vaughan., Asbury. 2012. Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai