Anda di halaman 1dari 4

BAB 1

PENDAHULUAN

TB paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil

Mycobacterium tuberculosis. TB paru merupakan penyakit infeksi saluran napas

bagian bawah yang masih sangat banyak dijumpai di Indonesia. Basil M.

tuberculosis tersebut masuk ke dalam jaringan paru melalui saluran napas (droplet

infection) sampai alveoli, terjadilah infeksi primer (Ghon). Selanjutnya menyebar

ke kelenjar getah bening setempat dan terbentuklah Primer Kompleks (Ranke).

Infeksi primer dan primer kompleks dinamakan TB primer, yang dalam

perjalanan lebih lanjut sebagian besar akan mengalami penyembuhan dengan

pengobatan. Namun tidak semua penyakit TB sembuh dengan pengobatan. Hal ini

disebabkan pengobatan dari TB paru yang belum terlaksana dengan baik sehingga

dapat pula menyebabkan terjadinya resistensi terhadap Obat Anti Tuberkulosis

(OAT).(Amin M.,dkk, 1989)

Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Hasil

surveilans secara global menemukan bahwa OAT yang resisten terhadap M.

tuberculosis sudah menyebar dan mengancam program tuberkulosis kontrol di

berbagai negara. Pada survei WHO dilaporkan lebih dari 90.000 pasien TB di 81

negara, ternyata angka MDR-TB lebih tinggi dari yang diperkirakan. Enam negara

dengan kekerapan MDR-TB tinggi di dunia adalah Estonia, Kazakhstan, Latvia,

Lithunia, bagian dari federasi Rusia dan Uzbekistan. WHO memperkirakan ada

300.000 kasus MDR-TB baru per tahun. OAT yang resisten terhadap kuman

1
tuberculosis akan semangkin banyak, saat ini 79% dari MDR-TB adalah “ super

strains” yang resisten paling sedikit 3 atau 4 obat antituberkulosis.

Tahun 1992, World Health Organization (WHO) telah mencanangkan

tuberculosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2016 menyatakan

bahwa terdapat 10,4 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2015. Setiap detik

ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan sepertiga penduduk

dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis.

Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan

masyarakat di dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi DOTS telah

diterapkan di banyak negara sejak tahun 1995. Dalam laporan WHO yang terbaru

pada tahun 2015, diperkirakan ada sekitar 10,4 juta kasus TB baru di seluruh

dunia, dimana 5,9 juta (56%) kasus TB pada laki-laki, 3,5 juta (34%) kasus TB

pada perempuan dan 1,0 juta (10%) kasus TB pada anak-anak. Orang yang hidup

dengan HIV menyumbang 1,2 juta (11%) dari semua kasus TB baru. Jumlah

pasien TB di Indonesia merupakan ke-2 terbanyak di dunia setelah India.

Pada tahun 2015, diperkirakan terdapat 480.000 kasus baru TB resisten

multidrug (MDR-TB) dan tambahan 100.000 orang dengan TB rifampisin (RR-

TB) yang juga baru memenuhi syarat untuk pengobatan TB-MDR. India , China

dan Rusia menyumbang 45% dari total gabungan 580.000 kasus. Di tingkat

global, Indonesia berada diperingkat 8 dari 27 negara dengan beban TB MDR

terbanyak di dunia pada tahun 2015, dengan perkiraan 6.800 kasus baru setiap

tahun. TB-MDR nasional memperkirakan 2,8% di antara Kasus TB baru dan 16%

kasus TB yang diobati sebelumnya.

2
Terjadi sekitar 1,4 juta kematian pada tahun 2015, dan tambahan 0,4 juta

kematian akibat penyakit TBC dengan HIV. Meskipun jumlah kematian TB turun

22% antara tahun 2000 sampai 2015, TB tetap menjadi salah satu dari 10 besar

penyebab kematian di seluruh dunia pada tahun 2015.

Peran Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Indonesia dalam

melaksanakan Program TB Nasional tidak diragukan lagi. Puskesmas mempunyai

infra struktur program kesehatan komunitas yang lebih baik, sehingga angka putus

obat rendah dan kesembuhan tinggi. Tetapi jangkauan Puskesmas untuk

menjaring pasien TB terbatas, hanya sekitar 30 – 40%, selebihnya pasien TB

ditangani oleh dokter praktek swasta, klinik atau rumah swasta dan rumah sakit

pemerintah yang tidak mempunyai jejaring dan infrastruktur kesehatan

masyarakat yang baik, bahkan boleh dikatakan buruk.

Resistensi obat terjadi akibat penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

yang tidak tepat dosis pada pasien yang masih sensitif terhadap rejimen OAT.

Ketidaksesuaian ini bisa ditimbulkan oleh berbagai sebab seperti pemberian

rejimen yang tidak tepat oleh tenaga kesehatan atau karena kegagalan dalam

memastikan pasien menyelesaikan seluruh tahapan pengobatan. Dengan

demikian, kejadian resistensi obat banyak meningkat di wilayah dengan kendali

program TB yang kurang baik.

Angka resistensi / TB-MDR paru dipengaruhi oleh kinerja program

penanggulangan TBC paru terutama ketepatan diagnosis mikroskopik untuk

menetapkan kasus dengan BTA (+), dan penanganan kasus termasuk peran

3
pengawas minum obat (PMO) yang dapat berpengaruh pada tingkat kepatuhan

penderita untuk minum obat dan ketersediaan OAT yang cukup dan berkualitas.

Anda mungkin juga menyukai