Skripsi Jenina (Autosaved) 21
Skripsi Jenina (Autosaved) 21
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
lahir dan batin antara dua orang yang berlainan kelamin (dalam perkawinan) dan
akibat hukumny.1
bersama.
yang saling mengikatkan diri, antara satu dengan yang lain untuk hidup bersama
1Beni Ahmad Saebani. 2008. Perkawinan Dalam Hukum Islam Dan Undang-Undang
(Perspektif Fiqh Munakahat dan UU N0. 1/1974 Tentang Poligami dan Problematikanya).
Bandung: Pustaka Setia, halaman 20.
2
dalam satu atap agar dapat membentuk keluarga, dengan harapan agar keluarga
yang mereka bentuk dapat menjadi bahagia dan kekal yang berdasarkan kepada
ketuhanan yang maha esa. Sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pasal 1
Perkawinan menurut Sajuti Thalib ialah suatu perjanjian yang suci kuat
dan kokoh untuk hidup bersama secara sah dan antara seorang lelaki dan seorang
menurutynya perkawinan sebagai sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita masing-masing dari mereka menjadi suami istri dalam rangka
ilahi.3 Pengertian tersebut memang sejalan dengan apa yang diamanatkan oleh
Perkwainan dapat disimpulkan dan diambil unsur dari pengertian tersebut antara
lain:
22 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia
(Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Sampai
KHI). Jakarta: Prenada Media, halaman 40.
33Ibid., halaman 42.
3
Tujuan yang diharapkan setiap pasangan, agar dapat hidup bahagia dan
kekal dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Maksud dan tujuan dari hidup
bahagia dan kekal dalam menjalani kehidupan rumah tangga, dimaksudkan agar
begitu saja, pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal tersebut harus
berlandaskan ketuhanan yang maha esa, sebagai asas yang pertama dalam
pancasila.4
Tujuan perkawinan dalam hukum dalam islam baik dari Al-Quran dan Al-
Hadist adalah untuk menyempurnakan separuh dari agama dan untuk lebih
bertaqwa kepada Allah, seperti dalam surat Al-Hujarat ayat (13) dan Ar-Rum ayat
س إإنناَ مخلممقمناَككمم إممن مذمكرر موأكمنثمىى مومجمعملمناَككمم كشكعوُبباَ موقممباَئإمل لإتممعاَمركفوُا إإنن أممكمرممككمم
مياَ أميَيمهاَ النناَ ك
ام معإليِرم مخإبيِرراإ أممتمقاَككمم إإنن ن إعمنمد ن
Artinya:
”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.”(Al-Hujarat:13)
ق لمككم لممن مأنفكإسككمم أممزىموبجاَ للتممسككنكووُاا إإلمميِمهاَ مومجمعمل بمميِنمككم نمموُندةب مومرمحممةبموإممن مءا ىيمتإ إوهۦِ أممن مخلم م
ك ملمءا ىيم ر
ت للقمموُرم يمتمفمنككرومن إإنن إفى ىمذلإ م
Artinya:
4Djoko Prakoso dan I ketut Murtika. 1998. Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia,
Jakarta: PT. Bina Aksara, halaman 4.
4
Maksud dari ke dua ayat tersebut adalah bahwa adanya laki-laki dan
perempuan dari berbagai bangsa dan negara supaya saling mengenal dan dalam
dimaksud pasangan dari golongan sendiri adalah Allah ciptakan Ibu Hawa dari
tulang rusuk Nabi Adam di sebelah kiri yang paling pendek. Oleh karena itu
dan wanita dari golongan manusia, bukan dengan hewan atau dengan golongan
jin. Agar tercipta manfaat atau kemaslahatan yang besar pada diri manusia.
2. Agar merasa tentram (litaskunu ilaiha) dalam bahtera rumah tangga. Sakinah
Harapan untuk dapat hidup bahagia dan kekal dalam membina hubungan
Perceraian merupakan jalan yang paling akhir dalam penyelesaian sengketa dalam
5Tafsir Al-Quran surat Ar-Rum ayat 21 (Membentuk Keluarga sakinah). November 2016.
Melalui: https://quranruqyah.wordpress.com | Bersandar pada Al Quran. Diakses tanggal 4
Desember 2017, pada pukul 20.30 WIB.
5
dilakukan bila sudah memenuhi alasan yang sudah ditetapkan sesuai dengan
mudah untuk dilakukan. Sehingga tujuan dari perkawinan untuk dapat hidup
bahagia dan kekal dapat terwujud dan segala masalah dapat diselesaiakan dengan
116 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Perceraian yang ingin dilakukan harus
memiliki alasan yang sudah di tetapakan, sehingga tidak mudah untuk melakukan
perceraian.
Setiap peristiwa hukum mempunyai akibat hukum yang diatur oleh hukum
atau peristiwa hukum yang diberi akibat hukum, dalam hal ini perceraian
mantan suami/istri, selain itu perceraian juga mempunyai akibat hukum terhadap
yang memuat ketentuan bahwa akibat hukum terhadap harta bersama diatur
suami/istri selain itu perceraian juga berakibat pada harta bersama, dimana harta
bersama merupakan harta yang di dapat selama perkawinan dan bila terjadi
pada umumnya di bagi ½ untuk pihak suami dan ½ untuk pihak istri selama tidak
ditentukan lain dalam perjanjian pekawinan, hal ini sejalan dengan hukum Islam
Hukum nasional yang mengatur tentang harta bersama dalam hal ini
masing sesuai dengan Pasal 37 yaitu, bila perkawinan putus karena perceraian,
janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak mendapat seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain lain dalam perjanjian perkawinan, hal
pihak istri dan ½ untuk pihak suami tanpa mempersoalkan dari pihak mana yang
mendapatkannya lebih banyak dan atas nama siapa harta tersebut, terkecuali harta
7
yang didapat sebgai hadiah, wasiat dan warisan adalah dibawah penguasaan
masin-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain seperti yang tercantum
dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, seperti yang tedapat juga
dalam Kompilasi Hukum Islam yang membahas tentang harta bersama, namun
ketentuan dalam hukum nasional mengenai harta bersama seperti yang tersebut di
mengenai pembagian harta bersama. Hal ini dapat dilihat seperti pada Putusan
bersama menjadi ¾ bagian suami dan ¼ bagian istri dengan alasan harta bersama
lebih banyak atas nama istri dan didapat atas usaha istri karena istri mempunyai
membuat penulis tertarik untuk meninjau lebih jauh mengenai pembagian harta
bersama yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum nasional dengan alasan
1. Rumusan Masalah
c. Bagaiman akibat hukum pembagian harta suami atas harta bersama akibat
2. Faedah Penelitian
a. Secara teoritis
Sebagai bahan informasi bagi akademisi, maupun para peneliti yang hendak
b. Secara praktis
sekarang ini, dalam hal ini, hukum terhadap hak suami atas pembagian harta
bersama.
hal ini perkara pembagian harta bersama. Dengan alasan istri lebih dominan
dalam mendapatkan harta bersama dan harta bersama lebih banyak atas
nama istri, agar hakim dapat meberikan kepastian hukum terhadap para
yang mengaturnya
C. Metode Penelitian
dengan data primer dan data skunder serta bukti-bukti pendukung yang telah
kepustakaan.
2. Sumber Data
sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan dari bahan-bahan lain yang
diantaranya adalah:
Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
4. Analisis Data
Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka secara kualitatif. Analisis
hasil penelitian dengan kalimat. Diharapkan dari teori-teori dan data hasil
D. Definisi Operasional
akan diteliti. 6Definisi operasional bertujuan untuk dapat mengurai penelitian ini,
berikut:
1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri untuk hidup bersama dan membentuk keluarga
2. Hak adalah sesuatu yang mutlak yang dimiliki orang tersebut dan harus
6 Fakultas Hukum UMSU. 2014. Pedoman Penulisan Skripsi. Medan: Fakultas Hukum
Universitas muhammadiyah Sumatera Utara, halaman 5.
12
3. Suami adalah pihak laki-laki yang mempunyai hak dan kewajiban dalam
sebuah ikatan lahir batin antara pihak laki-laki dan pihak wanita yang
termasuk kedalam harta bersama di luar dari harta bawaan, pemberian dan
diterima oleh para pihak setelah peristiwa hukum yang mereka alami,
dalam hal ini peristiwa hukum yang terjadi adalah peceraian dan
bersama.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
tadakhul yang memiliki makna bersetubuh, berkumpul dan akad. 7Sehingga dapat
diartikan pernikahan tersebut adalah hal yang dilakukan untuk memenuhi hasrat
biologis manusia yaitu bersetubuh dan berkumpul dalam artian disini adalah
membentuk keluarga.
Akad dalam hal ini adalah dua orang yang saling mengikatkan diri dan
berjanji, sehingga tercapai kesepkatan untuk melakukan sesuatu hal dan masing-
masing pihak memiliki hak dan kewajiban setelah terjadinya akad diantara kedua
belah pihak. Menurut Hanabilah nikah adalah akad yang menggunakan lafadz
biologi dari manusia dan cenderung terlihat vulgar bila dilihat dari pengertiannya
secara bahasa. Hal ini sejalan dengan apa yang terdapat dalam bahasa arab, karena
nikah bagi orang-orang Arab, nikah tersebut adalah al-wat’ yang dapat diartikan
sebagai persetubuhan.9
7Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Op, Cit., halaman 38.
8Ibid., halaman 39.
9Ibid., halaman 40.
14
dinggap pantas dilakukan dan merupakan kewajiban dan hak bagi setiap pasangan
yang menjadikan halal suatau hubungan kelamin anatara pria dan wanita atau
disebut dengan hubungan seksual antara pria dan wanita. 10 Sehingga persetubuhan
sebuah kejahatan kesusilaan yanng memiliki dampak buruk dalam berbagai aspek
penyakit dan para dokter sepakat akan hal tersebut, karena banyak orang setelah
10Ibid.
11Mahmud Yunus. 1985. Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Mazhab Syafi’i,
Hanafi, Maliki, Hanbali. Jakarta: PT Hidakarya Agung halaman 8.
15
dianggap pantas dan layak untuk mencapai tujuan tersebut. Sehingga perkawinan
dapat menyalurkan hasrat biologis secara pantas dan layak sehingga, terhindar
pihak tanpa ada tekanan dari pihak lain, karena dalam perkawinan ada unsur akad
di dalamnya. Akad pada prinsipnya adalah sebuah kesepakatan anata kedua belah
pihak untuk mengikatkan diri, sehingga pernikahan diluar dari keinginan dan
pada Pasal 1, definisi perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa,
sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam definisi dari perkawinan tidak berbeda
Hukum perkawinan adalah suatu aturan yang mengikat, bagi para pihak
dan mempunyai akibat dari perbuatan yang mereka lakukan dalam hal perbuatan
tentang perkawinan yang didalamnya juga terdapat hak dan kewajiban dalam
perkawinan.
dan cara melakukan perkawinan, harus mampu menjawab segala permasalah yang
16
tersebut serta menerangkan dan menjamin setiap hak dan kewajiban dari masing-
Hukum positif tentang perkawinan yang berlaku saaat ini adalah Undang-
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam yang dikenal
bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa mengenal latar belakang, sehingga hukum ini
bersifat universal dan mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia. dalam isinya
sepenuhnya kepada kepercayaan yang dianut dalam masyarakat, seperti dalam hal
pelaksanaan dan tata cara untuk dianggap sahnya suatu perkawinan. Hal tersebut
terdapat pada Pasal 2 ayat (1) yaitu, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
kepercayaannya masing-masing.
oleh undang-undang untuk mengatur tata cara dari pembagian harta bersama
17
pada al-Quran dan al-Hadist, sudah tentu tidak terkecuali di dalamnya hukum
Artinya:
“Hai sekalian pemuda, siapa yang sanggup bersetubuh, hendaklah menikah, Maka
sehingga menikah dalam Islam merupakan suatu kewajiban yang sudah diatur dan
Kompilasi Hukum Islam dan Melalui Inpres Nomor 1 Tahun 1991 presiden
12 Pusat Kajian Fiqih Islam (Kumpulan Hadist Tentang Pernikahan ). Juli 2017.
Melalui: https:// fiqihmuslim.com/2017/07/hadits-tentang-pernikahan.html. Diakses pada tanggal 6
Februari 2018, pukul 22:05 WIB.
13Abdul Manan. 2003. Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan
Agama. Jakarta: Pustaka Bangsa Pres, halaman 26.
18
beragama islam, sudah tentu merujuk pada KHI sebagai hukum yang
memilih hukum mana yang mereka akan gunakan. Hal tersebut didasari pada
Indonesia.
KHI serta hukum agama lain yang mengatur tentang tata cara yang berhubungan
dan tata cara memenuhi hak dan kewajiban, serta hak dan kewajiban para pihak
Suami adalah pihak lelaki dalam sebuah perkawinan, sebagai salah satu
pihak dalam sebuah perkawinan, lelaki yang sudah menikah dan disebut sebagai
suami, memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhinya kepada istri. Di
dalam hukum perkawinan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, disebutkan
Perkawinan diatur di dalam BAB VI tentang hak dan kewajiban suami istri pada
Pasal 30-34. Pada Pasal 31 ayat (3) disebutkan bahwa suami adalah kepala
19
keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga, sehingga disini jelas menentukan
Suami sebagai kepala keluarga dalam hal ini mempunyai tanggung jawab
kewajiban dari suami diatur pada Pasal 34 ayat (1) yaitu, suami wajib melindungi
istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai
seseorang yamg mencari nafkah bagi keluarga dan memenuhi segala keperluan
tangga untuk mencari nafkah, akan tetapi dalam pasal tersebut dikatakan sesuai
yang diberikan suami kepadanya denga sebaik-baiknya dan tidak menuntut suami
dalam konteks ini adalah materi. Selanjutnya kewajiban suami tidak hanya tentang
materi, karena di dalam pasal tersebut juga terdapat unsur non materi, yaitu suami
Melindungi dalam hal ini tidak hanya dalam hal menjaga istri secara fisik
agar tidak terluka dalam hal fisik saja, tetapi juga harus menjaga perasaan istri
dengan memberikan kasih sayang dan nasihat serta menggauli istri dengan cara
14Mahmud Yunus. Op. Cit.,halaman 102.
20
yang pantas, sebab suami memiliki kewajiban juga untuk memberikan rasa kasih
Kewajiban yang telah diberikan suami kepada istri, dalam hal ini suami
juga mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh istri. Suami memiliki hak untuk
sehingga hak dari suami adalah mendapatkan penghormatan dan pelayanan yang
baik dari istri sebagai pengatur keperluan dan pelayanan dalam rumah tangga.
Kewajiban dan hak suami diatur lebih rinci dalam KHI. Dalam KHI
kewajiban suami diatur pada Pasal 80-82. Secara rinci di dalam pasal tersebut
disebutkan hak suami dari pemenuhan kebutuhan materil hingga kebutuhan non
pada pentingnya suami untuk menasehati istri dan memberikan pelajaran agama
kepada anak dan stri seperti yang terdapat pada pasal 80 ayat (3) KHI berbunyi,
kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa
dan bangsa. KHI juga mengatur sebab-sebab suami dapat memutuskan tidak
memenuhi kewajibannya kepada istri seperti yang terdapat pada Pasal 80 ayat (7)
berbunyi, kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri
nusyuz.
Hak suami yang harus diberikan istri dalam KHI diatur pada Pasal 83-84
dalam Pasal 80 ayat (4) huruf a dan Huruf b tidak berlaku kecuali hal-
3) Kewajiban suami pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri
tidak nusyuz.
4) Ketentuan ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan
Hak suami yang harus dipenuhi istri seperti yang terdapat pada Pasal 83
perintahnya sesuai dengan batas-batas yang ditentukan dalam hukum islam dan
baiknya.
salah satu pihak dalam ikatan perkawinan, istri juga tentu memiliki hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi dan terpenuhi dalam menjalankan dan memenuhi
kewajiban dan haknya sebagai istri atau pihak perempuan dalam suatu ikatan
perkawinan.
Hak dan kewajiban istri dalam sebuah perkawinan diatur dalam berbagai
Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Islam sebagai aturan yang tidak
22
tertulis. Dalam hukum yang mengatur tentang perkawinan tersebut, juga diatur
tentang hak dan kewajiban seorang perempuan dalam perkawinan serta juga
Posisi perempuan yang dalam perkawinan disebut sebagai istri yang dalam
yang terdapat dalam Pasal 31 ayat (3) yang berbunyi sebagai berikut: suami
adalah kepala rumah tangga dan istri ibu rumah tangga. Undang-Undang
Perkawinan memperjelas posisi daripada kedua belah pihak dalam sebuah ikatan
istri yang dalam posisi ini bertindak sebagai ibu rumah tangga, dalam pasal ini
Perkawinan, dimana dalam pasal ini disebutkan bahwa istri wajib mengatur
Posisi istri sebagai ibu rumah tangga seperti yang disebutkan dalam Pasal
dan istri ibu rumah tangga. Kewajiban istri untuk mengurusi rumah tangga sebaik-
Posisi dan kewajiban istri dalam rumah tangga telah dijelaskan dalam
istri yang di dalamnya terdapat beberapa pasal mengenai hal tersebut, dalam bab
ini dimulai dari Pasal 30-34. Dalam bab ini tidak hanya diatur hak dan kewajiban
istri dan suami dalam sebuah perkawinan, tetapi juga posisi dari kedua pihak yaitu
istri sebagai ibu rumah tangga dan suami bertindak sebagai kepala rumah tangga
Hak dan kewajiban istri yang mempunyai posisi sebagai ibu rumah tanga,
seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan juga diatur dalam
KHI. Hak dan kewajiban istri dalam perkawinan diatur dalam KHI sedikit lebih
rinci diatur dalam KHI, sehingga para wanita mempunyai sedikit pegangan dalam
memenuhi dan menjalankan haknya sebagai seorang istri dalam sebuah hubungan
perkawinan.
Kewajiban istri dalam KHI, memiliki kewajiban yang sama seperti yang
mengatur keperluan rumah tangga dengan sebaik-baiknya, hal ini terdapat dalam
kewajiban istri dalam hal ini sama seperti yang terdapat dalam Undang-Undang
Perkawinan.
KHI dalam pasal yang sama yaitu Pasal 83 tetapi dengan ayat yang berbed,
yaitu di ayat (1) berbunyi, kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir
dan batin kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam,
dalam ayat ini yang diletakkan di ayat pertama dalam pasal ini menekankan
kewajiban yang pertama bagi seorang perempuan yang telah menjadi istri dalam
24
sebuah ikatan perkawinan adalah berbakti kepada suami lahir dan batin dalam
Jelas dalam KHI bahwa isteri harus mematuhi suaminya lahir dan batin,
mematuhi dalam hal ini mematuhi hal-hal yang baik, karena dalam pasal ini suami
dalam meminta haknya, yang merupakan kewajiban dari istri memiliki batas.
Batas tersebut dikembalikan kepada hukum Islam karena hukum Islam merupakan
rujukan dari pembuatan KHI. Karenanya KHI hanya berlaku bagi agama tertentu,
Kewajiban isteri dalam KHI yaitu mematuhi suami, tentang hal-hal yang
memiliki hubungan dengan urusan rumah tangga sebagai suami dan istri.
Mematuhi suami dalam hal yang berhubungan untuk memenuhi hak suami dalam
urusan rumah tangga, diluar dari urusan dalam hal yang berhubungan diluar dalam
urusan untuk memenuhi hak suami yang menjadi tugas istri, misalnya dalam hal
ini suami memerintahkan istri untuk mencari nafkah.15Hal ini sudah diluar dari
kewajiban istri karena urusan mencari nafkah merupakan kewajiban dari seorang
KHI mengatur juga tentang nusyuz yang diatur pada bagian ke-enam
tentang kewajiban istri, dimana hal tersebut berhubungan dengan kewajiban isteri
dalam rumah tangga. Dalam hal suami atau istri tidak menjalankan kewajibannya
yang disebut dengan kata nusyuz. Nusyuz menuru ulama berkaitan dengan
memberikan nafaqah maka istri berhak tidak melayani suaminya bahkan boleh
15Ibid.,halaman 105
25
Nusyuz adalah tindakan suami atau istri di luar kepatutan yang dilakukan
kepada salah satu pihak, sepert tidak melaksanakan kewajibannya di dalam rumah
menyakitkan dan merugikan salah satu pihak. 17 Hal tersebut dapat dilakukan oleh
Nusyuz juga dapat dimaknai sebagai kedurhakaan salah satu pihak, sebab
biasanya dilakukan oleh istri, penyelewengan dan hal-hal lain seperti keluar dari
rumah tanpa seizin dari pihak suami. Hal-hal tersebut bila dilakukan akan
Pengaturan mengenai nusyuz istri kepada suami diatur dalam KHI pada
Pasal 84. Pasal tersebut mengatur tentang nusyuz, serta sanksi yang akan diberikan
bila dalm hal ini istri telah terbukti melakukan nusyuz. Dalam hal penentuan istri
dapat dikatakan nusyuz, dalam hal tersebut suami yang dalam hal ini merasa istri
melakukan perbuatan nusyuz harus mempunyai bukti yang sah, hal ini seperti
yang terdapat dalam Pasal 83 ayat (4) KHI yang berbunyi, ketentuan tentang ada
atau tidaknya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.
Harta bersama merupakan harta yang didapat oleh suami bersama dengan
disebutkan pada dalam BAB VII tentang harta benda dalam perkawinan pada
Pasal 35-37. Dalam bab ini dipisahkan antara harta bawaan dan harta bersama,
harta bawaan tidak termasuk kedalam harta bersama dikarenakan suatu hal, hal
tersebut diantaranya, karena harta tersebut didapat dari hadiah, warisan dan hibah
pihak, sehingga bila salah satu pihak ingin bertindak untuk atas keperluan harta
bersama harus mendapat persetujuan dari pihak yang satunya. Mengenai harta
mengenai harta bawaan, merupakan urusan dari masing-masing pihak dan salah
satu pihak tidak boleh mencampuri hak pemilik harta bawaan tersebut. Hal ini
sesuai dengan yang terdapat pada Pasal 36 yang berbunyi ayat ,(1) mengenai harta
bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak dan
(2) mengenai harta bawaan masing-masing, suami atau istri mempunyai hak
karena alasan utama dalam pembagian harta bersama adalah terjadinya perceraian.
masing-masing.
perkawinan termasuk dalam hal pembagian harta bersama. Tidak terkecuali umat
islam yang sudah memiliki KHI yang telah mengatur tentang pembagian harta
Pembagian harta bersama yang terdapat dalam KHI diatur dalam BAB
XIII tentang harta kekayaan dalam perkawinan pada Pasal 85-97, tidak jauh
tetapi dalam KHI mengatur lebih rinci tentang apa saja harta bersama dan harta
bawaan, serta hak dan kewajiban bagi suami dan istri terhadap harta bawaan
Harta bersama yang dimaksud dalam KHI, merupakan harta yang didapat
selama harta tersebut didapat dalam kurun waktu selama perkawinan berlangsung,
dianggap sebagai harta bersama tanpa mempersoalkan harta tersebut terdaftar atas
bagi suami yang memiliki istri lebih dari satu istri, hal ini dikarenakan dalam
hukum islam, suami boleh beristri lebih dari satu. Sehingga dianggap penting
tersebut. KHI mengatur tentang porsi pembagian harta bersama, baik cerai hidup
dan cerai mati, KHI mengatur pembagian besaran harta bersama yang dibagi
pembagian harta bersama, di dalam KHI diatur pada Pasal 96-97, pada pasal ini
Pada Pasal 96 yang berbunyi, ayat (1) apabila terjadi cerai matimaka separuh harta
bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama (2) pembagian harta
bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus
ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara
Pasal 97 KHI yang berbunyi, bagi janda dan duda cerai hidup
Sehingga pengaturan terhadap pembagian harta bersama dalam KHI dapat terlihat
bersama dan harta tersebut atas nama siapa, tetapi selama harta tersebut didapat
masing pihak, harta tersebut dimasukkan kedalam harta bersama dan ketika terjadi
dengan syirkah dianggap berkongsi dan bekerja sama dalam mendapatkan harta
tersebut, adalah sesuatu hal yang wajar dan masuk diakal untuk memberikan hak
dan bagian yang adil apabila perkawinan tersebut putus baik karena salah satu
pihak wafat atau karena hubungan suami istri mereka tidak bisa dipertahankan
pihak adalah seperdua dari jumlah keseluruhan harta bersama, karena masing-
mendapatkan harta tersebut. Kontribusi atau andil dalam hal ini tidak hanya
dianggap berperan secara langsung dalam mencari harta bersama, tetapi andil
dalam hal ini juga bisa dikategorikan seperti andil dalam penunjang salah satu
Istri yang tidak bekerja untuk mendapatkan harta bersama secara langsung
istri menyiapkan segala keperluan baik yang bersifat lahir dan batin agar suami
pihak yang tidak bekerja atau tidak mencari harta bersama tersebut secara
langsung, tetapi hanya menjadi faktor penunjang bagi pihak lain untuk bekerja
mendapat harta bersama, faktor penunjang atau pendukung tersebut juga dianggap
penting, sehingga dalam KHI tidak dipersoalkan siapa yang lebih banyak beperan
19M. Fahmi Al Amruzi. 2014. Hukum Harta Kekayaan Perkawinan. Yogyakarta: Aswaja
Pressindo, halaman 102.
30
dalam mendapatkan harta bersama dan atas nama siapa, tidak menjadi persoalan
dalam hal ini, karena faktor pendukung dalam mendapat harta tersebut juga
BAB III
Perkawinan
31
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
ketuhanan yang maha esa. Perkawinan merupakan suatau ikatan yang didasarkan
Akibat hukum dari sebuah perkawinan adalah mengikat pria dan wanita
dalam suatu ikatan lahir dan juga batin sebagai sepasang suami istri dengan tujuan
yang suci dan mulia yang didasarkan atas ketuhanan yang maha esa itu,
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama atau kerohanian, tetapi juga
terdapat unsur batiniah di dalam sebuah ikatan yang disebut dengan perkawinan
tersebut.20
oleh Sajuti Thalib adalah “perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang
Wirjono Prodjodikoro:
Dari sudut ilmu bahasa atau semantik perkataan atau penyebutan kata
perkawinan berasal dari kata kawin yang merupakan terjemahan dari bahasa arab
yaitu nikah, dalam bahasa Arab lazim juga dipergunakan kata ziiwaj untuk
yang merupakan bahasa Arab yang diserap kedalam bahsa Indonesia kemudian
sebenarnya atau pada haqiqatnya dan dalam arti kiasan atau bisa disebut majaaz,
dalam pengertian yang sebnarnya kata nikah itu berarti berkumpul sedangkan
dalam arti kiasan atau majaaz nikah itu berarti aqad atau mengadakan perjanjian
perkawinan, tetapi dalam kehidupan sehari-hari kata nikah lebih banyak diartikan
nikah atau pernikahan yang merupa kata serapan dari bahasa Arab, dalam
berkumpul dalam artian lelaki dan perempuan hidup bersama atau berkumpul
bersama.
22 Ibid.,halaman 3.
23Lili Rasjidi.1991. Hukum perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, halaman 2.
24Ibid.,
33
Perkwainan dapat disimpulkan dan diambil unsur dari pengertian tersebut antara
lain:
yang maha esa. Sehingga antara perkawinan dengan lembaga kerohanian atau
agama harus dapat mempunyai keterikatan yang sangat erat dan kuat, karena
perkawinan bukan saja mempunyai unsur jasmani tetapi juga mempunyai unsur
Indonesia harus ada dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara,
dasar-dasar dari Pancasila tersebut. Pancasila harus ada dalam setiap kehidupan
private, juga tidak boleh terlepas dari nilai-nilai yang ada dalam pancasila
Hak dan kewajiban suami dalam suatu perkawinan muncul setelah suami
mengucapkan ijab qabul atau aqad nikah, dalam ketentuan tentang hak suami
25 Djoko Prakoso dan I ketut Murtika, Op. Cit., halaman 3
34
merupakan kewajiban bagi istri untuk dapat memenuhinya dengan baik. Begitu
juga sebaliknya, kewajiban suami merupakan hak isti yang harus dipenuhi oleh
seorang suami, jadi hal tersebut merupakan perbuatan timbal balik dari masing-
masing pihak.
adalah hal-hal yang harus dipenuhi dan dijalankan oleh masing-masing pihak
dalam suatu ikatan perkawinan, karena itu merupakan suatu hal yang dapat
Sehingga pemenuhan hak dan kewajiban tersebut adalah salah satu hal yang
sangat penting, sehingga harus mendapat pengaturan yang baik agar tujuan dari
Kewajiban suami dalam memenuhi hak-hak nya kepada istri, dapat kita
1. Kewajiban yang bersifat materi atau yang biasa kita sebut nafkah
2. Kewajiban yang tidak bersifat materi atau kewajiban yang berada di luar
memenuhi segala keperluan rumah tangga yang bersifat materi, kebutuhan materi
tersebut merupakan kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari yang dalam hal ini
keadaan istri tetapi kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya
timbul, tanpa melihat dari keadaan istri tersebut. Kewajiban suami dalam
memberikan nafkah kepada istri hukumnya adalah wajib, dalam hal istri
mempunyai kecukupan materi yang lebih dibandingkan dengan suami atau dengan
kata lain istri adalah orang yang kaya, suami tetap memiliki kewajiban untuk
Kewajiban suami dalam rumah tangga tidak hanya bersifat materi saja atau
sekedar memberikan nafkah kepada istri, lalu menganggap hal tersebut sebagai
satu-satunya hal yang merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang
suami yang memiliki posisi sebagai kepala rumah tangga. Di luar dari itu ada
diluar dari hanya sekedar pemberian nafkah suami kepada istri, hal yang diluar
dari pemberian nafkah tersebut juga sangat penting dan perlu untuk dipenuhi oleh
Kewajiban seorang suami yang merupakan hak dari seorang istri yang
a. Menggauli istri secara baik dan patut, maksudnya dalah pergaulan dalam
hal ini adalah pergaulan yang termasuk ke dalam hal-hal yang berkenaan
dengan kebutuhan seksual. Dalam hal baik dan patut diserahkan kepada
b. Menjaga istri dari segala sesuatu hal yang mungkin dapat melibatkan istri
pada suatu perbuatan yang membawanya pada perbuatan dosa dan maksiat
28Ibid.,
36
yang diharapkan oleh Allah, untuk itu suami wajib memberikan rasa
ketenangan pada istrinya, memberikan rasa cinta dan kasih sayang kepada
istrinya tersebut.29
tentang pemenuhan materi, tetapi suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga
harus memberikan bimbingan dan arahan kepada istrinya, serta memberikan rasa
aman dan nyamana, memberikan cinta dan kasihnya kepada istri agara tujuan dari
Kewajiban suami yang merupakan hak bagi istri yang harus dipenuhi oleh
suami diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 34 ayat (1) yaitu, suami
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Dalam pasal ini jelas diterangkan
merupakan kewajiban seorang suami dalam hal yang bersifat materi saja, serta
dalam hal kata-kata diawal yang menyebutkan “suami wajib melindungi istrinya”
merupakan kewajiban yang bersifat non materi. Dari pasal tersebut dapat kita lihat
29Ibid., halaman 160-161
37
bahwa pemenuhan kewajiban suami dalam hal materi juga harus dibarengi dengan
pemenuhan kewajiban dalam hal non materi agar dapat seimbang dalam
Indonesia, secara lebih rinci mengatur juga ketentuan tentang kewajiban seorang
suami kepada istri dan anak-anaknya, bila dalam hal ini dalam rumah tangga
KHI menagtur hal yang mengenai kewajiban suami diatur secara lebih
rinci, dari pengaturan dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang
Perkawinan. KHI mengatur hak dan kewajiban suami tersebut dalam Pasal 80
sampai dengan Pasal 82, dalam pasal ini kewajiban seorang suami dalam sebuah
mengenai urusan yang sangat penting dapat di putuskan oleh suami dan
istri.
Kewajiban suami ini dapat gugur bila dalam hal ini istri melakukan
nusyuz.
tempat kediaman bagi istri atau tempat kediaman bersama, biaya rumah
tangga, biaya perwatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak. Mulai
berlaku sesudah ada tamkin sempurna atau ketulusan seorang istri dalam
g. Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang wajib memberi tempat
istri, kecuali jika ada perjanjian kawin. Dalam hal para istri-istri tersebut
tempat kediaman.30
Secara lebih lengkap dan rinci KHI mengatur tentang kewajiban seorang
suami kepada istrinya dari mulai pemenuhan kewajiban yang bersifat materi dan
kewajiban yang bersifat non materi. Secara rinci dan jelas diterangkan oleh KHI,
30 Muhammad Syaifuddin, dkk, Op.Cit., halaman 395-396
39
dalam pasal yang telah diterangkan di atas, dapat kita lihat pada Pasal 80 ayat (1),
1) Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya akan tetapi
istrinya dalam kehidupan rumah tangga, dalam ayat ini jelas dikatakan bahwa
memberikan nasehat kepada istri, dalam membimbing ke arah yang lebih baik,
baik dalam hal ini sesuai dengan ketentuan dan batas-batas yang telah ditetapkan
oleh agama.
hal ini adalah menjauhkan istri dari hal-hal yang dapat membahayakan diri istri,
40
Ayat ketiga dalam Pasal 80 KHI tersebut lebih menekankan kepada hal-hal
keagamaan, dalam ayat pada pasal ini kewajiban suami untuk memberikan
dapat didasarkan kepada agamanya yang dalam peraturan KHI ini adalah agama
Islam.
Suami juga wajib memberikan izin kepada istrinya untuk belajar ilmu
agama, agar istri juga dapat memahami agama yang nantinya diharpakan agar
dapat diterapkan dan berguna bagi keluarganya. Sehingga tidak dibenarkan bagi
suami untuk melarang seorang istri agar mempelajari ilmu agama yang sudah jelas
kepada istri untuk mempelajari ilmu agama. Hal-hal tersebut adalah kewajiban
suami di luar dari pemenuhan hak secara materi atau pemberian nafkah yang
tentang tempat kediaman pada Pasal 81. Dalam pasal ini suami diwajibkan
menyediakan tempat kediaman bagi istri, tempat kediaman dalam hal ini dapat
sarana penunjang yang baik bagi tempat kediaman tersebut agar terasa lebih aman
yang merupakan kewajiban dari suami untuk memenuhi hal tersebut, disesuaikan
berlindung istri dan anak-anak bila telah mempunyai anak dalam ikatan
perkawinan tersebut, agar tempat kediaman tersebut dapat menjadi saran untuk
menjauhkan istri dan anak dari gangguan pihak lain. Serta tempat kediaman
tersebut juga menjadi tempat untuk menyimpan harta kekayaan serta menjadi
memenuhi hak-hak istri selama perkawinan berlangsung, dengan kata lain suami
juga mempunyai kewajiban yang harus dipenuhinya kepada istri bila perkawinan
tersebut sudah tidak dapat berlangsung lagi atau telah terjadi perceraian atau juga
Suami juga memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dan
terpenuhi, ketika perkawinan tersebut sudah tidak bisa dipertahankan lagi atau
kedua pihak sepakat untuk bercerai. Kewajiban suami saat perceraian juga diatur
apa yang terdapat dalam hukum Islam. Menurut penjelasan Mahmud Yunus,
bahwa:
“Apabila terjadi percerian antara suami dan istri menurut hukum Islam
maka akibat hukumnya ialah dibebankannya kewajiban mantan suaami terhadap
mantan istrinya untuk meberi mut’ah yang pantas berupa uang atau barang dan
memberi nafkah hidup, pakain dan tempat kediaman selama mantan istri dalam
masa iddah, serta melunasi mas kawin, perjanjian ta’lik talak dan perjanjian
lain”.31
kedua pihak sudah tidak dalam ikatan perkawinan lagi, ada hal-hal yang yang
menjadi kewajiban suami yang harus dipenuhi oleh suami kepada mantan istrinya,
sehingga hal tersebut menjadi hak istri yang harus dipenuhi oleh seorang mantan
suami dan menjadi kewajiban bagi mantan suami tersebut, seperti yang
menentukan suatu kewaijban bagi bekas istri. Ketentuan diatas mempunyai kaitan
31 Ibid., halaman 401
43
bagi seorang janda yang perkawinannya putus karena percerain. Maka ditetapkan
baginya waktu tunggu selama tiga kali suci, atau sekurang-kurangnya sembilan
puluh hari.
a. Memberikan mut’ah kepada bekas istri, mut’ah ini boleh berupa apa saja,
b. Memberikan nafkah dan tempat kediaman untuk istri yang di talak, selama
anaknya.32
hitung selama tiga kali suci, waktu tersebut selama-lamanya selama tiga bulan
untuk menafkahinya, hal ini tidak tergantung dari masa tunggu, melainkan hal ini
ditetapkan untuk terus diberikan nafkah oleh suami, selama anak tersebut belum
Waktu tunggu bagi seorang janda cerai hidup ditentukan dalam Pasal 39
janda cerai hidup yang masih datang bulan, masa tunggu baginya ditetapkan tiga
kali suci dengan waktu sekurang-kurangnya selama sembilan puluh hari, dan
dalam pasal ini juga ditentukan bagi janda cerai hidup yang sudah tidak datang
membiayai segala keperluan hidupnya, karena selama waktu tunggu tersebut istri
kewajiban untuk menafkahi mantan istrinya selama masa tunggu itu, hingga masa
tunggu dari mantan istrinya tersebut berakhir, selama masa yang telah ditetapkan
perceraian antara suami dan istri tersebut. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan
tentunya ketentuan ini berlaku bagi pasangan suami istri yang telah memiliki
anak.
a. Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
keputusan.
45
pendidikan yang diperlukan anak itu, bila mana bapak dalam kenyataan
istri.
tetapi mengenai biaya pendidikan dan biaya penghidupan dari anak tersebut
ditanggung oleh suami sepenuhnya. Dalam hal suami tidak sanggup untuk
dalam KHI, di dalam KHI pengaturan tentang kewajiban suami setelah terjadinya
perceraian, diatur pada Bab XVII yang mengatur tentang akibat putusnya
perkawinan, bagian kesatu tentang akibat talak. Pasal 149 meneranglan bahwa:
a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang
b. Memberi nafkah, maskan dam kiswah kepada kepada bekas istri selama
dalam masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz
qabla al dukhul.
umur 21 tahun.
KHI lebih merinci apa yang menjadi kewajiban suami setelah melakukan
Perkawinan yang mengatur tentang hal serupa. KHI merincinya hingga kepada
hal-hal yang ditanggung suami dan hal-hal yang tidak ditanggung suami, dikarena
sebab-sebab yang telah ditentukan oleh hukum Islam yang merupakan dasar dari
KHI tersebut.
beragama Islam, karena KHI juga dikenal sebagai fiqih ulama-ulama di Indonesia.
yang beragama Islam, sehingga aturan ini menjadi hukum terapan bagi hakim-
adanya harta yang diakui sebagai harta milik pribadi dari masing-masing pihak
antara suami dan istri, di dalam perkawinan tersebut juga diakui adanya harta
47
yang dimiliki suami dan istri secara bersama-sama, sebagai harta benda hasil
pencarian bersama diantara mereka yang mereka peroleh selama masa perkawinan
berlangsung.33
perkawinan, harta tersebut didapat dari pekerjaan suami atau istri, hal ini berarti
bahwa harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama jangka waktu
antara pada saat perkawinan hingga sampai pada saat perkawinan tersebut putus.
Putusnya perkawinan dapat terjadi karena kematian salah satu dari pihak, maupun
karena perceraian.34
Harta bawaan adalah harta benda bawaan dari masing-masing pihak suami
dan istri, harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan
istri, sepanjang antara suami dan istri tersebut tidak menetukan lain dalam hal
Harta berama menurut pendapat ahli seperti yang dikemukakan oleh Pro.
Dr. R. Vandijk, menrut Vandijk harta bersama adalah “ segala milik yang
sendirinya menjadi lembaga harta bersama yang lazim disebut dengan harta
syarikat”.36
menurut seorang prkatisi hukum yang berprofesi sebagai advokat yaitu Elza
Syarif, Harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan berlangsung akan
menjadi harta bersama jika tidak ada perjanjian perkawinan berupa pemisahan
harta perkawinan.37
Selama perkawinan berlangsung antara suami dan istri, terdapat dua harta
yang berbeda selama perkawinan berlangsung, harta yang pertama adalah harta
pribadi dari masing-masing pihak suami dan istri. Serta harta bersama yang
dimiliki oleh suami dan istri secara bersama-sama, harta bersama tersebut
merupakan harta benda atas hasil pencarian suami dan istri yang mereka peroleh
Harta yang didapat selama perkawinan berlangsung diatur dalam Pasal 35-
pada Pasal 35 ayat (1) berisi, harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama. Dalam Pasal ini dijelaskan bahwa segala harta yang diperoleh
selama perkawinan merupakan harta benda yang menjadi milik bersama tanpa
bawaan pada Pasal 35 ayat (2) yang berbunyi, harta bawaan dari masing-masing
suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah
adalah harta yang didapat karena hadiah atau mendapat warisan. Harta bawaan
tersebut bukan merupakan harta bersama walaupun harta tersebut didapat selama
dalam harta bawaan tersebut tidak ditentukan lain oleh yang memiliki harta
bawaan tersebut, seperti yang telah diatur sebelumnya di dalam Pasal 35 ayat (2)
Undang-Undang Perkawinan.
Semua harta yang diperoleh suami istri selama dalam ikatan perkawinan
maupun harta tersebut diperoleh melalui usaha bersama istri dan suami, sama
halnya dengan harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung harta
tersebut tetap menjadi harta bersama, tidak menjadi sebuah persoalan atau
masalah suami atau istri yang membeli atau suami istri tersebut membeli suatu
harta tanpa sepengetahuan pihak lain, ataupun tidak menjadi masalah harta
penguasaan oleh kedua pihak, sehingga segala tindakan yang berhubungan dengan
harta bersama tersebut, kedua pihak mempunyai kedudukan yang sama, sehingga
segala tindakan atas harta bersama tersebut harus atas persetujuan kedua belah
pihak, hal ini sesuai dengan yang terdapat dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-
38 Abdul Manan. 2003. Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan
Agama. Jakarta: Pustaka Bangsa Press, halaman 157-158
50
Undang Perkawinan yang berbunyi, mengenai harta bersama suami atau istri
dilakukan tanpa persetujuan pihak lain, karena harta tersebut bukan merupakan
bawaan tersebut menjadi mutlak milik pihak yang mempunyai harta bawaan
tersebut, hal ini sesuai dengan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang
berbunyi, mengenai harta bawaan masing-masing suami atau istri mempunyai hak
Harta bersama dibagi setelah terjadi perceraian diantara suami dan istri,
a) kematian
b) perceraian
masing pihak. Sehingga dalam peraturan ini tidak didapat ketegasan hukum
perceraian.
Peraturan lain yang mengatur tentang harta benda dalam perkawinan adalah
KHI, dalama KHI pengaturan tentang harta benda dalam perkawinan diatur lebih
rinci dan tegas. KHI mengatur tentang harta benda dalam perkawinan pada Bab
XIII tentang harta kekayaan dalam perkawinan yang diatur pada Pasal 85-97 serta
dalam ketentuan umum pada Pasal 1 huruf f yang memuat pengertian tentang
harta bersama
syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri
harta bersama tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa. Peraturan ini
ketentuan dan pengertian dari harta bawaan seperti yang diatur dalam KHI tidak
Perbedaaan terdapat pada bentuk dari cara memperoleh harta bawaan tersebut,
bila dalam Undang-Undang Perkawinan hanya berupa hadiah dan warisan, pada
mengturnya pada Pasal 87 ayat (2) yang menyatakan bahwa, suami dan istri
memiliki hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-
masing berupa hibah, hadiah sadaqah atau lain sebagainya. Tentu saja hal ini
Pasal 92 KHI mengatakan bahwa, suami atau istri tanpa persetujuan pihak
lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama. Dalam pasal
ini KHI juga menempatkan hak yang sama antara suami dan istri dalam
memiliki andil dan pengaruh dalam tindakan terhadap harta bersama tersebut.
KHI juga mengatur hak dan kewajiban suami pada harta bersama tersebut,
KHI mengatur kewajiban dari suami terhadap harta bersama pada Pasal 89 yang
Kewajiban istri yang merupakan hak bagi suami, tentang harta benda dalam
perkawinan dalam KHI diatur pada Pasal 90 yang menyatakan bahwa, istri turut
bertanggungjawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.
Ketentuan ini mengatur bahwa istri hanya dibebankan untuk turut membantu
suami dalam bertanggungjawab terhadap harta bersama dan harta suami yang ada
padanya.
53
tersebut dibebankan kepada harta bersama untuk melunasinya. Hal ini sesuai
dengan ketentuan pada Pasal 93 ayat (2) yang menyatakan bahwa, pertanggung
terhadap hutang tersebut dibebankan kepada suami, sesuai dengan Pasal 93 ayat
(3) KHI.
Pasal 93 ayat (3) mengatakan bahwa, bila harta bersama tidak mencukupi,
dipergunakan untuk kepentingan keluarga, dalam hal harta bersama sudah tidak
dapat untuk melunasi hutang tersebut, harta pribadi suami di luar dari harta
yang dipergunakan dalam hal untuk kepentingan keluarga. Tetapi dalam hal ini
istri hanya memiliki kewajiban bila suami dalam hal ini tidak sanggup untuk
kepada istri, hal ini sesuai dengan ketentuan pada Pasal 93 ayat (4) yang
mengatakan bahwa, bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan
Kewajiban dan hak suami dalam harta bersama dan harta benda dalam
perkawinan, seperti yang diatur dalam KHI. Suami memiliki kewajiban untuk
menjaga harta bersama, harta istri dan harta milinya sendiri serta memiliki
54
kewajiban untuk melunasi hutang yang mana hutang tersebut dipergunakan untuk
kepentingan keluarga dan dalam hal harta bersama tidak dapat untuk melunasi
Kompilasi Hukum Islam membahas juga harta bersama bagi suami yang
memiliki istri lebih dari satu, hal ini terdapat dalam Pasal 94 yang dibagi dalam
1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih
istri lebih dari seorang sebagaimana tersebut pada ayat (1), di hitung pada
keempat.
1. Harta yang diperoleh dari warisan, baik sebelum mereka menjadi suami istri
2. Harta yang diperoleh dengan hasil keringat sendiri sebelum menjadi suami
istri.
3. Harta yang dihasilkan bersama oleh suami dan istri selama berlangsungnya
perkawinan.
yang mencari harta benda tersebut dan juga tanpa mempersoalkan atas nama siapa
harta bersama tersebut terdaftar, harta bersama tersebut dapat berupa benda
berwujud ataupun juga benda yang tidak berwujud, benda yang berwujud tersebut
dapat berupa benda bergerak dan benda yang tidak bergerak serta surat-surat
berharga, sedangkan yang tidak berwujud dapat berupa hak dan kewajiban dari
Suami dan istri karena suatu hal sehingga terjadi perceraian dan tidak lagi
menjadi suami dan istri, maka terhadap harta benda milik bersaama dalam
perkawinan tersebut dipecah. Maka dalam hal ini harta benda yang tadinya
merupakan kesatuan dan merupakan harta benda milik bersama, dibagi dua antara
Pembagian terhadap harta bersama tersebut, dalam KHI diatur lebih rinci
tidak menentukan besar bagian yang didapat suami dan istri dalam pembagian
para pihak untuk menentukan hukum yang akan mereka gunakan dalam
terhadap pembagian harta bersama tersebut dalam KHI, diatur hingga mengenai
tentang bagian dari masing-masing pihak yang putus ikatan perkawinan dan
membagi harta bersama tersebut, pembagian harta bersama tersebut diatur porsi
bagi para pihak yang putus ikatan perkawinan baik karena perceraian maupun
bersama, setelah terjadinya perceraian antara suami dan istri. Besaran porsi antara
suami dan istri atas pembagian harta bersama setealah terjadinya perceraian diatur
dalam Pasal 96-97. Pengaturan tersebut juga meliputi tentang pembagian harta
bersama bagi pihak yang bercerai karena kematian salah satu pihak dan perceraian
Pengaturan pembagian harta bersama akibat salah satu dari suami atau istri
meninggal, diatur dalam Pasal 96 ayat (1) mengatakan bahwa, apabila terjadi cerai
mati maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
Jelas bahwa pembagian terhadap harta bersama karena cerai mati, separuh dari
keseluruhan harta bersama tersebut menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
Pasal 96 juga mengatur pembagian harta bersama, bagi salah satu pihak
dari istri atau suami yang dianggap menghilang. Hal ini diatur dalam Pasal 96 ayat
(2) mengatakan bahwa, pembagian harta bersama bagi seorang istri atau suami
yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai ada kepastian matinya
yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan pengadilan.
Pengaturan pembagian harta bersama bagi suami atau istri yang dianggap
keputusan pengadilan yang menyatakan bahwa salah satu pihak dianggap telah
meninggal. Tentang besaran porsi terhadap para pihak yang dianggap telah
57
pasangan yang bercerai karena putusan pengadilan atau disebut dengan cerai
hidup, dalam KHI juga diatur hal tersebut. Pengaturan terhadap hal tersebut diatur
dalam Pasal 97 KHI dalam pasal ini dikatakan bahwa, janda atau duda cerai hidup
Pasal 97 KHI mengatur besaran porsi pembagian harta bersama bagi janda
atau duda cerai hidup dengan sangat jelas, dalam pasal tersebut pembagiannya
Hal yang dapat membatalkan pengaturan pembagian harta bersama bagi janda dan
duda cerai hidup tersebut, dalam Pasal 97 KHI tersebut, disebutkan diakhir dari isi
pasal ini adalah sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan,
jelaslah bahwa yang dapat membatalkan besaran pembagian harta bersama dengan
suami dan istri cerai hidup maupun yang cerai mati, atau karena sebab salah satu
dari pihak istri atau suami hilang, maka mereka mendapat seperdua atau setengah
dari harta bersama. Tidak diperhitungkan siapa yang bekerja dan atas nama siapa
harta bersama itu terdaftar, maka harta bersama tersebut selama harta tersebut
58
diperoleh selama dalam perkawinan dan merupakan harta bersama harta tersebut
Harta bersama ini dianggap tidak ada, jika karena terdapat perjanjian
dilangsungkan, kedua pihak anatara suami dan istri atas persetujuan bersama
perkawinan yang isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
perkawinan tersebut.43
bagi orang-orang yang beragama Islam yang ingin mencari keadilan, dalam ranah
hukum perdata atau hukum private, sehingga hukum Islam yang telah di
padanya, harus mengikuti apa yang telah diterapkan di dalam KHI. Hal ini sesuai
dengan ketentuan yang terdapat dalam penjelasan atas KHI, dalam penjelasan
umum Nomor 5 mengatakan bahwa, hukum materil tersebut perlu dihimpun dan
diletakkan dalam suatu dokumentasi yustisia atau buku Kompilasi Hukum Islam
diajukan padanya.
tersebut hakim memberikan besaran porsi pembagian harta bersama yang tidak
mengikuti ketentuan KHI seperti yang tersebut dalam Pasal 1 huruf f dan Pasal 97
KHI, dengan menjatuhkan putusan membagi harta bersama sebesar tiga perempat
agama, seharusnya hakim berpedoman pada KHI untuk memutus sengketa harta
bersama tersebut berdasarkan Pasal 1 huruf f dan Pasal 97, dalam isi kedua dasar
hukum untuk membagi harta bersama tersebut, bahwa harta bersama adalah harta
yang didapat selama perkawinan tanpa mempersoalkan atas nama siapa harta
tersebut terdaftar, untuk pembagian besaran porsi bila terjadi perceraian dan
Harta bersama tidak akan terjadi bila sebelumnya tidak terjadi suatu
hubungan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita, yang mengikatkan
60
diri lahir dan bathin sebagai suami dan istri. Dengan tujuan membentuk sebuah
keluarga yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
kekayaan dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau
nama siapapun.44
Terbentuknya harta bersama dikarenakan adanya suatu perkawinan,
terjadilah percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri. Jika tidak
terjadi perjanjian antara suami dan isteri tersebut. Keadaan yang demikian itu
berlangsung.45
Terdapat harta pribadi di samping harta bersama tersebut, harta pribadi di
dalam Undang-Undang Perkawinan terdapat pada Pasal 35 ayat (2) bahwa, harta
bawaan dari masing-masing pihak dan harta benda yang diperoleh masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Sehingga harta bawaan tidak
selama perkawinan tetap tidak menjadi harta bersama, karena didapat dari hadiah
atau warisan.
44Setiawan Widagdo. 2012. Kamus Hukum. Jakarta: Prestasi Pustakaraya, halaman 199.
45 Subekti. 2003. Poko-Pokok Hukum Perdata. Jakarta:Iintermasa, halaman 31.
61
didapat selama perkawinan dan bukan merupakan harta bawaan atau harta pribadi
seperti yang terdapat pada Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan seperti
yang tersebut di atas, merupakan persatuan harta perkawinan dan disebut dengan
merupakan kepala keluarga dalam suatu hubungan perkawinan, hal ini seperti
yang terdapat dalam Pasal 31 ayat (3). uami memilki kewajiban untuk memenuhi
segala keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, hal ini
sesuai dengan Pasal 34 ayat (1), yang harus dipahami adalah bahwa kewajiban
kepada suami tersebut, ukurannya adalah semampu dan sesanggup suami sesuai
tangga.
Istri dalam hal sebagai ibu rumah tangga yang memiliki kewajiban untuk
disediakan oleh suami, istri harus mengurus segala keperluan rumah tangga sesuai
berumah tangga, bila kemampuan suami untuk mencari keperluan berumah tangga
Perkawinan pada Pasal 31 ayat (1) mengatakan bahwa, hak dan kedudukan istri
adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami. Seimbang dalam artian adalah
istri tidak dilarang untuk membantu suami dalam memenuhi kewajibannya dan
62
tidak terlepas juga mempunyai posisi yang sama dalam hal pembagian harta
bersama. Harta bersama tersebut merupakan kesatuan harta yang digabung antara
harta istri dan harta suami di luar dari harta bawaan dan harta pribadi masing-
masing pihak, sehingga dari penggabungan harta tersebut lahir harta yang didapat
kedudukan yang seimbang dalam hal harta bersama terdapat dalam KHI pada
Pasal 1 huruf f, dalam pasal ini dikatakan bahwa, harta kekayaan dalam
perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau
bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya
antara suami dan istri dalam mencari harta bersama dan tanpa mempersoalkan
harta tersebut terdaftar atas nama siapa. Sehingga tidak ada tuntutan dikemudian
hari yang menuntut adanya harta bersama atas besar kecilnya andil salah satu
pihak dan atas nama salah satu pihak harta bersama tersebut terdaftar lebih
banyak.
KHI menjelaskan kewajiban suami dalam harta bersama tersebut dalam
harta istri maupun hartanya sendiri. Sehingga kewajiban suami dalam KHI
63
terhadap harta bersama adalah tanggungjawab untuk menjaga harta tersebut dari
yang berbunyi, perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas
tidak mendapat kejelasan dalam hal besaran porsi bagi masing-masing pihak, bila
terjadi perpisahan atau perceraian dalam suatu perkawinan yang merupakan syarat
dalam pembagian harta bersam tersebut. Sehingga para pihak akan meggunakan
hukum yang mereka taati dan hukum tersebut diakui oleh negara, seperti hukum
secara tegas pembagian harta bersama bila terjadi perceraian diantara suami dan
istri. Pembagian secara tegas tentang pembagian harta bersama, diatur secara
tegas di dalam Kompilasi Hukum Islam. Pembagian secara tegas dalam Kompilasi
masing-masing suami dan istri dari harta bersama. Bila terjadi perceraian baik
64
cerai hidup maupun cerai mati, atau suami dan istri salah satu diantaranya
hilang.46
Hukum agama yang dalam hal ini adalah hukum Islam, dalam hukum
Islam yang adalah hukum yang tidak tertulis, tetapi setelah lahirnya KHI yang
merupakan kesepakatan dari para ulama dan merupakan perwujudan dari hukum
Islam itu sendiri. Bagi oarang-orang Islam yang menuntut keadilan di badan
peradilan agama, yang salah satu kewenangan absolutnya adalah badan peradilan
cerai mati di dalam Pasal 96 sampai pada Pasal 97. Sehingga tepat bila dikatakan
perceraian lebih tegas bial dibandingkan dengan pengaturan yang terdapat dalam
Undang-Undang Perkawinan.
suami dan istri yang telah bercerai dengan pembagian yang seimbang, yaitu
seperdua untuk bagian suami dan seperdua lagi untuk bagian istri. Pembagian
seperti yang terdapat dalam pasal ini, sesuai dengan pengertian dari harta bersama
pembagian harta bersama sesuai dengan KHI, padahal para pihak adalah orang-
peradilan agama. Dimana suami memiliki andil yang sedikit dalam perolehan
harta bersam dikarenakan suami memiliki kemampuan dan penghasilan yang lebih
sedikit dibandingkan dengan istri dalam perkawinan dan hampir seluruh harta
bersama diperoleh oleh istri. Kasus seperti ini telah terjadi di dalam kehidupan
nyata dan diadili oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan putusan
yaitu:
berisi tentang permohonan cerai dan pembagian harta bersama, penggugat dan
tergugat menikah pada hari sabtu tanggal 08 April 1995 di Klaten, berdasarkan
kutipan akta nikah Nomor 35/35/IV/1995 dan setelah akad nikah, para pihak
tinggal di rumah orang tua tergugat selama 1 tahun lamanya sampai anak pertama
Hasil perkawinan tersebut para pihak dikaruniai 2 orang anak, anak yang
pertama lahir tanggal 26 Februari 1996 dan anak kedua lahir tanggal 9 September
1998. Pada tahun 1996 para pihak pindah ke rumah orang tua penggugat,
sering terjadi, walaupun sebenarnya percekcokan kecil telah terjadi sejak awal
sifat egois, semaunya sendiri dan pemalas dan bila diingatkan penggugat menjadi
Keadaan yang sering terjadi percekcokan dan tidak harmonis yang terjadi
Tergugat sering marah tanpa alasan yang jelas dan tergugat sering menghalang-
Bahwa pada Juli 2007 pengugat dan tergugat pindah rumah ke Sleman,
pada saat para pihak tinggal di Sleman, tergugat pernah mengusir penggugat dan
tersebut terjadi pada tanggal 6 November 2008. Demi keamanan, penggugat dan
November 2008.
tidak harmonis dan merupakan hal yang menjadi, alasan salah satu pihak untuk
tentang Perkawinan. Dalam hal ini antara suami dan istri terus menerus terjadi
67
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk rukun kembali dalam
kehidupan rumah tangga. Alasan ini telah dibuktikan penggugat dengan fakta-
berupa:
penggugat.
b. benda bergerak
4) Isi rumah:
a) Kulkas
b) Tv
68
c) kursi jati
g) 1 buah sofa.
pekerjaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan suami serta penghasilan dari
istri juga lebih besar bila dibandingkan dengan suami, sehingga secara otomatis
harta kekayaan yang didapat pasangan suami istri tersebut lebih banyak didapat
nama-nama dari istri, sehingga dari berbagai sudut sudah tentu akan didapati
bahwa suami memiliki andil yang sangat sedikit dalam perolehan harta bersama
membagi harta bersama kepada pihak istri memperoleh harta bersama sebesar ¾
(tiga perempat) bagian dari harta bersama dan pihak suami mendapat ¼ (satu
untuk pihak istri dan satu perempat untuk pihak suami, sangat bertentangan
Peraturan yang tidak digunakan hakim dalam memutus perkara ini terutama Pasal
97 KHI dan azas keseimbangan dalam rumah tangga seperti yang terdapat dalam
adalah harta yang didapat sendiri-sendiri maupun bersama-sama suami dan istri
tanpa mempersoalkan harta tersebut terdaftar atas nama siapa, tanpa juga
sengketa ini, sehingga hakim melanggar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 97
KHI tentang pembagian harta bersama, dimana dalam pasal ini pembagian harta
mendahulukan dan menerapkan peraturan yang sudah tertulis secara jelas dalam
memutus sengketa yang dihadapkan padanya, lain halnya bila sengketa tersebut
tidak terdapat dalam peraturan tertulis. Dalam hal ini hakim boleh menggali nilai-
nilai yang ada dalam msyarakat dan mengeluarkan putusan agar tidak terjadinya
hakim harus mengikuti putusan sesuai dengan apa yang diatur dalam undang-
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
Pasal tersebut menjelaskan bahwa hakim dalam hal apapun tidak boleh
menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara. Hakim dalam
hal ini haruslah memutuskan perkara sesuai dengan ketentua yang diatur dalam
70
suatu peraturan perundang-undangan. Akan tetapi dalam hal menggali nilai yang
terdapat dalam suatu Pasal dan peristiwa hukum baru hakim diperbolehkan hal ini
menyatakan bahwa Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
demikian, dalam hal perkara yang diadili tidak ada atau tidak jelas dasar
hukumnya, hakim pun tetap wajib untuk mengadili perkara tersebut. Sehingga
pada prinsipnya, asas legalitas harus dijadikan pedoman awal bagi hakim untuk
hak suami dalam pembagian harta bersama adalah suatu peristiwa hukum di mana
Hukum Islam. Dimana Kompilasi Hukum Islam adalah fiqih Islam yang menjadi
hukum terapan dalam peradilan Agama yang ada di Indonesia termasuk tentang
bersama yang di dasarkan kepada niai-nilai yang digalih berdasarkan demi rasa
keadilan. Hal ini dilihat dan dipertimbangkan hakim dengan alasan bahwa
perkawinan antara kedua belah pihak yang tidak mungkin bisa utuh lagi dan
alasan utama dalam pembagian harta bersama yang di mana suami selama masa
kerjanya tidak pernah menafkahi istrinya selama hampir 11 tahun dan harta-harta
yang berkembang di dalam masyarakat. Hal ini yang menjadi dasar bagi hakim
266K/AG/2010 yang membagi harta bersama dengan pembagian ¾ untuk istri dan
perjanjian yang dibuat oleh suami dan istri, pada waktu atau sebelum perkawinan
pencatatan nikah dan isinya juga berlaku bagi pihak ketiga sepanjang hal tersebut
sebagai suatu hubungan hukum harta kekayaan antara kedua belah pihak. Salah
72
satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal dan pihak lain mempunyai hak,
merupakan sebuah jalan untuk melanggar ketentuan pembagian besar porsi harta
BAB VI
1. Kesimpulan
a. Hak dan kewajiban suami selama perkawinan diatur dalam Pasal 30-34
menjaga dan melindungi istri serta memberikan kasih sayang serta cinta
lahir dan bathin kepada istri. Hak suami adalah kewajiban dari istri yang
dalam hal nonmateri sama dengan suami, dalam hal materi suami wajib
dan hak suami adalah mendapat pengaturan yang baik dari istri, KHI
mengatur hal yang kurang lebih sama namun lebih terperinci, KHI
b. Suami memiliki hak yang sama dalam pembagian harta bersama setelah
seimbang. Pengertian yang cukup jelas terdapat dalam KHI Pasal 1 huruf f
dan kewajiban suami terhadap harta bersama diatur dalam Pasal 89 dan 83
serta pembagian besaran porsi terdapat dalam Pasal 96-97 yang membagi
rata harta bersama kepada para pihak. Hakim dalam lingkungan peradilan
74
seperti yang terdapat dalam penjelasan umum atas KHI pada penjelasn
umum Nomor 5.
c. Harta suami dan harta istri yang digabungkan selam perkawinan di luar dari
peroleh dengan andil yang lebih besar dari salah satu pihak dan harta
tersebut terdaftar atas nama siapa merupakan harta bersama. Harta tersebut
mengikuti aturan yang terdapat dalam KHI, dalam hal ini KHI memiliki
ketentuan membagi sama rata harta bersama. Tetapi dalam putusan ini
hakim tidak mebagi harta bersama menurut ketentuan KHI tetapi menetapak
tiga perempat bagian istri dan satu perempat bagian suami, dengan alasan
suami memiliki sedikit andil dalam memperoleh harta bersama, yang jelas-
2. Saran
aturan ini sudah sangat lama dan zaman sudah berbeda jauh dengan zaman
secara tegas dan pasti seperti yang terdapat dalam KHI, sehingga hakim
sebagai wakil tuhan di dunia dapat memberikan salah satu dari tujuan
mengatur hak dan kewajiban suami terhadap harta bersama dan besaran
pembagian harta bersama yang sudah jelas terdapat dalam KHI. terutama
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdul Manan. 2003. Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan
Agama. Jakarta: Pustaka Bangsa Press.
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di
indonesia (Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih,
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Sampai KHI). Jakarta: Prenada Media.
Beni Ahmad Saebani. 2008. Perkawinan Dalam Hukum Islam Dan Undang-
Undang (Perspektif Fiqh Munakahat dan UU N0. 1/1974 Tentang
Poligami dan Problematikanya). Bandung: Pustaka Setia.
Salim HS, 2013, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika.
Soedharyo Soimin. 2002. Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum perdata
Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat Edisi Revisi. Jakarta: Sinar
Grafika.
Subekti. 2003. Poko-Pokok Hukum Perdata. Jakarta:Iintermasa
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
77
C. INTERNET
https://quranruqyah.wordpress.com | Bersandar pada Al Quran, diakses
tanggal 4 Desember 2017, pada pukul 20.30 WIB.