Anda di halaman 1dari 77

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan mengenai hukum perdata setelah dikorkondansikan oleh

Belanda dan setelah Indonesia merdeka banyak mengalami perubahan dan

pemisahan baik terhadap muncul perturan perundangan undangan tersendiri

seperti tentang Undang-Undang Pokok Agraria dengan Nomor 5 Tahun 1960,

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur tersendiri

mengenai Agraria dan Perkawinan. Terhadap pengaturan perkawinan dalam

hukum perdata yang diatur pada KUHPerdata, perkawinan termasuk kedalam

hukum kekeluargaan yaitu tentang ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur

lahir dan batin antara dua orang yang berlainan kelamin (dalam perkawinan) dan

akibat hukumny.1

Pengaturan perkawinan yang diatur ke dalam Undang-Undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1994 lebih memberikan kemudahan tersendiri dalam

menyelsaikan permasalahn yang timbul baik akibat perkawinan, pembatalan

perkawinan, pencegahan perkawinan, perceraian dan tentang pembagian harta

bersama.

Perkawinan merupakan kemauan antara seorang pria dan seorang wanita

yang saling mengikatkan diri, antara satu dengan yang lain untuk hidup bersama

1Beni Ahmad Saebani. 2008. Perkawinan Dalam Hukum Islam Dan Undang-Undang
(Perspektif Fiqh Munakahat dan UU N0. 1/1974 Tentang Poligami dan Problematikanya).
Bandung: Pustaka Setia, halaman 20.
2

dalam satu atap agar dapat membentuk keluarga, dengan harapan agar keluarga

yang mereka bentuk dapat menjadi bahagia dan kekal yang berdasarkan kepada

ketuhanan yang maha esa. Sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pasal 1

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang selanjutnya

disebut Undang-Undang Perkawinan.

Perkawinan menurut Sajuti Thalib ialah suatu perjanjian yang suci kuat

dan kokoh untuk hidup bersama secara sah dan antara seorang lelaki dan seorang

perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih-

mengasihi, tentram dan bahagia. Sedangkan Hazairin dan Mahmud Yunus

memandang perkawinan sebagai hubungan seksual karena tidak ada perkawinan

bila tidak ada hubungan seksual.2

Pengertian dari perkawinan lebih menarik diberikan oleh Tahir Mahmood,

menurutynya perkawinan sebagai sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dan

seorang wanita masing-masing dari mereka menjadi suami istri dalam rangka

memperoleh kebahagian hidup dan membangun keluarga dalam dalam sinaran

ilahi.3 Pengertian tersebut memang sejalan dengan apa yang diamanatkan oleh

Undang-Undang Perkawinan di Indonesia.

Pengertian dari beberapa pendapat ahli dan dalam Undang-Undang

Perkwainan dapat disimpulkan dan diambil unsur dari pengertian tersebut antara

lain:

1. Ikatan lahir batin.

22 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia
(Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Sampai
KHI). Jakarta: Prenada Media, halaman 40.
33Ibid., halaman 42.
3

2. Antara laki dan perempuan.

3. Membentuk sebuah keluarga.

4. Saling mengasihi, menyanyangi dan kekal.

5. Berdasarkan Tuhan yang Maha Esa.

Tujuan yang diharapkan setiap pasangan, agar dapat hidup bahagia dan

kekal dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Maksud dan tujuan dari hidup

bahagia dan kekal dalam menjalani kehidupan rumah tangga, dimaksudkan agar

perkawinan tersebut berlangsung seumur hidup sehingga tidak boleh berakhir

begitu saja, pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal tersebut harus

berlandaskan ketuhanan yang maha esa, sebagai asas yang pertama dalam

pancasila.4

Tujuan perkawinan dalam hukum dalam islam baik dari Al-Quran dan Al-

Hadist adalah untuk menyempurnakan separuh dari agama dan untuk lebih

bertaqwa kepada Allah, seperti dalam surat Al-Hujarat ayat (13) dan Ar-Rum ayat

(21) ayat sebagai berikut:

‫س إإنناَ مخلممقمناَككمم إممن مذمكرر موأكمنثمىى مومجمعملمناَككمم كشكعوُبباَ موقممباَئإمل لإتممعاَمركفوُا إإنن أممكمرممككمم‬
‫مياَ أميَيمهاَ النناَ ك‬
‫ام معإليِرم مخإبيِرر‬‫اإ أممتمقاَككمم إإنن ن‬ ‫إعمنمد ن‬
Artinya:
”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.”(Al-Hujarat:13)

‫ق لمككم لممن مأنفكإسككمم أممزىموبجاَ للتممسككنكووُاا إإلمميِمهاَ مومجمعمل بمميِنمككم نمموُندةب مومرمحممةب‬‫موإممن مءا ىيمتإ إوهۦِ أممن مخلم م‬
‫ك ملمءا ىيم ر‬
‫ت للقمموُرم يمتمفمنككرومن‬ ‫إإنن إفى ىمذلإ م‬
Artinya:

4Djoko Prakoso dan I ketut Murtika. 1998. Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia,
Jakarta: PT. Bina Aksara, halaman 4.
4

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan


untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang berfikir.”(Ar-Rum:21)

Maksud dari ke dua ayat tersebut adalah bahwa adanya laki-laki dan

perempuan dari berbagai bangsa dan negara supaya saling mengenal dan dalam

penjelasan dalam surat Ar-Rum ayat 21 memiliki 4 makna antara lain:5

1. Allah ciptakan pasangan hidup dari golongannya/jenisnya sendiri. Yang

dimaksud pasangan dari golongan sendiri adalah Allah ciptakan Ibu Hawa dari

tulang rusuk Nabi Adam di sebelah kiri yang paling pendek. Oleh karena itu

sudah menjadi sunatullah bahwa pasangan hidup manusia harusnya laki-laki

dan wanita dari golongan manusia, bukan dengan hewan atau dengan golongan

jin. Agar tercipta manfaat atau kemaslahatan yang besar pada diri manusia.

2. Agar merasa tentram (litaskunu ilaiha) dalam bahtera rumah tangga. Sakinah

adalah perasaan nyaman, damai, hening, cenderung, tentram atau tenang

kepada yang dicintainya.

3. Agar tercipta mawaddah (Kebersamaan).

4. Agar tercipta rahmah (kasih sayang).

Harapan untuk dapat hidup bahagia dan kekal dalam membina hubungan

suami istri, seperti yang diamanatkan Undang-Undang Perkawinan, tidak menutup

kemungkinan pasangan suami istri tersebut untuk melakukan perceraian.

Perceraian merupakan jalan yang paling akhir dalam penyelesaian sengketa dalam

5Tafsir Al-Quran surat Ar-Rum ayat 21 (Membentuk Keluarga sakinah). November 2016.
Melalui: https://quranruqyah.wordpress.com | Bersandar pada Al Quran. Diakses tanggal 4
Desember 2017, pada pukul 20.30 WIB.
5

hubungan perkawinan, karena perceraian bertentangan dengan tujuan dari

perkawinan, yaitu hidup bahagia dan kekal.

Perceraian tidak dapat terjadi begitu saja, perceraian hanya dapat

dilakukan bila sudah memenuhi alasan yang sudah ditetapkan sesuai dengan

hukum yang mengatur tentang perkawinan seperti dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan yang selanjutnya disebut dengan PP Undang-Undang

Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang selanjutnya disingkat

KUHP dan Kompilasi Hukum Islam yang selanjutnya disingkat KHI.

Aturan-aturan tentang perkawinan tersebut menetapkan alasan-alasan

untuk melakukan perceraian, dengan harapan agar perceraian tersebut tidak

mudah untuk dilakukan. Sehingga tujuan dari perkawinan untuk dapat hidup

bahagia dan kekal dapat terwujud dan segala masalah dapat diselesaiakan dengan

cara damai dan dapat hidup bersama kembali.

Alasan-alasan untuk melakukan perceraian diatur pada Pasal 19 Peraturan

Pemerintah tentang pelaksana terhadap Undang-Undang Perkawinan dan Pasal

116 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Perceraian yang ingin dilakukan harus

memiliki alasan yang sudah di tetapakan, sehingga tidak mudah untuk melakukan

perceraian.

Setiap peristiwa hukum mempunyai akibat hukum yang diatur oleh hukum

atau peristiwa hukum yang diberi akibat hukum, dalam hal ini perceraian

merupakan peristiwa hukum yang membawa akibat hukum didalamnya, akibat

dari hukum perceraian secara tegas diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang


6

Perkawinan, bahwa perceraian mempunyai akibat hukum terhadap anak dan

mantan suami/istri, selain itu perceraian juga mempunyai akibat hukum terhadap

harta bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan

yang memuat ketentuan bahwa akibat hukum terhadap harta bersama diatur

menurut hukum agama, hukum adat dan hukum yang lain.

Perceraian mempunyai akibat hukum terhadap anak dan mantan

suami/istri selain itu perceraian juga berakibat pada harta bersama, dimana harta

bersama merupakan harta yang di dapat selama perkawinan dan bila terjadi

perceraian dalam perkawinan, harta bersama yang didapat selama perkawinan

pada umumnya di bagi ½ untuk pihak suami dan ½ untuk pihak istri selama tidak

ditentukan lain dalam perjanjian pekawinan, hal ini sejalan dengan hukum Islam

yang sudah dipositifikasikan dalam KHI khususnya.

Hukum nasional yang mengatur tentang harta bersama dalam hal ini

merupakan Undang-Undang Perkawinan pada umumnya jika terjadi perceraian

maka terhadap harta bersama tersebut diatur berdasarkan hukumnya masing-

masing sesuai dengan Pasal 37 yaitu, bila perkawinan putus karena perceraian,

harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing.

Kompilasi Hukum Islam mengenai Pasal 97 yang menegaskan bahwa

janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak mendapat seperdua dari harta

bersama sepanjang tidak ditentukan lain lain dalam perjanjian perkawinan, hal

tersebut juga terdapat pada Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan. Dibagi ½ untuk

pihak istri dan ½ untuk pihak suami tanpa mempersoalkan dari pihak mana yang

mendapatkannya lebih banyak dan atas nama siapa harta tersebut, terkecuali harta
7

yang didapat sebgai hadiah, wasiat dan warisan adalah dibawah penguasaan

masin-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain seperti yang tercantum

dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, seperti yang tedapat juga

dalam Kompilasi Hukum Islam yang membahas tentang harta bersama, namun

ketentuan dalam hukum nasional mengenai harta bersama seperti yang tersebut di

atas tidak sepenuhnya diterapkan oleh hakim untuk menyelesaikan perkara

mengenai pembagian harta bersama. Hal ini dapat dilihat seperti pada Putusan

Mahkamah Agung Nomor 266K/AG/2010 yang memutuskan membagi harta

bersama menjadi ¾ bagian suami dan ¼ bagian istri dengan alasan harta bersama

lebih banyak atas nama istri dan didapat atas usaha istri karena istri mempunyai

penghasilan yang lebih banyak di bandingkandengan suami. hal inilah yang

membuat penulis tertarik untuk meninjau lebih jauh mengenai pembagian harta

bersama yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum nasional dengan alasan

seperti yang tersebut di atas sebelumnya.

Berdasarkan paparan latar belakang di atas tersebut, maka dilakukan

penelitian berjudul “Hak Suami Atas Pembagian Harta Bersama Akibat

Perceraian (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 266K/AG/2010)”.

1. Rumusan Masalah

a. Bagaimana pengaturan hak dan kewajiban suami selama perkawinan dan

setelah putus perkawinan ?

b. Bagaimana hak suami atas pembagian harta bersama akibat perceraian

menurut putusan Nomor 266K/AG/2010 ?


8

c. Bagaiman akibat hukum pembagian harta suami atas harta bersama akibat

perceraian menurut putusan Nomor 266K/AG/2010 ?

2. Faedah Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat antara lain:

a. Secara teoritis

Sebagai bahan informasi bagi akademisi, maupun para peneliti yang hendak

melaksanakan penelitian. Mengenai hak suami terhadap pembagian harta

bersama, serta menambah pengetahuan bagi perkembangan hukum perdata,

tentang hak suami atas pembagia harta bersama akibat perceraian.

b. Secara praktis

1. Dapat memberikan pengetahuan bagi pembuat Undang-Undang, untuk lebih

mengetahui masalah-masalah yang muncul di dalam masyarakat. Di masa

sekarang ini, dalam hal ini, hukum terhadap hak suami atas pembagian harta

bersama.

2. Dapat memberikan pengetahuan bagi hakim dalam memutus perkara, dalam

hal ini perkara pembagian harta bersama. Dengan alasan istri lebih dominan

dalam mendapatkan harta bersama dan harta bersama lebih banyak atas

nama istri, agar hakim dapat meberikan kepastian hukum terhadap para

pihak, seperti yang diamanatkan oleh undang-undang dan peraturan lain

yang mengaturnya

3. Dapat memberikan pengetahuan bagi pembuat undang-undang dan hakim,

dalam menghadapi permasalahan. Hak suami terhadap pembagian harta


9

bersama, untuk lebih diberikan kepastian hukum seperti yang telah

diamanatkan dalam peraturan tertulis.


B. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menjelaskan pembagian harta bersama bagi suami pasca putus

perceraian menurut putusan Nomor 266K/AG/2010.

2. Untuk menjelaskan hak suami atas pembagian harta bersam akibat

perceraian menurut putusan Nomor 266K/AG/2010.

3. Untuk menjelaskan akibat hukum pembagian harta suami atas harta

bersama akibat perceraian.

C. Metode Penelitian

Penulisan yang baik diperlukan ketelitian dan kecermatan yang

memfokuskan pada penelitian ini, metode penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini meliputi:

1. Sifat /Materi Penelitian

Melakukan penelitian dalam pembahasan ini diperlukan suatu spesifikasi

yang deskriftif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengurai

keseluruhan pokok permasalahan yang dibahas dalam skripsi sebagaimana yang

telah dikemukakan dalam perumusan masalah, terlebih dahulu dihubungkan

dengan data primer dan data skunder serta bukti-bukti pendukung yang telah

terkumpul dari sumber kepustakaan.

Adapun metode pendekatan yang digunakan untuk melakukan penelitian

dalam pembahasan ini adalah metode pendekatan hukum normatif (yuridis


10

normatif). Penedekatan hukum normatif ini dilakukan dengan cara studi

kepustakaan.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode

penulisan dengan menelaah bahan-bahan hukum yang bersumber dari data

sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan dari bahan-bahan lain yang

berkaitan dengan penulisan ini, yang terdiri atas:

a. Bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan, dalam

penelitian ini dipergunakan yaitu: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan

dan Kompilasi Hukum Islam

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum perimer yang relevan dengan penelitian ini,

diantaranya adalah:

1. Berbagai kepustakaan mengenai hukum perkawinan.

2. Berbagai kepustakan mengenai hukum perceraian.

3. Berbagai kepustakaan mengenai hukum harta bersama.

c. Bahan hukum tersier misalnya ensiklopedia, bahan dari internet, jurnal

ilmiah, bibliografi dan sebagainya.

3. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

berupa studi penelusuran kepustakaan. Penelusuran kepustakaan yaitu


11

pengumpulan data yang berasal dari literatur-literatur, peraturan perundang-

undangan, buku-buku, majalah dan lain sebagainya yang memiliki hubungan

dengan penelitian ini.

4. Analisis Data

Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka secara kualitatif. Analisis

kualitatif pada dasarnya merupakan penerapan tentang teori-teori yang membahas

hasil penelitian dengan kalimat. Diharapkan dari teori-teori dan data hasil

penelitian kepustakaan dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan

pembahassan dan kesimpulan untuk penelitian ini.

D. Definisi Operasional

Definisi operasional atau kerangka konsep adalah kerangka yang

menggambarkan hubungan antara definisi-definisi/ konsep-konsep khusus yang

akan diteliti. 6Definisi operasional bertujuan untuk dapat mengurai penelitian ini,

berdasarkan judul penelitian, terdapat definisi operasional, antara lain sebagai

berikut:

1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

wanita sebagai suami istri untuk hidup bersama dan membentuk keluarga

yang bahagia dan kekal.

2. Hak adalah sesuatu yang mutlak yang dimiliki orang tersebut dan harus

diterima orang yang mendapatkannya, penggunaan akan hal tersebut

tergantung dari orang tersebut.

6 Fakultas Hukum UMSU. 2014. Pedoman Penulisan Skripsi. Medan: Fakultas Hukum
Universitas muhammadiyah Sumatera Utara, halaman 5.
12

3. Suami adalah pihak laki-laki yang mempunyai hak dan kewajiban dalam

sebuah ikatan lahir batin antara pihak laki-laki dan pihak wanita yang

disebut dengan pernikahan.

4. Pembagian adalah sebuah proses atau menceraikan sesuatu atau

memecahkannya menjadi beberapa bagian, sehingga dapat diberikan

kepada pihak lain.

5. Harta bersama adalah harta yang didapat selama perkawinan yang

termasuk kedalam harta bersama di luar dari harta bawaan, pemberian dan

warisan setelah terjadinya perceraian, umumnya harta bersama dibagi

sama rata terhadap suami dan istri.

6. Akibat perceraian adalah akibat hukum atau konsekuensi yang harus

diterima oleh para pihak setelah peristiwa hukum yang mereka alami,

dalam hal ini peristiwa hukum yang terjadi adalah peceraian dan

konsekuensi yang harus dihadapi salah satunya adalah tentang harta

bersama.
13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Tinjauan Umum Pengertian Perkawinan dan Hukum Perkawinan

Pengertian perkawinan secara etimologis berasal dari bahasa arab yang

disebut dengan al-nikah yang bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al-at

tadakhul yang memiliki makna bersetubuh, berkumpul dan akad. 7Sehingga dapat

diartikan pernikahan tersebut adalah hal yang dilakukan untuk memenuhi hasrat

biologis manusia yaitu bersetubuh dan berkumpul dalam artian disini adalah

membentuk keluarga.

Akad dalam hal ini adalah dua orang yang saling mengikatkan diri dan

berjanji, sehingga tercapai kesepkatan untuk melakukan sesuatu hal dan masing-

masing pihak memiliki hak dan kewajiban setelah terjadinya akad diantara kedua

belah pihak. Menurut Hanabilah nikah adalah akad yang menggunakan lafadz

inkah yang dengan maksud mengambil manfaat untuk bersenang-senang.8

Pengertian dari nikah tersebut memang bermakna pemenuhan hasrat

biologi dari manusia dan cenderung terlihat vulgar bila dilihat dari pengertiannya

secara bahasa. Hal ini sejalan dengan apa yang terdapat dalam bahasa arab, karena

nikah bagi orang-orang Arab, nikah tersebut adalah al-wat’ yang dapat diartikan

sebagai persetubuhan.9

Perkawinan tersebut bila kita tarik dari pengertiannya, merupakan sebuah

perbuatan untuk memperbolehkan persetubuhan. Persetubuhan tersebut yang

7Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Op, Cit., halaman 38.
8Ibid., halaman 39.
9Ibid., halaman 40.
14

sebelumnya dilarang dilakukan karena bertentangan dengan nilai-nilai moral dan

kesusilaan di dalam masyarakat, setelah terjadinya pernikahan hal tersebut

dinggap pantas dilakukan dan merupakan kewajiban dan hak bagi setiap pasangan

untuk melakukan hal tersbut.

Persetubuhan yang boleh dilakukan setelah pernikahan terjadi,

didefinisikan juga oleh Ibrahim Hosein, menurutnya perkawinan merupakan akad

yang menjadikan halal suatau hubungan kelamin anatara pria dan wanita atau

disebut dengan hubungan seksual antara pria dan wanita. 10 Sehingga persetubuhan

hanya boleh dilakukan dengan jalan pernikahan.

Persetubuhan diluar nikah yang biasa disebut zina, dianggap sebagai

sebuah kejahatan kesusilaan yanng memiliki dampak buruk dalam berbagai aspek

dan sendi kehidupan. zina merupakan perbuatan yang dapat menimbulkan

penyakit dan para dokter sepakat akan hal tersebut, karena banyak orang setelah

melakukan perzinahan, disanalah muncul penyakit-penyakit kotor.11

Pengendalian terhadap perbuatan zina, agar terhindar dari berbagai

keburukan yang ditimbulkannya, adalah dengan jalan perkawinan. Perkawinan

merupakan cara yang dianggap agama dapat memperbolehkan perbuatan yang

sebelumnya dilarang menjadi diperbolehkan dan memiliki manfaat untuk

menjauhkan diri dari perbuatan buruk yang dapat merusak.

Perkawinan dapat diartikan juga sebagai suatu jalan untuk dapat

berkumpul dan membentuk keluarga yang di dalamnya juga memperbolehkan

persetubuhan agar dapat meneruskan garis keturunannya dengan jalan yang

10Ibid.
11Mahmud Yunus. 1985. Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Mazhab Syafi’i,
Hanafi, Maliki, Hanbali. Jakarta: PT Hidakarya Agung halaman 8.
15

dianggap pantas dan layak untuk mencapai tujuan tersebut. Sehingga perkawinan

dapat menyalurkan hasrat biologis secara pantas dan layak sehingga, terhindar

dari berbagai keburukan.

Perkawinan harus berdasarkan keinginan dan kesepakatan dari kedua

pihak tanpa ada tekanan dari pihak lain, karena dalam perkawinan ada unsur akad

di dalamnya. Akad pada prinsipnya adalah sebuah kesepakatan anata kedua belah

pihak untuk mengikatkan diri, sehingga pernikahan diluar dari keinginan dan

kesepakatan para pihak sesungguhnya keluar dari kata akad tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

pada Pasal 1, definisi perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa,

sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam definisi dari perkawinan tidak berbeda

jauh dengan Undang-Undang Perkawinan, perbedaannya hanya menekankan pada

konsep agama Islam sebagai landasan dilakukannya pernikahan dan perbuatan

tersebut merupakan sebuah ibadah.

Hukum perkawinan adalah suatu aturan yang mengikat, bagi para pihak

dan mempunyai akibat dari perbuatan yang mereka lakukan dalam hal perbuatan

yang dimaksud adalah perkawinan. Sehingga hukum perkawinan adalah aturan

tentang perkawinan yang didalamnya juga terdapat hak dan kewajiban dalam

perkawinan.

Hukum perkawinan sebagai hukum yang mengatur segala permasalahan

dan cara melakukan perkawinan, harus mampu menjawab segala permasalah yang
16

timbul dalam perkawinan, serta akibat-akibat yang ditimbulkan dari perkawinan

tersebut serta menerangkan dan menjamin setiap hak dan kewajiban dari masing-

masing pihak yang terkait dengan peristiwa perkawinan tersebut.

Hukum positif tentang perkawinan yang berlaku saaat ini adalah Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam yang dikenal

sebagai hukum fiqih ulama-ulama di Indonesia.

Undang-Undang Perkawinan sebagai hukum positif di Indonesia berlaku

bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa mengenal latar belakang, sehingga hukum ini

bersifat universal dan mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia. dalam isinya

hukum tersebut tetap menggunakan nilai ketuhanan seperti yang diamanatkan

oleh Pancasila sebagai dasar berpikirnya.

Undang-Undang Perkawinan dalam beberapa hal menyerahkan

sepenuhnya kepada kepercayaan yang dianut dalam masyarakat, seperti dalam hal

pelaksanaan dan tata cara untuk dianggap sahnya suatu perkawinan. Hal tersebut

terdapat pada Pasal 2 ayat (1) yaitu, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dari sini dapat

kita lihat bahwa Undang-Undang Perkawinan memberikan kebebasan bagi setiap

pemeluk agama untuk melakukan tata cara perkawinan sesuai dengan

kepercayaannya masing-masing.

Pembagian harta bersama juga termasuk hal yang diberikan kebebasan

oleh undang-undang untuk mengatur tata cara dari pembagian harta bersama
17

tersebut, hal ini berdasarkan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan. Dalam pasal

tersebut jelas dinyatkan pembagian harta bersama setelah perceraian dilakukan

menurut hukumnya masing-masing.

Khusus bagi orang-orang beragama Islam yang setiap aturannya merujuk

pada al-Quran dan al-Hadist, sudah tentu tidak terkecuali di dalamnya hukum

tentang perkawinan. Dalam perintah melakukan perkawinan terdapat pada Hadist

dari Ibnu Mas’ud ia berkata Rasulullah SAW yang berbunyi:

َّ‫ع إممنكككم مالمباَمءةم فممليِمتممزنوج‬ ‫مياَ مممعمشمر النشمباَ إ‬


‫ب ممإن امستم م‬
‫طاَ م‬

Artinya:

“Hai sekalian pemuda, siapa yang sanggup bersetubuh, hendaklah menikah, Maka

nyatalah bahwa Allah dan Rasullnya menganjurkan perkawinan”.12

Al-Quran dan al-Hadist menjelaskan secara nyata perintah untuk menikah,

sehingga menikah dalam Islam merupakan suatu kewajiban yang sudah diatur dan

ditetapkan. Untuk dapat merangkum semua peraturan tentang pernikahan

disusunlah hukum fiqih di Indonesia. Hukum tersebut dikenal dengan nama

Kompilasi Hukum Islam dan Melalui Inpres Nomor 1 Tahun 1991 presiden

memerintahkan Menteri Agama menyebar luaskannya kepada instansi pemerintah

dan orang yang memerlukannya.13

Kompilasi Hukum Islam ditujukan bagi orang-orang yang beragama Islam

dan merupakan hukum terapan bagi pengadilan agama. Sehingga pengadilan

agama sebagai lembaga peradilan bagi orang-orang pencari keadilan yang

12 Pusat Kajian Fiqih Islam (Kumpulan Hadist Tentang Pernikahan ). Juli 2017.
Melalui: https:// fiqihmuslim.com/2017/07/hadits-tentang-pernikahan.html. Diakses pada tanggal 6
Februari 2018, pukul 22:05 WIB.
13Abdul Manan. 2003. Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan
Agama. Jakarta: Pustaka Bangsa Pres, halaman 26.
18

beragama islam, sudah tentu merujuk pada KHI sebagai hukum yang

berlandaskan pada al-Quran dan al-Hadist.

Hukum perkawinan di Indonesia yang beragam, mengacu pada Undang-

Undang Perkawinan yang memberikan kebebasan kepada warganya, untuk

memilih hukum mana yang mereka akan gunakan. Hal tersebut didasari pada

kemajemukan rakyat Indonesia yang memiliki banyak kepercayaan dan

kesemuanya tersebut diakui dan dihormati sebagai hukum yang berlaku di

Indonesia.

Hukum perkawinan di Indonesia merupakan aturan-aturan yang berlaku di

Indonesia, seperti Undang-Undang Perkawinan serta peraturan pelaksananya dan

KHI serta hukum agama lain yang mengatur tentang tata cara yang berhubungan

dengan perkawinan. Huku-hukum tentang perkawinan tersebut mengatur juga hak

dan tata cara memenuhi hak dan kewajiban, serta hak dan kewajiban para pihak

setelah pernikahan termasuk di dalamnya pembagian harta bersama.

2. Tinjaun Umum Tentang Hak dan Kewajban Suami Istri

Suami adalah pihak lelaki dalam sebuah perkawinan, sebagai salah satu

pihak dalam sebuah perkawinan, lelaki yang sudah menikah dan disebut sebagai

suami, memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhinya kepada istri. Di

dalam hukum perkawinan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, disebutkan

hak dan kewajiban suami tersebut.

Hak dan kewajiban suami dalam hukum tertulis yaitu, Undang-Undang

Perkawinan diatur di dalam BAB VI tentang hak dan kewajiban suami istri pada

Pasal 30-34. Pada Pasal 31 ayat (3) disebutkan bahwa suami adalah kepala
19

keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga, sehingga disini jelas menentukan

kedudukan antara kedua pihak.

Suami sebagai kepala keluarga dalam hal ini mempunyai tanggung jawab

karena sudah menjadi seorang pemimpin dalam sebuah hubungan perkawinan,

kewajiban dari suami diatur pada Pasal 34 ayat (1) yaitu, suami wajib melindungi

istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai

dengan kemampuannya. Dalam pasal ini dijelaskan kewajiban suami sebagai

seseorang yamg mencari nafkah bagi keluarga dan memenuhi segala keperluan

yang dibutuhkan dalam rumah tangga.

Suami memang mempunyai kewajiban sebagai seorang kepala rumah

tangga untuk mencari nafkah, akan tetapi dalam pasal tersebut dikatakan sesuai

dengan kemampuannya, sehingga seorang istri dituntut untuk mengelola nafkah

yang diberikan suami kepadanya denga sebaik-baiknya dan tidak menuntut suami

untuk memberikan nafkah diluar dari kemampuan suaminya. Suami memberikan

nafkah, sesuian dengan kemempuan suami bukan menurut kemampuan istri.14

Pencarian dan pemeberian nafkah kepada keluarga yang dilakukan oleh

seorang suami untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupan berumah tangga,

dalam konteks ini adalah materi. Selanjutnya kewajiban suami tidak hanya tentang

materi, karena di dalam pasal tersebut juga terdapat unsur non materi, yaitu suami

berkewajiban melindungi istri.

Melindungi dalam hal ini tidak hanya dalam hal menjaga istri secara fisik

agar tidak terluka dalam hal fisik saja, tetapi juga harus menjaga perasaan istri

dengan memberikan kasih sayang dan nasihat serta menggauli istri dengan cara
14Mahmud Yunus. Op. Cit.,halaman 102.
20

yang pantas, sebab suami memiliki kewajiban juga untuk memberikan rasa kasih

dan sayangnya kepada istri.

Kewajiban yang telah diberikan suami kepada istri, dalam hal ini suami

juga mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh istri. Suami memiliki hak untuk

mendapatkan kewajiban yang telah dilakukan istri, seperti dalam Undang-Undang

Perkawinan yang menyebutkan istri mengatur rumah tangga sebaik-baiknya,

sehingga hak dari suami adalah mendapatkan penghormatan dan pelayanan yang

baik dari istri sebagai pengatur keperluan dan pelayanan dalam rumah tangga.

Kewajiban dan hak suami diatur lebih rinci dalam KHI. Dalam KHI

kewajiban suami diatur pada Pasal 80-82. Secara rinci di dalam pasal tersebut

disebutkan hak suami dari pemenuhan kebutuhan materil hingga kebutuhan non

materil yang harus dipenuhi suami terhadap istri.

Pasal yang mengatur tentang kewajiban suami juga lebih menekankan

pada pentingnya suami untuk menasehati istri dan memberikan pelajaran agama

kepada anak dan stri seperti yang terdapat pada pasal 80 ayat (3) KHI berbunyi,

suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan memberi

kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa

dan bangsa. KHI juga mengatur sebab-sebab suami dapat memutuskan tidak

memenuhi kewajibannya kepada istri seperti yang terdapat pada Pasal 80 ayat (7)

berbunyi, kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri

nusyuz.

Hak suami yang harus diberikan istri dalam KHI diatur pada Pasal 83-84

tetapi di dalam Pasal 84 KHI yang berbunyi:


21

1) istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan

kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat

kecuali dengan alasan yang sah.

2) Selama istri dalam nusyuz kewajiban suami terhadap istrinya tersebut

dalam Pasal 80 ayat (4) huruf a dan Huruf b tidak berlaku kecuali hal-

hal untuk kepentingan anaknya.

3) Kewajiban suami pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri

tidak nusyuz.

4) Ketentuan ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan

atas bukti yang sah.

Hak suami yang harus dipenuhi istri seperti yang terdapat pada Pasal 83

yaitu, kewajiban utamanya adalah berbakti kepada suami serta menuruti

perintahnya sesuai dengan batas-batas yang ditentukan dalam hukum islam dan

mengatur seerta menyelenggarakan kehidupan rumah tangga dengan sebaik-

baiknya.

Istri adalah pihak perempuan dalam suatu ikatan perkawinan, sebagai

salah satu pihak dalam ikatan perkawinan, istri juga tentu memiliki hak dan

kewajiban yang harus dipenuhi dan terpenuhi dalam menjalankan dan memenuhi

kewajiban dan haknya sebagai istri atau pihak perempuan dalam suatu ikatan

perkawinan.

Hak dan kewajiban istri dalam sebuah perkawinan diatur dalam berbagai

ketentuan mengenai perkawinan, seperti yang terdapat dalam Undang-Undang

Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Islam sebagai aturan yang tidak
22

tertulis. Dalam hukum yang mengatur tentang perkawinan tersebut, juga diatur

tentang hak dan kewajiban seorang perempuan dalam perkawinan serta juga

ditentukan posisi perempuan dalam beberapa peraturan yang mengatur tentang

perkawinan tersebut seperti yang telah disebutkan di atas sebelumnya.

Posisi perempuan yang dalam perkawinan disebut sebagai istri yang dalam

Undang-Undang Perkawinan, istri di posisikan sebagai ibu rumah tangga seperti

yang terdapat dalam Pasal 31 ayat (3) yang berbunyi sebagai berikut: suami

adalah kepala rumah tangga dan istri ibu rumah tangga. Undang-Undang

Perkawinan memperjelas posisi daripada kedua belah pihak dalam sebuah ikatan

yang disebut sebagai perkawinan.

Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi, istri wajib

mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Pasal ini menjelaskan kewajiban

istri yang dalam posisi ini bertindak sebagai ibu rumah tangga, dalam pasal ini

mempunyai kewajiban yang sudah di tentukan dalam Undang-Undang

Perkawinan, dimana dalam pasal ini disebutkan bahwa istri wajib mengatur

urusan rumah tangga sebaik-baiknya.

Posisi istri sebagai ibu rumah tangga seperti yang disebutkan dalam Pasal

31 ayat (3) Undang-Undang perkawinan berbunyi, suami adalah kepala keluarga

dan istri ibu rumah tangga. Kewajiban istri untuk mengurusi rumah tangga sebaik-

baiknya diamanatkan dalam Pasal 34 Ayat (2) undang-undang perkawinan seperti

yang disebutkan di atas sebelumnya.

Posisi dan kewajiban istri dalam rumah tangga telah dijelaskan dalam

Undang-Undang Perkawinan dalam BAB VI mengenai hak dan kewajiban suami


23

istri yang di dalamnya terdapat beberapa pasal mengenai hal tersebut, dalam bab

ini dimulai dari Pasal 30-34. Dalam bab ini tidak hanya diatur hak dan kewajiban

istri dan suami dalam sebuah perkawinan, tetapi juga posisi dari kedua pihak yaitu

istri sebagai ibu rumah tangga dan suami bertindak sebagai kepala rumah tangga

selama perkawinan tersebut berlangsung.

Hak dan kewajiban istri yang mempunyai posisi sebagai ibu rumah tanga,

seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan juga diatur dalam

KHI. Hak dan kewajiban istri dalam perkawinan diatur dalam KHI sedikit lebih

rinci diatur dalam KHI, sehingga para wanita mempunyai sedikit pegangan dalam

memenuhi dan menjalankan haknya sebagai seorang istri dalam sebuah hubungan

perkawinan.

Kewajiban istri dalam KHI, memiliki kewajiban yang sama seperti yang

terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan, yaitu menyelenggarakan dan

mengatur keperluan rumah tangga dengan sebaik-baiknya, hal ini terdapat dalam

Pasal 83 ayat (2) berbunyi, istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan

rumah tanggasehari-hari dengan sebaik-baiknya. Isi KHI yang mengatur tentang

kewajiban istri dalam hal ini sama seperti yang terdapat dalam Undang-Undang

Perkawinan.

KHI dalam pasal yang sama yaitu Pasal 83 tetapi dengan ayat yang berbed,

yaitu di ayat (1) berbunyi, kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir

dan batin kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam,

dalam ayat ini yang diletakkan di ayat pertama dalam pasal ini menekankan

kewajiban yang pertama bagi seorang perempuan yang telah menjadi istri dalam
24

sebuah ikatan perkawinan adalah berbakti kepada suami lahir dan batin dalam

batas-batas yang telah dibenarkan dalam hukum Islam.

Jelas dalam KHI bahwa isteri harus mematuhi suaminya lahir dan batin,

mematuhi dalam hal ini mematuhi hal-hal yang baik, karena dalam pasal ini suami

dalam meminta haknya, yang merupakan kewajiban dari istri memiliki batas.

Batas tersebut dikembalikan kepada hukum Islam karena hukum Islam merupakan

rujukan dari pembuatan KHI. Karenanya KHI hanya berlaku bagi agama tertentu,

yaitu bagi orang-orang beragama Islam.

Kewajiban isteri dalam KHI yaitu mematuhi suami, tentang hal-hal yang

memiliki hubungan dengan urusan rumah tangga sebagai suami dan istri.

Mematuhi suami dalam hal yang berhubungan untuk memenuhi hak suami dalam

urusan rumah tangga, diluar dari urusan dalam hal yang berhubungan diluar dalam

urusan untuk memenuhi hak suami yang menjadi tugas istri, misalnya dalam hal

ini suami memerintahkan istri untuk mencari nafkah.15Hal ini sudah diluar dari

kewajiban istri karena urusan mencari nafkah merupakan kewajiban dari seorang

suami untuk melakukannya.

KHI mengatur juga tentang nusyuz yang diatur pada bagian ke-enam

tentang kewajiban istri, dimana hal tersebut berhubungan dengan kewajiban isteri

dalam rumah tangga. Dalam hal suami atau istri tidak menjalankan kewajibannya

yang disebut dengan kata nusyuz. Nusyuz menuru ulama berkaitan dengan

nafaqah yang mana bila suami tidak menjalankan kewajibannya dalam

memberikan nafaqah maka istri berhak tidak melayani suaminya bahkan boleh

15Ibid.,halaman 105
25

memilih pembatalan perkawinan.16 Dalam Islam istri yang tida menjalankan

kewajibannya kepada suami dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Sehingga

hal tersebut mempunyai akibat atau sanksi.

Nusyuz adalah tindakan suami atau istri di luar kepatutan yang dilakukan

kepada salah satu pihak, sepert tidak melaksanakan kewajibannya di dalam rumah

tangga atau tindakan-tindakan yang antipati yang tidak beralasan yang

menyakitkan dan merugikan salah satu pihak. 17 Hal tersebut dapat dilakukan oleh

kedua pihak suami atau istri.

Nusyuz juga dapat dimaknai sebagai kedurhakaan salah satu pihak, sebab

yang mendasari terjadinya nusyuz dikarenakan pelanggaran perintah yang

biasanya dilakukan oleh istri, penyelewengan dan hal-hal lain seperti keluar dari

rumah tanpa seizin dari pihak suami. Hal-hal tersebut bila dilakukan akan

mengganggu keharmonisan dalam berumah tangga.18

Pengaturan mengenai nusyuz istri kepada suami diatur dalam KHI pada

Pasal 84. Pasal tersebut mengatur tentang nusyuz, serta sanksi yang akan diberikan

bila dalm hal ini istri telah terbukti melakukan nusyuz. Dalam hal penentuan istri

dapat dikatakan nusyuz, dalam hal tersebut suami yang dalam hal ini merasa istri

melakukan perbuatan nusyuz harus mempunyai bukti yang sah, hal ini seperti

yang terdapat dalam Pasal 83 ayat (4) KHI yang berbunyi, ketentuan tentang ada

atau tidaknya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.

3. Tinjauan Umum Pembagian Harta Bersama

16 Amir Syarifuddin. 2014. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana,


halaman 175
17M. Anshary MK. 2010. Hukum Perkawinan di Indonesia Masalah Krusial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, halaman 161-162
18 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Op, Cit., halaman 209
26

Harta bersama merupakan harta yang didapat oleh suami bersama dengan

istri selama perkawinan berlangsung, dalam Undang-Undang Perkawinan

disebutkan pada dalam BAB VII tentang harta benda dalam perkawinan pada

Pasal 35-37. Dalam bab ini dipisahkan antara harta bawaan dan harta bersama,

harta bawaan tidak termasuk kedalam harta bersama dikarenakan suatu hal, hal

tersebut diantaranya, karena harta tersebut didapat dari hadiah, warisan dan hibah

yang mengatas namakan salah satu pihak.

Pengelolaan terhadap harta bersama menjadi tanggung jawab dari kedua

pihak, sehingga bila salah satu pihak ingin bertindak untuk atas keperluan harta

bersama harus mendapat persetujuan dari pihak yang satunya. Mengenai harta

bawaan, keduanya mempunyai kebebasan terhadap harta masing-masing sehingga

mengenai harta bawaan, merupakan urusan dari masing-masing pihak dan salah

satu pihak tidak boleh mencampuri hak pemilik harta bawaan tersebut. Hal ini

sesuai dengan yang terdapat pada Pasal 36 yang berbunyi ayat ,(1) mengenai harta

bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak dan

(2) mengenai harta bawaan masing-masing, suami atau istri mempunyai hak

sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Pembagian terhadap harta bersama, muncul ketika terjadi perceraian,

karena alasan utama dalam pembagian harta bersama adalah terjadinya perceraian.

Dalam Undang-Undang Perkawinan mengenai hukum yang digunakan untuk

membagi harta bersama tersebut, diserahkan kepada masing-masing pihak untuk

menentukannya, Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi, bila


27

perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya

masing-masing.

Pilihan hukum terhadap pembagian harta bersama dirasa perlu, melihat

kemajemukan dari bangsa Indonesia yang memiliki pengaturan terhadap

perkawinan termasuk dalam hal pembagian harta bersama. Tidak terkecuali umat

islam yang sudah memiliki KHI yang telah mengatur tentang pembagian harta

bersama secara terperinci.

Pembagian harta bersama yang terdapat dalam KHI diatur dalam BAB

XIII tentang harta kekayaan dalam perkawinan pada Pasal 85-97, tidak jauh

beberbeda dengan apa yang diterangkan dalam Undang-Undang Perkawinan,

tetapi dalam KHI mengatur lebih rinci tentang apa saja harta bersama dan harta

bawaan, serta hak dan kewajiban bagi suami dan istri terhadap harta bawaan

masing-masing dan harta bersama.

Harta bersama yang dimaksud dalam KHI, merupakan harta yang didapat

baik karena usaha sediri-sendiri dari masing-masing pihak atau bersama-sama,

selama harta tersebut didapat dalam kurun waktu selama perkawinan berlangsung,

dianggap sebagai harta bersama tanpa mempersoalkan harta tersebut terdaftar atas

nama siapa, hal ini sesuai dengan Pasal 1 huruf f KHI.

Kompilasi Hukum Islam juga mengatur harta kekayaan dalam perkawinan

bagi suami yang memiliki istri lebih dari satu istri, hal ini dikarenakan dalam

hukum islam, suami boleh beristri lebih dari satu. Sehingga dianggap penting

untuk menetapkan aturan tentang pengelolaan terhadap harta dalam perkawinan

bagi suami yang memiliki istri lebih dari satu.


28

Secara langsung KHI menetukan porsi terhadap pembagian harta bersama

tersebut, yang sebelumnya dalam Undang-Undang Perkawinan tidak diatur hal

tersebut. KHI mengatur tentang porsi pembagian harta bersama, baik cerai hidup

dan cerai mati, KHI mengatur pembagian besaran harta bersama yang dibagi

dikarenakan putusnya perkawinan karena kedua hal tersebut.

Pengaturan terhadap besar porsi yang didapat masing-masing pihak dalam

pembagian harta bersama, di dalam KHI diatur pada Pasal 96-97, pada pasal ini

diatur porsi terhadap masing-masing pihak terhadap pembagian harta bersama.

Pada Pasal 96 yang berbunyi, ayat (1) apabila terjadi cerai matimaka separuh harta

bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama (2) pembagian harta

bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus

ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara

hukum atas dasar putusan pengadilan.

Pasal 97 KHI yang berbunyi, bagi janda dan duda cerai hidup

mendapatkan masing-masing ½ (seperdua) dari harta bersama. Ketentuan tersebut

dapat berlaku sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Sehingga pengaturan terhadap pembagian harta bersama dalam KHI dapat terlihat

dengan jelas dan mempunyai kepastian.

Pembagian harta bersama tidak mempersoalkan suami yang mencari harta

bersama dan harta tersebut atas nama siapa, tetapi selama harta tersebut didapat

selama perkawinan berlangsung dan tidak merupakan harta bawaan masing-

masing pihak, harta tersebut dimasukkan kedalam harta bersama dan ketika terjadi

pembagian harta bersama, harta tersebut tetap dibagi sesuai ketentuannya.


29

Harta bersama suami dan istri yang kontruksi hukumnya disejajarkan

dengan syirkah dianggap berkongsi dan bekerja sama dalam mendapatkan harta

tersebut, adalah sesuatu hal yang wajar dan masuk diakal untuk memberikan hak

dan bagian yang adil apabila perkawinan tersebut putus baik karena salah satu

pihak wafat atau karena hubungan suami istri mereka tidak bisa dipertahankan

lagi hinga harus diambil jalan perceraian.19

Pembagian harta bersama yang meletakkan besar porsi masing-masing

pihak adalah seperdua dari jumlah keseluruhan harta bersama, karena masing-

masing pihak dianggap berkontribusi atau mempunyai andil pada saat

mendapatkan harta tersebut. Kontribusi atau andil dalam hal ini tidak hanya

dianggap berperan secara langsung dalam mencari harta bersama, tetapi andil

dalam hal ini juga bisa dikategorikan seperti andil dalam penunjang salah satu

pihak untuk mendapatkan harta tersebut.

Istri yang tidak bekerja untuk mendapatkan harta bersama secara langsung

juga dikategorikan mempunyai andil dalam mendapatkan harta bersama, karena

istri menyiapkan segala keperluan baik yang bersifat lahir dan batin agar suami

tersebut dapat mencari nafkah unutuk mendapatkan harta bersama.

Munculnya konsep harta bersama semata-mata untuk menyelamatkan

pihak yang tidak bekerja atau tidak mencari harta bersama tersebut secara

langsung, tetapi hanya menjadi faktor penunjang bagi pihak lain untuk bekerja

mendapat harta bersama, faktor penunjang atau pendukung tersebut juga dianggap

penting, sehingga dalam KHI tidak dipersoalkan siapa yang lebih banyak beperan

19M. Fahmi Al Amruzi. 2014. Hukum Harta Kekayaan Perkawinan. Yogyakarta: Aswaja
Pressindo, halaman 102.
30

dalam mendapatkan harta bersama dan atas nama siapa, tidak menjadi persoalan

dalam hal ini, karena faktor pendukung dalam mendapat harta tersebut juga

dianggap ikut andil dalam mendapat harta bersama.

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengaturan Hak Dan Kewajiban Suami Dalam Perkawinan Dan Sesudah

Perkawinan
31

Pengertian perkawinan terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang

Perkawinan, dalam Undang-Undang ini disebutkan bahwa perkawinan merupakan

ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan

ketuhanan yang maha esa. Perkawinan merupakan suatau ikatan yang didasarkan

kepada ketuhanan yang maha esa.

Akibat hukum dari sebuah perkawinan adalah mengikat pria dan wanita

dalam suatu ikatan lahir dan juga batin sebagai sepasang suami istri dengan tujuan

yang suci dan mulia yang didasarkan atas ketuhanan yang maha esa itu,

mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama atau kerohanian, tetapi juga

terdapat unsur batiniah di dalam sebuah ikatan yang disebut dengan perkawinan

tersebut.20

Perkawinan menurut pandangn ahli hukum, seperti yang dikemukakan

oleh Sajuti Thalib adalah “perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang

laki-laki dengan perempuan”. Unsur perjanjian disini untuk memperlihatkan segi

kesenjangan dari perkawinan, serta untuk memperlihatkannya pada masyarakat

ramai, sedangkan sebutan suci untuk membuat pernyataan dari segi

keagamaannya dari sebuah ikatan perkawinan tersebut.21

Pakar hukum lainnya yang berpendapat mengenai perkawinan adalah

Wirjono Prodjodikoro:

“menjelaskan bahwa kalau seorang laki-laki berkata sepakat untuk


melakukan satu sama lain, ini brarti mereka saling berjanji akan taat pada
peraturan-peraturan hukum yang berlaku mengenai kewajiban dan hak-hak

20Muhammad Syaifuddin, dkk. 2014. Hukum Perceraian. Jakarta: Sinar Grafika,


halaman 2.
21Ibid.,
32

masing-masin pihak selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung,


dan mengenai kedudukannya dalam masyarakat dari anak-anak
keturunannya. Juga dalam menghentikan perkawinan, suami dan istri tidak
leluasa penuh untuk menentukan sendiri syarat untuk penghentian itu,
melainkan terkat juga pada peraturan hukum perihal itu.”22

Dari sudut ilmu bahasa atau semantik perkataan atau penyebutan kata

perkawinan berasal dari kata kawin yang merupakan terjemahan dari bahasa arab

yaitu nikah, dalam bahasa Arab lazim juga dipergunakan kata ziiwaj untuk

menyebutkan maksud yang sama.23 Jadi perkawinan merupakan kata serapan,

yang merupakan bahasa Arab yang diserap kedalam bahsa Indonesia kemudian

yang disebut dengan sebutan pernikahan.

Kata-kata nikah mengandung dua pengertian, yaitu dalam arti yang

sebenarnya atau pada haqiqatnya dan dalam arti kiasan atau bisa disebut majaaz,

dalam pengertian yang sebnarnya kata nikah itu berarti berkumpul sedangkan

dalam arti kiasan atau majaaz nikah itu berarti aqad atau mengadakan perjanjian

perkawinan, tetapi dalam kehidupan sehari-hari kata nikah lebih banyak diartikan

dengan kata kiasan, yaitu melakukan akad.24

Pengertian dari perkawinan tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa

nikah atau pernikahan yang merupa kata serapan dari bahasa Arab, dalam

kehidupan sehari-hari pengertian dari perkawinan tersebut lebih banayak diartikan

sebagai akad, walaupun pada hakikatnya perkawinan tersebut adalah berkumpul,

berkumpul dalam artian lelaki dan perempuan hidup bersama atau berkumpul

bersama.

22 Ibid.,halaman 3.
23Lili Rasjidi.1991. Hukum perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, halaman 2.
24Ibid.,
33

Pengertian dari beberapa pendapat ahli dan dalam Undang-Undang

Perkwainan dapat disimpulkan dan diambil unsur dari pengertian tersebut antara

lain:

1. Ikatan lahir batin.

2. Antara laki dan perempuan.

3. Membentuk sebuah keluarga.

4. Saling mengasihi, menyanyangi dan kekal.

5. Berdasarkan Tuhan yang Maha Esa.

Sebagai negara yang menganut Pancasila, sila pertama adalah ketuhanan

yang maha esa. Sehingga antara perkawinan dengan lembaga kerohanian atau

agama harus dapat mempunyai keterikatan yang sangat erat dan kuat, karena

perkawinan bukan saja mempunyai unsur jasmani tetapi juga mempunyai unsur

rohani yang juga mempunyai peranan penting.25

Pancasila yang merupakan falsafah bangsa dan landasan berfikir bangsa

Indonesia harus ada dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara,

sehinga setiap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah harus mempunyai

dasar-dasar dari Pancasila tersebut. Pancasila harus ada dalam setiap kehidupan

bangsa Indonesia tidak terkecuali dalam perkawinan yang merupakan hukum

private, juga tidak boleh terlepas dari nilai-nilai yang ada dalam pancasila

tersebut, yang sudah ditentukan sebagai dasar negara.

a. Hak dan Kewajiban Suami Ketika Perkawinan Berlangsung

Hak dan kewajiban suami dalam suatu perkawinan muncul setelah suami

mengucapkan ijab qabul atau aqad nikah, dalam ketentuan tentang hak suami
25 Djoko Prakoso dan I ketut Murtika, Op. Cit., halaman 3
34

merupakan kewajiban bagi istri untuk dapat memenuhinya dengan baik. Begitu

juga sebaliknya, kewajiban suami merupakan hak isti yang harus dipenuhi oleh

seorang suami, jadi hal tersebut merupakan perbuatan timbal balik dari masing-

masing pihak.

Hak dan kewajiban dari masing-masing pihak dalam suatu perkawinan

adalah hal-hal yang harus dipenuhi dan dijalankan oleh masing-masing pihak

dalam suatu ikatan perkawinan, karena itu merupakan suatu hal yang dapat

mengantarkan masing-masing pihak pada tujuan dari sebuah perkawinan tersebut.

Sehingga pemenuhan hak dan kewajiban tersebut adalah salah satu hal yang

sangat penting, sehingga harus mendapat pengaturan yang baik agar tujuan dari

sebuah perkawinan tersebut dapat diwujudkan.

Kewajiban suami dalam memenuhi hak-hak nya kepada istri, dapat kita

klasifikasikan kepada dua bagian, yaitu:

1. Kewajiban yang bersifat materi atau yang biasa kita sebut nafkah

2. Kewajiban yang tidak bersifat materi atau kewajiban yang berada di luar

dari pemberian nafkah tersebut.26

Kewajiban suami dalam pemberian nafkah merupakan kewajiban dalam

memenuhi segala keperluan rumah tangga yang bersifat materi, kebutuhan materi

tersebut merupakan kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari yang dalam hal ini

adalah kebutuhan sandang, pangan dan papan. Hukum membayar atau

memberikan nafkah kepada isti adalah wajib.27

26Amir Syarifuddin. Op. Cit., halaman 160


27Ibid., halaman 166
35

Kewajiban suami dalam pemberian nafkah tersebut timbul bukan karena

keadaan istri tetapi kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya

timbul, tanpa melihat dari keadaan istri tersebut. Kewajiban suami dalam

memberikan nafkah kepada istri hukumnya adalah wajib, dalam hal istri

mempunyai kecukupan materi yang lebih dibandingkan dengan suami atau dengan

kata lain istri adalah orang yang kaya, suami tetap memiliki kewajiban untuk

memberikan nafkah kepada istrinya, menurut kemampuan dari suaminya.28

Kewajiban suami dalam rumah tangga tidak hanya bersifat materi saja atau

sekedar memberikan nafkah kepada istri, lalu menganggap hal tersebut sebagai

satu-satunya hal yang merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang

suami yang memiliki posisi sebagai kepala rumah tangga. Di luar dari itu ada

kewajiban-kewajiban selain pemenuhan kewajiban yang diluar dari materi atau

diluar dari hanya sekedar pemberian nafkah suami kepada istri, hal yang diluar

dari pemberian nafkah tersebut juga sangat penting dan perlu untuk dipenuhi oleh

seorang suami kepada pasangannya.

Kewajiban seorang suami yang merupakan hak dari seorang istri yang

tidak bersifat materi adalah sebagai berikut:

a. Menggauli istri secara baik dan patut, maksudnya dalah pergaulan dalam

hal ini adalah pergaulan yang termasuk ke dalam hal-hal yang berkenaan

dengan kebutuhan seksual. Dalam hal baik dan patut diserahkan kepada

pandangan adat dan lingkungan yang dianggap oleh pasangan tersebut.

b. Menjaga istri dari segala sesuatu hal yang mungkin dapat melibatkan istri

pada suatu perbuatan yang membawanya pada perbuatan dosa dan maksiat
28Ibid.,
36

atau suatu perbuatan yang dapat melibatkannya pada hal-hal yang

membawanya pada kesulitan dan mara bahaya.

c. Suami wajib dapat mewujudkan kehidupan perkawinan tersebut seperti

yang diharapkan oleh Allah, untuk itu suami wajib memberikan rasa

ketenangan pada istrinya, memberikan rasa cinta dan kasih sayang kepada

istrinya tersebut.29

Kewajiban yang bersifat nonmateri tersebut dianggap juga penting

dilakukan oleh suami, karena hubungan perkawinan tersebut bukannnya hanya

tentang pemenuhan materi, tetapi suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga

atau dalam Undang-Undang Perkawinan di sebut sebagai kepala rumah tangga

harus memberikan bimbingan dan arahan kepada istrinya, serta memberikan rasa

aman dan nyamana, memberikan cinta dan kasihnya kepada istri agara tujuan dari

perkawinan tesebut dapat terwujud dengan sebaik-baiknya.

Kewajiban suami yang merupakan hak bagi istri yang harus dipenuhi oleh

suami diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 34 ayat (1) yaitu, suami

wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup

berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Dalam pasal ini jelas diterangkan

bahwa masalah pemberian nafkah diukur memlalui kemampuan dari seorang

suami dan bukan dilihat dari kemampuan seorang istri.

Ketentuan dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang perkawinan tersebut

merupakan kewajiban seorang suami dalam hal yang bersifat materi saja, serta

dalam hal kata-kata diawal yang menyebutkan “suami wajib melindungi istrinya”

merupakan kewajiban yang bersifat non materi. Dari pasal tersebut dapat kita lihat
29Ibid., halaman 160-161
37

bahwa pemenuhan kewajiban suami dalam hal materi juga harus dibarengi dengan

pemenuhan kewajiban dalam hal non materi agar dapat seimbang dalam

pemenuhan kewajiban suami yang merupakan hak-hak istri.

Kompilasi Hukum Islam yang merupakan fiqih dari ulam-ulama di

Indonesia, secara lebih rinci mengatur juga ketentuan tentang kewajiban seorang

suami kepada istri dan anak-anaknya, bila dalam hal ini dalam rumah tangga

tersebut pasangan suami istri telah dikaruniai anak.

KHI menagtur hal yang mengenai kewajiban suami diatur secara lebih

rinci, dari pengaturan dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang

Perkawinan. KHI mengatur hak dan kewajiban suami tersebut dalam Pasal 80

sampai dengan Pasal 82, dalam pasal ini kewajiban seorang suami dalam sebuah

ikatan perkawinan adalah sebagai berikut:

a. Suami wajib mebimbing istri serta rumah tangganya, namun bila

mengenai urusan yang sangat penting dapat di putuskan oleh suami dan

istri.

b. Suami di wajibkan melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu

keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

Kewajiban suami ini dapat gugur bila dalam hal ini istri melakukan

nusyuz.

c. Suami wajib memberikan pendidikan agama bagi istrinya dan memberikan

kesempatan kepada istrinya untuk dapat belajar pengetahuan yang berguna

serta bermanfaat bagi agama dan bangsa.

d. Sesuai dengan penghasilan suami, suami wajib menanggung:


38

1) Nafkah, kiswah atau pakaian dan tempat kediaman bagi istri.

2) Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi

istri dan anak.

3) Biaya pendidikan anak.

Kewajiban suami terhadap istrinya dalam hal memberi nafkah, kiswah,

tempat kediaman bagi istri atau tempat kediaman bersama, biaya rumah

tangga, biaya perwatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak. Mulai

berlaku sesudah ada tamkin sempurna atau ketulusan seorang istri dalam

melayani suaminya lahir dan batin.

e. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya,

atau bekas istri yang masih dalam masa iddah.

f. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya,

serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya. Baik

berupa alat kelengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.

g. Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang wajib memberi tempat

tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara berimbang,

berdasarkan besar kecilnya keluarga yang di tanggung masing-masing

istri, kecuali jika ada perjanjian kawin. Dalam hal para istri-istri tersebut

rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan istri-istrinya didalam satu

tempat kediaman.30

Secara lebih lengkap dan rinci KHI mengatur tentang kewajiban seorang

suami kepada istrinya dari mulai pemenuhan kewajiban yang bersifat materi dan

kewajiban yang bersifat non materi. Secara rinci dan jelas diterangkan oleh KHI,
30 Muhammad Syaifuddin, dkk, Op.Cit., halaman 395-396
39

sehingga sedikit banyaknya dapat menjadi acuan seorang suami dalam

menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami, untuk dapat memenuhi hak-

hak dari seorang istri.

Pemenuhan kewajiban suami yang bersifat non materi di dalam KHI

dalam pasal yang telah diterangkan di atas, dapat kita lihat pada Pasal 80 ayat (1),

(2) dan (3) yang berbunyi:

1) Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya akan tetapi

mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan

oleh suami istri bersama.

2) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala keperluan hidup

berumah tangga sesuai dengan kemampuannya

3) Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi

kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi

agama, nusa dan bangsa.

Ayat pertama pasal ini terangkan bahwa suami adalah pembimbing

istrinya dalam kehidupan rumah tangga, dalam ayat ini jelas dikatakan bahwa

sumi mempunyai kewajiban untuk membimbing istrinya, membimbing dan

memberikan nasehat kepada istri, dalam membimbing ke arah yang lebih baik,

baik dalam hal ini sesuai dengan ketentuan dan batas-batas yang telah ditetapkan

oleh agama.

Ayat kedua Pasal 80 KHI tersebut menjelaskan bahwa, diawal kata-

katanya mengatakan, suami berkewajiban melindungi istrinya, melindungi dalam

hal ini adalah menjauhkan istri dari hal-hal yang dapat membahayakan diri istri,
40

melindunginya dari perbuatan-perbuatan buruk orang lain dan melindungi istri

dari hal-hal yang merugikan istri.

Ayat ketiga dalam Pasal 80 KHI tersebut lebih menekankan kepada hal-hal

keagamaan, dalam ayat pada pasal ini kewajiban suami untuk memberikan

pendidikan agama kepada istrinya, sehingga suami dalam membimbing istrinya

dapat didasarkan kepada agamanya yang dalam peraturan KHI ini adalah agama

Islam.

Suami juga wajib memberikan izin kepada istrinya untuk belajar ilmu

agama, agar istri juga dapat memahami agama yang nantinya diharpakan agar

dapat diterapkan dan berguna bagi keluarganya. Sehingga tidak dibenarkan bagi

suami untuk melarang seorang istri agar mempelajari ilmu agama yang sudah jelas

membawa kemanfaatan bagi kehidupan berumah tangga.

Pasal 80 dalam isinya banyak menekankan kepada kewajiban suami yang

bersifat non materi, seperti membimbing, melindungi dan memberikan izin

kepada istri untuk mempelajari ilmu agama. Hal-hal tersebut adalah kewajiban

suami di luar dari pemenuhan hak secara materi atau pemberian nafkah yang

konotasi dari pemberian nafkah tersebut adalah materi saja.

KHI juga megatur tentang suami yang wajib menyediakan tempat

kediaman bagi keluarganya, kewajiban tersebut diatur pada bagian keempat

tentang tempat kediaman pada Pasal 81. Dalam pasal ini suami diwajibkan

menyediakan tempat kediaman bagi istri, tempat kediaman dalam hal ini dapat

dikatakan adalah rumah, kewajiban untuk menyediakan rumah dibebankan KHI

untuk dapat disediakan oleh suami.


41

Pengaturan terhadap tempat kediaman KHI mengaturnya dengan cukup

rinci, dimulai dengan kewajiban suami untuk menyediakan tempat kediaman

bersama tersebut, hingga kewajiban suami untuk meneyediakan kelengkapan dan

sarana penunjang yang baik bagi tempat kediaman tersebut agar terasa lebih aman

dan nyaman untuk tempat kediaman bersama.

Pemenuhan terhadap sarana penunjang bagi tempat kediaman bersama

yang merupakan kewajiban dari suami untuk memenuhi hal tersebut, disesuaikan

kepada kemampuan seorang suami dalam memenuhi sarana dan prasaran

penunjang, seperti alat-alat perlengkapan dan lain-lain. Pemenuhan hak tersebut

dikembalikan kepada kemampuan suami dalam hal memenuhi hal-hal tersebut

serta disesuaiakan dengan keadaan lingkungannya.

Tempat kediaman yang disediakan suami, juga berfungsi sebagai tempat

berlindung istri dan anak-anak bila telah mempunyai anak dalam ikatan

perkawinan tersebut, agar tempat kediaman tersebut dapat menjadi saran untuk

menjauhkan istri dan anak dari gangguan pihak lain. Serta tempat kediaman

tersebut juga menjadi tempat untuk menyimpan harta kekayaan serta menjadi

tempat menata dan mengatur keperluan dalam berumah tangga.

Hal-hal seperti yang tersebut di atas merupakan kewajiban suami untuk

memenuhi hak-hak istri selama perkawinan berlangsung, dengan kata lain suami

juga mempunyai kewajiban yang harus dipenuhinya kepada istri bila perkawinan

tersebut sudah tidak dapat berlangsung lagi atau telah terjadi perceraian atau juga

disebut pemutusan hubungan perkawinan antara kedua pihak dengan alasan-

alasan yang telah dibenarkan oleh Undang-Undang.


42

b. Hak Dan Kewajiban Suami Setelah Putus Perkawinan

Suami juga memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dan

terpenuhi, ketika perkawinan tersebut sudah tidak bisa dipertahankan lagi atau

kedua pihak sepakat untuk bercerai. Kewajiban suami saat perceraian juga diatur

dalam peraturan yamg mengatur tentang perkawinan.

Akibat hukum perceraian terhadap kewajiban mantan suami menurut Pasal

41 huruf c Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan selaras dengan

apa yang terdapat dalam hukum Islam. Menurut penjelasan Mahmud Yunus,

bahwa:

“Apabila terjadi percerian antara suami dan istri menurut hukum Islam
maka akibat hukumnya ialah dibebankannya kewajiban mantan suaami terhadap
mantan istrinya untuk meberi mut’ah yang pantas berupa uang atau barang dan
memberi nafkah hidup, pakain dan tempat kediaman selama mantan istri dalam
masa iddah, serta melunasi mas kawin, perjanjian ta’lik talak dan perjanjian
lain”.31

Kewajiban suami terhadap istri tidak dapat langsung berakhir walaupun

kedua pihak sudah tidak dalam ikatan perkawinan lagi, ada hal-hal yang yang

menjadi kewajiban suami yang harus dipenuhi oleh suami kepada mantan istrinya,

sehingga hal tersebut menjadi hak istri yang harus dipenuhi oleh seorang mantan

suami dan menjadi kewajiban bagi mantan suami tersebut, seperti yang

dikemukan oleh Mahmud Yunus di atas.

Kewajiban suami setelah terjadinya perceraian, telah diatur didalam

Undang-Undang Perkawinan Pasal 41 huruf c yang berbunyi, pengadilan dapat

mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau

menentukan suatu kewaijban bagi bekas istri. Ketentuan diatas mempunyai kaitan
31 Ibid., halaman 401
43

dengan Pasal 11 Undang-Undang Perkawinan yang memuat ketentuan bahwa

bagi seorang janda yang perkawinannya putus karena percerain. Maka ditetapkan

baginya waktu tunggu selama tiga kali suci, atau sekurang-kurangnya sembilan

puluh hari.

Suami juga memiliki kewajiban setelah melakukan talak terhadap istrinya,

diantaranya sebagai berikut:

a. Memberikan mut’ah kepada bekas istri, mut’ah ini boleh berupa apa saja,

berupa pakaian, barang-barang, ataupun uang. Sesuai dengan kemampuan

suami, hal ini boleh meminta keputusan kepada hakim untuk

menentukannya, melihat keadaan dan kedudukan suami.

b. Memberikan nafkah dan tempat kediaman untuk istri yang di talak, selama

masa tunggu berlangsung.

c. Membayar atau melunaskan mas kawin. Membayar nafkah untuk anak-

anaknya.32

Ketentuan tentang kewajiban suami seperti yang telah disebutkan di atas

sebelumnya, hanya berlaku selama masa tunggu berlangsung. Masa tunggu di

hitung selama tiga kali suci, waktu tersebut selama-lamanya selama tiga bulan

berturut-turut. Terkecuali untuk nafkah anak yang merupakan kewajiban suami

untuk menafkahinya, hal ini tidak tergantung dari masa tunggu, melainkan hal ini

ditetapkan untuk terus diberikan nafkah oleh suami, selama anak tersebut belum

memasuki usia dewasa.

Waktu tunggu bagi seorang janda cerai hidup ditentukan dalam Pasal 39

ayat (1) huruf c Undang-Undang Perkawinan, dalam isinya ditentukan bahwa


32Ibid., halaman 402-403.
44

janda cerai hidup yang masih datang bulan, masa tunggu baginya ditetapkan tiga

kali suci dengan waktu sekurang-kurangnya selama sembilan puluh hari, dan

dalam pasal ini juga ditentukan bagi janda cerai hidup yang sudah tidak datang

bulan, ditentukan waktu baginya selama sembilan puluh hari.

Selama waktu tunggu tersebut suami diwajibkan oleh pengadilan untuk

membiayai segala keperluan hidupnya, karena selama waktu tunggu tersebut istri

dilarang untuk melakukan perkawinan. Sehingga mantan suami memiliki

kewajiban untuk menafkahi mantan istrinya selama masa tunggu itu, hingga masa

tunggu dari mantan istrinya tersebut berakhir, selama masa yang telah ditetapkan

oleh peraturan pemerintah tersebut.

Suami juga memiliki kewajiban untuk menafkahi anak, setelah terjadinya

perceraian antara suami dan istri tersebut. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan

dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan, dalam pasal ini memuat tentang

kibat hukum terhadap perceraian juga menyangkut tentang kepentingan anak,

tentunya ketentuan ini berlaku bagi pasangan suami istri yang telah memiliki

anak.

Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan ketentuan dan

mewajiban kepada suami dan isteri memiliki kewajiban, sebagai berikut:

a. Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-

anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bila mana ada

perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi

keputusan.
45

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan yang diperlukan anak itu, bila mana bapak dalam kenyataan

tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan

bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan

biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas

istri.

Pasal tersebut memang menentukan bahwa suami dan istri memiliki

kewajiban terhadap anak yang didapat selama masa perkawinan berlangsung,

tetapi mengenai biaya pendidikan dan biaya penghidupan dari anak tersebut

ditanggung oleh suami sepenuhnya. Dalam hal suami tidak sanggup untuk

memenuhi biaya-biaya untuk si anak, pengadilan dapat memerintahkan kewajiban

tersebut juga ditanggung oleh istri.

Kewajiban seorang suami setelah terjadinya perceraian, juga diatur di

dalam KHI, di dalam KHI pengaturan tentang kewajiban suami setelah terjadinya

perceraian, diatur pada Bab XVII yang mengatur tentang akibat putusnya

perkawinan, bagian kesatu tentang akibat talak. Pasal 149 meneranglan bahwa:

a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang

atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul.

b. Memberi nafkah, maskan dam kiswah kepada kepada bekas istri selama

dalam masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz

dan dalam keadaan tidak hamil.


46

c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh apabila

qabla al dukhul.

d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai

umur 21 tahun.

KHI lebih merinci apa yang menjadi kewajiban suami setelah melakukan

perceraian dengan mantan istrinya, dibandingkan dengan Undang-Undang

Perkawinan yang mengatur tentang hal serupa. KHI merincinya hingga kepada

hal-hal yang ditanggung suami dan hal-hal yang tidak ditanggung suami, dikarena

sebab-sebab yang telah ditentukan oleh hukum Islam yang merupakan dasar dari

KHI tersebut.

Ketentuan terhadap KHI memang hanya diperuntukan untuk orang-orang

beragama Islam, karena KHI juga dikenal sebagai fiqih ulama-ulama di Indonesia.

Sehingga penerapan terhadap peraturan ini hanya mengikat pada orang-orang

yang beragama Islam, sehingga aturan ini menjadi hukum terapan bagi hakim-

hakim yang di khususkan berada di lingkungan peradilan agama dan peradilan

agama merupakan pengadilan yang disediakan pemerintah, sebagai lemabaga bagi

orang-orang yang beragama Islam untuk mencari keadilan pada masalah-masalah

tertentu, seperti halnya dalam masalah perkawinan.

B. Hak Suami Atas Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian Menurut

Putusan Nomor 266K/AG/2010

Selama perkawinan dan di dalam rumah tangga disamping diakuinya

adanya harta yang diakui sebagai harta milik pribadi dari masing-masing pihak

antara suami dan istri, di dalam perkawinan tersebut juga diakui adanya harta
47

yang dimiliki suami dan istri secara bersama-sama, sebagai harta benda hasil

pencarian bersama diantara mereka yang mereka peroleh selama masa perkawinan

berlangsung.33

Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama masa

perkawinan, harta tersebut didapat dari pekerjaan suami atau istri, hal ini berarti

bahwa harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama jangka waktu

antara pada saat perkawinan hingga sampai pada saat perkawinan tersebut putus.

Putusnya perkawinan dapat terjadi karena kematian salah satu dari pihak, maupun

karena perceraian.34

Harta bawaan adalah harta benda bawaan dari masing-masing pihak suami

dan istri, harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan

yang harta-harta tersebut berada di bawah penguasaan masing-masing suami dan

istri, sepanjang antara suami dan istri tersebut tidak menetukan lain dalam hal

harta bawaan tersebut.35

Harta berama menurut pendapat ahli seperti yang dikemukakan oleh Pro.

Dr. R. Vandijk, menrut Vandijk harta bersama adalah “ segala milik yang

diperoleh selama perkawinan adalah harta pencarian bersama dan dengan

sendirinya menjadi lembaga harta bersama yang lazim disebut dengan harta

syarikat”.36

Harta penghasilan yang diperoleh selama perkawinan berlangsung,

menurut seorang prkatisi hukum yang berprofesi sebagai advokat yaitu Elza

33M. Fahmi Al Amruzi. Op. Cit., halaman 28.


34 Muhammad Syaifuddin, dkk,Op.Cit., halaman 411.
35 Ibid.,
36 M. Fahmi Al Amruzi. Op. Cit., halaman 30.
48

Syarif, Harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan berlangsung akan

menjadi harta bersama jika tidak ada perjanjian perkawinan berupa pemisahan

harta perkawinan.37

Selama perkawinan berlangsung antara suami dan istri, terdapat dua harta

yang berbeda selama perkawinan berlangsung, harta yang pertama adalah harta

pribadi dari masing-masing pihak suami dan istri. Serta harta bersama yang

dimiliki oleh suami dan istri secara bersama-sama, harta bersama tersebut

merupakan harta benda atas hasil pencarian suami dan istri yang mereka peroleh

selama masa perkawinan berlangsung.

Harta yang didapat selama perkawinan berlangsung diatur dalam Pasal 35-

37 Undang-Undang Perkawinan BAB VII tentang harta benda dalam perkawinan,

pada Pasal 35 ayat (1) berisi, harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi

harta bersama. Dalam Pasal ini dijelaskan bahwa segala harta yang diperoleh

selama perkawinan merupakan harta benda yang menjadi milik bersama tanpa

mempersoalkan siapa yang mendapatkan lebih banyak harta tersebut.

Selama masa perkawinan selain harta bersama harta bawaan harus

dipisahkan dari harta bersama, Undang-Undang Perkawinan Mengatur harta

bawaan pada Pasal 35 ayat (2) yang berbunyi, harta bawaan dari masing-masing

suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah

atau warisan, adalah dibawah penguasaan masin-masing sepanjang para piahk

tidak menentukan lain.

Harta bawaan tersebut merupakan harta yang diperoleh sebelum

perkawinan, adapun yang menjadi harta bawaan sesudah terjadinya perkawinan


37 Muhammad Syaifuddin, dkk,Op.Cit., halaman 413.
49

adalah harta yang didapat karena hadiah atau mendapat warisan. Harta bawaan

tersebut bukan merupakan harta bersama walaupun harta tersebut didapat selama

perkawinan, harta bawaan di dapat melalui hal yang berbeda, masing-masing

pihak terhadap harta bawaannya menguasai masing-masing harta tersebut bila

dalam harta bawaan tersebut tidak ditentukan lain oleh yang memiliki harta

bawaan tersebut, seperti yang telah diatur sebelumnya di dalam Pasal 35 ayat (2)

Undang-Undang Perkawinan.

Semua harta yang diperoleh suami istri selama dalam ikatan perkawinan

menjadi harta bersama, baik harta tersebut diperoleh secara sendiri-sendiri

maupun harta tersebut diperoleh melalui usaha bersama istri dan suami, sama

halnya dengan harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung harta

tersebut tetap menjadi harta bersama, tidak menjadi sebuah persoalan atau

masalah suami atau istri yang membeli atau suami istri tersebut membeli suatu

harta tanpa sepengetahuan pihak lain, ataupun tidak menjadi masalah harta

tersebut atas nama siapa didaftarkan.38Semua harta tersebut, selama diperoleh

selama perkawinan berlangsung diluar dari harta bawaan merupakan harta

bersama antara suami dan istri.

Penguasaan terhadap harta bersama tersebut merupakan di bawah

penguasaan oleh kedua pihak, sehingga segala tindakan yang berhubungan dengan

harta bersama tersebut, kedua pihak mempunyai kedudukan yang sama, sehingga

segala tindakan atas harta bersama tersebut harus atas persetujuan kedua belah

pihak, hal ini sesuai dengan yang terdapat dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-

38 Abdul Manan. 2003. Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan
Agama. Jakarta: Pustaka Bangsa Press, halaman 157-158
50

Undang Perkawinan yang berbunyi, mengenai harta bersama suami atau istri

dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

Harta bawaan masing-masing suami atau istri sepenuhnya dibawah dari

penguasaan masing-masing pihak, tindakan terhadap harta bawaan tersebut dapat

dilakukan tanpa persetujuan pihak lain, karena harta tersebut bukan merupakan

harta bersama yang harus meminta persetujuan pasangan untuk melakukan

tindakan terhadap harta tersebut. Sehingga perbuatan hukum terhadap harta

bawaan tersebut menjadi mutlak milik pihak yang mempunyai harta bawaan

tersebut, hal ini sesuai dengan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang

berbunyi, mengenai harta bawaan masing-masing suami atau istri mempunyai hak

sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Harta bersama dibagi setelah terjadi perceraian diantara suami dan istri,

perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

pada Pasal 38 yang berbunyi, perkawinan dapat putus karena:

a) kematian

b) perceraian

c) atas keputusan pengadilan

Sesuai dengan ketentuan Pasal 37 undang-undang Perkawinan, bila perkawinan

putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

Perkawinan yang putus karena perceraian juga membawa akibat terhadap

harta bersama, menurut ketentuan Undang-Undang Perkawinan pada Pasal 37

menyebutkan bahwa, bila perkawinan putus karena perceraian harta bersama

diatur menurut hukumnya masing-masing. Dalam ketentuan ini Undang-Undang


51

Perkawinan menyerahkan tindakan terhadap harta bersama tersebut pada masing-

masing pihak. Sehingga dalam peraturan ini tidak didapat ketegasan hukum

mengenai harta bersama, bila perkawinan tersebut putus karena terjadinya

perceraian.

Peraturan lain yang mengatur tentang harta benda dalam perkawinan adalah

KHI, dalama KHI pengaturan tentang harta benda dalam perkawinan diatur lebih

rinci dan tegas. KHI mengatur tentang harta benda dalam perkawinan pada Bab

XIII tentang harta kekayaan dalam perkawinan yang diatur pada Pasal 85-97 serta

dalam ketentuan umum pada Pasal 1 huruf f yang memuat pengertian tentang

harta bersama

Pasal 1 hruf f disebutkan bahwa, harta kekayaan dalam perkawinan atau

syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri

selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut sebagai

harta bersama tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa. Peraturan ini

mempertegaskan pengertian harta bersama dibandingkan dengan pengertian harta

bersama yang diatur oleh Undang-Undang Perkawinan.

KHI juga mengakui adanya harta bawaan dari masing-masing pihak,

ketentuan dan pengertian dari harta bawaan seperti yang diatur dalam KHI tidak

jauh berbeda seperti apa yang diatur di dalam Undang-Undang perkawinan.

Perbedaaan terdapat pada bentuk dari cara memperoleh harta bawaan tersebut,

bila dalam Undang-Undang Perkawinan hanya berupa hadiah dan warisan, pada

KHI ada penambahan mengenai cara memperoleh harta bawaan tersebut.


52

Pengaturan terhadap cara memperoleh harta bawaan tersebut, KHI

mengturnya pada Pasal 87 ayat (2) yang menyatakan bahwa, suami dan istri

memiliki hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-

masing berupa hibah, hadiah sadaqah atau lain sebagainya. Tentu saja hal ini

hanya terdapat dalam ketentuan hukum Islam.

Pasal 92 KHI mengatakan bahwa, suami atau istri tanpa persetujuan pihak

lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama. Dalam pasal

ini KHI juga menempatkan hak yang sama antara suami dan istri dalam

mengambil tindakan terhadap harta bersama, sehingga kedua belah pihak

memiliki andil dan pengaruh dalam tindakan terhadap harta bersama tersebut.

KHI juga mengatur hak dan kewajiban suami pada harta bersama tersebut,

KHI mengatur kewajiban dari suami terhadap harta bersama pada Pasal 89 yang

mengatakan bahwa, suami bertanggungjawab menjaga harta bersama, harta istri

maupun hartanya sendiri. Ketentuan ini menjelaskan bahwa kewajiban suami

menjaga harta bersama dan istri serta hartanya sendiri, hingga

pertanggungjawaban terhadap harta-harta tersebut.

Kewajiban istri yang merupakan hak bagi suami, tentang harta benda dalam

perkawinan dalam KHI diatur pada Pasal 90 yang menyatakan bahwa, istri turut

bertanggungjawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.

Ketentuan ini mengatur bahwa istri hanya dibebankan untuk turut membantu

suami dalam bertanggungjawab terhadap harta bersama dan harta suami yang ada

padanya.
53

Suami juga memiliki kewajiban pada hutang yang dipergunakan untuk

kepentingan keluarga, hutang yang dipergunakan untuk kepentingan keluarga

tersebut dibebankan kepada harta bersama untuk melunasinya. Hal ini sesuai

dengan ketentuan pada Pasal 93 ayat (2) yang menyatakan bahwa, pertanggung

jawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan

kepada harta bersama dan pertanggungjawaban untuk melakukan pelunasan

terhadap hutang tersebut dibebankan kepada suami, sesuai dengan Pasal 93 ayat

(3) KHI.

Pasal 93 ayat (3) mengatakan bahwa, bila harta bersama tidak mencukupi,

dibebankan kepada harta suami. Sehingga dalam melunasi hutang yang

dipergunakan untuk kepentingan keluarga, dalam hal harta bersama sudah tidak

dapat untuk melunasi hutang tersebut, harta pribadi suami di luar dari harta

bersama digunakan untuk melunasi hutang tersebut.

Istri juga memiliki kewajiban dalam pelunasan hutang, terhadap hutang

yang dipergunakan dalam hal untuk kepentingan keluarga. Tetapi dalam hal ini

istri hanya memiliki kewajiban bila suami dalam hal ini tidak sanggup untuk

melunasinya, barulah kewajiban tersebut muncul atau timbul dan dibebankan

kepada istri, hal ini sesuai dengan ketentuan pada Pasal 93 ayat (4) yang

mengatakan bahwa, bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan

kepada harta istri.

Kewajiban dan hak suami dalam harta bersama dan harta benda dalam

perkawinan, seperti yang diatur dalam KHI. Suami memiliki kewajiban untuk

menjaga harta bersama, harta istri dan harta milinya sendiri serta memiliki
54

kewajiban untuk melunasi hutang yang mana hutang tersebut dipergunakan untuk

kepentingan keluarga dan dalam hal harta bersama tidak dapat untuk melunasi

hutang tersebut, suami bertanggung jawab untuk menggunakan harta pribadinya

untuk melunasi hutang tersebut.

Kompilasi Hukum Islam membahas juga harta bersama bagi suami yang

memiliki istri lebih dari satu, hal ini terdapat dalam Pasal 94 yang dibagi dalam

dua ayat. Yang berbunyi sebagai berikut:

1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih

dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.

2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai

istri lebih dari seorang sebagaimana tersebut pada ayat (1), di hitung pada

saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau yang

keempat.

Melalui uraian di atas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia

terdapat empat macam harta keluarga dalam perkawinan, yaitu:

1. Harta yang diperoleh dari warisan, baik sebelum mereka menjadi suami istri

maupun setelah mereka melangsungkan perkawinan.

2. Harta yang diperoleh dengan hasil keringat sendiri sebelum menjadi suami

istri.

3. Harta yang dihasilkan bersama oleh suami dan istri selama berlangsungnya

perkawinan.

4. Harta yang didapat oleh penganten pada waktu pernikahan dilaksanakan,

harta ini menjadi milik suami istri selama perkawinan berlangsung.39


39 Ibid., halaman 155-156.
55

Harta bersama menurut KHI adalah harta yang diperoleh selama

perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan siapa diantara suami dan istri

yang mencari harta benda tersebut dan juga tanpa mempersoalkan atas nama siapa

harta bersama tersebut terdaftar, harta bersama tersebut dapat berupa benda

berwujud ataupun juga benda yang tidak berwujud, benda yang berwujud tersebut

dapat berupa benda bergerak dan benda yang tidak bergerak serta surat-surat

berharga, sedangkan yang tidak berwujud dapat berupa hak dan kewajiban dari

suami atau istri.40

Suami dan istri karena suatu hal sehingga terjadi perceraian dan tidak lagi

menjadi suami dan istri, maka terhadap harta benda milik bersaama dalam

perkawinan tersebut dipecah. Maka dalam hal ini harta benda yang tadinya

merupakan kesatuan dan merupakan harta benda milik bersama, dibagi dua antara

suami dan istri.41

Pembagian terhadap harta bersama tersebut, dalam KHI diatur lebih rinci

dibandingkan dengan Undang-Undang Perkawinan. Undang-Undang Perkawinan

tidak menentukan besar bagian yang didapat suami dan istri dalam pembagian

harta bersama, dalam Undang-Undang Perkawinan hanya memberikan opsi bagi

para pihak untuk menentukan hukum yang akan mereka gunakan dalam

pembagian harta bersama tersebut.

KHI mengatur pembagian harta bersama dengan rinci, pengaturan

terhadap pembagian harta bersama tersebut dalam KHI, diatur hingga mengenai

tentang bagian dari masing-masing pihak yang putus ikatan perkawinan dan

40Ibid., halaman 157.


41 Djoko Prakoso dan I ketut Murtika. Op. Cit., halaman 174.
56

membagi harta bersama tersebut, pembagian harta bersama tersebut diatur porsi

bagi para pihak yang putus ikatan perkawinan baik karena perceraian maupun

karena kematian salah satu pihak.

KHI mengatur besaran porsi masing-masing pihak dalam pembagian harta

bersama, setelah terjadinya perceraian antara suami dan istri. Besaran porsi antara

suami dan istri atas pembagian harta bersama setealah terjadinya perceraian diatur

dalam Pasal 96-97. Pengaturan tersebut juga meliputi tentang pembagian harta

bersama bagi pihak yang bercerai karena kematian salah satu pihak dan perceraian

karena putusan pengadilan.

Pengaturan pembagian harta bersama akibat salah satu dari suami atau istri

meninggal, diatur dalam Pasal 96 ayat (1) mengatakan bahwa, apabila terjadi cerai

mati maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.

Jelas bahwa pembagian terhadap harta bersama karena cerai mati, separuh dari

keseluruhan harta bersama tersebut menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.

Pasal 96 juga mengatur pembagian harta bersama, bagi salah satu pihak

dari istri atau suami yang dianggap menghilang. Hal ini diatur dalam Pasal 96 ayat

(2) mengatakan bahwa, pembagian harta bersama bagi seorang istri atau suami

yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai ada kepastian matinya

yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan pengadilan.

Pengaturan pembagian harta bersama bagi suami atau istri yang dianggap

menghilang, pembagian harta bersama tersebut harus ditangguhkan sampai ada

keputusan pengadilan yang menyatakan bahwa salah satu pihak dianggap telah

meninggal. Tentang besaran porsi terhadap para pihak yang dianggap telah
57

dianggap meninggal tersebut berdasarkan putusan pengadilan, dipersamakan

seperti pada Pasal 96 ayat (1).

Pengaturan terhadap pembagian besaran porsi harta bersama bagi

pasangan yang bercerai karena putusan pengadilan atau disebut dengan cerai

hidup, dalam KHI juga diatur hal tersebut. Pengaturan terhadap hal tersebut diatur

dalam Pasal 97 KHI dalam pasal ini dikatakan bahwa, janda atau duda cerai hidup

masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan

lain dalam perjanjian perkawinan.

Pasal 97 KHI mengatur besaran porsi pembagian harta bersama bagi janda

atau duda cerai hidup dengan sangat jelas, dalam pasal tersebut pembagiannya

adalah masing-masing pihak mendapat seperdua dari keseluruhan harta bersama.

Hal yang dapat membatalkan pengaturan pembagian harta bersama bagi janda dan

duda cerai hidup tersebut, dalam Pasal 97 KHI tersebut, disebutkan diakhir dari isi

pasal ini adalah sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan,

jelaslah bahwa yang dapat membatalkan besaran pembagian harta bersama dengan

besaran porsi seperdua bagi masing-masing pihak, hanya perjanjian perkawinan.

Pasal-pasal di atas menegaskan bahwa pembagian harta bersama bagi

suami dan istri cerai hidup maupun yang cerai mati, atau karena sebab salah satu

dari pihak istri atau suami hilang, maka mereka mendapat seperdua atau setengah

dari harta bersama. Tidak diperhitungkan siapa yang bekerja dan atas nama siapa

harta bersama itu terdaftar, maka harta bersama tersebut selama harta tersebut
58

diperoleh selama dalam perkawinan dan merupakan harta bersama harta tersebut

tetap dibagi dua antara suami dan istri.42

Harta bersama ini dianggap tidak ada, jika karena terdapat perjanjian

perkawinan, perjanjian perkawinan dibuat pada waktu sebelum perkawinan

dilangsungkan, kedua pihak anatara suami dan istri atas persetujuan bersama

dapat megadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatatan

perkawinan yang isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga

tersebut memiliki kepentingan yang berhubungan langsung dengan perjanjian

perkawinan tersebut.43

Penerapan terhadap KHI tersebut, harus diikuti oleh hakim-hakim di

lingkungan peradilan agama. Karena KHI adalah hukum terapan di lingkungan

peradilan agama, peradilan agama merupakan lembaga peradilan yang ditujukan

bagi orang-orang yang beragama Islam yang ingin mencari keadilan, dalam ranah

hukum perdata atau hukum private, sehingga hukum Islam yang telah di

positivkan ke dalam KHI dirasa tepat di terapkan di lembaga peradilan di

lingkungan peradilan agama.

Hakim peradilan agama dalam memutus sengketa yang dihadapkan

padanya, harus mengikuti apa yang telah diterapkan di dalam KHI. Hal ini sesuai

dengan ketentuan yang terdapat dalam penjelasan atas KHI, dalam penjelasan

umum Nomor 5 mengatakan bahwa, hukum materil tersebut perlu dihimpun dan

diletakkan dalam suatu dokumentasi yustisia atau buku Kompilasi Hukum Islam

42M. Anshary MK. 2010. Hukum Perkawinan di Indonesia Masalah Krusial.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, halaman 146.
43Soedharyo Soimin. 2002. Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata BW,
Hukum Islam dan Hukum Adat. Jakarta: Sinar Grafika, halaman 74.
59

sehingga dapat dijadikan pedoman bagi hakim di lingkungan badan peradilan

agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang

diajukan padanya.

Penjelasan umum Nomor 5 atas KHI tersebut, jelas memerintahkan hakim

untuk menjadikan KHI sebagai pedoman dalam menyelesaikan perkara di

lingkungan peradilan agama. Namun dalam prakteknya pada putusan Nomor

266k/AG/2010, hakim tidak berpegang pada KHI tersebut. Dalam putusan

tersebut hakim memberikan besaran porsi pembagian harta bersama yang tidak

mengikuti ketentuan KHI seperti yang tersebut dalam Pasal 1 huruf f dan Pasal 97

KHI, dengan menjatuhkan putusan membagi harta bersama sebesar tiga perempat

harta untuk istri dan seperempat harta bersama untuk suami.

Putusan tersebut merupakan putusan dari lingkungan badan peradilan

agama, seharusnya hakim berpedoman pada KHI untuk memutus sengketa harta

bersama tersebut berdasarkan Pasal 1 huruf f dan Pasal 97, dalam isi kedua dasar

hukum untuk membagi harta bersama tersebut, bahwa harta bersama adalah harta

yang didapat selama perkawinan tanpa mempersoalkan atas nama siapa harta

tersebut terdaftar, untuk pembagian besaran porsi bila terjadi perceraian dan

membagi harta bersama tersebut, harta bersama dibagi masing-masing mendapat

separuh dari harta bersama tersebut.

C. Akibat Hukum Pembagian Harta Suami Atas Harta Bersama Akibat

Perceraian Menurut Putusan Nomor 266K/AG/2010

Harta bersama tidak akan terjadi bila sebelumnya tidak terjadi suatu

hubungan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita, yang mengikatkan
60

diri lahir dan bathin sebagai suami dan istri. Dengan tujuan membentuk sebuah

keluarga yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.

Pengertian perkawinan tersebut di atas berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.


Pengertian harta perkawinan atau dalam kamus hukum diartikan harta

kekayaan dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau

bersama-sama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan

selanjutnya dikatakan sebagai harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas

nama siapapun.44
Terbentuknya harta bersama dikarenakan adanya suatu perkawinan,

perkawinan merupakan syarat terbentuknya harta bersama Harta bersama tersebut,

dapat dihitung sejak terjadinya perkawinan. Setelah terjadinya perkawinan,

terjadilah percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri. Jika tidak

terjadi perjanjian antara suami dan isteri tersebut. Keadaan yang demikian itu

berlangsung seterusnya dan tidak dapat diubah lagi, selama perkawinan

berlangsung.45
Terdapat harta pribadi di samping harta bersama tersebut, harta pribadi di

dalam Undang-Undang Perkawinan terdapat pada Pasal 35 ayat (2) bahwa, harta

bawaan dari masing-masing pihak dan harta benda yang diperoleh masing-masing

sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing

sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Sehingga harta bawaan tidak

termasuk ke dalam harta bersama, sehingga walaupun harta tersebut didapat

selama perkawinan tetap tidak menjadi harta bersama, karena didapat dari hadiah

atau warisan.

44Setiawan Widagdo. 2012. Kamus Hukum. Jakarta: Prestasi Pustakaraya, halaman 199.
45 Subekti. 2003. Poko-Pokok Hukum Perdata. Jakarta:Iintermasa, halaman 31.
61

Harta suami dan istri dalam ketentuan Undang-Undang Perkawinan bila

didapat selama perkawinan dan bukan merupakan harta bawaan atau harta pribadi

seperti yang terdapat pada Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan seperti

yang tersebut di atas, merupakan persatuan harta perkawinan dan disebut dengan

harta bersama, hanya perjanjian perkawinan yang dapat menghapuskan ketetuan

seperti yang terdapat dalam Undang-Undang perkawinan tersebut.


Suami yang merupakan pihak laki-laki dalam suatu hubungan perkawinan,

merupakan kepala keluarga dalam suatu hubungan perkawinan, hal ini seperti

yang terdapat dalam Pasal 31 ayat (3). uami memilki kewajiban untuk memenuhi

segala keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, hal ini

sesuai dengan Pasal 34 ayat (1), yang harus dipahami adalah bahwa kewajiban

untuk memberikan segala keperluan hidup berumah tangga yang dibebankan

kepada suami tersebut, ukurannya adalah semampu dan sesanggup suami sesuai

dengan kemampuannya dalam memenuhi segala keperluan hidup dalam rumah

tangga.
Istri dalam hal sebagai ibu rumah tangga yang memiliki kewajiban untuk

mengatur keperluan hidup berumah tangga, keperluan rumah tangga tersebut

disediakan oleh suami, istri harus mengurus segala keperluan rumah tangga sesuai

dengan kemampuan suami dalam memberikan segala keperluan rumah tangga.


Istri tidak serta merta dilarang untuk membantu suami dalam mencari keperluan

berumah tangga, bila kemampuan suami untuk mencari keperluan berumah tangga

dirasa tidak mencukupi, hal tersebut tidak dilarang karena Undang-Undang

Perkawinan pada Pasal 31 ayat (1) mengatakan bahwa, hak dan kedudukan istri

adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami. Seimbang dalam artian adalah

istri tidak dilarang untuk membantu suami dalam memenuhi kewajibannya dan
62

suami juga tidak dilarang untuk memenuhi kewajiban istri dikarenakan

sebenarnya kedudukan mereka adalah seimbang.


Keseimbangan dalam hak dan kedudukan suami istri dalam kehidupan

rumah tangga tersebut, seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan

tidak terlepas juga mempunyai posisi yang sama dalam hal pembagian harta

bersama. Harta bersama tersebut merupakan kesatuan harta yang digabung antara

harta istri dan harta suami di luar dari harta bawaan dan harta pribadi masing-

masing pihak, sehingga dari penggabungan harta tersebut lahir harta yang didapat

selama perkawinan yang disebut harta bersama.


Pengertian tentang harta bersama yang lebih mencerminkan tentang

kedudukan yang seimbang dalam hal harta bersama terdapat dalam KHI pada

Pasal 1 huruf f, dalam pasal ini dikatakan bahwa, harta kekayaan dalam

perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau

bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya

disebut harta bersama tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.


Pengertian dari harta bersama yang diberikan oleh KHI tersebut, lebih

memberikan kepastian tentang harta bersama dan kedudukan yang seimbang

antara suami dan istri dalam mencari harta bersama dan tanpa mempersoalkan

harta tersebut terdaftar atas nama siapa. Sehingga tidak ada tuntutan dikemudian

hari yang menuntut adanya harta bersama atas besar kecilnya andil salah satu

pihak dan atas nama salah satu pihak harta bersama tersebut terdaftar lebih

banyak.
KHI menjelaskan kewajiban suami dalam harta bersama tersebut dalam

Pasal 89 mengatakan bahwa, suami bertanggung jawab menjaga harta bersama,

harta istri maupun hartanya sendiri. Sehingga kewajiban suami dalam KHI
63

terhadap harta bersama adalah tanggungjawab untuk menjaga harta tersebut dari

hal-hal yang dapat merugikan keluarganya.

Harta bersama hanya dapat dibagi setelah terjadinya perceraian diantara

suami dan istri, perceraian menurut Undang-Undang Perkawinan, pada Pasal 38

yang berbunyi, perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas

keputusan pengadilan. Sehingga perkawinan yang putus akibat hal tersebut,

memiliki akibat terhadapa harta bersama. Sesuai dengan ketentuan Pasal 37

Undang-Undang Perkawinan, bila perkawinan putus karena perceraian, harta

bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

Pembagian terhadap harta bersama menurut Undang-Undang Perkawinan

tidak mendapat kejelasan dalam hal besaran porsi bagi masing-masing pihak, bila

terjadi perpisahan atau perceraian dalam suatu perkawinan yang merupakan syarat

dalam pembagian harta bersam tersebut. Sehingga para pihak akan meggunakan

hukum yang mereka taati dan hukum tersebut diakui oleh negara, seperti hukum

adat dan hukum agama.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur

secara tegas pembagian harta bersama bila terjadi perceraian diantara suami dan

istri. Pembagian secara tegas tentang pembagian harta bersama, diatur secara

tegas di dalam Kompilasi Hukum Islam. Pembagian secara tegas dalam Kompilasi

Hukum Islam tersebut meliputi pembagian, serta besarnya porsi perolehan

masing-masing suami dan istri dari harta bersama. Bila terjadi perceraian baik
64

cerai hidup maupun cerai mati, atau suami dan istri salah satu diantaranya

hilang.46

Hukum agama yang dalam hal ini adalah hukum Islam, dalam hukum

Islam yang adalah hukum yang tidak tertulis, tetapi setelah lahirnya KHI yang

merupakan kesepakatan dari para ulama dan merupakan perwujudan dari hukum

Islam itu sendiri. Bagi oarang-orang Islam yang menuntut keadilan di badan

peradilan agama, yang salah satu kewenangan absolutnya adalah badan peradilan

bagi orang-orang beragama Islam, sudah ssehrusnya menggunakan KHI dalam

memutus sengketa di dalam peradilan agama tersebut.

KHI mengatur tentang besaran porsi terhadap pembagian harta bersama

setelah terjadinya pemutusan hubungan perkawinan karena cerai hidup maupun

cerai mati di dalam Pasal 96 sampai pada Pasal 97. Sehingga tepat bila dikatakan

bahwa KHI mengatur tentang pembagian harta bersama setelah terjadinya

perceraian lebih tegas bial dibandingkan dengan pengaturan yang terdapat dalam

Undang-Undang Perkawinan.

KHI dalam Pasal 96-97 memberikan pembagian harta bersama kepada

suami dan istri yang telah bercerai dengan pembagian yang seimbang, yaitu

seperdua untuk bagian suami dan seperdua lagi untuk bagian istri. Pembagian

seperti yang terdapat dalam pasal ini, sesuai dengan pengertian dari harta bersama

yang terdapat dalam KHI pada Pasal 1 huruf f.

Pembagian harta bersama dengan putusan yang tidak memberikan porsi

pembagian harta bersama sesuai dengan KHI, padahal para pihak adalah orang-

orang beragama Islam dan penyelesaian sengketanya menggunakan badan


46M. Anshary MK. Op. Cit., halaman 145-146
65

peradilan agama. Dimana suami memiliki andil yang sedikit dalam perolehan

harta bersam dikarenakan suami memiliki kemampuan dan penghasilan yang lebih

sedikit dibandingkan dengan istri dalam perkawinan dan hampir seluruh harta

bersama diperoleh oleh istri. Kasus seperti ini telah terjadi di dalam kehidupan

nyata dan diadili oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan putusan

Nomor 266K/AG/2010, dalam penelitian ini akan memaparkan putusan tersebut,

yaitu:

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 266K/AG/2010,

berisi tentang permohonan cerai dan pembagian harta bersama, penggugat dan

tergugat menikah pada hari sabtu tanggal 08 April 1995 di Klaten, berdasarkan

kutipan akta nikah Nomor 35/35/IV/1995 dan setelah akad nikah, para pihak

tinggal di rumah orang tua tergugat selama 1 tahun lamanya sampai anak pertama

lahir di tahun 1996.

Hasil perkawinan tersebut para pihak dikaruniai 2 orang anak, anak yang

pertama lahir tanggal 26 Februari 1996 dan anak kedua lahir tanggal 9 September

1998. Pada tahun 1996 para pihak pindah ke rumah orang tua penggugat,

dikarenakan permasalahan pengasuhan anak dan pekerjaan yang berada di luar

kota. dengan tinggal di rumah orang tua penggugat, permasalahan pengasuhan

anak, dapat dibantu oleh orang tua penggugat.

Bahwa memasuki usia perkawinan yang ke-3 di tahun 1998 percekcokan

sering terjadi, walaupun sebenarnya percekcokan kecil telah terjadi sejak awal

perkawainan. Percekcokan tersebut terjadi dikarenakan tergugat yang memliki


66

sifat egois, semaunya sendiri dan pemalas dan bila diingatkan penggugat menjadi

marah dan terjadilah percekcokan diantara penggugat dan tergugat.

Keadaan yang sering terjadi percekcokan dan tidak harmonis yang terjadi

pada keluarganya, penggugat tetap berusaha menjaga keharmonisan rumah

tangganya. Percekcokan besar sering muncul di tahun 1998 sejak kepergian

penggugat menuntut ilmu, di Universitas Indonesia yang berada di Jakarta.

Tergugat sering marah tanpa alasan yang jelas dan tergugat sering menghalang-

halangi penggugat, untuk berhubungan dengan anak-anaknya dan tergugat sering

memberikan telpon ketika anak-anak menangis. Hal tersebut dirasa penggugat

merupakan teror dan mengganggu psikologis penggugat, Dikarenakan hal

tersebut, mengakibatkan tergugat sering pulang ke Klaten.

Bahwa pada Juli 2007 pengugat dan tergugat pindah rumah ke Sleman,

pada saat para pihak tinggal di Sleman, tergugat pernah mengusir penggugat dan

anak perempuan penggugat, serta pekerja rumah tangga. Tergugat melakukan

pengusiran dan pengancaman yang membahayakan nyawa penggugat, pengusiran

tersebut terjadi pada tanggal 6 November 2008. Demi keamanan, penggugat dan

anak penggugat, penggugat pindah ke rumah kontrakan di Bantul pada tanggal 9

November 2008.

Percekcokan yang terjadi terus menerus, merupakan ciri keluarga yang

tidak harmonis dan merupakan hal yang menjadi, alasan salah satu pihak untuk

melakukan perceraian. Seperti yang termuat dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan. Dalam hal ini antara suami dan istri terus menerus terjadi
67

perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk rukun kembali dalam

kehidupan rumah tangga. Alasan ini telah dibuktikan penggugat dengan fakta-

fakta di dalam persidangan, seperti tersebut di atas sebelumnya.

Istri selaku penggugat bekerja sebagai pengajar di Yogyakarta dan

memiliki pekerjaan sampingan sebagai konsultan peneliti. Meskipun suami

sebagai tergugat memiliki pekerjaan disalah satu lembaga swadaya masyarakat

dan memiliki penghasilan, penggugat tidak mengetahui penghasilan tergugat dan

digunakan untuk apa.

Selama perkawinan berlangsung istri dan suami memiliki harta bersama

berupa:

a. Benda tidak bergerak

1) Tanah pertanian di Klaten dengan atas nama penggugat.

2) Tanah pertanian di Klaten dengan atas nama penggugat.

3) Tanah hak milik di Bantul dengan atas nama penggugat.

4) Tanah pekarangan dengan rumah di atasnya dengan atas nama

penggugat.

b. benda bergerak

1) Mobil kijang dengan atas nama penggugat

2) Sepeda motor legenda dengan atas nama penggugat

3) Sepeda motor supra fit dengan atas nama tergugat

4) Isi rumah:

a) Kulkas

b) Tv
68

c) kursi jati

d) Meja makan kayu jati satu set

e) Rak buku kayu 5 buah

f) Tempat tidur jati

g) 1 buah sofa.

Berdasarkan keterangan seperti yang dijabarkan diatas, istri memiliki

pekerjaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan suami serta penghasilan dari

istri juga lebih besar bila dibandingkan dengan suami, sehingga secara otomatis

harta kekayaan yang didapat pasangan suami istri tersebut lebih banyak didapat

dari hasil pengasilan yang lebih besar yaitu istri.

Nama-nama yang terdaftar dalam harta bersama tersebut juga merupakan

nama-nama dari istri, sehingga dari berbagai sudut sudah tentu akan didapati

bahwa suami memiliki andil yang sangat sedikit dalam perolehan harta bersama

tersebut. Sehingga hakim berdasarkan keterangan yang telah dijabarkan di atas

membagi harta bersama kepada pihak istri memperoleh harta bersama sebesar ¾

(tiga perempat) bagian dari harta bersama dan pihak suami mendapat ¼ (satu

perempat) bagian dari harta bersama.

Keputusan hakim dalam membagi harta bersama sebesar tiga perempat

untuk pihak istri dan satu perempat untuk pihak suami, sangat bertentangan

dengan paraturan yang berkaitan dengan pembagian harta bersama tersebut.

Peraturan yang tidak digunakan hakim dalam memutus perkara ini terutama Pasal

97 KHI dan azas keseimbangan dalam rumah tangga seperti yang terdapat dalam

Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.


69

Pasal 1 huruf f KHI telah jelas-jelas menegaskan, bahwa harta bersama

adalah harta yang didapat sendiri-sendiri maupun bersama-sama suami dan istri

tanpa mempersoalkan harta tersebut terdaftar atas nama siapa, tanpa juga

mempersoalkan siapa yang lebih banyak dalam mendapatkan harta bersama

tersebut. Penegasan tersebut tidak diterapkan oleh hakim dalam memutus

sengketa ini, sehingga hakim melanggar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 97

KHI tentang pembagian harta bersama, dimana dalam pasal ini pembagian harta

bersama dibagi sama rata antara kedua pihak.

Hakim seharusnya sebagai corong undang-undang harus lebih

mendahulukan dan menerapkan peraturan yang sudah tertulis secara jelas dalam

memutus sengketa yang dihadapkan padanya, lain halnya bila sengketa tersebut

tidak terdapat dalam peraturan tertulis. Dalam hal ini hakim boleh menggali nilai-

nilai yang ada dalam msyarakat dan mengeluarkan putusan agar tidak terjadinya

kekosongan hukum. Hakim sebagai corong undang-undang menegasakan bahwa

hakim harus mengikuti putusan sesuai dengan apa yang diatur dalam undang-

undang sesuai dengan ketetentuan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa:

“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus

suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang

jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

Pasal tersebut menjelaskan bahwa hakim dalam hal apapun tidak boleh

menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara. Hakim dalam

hal ini haruslah memutuskan perkara sesuai dengan ketentua yang diatur dalam
70

suatu peraturan perundang-undangan. Akan tetapi dalam hal menggali nilai yang

terdapat dalam suatu Pasal dan peristiwa hukum baru hakim diperbolehkan hal ini

diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang

menyatakan bahwa Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan

memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Berdasarkan kedua Pasal tersebut bahwa hakim harus mendasarkan

putusannya dalam mengadili kepada peraturan perundang-undangan dan bebas

untuk menafsirkan dan atau menginterpretasikan hukum tersebut. Meskipun

demikian, dalam hal perkara yang diadili tidak ada atau tidak jelas dasar

hukumnya, hakim pun tetap wajib untuk mengadili perkara tersebut. Sehingga

pada prinsipnya, asas legalitas harus dijadikan pedoman awal bagi hakim untuk

mengadili kasus yang sedang mereka tangani.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 266K/AG/2010 tentang berkurangnya

hak suami dalam pembagian harta bersama adalah suatu peristiwa hukum di mana

hakim dalam memutuskan perkara seharusnnya mengikuti ketetentuan pembagian

harta bersama yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi

Hukum Islam. Dimana Kompilasi Hukum Islam adalah fiqih Islam yang menjadi

hukum terapan dalam peradilan Agama yang ada di Indonesia termasuk tentang

pembagian harta bersama yang seharusnya dibagi secara separuh paruh.

Hakim Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 266 K/AG/2010 telah

memutuskan pembagian harta bersama dengan telah menafsirkan dan atau

menginterpretasikan Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam mengenai pembagian harta


71

bersama yang di dasarkan kepada niai-nilai yang digalih berdasarkan demi rasa

keadilan. Hal ini dilihat dan dipertimbangkan hakim dengan alasan bahwa

perkawinan antara kedua belah pihak yang tidak mungkin bisa utuh lagi dan

alasan utama dalam pembagian harta bersama yang di mana suami selama masa

kerjanya tidak pernah menafkahi istrinya selama hampir 11 tahun dan harta-harta

yang diperoleh merupakan hampir atas nama istirinya.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) tentang Kekuasaan Kehakiman telah

memberikan kewenangan bagi hakim dalam mencari dan menggali nilai-nilai

yang berkembang di dalam masyarakat. Hal ini yang menjadi dasar bagi hakim

dalam memutuskan perkara pembagian harta bersama dalam Putusan Nomor

266K/AG/2010 yang membagi harta bersama dengan pembagian ¾ untuk istri dan

¼ untuk bagian suami.

Pencegahan terhadap perselisihan terhadap pembagian harta bersama

tersebut dapat dilakukan dengan melakukan perjanjian perkawinan, perjanjian

perkawinan dapat dilakukan. Hal ini berdasarkan Pasal 29 tentang perjanjian

perkawinan Undang-Undang Perkawinan dan KHI juga memperbolehkan untuk

memlakukan perjanjian perkawina, hal in terdapat dalam Pasal 45-52.

Lebih jelas dapat dikatakan bahwa, perjanjian perkawinan merupakan

perjanjian yang dibuat oleh suami dan istri, pada waktu atau sebelum perkawinan

dilangsungkan. Perjanjian dilakukan secara tertulis disahkan oleh pegawai

pencatatan nikah dan isinya juga berlaku bagi pihak ketiga sepanjang hal tersebut

diperjanjikan. Menjelaskan perjanjian perkawinan, dapat diberikan batasan

sebagai suatu hubungan hukum harta kekayaan antara kedua belah pihak. Salah
72

satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal dan pihak lain mempunyai hak,

untuk menuntut pelaksanaan perjanjian tersebut.47 Sehingga perjanjian perkawinan

merupakan sebuah jalan untuk melanggar ketentuan pembagian besar porsi harta

bersama setengah bagian untuk para pihak.

47 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal. Op.Cit., halaman 138


73

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

a. Hak dan kewajiban suami selama perkawinan diatur dalam Pasal 30-34

Undang-Undang Perkawinan, kewajiban suami dalam perkawinan adalah

menjaga dan melindungi istri serta memberikan kasih sayang serta cinta

lahir dan bathin kepada istri. Hak suami adalah kewajiban dari istri yang

dalam hal nonmateri sama dengan suami, dalam hal materi suami wajib

memberikan segala keperluan berumah tangga sesuai dengan kemapuannya

dan hak suami adalah mendapat pengaturan yang baik dari istri, KHI

mengatur hal yang kurang lebih sama namun lebih terperinci, KHI

mengaturnya dalam Pasal 80-84. Kewajiban dan hak suami setelah

perceraian adalah menanggung nafkah istri selama masa tunggu dan

menangung biaya kehidupan anak selama anak belum menginjak dewasa,

hal ini terdapat dalam PP Undang-Undang Perkawinan dan KHI.

b. Suami memiliki hak yang sama dalam pembagian harta bersama setelah

terjadinya perceraian, karena harta bersama didapat selama masa

perkawinan, di dalm perkawinan kedudukan suami istri adalah seimbang,

terdapat dalam Pasal 31 ayat (1), sehingga pembagiannya harus juga

seimbang. Pengertian yang cukup jelas terdapat dalam KHI Pasal 1 huruf f

dan kewajiban suami terhadap harta bersama diatur dalam Pasal 89 dan 83

serta pembagian besaran porsi terdapat dalam Pasal 96-97 yang membagi

rata harta bersama kepada para pihak. Hakim dalam lingkungan peradilan
74

agama dalam memutus perkara harus mengikuti ketentuan dalam KHI

seperti yang terdapat dalam penjelasan umum atas KHI pada penjelasn

umum Nomor 5.

c. Harta suami dan harta istri yang digabungkan selam perkawinan di luar dari

harta bawaan dan harta pribadi tanpa mempersoalkan harta tersebut di

peroleh dengan andil yang lebih besar dari salah satu pihak dan harta

tersebut terdaftar atas nama siapa merupakan harta bersama. Harta tersebut

bila terjadi perceraian harus dibagi dan pembagiannya harus menurut

ketentuan hukum yang berlaku, putusan ini dikeluarkan Mahkamah Agung

melalui putusan awal peradilan agama. Sehingga menurut ketentuan harus

mengikuti aturan yang terdapat dalam KHI, dalam hal ini KHI memiliki

ketentuan membagi sama rata harta bersama. Tetapi dalam putusan ini

hakim tidak mebagi harta bersama menurut ketentuan KHI tetapi menetapak

tiga perempat bagian istri dan satu perempat bagian suami, dengan alasan

suami memiliki sedikit andil dalam memperoleh harta bersama, yang jelas-

jelas hal ini betentangan dengan aturan dalam KHI.

2. Saran

a. Sehrusnya Undang-Undang Perkawinan dan PP Undang-Undang

Perkawinan mengatur secara terperinci hal-hal yang menjadi hak dan

kewajiban suami dalam perkawinan dan ssesudah perceraian. Sehingga

pengaturan tersebut dapat disesuiakan dengan kebutuhan zaman mengingat

aturan ini sudah sangat lama dan zaman sudah berbeda jauh dengan zaman

yang ada pada saat perturan ini dibuat.


75

b. Seharusnya Undang-Undang Perkawinan mengtur pembagian harta bersama

secara tegas dan pasti seperti yang terdapat dalam KHI, sehingga hakim

sebagai wakil tuhan di dunia dapat memberikan salah satu dari tujuan

hukum yaitu kepastian dapat terlaksana. Sehingga terhadap Undang-Undang

perkawinan dapat dilakukan revisi dengan menambahkan pasal yang

mengatur hak dan kewajiban suami terhadap harta bersama dan besaran

porsi masing-masing pihak dalam pembagian harta bersama.

c. Seharusnya hakim lebih mengutamakan ketentuan dalam peraturan tertulis

yang sudah tentu kepastian hukumnya, seperti dalam basaran porsi

pembagian harta bersama yang sudah jelas terdapat dalam KHI. terutama

bagi hakim-hakim di lingkungan peradilan agama, karena KHI adalah

hukum terapan di lingkungan peradilan agama.


76

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Abdul Manan. 2003. Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan
Agama. Jakarta: Pustaka Bangsa Press.

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di
indonesia (Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih,
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Sampai KHI). Jakarta: Prenada Media.

Amir Syarifuddin. 2014. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta:


Kencana.

Beni Ahmad Saebani. 2008. Perkawinan Dalam Hukum Islam Dan Undang-
Undang (Perspektif Fiqh Munakahat dan UU N0. 1/1974 Tentang
Poligami dan Problematikanya). Bandung: Pustaka Setia.

Djoko Prakoso dan I ketut Murtika. 1998. Azas-Azas Hukum Perkawinan di


Indonesia, Jakarta: PT. Bina Aksara.

Fakultas Hukum UMSU. 2014. Pedoman Penulisan Skripsi. Medan:


Fakultas Hukum Universita Muhammadiya Sumatera Utara.

Lili Rasjidi. 1991. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan


Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Mahmud Yunus. 1985. Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Mazhab


Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali. Jakarta: PT Hidakarya Agung.

Muhammad Syaifuddin dkk. 2014. Hukum Perceraian. Jakarta: Sinar Grafika

M. Fahmi Al Amruzi. 2014. Hukum Harta Kekayaan Perkawinan. Yogyakarta:


Aswaja pressindo.

M. Anshary MK. 2010. Hukum Perkawinan di Indonesia Masalah Krusial.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Salim HS, 2013, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika.

Soedharyo Soimin. 2002. Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum perdata
Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat Edisi Revisi. Jakarta: Sinar
Grafika.
Subekti. 2003. Poko-Pokok Hukum Perdata. Jakarta:Iintermasa

B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
77

Peraturan-Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Kompilasi Hukum Islam.

C. INTERNET
https://quranruqyah.wordpress.com | Bersandar pada Al Quran, diakses
tanggal 4 Desember 2017, pada pukul 20.30 WIB.

.http:// Kamus Besar Bahasa Indonesia.org/kamus/Alasan, diakses pada


tanggal 2Desember 2017, pada pukul 10.00 Wib.

Anda mungkin juga menyukai