Oleh:
Satria Zulindo
0910312130
Preseptor:
1
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Kejang demam merupakan bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan
sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (di atas 38 C, dengan metode
pengukuran suhu apapun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial. 1
Kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan elektrolit atau
metabolic lainnya. Bila ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya maka tidak disebut
sebagai kejang demam. Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang
demam, namun jarang sekali terjadi. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan mengalami
kejang didahului demam, kemungkinan lain karena infeksi sususan saraf pusat. 1
1.2 Epidemiologi
Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak usia 6 bulan sampai 5
tahun. 2-5 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang demam.
Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki daripada perempuan. Hal tersebut
disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan
laki-laki.
2.3 Etiologi
Etiologi dan pathogenesis kejang demam sampai saat ini belum diketahui, akan tetapi
umur anak, tinggi dan cepatnya suhu meningkat mempengaruhi terjadinya kejang. Faktor
hereditas juga mempunyai peran yaitu 8-22% anak yang mengalami kejang demam
mempunyai orang tua dengan riwayat kejang demam pasa masa kecilnya.3
2
Semua jenis infeksi bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam
dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam
adalah infeksi saluran pernafasan atas terutama tonsillitis dan faringitis, otitis media
akut(cairan telinga yang tidak segera dibersihkan akan merembes ke saraf di kepala pada otak
akan menyebabkan kejang demam), gastroenteritis akut, exantema subitum dan infeksi
saluran kemih. Selain itu, imunisasi DPT (pertusis) dan campak (morbili) juga dapat
menyebabkan kejang demam.6
2.4 Patofisiologi7
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi
CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan
permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan
mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit
lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebalikya. Karena
perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan
potensial membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga
keseimbangan potensial membran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang
terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh :
Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran
listrik dari sekitarnya
Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak
mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %.
Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel
neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium
akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga
dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan
“neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang demam yang berlangsung lama (lebih dari 15
menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi
3
otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anerobik, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu
tubuh meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan
metabolisme otak meningkat.
2.5 Klasifikasi
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, membagi kejang demam menjadi dua4
1. Kejang demam sederhana / simple febrile seizure (harus memenuhi semua kriteria
berikut)
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan
saraf pusat, otitis media akuta, bronkitis, furunkulosis dan lain-lain. Serangan kejang
biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat
bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang
berhenti sendiri. Namun anak akan terbangun dan sadar kembali setelah beberapa detik atau
menit tanpa adanya kelainan neurologik.
4
Gejala yang timbul saat anak mengalami kejang demam antara lain : anak mengalami
demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang terjadi secara tiba-tiba),
kejang tonik-klonik atau grand mal, pingsan yang berlangsung selama 30 detik-5 menit
(hampir selalu terjadi pada anak-anak yang mengalami kejang demam). Kejang dapat dimulai
dengan kontraksi yang tiba-tiba pada otot kedua sisi tubuh anak. Kontraksi pada umumnya
terjadi pada otot wajah, badan, tangan dan kaki. Anak dapat menangis atau merintih akibat
kekuatan kontaksi otot. Anak akan jatuh apabila dalam keadaan berdiri.
Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsung
selama 10-20 detik), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama,
biasanya berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau pipinya tergigit, gigi atau rahangnya
terkatup rapat, inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya),
gangguan pernafasan, apneu (henti nafas), dan kulitnya kebiruan.
2.7 Diagnosis6,9,10
Diagnosis kejang demam dapat ditegakkan dengan menyingkirkan penyakit-penyakit
lain yang dapat menyebabkan kejang, di antaranya: infeksi susunan saraf pusat, perubahan
akut pada keseimbangan homeostasis, air dan elektrolit dan adanya lesi structural pada
system saraf, misalnya epilepsi. Diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis ini.
1. Anamnesis
- waktu terjadi kejang, durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan kejang
- sifat kejang (fokal atau umum)
- Bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-klonik)
5
- Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)
- Riwayat demam ( sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap atau naik
turun)
- Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA, GE)
- Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai demam
atau epilepsi)
- Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi)
- Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
- Trauma kepala
2. Pemeriksaan fisik
- Tanda vital terutama suhu
- Manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang berpindah-
pindah atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya kelainan struktur otak.
- Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan hipoventilasi, henti
nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif, dan
terdapatnya kuadriparesis flasid mencurigakan terjadinya perdarahan intraventikular.
- Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan yang
disebabkan oleh trauma. Ubun –ubun besar yang tegang dan membenjol
menunjukkan adanya peninggian tekanan intrakranial yang dapat disebabkan oleh
pendarahan sebarakhnoid atau subdural. Pada bayi yang lahir dengan kesadaran
menurun, perlu dicari luka atau bekas tusukan janin dikepala atau fontanel enterior
yang disebabkan karena kesalahan penyuntikan obat anestesi pada ibu.
- Terdapatnya stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan kraniofasial yang
mungkin disertai gangguan perkembangan kortex serebri.
- Transluminasi kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan cairan subdural
atau kelainan bawaan seperti parensefali atau hidrosefalus.
- Pemeriksaan untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA,
OMA, GE)
- Pemeriksaan refleks patologis
- Pemeriksaan tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)
6
3. Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi
dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam.
- Darah tepi lengkap
- Elektrolit, glukosa darah. Diare, muntah, hal lain yang dpt mengganggu
keseimbangan elektrolit atau gula darah.
- Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal untuk mendeteksi gangguan metabolisme
4. Pemeriksaan penunjang
- Lumbal Pungsi jika adanya indikasi terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal,
kecurigaan adanya infeksi SSP berdasar anamnesis dan pemeriksaan klinis,
dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah
mendapat antibiotic dan pemberian antibiotic tersebut dapat mengaburkan tanda dan
gejala meningitis.
- Elektroensefalografi, tidak dapat mengidentifikasi kelainan yang spesifik maupun
memprediksi terjadinya kejang yang berulang, tapi dapat dipertimbangkan pada
bangkitan kejang yang bersifat fokal.
- CT-scan atau MRI hanya dilakukan jika ada indikasi, misalnya: kelainan neurologi
fokal yang menetap (hemiparesis atau paresis nervus kranialis) atau terdapat tanda
peningkatan tekanan intrakranial.
Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus dipikirkan
apakah penyebab kejang itu di dalam atau diluar susunan saraf pusat. Kelainan di dalam otak
biasanya karena infeksi, misalnya meningitis, ensefalitis, abses otak, dan lain-lain.oleh sebab
itu perlu waspada untuk menyingkirkan dahulu apakah ada kelainan organis di otak.
Menegakkan diagnosa meningitis tidak selalu mudah terutama pada bayi dan anak
yang masih muda. Pada kelompok ini gejala meningitis sering tidak khas dan gangguan
neurologisnya kurang nyata. Oleh karena itu agar tidak terjadi kekhilafan yang berakibat fatal
7
dapat dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal yang umumnya diambil melalui pungsi
lumbal.
Baru setelah itu dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong dalam kejang demam
atau epilepsi yang dprovokasi oleh demam.
2.9 Penatalaksanaan4,10
Dalam penanggulangan kejang demam ada 4 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu :
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu datang, kejang sudah
berhenti. Apabila pasien datang dalam keadaan kejang, obat paling cepat untuk menghentikan
kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena dengan dosis 0,2-0,5 mm/kgBB
perlahan-lahan dengan kecepatan 2mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit dengan maksimal
dosis 10mg. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua di rumah atau yang sering
digunakan di rumah sakit adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75
mg/kgBB atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg, dan
10 mg untuk berat badan lebih dari 10kg.
8
1. Diazepam rectal, 0,5 mg/kgBB dengan interval waktu 5 menit. Jika setelah 2 kali
pemberian belum berhenti, dianjurkan ke rumah sakit dan diberikan diazepam
intravena.
2. Pengawasan tanda-tanda depresi pernapasan
Jika kejang masih berlanjut, diperlukan penanganan lebih lanjut di ruang perawatan
intensif dengan thiopentone dan alat bantu pernapasan. Bila kejang telah berhenti, pemberian
obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor
risikonya.
2. Pengobatan penunjang
9
Menurut penelitian, apabila suhu penderita tinggi (hiperpireksi), diberikan kompres air biasa.
Dengan ini, proses penguapan bisa terjadi dan suhu tubuh akan menurun perlahan-lahan.
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang
demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis
parasetamol yang digunakan adalah 10 – 15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak
lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB/kali, 3 – 4 kali sehari.
Setelah kejang diatasi harus disusul dengan pengobatan rumat dengan cara mengirim
penderita ke rumah sakit untuk memperoleh perawatan lebih lanjut. Kejang demam kompleks
merupakan salah satu indikasi seorang pasien untuk dirawat di rumah sakit selain adanya
hiperpireksia, pasien < 6 bulan, kejang demam yang pertama kali, dan terdapat kelainan
neurologis. Pengobatan ini dibagi atas dua bagian, yaitu:
Profilaksis intermitten
10
1. Kejang demam ≥ 2 kali dalam 24 jam
2. Kejang demam terjadi pada umur < 12 bulan
3. Kejang demam ≥ 4 kali per tahun
1). Fenobarbital
Dosis 4-5 mg/kgBB/hari. Efek samping dari pemakaian fenobarbital jangka panjang
ialah perubahan sifat anak menjadi hiperaktif, perubahan siklus tidur dan kadang-kadang
gangguan kognitif atau fungsi luhur.
Dosisnya ialah 20-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 1-2 tahun dan
dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. Efek samping yang dapat terjadi adalah gejala
toksik berupa rasa mual, kerusakan hepar, pankreatitis.
3). Fenitoin
Diberikan pada anak yang sebelumnya sudah menunjukkan gangguan sifat berupa
hiperaktif sebagai pengganti fenobarbital. Hasilnya tidak atau kurang memuaskan. Pemberian
antikonvulsan pada profilaksis jangka panjang ini dilanjutkan sekurang-kurangnya 3 tahun
seperti mengobati epilepsi. Menghentikan pemberian antikonvulsi kelak harus perlahan-lahan
dengan jalan mengurangi dosis selama 3 atau 6 bulan.
Penyebab dari kejang demam baik sederhana maupun kompleks biasanya infeksi
traktus respiratorius bagian atas dan otitis media akut. Pemberian antibiotik yang tepat dan
kuat perlu untuk mengobati infeksi tersebut. Secara akademis pada anak dengan kejang
demam yang datang untuk pertama kali sebaiknya dikerjakan pemeriksaan pungsi lumbal.
Hal ini perlu untuk menyingkirkan faktor infeksi di dalam otak misalnya meningitis. Apabila
11
menghadapi penderita dengan kejang lama, pemeriksaan yang intensif perlu dilakukan, yaitu
pemeriksaan pungsi lumbal, darah lengkap, misalnya gula darah, kalium, magnesium,
kalsium, natrium, nitrogen, dan faal hati.
2. 10 Prognosis6,11
1. Kematian. Dengan penanganan kejang yang cepat dan tepat, prognosa biasanya baik,
tidak sampai terjadi kematian. Dalam penelitian ditemukan angka kematian KDS
0,46 % s/d 0,74%.
2. Berulangnya Kejang Demam. Dengan factor resiko riwayat dalam keluarga, usia <
12 bulan, suhu tubuh saat kejang <39C, interval waktu yang singkat antara awitan
demam dengan terjadinya kejang, dan kejang pertama merupakan kejang demam
kompleks.
3. Epilepsi. Angka kejadian Epilepsi ditemukan 2,9 % dari KDS dan 97 % dari kejang
demam kompleks. Resiko menjadi Epilepsi yang akan dihadapi oleh seorang anak
sesudah menderita KDS tergantung kepada faktor :
a. riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
b. kelainan dalam perkembangan atau kelainan sebelum anak menderita KDS
c. kejang berlangsung lama atau kejang fokal.
12
BAB 2
LAPORAN KASUS
Identitas
Nama : RMA
Umur : 10 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku bangsa : Minang
Pekerjaan : -
Seorang pasien anak laki-laki berumur 10 bulan masuk ke IGD RSUP Dr. M.
Djamil Padang pada tanggal 29 Juli 2018 dengan:
13
pertama anak mencret) di RS Selaguri. Setelah kejang anak tampak
mengantuk.
Buang air kecil warna dan jumlah biasa.
Pasien dibawa berobat ke dokter spesialis anak 2 hari sebelum masuk RS.
Karena demam tidak turun dan BAB cair tidak berhenti, pasien dibawa
berobat kembali 1 hari sebelum masuk RS dan dianjurkan ke RS Selaguri. Di
RS Selaguri, anak sempat kejang 1x, diberikan stesolid rectal 10mg, tetapi
anak mencret, selang 5 menit kemudian kembali diberikan stesolid rectal
10mg serta dumin rectal 125mg. Setelah itu, pasien dirujuk ke RSUP Dr. M.
Djamil Padang.
Riwayat keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat kejang dengan atau tanpa
demam.
Riwayat kehamilan :
Lahir pervaginam di Rumah Sakit, langsung menangis kuat, berat badan lahir
3200 gr, panjang badan 49 cm
14
Riwayat Imunisasi
Imunisasi Dasar/Umur Booster/Umur
BCG -
DPT : 1. -
2. -
3. -
Polio : 1. -
2. -
3. -
Hepatitis B : 1. Saat baru lahir
2. -
3. -
Haemofilus influenza B :
1. -
2.
3.
Campak -
Kesan : Imunisasi dasar tidak lengkap
15
Tersenyum 3 bulan Isap jempol -
Miring 3 bulan Gigit Kuku -
Tengkurap 4 bulan Sering mimpi -
Duduk 8 bulan Mengompol -
Merangkak 10 bulan Aktif sekali -
Berdiri - Apatik -
Lari - Membangkak -
Gigi pertama 6 bulan Ketakutan -
Bicara - Pergaulan jelek -
Membaca - Kesukaran belajar -
Prestasi di Sekolah -
16
Pekarangan : Cukup luas
Sampah : Dibuang di Tempat Sampah Umum
Kesan : Higiene dan sanitasi baik
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Vital Sign :
Nadi : 120x/i reguler, cukup
Nafas : 42x/i, reguler
Suhu : 39,3 oC
PB : 76 cm
BB : 9,8 kg
LILA : 13 cm
Lingkar kepala : 44 cm
Gizi : BB/U = 9,8/9,6 x 100 = 102%
TB/U = 76/73 x 100 = 104%
BB/TB = 9,8/10,3 x100= 95,1%
Gizi Baik
Kulit : Pucat (-), sianosis (-), ikterik (-)
Kepala : UUB belum menutup, LK 44 cm, normochepal.
Rambut : Tidak ada kelainan.
Mata
- Konjungtiva : Anemis (-/-)
- Sclera : Ikterik (-)
- Cekung : -/-
Telinga : Sekret -/-
Hidung : Sekret -/-, tidak ada tanda-tanda perdarahan
Pemeriksaan leher :
- Kaku kuduk tidak ditemukan. Pembesaran KGB tidak ada
17
Pemeriksaan Thoraks :
- Paru : Inspeksi gerakan dada simetris kiri dan kanan,retraksi(-)
Perkusi sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi bronkhovesikuler, ronki-/-, wheezing -/-
- Jantung : Inspeksi ictus cordis tidak terlihat
Auskultasi bunyi jantung normal, bising jantung (-).
- Perkusi : batas-batas jantung dalam batas normal
Batas atas : RIC II
Batas kanan : Linea parasternalis dekstra RIC 4
Batas kiri : 1 jari medial Linea Midclavicula sinistra RIC
V
- Auskultasi : S1-S2 reguler, murmur (-) gallop (-)
Pemeriksaan Abdomen :
- Inspeksi datar, distensi (-), venektasi (-)
- Palpasi supel, hepar dan lien tidak teraba
- Perkusi tympani
- Auskultasi bising usus (+), normal.
Pemeriksaan alat kelamin : -
Pemeriksaan Ekstremitas : CRT < 2 detik, akral hangat.
STATUS NEROLOGIS
Tanda Rangsang meningeal : kaku kuduk (-), burdzinski I (-), burdzinski II (-),
kernique (-),
Refleks Patologis : Babinski (-)
Openheim (-)
Refleks fisiologis : Refleks biseps +/+
Refleks triseps +/+
Refleks patella +/+
Refleks achilles +/+
18
Hasil pemeriksaan laboratorium (29 Juli 2018)
Darah :
Hb : 10,7 gr/dL
Leukosit : 10.090 mm3
Trombosit : 313.000 mm3
Ht : 33%
Diff count : 0/0/5/71/23/1
KIMIA KLINIK :
ELEKTROLIT
Natrium : 136 mmol/L
Kalium : 2.8 mmol/L
Clorida : 109 mmol/L
Diagnosa kerja :
- Kejang Demam Kompleks
- Tonsilofaringitis Akut
- Susp. Kandidiasis Oral
- Diare akut dengan dehidrasi ringan sedang
Tatalaksana :
IVFD 2 A 14 tetes makro
Diazepam 3 x 1,5 mg po
Parasetamol 4 x 100 mg po
Oralit 100cc/bab encer atau muntah
Edukasi :
19
- Informasi kepada orang tua mengenai bagaimana penanganan bila terjadi
kejang demam di Rumah karena kejang demam dapat berulang lagi
- Informasi kepada orang tua mengenai pengobatan rumatan (pada kejang
demam kompleks), dan efek samping yang mungkin timbul dari obat-obatan
tersebut.
Follow up
30 Juli 2018
S : BAB encer masih ada 2 kali, warna kehijauan dan berlendir
Muntah 1x isi cairan
Demam (+) 39,3 C, kejang (-)
Sesak nafas (-)
BAK ada 1 kali ganti popok
O : Nadi : 120x/mnt Nafas : 30x/mnt Suhu : 39,3 0C
Mata : Konjungtiva anemis (-)
Thorax : retraksi (-)
Abdomen : distensi (-) Bising Usus (+)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2s
A : Kejang Demam Kompleks
Diare akut
Tonsilofaringitis akut
P : TL lanjut
20
BAB III
DISKUSI
kebutuhan glukosa, cairan, dan elektrolit pada pasien yang saat demam, tidak terpenuhi
asupannya. Pasien masuk keruangan bangsal dalam keadaan tidak kejang lagi, sehingga
seharusnya diberikan obat anti kejang profilaksis intermitten yaitu diazepam dengan dosis
0,3mg/kgBB setiap 8 jam untuk oral atau 0,5 mg/kgBB setiap 8 jam untuk rektal.
Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orang tua. Tentu
edukasi sangat penting agar orangtua tidak cemas apabila bangkitan kejang terjadi
pada anaknya. Beberapa edukasi yang dapat diberikan pada orangtua seperti yakinkan
bahwa kejang demam umumnya memiliki prognosis yang baik, informasi
kemungkinan bangkitan kembali dan penanganan kejang dirumah, serta pemberian
obat profilaksis dengan tidak lupa memberikan informasi efek samping obat.
21
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol. 3,
Edisi 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000; XXVII : 2059 – 2060
2. Hendarto S. K. Kejang Demam. Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan
Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM, Jakarta. Cermin Dunia
Kedokteran No. 27. 1982 : 6 – 8.
3. Behrman dkk, (e.d Bahasa Indonesia), Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15, EGC, 2000.
Hal 2059-2067.
4. Pusponegoro HD, Widodo DP, Sofyan I. Konsensus Penatalaksanaan Kejang
Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
2006 : 1 – 14.
5. Price, Sylvia, Anderson. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC,
Jakarta 2006.
6. Febrile Seizures: Causes, Symptoms, Diagnosis and Treatment. Diunduh pada
tanggal 23 April 2012. Didapatkan dari:
www.medicinenet.com/febrile_seizures/article.htm
7. Mary Rudolf, Malcolm Levene. Pediatric and Child Health. Edisi ke-2. Blackwell
pulblishing; 2006. Hal 72-90.
8. Rudolph AM. Febrile Seizures. Rudoplh Pediatrics. Edisi ke-20. Appleton dan
Lange, 2002
9. Pudjaji AH, Hegar B, Handryastuti, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
Pedoman pelayanan medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia; Jakarta. 2010. h. 150-2.
10. Ministry of health service. Guidelines and protocols febrile seizure. British columbia
medical association. 2010.
11. Febrile Seizures Fact Sheets: National Institutes of Neurology and Stroke Diunduh
pada tanggal 23 April 2012. Didapatkan dari:
www.ninds.nih.gov/disorders/febrile_seizures/detail_febrile_seizures.html
22