Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah kesehatan yang berpengaruh terhadap system kardiovaskuler
yang menuntut asuhan keperawatan dapat dialami oleh orang pada berbagai
tingkat usia. System kardiovaskuler mencakup jantung, sirkulasi atau
peredaran darah dan keadaan darah yang merupakan bagian tubuh yang
sangat penting karena merupakan pengaturan yang menyalurkan oksigen
serta nutrisi keseluruh tubuh. lBila salah satu organ tersebut mengalami
ganguan terutama jantung maka akan mengganggu semua system tubuh.
Aritmia atau Disritmia merupakan salah satu ganguan dari system
kardiovaskuler. Aritmia atau Disritmia adalah tidak teraturnya irama jangtung.
Aritmia atau disritmia disebabkan karena terganggunya mekanisme
pembentukan impuls dan konduksi.hal ini termasuk tergangunya system
syaraf. Perubahan ditandai dengan denyut atau irama yang merupakan
retensi dalam pengobatan. Salah satu terapi pada aritmia atau disritmia
adalah dengan menggunakan Terapi mekanis Pace Maker atau bisa di sebut
Alat pacu jantung.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan alat bantu pacu
jantung ?
2. Apa penyakit penyerta yang membutuhkan alat bantu pacu jantung ?
1.3 Tujuan
1. Tujuan umum
Mahasiswa mengetahui Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Alat
Bantu pacu jantung
2. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mengetahui definisi pacu jantung
2. Mahasiswa mengetahui klasifiksi pacu jantung.
3. Mahasiswa mengetahui setting pacu jantung.
4. Mahasiswa mengetahui indikasi klien yang mendapat bantuan pacu
jantung.
5. Mahasiswa mengetahui komplikasi klien yang terpasang pacu jantung.
6. Mahasiswa mengetahui penyakit penyerta yang membutuhkan alat
bantu pacu jantung .

1.1 Manfaat
1. Bagi masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai penyakit yang
membutuhkan alat bantu ventilasi dan memberikan KIE agar masyarakat
tidak memiliki masalah kesehatan khususnya gangguan sistem
kardiovaskuler dan tidak terpasang pacu jantung
2. Bagi pembaca
Memberi pengetahuan kepada pembaca mengenai alat bantu sistem
kardiovaskuler yakni pacu jantung
3. Bagi mahasiswa
Agar dapat memahami kerja dan fungsi pacu jantung dan dapat
menerapkannya ketika telah berada di Rumah Sakit dan membantu klien
yang memiliki gangguan sistem kardiovaskuler
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 KONSEP DASAR


2.1.1 Definisi
Pacu jantung (pace maker) adalah alat pacu detak jantung mengontrol
detak jantung. Kontraksi jantung (cardiac) otot pada manusia, alat mekanis
yang disebut alat pacu jantung buatan (atau hanya “alat pacu jantung”)
dapat digunakan setelah kerusakan pada sistem konduksi intrinsic tubuh
untuk menghasilkan impuls sintetis (shadily, 2014). Simpul sinoatrial (SA
node) adalah sekelompok sel ditempatkan pada dinding atrium kanan,
dekat pintu masuk vena kava superior. Sel – sel ini diubah kardiomiosit.
Mereka memiliki filament kontraktil dasar namun kontraksinya relative
lemah. Sel – sel dalam SA node secara spontan berdepolarisasi, sehingga
kontraksi sekitar 100 kali per menit. Tingkat asli ini terus dimodifikasi oleh
aktivitas simpatis dan parasimpatis serat saraf, sehingga tingkat jantung
istirahat rata –rata pada manusia dewasa adalah sekitar 70 denyut
permenit. Karena simpul sinoatrial bertanggung jawab untuk sisa aktivitas
listrik jantung kadang kadang disebut alat pacu jantung utama. (Campbell,
2006)
Fungsi pacemaker yaitu :
1. Mempercepat irama jantung yang lambat
2. Membantu mengendalikan irama jantung abnormal atau cepat
3. Pastikan kontak ventrikel normal jika atrium yang bergetar bukan
pemukulan dengan irama normal (kondisi yang disebut atrial fibrilasi).
4. Mengkoordinasikan sinyal listrik antara bilik atas dan bawah dari
jantung
5. Mengkoordinasikan sinyal listrik antara ventrikel. Alat pacu jantung yang
melakukan ini disebut terapi sinkronisasi jantung (CRT) perangkat
perangkat CRT digunakan untuk mengobati gagal jantung
6. Mencegah aritmia berbahaya yang disebabkan oleh kelainan yang
disebut sindrom QT panjang
7. Alat pacu antung juga dapat memonitor dan merekam aktivitas listrik
jantung dan irama jantung
8. Alat pacu jantung baru dapat memonitor suhu darah, kecepatan napas,
dan factor lain dan menyesuaikan detak jantung untuk perubahan
dalam aktivitas

2.1.2 KLASIFIKASI
Alat pacemaker terdiri dari :
1. Transvenous pacing (temporary pacemaker)
temporary pacemaker adalah suatu alat pacu jantung sementara
dimana kawat atau elektrode pacu jantung dimasukan melalui vena
(pembuluh darah balik) biasanya melalui vena femoralis/ vena jugularis/
vena subclavia menuju atrium atau ventrikel kanan. Sedangkan
generatornya ditempatkan diluar dan bersifat sementara.
2. Permanent pacemaker
Pacujantung menetap adalah suatu alat medis yang ditanam dalam
tubuh pasien beruapa kawat pacing yang ditanam dalam satu ruang
atau beberapa ruang jantung melalui vena yang tepat dan dihubungkan
generator dari pacu jantung tersebut yang ditanam dibawah kulit atau
otot dada kanan atau kiri. Ada beberapa tipe dari pacu jantung
permanen, yaitu :
1) Single-chamber pacemaker. Pada tipe ini kawat pacing hanya ada
satu yang akan ditempatkan disalah satu ruang jantung yaitu
atrium(serambi) atau ventrikel(bilik).
2) Dual-chamber pacemaker. Disini kawat pacing yang akan
ditempatkan ada 2, satu ditempatkan di atrium dan satu di ventrikel.
Tipe ini lebih fisiologis atau lebih mirip dengan cara kerja pacu
jantung orang yang sehat dengan adanya koordinasi pemacuan
antara atrium dan ventrikel
3) Rate-responsive pacemaker. Pacemaker tipe ini mempunyai
sensor yang bisa mendeteksi aktifitas fisik pasien dan secara
otomatis akan mengatur frekwensi kecepatan pemacuan sesuai
dengan kebutuhan metabolisme pasien.
3. Biventricular pacing atau Cardiac resyncronization therapy (BVP/CRT).
Adalah suatu pacemaker generasi baru dengan 3 kawat pacu yang
akan dipasang yaitu ditempatkan di atrium kanan, ventrikel kanan dan
ventrikel kiri melalui sinus coronarius.
2.1.3 MANIFESTASI KLINIS
1. Perubahan tekanan darah ( hipertensi atau hipotensi ), nadi tidak
teratur, irama jantung tidak teratur, kulit pucat, sianosis, berkeringat,
edema, haluan urin menurun bila curah jantung menurut berat.
2. Syncape, pusing, disorientasi, letargi perubahan pupil.
3. Nyeri dada ringan sampai berat, gelisah.
4. Nafas pendek, batuk, perubahan kecepatan atau kedalaman
pernafasan, bunyi nafas tambahan ( krekels, ronki, mengi )
menunjukkan adanya komplikasi pernafasan seperti pada gagal jantung
kiri ( edema paru ) atau fenomena tromboembolitik pulmonal,
hemoptisis.
5. Demam, kemerahan kulit ( reaksi obat ), inflamasi, eritema, edema,
kehilngan fonus otot/kekuatan.

2.1.4 INDIKASI
Kemungkinan alat pacu jantung Anda berhenti berfungsi sebagaimana
mestinya akibat gangguan elektrik sangatlah kecil. Akan tetapi, sebaiknya
Anda tetap mengambil beberapa tindakan pencegahan yaitu:
1. Telepon genggam. Berbicara melalui telepon genggam cukup aman,
akan tetapi hindari menaruh telepon genggam Anda secara langsung
dekat dengan tempat pemasangan alat pacu jantung Anda ketika
telepon dinyalakan. Meskipun jarang terjadi, alat pacu jantung Anda
dapat salah menginterpretasi sinyal telepon genggam sebagai suatu
denyut jantung dan menahan pacu, yang menimbulkan gejala seperti
kelelahan mendadak.
2. Sistem keamanan. Melewati detektor metal di airport tidak akan
mengganggu alat pacu jantung Anda, meskipun metal di dalamnya
dapat membunyikan alarm. Namun hindari berada di dekat atau
bersandar pada sistem deteksi metal. Apabila petugas keamanan
bersikeras menggunakan detektor metal, beritahukan kepada mereka
untuk tidak meletakkan alat tersebut di dekat alat pacu jantung Anda
lebih lama dari yang diperlukan atau tanyakan bentuk alternatif dari
pencarian pribadi. Untuk menghindari masalah yang dapat
mengganggu, bawalah identitas yang menyatakan bahwa Anda
menggunakan alat pacu jantung.
3. Peralatan medis. Apabila dokter lain mempertimbangkan tindakan
medis apapun yang melibatkan paparan intensif terhadap energi
elektromagnetik, beritahukan kepadanya bahwa Anda memakai alat
pacu jantung. Tindakan seperti magnetic resonance imaging (MRI),
radioterapi untuk pengobatan kanker, dan shock wave lithotripsy, yang
menggunakan gelombang shock untuk menghancurkan batu ginjal atau
batu empedu yang besar.Apabila Anda akan menjalani operasi,
tindakan untuk mengontrol perdarahan (elektrokauter) juga dapat
mengganggu fungsi alat pacu jantung.
4. Peralatan yang membutuhkan energi (power-generating
equipment). Berdiri sedikitnya 60 cm dari peralatan las, sistem
bertegangan tinggi, atau sistem generator. Apabila Anda bekerja di
sekitar peralatan tersebut, Dokter Kami akan mengatur suatu tes di
tempat kerja Anda untuk menentukan apakah tempat kerja Anda akan
mempengaruhi alat pacu jantung Anda.

Alat-alat yang tidak terlalu mempengaruhi alat pacu jantung Anda antara
lain oven microwave, televisi, remote control, radio, pemanggang roti,
selimut elektrik, alat cukur listrikdan bor listrik.

2.1.5 KOMPLIKASI PACEMAKER


Komplikasi yang mungkin terjadi dari operasi pemasangan alat pacu
jantung Anda sangat jarang, namun dapat juga terjadi:
1. Infeksi pada tempat dimana alat pacu jantung dipasang.
2. Reaksi alergi terhadap kontras atau obat bius selama tindakan.
3. Bengkak, memar, atau perdarahan pada lokasi generator, terutama
apabila Anda sedang mengkonsumsi pengencer darah.
4. Kerusakan pada pembuluh darah atau saraf Anda yang berada di dekat
alat pacu jantung.
5. Kolaps paru.
6. Tusukan pada otot jantung Anda, yang dapat menjadi sumber
perdarahan dalam selaput jantung Anda dan mungkin dapat
membutuhkan penanganan segera.
7. Komplikasi yang mengancam nyawa sangat jarang terjadi.

2.2 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


2.2.1 PENGKAJIAN
1. Pola penatalaksanaan kesehatan / persepsi sehat
1) Pola sehat – sejahtera yang dirasakan
2) Pengetahuan tentang gaya hidup dan berhubungan dengan sehat
3) Pengetahuan tentang praktik kesehatan preventif
4) Ketaatan pada ketentuan media dan keperawatan
2. Pola nutrisi – metabolik
1) Pola makan biasa dan masukan cairan
2) Tipe makanan dan cairan
3) Peningkatan / penurunan berat badan
4) Nafsu makan, pilihan makanan
3. Pola eliminasi
1) Defekasi, berkemih
2) Penggunaan alat bantu
3) Penggunaan obat-obatan
4. Pola aktivitas – latihan
1) Pola aktivitas, latihan dan rekreasi
2) Kemampuan untuk mengusahakan aktivitas sehari-hari (merawat diri,
bekerja, dll)
5. Pola tidur dan istirahat
1) Pola tidur – istirahat dalam 24 jam
2) Kualitas dan kuantitas tidur
6. Pola kognitif – perseptual – keadekuatan alat sensori
1) Penglihatan, perasa, pembau
2) Kemampuan bahasa, belajar, ingatan dan pembuatan keputusan
7. Pola persepsi-konsep diri
1) Sikap klien mengenai dirinya
2) Persepsi klien tentang kemampuannya
3) Pola emosional
4) Citra diri, identitas diri, ideal diri, harga diri dan peran diri
8. Pola peran dan tanggung jawab
1) Persepsi klien tantang pola hubungan
2) Persepsi klien tentang peran dan tanggung jawab

9. Pola seksual – reproduksi


1) Kepuasan dan ketidakpuasan yang dirasakan klien terhadap
seksualitasnya
2) Tahap dan pola reproduksi
10. Pola koping dan toleransi stress
1) Kemampuan mengendalian stress
2) Sumber pendukung
11. Pola nilai dan keyakinan
1) Nilai, tujuan dan keyakinan
2) Spiritual
3) Konflik

2.2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Risiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan
perubahan konduksi elektrik miokard, penurunan kontraktilitas miokard.
2. Risiko terhadap ketidakefektifan penatalaksanaan aturan terapeutik
berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan tentang program
terapi, program aktivitas, serta tanda dan gejala komplikasi.
(Udjianti, 2011)

2.2.3 INTERVENSI KEPERAWATAN

No TUJUAN
DX KEPERAWATAN RENCANA TINDAKAN

1. Risiko tinggi Tujuan: 1. Palpasi nadi (radial, karotis, femoral,


terhadap penurunan dorsum pedis), cacat frekuensi per
curah jantung Mempertahankan curah menit, keteraturan, dan
berhubungan dengan jantung tetap adekuat, amplitudo( full or
perubahan konduksi tidak berlanjut kepada thready). Dokumentasikan adanya
elektrik miokard, munculnya tanda/gejala pulsus alternan, denyut bigemini, atau
penurunan dekompensasi. defisit nadi.
kontraktilitas miokard. 2. Auskultasi bunyi jantung, cacat
Kriteria hasil frekuensi per menit, irama. Cacat
adanya ekstrasistole, hilangnya
1. frekuensi serangan
disritmia berkurang. denyut.
2. klien mampu toleransi 3. Monitor tanda vital, dan observasi
terhadap aktivitas. keadekuatan perfusi jaringan.
3. klien tidak mengalami Laporkan jika terjadi perubahan
keluhan tanda dan tekanan darah, denyut nadi, respirasi
gejala gagal jantung. yang bermakna; nilai dan cacat Mean
Arterial pressure(MAP), tekanan nadi,
perubahan warna atau suhu kulit,
tingkat kesadaran, dan produksi urin
selama periode disritmia.
4. Tentukan jenis disritmia dan
dokumentasikan melalui rhythm
strip( pada alat monitoring).
a. Takikardi
b. Bradikardi
c. Atrial disritmia
d. Ventrikular disritmia
e. Heart block
5. Berikan lingkungan yang tenang dan
nyaman. Jelaskan alasan
pembatasan aktivitas selama fase
akut.
6. Ajarkan dan anjurkan melakukan
teknik manajemen stres(relaksasi,
latihan nafas dalam, dan imajinasi
secara terbimbing).
7. Kaji lebih lanjut keluhan nyeri dada,
dokumentasikan lokasinya, durasi,
intensitas, serta faktor yang dapat
mengurangi atau memperparah
keluhan. Catat respons nonverbal
nyeri; grimace wajah, menangis,
perubahan tekanan darah dan
frekuensi denyut nadi.
8. Persiapkan peralatan dan obat-
obatan resusitasi
kardiopulmonar (sesuai indikasi).
9. Kolaborasi
1) Monitor hasil studi laboratorium
1. Elektrolit
2. Level pemakaian obat kadar
serum digitalis.
2) Pemberian oksigen sesuai indikasi.
3) Pemberian suplemen kalium
potasium sesuai indikasi dan hasil
4) elektrolit serum

1. Review fungsi normal jantung dan


konduksi elektrik jantung dengan
bahasa yang mudah dipahami klien
2. Beri penjelasan tentang gangguan
irama jantung tertentu, dan
penentuan terapi kepada klien dan
keluarganya.
3. Identifikasi efek lanjut atau komplikasi
dari disritmia tertentu seperti fatigue
kelemahan, edema, vertigo, dan
perubahan status mental.
4. Berikan dan dokumentasikan
pembelajaran pengobatan klien
mengenai mengapa obat diberikan,
apa yang harus dilakukan jika lupa
Risiko terhadap Tujuan terhadap dosis obat, efek samping
ketidakefektifan atau kemungkinan reaksi
penatalaksanaan
Klien memahami tentang lanjut/interaksi dengan obat lain,
aturan terapeutik
berhubungan dengan penyakit dan alkohol atau tembakau, dan apabila
2. ketidakefektifan penatalaksanaannya. harus melaporkannya ke dokter.
pengetahuan tentang 5. Anjurkan melakukan latihan secara
program terapi, Kriteria hasil teratur dan hindari aktivitas
program aktivitas,
berlebihan.
serta tanda dan
gejala komplikasi. 1. klien dapat 6. Tinjau kembali diet individual
menjelaskan mengenai pembatasan kalium dan
pengertian, penyebab, kafein.
dan faktor pencetus 7. Berikan informasi tertulis agar dibawa
disritmia. pulang dan digunakan bila kondisi
2. Klien dapat klien berubah.
menjelaskan manfaat 8. Ajarkan dan demonstrasikan teknik
pengobatan, efek terapi mengukur nadi sendiri. Ajarkan
yang di harapkan, dan kepada klien/keluarga untuk
efek samping obat. melakukan dan mencacat nadi
3. Klien dapat sebelum minum obat atau latihan dan
menjelaskan kembali mengenali tanda dan gejala yang
tujuan dan alasan memerlukan tin
dilakukan prosedur
pemasangan
pacemaker, dan
mengkomunikasikan
tanda kegagalan
pacemaker jika
terpasang pacemaker.
BAB III
TINJAUAN TEORI
(PENYAKIT PENYERTA)

3.1 KONSEP MEDIS HENTI JANTUNG


3.1.1 DEFINISI
Henti jantung adalah suatu keadaan dimana jantung berhenti sehingga
tidak dapat memompakan darah keseluruh tubuh. Ini disebabkan oleh
beberapa penyakit jantung yang diderita pasien. Kematian jantung
mendadak merupakan kematian yang tidak terduga atau proses kematian
yang terjadi cepat, yaitu dalam waktu 1 jam sejak timbulnya gejala. Sekitar
93 persen SCD adalah suatu kematian aritmik. Artinya, kematian terjadi
akibat timbulnya gangguan irama jantung yang menyebabkan kegagalan
sirkulasi darah. Jantung tiba-tiba mati (juga disebut Sudden Cardiac Arrest)
adalah kematian yang tiba-tiba akibat hilangnya fungsi hati (perhentian
jantung). Korban mungkin atau tidak ada diagnosis penyakit jantung. Waktu
dan cara kematian yang tidak terduga. Itu terjadi beberapa menit setelah
gejala muncul. Yang paling umum yang alasan pasien mati mendadak dari
perhentian jantung adalah penyakit jantung koroner (fatty buildups dalam
arteries bahwa pasokan darah ke otot jantung).Mati jantung mendadak
harus didefinisikan dengan hati-hati. Dalam konteks waktu, kata
“mendadak” batasan dahulu adalah kematian dalam waktu 24 jam setelah
timbulnya kejadian klinis yang menyebabkan henti jantung (cardiac arrest)
yang fatal; batas waktu ini untuk kepentingan klinis dan epidemiologic
dipersingkat menjadi 1 jam atau kurang yang terdapat di antara saat
timbulnya keadaansakit terminal dan kematian.
3.1.2 ETIOLOGI
Faktor-faktor resiko yang dapat menimbulkan terjadinya henti jantung dapat
berupa :
1. Usia
Insiden henti jantung dapat meningkat seiring dengan betambahnya
usia bahkan dengan pasien yang bebas dari serangan jantung tiba-tiba
(SCA: sudden cardiac arrest).
2. Jenis kelamin
Tampaknya pria mempunyai resiko lebih tinggi terkena serangan
jantung tiba-tiba (SCA) dibandingkan dengan wanita yang lebik
beresiko mengalami henti jantung atau CAD yang mendasari.
3. Merokok
Merokok telah dilibatkan sebagai suatu factor yang meningkatkan
insiden SCD (ada efek aritmogenik langsung dari merokok sigaret atas
miokardium ventrikel). Tetapi menurut pengertian Framingham,
peningkatan resiko akibat merokok hanya terlihat pada pria. Yang
menarik, peningkatan resiko ini menurun pada pasien yang berhenti
merokok. Merokok juga meningkatkan insiden CAD yang tampil pada
kebanyakan pasien yang menderita henti jantung.
4. Penyakit jantung yang mendasari :
1) Penyakit arteri koronaria
Data dari penelutian Framingham telah memperlihatkan pasien
CAD mempunyai frekuensi SCD Sembilan kali pasien dengan usia
yang sama tanpa CAD yang jelas.The Multicenter Post Infarction
Research Group mengevaluasi beberapa variable pada pasien
yang menderita MI. Kelompok ini berkesimpulan bahwa pasien
pasca MI dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang kurang dari 40%,
10 atau lebih kontraksi premature ventrikel (VPC) per jam, sebelum
MI dan ronki dalam masa periinfark mempunyai peningkatan
mortalitas (1-2 tahun) dibandingkan dengan pasien tanpa masalah
ini. Jelas pasien CAD (terutama yang menderita MI) dengan resiko
SCD yang lebih besar.
2) Sinroma prolaps katup mitral (MVPS)
Tes elektrofisiologi (EP) pada pasien MVPS telah memperlihatkan
tingginya insiden aritmia ventrikel yang dapat di induksi, terutama
pada pasien dengan riwayat sinkop atau prasinkop. Terapi anti
aritmia pada pasien ini biasanya akan mengembalikan gejalanya.
3) Hipertrofi septum yang asimetik (ASH)
Pasien ASH mempunyai peningkatan insiden aritmia atrium dan
ventrikel yang bisa menyebabkan kematian listrik atau hemodinamik
(peningkatan obstruksi aliran keluar). Riwayat VT atau bahkan
denyut kelompok ventrikel akan meningkatkan risiko SCD.
4) Sindrom Wolff-Parkinson-White (WPW)
Perkembangan flutter atrium dengan hantaran AV 1:1 melalui suatu
jalur tambahan atau AF dengan respon ventrikel sangat cepat (juga
karena hantaran jalur tambahan antegrad) menimbulkan frekuensi
ventrikel yang cepat, yang dapat menyebabkan VF dan bahkan
kematian mendadak.
5) Sindrom Q-T yang memanjang
Pasien dengan pemanjangan Q-T yang kongenital atau idiopatik
mempunyai peningktan resiko SCD. Kematian sering timbul selama
masa kanak-kanak. Mekanisme ini bisa berhubungan dengan
kelainan dalam pernafasan simpatis jantung yang memprodisposisi
ke VF.
5. Faktor-faktor lainya :
1) Hipertensi: peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolic
merupakan predisposisi SCD.
2) Hiperkolesteremia: tidak ada hubungan jelas antara kadar kolesterol
serum dan SCD yang telah ditemukan.
3) Diabetes mellitus: dalam penelitian Framingham hanya pada wanita
ditemukan peningkatan insiden SCD yang menyertai intoleransi
glukosa.
4) Ketidakaktifan fisik: gerak badan mempunyai manfaat tidak jelas
dalam mengurangi insiden SCD.
5) Obesitas: menurut data Framingham, obesitas meninggkatkan
resiko SCD pada pria, bukan wanita.
6) Riwayat aritmia
1. Aritmia supraventrikel
Pada pasien sindrom WPW dan ASH, perkembangan aritmia
supraventrikel disertai dengan peningkatan insiden SCD. Pasien
CAD yang kritis juga beresiko, jika aritmia supraventrikel
menimbulkan iskemia miokardium. Tampak bahwa iskemia
dapat menyebabkan tidak stabilnya listrik, yang mengubah sifat
elektrofisiologi jantung yang menyebabkan VT terus-menerus
atau VF. Tetapi sering episode iskemik ini asimtomatik.
2. Aritmia ventrikel
Pasien dengan penyakit jantung yang mendasari dan VT tidak
terus-menerus menpunyai peningkatan insiden SCD
dibandingkan pasien dengan VPC tersendiri. Kombinasi VT
yang tidak terus-menerus dan disfungsi ventrikel kiri disertai
tingginya resiko SCD. Pasien CAD dan VT spontan mempunyai
ambang VT yang lebih rendah dibandingkan pasien CAD dan
tanpa riwayat VT. Sehingga pasien CAD dengan fraksi ejeksi
ventrikel kiri yang rendah dan VF atau VT terus-menerus yang
spontan mempunyai insiden SCD tertinggi.
Faktor-faktor pemcetis terjadinya henti jantung dapat berupa :
1. Aktivitas
Hubungan antara SCD dan gerak badan masih tidak jelas. Analisis 59 pasien
yang meninggal mendadak memperlihatkan bahwa setengah dari kejadian ini
timbul selama atau segera setelah gerak badan. Tampak bahwa gerak badan
bisa mencetuskan SCD, terutama jika aktivitas berlebih dan selama tidur SCD
jarang terjadi.
2. Iskemik
Pasien dengan riwayat MI dan Iskemia pada suatu lokasi yang jauh (iskemia
dalam distribusi arteri koronaria noninfark) mempunyai insiden aritmia
ventrikel yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien iskemia yang terbatas
pada zona infark. Daerah iskemia yang aktif disertai dengan tidak stabilnya
listrik dan pasien iskemia pada suatu jarak mempunyai kemungkinan lebih
banyak daerah beresiko dibandingkan pasien tanpa iskemia pada suatu jarak.
3. Spasme arteri koronaria
Spasme arteri koronaria (terutama arteri koronaria destra) dapat menimbulkan
brakikardia sinus, blok AV yang lanjut atau AF. Semua aritmia dapat
menyokong henti jantung. Tampak bahwa lebih besar derajat peningkatan
segmen S-T yang menyertai spasme arteri koronaria, lebih besar resiko SCD.
Tetapi insiden SDC pada pasien spasme arteri koronaria berhubungn dengan
derajat CAD obsruktif yang tetap. Yaitu pasien CAD multipembuluh darah
yang kritis ditambah spasme arteri koronaria lebih mungkin mengalami henti
jantung dibandingkan pasien spase arteri koronaria tanpa obstuksi koronaria
yang tetap.
3.1.3 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya.
Namun, umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai
akibat dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti. Berhentinya
peredaran darah mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh.
Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya
suplai oksigen, termasuk otak. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke
otak, menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas
normal. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani
dalam 5 menit dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit
(Sudden cardiac death).
Berikut akan dibahas bagaimana patofisiologi dari masing-masing etiologi
yang mendasari terjadinya cardiac arrest.
1. Penyakit jantung coroner
Penyakit jantung koroner menyebabkan Infark miokard atau yang
umumnya dikenal sebagai serangan jantung. Infark miokard merupakan
salah satu penyebab dari cardiac arrest. Infark miokard terjadi akibat
arteri koroner yang menyuplai oksigen ke otot-otot jantung menjadi
keras dan menyempit akibat sebuah materia(plak) yang terbentuk di
dinding dalam arteri. Semakin meningkat ukuran plak, semakin buruk
sirkulasi ke jantung. Pada akhirnya, otot-otot jantung tidak lagi
memperoleh suplai oksigen yang mencukupi untuk melakukan
fungsinya, sehingga dapat terjadi infark. Ketika terjadi infark, beberapa
jaringan jantung mati dan menjadi jaringan parut. Jaringan parut ini
dapat menghambat sistem konduksi langsung dari jantung,
meningkatkan terjadinya aritmia dan cardiac arrest.
2. Stess fisik
Sterss fisik tertentu dapat menyebabakan sistem konduksi jantung
gagal berfungsi, diantaranya :
1. Pendarahan yang banyak akibat luka trauma atau pendarahan
dalam.
2. Sengatan listrik
3. Kekurangan oksigen akibat tersendak, penjeratan, tenggelam
ataupun serangan asma yang berat.
4. Kadar magnesium dan kalium yang redah
5. Latihan yang berlebihan, adrenalin dapat memicu SCA pada pasien
yang mengalami gangguan jantung
6. Stress fisik seperti tersendak, penjeratan dapat menyebabkan vegal
reflex
3. Kelainan bawaan
Ada sebuah kecenderungan bahwa aritmia diturunkan dalam keluarga.
Kecenderungan ini diturunkan dari orang tua ke anak mereka. Anggota
keluarga ini mungkin memiliki peningkatan resiko terkena cardiac
arrest. Beberapa orang lahir dengan defek di jantung mereka yang
dapat mengganggu bentuk(struktur) jantung dan dapat meningkatkan
kemungkinan terkena SCA.
4. Perubahan struktur jantung
Perubahan struktur jantung akibat penyakit katup atau otot jantung
dapat menyebabkan perubahan dari ukuran atau struktur yang pada
akhirnrya dapat mengganggu impuls listrik. Perubahan-perubahan ini
meliputi pembesaran jantung akibat tekanan darah tinggi atau penyakit
jantung kronik. Infeksi dari jantung juga dapat menyebabkan perubahan
struktur dari jantung.
5. Obat-obatan
Antidepresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium channel blocker,
kokain, digoxin, aspirin, asetominophen dapat menyebabkan aritmia.
Penemuan adanya materi yang ditemukan pada pasien, riwayat medis
pasien yang diperoleh dari keluarga atau teman pasien, memeriksa
medical record untuk memastikan tidak adanya interaksi obat, atau
mengirim sampel urin dan darah pada laboratorium toksikologi dapat
membantu menegakkan diagnosis.
6. Temponade jantung
Cairan yang yang terdapat dalam perikardium dapat mendesak jantung
sehingga tidak mampu untuk berdetak, mencegah sirkulasi berjalan
sehingga mengakibatkan kematian.
7. Tension pnumothoraks
Terdapatnya luka sehingga udara akan masuk ke salah satu cavum
pleura. Udara akan terus masuk akibat perbedaan tekanan antara
udara luar dan tekanan dalam paru. Hal ini akan menyebabkan
pergeseran mediastinum. Ketika keadaan ini terjadi, jantung akan
terdesak dan pembuluh darah besar (terutama vena cava superior)
tertekan, sehingga membatasi aliran balik ke jantung.
3.1.4 MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis cradiac arrets :
1. Organ-organ tubuh mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya
suplai oksigen, ternasuk otak.
2. Hyfoxcia serebral atau ketidakadaan oksigen pada otak,
menyebabkan kehilangan kesadaran (collaps)
3. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani
dalam 5 menit, selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit.
4. Napas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak
bernafas).
5. Tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut
nadi yang dapat terasa pada arteri.
6. Tidak ada denyut jantung.

3.1.5 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


1. Elektrokardiogram
Biasanya tes yang diberikan ialah dengan elektrokardiogram
(EKG). Ketika dipasang EKG, sensor dipasang pada dada atau
kadang-kadang di bagian tubuh lainnya missal tangan dan kaki.
EKG mengukur waktu dan durasi dari tiap fase listrik jantung dan
dapat menggambarkan gangguan pada irama jantung. Karena
cedera otot jantung tidak melakukan impuls listrik normal, EKG
bisa menunjukkan bahwa serangan jantung telah terjadi. ECG
dapat mendeteksi pola listrik abnormal, seperti interval QT
berkepanjangan, yang meningkatkan risiko kematian mendadak.
2. Tes darah
1) Pemeriksaan enzim jantung
Enzim-enzim jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika
jantung terkena serangan jantung. Karena serangan jantung
dapat memicu sudden cardiac arrest. Pengujian sampel darah
untuk mengetahui enzim-enzim ini sangat penting apakah
benar-benar terjadi serangan jantung.
2) Elektrolit jantung
Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-
elektrolit yang ada pada jantung, di antaranya kalium, kalsium,
magnesium. Elektrolit adalah mineral dalam darah kita dan
cairan tubuh yang membantu menghasilkan impuls listrik.
Ketidak seimbangan pada elektrolit dapat memicu terjadinya
aritmia dan sudden cardiac arrest.
3) Test obat
Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi
untuk menginduksi aritmia, termasuk resep tertentu dan obat-
obatan tersebut merupakan obat-obatan terlarang.
4) Tesr hormone
Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini
sebagai pemicu cardiac arrest.
3. Imaging test
1) Pemeriksaan foto thorax
Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta
pembuluh darah. Hal ini juga dapat menunjukkan apakah
seseorang terkena gagal jantung.
2) Pemeriksaan nuklir
Biasanya dilakukan bersama dengan tes stres, membantu
mengidentifikasi masalah aliran darah ke jantung. Radioaktif
yang dalam jumlah yang kecil, seperti thallium disuntikkan ke
dalam aliran darah. Dengan kamera khusus dapat mendeteksi
bahan radioaktif mengalir melalui jantung dan paru-paru.
3) Ekokardiogram
Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan
gambaran jantung. Echocardiogram dapat membantu
mengidentifikasi apakah daerah jantung telah rusak oleh
cardiac arrest dan tidak memompa secara normal atau pada
kapasitas puncak (fraksi ejeksi), atau apakah ada kelainan
katup.
4. Electrical system (electrophysiological) testing adn mapping
Tes ini, jika diperlukan, biasanya dilakukan nanti, setelah
seseorang sudah sembuh dan jika penjelasan yang mendasari
serangan jantung Anda belum ditemukan. Dengan jenis tes ini,
dokter mungkin mencoba untuk menyebabkan aritmia, sementara
dokter memonitor jantung Anda. Tes ini dapat membantu
menemukan tempat aritmia dimulai. Selama tes, kemudian kateter
dihubungkan denga electrode yang menjulur melalui pembuluh
darah ke berbagai tempat di area jantung. Setelah di tempat,
elektroda dapat memetakan penyebaran impuls listrik melalui
jantung pasien. Selain itu, ahli jantung dapat menggunakan
elektroda untuk merangsang jantung pasien untuk mengalahkan
penyebab yang mungkin memicu - atau menghentikan – aritmia.
Hal ini memungkinkan dokter untuk mengamati lokasi aritmia.
5. Ejection fraction testing
Salah satu prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac
arrest adalah seberapa baik jantung Anda mampu memompa
darah. Dokter dapat menentukan kapasitas pompa jantung
dengan mengukur apa yang dinamakan fraksi ejeksi. Hal ini
mengacu pada persentase darah yang dipompa keluar dari
ventrikel setiap detak jantung. Sebuah fraksi ejeksi normal adalah
55 sampai 70 persen. Fraksi ejeksi kurang dari 40 persen
meningkatkan risiko sudden cardiac arrest. Dokter Anda dapat
mengukur fraksi ejeksi dalam beberapa cara, seperti dengan
ekokardiogram, Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari jantung
Anda, pengobatan nuklir scan dari jantung Anda atau
computerized tomography (CT) scan jantung.
6. Coronary chaterization (angiogram)
Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri koroner Anda terjadi
penyempitan atau penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi,
jumlah pembuluh darah yang tersumbat merupakan prediktor
penting sudden cardiac arrest. Selama prosedur, pewarna cair
disuntikkan ke dalam arteri hati Anda melalui tabung panjang dan
tipis (kateter) yang melalui arteri, biasanya melalui kaki, untuk
arteri di dalam jantung. Sebagai pewarna mengisi arteri, arteri
menjadi terlihat pada X-ray dan rekaman video, menunjukkan
daerah penyumbatan. Selain itu, sementara kateter diposisikan,
dokter mungkin mengobati penyumbatan dengan melakukan
angioplasti dan memasukkan stent untuk menahan arteri terbuka.
3.1.6 PENATALAKSANAAN
1. Respon awal
Respons awal akan memastikan apakah suatu kolaps mendadak
benar-benar disebabkan oleh henti jantung. Observasi gerakan
respirasi, warna kulit, dan ada tidaknya denyut nadi pada pembuluh
darah karotis atau arteri femoralis dapat menentukan dengan segera
apakah telah terjadi serangan henti jantung yang dapat membawa
kematian. Gerakan respirasi agonal dapat menetap dalam waktu yang
singkat setelah henti jantung, tetapi yang penting untuk diobservasi
adalah stridor yang berat dengan nadi persisten sebagai petunjuk
adanya aspirasi benda asing atau makanan. Jika keadaan ini dicurigai,
maneuver Heimlich yang cepat dapat mengeluarkan benda yang
menyumbat. Pukulan di daerah prekordial yang dilakukan secara kuat
dengan tangan terkepal erat pada sambungan antara bagian sternum
sepertiga tengah dan sepertiga bawah kadang-kadang dapat
memulihkan takikardia atau fibrilasi ventrikel, tetapi tindakan ini juga
dikhawatirkan dapat mengubah takikardia ventrikel menjadi fibrilasi
ventrikel. Karena itu, telah dianjurkan untuk menggunakan pukulan
prekordial hanya pada pasien yang dimonitor; rekomendasi ini masih
controversial. Tindakan ke tiga selama respons inisial adalah
membersihkan saluran nafas. Gigi palsu atau benda asing yang di
dalam mulut dikeluarkan, dan maneuver Heimlich dilakukan jika
terdapat indikasi mencurigakan adanya benda asing yang terjepit di
daerah orofaring. Jika terdapat kecurigaan akan adanya henti respirasi
(respiratory arrest) yang mendahului serangan henti jantung, pukulan
prekordial kedua dapat dilakukan setelah saluran napas dibersihkan.
2. Tindakan dukungan kehidupan dasar (bassic life support)
Tindakan ini yang lebih popular dengan istilah resusitasi
kardiopulmoner (RKP;CPR;Cardiopulmonary Resuscitation) merupakan
dukungan kehidupan dasar yang bertujuan untuk mempertahankan
perfusi organ sampai tindakan intervensi yang definitive dapat
dilaksanakan. Unsur-unsur dalam tindakan RKP terdiri atas tindakan
untuk menghasilkan serta mempertahankan fungsi ventilasi paru dan
tindakan kompresi dada. Respirasi mulut ke mulut dapat dilakukan bila
tidak tersedia perlengkapan penyelamat yang khusus misalnya pipa
napas orofaring yang terbuat dari plastic, obturator esophagus, ambu
bag dengan masker. Teknik ventilasi konvensional selama RKP
memerlukan pengembangan paru yang dilakukan dengan
menghembuskan udara pernapasan sekali setiap 5 detik, kalau
terdapat dua orang yang melakukan resusitasi dan dua kali secara
berturut, setiap 15 detik kalau yang mengerjakan ventilasi maupun
kompresi dinding dada hanya satu orang. Kompresi dada dilakukan
berdasarkan asumsi bahwa kompresi jantung memungkinkan jantung
untuk mempertahankan fungsi pemompaan dengan pengisian serta
pengosongan rongga-rongganya secara berurutan sementara katup-
katup jantung yang kompeten mempertahankan aliran darah ke depan.
Telapak yang satu diletakkan pada sternum bagian bawah, sementara
telapak tangan yang lainnya berada pada permukaan dorsum tangan
yang di sebelah bawah. Sternum kemudian ditekan dengan kedua
lengan penolong tetap berada dalam keadaan lurus. Penekanan ini
dilakukan dengan kecepatan kurang lebih 80 kali per menit. Penekanan
dilakukan dengan kekuatan yang cukup untuk menghasilkan depresi
sternum sebesar 3 hingga 5 cm, dan relaksasi dilakukan secara tiba-
tiba. Teknik RKP konvensional ini sekarang sedang dibandingkan
dengan teknik baru yang didasarkan pada ventilasi dan kompresi
simultan. Sementara aliran arteri karotis yang dapat diukur dapat
dicapai dengan RKP konvensional, data eksperimental dan pemikiran
teoritis mendukung bahwa aliran dapat dioptimalkan melaui kerja
pompa yang dihasilkan oleh perubahan tekanan pada seluruh rongga
torasikus, seperti yang dicapai dengan kompresi dan ventilasi simultan.
Namun, tidak jelas apakah teknik ini menyebabkan impedansi aliran
darah koroner dan apakah peningkatan aliran karotis menghasilkan
peningkatan yang ekuivalen pada perfusi serebral. Langkah-langkah
penting dalam resusitasi kardiopulmoner.
1) Pastikan bahwa saluran nafas korban dalam keadaan lapang/
terbuka.
2) Mulailah resusitasi respirasi dengan segera.
3) Raba denyut nadi karotis di dalam lekukan sepanjang jakun
(Adam’s apple) atau kartilago tiroid.
4) Jika denyut nadi tidak teraba, mulai lakukan pijat jantung. Lakukan
penekanan sebanyak 60 kali per menit dengan satu kali
penghembusan udara untuk mengembangkan paru setelah setiap 5
kali penekanan dada. (Isselbacher: 228).

3. Tindakan dukungan kehidupan lantuj (advanve life suppport)


Tindakan ini bertujuan untuk menghasilkan respirasi yang adekuat,
mengendalikan aritmia jantung, menyetabilkan status hemodinamika
(tekanan darah serta curah jantung) dan memulihkan perfusi organ.
Aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan ini mencakup:
1) Tindakan intibasi dengan endotracheal tube
2) Defibrilasi/ kardioversi dan atau pemasangan pacu jantung
3) Pemasangan infus
Ventilasi dengan O2 atau udara ruangan bila O2 tidak tersedia
dengan segera, dapat memulihkan keadaan hipoksemia dan
asidosis dengan segera. Kecepatan melakukan defibrilasi atau
kardioversi merupakan elemen penting untuk resusitasi yang
berhasil. Kalau mungkin, tindakan defibrilasi harus segera dilakukan
sebelum intubasi dan pemasangna selang infuse. Resusitasi
kardiopulmoner harus dikerjakan sementara alat defibrillator diisi
muatan arusnya. Segera setelah diagnosis takikardia atau fibrilasi
ventrikel ditentukan, kejutan listrik sebesar 200-J harus diberikan.
Kejutan tambahan dengan kekuatan yang lebih tinggi hingga
maksimal 360-J, dapat dicoba bila kejutan pertama tidak berhasil
menghilangkan takikardia atau fibrilasi ventrikel. Jika pasien masih
belum sadar sepenuhnya setelah dilakukan reversi, atau bila 2 atau
3 kali percobaan tidak membawa hasil, maka tindakan intubasi
segera, ventilasi dan analisis gas darah arterial harus segera
dilakukan. Pemberian larutan NaHCO3 intravena yang sebelumnya
diberikan dalam jumlah besar kini tidak dianggap lagi sebagai
keharusan yang rutin dan bisa berbahaya bila diberikan dalam
jumlah yang lebih besar. Namun, pasien yang tetap mengalami
asidosis setalah defibrilasi dan intubasi yang berhasil harus
diberikan 1 mmol/kg NaHCO3 pada awalnya dan tambahan 50%
dosis diulangi setiap 10-15 menit. Setelah upaya defibrilasi
pendahuluan tanpa mempedulikan apakah upaya ini berhasil atau
tidak, preparat bolus 1mg/kg lidokain diberikan intravena dan
pemberian ini diulang dalam waktu 2 menit pada pasien-pasien
yang memperlihatkan aritmia ventrikel yang persisten atau tetap
menunjukkan fibrilasi ventrikel. Penyuntikan lidokain ini diikuti oleh
infuse lidokain dengan takaran 1-4 mg/menit. Jika lidokain tidak
berhasil mengendalikan keadaan tersebut, pemberian intravena
prokainamid (dosis awal 100mg/5 menit hingga tercapai dosis total
500-800mg, diikuti dengan pemberian lewat infuse yang kontinyu
dengan dosis 2-5mg/menit). Atau bretilium tosilat (dosis awal 5-
10mg/kg dalam waktu 5 menit; dosis pemeliharaan (maintanance)
0,5-2 mg/menit), dapat dicoba. Untuk mengatasi fibrilasi ventrikel
yang per sisten, preparat epinefrin (0,5-1,0 mg) dapat diberikan
intravena setiap 5 menit sekali selama resusitasi dengan upaya
defibrilasi pada saat-saat diantara setiap pemberian preparat
tersebut. Obat tersebut dapat diberikan secara intrakardial jika cara
pemberian intravena tidak dapat dilakukan. Pemberian kalsium
glukonat intravena tidak lagi dianggap aman atau perlu untuk
pemakaian yang rutin. Obat ini yang hanya digunakan pada pasien
dengan hiperkalemia akut dianggap sebagai pencetus VF resisten,
pada keadaan adanya hipokalsemia yang diketahui, atau pada
pasien yang menerima dosis toksik antagonis hemat kalsium. Henti
jantung yang terjadi sekunder akibat bradiaritmia atau asistol
ditangani dengan cara yang berbeda. Setelah diketahui jenis
aritmianya, terapi syok dari luar tidak memiliki peranan. Pasien
harus segera diintubasi, resusitasi kardiopulmoner diteruskan dan
harus diupayakan untuk mengendalikan keadaan hipoksemia serta
asidosis. Epinefrin dan atau atropine diberikan intravena atau
dengan penyuntikan intrakardial. Pemasangan alat pacing eksternal
kini sudah dapat dilakukan untuk mencoba menghasilkan irama
jantung yang teratur, tetapi prognosis pasien pada bentuk henti
jantung ini umumnya sangat buruk. Satu pengecualian adalah henti
jantung asistolik atau bradiaritmia sekunder terhadap obstruksi jalan
napas. Bentuk henti jantung ini dapat memberikan respons cepat
untuk pengambilan benda asing dengan maneuver Heimlich atau,
pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Dengan intubasi dan
penyedotan sekresi yang menyumbat di jalan napas.
4. Perawatan pacsa resusitasi
Fase penatalaksanaan ini ditentukan oleh situasi klinis saat terjadinya
henti jantung. Fibrilasi ventrikel primer pada infark miokard akut
umumnya sangat responsive terhadap teknik-teknik dukungan
kehidupan (life support) dan mudah dikendalikan setelah kejadian
permulaan. Pemberian infuse lidokain dipertahankan dengan dosis 2-4
mg/menit selama 24-72 jam setelah serangan. Dalam perawatan rumah
sakit, bantuan respirator biasanya tidak perlu atau diperlukan hanya
untuk waktu yang singkat dan stabilisasi hemodinamik yang terjadi
dengan cepat setelah defibrilasi atau kardioversi. Dalam fibrilasi
ventrikel sekunder pada IMA (kejadian dengan abnormalitas
hemodinamika menjadi predisposisi untuk terjadinya aritmia yang dapat
membawa kematian), upaya resusitasi kurang begitu berhasil dan pada
pasien yang berhasil diresusitasi, angka rekurensinya cukup tinggi.
Gambaran klinis didominasi oleh ketidak stabilan hemodinamik. Dalam
kenyataan, hasil akhir lebih ditentukan oleh kemampuan untuk
mengontrol gangguan hemodiunamik dibandingkan dengan gangguan
elektrofisiologi. Disosiasi elektromekanis, asitol dan bradiaritmia
merupakan peristiwa sekunder yang umum pada pasien yang secara
hemodinamis tidak stabil dan kurang responsive terhadap intervensi.
Hasil akhir (outcome) setelah serangan henti jantung di rumah sakit
yang menyertai penyakit nonkardiak adalah buruk, dan pada beberapa
pasien yang berhasil diresusitasi, perjalanan pasca resusitasi
didominasi oleh sifat penyakit yang mendasari serangan henti jantung
tersebut. Pasien dengan kanker, gagal ginjal, penyakit system saraf
pusat akut dan infeksi terkontrol, sebagai suatu kelompok, mempunyai
angka kelangsungan hidup kurang dari 10 persen setelah henti jantung
di rumah sakit. Beberapa pengecualian utama terhadap hasil akhir henti
jantung yang buruk akibat penyebab bukan jantung adalah pasien
dengan obstruksi jalan nafas transien, gangguan elektrolit, efek
proaritmia obat-obatan dan gangguan metabolic yang berat,
kebanyakan mereka yang mempunyai harapan hidup baik jika mereka
mendapat resusitasi dengan cepat dan dipertahankan sementara
gangguan transien dikoreksi.
5. Penatalaksanaan jangka panjang
Bentuk perawatan ini dikembangkan menjadi daerah utama aktivitas
spesialisasi klinis karena perkembangan system penyelamatan
emergency berdasar-komunitas. Pasien yang tidak menderita
kerusakan system saraf pusat yang ireversibel dan yang mencapai
stabilitas hemodinamik harus dilakukan tes diagnostik dan terapeutik
yang ekstensif untuk tuntutan penatalaksanaan jangka panjang.
Pendekatan agresif ini dilakukan atas dasar dorongan fakta bahwadata
statistikdari tahun 1970 mengindikasikan kelangsungan hidup setelah
henti jantung di luar rumah sakit diikuti oleh angka henti jantung rekuren
30 persen pada 1 tahun, 45 persen pada 2 tahundan angka mortalitas
total hampir 60 persen pada 2 tahun. Perbandingan historis mendukung
bahwa statistik buruk ini dapat diperbaiki dengan intervensi yang baru.
Tetapi seberapa besar perbaikannya idak diketahui karena kurangnya
uji intervensi bersamaan yang terkendali. Diantara pasien ini dengan
penyebab henti jantung di luar rumah sakit adalah MI akut dan
transmural, penatalaksanaan sama dengan semua pasien lain yang
menderita henti jantung selama fase akut MI yang nyata. Untuk hampir
semua kategori pasien, bagaimanapun, uji diagnostic ekstensif
dilakukan menentukan etiologi, gangguan fungsional dan
ketidakstabilan elektrofisiologik sebagai penuntun penatalaksanaan
selanjutnya. Secara umum, pasien yang mempunyai henti jantung di
luar rumah sakit akibat penyakit jantung iskemik kronik, tanpa MI akut,
dievaluasi untuk menetukan apakah iskemia transien atau
ketidakstabilan elektrofisologik merupakan penyebab yang lebih
mungkin dari peristiwa ini. Jika terdapat alas an untuk mencurigai suatu
mekanisme iskemik, pembedahan anti-iskemik atau Intervensi medis
(seperti angiografi, obat) digunakan untuk mengurangi beban iskemik.
Ketidakstabilan elektrofisiologik paling baik diidentifikasi dengan
menggunakan stimulasi elektris terprogram untuk menentukan apakah
VT atau VF tertahan dapat diinduksi pada pasien. Jika ya, informasi ini
dapat digunakan sebagai data dasar untuk mengevaluasi efektifitas
obat untuk pencegahan kekambuhan. Informasi ini juga dapat
digunakan untuk menentukan kecocokan untuk pembedahan antiaritmik
dengan tuntunan peta. Menggunakan teknik ini untuk menegakkan
terapi obat pada pasien dengan fraksi ejeksi 30 persen atau lebih,
angka henti jantung rekuren adalah kurang dari 10 persen selama
tahun pertama tindak lanjut. Hasil akhir tidak sebaik untuk pasien fraksi
dengan fraksi ejeksi dibawah 30 persen, tetapi tetap lebih baik
dibandingkan riwayat alami yang tampak dari kelangsungan hidup
setelah henti jantung. Untuk pasien yang keberhasilan dengan terapi
obat tidak dapat diidentifikasi dengan teknik ini, pengobatan empirik
dengan amiodaron, penanaman defibrillator/kardioverter (ICD,
implantable cardioverter/defibrillator) dalam tubuh, atau pembedahan
antiaritmia (seperti bedah pintas koroner, aneurismektomi, kriobliasi),
dapat dianggap sebagai pilihan. Sukses pembedahan primer, diartikan
sebagai mempertahankan hidup prosedur dan kembali pada keadaan
yang tak dapat diinduksi tanpa terapi obat, adalah lebih baik dari 90
persen bila pasien dipilih untuk kemampuan dipetakan dalam ruang
operasi. Terapi ICD juga dikembangkan menjadi sistem yang lebih
menarik, termasuk kemampuan untuk memacu lebih baik dibandingkan
mengejutkan (shock out) beberapa aritmia pada pasien terpilih.
Susunan Intervensi tersedia untuk pasien ini, digunakan dengan
pantas, menunjukkan perbaikan perbaikan yang berlanjut pada hasil
akhir jangka panjang.
BAB IV

KASUS PASIEN DENGAN ALAT PACU JANTUNG BESERTA ASUHAN


KEPERAWATANNYA

(kasus cari dijurnal tidak boleh buat sendiri dan dilampirkan )


BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Pacu jantung (pace maker) adalah alat pacu detak jantung mengontrol
detak jantung yang mana fungsi alat pacu jantung ini antara lain
Mempercepat irama jantung yang lambat, Membantu mengendalikan,
irama jantung abnormal atau cepat, Pastikan kontak ventrikel normal jika
atrium yang bergetar bukan pemukulan dengan irama normal (kondisi yang
disebut atrial fibrilasi), Mengkoordinasikan sinyal listrik antara bilik atas dan
bawah dari jantung, Mengkoordinasikan sinyal listrik antara ventrikel. Alat
pacu jantung yang melakukan ini disebut terapi sinkronisasi jantung (CRT)
perangkat perangkat CRT digunakan untuk mengobati gagal jantung,
Mencegah aritmia berbahaya yang disebabkan oleh kelainan yang disebut
sindrom QT panjang, Alat pacu antung juga dapat memonitor dan merekam
aktivitas listrik jantung dan irama jantung, Alat pacu jantung baru dapat
memonitor suhu darah, kecepatan napas, dan factor lain dan
menyesuaikan detak jantung untuk perubahan dalam aktivitas

5.2 Saran
Harapan kami dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak baik penulis maupun pembaca guna menambah wawasan mengenai
alat pacu jantung (pacemaker) maupun penyakit penyerta yang membuat
klien harus dipasang pacu jantung
DAFTAR PUSTAKA

campbell,N.A.(2006).Biologi : cinccept & connections (5th ed.ed.). San


Fransisco: pearson/Benjamin Cummings.

Udjianti, W.J.(2011). keperawatan medikal bedah. Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai