Anda di halaman 1dari 24

Referat

Meningitis Bakterialis

Pembimbing:
dr. Nadia Husein Sp.S

Disusun oleh:
Nadiah binti Baharum Shah
112016196

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
23 APRIL 2018 – 26 MEI 2018
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN JAKARTA
2018
DAFTAR ISI

Daftar Isi…………………………………………………………………… 2
BAB 1 PENDAHULUAN ………………………………………………… 3
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Anatomi dan fisiologi meningen……………………................ 5
2.2 Definisi…………………………………………………………. 6
2.3 Etiologi........................................................................................ 8
2.4 Epidemiologi…………………………………………….......... 8
2.5 Patofisiologi................................................................................ 8
2.6 Manifestasi klinis.…………………………………………...... 13
2.7 Kriteria diagnosis….……………………................................... 16
2.8 Pemeriksaan Penunjang.............................................................. 20
2.9 Pengobatan.. ……..…………………………………..................21
2.10 Komplikasi ……………………………………………………25
2.11 Prognosis…………………………………………….............. 25
BAB 3 PENUTUP…...……………………………………………………. 26
Daftar Pustaka…………………………………………………................. 27

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi pada sistem saraf pusat (SSP) dapat terjadi di beberapa tempat. Bagian SSP
yang sering terinfeksi adalah otak sistem saraf pusat sebenarnya tidak hanya karena adanya
mikroorganisme, tetapi lebih diakibatkan oleh proses inflamasi sebagai respon adanya
mikroorganisme tersebut. Penyakit meningitis dapat terjadi pada semua tingkat usia ,namun
kalangan usia muda lebih rentan terserang penyakit ini.
Infeksi ialah invasi dan multiplikasi kuman (mikroorganisme) dalam jaringan tubuh.
Yang dimaksud dengan kuman adalah bakteri spiroketa,riketsia , protozoa, metazoan dan
virus. Invasi atau penetrasi berarti penembusan,halangan terbesar kuman adalah epithelium
permukaan tubuh luar dan dalam, yang kita kenal sebagai kulit, konjungtiva, dan mukosa.
Setelah penetrasi berhasil, kuman dapat tumbuh dan berbiak tergantung dari kondisi ruang
lingkupnya,pada penderita dengan gizi buruk, hygiene kurang, dan depresi system imun,
kuman yang sudah masuk dapat berbiak dan menyebar.
Proses multiplikasi ini tidak berlalu tanpa pergulatan antara kuman dan unsur sel
dan zat biokimia tubuh yang dikerahkan untuk mempertahankan keutuhan tubuh. Aksi kuman
dan reaksi tubuh setempat menghasilkan runtuhan kuman dan unsur-unsur tubuh,yang
merupakan racun (toksin) bagi tubuh. Racun tersebut diserap aliran darah dan menimbulkan
keadaan yang disbut sebagai toksemia. Gejala-gejala yang mencerminkan toksemia itu
biasanya terdiri dari demam, perasaan tidak enak badan,anoreksia, salesma, batuk dan
sebagainya,yang disebut sebagai predorm. Masa antara penetrasi dan mula timbulnya
predorm dikenal sebagai masa inkubasi. Pergulatan antara kuman dan unsure-unsue tubuh
setempat dapat dimenangkan oleh tubuh dan multiplikasi kuman selanjutnya dapat
diberantas sehingga infeksi hanya menimbulkan gejala predorm saja. Infeksi tersebut dapat
berlalu setengah jalan dan dinamakan infeksi abortif. Jika peperangan dimenangakan pihak
kuman, maka kuman-kuman berbiak pesat dan berusaha masuk ke aliran darah. Keadaan
dimana kuman sudah berada di aliran darah dinamkan septicemia.
Pada tahap bakterimia dan septicemia, kuman disebar ke seluruh tubuh berikut
organ-organya. Setibanya di sebuah organ ia menimbulkan kerusakan (radang) sehingga
timbul disfungsi organ yang bersangkutan. Setelah kuman berhasil menerobos permukaan
tubuh dalam dan luar, ia dapat tiba di susunan saraf pusat.Kuman yang bersarang di mastoid
dapat juga menjalar secara perkontunitatum,sutura memberikan kesempatan untuk invasi

3
semacam itu. Sedangakan invasi secara hematogenik merupakan penyebaran ke otak melalui
arteri serebral secara langsung. Penyebaran hematogen tak langsung dapat dijumpai, misalnya
arteri meningel yang terkena radang lebih dahulu, setelah itu kuman menyebar ke liquor dan
invasi ke dalam otak dapat terjadi melalui penerobosan dari piamater. Hal ini dipermudah
pada keadaan septicemia atau bakterimia dimana sawar darah otak “blood brain barier”
terganggu fungsinya. Infeksi di sekitar otak jarang disebabkan oleh bakterimia saja, karena
jaringan otak yang sehat cukup resisten terhadap infeksi, kecuali jumlah kuman yang cukup
besar atau sebelumnya telah terjadi nekrosis terlebih dahulu.
Walaupun dalam banyak hal sawar darah otak ini sangat protektif, namun ia
menghambat penetrasi fagosit ‘antibodi’ dan ‘antibiotik’.lagipula jaringan otak tidak
memiliki fungsi fagosit yang efektif dan tidak mempunyai lintasan pembuangan limfatik
untuk pemberantasan infeksi.(2)

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Meningen


Meningen adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang,
melindungi struktur halus yang membawa pembuluh darah dan cairan sekresi (cairan
serebrospinal), dan memperkecil benturan atau getaran. Meningen terdiri dari 3 lapisan, yaitu
durameter, arakhnoid, dan piameter. 2

Gambar 2.1. Anatomi Meningen 2

1. Durameter
Lapisan paling luar, menutup otak dan medula spinalis. Sifat dari durameter yaitu
tebal, tidak elastis, berupa serabut, dan berwarna abu-abu. Bagian pemisah dura : falx serebri
yang memisahkan kedua hemisfer dibagian longitudinal dan tentorium yang merupakan
lipatan dari dura yang membentuk jaring- jaring membran yang kuat. Jaring ini mendukung
hemisfer dan memisahkan hemisfer dengan bagian bawah otak (fossa posterir). 2
2. Arakhnoid
Merupakan membran bagian tengah, yaitu membran yang bersifat tipis dan lembut
yang menyerupai sarang laba-laba, oleh karena itu disebut arakhnoid. Membran ini berwarna
putih karena tidak dialiri darah. Pada dinding arakhnoid terdapat flexus khoroid yang
bertanggung jawab memproduksi cairan serebrospinal (CSS). Membran ini mempunyai
bentuk seperti jari tangan yang disebut arakhnoid vili, yang mengabsorbsi CSS. Pada usia
dewasa normal CSS diproduksi 500 cc dan diabsorbsi oleh vili 150 cc. 2

3. Piameter

5
Merupakan membran yang paling dalam, berupa dinding yang tipis, transparan, yang
menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan daerah otak. Piameter berhubungan dengan
arakhnoid melalui struktur jaringan ikat yang disebut trabekel. Piameter merupakn selaput
tipis yang melekat pada permukaan otak yang mengikuti setiap lekukan-lekukan pada sulkus-
sulkus dan fisura- fisura, juga melekat pada permukaan batang otak dan medula spinalis,
terus ke kaudal sampai ke ujung medula spinalis setinggi korpus vertebra. 2

2.2 Definisi Meningitis Tuberkulosis


Tuberkulosa yang menyerang SSS, merupakan komplikasi paling serius pada anak
dan mematikan tanpa pengobatan efektif. Meningitis tuberkelosa biasanya berasal dari
pembentukan lesi perkijuan metastatik didalam korteks serebri atau meningen yang
berkembang selama penyebaran limfohematogen infeksi primer. Kadang-kadang focus
tuberculosis dapat mengeluarkan masa kiju ke dalam liquor serebrospinalis sehingga terjadi
meningitis. Kadang-kadang focus perekijuan mempunyai kapsul dan tetap tenang, disebut
tuberkeloma. Apabila ada trauma atau infeksi seperti morbili, maka focus ini dapat menjadi
aktif dan masa kiju dapat masuk ke liquor serebrospinal. 5Hasilnya berupa eksudat gelatin
yang dapat menginfiltrasi pembuluh darh kortikomeningeal, menimbulkan radang, obstruksi,
dan selanjutnya infark korteks serebri.
Batang otak sering merupakan tempat ketrlibatan paling besar yang menjelaskan
seringnya keterkaitan disfungsi saraf III,VI, dan VII. Eksudat juga mengganggu aliran normal
CSS kedalam dan keluar system ventrikel pada setinggi sisterna basilaris, menimbulkan
hidrosefalus komunikan. Kombinasi vaskulitis, edem otak, dan hidrosefalus dapat
menyebabkan cedera berat yang dapat terjadi secara perlahan-lahan atau cepat.
Meningitis tuberkelosa menyerang sekitar 0,3 % infeksi primer yang tidak diobati
pada anak. Meningitis ini paling sering pada anak umur 6 bulan -4 tahun. Kadang-kadang
meningitis tuberkelosa dapat terjadi beberapa tahun setelah infeksi primer. Bila robekan satu
atau lebih tuberkel subepindemal mengeluarkan basil tuberkel kedalam ruang suarachnoid.
Pemburukan klinis yang cepat lebih sering terjadi pada bayi dan anak muda, yang dapat
mengalami gejala hanya untuk beberapa hari sebelum terjadinya hidrosefalus akut, kejang-
kejang dan edem otak.Tanda-tanda yang lebih sering yaitu pemburukan klinis yang terjadi
perlahan-lahan yang dapat berlangsung selama beberapa minggu dan dapat dibagi menjadi 3
stadium:
Stadium pertama, secara khas berakhir 1-2 minggu, ditandai oleh gejala-gejala
nonspesifik, seperti demam, nyeri kepala, iritabilitas, mengantuk dan malaise.Tanda-tanda
6
neurologist setempat tidak ada, tetapi bayi dapat mengalami stagnasi dan kehilangan
perkembangan kejadian yang penting.
Stadium kedua,biasanya mulai lebih mendadak, tanda-tanda yang lebih sering adalah
lesu, kaku kuduk dan kejang-kejang, tanda kernig dan Brudzinski positif, hipertoni,
kelumpuhan saraf cranial, muntah, dan tanda-tanda neurologist setempat lainnya. Percepatan
penyakit klinis biasanya berkorelasi dengan perkembangan hidrosefalus, peningkatan tekanan
intrakranil,dan vaskulitis. Beberapa anak tidak mempunyai bukti adanya iritasi meningel,
tetapi dapat mempunyai gejala-gejala dan tanda encephalitis seperti disorientasi, gangguan
gerakan, atau gangguan bicara.
Stadium ketiga,ditandai dengan koma, hemiplegi atau paraplegi, hipertensi, sikap
deserbasi, kemunduran tanda-tanda vital dan akhirnya kematian.
Berbagai penyakit dapat menyerang susunan saraf pusat. Salah satunya adalah
peradangan pada selaput otak, yang sering disebut meningitis. Meningitis merupakan
penyakit susunan saraf pusat yang dapat menyerang semua orang. Bayi, anak-anak, dan
dewasa muda merupakan golongan usia yang mempunyai resiko tinggi untuk terkena
meningitis. 3
Pengetahuan yang benar mengenai meningitis tuberkulosis dapat membantu untuk
mengurangi angka kematian penderita akibat meningitis, mengingat bahwa insiden kematian
akibat meningitis masih cukup tinggi. 4
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini merupakan salah satu
bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer
muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah
tubuh di luar paru-paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak. 3

2.3 Etiologi Meningitis Tuberkulosis


Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik gram
positif, berukuran 0,4-3µm mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama berminggu-
minggu dalam keadaan kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20 jam).
Bakteri ini merupakan salah satu jenis bakteri yang bersifat intracellular pathogen pada
hewan dan manusia. Selain Mycobacterium tuberkulosis, spesies lainnya yang juga dapat
menimbulkan tuberkulosis adalah Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum,
Mycobacterium microti. 4

2.4 Epidemiologi Meningitis Tuberkulosis

7
Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam tiga bentuk,
yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya sering ditemukan di
negara endemis TB, dengan kasus terbanyak berupa meningitis tuberkulosis. Di Amerika
Serikat yang bukan merupakan negara endemis tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi
1% dari semua kasus tuberkulosis. 5
Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena morbiditas
tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat saja menyerang semua usia, termasuk
bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi
dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur
dibawah 6 bulan, hampir tidak pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan. Meningitis
tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati. Angka
kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan
gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali normal secara neurologis dan intelektual. 6

2.5 Patofisiologi Meningitis Tuberkulosis


Meningitis tuberkulosis pada umumnya muncul sebagai penyebaran tuberkulosis
primer. Biasanya fokus infeksi primer ada di paru-paru, namun dapat juga ditemukan di
abdomen (22,8%), kelenjar limfe leher (2,1%) dan tidak ditemukan adanya fokus primer
(1,2%). Dari fokus primer, kuman masuk ke sirkulasi darah melalui duktus torasikus dan
kelenjar limfe regional, dan dapat menimbulkan infeksi berat berupa tuberkulosis milier atau
hanya menimbulkan beberapa fokus metastase yang biasanya tenang. 7
Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich tahun 1951.
Terjadinya meningitis tuberkulosis diawali olen pembentukan tuberkel di otak, selaput otak
atau medula spinalis, akibat penyebaran kuman secara hematogen selama masa inkubasi
infeksi primer atau selama perjalanan tuberkulosis kronik walaupun jarang. 6 Bila penyebaran
hematogen terjadi dalam jumlah besar, maka akan langsung menyebabkan penyakit
tuberkulosis primer seperti TB milier dan meningitis tuberkulosis. Meningitis tuberkulosis
juga dapat merupakan reaktivasi dari fokus tuberkulosis (TB pasca primer). Salah satu
pencetus proses reaktivasi tersebut adalah trauma kepala. 6
Kuman kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel. Tumpahan
protein kuman tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan merangsang reaksi hipersensitivitas
yang hebat dan selanjutnya akan menyebabkan reaksi radang yang paling banyak terjadi di
basal otak. Selanjutnya meningitis yang menyeluruh akan berkembang.
Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosis:
1. Araknoiditis proliferatif

8
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik yang
melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi radang akut
di leptomening ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di
basis otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan
nekrosis perkijuan.
Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan mungkin
mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan
mengalami paralisis. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian
III dan IV, sehingga akan timbul gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf
kranial II, maka kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur
bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII
akan menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya permanen. 6,7
2. Vaskulitis
Vaskulitis yang terjadi disertai dengan dengan trombosis dan infark pembuluh darah
kortikomeningeal yang melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim otak.
Hal ini menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan
inilah yang meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark terjadi di
daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis interna, maka akan timbul
hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis.
Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya perdarahan,
proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel dengan
atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak tampak
kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan pada
tunika intima berupa infiltrasi subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan
perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri cerebri media dan anterior serta cabang-
cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis dengan
derajat yang bervariasi dan menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau total.
Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat
menyebabkan infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin. 6,7

3. Hidrosefalus Komunikans
Hidrosefalus komunikans terjadi akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis
yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis. 6,7
Adapun perlengketan yang terjadi dalam kanalis sentralis medulla spinalis akan
4
menyebabkan spinal block dan paraplegia. Gambaran patologi yang terjadi pada
meningitis tuberkulosis ada 4 tipe, yaitu:
9
1. Disseminated milliary tubercles, seperti pada tuberkulosis milier.
2. Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering menyebabkan meningitis
yang difus.
3. Acute inflammatory caseous meningitis.
 Terlokalisasi, disertai perkijuan dari tuberkel, biasanya di korteks.
 Difus, dengan eksudat gelatinosa di ruang subarakhnoid.
4. Meningitis proliferatif.
 Terlokalisasi, pada selaput otak.
 Difus dengan gambaran tidak jelas.
Gambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi bersamaan pada
setiap pasien. Gambaran patologi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur, berat
dan lamanya sakit, respon imun pasien, lama dan respon pengobatan yang diberikan,
virulensi dan jumlah kuman juga merupakan faktor yang mempengaruhi. 6,7
Patogenesis terjadinya meningitis tuberkulosis secara skematis, dapat diamati sebagai
berikut:
BTA masuk tubuh

Tersering melalui inhalasi
Jarang pada kulit, saluran cerna

Multiplikasi

Infeksi paru / fokus infeksi lain

Penyebaran hematogen

Meningens

Membentuk tuberkel

BTA tidak aktif / dormain

Bila daya tahan tubuh menurun

Rupture tuberkel meningen

Pelepasan BTA ke ruang subarachnoid

MENINGITIS TUBERKULOSA

Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari oroaring dan diikuti dengan
septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian atas. Saluran vena
yang melalui nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran mastoid menuju otak
dan dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini penghubung yang menyokong
perkembangan bakteri. Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi
10
radang di dalam meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan
penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat
eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar
otak dan medula spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran ventrikel serebral.
Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari
peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak), edema serebral
dan peningkatan TIK.
Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi meningitis.
Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi dan dihubungkan
dengan meluasnya hemoragi (pada sindromWaterhouse-Friderichssen) sebagai akibat
terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan oleh
meningokokus.
Meningitis Tuberkulosa timbul sebagai akibat invasi kuman ke jaringan sel otak
(meningen). Penyebaran kuman ke otak melalui penjalaran hematogen pada saat terjadinya
Tuberkulosa millier. Meningitis tuberkulosa merupakan akibat komplikasi penyebaran
tuberculosis primer, biasanya dari paru. Terjadinya mengitis bukanlah karena terinfeksinya
selaput otak langsung oleh penyebaran hematogen,melainkan biasanya sekunder melalui
pembentuklan tuberkel pada permukaan otak, sum-sum tulang belakang atau vertebra yang
kemudian pecah ke dalam rongga arakhnoid.
Pada pemeriksaan histologis, merupakan meningoensefalitis.Peradangan ditemukan
sebagian besar pada dasar otak, terutama pada batang otak tempat terdapat eksudat dan
tuberkel. Eksudat yang serofibrinosa dan gelatinosa dapat menimbulkan obstruksi pada
sisterna basalis dan mengakibatkan hidrosefalus serta kelainan pada syaraf otak.
Oleh karena itu seseorang yang telah mendapat vaksinasi BCG sewaktu masih anak-
anak, masih mungkin menderita Meningitis Tuberkulosa apabila sebelum vaksinasi telah
terkena infeksi oleh bakteri mycobakterium tuberkulosa. Kuman yang tersangkut didaerah
subarachnoid ini terus hidup dan berkembang biak. Tetapi dengan adanya imunitas tubuh
kuman terkurung didaerah tuberkel, apabila oelh suatu sebab daya tahan tubuh menurun
fokus ini melebar dan pecah ke dalam rongga subarachnoid.
Disamping fokus rich pecah dapat timbul pada saat tuberkulose paru sudah
menghilang atau memang lesinya sangat kecil, sehingga tidak tampak pada pemeriksaan
radiologik. Meningitis Tuberkulosa yang timbul akibat pecahnya fokus rick biasanya timbul
secara akut, bahkan kadang-kadang dengan cepat klien jatuh ke stadium terminal. Hal ini

11
disebabkan oleh karena dngan pecahnya fokus rich, sejumlah besar kuman dari tuberkel
dalam waktu yang singkat tertuang ke dalam rongga subarachnoid.

2.6 Manifestasi Klinis Meningitis Tuberkulosis

Menurut Lincoln, manifestasi klinis dari meningitis tuberkulosis dapat


dikelompokkan dalam tiga stadium, yaitu:
1. Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal)
 Prodromal berlangsung 1 - 3 minggu.
 Biasanya gejalanya tidak khas.
 Timbul perlahan-lahan.
 Tanpa kelainan neurologis.
 Gejala yang biasa muncul:
o Demam (tidak terlalu tinggi).
o Rasa lemah.
o Nafsu makan menurun (anorexia).
o Nyeri perut.
o Sakit kepala.
o Tidur terganggu.
o Mual.
o Muntah.
o Konstipasi.
o Apatis.
o Irritable.
Pada bayi, irritable dan ubun-ubun menonjol merupakan manifestasi yang sering
ditemukan, sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan perubahan suasana hati yang

12
mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi, apatis, mungkin saja tanpa disertai demam dan
timbul kejang intermiten. Kejang bersifat umum dan didapatkan sekitar 10-15%.
Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I akan
berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung masuk ke stadium III.

2. Stadium II (stadium transisional / fase meningitik)


Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak / meningen. Ditandai oleh adanya
kelainan neurologik, akibat eksudat yang terbentuk diatas lengkung serebri. Pemeriksaan
kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+) kecuali pada bayi.

Gambar 2.2. Kaku kuduk pada penderita meningitis

Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu) di dasar
otak menyebabkan gangguan otak / batang otak. Pada fase ini, eksudat yang mengalami
organisasi akan mengakibatkan kelumpuhan saraf kranial dan hidrosefalus, gangguan
kesadaran, papiledema ringan serta adanya tuberkel di koroid. Vaskulitis menyebabkan
gangguan fokal, saraf kranial dan kadang medulla spinalis. Hemiparesis yang timbul
disebabkan karena infark/ iskemia, quadriparesis dapat terjadi akibat infark bilateral atau
edema otak yang berat.
Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala utamanya,
sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak yang lebih besar, sakit
kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya makin menurun.
Gejala yang dapat muncul, yaitu antara lain:
 Akibat rangsang meningen  sakit kepala berat dan muntah (keluhan utama).
 Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak, antara lain:
o disorientasi
o bingung
o kejang
o tremor
o hemibalismus / hemikorea

13
o hemiparesis / quadriparesis
o penurunan kesadaran
o Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial: saraf kranial yang sering
terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII
- strabismus
- diplopia
- ptosis
- reaksi pupil lambat
- gangguan penglihatan kabur

3. Stadium III (koma / fase paralitik)


Terjadi percepatan penyakit, berlangsung selama ± 2-3 minggu. Pada stadium ini
gangguan fungsi otak semakin tampak jelas. Hal ini terjadi akibat infark batang otak akibat
lesi pembuluh darah atau strangulasi oleh eksudat yang mengalami organisasi. Gejala-gejala
yang dapat timbul, antara lain:
 pernapasan irregular
 demam tinggi
 edema papil
 hiperglikemia
 kesadaran makin menurun
 irritable dan apatik
 mengantuk
 stupor
 koma
 otot ekstensor menjadi kaku dan spasme
 opistotonus
 pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali
 nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur
 hiperpireksia

Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu dengan yang
lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu sebelum pasien meninggal.
Dikatakan akut bila 3 stadium tersebut berlangsung selama 1 minggu.
Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang penyakitnya telah
berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila pengobatan terlambat atau tidak
adekuat. 6,7,8

2.7 Kriteria Diagnosis Meningitis Tuberkulosis


Diagnosis pasien ditegakan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Pasien anak laki-laki berusia 3 tahun datang dengan keluhan yang darurat yaitu
kejang bersamaan dengan demam. Demamnya tidak begitu tinggi, naik turun secara perlahan
dengan pemberian obat. Melalui anamnesa, pasien selama dirumah Pasien kejang sudah 5

14
kali, semuanya diawali pada saat demam. Pasien batuk-pilek dan mencret-mencret. Karena
kejangnya berulang orang tua pasien membawanya ke RS.
Sampai di RS, pasien mengalami kejang seluruh badan lebih dari 30 menit, dan baru
berhenti setelah diberikan fenitoin bolus dan stesolid IM. Setelah itu pasien tidak sadar dan
masuk ke dalam masa kritis. Perburukan yang dialami pasien ini hanya dalam waktu <24 jam.
dari kronologis perjalanan penyakitnya, pasien ini dikategorikan kedalam meningitis akut,dan
biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri, namun penyebab lain seperti virus belum dapat
disingkirkan mengingat riwayat pasien yang tidak pernah mendapat imunisasi. Dugaan
meningitis tuberkulosas juga harus dipikirkan, sehingga untuk memperkuat diagnosa,
dilakukan pemeriksaan penunjang.
Dari pemeriksaan hematology dapat dilihat adanya leukositosis dengan angka yang
sangat tinggi, dan pergeseran kekiri yang menunjukan adanya infeksi akut, dengan lebih
banyak jumlah polimorfonuklear dibanding dengan mononuclear.Pemeriksaan penunjang
yang terpenting yaitu Lumbal Pungsi, namun ini tidak dilakukan karena tidak didapatkan izin
dari orang tua pasien. Namun dari klinis didapatkan kecurigaan pasien adalah suspek
meningitis dan memerlukan perawatan intensif dan segera.
Pencegahan penyakit ini yaitu dengan pemberian vaksin. Beberapa vaksin,baik untuk
bakteri maupun virus telah ditemukan dan telah banyak mengurangi angka morbiditas
meningitis.
Prognosis quo ad vitam pada pasien ini malam, karena penyakit ini selalu ada
kemungkinan kearah perburukan, dan dapat mengancam jiwa penderita. Prognosis ad
functionam pasien ini malam, karena kemungkinan akan meninggalkan gejala sisa yang
sifatnya permanent. Prognosis ad sanationam pasien ini malam, karena masih ada peluang
untuk kambuh lagi jika imunitas pasien menurun, dan terdapatnya factor-faktor yang
meningkatkan transmisi agen penyebab.
Meningitis tuberkelosa mungkin sukar pada permulaan perjalananya yang
memerlukan tingkat kecurigaan yang tinggi pada pihak klinis. Uji kulit tuberculin yang tidak
reaktif pada 50% kasus, dan 20-50% anak mempunyai radiografi dada yang normal. Uji
laboratorium yang paling penting untuk mendiagnosa meningitis tuberkelosa adalah
pemeriksaan dan biakan CSS lumbal. Angka leukosit biasanya berkisar 10-500sel/m³.
leukosit polimofonuklear mungkin ada pada mulanya, tetapi limfosit dominant pada sebagian
kasus. Glukosa CSS khas <40 mg/dl, tetapi jarang dibawah 20mg/dl,. Kadar protein naik dan
mungkin sangat tinggi (400-5000 mg/dl)akibat hidrosefalus dan blockade spinal.

15
Keberhasilan pemerikasaan mikroskop CSS yang diwarnai tahan asam dan biakan
mikrobakterium terkait secara langsung dengan ukuran sample CSS. Pemeriksaan atau biakan
sejumlah kecil CSS tidak mungkin memperlihatkan M Tubercelosa. Jika 5-10 ml CSS
lumbal dapat diambil, pewarnaan tahan asam sediment CSS positif sampai 30 % kasus dan
biakan positif pada 50-70% kasus. Biakan cairan lain seperti aspirat lambung dan urin dapat
membantu memperkuat diagnosis.
Pemeriksaan radiogradi dapat membantu dalam mendiagnosa meningitistuberkulosa,
CT scan dan MRI otak penderita meningitis mungkin normal pada stadium awal penyakit.
Ketika penyakit memburuk, pembesaran basiler dan hidrosefalus komunikan dengan tanda-
tanda edem otak atau iskemia setempat awal merupakan penemuan yang paling sering.
Beberapa anak kecil dengan meningitis tuberkelosa dapat mempunyai satu atau beberapa
tuberkeloma yang tenang secara klinis, yang terjadi pada korteks serebri atau daerah
thalamus.
Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat kejang atau penurunan kesadaran
(tergantung stadium penyakit), adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis (baik yang
menunjukkan gejala, maupun yang asimptomatik), adanya gambaran klinis yang ditemukan
pada penderita (sesuai dengan stadium meningitis tuberkulosis). Pada neonatus, gejalanya
mungkin minimalis dan dapat menyerupai sepsis, berupa bayi malas minum, letargi, distress
pernafasan, ikterus, muntah, diare, hipotermia, kejang (pada 40% kasus), dan ubun-ubun
besar menonjol (pada 33,3% kasus).9
Dari pemeriksaan fisik dilihat berdasarkan stadium penyakit. Tanda rangsang
meningen seperti kaku kuduk biasanya tidak ditemukan pada anak berusia kurang dari 2
tahun. 9
Uji tuberkulin positif. Pada 40% kasus, uji tuberkulin dapat negatif. Pada anak, uji
tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis yang paling bermanfaat. Penelitian
menunjukkan bahwa efektivitas uji tuberkulin pada anak dapat mencapai 90%. Ada beberapa
cara melakukan uji tuberkulin, tetapi hingga saat ini cara mantoux lebih sering dilakukan.
Pada uji mantoux, dilakukan penyuntikan PPD (Purified Protein Derivative) dari kuman
Mycobacterium tuberculosis. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas
lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji
tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan
(indurasi) yang terjadi. 9
Pada pemeriksaan cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis (dengan
cara pungsi lumbal) didapatkan:

16
 Warna: jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan membentuk batang-batang.
Dapat juga berwarna xanhtochrom bila penyakitnya telah berlangsung lama dan ada
hambatan di medulla spinalis.
 Jumlah sel: 100 – 500 sel / μl. Mula-mula, sel polimorfonuklear dan limfosit sama
banyak jumlahnya, atau kadang-kadang sel polimorfonuklear lebih banyak
(pleositosis mononuklear). Kadang-kadang, jumlah sel pada fase akut dapat mencapai
1000 / mm3.
 Kadar protein: meningkat (dapat lebih dari 200 mg / mm 3). Hal ini menyebabkan
liquor cerebrospinalis dapat berwarna xanthochrom dan pada permukaan dapat
tampak sarang laba-laba ataupun bekuan yang menunjukkan tingginya kadar
fibrinogen.
 Kadar glukosa: biasanya menurun (liquor cerebrospinalis dikenal sebagai
hipoglikorazia. Adapun kadar glukosa normal pada liquor cerebrospinalis adalah
±60% dari kadar glukosa darah.
 Kadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun.
 Pada pewarnaan Gram dan kultur liquor cerebrospinalis dapat ditemukan kuman.
Untuk mendapatkan hasil positif, dianjurkan untuk melakukan pungsi lumbal selama
3 hari berturut-turut. Terapi dapat langsung diberikan tanpa menunggu hasil
pemeriksaan pungsi lumbal kedua dan ketiga.
 Dari pemeriksaan radiologi:
 Foto toraks : dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis.
 Pemeriksaan EEG (electroencephalography) menunjukkan kelainan kira-kira
pada 80% kasus berupa kelainan difus atau fokal.
 CT-scan kepala : dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah
basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus.
 Gambaran dari pemeriksaan CT-scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging)
kepala pada pasien meningitis tuberkulosis adalah normal pada awal penyakit.
Seiring berkembangnya penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah
enhancement di daerah basal, tampak hidrosefalus komunikans yang disertai
dengan tanda-tanda edema otak atau iskemia fokal yang masih dini. Selain itu,
dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah korteks
serebri atau talamus.

2.8 Pemeriksaan Penunjang Meningitis Tuberkulosis


Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:
 Darah lengkap
 Uji tuberculin
17
 Radiologi
 Pungsi cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis (dengan cara pungsi
lumbal)
Telah diketahui bahwa pemeriksaan CSS memiliki peran yang sangat penting dalam
menegakkan diagnosis meningoensefalitis. Pungsi lumbal tidak perlu dilakukan bila penderita
dengan meningitis bakterialis beresons baik terhadap pengobatan. Pungsi lumbal dilakukan
dengan cara menusukkan jarum ke dalam kanalis spinalis. Dinamakan pungsi lumbal karena
jarum memasuki daerah lumbal (tulang punggung bagian bawah). Dalam pemeriksaan
serebrospinal. Dalam pemeriksaan biokimia dan sitologi maka CSS pada penderita dengan
meningoensefalitis akan ditemukan cairan yang jernih dan agak pekat, jaringan protein akan
terlihat setelah proses pengendapan. CSS hemoragik dapat ditemukan pada meningitis TB
yang mengalami vaskulitis. Adanya gambaran yang khas yang disebut dengan “pelikel” ,
yakni hasil dari tingginya konsentrasi fibrinogen dalam cairan disertai dengan sel sel
proinflamatori. Tekanan pembuka pada waktu memasukkan jarum spinal meningkat sampai
50%, pada meningitis TB kadar glukosa dalam CSS rendah namun mengandung protein yang
tinggi nilai glukosa mendekati 40 mg/dl., protein dapat berkisar antara 150-200 mg/dl.3,4

18
2.9 Pengobatan Meningitis Tuberkulosis
Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk kemoterapi
yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan tekanan intrakranial.
Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke arah meningitis
tuberkulosis. 6,7,8,9 Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yakni:
Tata laksana pada penderita meningitis, yaitu dengan:a. pemberien antibiotic,
walaupun belum diketahui Kausanya. b. Atasi adanya peningkatan Tekanan Intracranial. c.
Pengobatan simtomatis. 1. Menghentikan kejang: dengan Diazepam 0,2-0,5
mg/KgBB/dosis IV atau 0,4-0,6 mg/KgBB/dosis rectal suppositoria. Phenytoin 5
mg/KgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau Phenobarbital 5-7 mg/Kg/hari IM/PO dibagi
dalam 3 dosis. 2. Menurunkan panas: Antipiretika: Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO
atau Ibuprofen 5-10 mg/KgBB/dosis PO diberikan 3-4 kali sehari, Kompres air hangat/biasa
dan Pengobatan suportif: Cairan intravena dan Oksigen. Usahakan agar konsentrasi O 2
berkisar antara 30-50%.
Bila penderita tidak sadar lama: Beri makanan melalui sonde, cegah dekubitus dan
pnemonia ortostatik dengan merubah posisi penderita sesering mungkin, minimal ke kiri dan
ke kanan setiap 6 jam, Cegah kekeringan kornea dengan boorwater/salep antibiotika, Bila
mengalami inkontinensia urin lakukan pemasangan kateter, Bila mengalami inkontinensia
alvi lakukan lavement, Pemantauan ketat:Tekanan darah,Pernafasan,Nadi,Produksi air kemih,
Faal hemostasis untuk mengetahui secara dini ada DIC.
Dan setelah pasien membaik dan mulai sadar, dilakukan fisioterapi dan rehabilitasi,
karena angka kecacatan pada penderita meningitis sangat tinggi. Bila pasien mengalami
hipertoni otot, maka akan mempunyai resiko kontraktur, diperlukan edukasi dan kerjasama
yang baik antara orang tua dengan dokter.
Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yakni
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol. Terapi dilanjutkan dengan 2
obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan rifampisin hingga 12 bulan.
Terapi untuk meningitis terbagi menjadi terapi umum dan terapi khusus, yaitu:
 Terapi Umum
 Istirahat mutlak, bila perlu diberikan perawatan intensif
 Pemberian gizi tinggi kalori tinggi protein
 Posisi penderita dijaga agar tidak terjadi dekubitus.
 Keseimbangan cairan tubuh
 Perawatan kandung kemih dan defekasi
 Mengatasi gejala demam, kejang.
 Terapi Khusus
a. Penatalaksanaan meningitis serosa meliputi:
19
 Rejimen terapi : 2RHZE - 7RH
Untuk 2 bulan pertama.
 INH : 1 x 400 mg/hari, oral
 Rifampisin : 1 x 600 mg/hari, oral
 Pirazinamid : 15-30 mg/kgBB/hari, oral
 Etambutol :15-20 mg/kgBB/hari, oral
Untuk 7-12 bulan selanjutnya.
 INH : 1 x 400 mg/hari, oral
 Rifampisin : 1 x 600 mg/hari, oral
Steroid, diberikan untuk :
 Menghambat reaksi inflamasi
 Mencegah komplikasi infeksi
 Menurunkan edem cerebri
 Mencegah perlengketan arachnoid dan otak
 Mencegah arteritis/ infark otak
Indikasi :
 Kesadaran menurun
 Defisit neurologi fokal
Dosis : Dosis Dexametason 10 mg bolus intravena, kemudian 4-5 mg intravena
selama 2-3 minggu, selanjutnya turunkan perlahan selama 1 bulan.

b. Penatalaksanaan meningitis Purulenta


Pemberian antibiotika harus cepat dan tepat sesuai dengan bakteri penyebabnya dan
dalam dosis yang cukup tinggi. Sambil menunggu hasil biakan sebaiknya diberikan
antibiotika dengan spektrum luas. Antibiotika diberikan selama 10-14 hari atau
sekurang-kurangnya 7 hari setelah bebas demam.
 Penisilin G dosis 1-2 juta unit setiap 2 jam untuk infeksi Pneumococcus,
Streptococcus, Meningiococcus.
 Kloramphenicol dosis 4 x 1 g/hari atau ampisilin 4 x 3 g/hari untuk infeksi
Haemophilus.
 Gentamisin untuk infeksi E.coli. Klebsiella, Proteus, dan kuman-kuman gram negatif.

20
21
2.10 Komplikasi Meningitis Tuberkulosis
Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala sisa
neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia, dan
gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak, nistagmus,
ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas. Komplikasi pada mata dapat
berupa atrofi optik dan kebutaan. Gangguan pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh
obat streptomisin atau oleh penyakitnya sendiri. Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira
2/3 pasien yang hidup. Pada pasien ini biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan
dengan kelainan neurologis menetap seperti kejang dan mental subnormal. Kalsifikasi
intrakranial terjadi pada kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang sembuh
mempunyai kelainan kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi prekoks seksual,
hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon pertumbuhan, kortikotropin dan
gonadotropin. 6

2.11 Prognosis Meningitis Tuberkulosis


Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien didiagnosis dan
diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya. Apabila tidak
diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis dapat meninggal dunia. Prognosis juga
tergantung pada umur pasien. Pasien yang berumur kurang dari 3 tahun mempunyai
prognosis yang lebih buruk daripada pasien yang lebih tua usianya. 6

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini merupakan salah satu
bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru. Tuberkulosis yang
menyerang SSP (sistem saraf pusat) ditemukan dalam tiga bentuk yaitu meningitis,
22
tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya sering ditemukan di negara endemis TB,
dengan kasus terbanyak adalah meningitis tuberkulosis.
Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena morbiditas
tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat saja menyerang semua usia, termasuk
bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi
dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur
dibawah 6 bulan, dan hampir tidak pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan.
Meningitis TB terjadi akibat penyebaran infeksi secara hematogen ke meningen.
Penyebaran secara hematogen dapat juga terjadi pada TB kronik, tetapi keadaan ini jarang
ditemukan. Selanjutnya meningitis terjadi akibat terlepasnya basil dan antigen TB dari fokus
kaseosa (lesi permulaan di otak) akibat trauma atau proses imunologik, langsung masuk ke
ruang subarakhnoid.
Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk kemoterapi
yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan tekanan intrakranial.
Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke arah meningitis
tuberkulosis. Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala
sisa neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia, dan
gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak, nistagmus,
ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas.
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien didiagnosis dan
diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya. Apabila tidak
diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis dapat meninggal dunia. Prognosis juga
tergantung pada umur pasien. Pasien yang berumur kurang dari 3 tahun mempunyai
prognosis yang lebih buruk daripada pasien yang lebih tua usianya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer, A. Meningitis Tuberkulosis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran Edisi


ketiga. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : 2000.
h.11
2. Balentine, J. Encephalitis and Meningitis. 2010. Available in : www.emedicine.com
3. Tunkel, A. Practice Guidelines for the Management of Bacterial Meningitis. Clinical
Infectious Disease. Infectious Disease Society of America. Phyladelpia. 2004.
4. Razonable, R. Meningitis Overview. Mayo Clinic College of Medicine. 2009.
available in : www.medscapeemedicine.com/meningitis.

23
5. Schossberg, D. Infections of the Nervous System. Springer Verlag. Philladelphia,
Pennsylvania. 2006.
6. Tsumoto, S. Guide to Meningoencephalitis Diagnosis. JSAI KKD Chalenge 2001.
7. Koppel BS. 2009. Bacterial, Fungal, and Parasitic Infections of the Nervous System in
Current Diagnosis and Treatment Neurology. USA; The McGraw-Hill Companies.
p403-408, p421-423.
8. Kemenkes RI. 2009. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB). Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 364/Menkes/SK/V/2009.
9. Depkes RI. 2006. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB). Gerakan Terpadu
Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
10. Scheld, M. 2009. Infection of the Central Nervous System third edition. Lippincot
William and Wilkins. p. 443.
11. Crofton, J., Horne, N., Miller, F et all. 2008. Clinical Tuberculosis 2th edition.
IUATLD. MacMillan Education Ltd. London. p. 160.
12. Mahar Mardjono, Priguna Sidharta, Neurologi Klinis Dasar, cetakan ke-6, Dian
Rakyat, Jakarta
13. Meningitis. Dr. ISKANDAR JAPARDI Fakultas Kedokteran Bagian BedahUniversitas
Sumatera Utara.
14. Meningitis Kronik. Available from:
http://medicastore.com/penyakit/335/Meningitis_Kronis.html. visited at May 14th
2018.

24

Anda mungkin juga menyukai