Anda di halaman 1dari 31

REFERAT ILMU KESEHATAN MATA

KERATITIS

Disusun oleh :
Arie Setyawan 17710110

PEMBIMBING :
dr. M. Tauhid Rafi’i, Sp.M
dr. Pinky Endriana Heliasanty, Sp.M
dr. Miftakhur Rochmah, Sp.M

SMF ILMU KESEHATAN MATA RSUD SIDOARJO


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah dan

rahmat-Nya, sehingga dapat diselesaikannya penulisan referat dengan judul “ Keratitis”. Referat

ini diuat sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik SMF Ilmu Kesehatan Mata di RSUD

Sidoarjo.

Penulis ucapkan terimakasih kepada :

1. dr. M. Tauhid Rafi’i, Sp. M selaku kepala SMF Ilmu Kesehatan Mata RSUD Sidoarjo

2. dr. Pinky Endriana Heliasanty, Sp. M selaku pembimbing di SMF Ilmu Kesehatan Mata

RSUD Sidoarjo

3. dr. Miftakhur Rochmah, Sp. M selaku pembimbing di SMF Ilmu Kesehatan Mata RSUD

Sidoarjo

4. Para perawat dan staf di SMF Ilmu Kesehatan Mata RSUD Sidoarjo

5. Rekan-rekan dokter muda yang penulis banggakan.

Penulis menyadari referat ini masih jauh dari sempurna, sehingga kami mohon masukan

kritik dan sarannya. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi pembimbing dan teman dokter muda

sekalian.

Sidoarjo, Desember 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1


A. Latar Belakang......................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 2


A. Anatomi dan Histologi Kornea .................................................. 2
B. Fisiologis Kornea ..................................................................... 4

C. Definisi Keratitis ...................................................................... 5

D. Etiologi Keratitis ....................................................................... 5

E. Epidemiologi ............................................................................. 6

F. Patofisiologi Keratitis ................................................................ 7

G. Klasifikasi Keratitis.................................................................... 8

1. Berdasarkan Tempatnya .......................................................... 8

2. Berdasarkan Penyebab ............................................................ 10

H. Penatalaksanaan ......................................................................... 19

I. Komplikasi ................................................................................... 25

BAB III LAPORAN KASUS ...................................................................... 27

BAB IV KESIMPULAN ............................................................................... 31

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 32

1
BAB I
PENDAHULUAN

Keratitis merupakan suatu proses peradangan kornea yang dapat bersifat akut
maupun kronis yang disebabkan oleh berbagai faktor antara lain bakteri, jamur, virus atau
karena alergi-imunologi. Keratitis dapat dibagi menjadi beberapa golongan berdasarkan
kedalaman lesi pada kornea (tempatnya), penyebab dan bentuk klinisnya.1,2
Berdasarkan tempatnya keratitis secara garis besar dapat dibagi menjadi keratitis
pungtata superfisialis, keratitis marginal dan keratitis interstitial. Berdasarkan penyebabnya
keratitis digolongkan menjadi keratitis bakterialis, keratitis fungal, keratitis viral, keratitis
akibat alergi. Kemudian berdasarkan bentuk klinisnya dapat dibagi menjadi keratitis sika,
keratitis flikten, keratitis nurmularis dan keratitis neuroparalitik.3
Variasi geografi yang luas dari epidemiologi keratitis bakteri dipengaruhi oleh faktor
ekonomi dan iklim. Keratitis jamur terhitung sebanyak 50% dari seluruh kasus dari kultur
keratitis di beberapa negara berkembang.
Gejala umum keratitis adalah visus turun perlahan, mata merah, rasa silau, dan merasa
ada benda asing di matanya. Gejala khususnya tergantung dari jenis-jenis keratitis yang
diderita oleh pasien. Gambaran klinik masing-masing keratitis pun berbeda-beda tergantung
dari jenis penyebab dan tingkat kedalaman yang terjadi di kornea, jika keratitis tidak ditangani
dengan benar maka penyakit ini akan berkembang menjadi suatu ulkus yang dapat merusak
kornea secara permanen sehingga akan menyebabkan gangguan penglihatan bahkan dapat
sampai menyebabkan kebutaan sehingga pengobatan keratitis haruslah cepat dan tepat agar
tidak menimbulkan komplikasi yang merugikan di masa yang akan datang terutama pada
pasien yang masih muda.1,2,3

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Histologi Kornea


Kornea (dalam bahasa latin, cornum = seperti tanduk) merupakan jaringan
transparan dan avaskuler yang membentuk permukaan anterior bola mata dengan ukuran
diameter horizontal 11-12 mm, diameter vertikal 10-11 mm, tebal bagian sentral kornea
mencapai 0,5 mm, sedangkan semakin ke perifer semakin tebal mencapai 1 mm. Bila ukuran
diameter lebih dari 12 mm disebut makrokornea, bila ukuran diameter kurang dari 12 mm
disebut mikrokornea. Sifat kornea yang avaskuler membuat kornea mendapat supply nutrisi
dari jaringan disekitarnya yaitu humor akuos melalui proses difusi, difusi dari film air mata
dan limbus yang kaya pembuluh darah. Sumber nutrisi utama kornea adalah glukosa dan
oksigen dari atmosfer. Kornea merupakan jaringan dengan serabut saraf sensorik terbanyak
(300-400 serabut saraf) dimana dipersarafi oleh cabang pertama nervus kranialis V
(trigeminus).

Sumber : American Academy of Ophthalmology, 2013.

Gambar 2.1a Anatomi Mata

3
Secara histologi, struktur kornea terdiri dari lima lapisan yaitu epitel, membrana

bowman, stroma, membrana descemet dan endotel. Epitel kornea memiliki ketebalan 50-

60 µm atau 5% dari total ketebalan kornea dan terdiri atas lima lapisan sel epitel tidak

bertanduk yang saling tumpang tindih; satu sel lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.

Epitel dan film air mata merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan. Epitel

memiliki daya regenerasi. Membran Bowman merupakan lapisan yang jernih dan aseluler

yang terletak dibawah membrane basal dari dibentuk oleh serat kolagen dan merupakan

modifikasi dari bagian anterior stroma dengan ketebalan 8-14 µm. Lapisan ini tidak dapat

mengalami regenerasi dan akan digantikan oleh jaringan parut bila terjadi trauma. Stroma

menyusun 90% dari seluruh ketebalan kornea. Bagian ini tersusun atas jalinan lamella

serat-serat kolagen dengan lebar sekitar 10-250 µm dan tinggi 1-2 µm yang mencakup

hampir seluruh diameter kornea. Lamella ini berjalan sejajar dengan permukaan kornea

dan karena ukuran dan kerapatannya menjadi jernih secara optis. Lamella terletak di dalam

suatu zat dasar proteoglikan terhidrasi bersama keratosit yang menghasilkan kolagen dan

zat dasar. Membran Descemet merupakan lamina basalis sel-sel endotel kornea. Membran

descemet ini merupakan lapisan terkuat yang tidak mudah ditembus oleh mikroorganisme

ataupun trauma daripada bagian kornea lainnya dan bersifat sangat elastis serta

berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40 µm. Endotel kornea merupakan

lapisan paling dalam dari kornea. Lapisan ini berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis

sel berbentuk heksagonal yang sel-selnya tidak dapat membelah, besar 20-40 µm. Endotel

mempunyai pengaruh yang besar dalam mempertahankan transparansi kornea. Endotel

4
cukup rentan terhadap trauma dan kehilangan sel-selnya seriring dengan penuaan. Endotel

tidak mempunyai daya regenerasi. (Eroschenko, 2010).

Sumber :
Eroschenko, Victor P.
2010.
Gambar
2.1b Histologi Lapisan
Kornea Mata

B. Fisiologi Kornea
Kornea berfungsi sebagai membran protektif dan “jendela” yang dilalui oleh berkas cahaya
saat menuju retina. Selain itu, fungsi kornea sebagai media refraksi yang memberikan kontribusi 74%
atau dapat membiaskan cahaya mencapai + 43,25 Dioptri dari total 58,60 kekuatan Dioptri mata
manusia. Sifat transparansi kornea disebabkan oleh strukturnya yang uniform, avaskularitas dan
deturgesens. Sifat deturgesens dijaga dengan pompa bikarbonat aktif dari endotel dan fungsi
barbier dari epitel dan endotel. Endotel kornea memiliki dua fungsi utama. Pertama, sebagai
jalur untuk penyerapan nutrisi kornea dan pembuangan sisa metabolisme melalui difusi dan
mekanisme transport aktif. Kedua, mengatur hidrasi kornea dan mempertahankan
transparansi kornea. Fungsi endotel ini dilakukan karena adanya pompa metabolik aktif di
endotel kornea. Sedikitnya terdapat tiga sistem transport ion yang telah teridentifikasi antara
lain, pompa sodium-potasium yang menggerakkan ion sodium keluar dari sel dan bergantung
pada enzim Na+ ,K+ -ATPase; pompa sodium-hidrogen yang menggerakkan ion sodium ke
dalam sel; pompa bikarbonat yang mengangkut ion bikarbonat dari kornea ke humor akuos.
Pompa-pompa transport ion ini bekerja sama untuk mempertahankan transparansi kornea

5
Transparansi kornea tergantung pada terjaganya kadar air pada stroma kornea sekitar 78%.
Ketika fungsi endotel ini terganggu, maka humor akuos akan berdifusi masuk ke stroma
kornea dan menyebabkan edema kornea. Sedangkan kerusakan pada epitel biasanya hanya
menyebabkan edema lokal sesaat pada stroma kornea yang akan menghilang dengan
regenerasi sel-sel epitel yang cepat (Vaughan, 2010).

C. Definisi Keratitis
Keratitis adalah infeksi pada lapisan kornea. Peradangan tersebut dapat terjadi di
epitel, membrana bowman, stroma, membrana descemet atau endotel, yang biasanya
diklasifikasikan menurut lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila
mengenai lapisan epitel atau membrana bowman dan keratitis profunda atau interstisialis.
Keratitis superifisialis bagian epitel yang mengenai kornea di depan membrana bowman
memberikan hasil positif pada uji fluoresein dan uji plasido, sedangkan pada bagian subepitel
memberikan hasil negatif pada uji fuoresein dan positif pada uji plasido. Pada keratitis
profunda/interstisialis yang letaknya di dalam stroma kornea memberikan hasil negatif pada
uji fluoresein dan uji plasido.
Kecurigaan akan adanya keratitis pada pasien dapat timbul pada pasien yang datang
dengan trias keluhan keratitis yaitu gejala mata merah, rasa silau (fotofobia) dan merasa
kelilipan (blefarospasma), dapat disertai dengan keluhan lain seperti pandangan kabur dan
air mata berlebihan (epifora). (Ilyas & Rahayu, 2014).

D. Etiologi Keratitis
Penyebab tersering keratitis yaitu bakteri, virus dan jamur. Selain itu penyebab lain
yang merupakan faktor predisposisi adalah kekeringan pada mata disebabkan oleh kelopak
mata robek atau tidak cukupnya pembentukan air mata, pajanan terhadap cahaya yang sangat
terang, benda asing yang masuk ke mata, reaksi alergi atau mata yang terlalu sensitif terhadap
kosmetik mata, debu, polusi atau bahan iritatif lain, trauma, penggunaan lensa kontak yang
kurang baik, pemakaian steroid topikal yang tidak terkontrol.

E. Epidemiologi Keratitis

6
Variasi geografi yang luas dari epidemiologi keratitis bakteri dipengaruhi oleh
faktor ekonomi dan iklim. Keratitis jamur terhitung sebanyak 50% dari seluruh kasus dari
kultur keratitis di beberapa negara berkembang. Penelitian yang dilakukan oleh Marlon M.
Ibrahim dkk menunjukkan bahwa angka kejadian keratitis bakteri di Banglades 82%, India
68,4%, dan yang terendah yaitu di Taiwan 40%. Fusarium sp merupakan penyebab keratitis
jamur paling umum di Florida, Nigeria, Tanzania, dan Singapura. Spesies Aspergillus lebih
banyak ditemukan di India bagian utara, Nepal, dan Banglades. Di India dan Nepal,
Steptococcus pneumoniae merupakan bakteri patogen yang lebih dominan. Sedangkan
Pseudomonas sp merupakan spesies bakteri yang lebih banyak ditemukan dalam penelitian
di Banglades, Hongkong dan Paraguai.
Perbedaan tersebut dipegaruhi oleh faktor ikim dan lingkungan. Keratitis jamur dan
keratitis bakteri lebih sering terjadi pada musim semi. Hal ini berhubungan dengan
peningkatan aktivitas agrikultur dan/ atau peningkatan proliferasi dari agen patogen pada
periode tersebut. Faktor predisposisi keratitis bakteri yang sering di Brazil adalah taruma,
khususnya taruma pada kornea. Penelitian Marlon M. Ibrahim dkk menunjukkan bahwa
iklim, lingkungan tempat tinggal mempengaruhi karakteristik dari keratitis bakteri (Ibrahim
& Vanini, 2011).
Menurut Murillo Lopez, sekitar 25.00 orang Amerika terkena keratitits bakteri per
tahun. Kejadian keratitis bakteri bervariasi, dengan lebih sedikit pada negara negara industri
yang secara signifikan lebih sedikit memiliki jumlah pengguna lensa kontak. Insiden keratitis
jamur bervariasi sesuai dengan lokasi geografis dan berkisar 2% dari kasus keratitis di New
York dan 35% di Florida. Spesies Fusarium merupakan penyebab paling umum dari infeksi
jamur kornea di Amerika Serikat bagian selatan (45-76% dari keratitis jamur). Sedangkan
spesies Candida dan Aspergillus lebih umum di negara negara utara. Secara signifikan lebih
sedikit yang berkaitan dengan infeksi lensa kontak (Reed, 2007).

F. Patofisiologi Keratitis
Epitel merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme ke
dalam kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, struma yang avaskuler dan lapisan
bowman menjadi mudah untuk mengalami infeksi dengan organisme yang bervariasi,
termasuk bakteri, amoeba dan jamur. Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu

7
peradangan tidak segera datang seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak
vaskularisasi. Maka badan kornea, sel-sel dalam stroma kornea segera bekerja sebagai
makrofag, kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat di limbus dan
tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel
mononuclear, sel plasma, leukosit poli morfonuklear (PMN) yang mengakibatkan timbulnya
infiltrat yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan
permukaan tidak licin yang merupakan tanda adanya keratitis baik pada epitel atau sub epitel.
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea baik
superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit
diperberat dengan adanya gesekan palpebra terutama palpebra superior dan menetap sampai
sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris yang meradang dapat menimbulkan
fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada dilatasi pada pembuluh iris.

G. Klasifikasi Keratitis
1. Keratitis Berdasarkan Tempatnya :
a) Keratitis Pungtata
Keratitis yang terkumpul di daerah membrana Bowman, dengan infiltrat
berbentuk bercak halus. Penyebabnya tidak spesifik dan dapat terjadi pada
moluskum kontangiosum, akne sosasea, herpes simpleks, herpes zoster, blefaritis
neuroparalitik, infeksi virus, vaksinia, trakoma dan trauma radiasi, dry eyes,
trauma, lagoftalmus, keracunan obat (neomisin, tobramisin). Keratitis pungtata
biasanya terdapat bilateral dan berjalan kronis tanpa terlihatnya gejala kelainan
konjungtiva atau tanda akut yang biasanya terjadi pada dewasa muda. Keratitis
pungtata superfisial memberikan gambaran infiltrat titik-titik dan halus pada
permukaan kornea dan berwarna hijau bila dilakukan uji fluoresein. Gejala klinis
pada pasien yaitu mata merah, terasa kelilipan, sakit, silau. Terapi yang diberikan
air mata buatan, tobramisin tetes mata dan siklopegik. Keratitis pungtata subepitel
yaitu keratitis yang terkumpul di membrana bowman, biasanya didapatkan bilateral
dan berjalan kronis tanpa terlihatnya gejala kelainan konjungtiva atau tanda akut
yang biasanya terjadi pada dewasa muda ((Ilyas & Rahayu, 2014)

8
Gambar 1) Keratitis Pungtata
b) Keratitis Marginal
Infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan limbus. Pasien akan
mengeluh sakit seperti kelilipan, lakrimasi, disertai fotofobia berat, blefarospasme
pada satu mata, injeksi konjungtiva, infiltrat atau ulkus memanjang, dangkal
unilateral dapat tunggal atau multiple, sering terjadi neovaskularisasi dari arah
limbus. Terapi yang diberikan antibiotik sesuai infeksi lokalnya dan steroid dosis
ringan, serta vitamin B dan C dosis tinggi.

Gambar 2) Keratitis Marginal


c) Keratitis Interstisial
Keratitis non supuratif profunda disertai neovaskularisasi disebut juga
Keratitis Parenkimatosa. Pasien mengeluh fotofobia, lakrimasi dan menurunnya
visus. Keluhan akan bertahan seumur hidup. Seluruh kornea keruh sehingga iris
sukar dilihat. Permukaan kornea seperti permukaan kaca. Terdapat injeksi siliar
disertai serbukan pembuluh ke dalam sehingga memberi gambaran merah kusam
yang disebut “Salmon Patch” dari Hutchinson. Seluruh kornea dapat berwarna
merah cerah. Keratitis disebabkan sifilis kogenital atau bisa juga oleh tuberkulosis,

9
trauma. Pengobatan tergantung penyebabnya, diberikan juga Sulfas Atropin tetes
mata untuk mencegah sinekia akibat uveitis dan kortikosteroid tetes mata.

Gambar 3) Katarak Interstisial dengan sifilis kongenital


2. Keratitis Berdasarkan Penyebabnya :
1) Keratitis Bakterial
Penyebab : Staphylococcus, Streptococcus, Pseudomonas dan Enterobakteriacea.
Faktor Predisposisi : Pemakaian kontak lens, trauma, kontaminasi obat tetes.
Pengobatan : Batang gram (-) : Tobramisin, Ceftazidime, Fluoroquionolone.
Batang gram (+) : Cefazoline, Vancomycin, Moxifloxacin/Gatofloxacin. Kokus
Gram (-) : Ceftazidime, Moxifloxacin/Gatofloxacin.

Gambar 1) Keratitis Bakterial

10
2) Keratitis Jamur
Penyebab : trauma kornea oleh ranting pohon, daun dan bagian tumbuhan, efek
samping pemakaian antibiotik dn kortikosteroid yang tidak tepat. Keluhan timbul
setelah 3 minggu kemudian.
Keluhan sakit mata hebat, berair dan silau. Pada mata terlihat infiltrat berhifa dan
satelit bila terletak didalam stroma, disertai cincin endotel dengan plaque
bercabang-cabang dengan endotelium plaque, gambaran satelit pada kornea dan
lipatan Descemet. Pengobatan : Natamisin 5% setiap 1-2 jam saat bangun untuk
keratitis jamur filamentosa seperti miconazole, amphoterisin, nistatin dan lain-lain
dan sikloplegik disertai obat oral anti glaukoma jika disertai peningkatan tekanan
intraokular. Keratoplasti jika tidak ada perbaikan.

Gambar 2) Keratitis Jamur

3) Keratitis Virus
Jenis Keratitis Virus: Keratitis herpetik, Keratitis dendritik, Keratitis Disformis,
Infeksi Herpes Zoster, Keratokonjuntivitis Epidemi.
a) Keratitis Herpetik
Disebabkan herpes simpleks dan herpes zoster. Keratitis karena Herpes
Simpleks dibagi 2 bentuk :
Epitelial adalah Keratitis dendritik. Pada epitelial terjadi pembelahan virus
di dalam sel epitel yang mengakibatkan kerusakan sel dan membentuk tukak
kornea superfisial. Pengobatan : pada pembelahan virus.

11
Stromal adalah Keratitis diskiformis. Pada Stromal diakibat reaksi
imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang. Antigen (virus) dan antibodi
(tubuh pasien) bereaksi di dalam stroma kornea dan menarik sel leukosit dan sel
radang lainnya. Sel ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak antigen
(virus) yang juga merusak jaringan stromal di sekitarnya. Pengobatan : pada
virus dan reaksi radangnya. Biasanya infeksi Herpes Simpleks berupa campuran
antara Epitelial dan Stromal.
Pengobatan: IDU (Iodo 2 dioxyuridine). Murah, kerja tidak stabil, bekerja
menghambat sintesis DNA virus dan manusia sehingga toksik untuk epitel
normal dan tidak boleh digunakan lebih dari 2 minggu. Bentuk : larutan 1%
diberikan setiap jam. Salep 0,5% diberikan setiap 4 jam. Vibrabin sama dengan
IDU, hanya ada dalam bentuk salep. Trifluorotimidin (TFT) sama dengan IDU,
diberikan 1% setiap 4 jam. Acyclovir bersifat selektif terhadap sintesis DNA
virus. Bentuk salep 3% diberikan setiap 4 jam. Efektif dengan Efek samping
kurang.

Gambar Keratitis Herpetik


b) Keratitis Dendritik
Merupakan Keratitis Superfisial yang membentuk garis infiltrate pada
permukaan kornea kemudian membentuk cabang.
Disebabkan oleh virus Herpes Simpleks.
Gejala : Fotofobia, kelilipan, tajam penglihatan menurun, konjungtiva
hiperemia disertai sensibilitas kornea yang hipestesia. Karena gejala ringan,
pasien terlambat berkonsultasi.
Dapat menjadi tukak kornea

12
Pengobatan : Dapat sembuh spontan. Dapat juga diberikan antivirus (IDU
0,1% salep tiap 1 jam atau Asiklovir) dan sikloplegik dan antibiotik dengan
bebat tekan.

Gambar Keratitis Dendritik


c) Keratitis Disiformis
Merupakan keratitis yang membentuk kekeruhan infiltrat yang bulat atau
lonjong di dalam jaringan kornea.
Penyebab: Infeksi virus Herpes Simpleks. Merupakan reaksi alergi atau
imunologik terhadap virus Herpes Simpleks pada permukaan kornea.

d) Infeksi Herpes Zoster


Merupakan keratitis vesikular karena infeksi Herpes Zoster di mata.
Biasanya pada usia lanjut. Gejalanya rasa sakit di daerah yang terkena, badan
terasa hangat, merah dan penglihatan berkurang. Pada kelopak terlihat vesikel
dan infiltrat pada kornea. Vesikel juga tersebar pada dermatom yang dipersarafi
saraf Trigeminus, progresif dan tidak melewati garis meridian. Pengobatan tidak
spesifik, hanya simptomatik Bisa dengan Asiklovir dan pada usia lanjut
13
diberikan Steroid. Penyulit berupa Uveitis, Parese otot penggerak mata,
Glaukoma dan Neuritis Optik.

Gambar Infeksi Herpes Zoster


e) Keratokonjungtivitis Epidemi
Merupakan keratitis akibat reaksi peradangan kornea dan konjungtiva yang
disebabkan adenovirus tipe 8. Biasanya unilateral, suatu epidemi. Gejalanya
demam, gangguan nafas, penglihatan menurun, merasa ada benda asing,bberair,
kadang nyeri. Pada mata berupa edema kelopak dan folikel konjungtiva,
pseudomembran pada konjungtiva tarsal yang membentuk jaringan parut, pada
kornea terdapat Keratitis Pungtata pada minggu pertama. Kelenjar preaurikel
membesar. Kekeruhan subepitel kornea menghilang sesudah 2 bulan sampai 3
tahun / lebih. Pengobatan : Pada yang akut : kompres dingin, cairan air mata dan
supportif lainnya. Jika terjadi penurunan visus berat dapat diberikan Steroid tetes
mata 3 kali per hari.

Gambar Keratokonjungtivitis Epidemi


f) Keratitis Dimmer / Keratitis Numularis

14
Merupakan keratitis numularis dengan infiltrate berkelompok dan tepi berbatas
tegas. Keratitis berjalan lambat dan sering unilateral.
g) Keratitis Filamentosa
Merupakan keratitis yang disertai filamen mukoid dan deskuamasi sel epitel
pada permukaan kornea. Penyebab tidak diketahui. Disertai penyakit lain seperti
keratokonjungtivitis sika, sarkoidosis, trakoma, pempigoid okular, pemakaian
lensa kontak, edema kornea, keratokonjuntivitis limbik superior DM, trauma
dasar otak dan pemakaian antihistamin. Ditemukan pada dry eyes, DM, Post op
Katarak, keracunan kornea oleh zat tertentu.
Gambaran : filamen mempunyai dasar bentuk segitiga yang menarik epitel,
epitel pada filamen terlihat tidak melekat pada epitel kornea. Di dekat filamen
terdapat defek filamen dan kekeruhan epitel berwarna abu abu.
Gejala : rasa kelilipan, sakit, silau, blefarospasme dan epiforia. Mata merah dan
terdapat defek kornea. Pengobatan : larutan hipertonik NaCl 5%, air mata
hipertonik. Mengangkat filamen dan memasang lensa kontak lembek.

Gambar Keratitis Filamentosa


4) Keratitis Alergi
a) Keratokonjungtivitis Flikten
Merupakan radang kornea dan konjungtiva sebagai suatu reaksi imun yang
mungkin sel mediated pada jaringan yang sudah sensitif terhadap antigen. Gejala
: Terdapat flikten pada kornea berupa benjolan berbatas tegas berwarna putih
keabuan dengan atau tanpa neovaskularisasi menuju ke arah benjolan tersebut.
Bilateral, pada limbus tampak benjolan putih kemerahan dikelilingi konjungtiva
hiperemis. Terdapat papul dan pustula pada kornea dan konjungtiva. Lakrimasi

15
dan fotofobia disertai rasa sakit. Hiperemis konjungtiva, menebalnya epitel
kornea, perasaan panas disertai gatal dan tajam penglihatan berkurang.
Pengobatan : Pemberian steroid.
b) Tukak atau ulkus fliktenular
Tukak Flikten berbentuk benjolan abu abu terlihat sebagai : Ulkus Fasikular
(ulkus menjalar melintas kornea dengan pembuluh darah di belakangnya),
Flikten multiple di sekitar limbus, Ulkus Cincin merupakan gabungan ulkus.
Pengobatan : Steroid. Flikten menghilang tanpa bekas, tetapi jika terjadi ulkus
akibat infeksi sekunder maka akan menjadi parut kornea.
c) Keratitis fasikularis
Keratitis dengan pembentukan pita pembuluh darah yang menjalar dari
limbus ke arah kornea. Berupa tukak kornea akibat flikten yang berjalan
membawa jalur pembuluh darah baru sepanjang permukaan kornea.
d) Keratokonjungtivitis vernal
Merupakan Peradangan tarsus dan konjungtiva yang rekuren. Muncul pada
musim panas, anak laki laki lebih sering terkena dibanding perempuan. Gejala :
Gatal, disertai riwayat alergi, blefarospasme, fotofobia, penglihatan buram, dan
kotoran mata serat-serat. Hipertrofi papil kadang berbentuk cobble stone pada
kelopak atas dan konjungtiva daerah limbus. Pengobatan : obat topikal
antihistamin dan kompres dingin.
5) Keratitis Lagoftalmus
Keratitis yang terjadi akibat lagoftalmus dimana kelopak mata tidak bisa menutup
dengan sempurna sehingga menyebabkan kekeringan pada kornea dan konjungtiva
sehingga rentan terkena infeksi. Lagoftalmus dapat disebabkan tarikan jaringan
parut pada tepi kelopak, eksoftalmus, paralise saraf fasial, atoni orbikularris okuli
dan proptosis karena tiroid. Pengobatan : mengatasi penyebab, air mata buatan.
Untuk cegah infeksi sekunder diberikan salep mata.
6) Keratitis Neuroparalitik
Merupakan keratitis akibat kelainan saraf trigeminus sehingga terdapat kekeruhan
kornea yang tidak sensitif disertai kekeringan kornea. Gangguan persarafan dapat
terjadi akibat herpes zoster, tumor fossa posterior kranium, peradangan sehingga

16
kornea menjadi anestetis. Kemudian kornea menjadi kehilangan pertahanannya
terhadap iritasi luar. Kornea menjadi mudah infeksi dan terbentuk tukak kornea.
Gejalanya : tajam penglihatan menurun, silau, tidak nyeri. Refleks berkedip hilang,
injeksi siliar, permukaan kornea keruh, infiltrat dan vesikel pada kornea.
Pengobatan : air mata buatan dan salep untuk menjaga kornea tetap basah. Untuk
cegah infeksi sekunder : pengobatan keratitis, tarsorafi, dan menutup pungtum
lakrimal

Gambar Keratitis Neuroparalitik


7) Keratokonjungtivitis Sika
Merupakan keringnya permukaan kornea dan konjungtiva. Gejala : mata berpasir,
gatal, silau, penglihatan kabur, sekresi mukus mata yang berlebihan, sukar
menggerakkan kelopak mata, mata kering karena ada erosi kornea, Edema
kojungtiva bulbi, filamen (benang) di kornea. Pemeriksaan yang dilakukan :
Tes Schimer : resapan air mata pada kertas Schimer normal 10-25 mm dalam waktu
5 menit. Abnormal < 10 mm.
Tes zat warna Rose Bengal konjungtiva zat warna ini akan mewarnai sel epitel
kornea. Terdapat titik merah di konjungtiva bila mata kering.
Tear film break up time.
Pengobatan tergantung penyebabnya. Pemberian air mata tiruan bila kurang adalah
komponen air. Pemberian lensa kontak apabila komponen mukus yang berkurang.
Penutupan pungtum lakrimal bila terjadi penguapan yang berlebihan.

17
Gambar Keratokonjungtivitis Sika

8) Keratitis Sklerotikan
Merupakan kekeruhan berbentuk segitiga pada kornea yang menyertai skleritis.
Penyebabnya diduga perubahan susunan serat kolagen yang menetap.
Gejala : kekeruhan kornea terlokalisasi dan berbatas jelas, unilateral, kadang
mengenai seluruh limbus, kornea putih menyerupai sklera.
Pengobatan : steroid dan fenil butazon.
H. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan keratitis adalah mengeradikasi penyebab keratitis,
menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada kornea,
mempercepat penyembuhan defek epitel, mengatasi komplikasi, serta memperbaiki
ketajaman penglihatan. Ada beberapa hal yang perlu dinilai dalam mengevaluasi keadaan
klinis keratitis meliputi: rasa sakit, fotofobia, lakrimasi, rasa mengganjal, ukuran ulkus dan
luasnya infiltrat.
Sebagian besar para pakar menganjurkan melakukan debridement sebelumnya.
Debridement epitel kornea selain berperan untuk pengambilan spesimen diagnostik, juga
untuk menghilangkan sawar epitelial sehingga obat lebih mudah menembus. Dalam hal ini
juga untuk mengurangi subepithelial "ghost" opacity yang sering mengikuti keratitis
dendritik. Diharapkan debridement juga mampu mengurangi kandungan virus epithelial jika
penyebabnya virus, konsekuensinya reaksi radang akan cepat berkurang.
1) Keratitis Bakteri
a) Terapi antibiotika
Tetes mata antibiotik mampu mencapai tingkat jaringan yang tinggi dan
merupakan metode yang banyak dipakai dalam pengobatan banyak kasus. Salep

18
pada mata berguna sewaktu tidur pada kasus yang kurang berat dan juga berguna
sebagai terapi tambahan. Antibiotik subkonjungtiva dapat membantu pada keadaan
ada penyebaran segera ke sclera atau perforasi atau dalam kasus di mana kepatuhan
terhadap rejimen pengobatan diragukan.
Antibiotik topikal spektrum luas empiris digunakan pada pengobatan awal
dari keratitis bakteri. Untuk keratitis yang parah (melibatan stroma atau dengan
defek yang lebih besar dari 2 mm dengan nanah yang luas), diberikan dosis loading
setiap 5 sampai 15 menit untuk jam pertama, diikuti oleh aplikasi setiap 15 menit
sampai 1 jam pada jam berikutnya. Pada keratitis yang kurang parah, rejimen terapi
dengan dosis yang kurang frekuen terbukti efektif. Agen Cycloplegic dapat
digunakan untuk mengurangi pembentukan sinekhia dan untuk mengurangi nyeri
pada kasus yang lebih parah pada keratitis bakteri dan ketika adanya peradangan
bilik anterior mata.
Terapi single-drug dengan menggunakan fluoroquinolone (misalnya
ciprofloksasin, ofloksasin) menunjukkan efektiftivitas yang sama seperti terapi
kombinasi. Tetapi beberapa patogen (misalnya Streptococcus, anaerob) dilaporkan
mempunyai kerentanan bervariasi terhadap golongan fluoroquinolone dan
prevalensi resistensi terhadap golongan fluoroquinolones tampaknya semakin
meningkat. Gatifloksasin dan moksifloksasin (generasi keempat fluoroquinolone)
telah dilaporkan memiliki cakupan yang lebih baik terhadap bakteri gram-positif
dari fluoroquinolone generasi sebelumnya pada uji in-vitro. Namun,
fluoroquinolone generasi keempat belum disetujui FDA untuk pengobatan keratitis
bakteri.
Terapi kombinasi antibiotika digunakan dalam kasus infeksi berat dan mata
yang tidak responsif terhadap pengobatan. Pengobatan dengan lebih dari satu agen
mungkin diperlukan untuk kasus-kasus penyebab mikobakteri non-tuberkulos.
Antibiotik sistemik jarang dibutuhkan, tetapi dapat diipertimbangkan pada kasus-
kasus yang parah di mana proses infeksi telah meluas ke jaringan sekitarnya
(misalnya, sclera) atau ketika adanya ancaman perforasi dari kornea. Terapi
sistemik juga diperlukan dalam kasus-kasus keratitis gonokokal.
b) Terapi kortikosteroid

19
Terapi topikal kortikosteroid memiliki peran bermanfaat dalam mengobati
beberapa kasus menular keratitis. Keuntungan potensial adalah penekanan
peradangan dan pengurangan pembentukan jaringan parut pada kornea, yang dapat
menyebabkan kehilangan penglihatan. Antara kerugiannya pula termasuk
timbulnya aktivitas infeksi baru, imunosupresi lokal, penghambatan sintesis
kolagen dan peningkatan tekanan intraokular. Meskipun berisiko, banyak ahli
percaya bahwa penggunaan kortikosteroid topikal dalam pengobatan keratitis
bakteri dapat mengurangi morbiditas. Terapi kortikosteroid pada pasien yang
sedang diobati dengan kortikosteroid topikal pada saat adanya curiganya keratitis
bakteri hendaklah diberhentikan dahulu sampai infeksi telah dikendalikan.
Prinsip pada terapi kortikosteroid topikal adalah menggunakan dosis
minimal kortikosteroid yang bisa memberikan efek kontrol peradangan.
Keberhasilan pengobatan membutuhkan perkiraan yang optimal, regulasi dosis
secara teratur, penggunaan obat antibiotika yang memadai secara bersamaan, dan
follow-up. Kepatuhan dari pasien sangat penting, dan tekanan intraokular harus
sering dipantau. Pasien harus diperiksa dalam 1 sampai 2 hari setelah terapi
kortikosteroid topikal dimulai.
2) Keratitis Virus
a) Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial,
karena virus berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban
antigenik virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun
epitel terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator
berujung kapas khusus. Yodium atau eter topikal tidak banyak manfaat dan dapat
menimbulkan keratitis kimiawi. Obat siklopegik seperti atropi 1 % atau
homatropin5% diteteskan kedalam sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit
tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek
korneanya sembuh umumny adalah 72 jam. Pengobatan tambahan dengan anti
virus topikal mempercepat pemulihan epitel. Terapi obat topikal tanpa debridement
epitel pada keratitis epitel memberi keuntungan karena tidak perlu ditutup, namun
ada kemungkinan pasien menghadapi berbagai keracunan obat.

20
b) Terapi obat
Agen antivirus topikal yang dipakai pada keratitis adalah idoxuridine,
trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclovir jauh lebih efektif
untuk penyakit stroma dari pada yang lain. Idoxuridine dan trifluridine sering kali
menimbulkan reaksi toxik. Acyclovir oral ada mamfaatnya untuk pengobatan
penyakit herpes mata berat, khususnya pada orang atopik yang rentan terhadap
penyakit herpes mata dan kulit agresif (eczema herpeticum). Study multicenter
terhadap efektivitas acyclovir untuk pengobatan kerato uveitis herpes simpleks dan
pencegahan penyakit rekurens kini sedang dilaksanakan ( herpes eye disease
study).
Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada
epitel kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal. Dalam
hal ini penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpotensi sangat
merusak. Kortikosteroid topikal dapat juga mempermudah perlunakan kornea, yang
meningkatkan risiko perforasi kornea. Jika memang perlu memakai kortikosteroid
topikal karena hebatnya respon peradangan, penting sekali ditambahkan obat anti
virus secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus.
c) Bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi
penglihatan pasien yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya
dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi
herpes rekurens dapat timbul karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang
diperlukan untuk mencegah penolakan transplantasi kornea. Juga sulit dibedakan
penolakan transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens.
Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri
atau fungi mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan
sianokrilat dapat dipakai secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft
“petak” lamelar berhasil baik pada kasus tertentu. Keratoplasi lamelar memiliki
keuntungan dibanding keratoplasti penetrans karena lebih kecil kemungkinan
terjadi penolakan transparant. Lensa kontak lunak untuk terapi atau tarsorafi

21
mungkin diperlukan untuk pemulihan defek epitel yang terdapat padapengekeratitis
herpes simplek.

d) Pengedalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV.


Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira – kira sepertiga kasus
dalam 2 tahun serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme pemicunya.
Setelah denga teliti mewawancarai pasien. Begitu ditemukan, pemicu itu dapat
dihindari. Aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam, pajanan berlebihan
terhadap sinar matahari atau sinar UV dapat dihindari. Keadaan – keadaan yang
dapat menimbulkan strea psikis dapat dikurangi. Dan aspirin dapat diminum
sebelum menstruasi.
3) Keratitis Jamur
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat
komersial yang tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas dalam improvisasi
pengadaan obat, yang utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis
keratomikosis yang dihadapi bisa dibagi:
1) Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.
2) Jamur berfilamen
3) Ragi (yeast).
4) Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.
Untuk golongan I : Topikal Amphotericin B 1,02,5 mg/ml, Thiomerosal (10 mg/ml),
Natamycin > 10 mg/ml, golongan Imidazole.
Untuk golongan II : Topikal Amphotericin B 0,15%, Miconazole 1%, Natamycin 5%
(obat terpilih), econazole 1% (obat terpilih).
Untuk golongan III : Econazole 1%, Amphoterisin B 0,15 %, Natamycin 5%,
Clotrimazole 1%, fluoconazol 2 %.
Untuk golongan IV : Golongan Sulfa, berbagai jenis Antibiotik. Steroid topikal adalah
kontra indikasi, terutama pada saat terapi awal. Diberikan juga obat sikloplegik
(atropin) guna mencegah sinekia posterior untuk mengurangi uveitis anterior.
Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria penyembuhan
antara lain adalah adanya penumpulan (blunting atau rounding-up) dari lesi-lesi

22
ireguler pada tepi ulkus, menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya infiltrasi di
stroma di sentral dan juga daerah sekitar tepi ulkus. Perbaikan klinik biasanya tidak
secepat ulkus bakteri atau virus. Adanya defek epitel yang sulit menutup belum tentu
menyatakan bahwa terapi tidak berhasil, bahkan kadang-kadang terjadi akibat
pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi keratomikosis diperlukan kesabaran,
ketekunan dan ketelitian dari kita semua.
Selain terapi medikamentosa sebaiknya diberikan pula edukasi pada pasien
keratitis. Pasien diberikan pengertian bahwa penyakit ini dapat berlangsung kronik
dan juga dapat terjadi kekambuhan. Pasien juga sebaiknya dianjurkan agar tidak
terlaru sering terpapar sinar matahari ataupun debu karena keratitis ini dapat juga
terjadi pada konjungtivitis vernal yang biasanya tercetus karena paparan sinar
matahari, udara panas, dan debu, terutama jika pasien tersebut memang telah memiliki
riwayat atopi sebelumnya. Pasien pun harus dilarang mengucek matanya karena dapat
memperberat lesi yang telah ada.
Pada keratitis dengan etiologi bakteri, virus, maupun jamur sebaiknya kita
menyarankan pasien untuk mencegah transmisi penyakitnya dengan menjaga
kebersihan diri dengan mencuci tangan, membersihkan lap atau handuk, sapu tangan,
dan tissue.

I. Komplikasi
Bila peradangan hanya di permukaan saja, dengan pengobatan yang baik dapat
sembuh tanpa jaringan parut, Bila peradangan dalam, penyembuhan berakhir dengan
pembentukan jaringan parut yang dapat berupa nebula, makula, leukoma, leukoma adherens
dan stafiloma kornea.
Nebula : bentuk parut kornea berupa kekeruhan yang sangat tipis dan hanya dapat dilihat
dengan menggunakan kaca pembesar atau menggunakan slit lamp.
Makula : Bentuk parut yang lebih tebal berupa kekeruhan padat yang dapat dilihat tanpa
menggunakan kaca pembesar.
Leukoma : kekeruhan seluruh ketebalan kornea yang mudah sekali terlihat dari jarak yang
agak jauh sekalipun.

23
Leukoma adherens : keadaan dimana selain adanya kekeruhan seluruh ketebalan kornea,
terdapat penempelan iris pada bagian belakang kornea (sinekia anterior).
Stafiloma kornea : bila seluruh permukaan kornea mengalami ulkus disertai perforasi, maka
pada penyembuhan akan terjadi penonjolan keluar parut kornea yang disertai dengan sinekia
anterior.
Bila ulkusnya lebih dalam dapat terjadi perforasi. Adanya perforasi dapat
membahayakan mata, oleh karena timbulnya hubungan langsung dari bagian dalam mata
dengan dunia luar, sehingga kuman dapat masuk ke dalam mata dan menyebabkan
endoftalmitis atau panoftalmitis.

BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Nama : Ny. K
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 32 tahun
Alamat : Sidoarjo

24
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawati
Tanggal Pemeriksaan : 22 Desember 2017

II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Mata kanan merah.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengatakan pada mata kanan muncul kemerahan sejak  2 minggu yang lalu.
Pasien mengatakan awalnya mata sering mengeluarkan air mata dan kotoran. Saat ini
mata kanan terasa mengganjal dan terasa seperti ada pasir. Pasien juga mengatakan mata
kanan kabur dan pandangan silau jika terkena cahaya. Riwayat trauma pada mata kanan
dan riwayat penggunaan lensa kontak dan kacamata disangkal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit tekanan darah tinggi dan riwayat penyakit
diabetes mellitus.

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami gejala yang sama seperti pasien. Tidak ada
anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, asma,
dan alergi baik obat-obatan.
5. Riwayat Pengobatan
Pasien mengatakan belum pernah diobati.
III. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
2. Status Lokalis
Fluoresein Test : +

25
CVI (+)
PCVI (+)
Infiltrat (+)

OD OS

Visus 5/10 5/5,5

Palpebra Hiperemi (-) Hiperemi (-)

Konjungtiva Hiperemi (+) Hiperemi (-)

Kornea Infiltrat berbentuk Jernih


punctat didaerah
central (+) berwarna
putih, dengan
fluorescein test (+),
Hiperemi (+)
BMD Dalam Dalam

Iris Reguler Reguler

Pupil Isokor Isokor

Lensa Jernih Jernih

Tabel 3.1 Resume Status Lokalis Pemeriksaan Fisik

IV. RESUME
Pasien datang ke poli mata RSUD Sidoarjo dengan keluhan muncul kemerahan pada
mata kanan sejak  2 minggu yang lalu. Pasien mengatakan awalnya mata kanan sering
mengeluarkan air mata dan kotoran. Saat ini mata kanan terasa mengganjal dan terasa
seperti ada pasir. Pasien juga mengatakan mata kanan kabur dan pandangan silau jika
terkena cahaya. Riwayat trauma pada mata kanan dan riwayat penggunaan lensa kontak
dan kacamata disangkal.

26
OS
OD
Visus 5/5,5
5/10
Palpebra Hiperemi (-)
Hiperemi (-)
Konjungtiva Hiperemi (-)
Hiperemi (-)
Kornea Infiltrat berbentuk
punctat didaerah
central (+) berwarna
Jernih
putih, dengan
fluorescein test (+),
Hiperemi (+)
BMD Dalam
Dalam
Iris REGULER Reguler

Pupil Isokor
Isokor
Lensa Jernih
Jernih
Tabel 3.2 Resume Status Lokalis Pemeriksaan Fisik

V. DIAGNOSIS KERJA
OD Keratitis Punctat

VI. PENATALAKSANAAN
Planning Terapi :
 Levofloxcacin ED 6x 1 OD
 Lyteers ED 6x1 OD
Planning Monitoring :
 Segera kontrol jika keluhan bertambah berat dan jika terapi yang diberikan sudah habis.
Edukasi :

27
 Dapat menggunakan pelindung mata (kaca mata) untuk melindungi dari paparan luar
seperti debu, xdll.

BAB IV
KESIMPULAN

Keratitis adalah peradangan pada kornea yang ditandai dengan adanya infiltrat di lapisan
kornea. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya, yaitu superfisial, interstisial dan
profunda. Keratitis superfisial adalah radang kornea yang mengenai lapisan epitel dan membran
bowman. Keratitis dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa. Keratitis dapat memberikan
gejala mata merah, rasa silau, epifora, nyeri, kelilipan, dan penglihatan menjadi sedikit kabur.
Setiap etiologi menunjukan gejala yang berbeda-beda tergantung dari jenis pathogen dan
lapisan kornea yang terkena. Diagnosis keratitis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan lampu
celah. Dengan pemeriksaan lampu celah, penatalaksanaan keratitis dapat dilakukan dengan tepat
dan sesuai dengan etiologi penyebabnya.
Prognosis pada setiap kasus tergantung pada beberapa faktor, termasuk luasnya dan
kedalaman lapisan kornea yang terlibat, ada atau tidak nya perluasan ke jaringan orbita lain, status
kesehatan pasien (contohnya immunocompromised), virulensi patogen, ada atau tidaknya

28
vaskularisasi dan deposit kolagen pada jaringan tersebut, waktu penegakkan diagnosis klinis yang
dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang lainnya seperti kultur pathogen, dan diagnosis
serta pengobatan yang diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Opthalmology. 2012-2013. External Disease and Cornea. BSCS sec 8.
AAO-San Fransisco.
Eroschenko, Victor P. 2010. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional Edisi 11. Jakarta:
EGC. Hlm: 324-6, 331, 342.
Ibrahim MM, Vanini R, et al. Epidemiology and Medical Protection of Microbial Keratitis on
Southeast Brazil. Brazil: Arq Bras Oftalmol. 2011; 74 (1): 7-12.
Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI ; 2010. h. 1-13
Reed KK. Thygeson’s SPK photos. Nova Southeastem University College of Optometry 3200
South University Drive Ft. Lauderdale. Florida. 2007.
Vaughan D. 2010. Oftalmologi Umum. Edisi 17. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

29

Anda mungkin juga menyukai