Anda di halaman 1dari 13

7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Status Gizi


2.1.1 Pengertian Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan

dan penggunaan zat – zat gizi. Dibedakan antara status

gizi buruk, kurang, baik, lebih (Almatsir, 2003).


Definisi lain menyebutkan bahwa status gizi adalah keadaan
kesehatan sebagai akibat keseimbangan antara konsumsi,
penyerapan zat gizi dan penggunaannya didalam tubuh (Supariasa,
2002).
2.1.2 Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan cara
pengukuran langsung yang meliputi antropometri, klinis, biokimia
dan biofisika, sedangkan pengukuran dengan cara tidak langsung
yaitu survey kosumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi
(Supariasa, 2002).
1. Pengukuran Secara Langsung
a. Klinis : metode yang didasarkan atas perubahan- perubahan
yang terjadi yang dihubungkan ketidakcukupan zat gizi.
b. Biokimia: pemeriksaan specimen yang diuji secara laboratories
yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh.
c. Biofisik : metode penentuan status gizi dengan melihat
kemampuan fungsi (khususnya jaringan dan melihat perubahan
struktur dari jaringan.
d. Antropometri : merupakan pengukuran status gizi yang mudah
tetapi dengan syarat tersedianya alat ukur yang baik serta
ketrampilan dalam pengukuran.
8

Keunggulan Antropometri :
1) Prosedur sederhana, aman, dan dapat dilakukan dalam jumlah
sampel yang besar.Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli,
tetapi cukup dilakukan oleh tenaga yang sudah dilatih dalam
waktu singkat dapat melakukan anthropometri.
2) Alatnya murah,mudah dibawa,tahan lama. Metode ini tepat dan
akurat , karena dapat dibakukan.
3) Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi dimasa
lampau.
4) Umumnya dapat mengidentikikasi status gizi sedang,kurang
dan gizi buruk karena sudah ada ambang batas yang jelas.
5) Metode antropometri dapat mengevaluasi perubahan status gizi
pada periode tertentu,atau dari satu generasi ke generasi
berikutnya (Supariasa,2002).
Kelemahan Antropometri :
1) Tidak sensitif, artinya tidak dapat mendektesi status gizi dalam
waktu singkat serta tidak dapat membedakan kekurangan zat
gizi tertentu seperti fe dan zink.
2) Faktor diluar gizi (penyakit,genetik,dan penurunan penggunaan
energi) dapat menurunkan spesifikasi dan sensitivitas
pengukuran anthropometri.
3) Kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran dapat
mempengaruhi keajegan,akurasi,dan validasi pengukuran
anthropometri gizi.
4) Kesalahan ini terjadi karena: pengukuran ,perubahan hasil
pengukuran,baik fisik maupun komposisi jaringan dan analisis
serta asumsi yang keliru.
5) Sumber kesalahan, biasanya berhubungan dengan:latihan
petugas yang tidak cukup,kesalahan alat,kesulitan pengukuran
(Supariasa,2002).
9

Indeks Antropometri :
Indeks antropometri yang umum digunakan dalam menilai
status gizi adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan
menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan
(BB/TB).Indeks BB/U adalah pengukuran total berat badan
termasuk air, lemak, tulang dan otot.Indeks tinggi badan menurut
umur adalah pertumbuhan linier dan LLA adalah pengukuran
terhadap otot,lemak, dan tulang pada area yang diukur
(Supariasa,2002).
1) Indikator BB/U
Indikator BB/U lebih menggambarkan status gizi
seseorang saat ini.
Kelebihan Indeks BB/U :
a) Lebih mudah dan cepat dimengerti oleh masyarakat umum.
b) Baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis.
c) Berat badan dapat berfluktuasi.
d) Sangat sensitif terhadap perubahan perubahan kecil.
e) Dapat mendektesi kegemukan.
Kelemahan Indeks BB/U :
a) Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru
bila terdapat oedema maupun asites.
b) Didaerah pedesaan yang masih terpencil dan tradisional,
umur sering sulit ditaksir secara tepat karena pencatatan
umur yang belum baik.
c) Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk anak
dibawah usia lima tahun.
d) Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran,seperti
pengaruh pakaian atau gerakan anak pada saat menimbang.
e) Secara operasioanal sering mengalami hambatan karena
masalah social budaya setempat.Dalam hal ini orang tua
10

tidak mau menimbang anaknya,karena dianggap seperti


barang dagangan,dan sebagainya.
2) Indikator TB/U
Indikator TB/U menggambarkan status gizi masa
lalu.Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan
pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti
berat badan, relatip kurang sensitif terhadap masalah
kekurangan gizi dalam waktu pendek.Pengaruh defisiensi zat
gizi terhadap tinggi badan akan Nampak dalam waktu yang
relatif lama.
Keuntungan Indeks TB/U :
a) Baik untuk menilai status gizi masa lampau
b) Ukuran panjang dapat dibuat sendiri,murah dan mudah
dibawa
Kelemahan Indeks TB/U :
a) Tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak mungkin turun.
b) Pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri
tegak, sehingga diperlukan dua orang untuk melakukannya.
c) Ketepatan umur sulit didapat.
3) Indikator BB/TB
Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk
menilai status gizi saat kini (sekarang ). Berat badan memiliki
hubungan linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal,
perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan
tinggi badan dengan kecepatan tertentu ( Supariasa, 2002).
Keuntungan Indeks BB/TB :
a) Tidak memerlukan data umur.
b) Dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal, kurus)
Kelemahan Indeks BB/TB :
11

a) Tidak dapat memberikan gambaran,apakah anak tersebut


pendek, cukup tinggi badan atau kelebihan tinggi badan
menurut umurnya, karena factor umur tidak
dipertimbangkan.
b) Dalam praktek sering mengalami kesulitan dalam
melakukan pengukuran panjang/ tinggi badan pada
kelompok balita.
c) Membutuhkan dua macam alat ukur.
d) Pengukuran relatif lebih lama. Membutuhkan dua orang
untuk melakukannya. Sering terjadi kesalahan dalam
pembacaan hasil pengukuran,terutama bila dilakukan oleh
kelompok non professional.
Penelitian ini penggunaan indeks antropometri gizi dengan penggunaan soft
ware standar antropometri WHO 2005, seperti tabel 2.1
Tabel 2.1 Kategori dan ambang batas Status Gizi Anak Berdasarkan
Indeks
Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas(Z-Score )
Berat Badan menurut Umur Gizi Buruk < - 3 SD
(BB/U). Gizi Kurang -3 SD sampai dengan < - 2 SD
Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD

Gizi Lebih >2 SD

Tinggi Badan menurut Sangat Pendek < -3 SD


Umur(TB/U). Pendek -3 SD sampai dengan <-2 SD
Normal -2 Sd sampai dengan 2 SD

Tinggi >2 SD

Berat Badan menurut Sangat Kurus <-3 SD


Tinggi Badan (BB/TB). Kurus -3 SD sampai dengan ,< -2SD
Normal -2 SD sampai 2 SD

Gemuk >2 SD

Sumber :Kementrian Kesehatan RI,2011


2. Pengukuran Secara Tidak Langsung
a. Survey Konsumsi Makanan
12

Metode pengukuran status gizi secara tidak langsung dengan


melihat zat gizi yang dikonsumsi melalui metode recall 24 jam
yang lalu.
b. Statistik Vital
Pengukuran status gizi dengan menganalisa data beberapa stastistik
kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, kematian
akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan
dengan gizi.
c. Faktor Ekologi
Bengoa mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah
ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan
lingkungan budaya ( Supariasa, 2002).
2.2 Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi
Menurut Call dan Levinson dalam Supariasa (2012 ), bahwa status
gizi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu konsumsi makanan dan tingkat
kesehatan, terutama adanya penyakit infeksi, kedua faktor ini adalah
penyebab langsung, sedangkan penyebab tidak langsung kandungan zat
gizi dalam bahan makanan,kebiasaan makan, ada tidaknya program
pemberian makanan tambahan, pemeliharaan kesehatan,serta lingkungan
fisik dan sosial.
Menurut UNICEF (1998) dalam Supariasa (2012)
menggambarkan faktor yang berhubungan dengan status gizi, pertama
penyebab langsung adalah asupan gizi dan penyakit infeksi, kedua,
penyebab tidak langsung yaitu keterdediaan pangan tingkat rumah tangga,
perilaku / asuhan ibu dan anak, pelayanan kesehatan dan lingkungan,
ketiga masalah utama yaitu kemiskinan, pendidikan rendah, ketersediaan
pangan dan kesempatan kerja. Keempat, masalah dasar, yaitu krisis politik
dan ekonomi.
Menurut Laura Jane Harper dalam Supariasa (2012), faktor yang
mempengaruhi status gizi ditinjau dari sosial budaya dan ekonomi adalah
13

ketersediaan pangan, tingkat pendapatan, pendidikan dan penggunaan


pangan. Ketersediaan pangan meliputi pemilihan tanaman yang ditanam.
Pola penanaman, pola penguasaan lahan, mutu luas lahan, cara pertanian,
cara penyimpanan, faktor lingkungan, rangsangan bereproduksi dan
peranan sosial. Penggunaan pangan meliputi status sosial, kepercayaan
keagamaan, kepercayaan kebudayaan, keadaan kesehatan, pola makan,
kehilangan tersebab oleh proses memasak, distribusi makanan dalam
keluarga, besar keluarga, dan pangan yang tercecer.
2.2.1 Pendidikan Orang tua
Menurut Abdoerrahman dalam Marut (2007), tingkat
pendidikan kepala rumah tangga secara langsung ataupun tidak
langsung menentukan keadaan ekonomi rumah tangga, semakin
tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga semakin tinggi
pendapatan perkapita keluarga.
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan
sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih
tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk
menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku
dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi
(Fallah, 2004).
Menurut Sediaoetama (2000), tingkat pendidikan turut
menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami
pengetahuan gizi dan kesehatan. Selain itu pendidikan orang tua
merupakan salah satu faktor penting dalam tumbuh kembang anak,
karena dengan pendidikan yang baik maka orang tua dapat
menerima segala informasi tentang cara pengasuhan anak yang
baik, cara menjaga kesehatan anak dan pendidikannya. Demikian
juga wanita yang tidak berpendidikan biasanya mempunyai anak
lebih banyak dibandingkan yang berpendidikan lebih tinggi.
Mereka yang berpendidikan lebih rendah umumnya sulit diajak
14

memahami dampak negatif dari bahaya mempunyai anak banyak,


sehingga anaknya kekurangan kasih sayang, kurus dan menderita
penyakit infeksi,Farida (2004), dalam Lutfiana dan Budiono
(2010).
2.2.2 Besar Keluarga (Jumlah Anggota Keluarga )
Jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi distribusi
makanan didalam keluarga, semakin besar anggota keluarga maka
semakin besar resiko terjadinya kurang pemerataan terhadap
makanan. Dengan kecilnya jumlah keluarga konsumsi kebutuhan
zat gizi dapat terpenuhi yang akan berpengaruh terhadap status gizi
balita ( Andarina dan Sumarmi, 2006 ).
Besarnya jumlah anggota keluarga akan berpengaruh
terhadap pemenuhan kebutuhan pangan, idealnya keluarga
mempunyai anggota maximal 4 orang. Besar keluarga yang lebih
sedikit akan mengurangi resiko terhadap gizi kurang (Mawadah,
2008).
Jarak kelahiran anak yang terlalu dekat dan jumlah anak
yang terlalu banyak akan mempengaruhi asupan zat gizi dalam
keluarga, kesulitan mengurus, dan kurang bisa menciptakan
suasana tenang dirumah. Kasus kurang gizi lebih banyak
ditemukan pada keluarga besar dibandingkan keluarga kecil.
Jumlah anak kelaparan dari keluarga besar hamper 4 kali lebih
besar dibandingkan jumlah anak yang keluarga kecil. Sehingga
anak –anak yang dihasilkan dari keluarga demikian lebih banyak
yang kurus, punya daya pikir yang lemah, kurang darah, dan
terserang penyakit. Diharapkan dengan keluarga kecil selain
kesejahteraan lebih terjamin maka kebutuhan akan pangan juga
akan lebih terpenuhi daripada keluarga dengan jumlah besar
(Anderson, et al,2008) dalam Lutfiana dan Budiono (2010).
15

Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi tingkat


intensitas kerawanan pangan keluarga, terutama pada keluarga
miskin. Hasil penelitian Kigutha (1994) dalam Den Hartag, Van
Staverin dan Broowe (1995) menunjukan bahwa peningkatan
jumlah anggota keluarga berhubungan negatif dengan konsumsi
pangan hewani dan makanan pokok, yang mengakibatkan
menurunnya konsumsi energi dan protein (Hardinsyah, dkk 2010).
2.2.3 Konsumsi Zat gizi (asupan zat gizi)
Menurut Pudjiadi (2001), kekurangan zat gizi dapat
mengganggu pertumbuhan. Kekurangan energi, protein, vitamin
dan trace element dapat mengurangi pertumbuhan, sebaliknya
ekses berbagai mikronutrien dapat mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan pula. Menurut Sunardi (1999), asupan gizi yang
baik sering tidak bisa dipenuhi oleh seorang anak karena faktor dari
luar dan dalam. Faktor luar diantaranya adalah ekonomi keluarga,
sedangkan faktor dari dalam ada dalam diri anak yang secara
psikologis muncul sebagai problema makan anak. Selain asupan
energi dan protein, beberapa zat gizi mikro diperlukan terutama
untuk produksi enzim, hormon, pengaturan proses biologis untuk
pertumbuhan dan perkembangan (Devi ,2010)
2.2.4 Konsumsi Bahan Makanan Hewani
Bahan makanan hewani adalah bahan makanan yang berupa
atau berasal dari hewan atau produk- produk yang diolah dengan
menggunakan bahan dasar hewan.Pangan hewani mempunyai
berbagai keunggulan dibanding pangan nabati. Pertama pangan
hewani terasa lebih gurih atau enak karena mengandung protein dan
lemak yang banyak. Kedua, pangan hewani mengandung protein
yang lebih berkualitas karena mudah digunakan tubuh dan
memiliki komposisi asam amino yang lengkap (Hardinsyah, 2008).
16

Ketiga pangan hewani mengandung berbagai zat gizi


mineral yang tinggi dan mudah digunakan oleh tubuh. Misalnya
kalsium pada susu, zat besi, zink dan selenium yang banyak
didalam daging, hati dan telur. Kalsium dan zink berperan dalam
pertumbuhan dan berbagai proses dalam tubuh. Zat besi bersama
zat gizi lainnya berperan dalam pertumbuhan sel- sel darah merah
hemoglobin. Hemoglobin berguna untuk membawa oksigin
keseluruh bagian tubuh. Bila kadar hemoglobin rendah (anemia)
maka tubuh kekurangan oksigen, badan menjadi lemah, konsentrasi
belajar dan stamina atau produktifitas kerja menjadi menurun.
Keempat, pangan hewani mengandung zat gizi, vitamin
yang unik. Misalnya Vitamin A dalam hati dan kuning telur yang
mudah digunakan tubuh. Kemudian Vitamin B12 yang tidak
terdapat pada pangan nabati. Vitamin B12 yang kaya dalam pangan
hewani berperan penting dalam pembentukan sel darah merah yang
menangkap oksigin bagi tubuh dan dalam
pembentukan myelin syaraf (Hardinsyah, 2008).
2.2.5 Pangan Hewani
Pangan sumber hewani adalah pangan yang digunakan
sebagai lauk pauk sehari hari melengkapi makanan pokok dan
menjadi zat gizi pengatur metabolisme dalam tubuh sehingga dapat
menjamin pertumbuhan optimal. Beberapa pangan hewani selain
mengandung protein juga diketahui mengandung zat besi tinggi
yang berperan untuk mencegah anemia gizi.Balita yang masih
berada dalam tahap pertumbuhan sangat memerlukan asupan
protein yang cukup (Riyadi dan Sukandar, 2009).
Kualitas protein ditentukan oleh kelengkapan susunan asam
amino esensial. Asam amino esensial adalah struktur protein yang
dibutuhkan oleh tubuh, tetapi tubuh sendiri tidak bisa
mensintesanya, sehingga harus disediakan dari makanan seharihari.
17

Dilihat dari susunan asam amino esensial, protein hewani lebih


lengkap dibandingkan dengan protein nabati, dengan demikian
protein hewani digolongkan sebagai protein yang berkualitas.
Termasuk kedalam kelompok asam amino esesensial adalah lysine,
leusin, isoleusin, tripthopan, methionin + cystin, threonin,
phenylalanine + tyrosin, valin. ( Setiawan , 2006).
Berdasarkan pada kandungan asam- asam amino esensial
antara protein nabati dan protein hewani dianjurkan agar proporsi
protein hewani dalam makanan sekitar 20 – 40 persen.
(Sediaoetama, 2000 dalam Setiawan , 2006).
Menurut Khomsan dalam Muhamad Farhan (2008), Pangan
hewani adalah sumber protein berkualitas tinggi yang dapat
memperbaiki gizi masyarakat, namun apabila dikonsumsi terlalu
banyak akan mendatangkan gangguan kesehatan, apabila pangan
hewani dikonsumsi kurang akan menimbulkan gangguan seperti
gagalnya pertumbuhan pada anak dan kurangnya kecerdasan.
Konsumsi pangan hewani yang cukup merupakan syarat penting
untuk terpenuhinya kebutuhan gizi tubuh sehari-hari dan pangan hewani yang
dikonsumsi dengan tidak berlebihan atau tidak kekurangan akan menjamin
kesehatan. 2.3 Kerangka Teori
18

Pendidikan

Pekerjaan Besar Keluarga Pengetahuan

Pendapatan Distribusi Makanan Pemilihan Bahan


Makanan

Konsumsi
Infeksi Bahan Makanan
- Hewani
- Nabati

Asupan Zat Gizi

Status Gizi :
- Indeks BB/U
- Indeks TB/U
- Indeks BB/TB

Gambar 2.1 Faktor yang mempengaruhi Status Gizi


Sumber : Modifikasi dari Call dan Levinson (1974 ), Laura Jane Harper dalam
Supariasa (2012 )
19

2.4.1 Kerangka Konsep

,
Faktor Sosial Keluarga

- Pendidikan Orang Tua Hasil Pengukuran


Antropometri
- Besar Keluarga
- Indeks BB/U
- Indeks TB/U
Konsumsi Bahan - Indeks BB/TB
Makanan Hewani

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

2.5 Hipotesis
1. Ada hubungan pendidikan kepala keluarga dengan hasil pengukuran
antropometri BB/U, TB/U, BB/TB balita di wilayah kerja Puskesmas
Karangmalang ,Kecamatan Mijen, Kota Semarang.
2. Ada hubungan pendidikan ibu dengan hasil pengukuran
antropometri BB/U, TB/U, BB/TB balita di wilayah kerja Puskesmas
Karangmalang , Kecamatan Mijen, Kota Semarang.
3. Ada hubungan besar keluarga dengan hasil pengukuran antropometri
BB/U,TB/U,BB/TB balita diwilayah kerja Puskesmas
Karangmalang, Kecamatan Mijen, Kota Semarang..
4. Ada hubungan konsumsi bahan makanan hewani dengan hasil
pengukuran antropometri BB/U,TB/U,BB/TB balita di wilayah kerja
Puskesmas Karangmalang, Kecamatan Mijen, Kota Semarang.

Anda mungkin juga menyukai