Anda di halaman 1dari 45

DARI REDAKSI

DEXA MEDIA
jurnal kedokteran dan farmasi
Sidang Pembaca yang terhormat,

Dexa Media di edisi ini menampilkan dua artikel utama yang berjudul “The Role of
Penasehat Cefepime: Empirical Treatment in Critical Illness” . Cefepime merupakan
Ir. Ferry Soetikno, M.Sc., M.B.A. antibiotika dari kelas beta-lactam yang mana Cefepime dapat digunakan sebagai
terapi empiris pada infeksi Nosokomial, khususnya dalam artikel ini dibahas
Ketua Pengarah/Penanggung Jawab penggunaan Cefepime di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Sedangkan artikel utama
Dr. Raymond R. Tjandrawinata, M.S., M.B.A. lainnya yang berjudul “Pemakaian Cetirizine dan Kortikosteroid pada Penyakit
Alergi Anak”. Di mana Cetirizine merupakan antihistamin yang sangat kuat dan
Pemimpin Redaksi spesifik. Cetirizine juga merupakan antagonis reseptor histamin-1 (H1) generasi
Dwi Nofiarny, Pharm., Msc. kedua yang aman digunakan pada terapi alergi.
Laporan Kasus yang kami tampilkan membahas mengenai Light Chain
Redaktur Pelaksana
Myeloma. Kasus ini melaporkan seorang penderita laki-laki berusia 66 tahun
Tri Galih Arviyani, S.Kom.
dengan tanda-tanda dan gejala klasik multiple myeloma disertai lytic bone le-
Staf Redaksi sions, tetapi gambaran elektroforesa protein serum normal, sedangkan
Drs. Karyanto, MM elektroforesa protein urine menunjukkan adanya light chain proteinuria. Dari
dr. Prihatini Hendri pemeriksaan aspirasi sumsum tulang didapatkan infiltrasi sel plasma sebanyak
dr. Della Manik Worowerdi Cintakaweni 95%. Kasus ini memenuhi kriteria multiple myeloma menurut Durie & Salmon.
dr. Lydia Fransisca Hermina Tiurmauli Tambunan Untuk membuktikan tipe light chain myeloma lebih lanjut dapat dilakukan urine
Gunawan Raharja, S.Si., Apt. immunofixation test. Untuk lebih jelasnya lagi silahkan membaca artikel ini.
Liana W. Susanto, Mbiomed Kami juga menampilkan beberapa artikel menarik lainnya dari rubrik
dr. Ratna Kumalasari Tinjauan Pustaka.
Yohannes Wijaya, S.Si., Apt.
Kami terus mengundang para dokter dan apoteker untuk memberikan hasil
Peer Review karya tulisannya dalam bentuk Tinjauan Pustaka, Laporan Kasus dan Artikel
Prof. dr. Arjatmo Tjokronegoro, Ph.D., Sp.And. Penelitian.
Prof. Dr. dr. Darmono, Sp.PD-KEMD
Prof. Dr. dr. Djokomoeljanto, Sp.PD-KEMD Salam!!!!!!!
Jan Sudir Purba, M.D., Ph.D.
Prof. Dr. Med. Puruhito, M.D., F.I.C.S., F.C.T.S.
Prof. dr. Sudradji Soemapraja, Sp.OG. DAFTAR ISI
Prof. Dr. dr. H. Sidartawan Soegondo, Sp.PD-KEMD, FACE
Prof. dr. Wiguno Prodjosudjadi, Ph.D., Sp.PD-KGH Pengantar Redaksi 57
Petunjuk untuk Penulisan Dexa Media 58
Redaksi/Tata Usaha
Jl. R.S. Fatmawati Kav. 33 Artikel Utama
Telp. (021) 7509575  The Role of Cefepime: Empirical Treatment in Critical Illness 59
Fax. (021) 75816588  Pemakaian Cetirizin dan Kortikosteroid pada Penyakit Alergi Anak 68
Email: tri.galih@dexa-medica.com
Laporan Kasus:
Rekomendasi Depkes RI Light Chain Myeloma 74
0358/AA/III/88
Tinjauan Pustaka:
Ijin Terbit  Efek Kortikosteroid Terhadap Metabolisme Sel; Dasar Pertimbangan
1289/SK/Ditjen PPG/STT/1988 Sebagai Tujuan Terapi Pada Kondisi Akut Maupun Kronik 77
 Infeksi Gonore Pada Anak 81
 Terapi Antibiotika Empiris Pada Sepsis Berdasarkan Organ Terinfeksi 85
 Terapi Hemorheologi 91
 Terapi Bedah Pada Varises 96

Profil:
Prof. Dr. dr. H. Achmad Guntur Hermawan, Sp.PD-KPTI 99

Sekilas Dexa Medica Group


 Membangun Brand, OTC Dexa Ikuti Fun Bike
Hari TB Internasional 101
 Branding OGBdexa Saat Munas PAFI 101
Cover:
Mekanisme Antibiotik
 Dua Tahun Berturut-Turut: Dexa Medica Raih
Employer of Choice 102
SUMBANGAN TULISAN
Redaksi menerima partisipasi berupa tulisan, foto, dan Kalender Peristiwa 103
materi lainnya sesuai dengan misi majalah ini. Tulisan yang Penelusuran Jurnal 104
tidak dimuat akan dikembalikan. Redaksi berhak mengedit Daftar Iklan: Exepime, Ketricine, Stimuno, Toxilite
atau mengubah tulisan/susunan bahasa tanpa mengubah
isi yang dimuat apabila dipandang perlu.

DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 57


PETUNJUK PENULISAN

Redaksi menerima tulisan asli/tinjauan pustaka, penelitian atau cancer patient and the effects of blood transfusion on an-
laporan kasus dengan foto-foto asli dalam bidang Kedokteran dan titumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993;325-33
Farmasi. 11. Nomor halaman dalam angka romawi
1. Tulisan yang dikirimkan kepada Redaksi adalah tulisan yang Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology
belum pernah dipublikasikan di tempat lain dalam bentuk and hematology. Introduction Hematol Oncol Clin North Am
cetakan. 1995; Apr; 9(2):xi-xii
2. Tulisan berupa ketikan dan diserahkan dalam bentuk disket,
diketik di program MS Word dan print-out dan dikirimkan ke Buku dan monograf lain
alamat redaksi atau melalui e-mail kami. 12.Penulis perseorangan
3. Pengetikan dengan point 12 spasi ganda pada kertas ukuran Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills
kuarto (A4) dan tidak timbal balik. for nurses. 2nd ed. Albany (NY):Delmar Publishers; 1996
4. Semua tulisan disertai abstrak dan kata kunci (key words). 13.Editor sebagai penulis
Abstrak hendaknya tidak melebihi 200 kata. Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for eldery
5. Judul tulisan tidak melebihi 16 kata, bila panjang harap di pecah people. New York:Churchill Livingstone; 1996
menjadi anak judul. 14.Organisasi sebagai penulis
6. Nama penulis harap di sertai alamat kerja yang jelas. Institute of Medicine (US). Looking at the future of the
7. Harap menghindari penggunaan singkatan-singkatan medicaid program. Washington:The Institute; 1992
8. Penulisan rujukan memakai sistem nomor (Vancouver style), 15.Bab dalam buku
lihat contoh penulisan daftar pustaka. Catatan: menurut pola Vancouver ini untuk halaman diberi tanda p,
9. Bila ada tabel atau gambar harap diberi judul dan keterangan bukan tanda baca titik dua seperti pola sebelumnya).
yang cukup. Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh
10. Untuk foto, harap jangan ditempel atau di jepit di kertas tetapi JH, Brenner BM, editors. Hypertension: Patophysiology,
dimasukkan ke dalam sampul khusus. Beri judul dan keterangan Diagnosis and Management. 2nded. New York:Raven Press;
yang lengkap pada tulisan. 1995.p.465-78
11. Tulisan yang sudah diedit apabila perlu akan kami konsultasikan 16.Prosiding konferensi
kepada peer reviewer. Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent Advances in clinical
12. Tulisan disertai data penulis/curriculum vitae, juga alamat email neurophysiology. Proceedings of the 10 t h International
(jika ada), no. telp/fax yang dapat dihubungi dengan cepat. Congress of EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-
19; Kyoto, Japan. Amsterdam:Elsevier; 1996
Contoh Penulisan Daftar Pustaka 17.Makalah dalam konferensi
Daftar pustaka di tulis sesuai aturan Vancouver, diberi nomor sesuai Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection,
urutan pemunculan dalam keseluruhan tulisan, bukan menurut abjad. privacy and security in medical information. In: Lun KC,
Bila nama penulis lebih dari 6 orang, tulis nama 6 orang pertama diikuti Degoulet P, Piemme TE, editors. MEDINFO 92. Proceedings of
et al. Jumlah daftar pustaka dibatasi tidak lebih dari 25 buah dan terbitan the 7 th World Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-
satu dekade terakhir. 1 0 ; G e n e va , S w i t ze r l a n d . A m s t e r d a m : N o r t h - H o l l a n ;
Artikel dalam jurnal 1992.p.1561-5
1. Artikel standar 18.Laporan ilmiah atau laporan teknis
Vega KJ,Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor:
with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Smith P, Golladay K. Payment for durable medi-cal
Med 1996; 124(11):980-3. Lebih dari 6 penulis: Parkin DM, Clayton equipment billed during skilled nursing facility stays. Final
D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leu- report. Dallas(TX):Dept.of Health and Human Services (US),
kaemia in Europe after Chernobyl: 5 years follow-up. Br J Cancer Office of Evaluation and Inspections; 1994 Oct. Report No.:
1996; 73:1006-12 HHSIGOEI69200860
2. Suatu organisasi sebagai penulis Diterbitkan oleh unit pelaksana:
The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical Exercise Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Health Services
Stress Testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust R e s e a r c h : W o r k F o r c e a n d E d u c a t i o n I s s u e s.
1996; 164:282-4 Washington:National Academy Press; 1995. Contract No.:
3. Tanpa nama penulis AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care
Cancer in South Africa (editorial). S Afr Med J 1994; 84:15 Policy and Research
4. Artikel tidak dalam bahasa Inggris 19. Disertasi
Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar Kaplan SJ. Post-hospital home health care: The eldery’s
seneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen access and utilization [dissertation]. St. Louis (MO):
1996; 116:41-2 Washington Univ.; 1995
5. Volum dengan suplemen 20.Artikel dalam koran
Shen HM, Zhang QE. Risk assessment of nickel Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study
carcinogenicity and occupational lung cancer. Environ estimates 50,000 admissions annually. The Washington Post
Health Perspect 1994; 102 Suppl 1:275-82 1996 Jun 21; Sept A:3 (col.5)
6. Edisi dengan suplemen 21.Materi audio visual
Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women’s psychological HIV + AIDS: The facts and the future [videocassette]. St.
reactions to breast cancer. Semin Oncol 1996; 23(1 Suppl Louis (MO): Mosby-Year Book; 1995
2):89-97
7. Volum dengan bagian Materi elektronik
Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid 22.Artikel jurnal dalam format elektronik
in non-insulin dependent diabetes mellitus. Ann Clin Morse SS. Factors in the emergence of infection diseases.
Biochem 1995;32(Pt 3):303-6 Emerg Infect Dis [serial online] 1995 jan-Mar [cited 1996 Jun
8. Edisi dengan bagian 5];1(1):[24 screens]. Available from: URL:HYPERLINK
Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap 23.Monograf dalam format elektronik
lacerations of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990; CDI, Clinical dermatology illustrated [monograph on CD-
107(986 Pt 1):377-8 ROM]. Reeves JRT, maibach H. CMEA Multimedia Group,
9. Edisi tanpa volum producers. 2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995
Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle 24.Arsip komputer
arthrodesis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995; Hemodynamics III: The ups and downs of hemodynamics
(320):110-4 [computer program]. Version 2.2. Orlando [FL]: Computerized
10.Tanpa edisi atau volum Educational Systems
Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of the

58 DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007


ARTIKEL UTAMA

The Role of Cefepime:


Empirical Treatment in Critical
Illness
A Guntur H
Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr. Moewardi - Fakultas Kedokteran UNS Surakarta

Abstrak. Terapi secara empiris pada suatu daerah, dilakukan berdasarkan pada pola kuman yang didapatkan
pada rumah sakit setempat berdasarkan pola kuman dan uji kepekaan. Penelitian yang dilakukan pada infeksi
nosokomial di RSUD Dr Moewardi menunjukkan bahwa cefepime dapat digunakan sebagai terapi secara
empiris.

Pendahuluan ini bertanggung jawab untuk penetrasi yang cepat dari cefepime
Cefepime merupakan antibiotik dari kelas beta-lactam. melalui membran luar dari bakteri gram-negatif dan sebagai
Cefepime merupakan generasi keempat dari cephalosporin. salah satu kunci dari potensi antibakterialnya.
Kebanyakan turunan semisintetik dan strukturnya Hal ini dibuktikan dari terjadinya penetrasi sel yang cepat,
berhubungan dengan analog rumus bangunnya yang telah disebabkan dari efek penolakan dari anion tertentu pada
diidentifikasi sebagai dasar molekul cephalosporin (7-amino- periplasma tidak terjadi pada campuran ion dipolar ini.
cephalosporanic acid), yang terdiri dari suatu cincin hexagonal Modifikasi struktur inti cephem untuk menghasilkan
(dihydrothiaziolidine) yang dipadukan ke dalam cincin beta- cefepime menciptakan suatu antibiotik dengan suatu spektrum
lactam. Molekul dasar ini adalah sebagai inti cephem. antimikrobial yang seimbang dan lebar dan suatu potensi yang
Penggantian pada posisi 3 dan 7 telah dibuat untuk berharga untuk perawatan infeksi, baik gram positif maupun
meningkatkan spektrum antimikrobial dan sifat farmakokinetik gram negatif.1
dari cephalosporins.
Cefepime mirip generasi ketiga aminothiazole Infeksi Nosokomial
cephalosporins di mana di dalamnya mempunyai suatu gugus Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapatkan setelah
aminothiazolyl-methoxyimino pada posisi 7 inti cephem. Gugus penderita dirawat di rumah sakit baik tumbuh pada saat
ini akan mempengaruhi stabilitas dari beta-lactamase dan dirawat di rumah sakit juga pada penderita yang pulang dari
peningkatan aktivitas terhadap gram-negatif. rumah sakit.2,3
Cefepime adalah suatu zwitter ion, artinya merupakan suatu Infeksi Nosokomial sangat nyata merupakan penyebab
ion dipolar yang tidak mempunyai muatan. Cefepime adalah kesakitan dan kematian. Infeksi nosokomial dapat terjadi
zwitter ion sebab mempunyai suatu muatan negatif pada posisi oleh karena tindakan iatrogenik terutama yang mengalami
4 pada inti cephalosporin dan suatu substituen yang tindakan-tindakan instrumenisasi ataupun intervensi pada saat
mengandung nitrogen kuartener (muatan positif) pada posisi dirawat di rumah sakit, misalnya pemasangan kateter, infus,
3 dari inti. Hal ini sebagai bullet-shaped. Konfigurasi tertentu tindakan-tindakan operatif lainnya.4

DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 59


Infeksi Oportunistik terjadi pada penderita yang - Defek sistem imun humoral yang menyebabkan defisiensi
mengalami immunocompromised yang dirawat di rumah komplemen dan antibodi yang mengakibatkan gangguan
sakit, infeksi bisa berasal dari luar dan dari dalam penderita opsonisasi dan bakterisidal.
sendiri yang (AUTOCHTHOUS INFECTION) yang - Defek sistem imun seluler yaitu sistem fagositosit
disebabkan oleh karena kerusakan barier mukosa. (neutrofil, makrofag) dan sistem imun seluler spesifik.
Infeksi nosokomial transmisi berasal dari dokter, perawat - Penggunaan obat-obatan imunosupresan dan sitostatika.
dan pelayan medik yang lain bisa berasal dari tangan yang tidak - Penyakit-penyakit kanker, autoimun, diabetes mellitus,
steril, infeksi dari makanan, minuman atau ventilasi, kateter sirosis hati, gagal ginjal kronik, luka bakar.
dan alat endoscopi ataupun tindakan invasif yang lain.5-7
Menurut Dale DC penderita immunocompromised yang
termasuk juga manusia usia lanjut bila terkena infeksi
nosokomial mudah terjadi sepsis dan sering mengalami
Infeksi nosokomial dapat komplikasi yang mematikan yaitu syok septik. 7,11,12
terjadi oleh karena tindakan Infeksi nosokomial yang sering dijumpai adalah infeksi
luka, infeksi saluran pernapasan, infeksi saluran kencing dan
iatrogenik terutama yang infeksi saluran cerna.13
Penyakit infeksi yang masih merupakan penyebab
mengalami tindakan-tindakan kesakitan dan kematian yang tinggi di seluruh dunia,
instrumenisasi ataupun intervensi khususnya di negara sedang berkembang seperti Indonesia
sangat berkaitan dengan timbulnya mikroorganisme yang
pada saat dirawat di rumah sakit, resisten atau malah resisten terhadap banyak antibiotika
yang sebelumnya masih sensitif.
misalnya pemasangan kateter, Pada umumnya infeksi dibedakan secara garis besar
infus, tindakan-tindakan operatif menjadi 2 golongan menurut asal kuman penyebab, yaitu
infeksi komunitas bila sumber infeksi didapatkan di
lainnya. 4 masyarakat dan infeksi nosokomial bila sumber infeksinya
didapatkan di rumah sakit. Terapi antibiotika dapat
dilakukan secara empiris atau definitif. Terapi secara empiris
pada suatu daerah, di mana antibiotika diberikan atas dugaan
Epidemiologi kuman penyebab dari keadaan infeksi tersebut. Maka dugaan
Infeksi nosokomial mempunyai angka kejadian 2-12% tersebut harus berdasarkan pada pola kuman yang ada di
(rata-rata 5%) dari semua penderita yang dirawat di daerah atau Rumah Sakit yang bersangkutan. Bila
rumah sakit. Angka kematian 1-3% dari semua kasus yang identifikasi kuman dan uji kepekaan telah diketahui, maka
dirawat di rumah sakit di USA 1,5 juta per tahun dan dilakukan terapi definitif sesuai kuman yang didapat. Untuk
meninggal 15.000 orang. itu penulis melakukan penelitian dari bulan Januari s/d
Kennedy menyebut ICU sebagai ”hutan epidemiologis” Desember 2004 di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta.
karena begitu banyaknya organisme yang berkembang di
unit tersebut. Organisme utama yang menyebabkan Pola Kuman dan Uji Kepekaan di RSUD Dr.
infeksi nosokomial meliputi P. aeruginosa (13%), S. Moewardi
aureus (12%), Staphyloccoccus koagulase-negatif (10%), Dilakukan penelitian pola kuman dan uji kepekaan di RSUD
Candida (10%), Enterococci (9%) dan Enterobacter (8%). Dr. Moewardi, dengan besarnya sampel dalam penelitian
Di negara berkembang angka kejadian infeksi nosokomial pola kuman yang berasal dari spesimen darah (n=78) kuman
belum banyak diketahui dengan pasti.8 yang tumbuh 58%, sedangkan dari spesimen sputum (n=133)
kuman yang tumbuh 45% dan dari spesimen urin (n=73) yang
Faktor Kuman Penyebab Infeksi Nosokomial tumbuh 44% (Tabel 1).
Paling banyak adalah bakteri gram (-) sebab makin
banyaknya kuman bakteri gram (-) yang resisten terhadap Tabel 1. Pola Kuman Darah, Sputum dan Urin di RSUD Dr.
beberapa macam antibiotika. Moewardi Surakarta Tahun 2004
Bakteri gram (+) misalnya: Streptococus, Staphilococcus JENIS KUMAN PUS THT LCS
Citrobacter sp
aurius. Dan juga bakteri anaerob.
E. coli sp 4 1
Pada Rumah Sakit yang kapasitasnya besar, di mana Enterobacter sp 25 2
mempunyai tempat tidur >200 s/d 500 banyak di temukan infeksi Klebsiella sp 5
Gram - 59 12 4
nosokomial yang berasal dari gram positif. Misalnya: Methicillin- Proteus sp 9 2
Pseudomonas sp 16 8 3
resistant Staphylococcus aureus (MRSA).9-10
Salmonella sp
Serratia sp
Faktor Penjamu Staphylococcus sp 16 2 1
Gram + 20 9 2
Pada penderita dengan immunocompromised sangat rentan
Streptococcus sp 4 7 1
terhadap infeksi nosokomial, yang termasuk dalam JUMLAH TUMBUH 79 21 6
immunocompromised adalah:
60 DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007
Dari hasil kultur kuman yang tumbuh yang didapat dari Pseudomonas sp (16%) dan Proteus sp (9%). Sedangkan
spesimen darah, kuman gram negatif: Enterobacter sp (12%), kuman gram positif: Staphylococcus sp (16%). Untuk
Citobacter sp (8%), Pseudomonas sp (5%) dan Salmonella spesimen yang berasal dari THT, kuman gram negatif:
sp (5%). Sedangkan kuman gram positif: Streptococcus sp Pseudomonas sp (25%), Enterobacter sp (6%) dan Proteus
(17%). Untuk spesimen yang berasal dari sputum, kuman sp (6%); kuman gram positif: Streptococcus sp (22%). Dan
gram negatif: Klebsiella sp (11%) dan Enterobacter sp (8%); dari hasil kultur kuman yang tumbuh yang didapat dari
kuman gram positif: Streptococcus sp (17%). Dan dari hasil spesimen LCS, kuman gram negatif: Pseudomonas sp (8%)
kultur kuman yang tumbuh yang didapat dari spesimen urin, dan E. coli sp (3%); kuman gram positif: Streptococcus sp
kuman gram negatif: Enterobacter sp (11%), Klebsiella sp (3%) dan Staphylococcus sp (3%).14
(10%) dan E. coli sp (5%); kuman gram positif: Kuman yang resisten terhadap antibiotika merupakan
Staphylococcus sp (11%).14 masalah global, oleh karena itu penggunaan antibiotika
Besar sampel dari spesimen pus (n=103) kuman yang yang sangat tepat merupakan bagian dari pencegahan
tumbuh 77%, sedangkan dari spesimen THT (n=32) kuman resistensi antibiotika. Untuk itu penulis melakukan uji
yang tumbuh 65% dan dari spesimen LCS (n=36) yang kepekaan kuman di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dari
tumbuh 17% (Tabel 2). kuman-kuman yang tumbuh pada kultur kuman yang
berasal dari berbagai spesimen terhadap berbagai jenis
Tabel 2. Pola Kuman Pus, THT dan LCS di RSUD Dr. antibiotika (Tabel 3 dan 4).
Moewardi Surakarta Tahun 2004
JENIS KUMAN DARAH SPUTUM URIN Tabel 3. Hasil Uji Kepekaan Kuman (Darah, sputum dan urin)
Citrobacter sp 6
E. coli sp 4
di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Tahun 2004
Enterobacter sp 9 10 8 DARAH SPUTUM URIN
JENIS ANTIBIOTIK
Gram - Gram + Gram - Gram + Gram - Gram +
Klebsiella sp 1 15 7
Amikacin 2 2 2 1
Gram - Proteus sp 25 3 31 1 22
Augmentin 1 2 1
Pseudomonas 4 3 2 Cefepime 4 3 8 5 12
sp Cefotaxime 2 2
Salmonella sp 4 Ceftriazone
Serratia sp 1 Ceftazidime 1
Staphylococcus 7 7 8 Cefuroxime 1
sp Chloramphenicol
Gram + 20 30 10
Streptococcus 13 23 2 Ciprofloxacin 4 1 1 1 1
sp Co-Trimoxazole 1
JUMLAH TUMBUH 45 61 32 Debikacin
JUMLAH PASIEN 78 133 73 Erytromycin
Fosfomycin 3 6 3 3 2
Gatifloxacin 6 5 4 2
Gentamicin 1

Kuman yang resisten Meropenem


Nitrofurantoin
3 1
2
6 3 3

Norfloxacin 1
terhadap antibiotika Sam
Tetracyclin
2 1
1
1 1

merupakan masalah global, Resisten semua 1 13 6

oleh karena itu penggunaan JUMLAH 25 20 31 30 22 10

antibiotika yang sangat tepat Tabel 4. Hasil Uji Kepekaan Kuman (Pus, THT dan LCS) di
merupakan bagian dari pencegahan RSUD Dr. Moewardi Surakarta Tahun 2004
PUS THT LCS
JENIS ANTIBIOTIK
resistensi antibiotika. Untuk itu Amikacin
Gram - Gram +
2 1
Gram - Gram + Gram - Gram +
1

penulis melakukan uji kepekaan Augmentin


Cefepime 20 5 6 2 1
Cefotaxime 1
kuman di RSUD Dr. Moewardi Ceftriaxone 1
Ceftazidime 1
Surakarta dari kuman-kuman yang Cefuroxime
Chloramphenicol 1
tumbuh pada kultur kuman yang Ciprofloxacin
Co-Trimoxazole
1 2 1

berasal dari berbagai spesimen Debikacin


Erythromycin
Fosfomycin 7 2 1 1
terhadap berbagai jenis antibiotika Gatifloxacin 10 2 1 1
Gentamicin
(tabel 3 dan 4) Meropenem 19 5 1 1
Nitrofurantoin
Norfloxacin
Sam 1 2 1
Tetracyclin 1
Resisten semua 1 3
Dari hasil kultur kuman yang tumbuh yang didapat dari JUMLAH 59 20 12 9 4 2
spesimen pus, kuman gram negatif: Enterobacter sp (23%),

DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 61


Dari hasil penelitian tersebut dapat kita lihat bahwa Terapi secara empiris pada suatu daerah, dilakukan
penyebaran dan hasil uji kepekaan, yang paling tinggi adalah: berdasarkan pada pola kuman yang didapatkan pada rumah
1. Cefepime; 2. Meropenem; 3. Fosfomycin; 4. Gatifloxacin. sakit setempat. Berdasarkan pola kuman dan uji kepekaan
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dasar pemberian yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta,
empirical treatment pada awal pengobatan di RSUD Dr. didapatkan bahwa cefepime mempunyai penyebaran paling
Moewardi kita gunakan Cefepime.14 luas dan mempunyai hasil uji kepekaan yang cukup tinggi,
Penggunaan antibiotika pada keadaan sepsis: serta merata pada semua media (urin, darah, sputum, pus,
1. Antibiotika segera diberikan seawal mungkin saat LCS dan THT).
diagnosis ditegakkan. Maka dapat disimpulkan bahwa Cefepime dapat
2. Sebelum didapatkan hasil kultur bakteri segera diberikan digunakan sebagai empirical treatment pada infeksi
antibiotika yang sesuai berdasarkan pada pola kuman yang Nosokomial, khususnya di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
ada di daerah sakit setempat sampai dengan terdapat hasil
kultur yang sesuai/definitif.
3. Kalau perlu diberikan antibiotika kombinasi yang
bermanfaat untuk: gram (+) dan gram (-).
Infeksi nosokomial
4. Antibiotika diberikan secara intravena dengan dosis merupakan infeksi yang
maksimal.
5. Pemberian antibiotika yang adekuat menurunkan angka
banyak terjadi pada penderita
kematian 10-15% bila dibandingkan pemberian yang tidak
adekuat.
yang di rawat di rumah sakit
dan merupakan penyebab
Pada 59 penderita diabetes melitus dengan ulkus pedis,
laki–laki 22 penderita (37,3%) dan wanita 37 penderita
kesakitan dan kematian
(62,7%). Penderita yang mengalami sepsis 27 penderita
(45,8%) dan tidak sepsis 32 penderita (54,2%).
terutama pada penderita
dengan immunocompromised.
Hasil kultur kuman ditempat ulkus pedis
Kuman Jumlah kuman %
Enterobacter 10 55,6
Staphylococcus sp 3 16,7
Pseudomonas 2 11
E. coli
Klebsiella
1
1
5,6
5,6
Daftar Pustaka
Proteus 1 5,6 1. Anonim. The chemistry, microbiology, pharmacokinetics and clinical
experience of a new fourth-generation cephalosporin. Italia:Bristol-Myers
Squibb Company; 1996
Sensitivitas kuman terhadap antibiotik 2. Heratige J. Tutorial on nosocomial infections. 2001. Available from: URL:
Jenis antibiotik Jumlah antibiotik % http://www.bmb.leeds.ac.uk-/mbiology
Cefepime 12 66,7 3. Anonim. Nosocomial infection. 2005. Available from: URL: http://
Meropenem 9 50
www.waterionisation.com
Fosfomycin 7 38,9
Gatifloxacin 5 27,8 4. Duffi JR. Nosocomial infection important acute care nursing-sensitive
Amikacin 5 27,8 outcomes indicators. AACN-CLIN 2002; 13(3):358-66
Augmentin 3 16,7 5. Liu H. Nosocomial infections: a multidisciplinary approach to
Sulbactam – Cefoperazone 2 11,1 management. 2001. Available from: URL: http://www.powerpak.com
Chloramfenicol 2 11,1
Ceftazidime 2 11,1
6. Center for Disease Control and Prevention (CDC). Sterilization or
Cefoperazone 2 11,1 disinfection of medical devices: general principles. 2002. Available from:
Ciprofloxacin 2 11,1 URL: http://www.cdc.gov/-ncidod/hip/sterile/sterilgp.htm
Norfloxacin 2 11,1 7. Anonim. Nosocomial infection. 2002. Available from: URL: http://
Ceftriaxone 1 5,6 www.person@calfmc.flinders.edu.au
8. Gardner P and Causey WA. Acquired hospital infection. Horrison’s
Principles of Internal Medicine. 13 th edition. 1994.p.855-9
Kesimpulan 9. Johnson A. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) infection.
Infeksi nosokomial merupakan infeksi banyak terjadi pada 2000. Available from: URL: http://www.netdoctor.co.uk
penderita yang di rawat di rumah sakit dan merupakan 10. Jones BN. Resistance pattern among nosocomial pathogens. Chest 2001;
119:397s-404s
penyebab kesakitan dan kematian terutama pada penderita 11. Cowley R. Persistent SIRS is predictive of nosocomial infection in
dengan immunocompromised. trauma. J Trauma 2002; 53(2):24550
Infeksi nosokomial banyak dijumpai pada infeksi traktus 12. Sneller MC and Lane HC. Immunocompromised host. Clinical Immunology
urinarius, dari luka post positif, infeksi saluran nafas dan Principles and Practise 1996:579-93
13. BUPA’s Health Information Team. Health news - MRSA - the facts. 2005
infeksi sistem saluran cerna dan tidak menutup kemungkinan 14. Guntur. Pola kuman dan sensitivitas tes RSUD Dr. Moewardi Surakarta
jenis infeksi-infeksi lain yang didapatkan selama penderita tahun 2004. 2005 (unpublished)
di rawat di rumah sakit. 15. Sugiarto, Diding HP, Guntur H. Role albumin and sensitivitas
Sepsis sering terjadi pada infeksi nosokomial terutama nicobacterium in ulcus diabiticum. 13 th International Symposium on Shock
and Critical Care 2006 Bali Indonesia, 2006.p.163-4
pada penderita immunocompromised dan penderita yang
lama di rawat di RS.

62 DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007


SEKILAS PRODUK

Sekilas Produk Exepime Injeksi


Fast and Strong
Antibiotik for Severe Infection

Cefepime adalah antibiotik injeksi sefalosporin generasi Aerob Gram-negatif:


IV & merupakan suatu molekul zwitter ion. Zwitter ion • Acinetobacter calcoaceticus (subsp. anitratus. Iwoffi)
merupakan suatu ion dipolar yang tidak mempunyai • Citrobacter spp. termasuk C. diversus, C. treundii
muatan. Sebagai zwitter ion, cefepime mempunyai suatu • Enterobacter spp. termasuk E. cloacae, E. aerogenes
muatan negatif pada posisi 4 pada inti cephalosporin dan • Escherichia coli
suatu substituen yang mengandung nitrogen kuartener • Haemophilus influenzae (termasuk strain penghasil
(muatan positif) pada posisi 3 dari inti cephem. Hal ini beta-laktamase)
dikenal sebagai bullet-shaped. Konfigurasi tertentu zwitter • Klebsiella spp. termasuk K. pneumoniae, K oxytoca,
ion ini bertanggung jawab untuk penetrasi yang cepat K. ozaenae
dari cefepime melalui membran luar bakteri gram- • Morganella morganii
negatif dan sebagai salah satu kunci dari potensi • Moraxella catarrhalis (Branhamella catarrhalis)
antibakterialnya. Hal ini dibuktikan dari terjadinya termasuk strain penghasil beta-laktamase
penetrasi sel yang cepat, disebabkan dari efek penolakan • Neisseria meningitidis
anion tertentu pada periplasma namun tidak terjadi pada • Providencia spp., termasuk P. rettgeri. P. stuartii
campuran ion dipolar ini. • Pseudomonas spp., termasuk P. aeruginosa, P. putida,
Modifikasi pada struktur inti cephem untuk P. stutzeri
menghasilkan cefepime menciptakan suatu antibiotik • Salmonella spp.
dengan suatu spektrum antimikrobial yang seimbang dan • Serratia termasuk S marcescens
2
luas serta merupakan suatu potensi yang berharga untuk • Shigella spp.
perawatan infeksi, baik oleh bakteri gram positif maupun
gram negatif.1 Farmakokinetik
Untuk memenuhi kebutuhan akan antibiotik tersebut Dari sisi farmakokinetik, konsentrasi cefepime terdistribusi
di atas maka PT Ferron Par Pharmaceuticals dengan luas pada berbagai jaringan & cairan tubuh yang spesifik
bangga telah memasarkan preparat cefepime 1 g dengan sehingga ideal sebagai pilihan terapi empiris berbagai
nama dagang EXEPIME 1 g. kasus infeksi seperti terlihat pada tabel berikut.

Farmakodinamik Tabel konsentrasi rata-rata cefepime di dalam berbagai


Cefepime telah terbukti kemampuan bakterisidalnya jaringan (mcg/g) dan cairan tubuh (mcg/ml) pada laki-
melalui analisis time-kill (killing-curves) dan penentuan laki dewasa
Jaringan atau normal
Dosis (IV) Waktu rata-rata dari Konsentrasi
cairan tubuh sample post-dose (jam) rata-rata
minimum bactericidal concentrations (MBC) pada berbagai Urin 500 mg 0-4 292
jenis bakteri. Rasio MBC/MIC cefepime adalah < 2 untuk 1g 0-4 926
2g 0-4 3.120
lebih dari 80% dari seluruh isolat spesies gram positif Empedu 2g 9,4 17,8
dan gram negatif yang diuji. Cefepime juga sinergis dengan Cairan peritoneal 2g 4,4 18,3
Cairan lepuh 2g 1,5 81,4
aminoglikosida secara in vitro, terutama pada isolat Mukosa bronkus 2g 4,8 24,1
Pseudomonas aeruginosa. Berikut ini beberapa strain Sputum 2g 4,0 7,4
organisme yang sensitif terhadap cefepime: Prostat 2g 1,0 31,5
Apendiks 2g 5,7 5,2
Aerob Gram-positif: Kandung empedu 2g 8,9 11,9
• Staphylococcus aureus (termasuk strain penghasil
beta-laktamase)
• Staphylococcus epidermidis (termasuk strain penghasil Berdasarkan luasnya spektrum bakteri dan distribusi
beta-laktamase) cefepime pada berbagai jaringan dan cairan tubuh maka
• Staphylococci yang lain termasuk S. hominis, S. cefepime dapat diindikasikan pada kasus:
saprophyticus • Septikemia
• Streptococcus pyogenes (Group A streptococci) • Pengobatan empiris pada pasien febrile neutropenia
• Streptococcus agalactiae (Group B streptococci) • Infeksi saluran pernapasan bawah: pneumonia dan
• Streptococcus pneumoniae (termasuk intermediate bronkopneumonia
penicillin resistant strains dengan MIC penicillin 0,1 • Infeksi saluran kemih bagian atas (pyelonephritis) dan
sampai 1 mcg/ml) bawah dengan komplikasi
• b-hemolytic streptococci lain (Group C. G, F), S. bovis • Infeksi intraabdominal: peritonitis dan infeksi saluran
(Group D), Viridans streptococci. empedu2

DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 63


SEKILAS PRODUK

SEKILAS PRODUK KETRICIN TABLET

Salah satu pertimbangan dokter dalam pemilihan preparat c. Eritroblastopenia (RBC anemia) &
obat terutama untuk pasien anak-anak adalah RASANYA. d. Anemia hipoplastik kongenital (erythroid)
Sebaik apapun efek suatu obat, tetapi bila tidak bisa Penyakit neoplastik: leukemia akut
diterima dengan baik oleh pasien anak, maka obat tersebut Penyakit dermatologi:
tidak akan berguna. a. Erythema multiforme berat (Stevens-Johnson
Khusus untuk golongan kortikosteroid oral, hampir Syndrome)
semua preparat kortikosteroid oral berasa pahit bahkan b. Exfoliative dermatitis
sangat pahit, sehingga sulit diterima oleh anak-anak. c. Psoriasis berat
Namun saat ini PT Ferron Par Pharmaceutical telah Penyakit kolagen:
meluncurkan satu preparat kortikosteroid oral YANG a. Acute rheumatic carditis
TIDAK PAHIT, dengan nama dagang KETRICIN. b. Systemic lupus erythematosus
Ketricin tablet mengandung triamcinolon 4 mg, Keadaan alergi:
preparat ini terutama bekerja sebagai glukokortikoid dan a. Seasonal atau perinneal allergic rhinitis
mempunyai daya antiinflamasi yang kuat, mempunyai efek b. Asma bronkial
hormonal dan metabolik seperti kortison. Ketricin berbeda c. Dermatitis kontak
dengan glukokortikoid alami, yaitu: dalam hal efek d. Dermatitis atopik
antiinflamasi dan glukoneogenesis yang lebih besar dan e. Serum sickness
sifat retensi garamnya yang lebih sedikit.1-3 f. Angioedema
Dibandingkan dengan kortikosteroid lain, Ketricin yang g. Urtikaria
termasuk dalam golongan intermediate acting, yang
1-3
mempunyai beberapa kelebihan, antara lain: Dosis:
• RASA TIDAK PAHIT. Hal ini sangat menguntungkan Dosis triamsinolon pada awalnya bervariasi 4-48 mg/hari
terutama untuk pasien anak-anak yang sangat sensitif dan tergantung pada kondisi penyakit & respon pasien.
terhadap rasa. Penghentian steroid setelah terapi jangka panjang dianjurkan
1,2
• Dibandingkan dengan sediaan intermediate acting yang untuk dilakukan secara perlahan-lahan atau tapering off.
lain (prednisolon), Ketricin memiliki efek samping Pengaturan dosis pada bayi dan anak-anak mengacu
mineralokortikoid (efek peningkatan tekanan darah dan pertimbangan kondisi penyakit pasien dan disesuaikan usia
moon face) dan memiliki efek samping gastrointestinal atau berat badan, yaitu:
yang lebih minimal. • Berat badan:2
0,117-1,66 mg/kgBB/hari terbagi 4 kali
• Dibandingkan dengan sediaan long acting (dexametason pemberian
2
dan betametason), Ketricin memiliki efek supresi HPA • Luas permukaan 2
tubuh: 3,3-50 mg/m /hari terbagi 4
axis dan efek samping gastrointestinal yang lebih kali pemberian
minimal.
• Dibandingkan dengan sediaan short acting (kortison Kemasan:
dan hidrokortison) efek mineralokortikoid (peningkatan Kotak, 10 strip @ 10 tablet
tekanan darah dan moon face) serta efek samping
gastrointestinal Ketricin lebih minimal Kesimpulan:
Ketricin tablet merupakan kortikosteroid oral TANPA RASA
3
Tabel konversi dosis dari molekul kortikosteroid lain: PAHIT (bermanfaat untuk meningkatkan penerimaan pasien
Waktu
Dosis glukokortikoid
Potensi relatif
paruh Masa kerja
anak-anak), masa kerja menengah (efek supresi HPA axis
AGEN
yang ekuivalen (mg) Antiinflamasi Mineralokortikoid eliminasi
(jam)
(jam) minimal), efek antiinflamasi kuat (setara dengan
Prednison 5 4 0.8 3.5 18-36 methylprednisolone), efek mineralokortikoid minimal, indikasi
Triamsinolon 4 5 0.0 3.0 18-36
Metilprednisolon 4 5 0.5 2-3 18-36 luas dan kualitas terjamin.
Deksametason 0,75 20-50 0.0 3.5 18-36

Referensi:
Indikasi: 1. Ketricin, PT Dexa Medica. Package Insert.
Penyakit saluran pernapasan: 2. McEvoy GK, et al. Triamcinolone. In: McEvoy GK, et
a. Symptomatic sarcoidosis al (editors). AHFS drugs Information 2005. Bethesda:
b. Tuberkulosis yang memburuk & mendapat kemoterapi American Society of Healthy System Pharmacist, Inc.
c. Pulmonary emphysema 2005.p.2941-3.
d. Asma2 3. Millier JW. Drugs and the endocrine & metabolic
Gangguan hematologi: systems. In: Page C, et al (editors). Chapter 15
a. Idiopatik & trombositopenia Integrated pharmacology, 2nd ed. Philadelphia: Mosby
b. Anemia hemolitika International Ltd; 2002.p.281-326.

DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 67


ARTIKEL UTAMA

Pemakaian Cetirizine dan


Kortikosteroid pada Penyakit
Alergi Anak
Mazdar Helmy, Zakiudin Munasir
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta

Abstrak. Penyakit atopi seperti asma dan eksim merupakan kondisi alergi yang cenderung diturunkan dalam
keluarga dan dikaitkan dengan pembentukan antibodi IgE spesifik terhadap alergen lingkungan. Tatalaksana
medikamentosa yang diberikan berdasarkan pada reaksi inflamasi alergi yang mendasari penyakit. Pada
individu yang rentan terhadap alergi, paparan dengan alergen menghasilkan aktivasi sel Th2 dan produksi
antibodi IgE. Reaksi kerusakan jaringan yang disebabkan oleh respons imun tersebut merupakan reaksi
hipersensitivitas dan istilah alergi sering disamakan dengan hipersensitivitas segera (tipe I). Pada reaksi alergi
juga terjadi proses inflamasi yang terjadi pada fase lambat. Histamin merupakan mediator utama dalam reaksi
alergi. Oleh karena itu, salah satu terapi utama dalam alergi adalah pemberian antihistamin. Cetirizine
merupakan antihistamin yang sangat kuat dan spesifik. Cetirizine merupakan antagonis reseptor histamin-
1(H1) generasi kedua yang aman digunakan pada terapi alergi. Selain mempunyai efek antihistamin, cetirizine
juga mempunyai efek antiinflamasi. Efek antiinflamasi cetirizine terutama ditunjukkan melalui penghambatan
kemotaksis sel inflamasi. Efek antiinflamasi cetirizine juga tercapai melalui penghambatan ekspresi molekul
adhesi yang berperan dalam proses penarikan sel inflamasi.
Kortikosteroid juga mengurangi jumlah sel inflamasi dengan menghambat penarikan sel inflamasi ke jaringan
inflamasi melalui penekanan produksi mediator kemotaktik dan molekul adesi, serta juga menghambat
keberadaan (survival) sel inflamasi tersebut. Penggunaan kortikosteroid oral pada keadaan alergi fase cepat/
akut membutuhkan potensi glukokortikoid yang lebih tinggi dibandingkan potensi mineralkortikoid untuk
menghindari efek samping retensi natrium. Selain itu pemilihan bentuk formula dan rasa juga berperan dalam
kepatuhan anak dalam berobat dengan kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid pada inflamasi alergi tergantung
pada beberapa faktor yang menentukan manfaat dan risiko pada tiap anak.

Pendahuluan Australia, New Zealand, Amerika Utara dan Selatan, sedangkan


Penyakit atopi seperti hayfever, asma dan eksim merupakan daerah dengan prevalensi asma rendah antara lain Eropa
kondisi alergi yang cenderung diturunkan dalam keluarga dan Timur, Indonesia, Yunani, Cina, Taiwan dan India. Studi ISAAC
dikaitkan dengan pembentukan antibodi IgE spesifik terhadap tersebut menunjukkan Cina, Indonesia dan India mempunyai
2
alergen lingkungan. Peningkatan prevalensi penyakit atopi ini prevalensi asma terendah (< 5%). Berdasarkan pada penelitian
telah menjadi masalah kesehatan di berbagai negara.1 Menurut epidemiologi asma dan alergi di Jakarta (2006), didapatkan
3
studi The International Study of Asthma and Allergy in prevalensi asma adalah 13,9%. Angka ini meningkat
Childhood (ISAAC) yang dilakukan pada anak usia 6-14 tahun dibandingkan beberapa studi sebelumnya di Jakarta yang
4-6
di 155 pusat di 58 negara, didapatkan prevalensi asma usia 6-7 menunjukkan prevalensi asma berkisar antara 7-9%.
tahun berkisar antara 1,6-27,2% dan usia 13-14 tahun sekitar Demikian pula halnya dengan prevalensi rinitis alergi yang
35,3%. Sedangkan prevalensi dermatitis atopi pada anak usia meningkat dari 9% menjadi 12,3%, dan peningkatan prevalensi
3-6
6-7 tahun berkisar 0,7-18,4%, dan anak 13-14 tahun berkisar dermatitis atopi dari 4% menjadi 24,6%.
antara 0,6-20,5%. Berdasarkan hasil studi ISAAC tersebut Peningkatan prevalensi penyakit alergi ini membutuhkan
daerah dengan prevalensi alergi tinggi antara lain Inggris, perhatian khusus karena perkembangan penyakit alergi sangat

68 DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007


mempengaruhi kualiatas perkembangan dan pertumbuhan menyebabkan dilatasi pembuluh darah kecil, meningkatkan
anak. Tatalaksana yang komprehensif dibutuhkan dalam permeabilitas vaskular dan menstimulasi kontraksi otot polos
penanganan penyakit alergi, terutama dalam pemahaman transient (bronkokonstriksi). Produk sel mast, terutama
pentingnya pencegahan yang sangat efektif bila dilakukan histamin, berperan penting dalam respon alergi fase cepat.
dalam masa awal kehidupan dan pemahaman bahwa respons Protease akan menyebabkan kerusakan jaringan lokal.
inflamasi mendasari reaksi alergi. Oleh karena itu, tatalaksana Metabolit asam arakidonat termasuk prostaglandin (jalur
medikamentosa yang diberikan juga harus berdasarkan pada siklooksigenase), menyebabkan dilatasi vaskular, dan leukotrien
reaksi inflamasi alergi yang mendasari penyakit. (jalur lipooksigenase), menyebabkan kontraksi otot polos yang
memanjang. Sitokin akan menginduksi inflamasi lokal (reaksi
7,9,10
Inflamasi Alergi fase lambat).
Pada individu yang rentan terhadap alergi, paparan dengan Sitokin TNF dan IL-4 akan menyebabkan inflamasi melalui
9
alergen (antigen) menghasilkan aktivasi sel Th2 dan produksi peran neutrofil dan eosinofil. Selama paparan alergen
7,8
antibodi IgE. Reaksi kerusakan jaringan yang disebabkan oleh persisten, terjadi akumulasi neutrofil dan eosinofil di jaringan.
respons imun tersebut merupakan reaksi hipersensitivitas dan Aktivasi eosinofil akan menyebabkan pelepasan protein granul
istilah alergi sering disamakan dengan hipersensitivitas segera sekunder toksik. Protein tersebut berpotensi efek sitotoksik
7
(tipe I). pada jaringan pejamu. Kerusakan proinflamasi lebih lanjut
Antibodi IgE terikat dengan afinitas tinggi melalui bagian disebabkan oleh pembentukan radikal oksigen tidak stabil yang
Fc dengan reseptor FcεRI di sel mast. Proses pelapisan (coating) dibentuk oleh respiratory burst oxidase apparatus. Neutrofil
sel mast oleh IgE ini disebut sensitisasi, karena pelapisan ini teraktivasi dapat melepaskan berbagai produk inflamasi, yang
10
menyebabkan sel mast sensitif terhadap aktivasi bila terjadi juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan.
paparan ulang antigen. Selama fase sensitisasi awal, tidak Migrasi leukosit (sel inflamasi) ke tempat inflamasi
terdapat reaksi kerusakan pada pejamu yang berlebihan. tergantung pada tiga langkah yang diperantarai oleh molekul
Apabila sel mast yang tersensitisasi oleh IgE terpapar kembali adhesi, yaitu 1) leucocyte rolling di endotel yang teraktivasi,
dengan antigen, sel akan teraktivasi untuk mengeluarkan merupakan selectin-dependent, 2) adhesi ketat leukosit pada
mediator. Aktivasi sel mast terjadi sebagai hasil ikatan alergen endotel, merupakan integrin-dependent dan 3) migrasi
dengan 2 atau lebih antibodi IgE di sel mast. Setelah adanya transendotelial yang terjadi di bawah pengaruh sitokin
7
ikatan silang, maka akan memicu signal biokimia yang (kemokin). Beberapa interaksi molekul adhesi terlibat dalam
menyebabkan degranulasi cepat, sintesis dan sekresi mediator fase adhesi ini, termasuk LFA-1(CD11a/CD18) dengan
8,9
lipid dan sintesis dan sekresi sitokin. intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1, CD54) dan ICAM-
Mediator penting pada sel mast adalah amin vasoaktif dan 2, CR-3(CD11b/CD18) dengan ICAM-1 dan VLA-4(CD41d/
protease yang berasal dari granul, produk metabolisme asam CD29), kelompok integrin, dengan vascular cell adhesion
arakidonat dan sitokin (TNF-α, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6 dan molecular-1 (VCAM-1). Setelah sel inflamasi meninggalkan
kemokin termasuk IL-8). Mediator amin utama, yaitu histamin kompartemen vaskular, sel tersebut akan menuju ke lokasi
11
reaksi inflamasi melalui matriks ekstraseluler.

Secara garis besar, tatalaksana Tatalaksana


Secara garis besar, tatalaksana penyakit alergi pada anak
penyakit alergi pada anak terbagi dalam 3 langkah, yaitu penghindaran alergen
terbagi dalam 3 langkah, yaitu pencetus dan kontrol lingkungan, farmakoterapi dan
imunoterapi. Penghindaran alergen dan kontrol lingkungan
penghindaran alergen merupakan upaya lini terdepan dalam mengatasi penyakit
pencetus dan kontrol alergi pada anak dan sangat berkaitan dengan pencegahan.
Strategi pencegahan dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu
lingkungan, farmakoterapi primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer ditujukan
dan imunoterapi. Penghindaran pada individu yang masih sehat, belum terbukti adanya
sensitisasi terhadap alergen yang dapat menimbulkan
alergen dan kontrol lingkungan penyakit, namun mempunyai risiko untuk timbul alergi.
merupakan upaya lini terdepan Pencegahan ini bertujuan menghambat sensitisasi imunologi
oleh alergen terutama mencegah terbentuknya IgE. Saat
dalam mengatasi penyakit alergi penghindaran dilakukan sejak pranatal pada janin yang dari
pada anak dan sangat berkaitan keluarga yang mempunyai bakat atopik.
1,12

Pencegahan sekunder ditujukan pada anak yang belum


dengan pencegahan. Strategi memilik fenotip alergi atau manifestasi alergi, namun
pencegahan dapat dibagi dalam mempunyai petanda (sensitisasi alergi) yang menunjukkan
adanya risiko tinggi untuk timbul manifestasi alergi.
tiga tahap, yaitu primer, Pencegahan ini bertujuan untuk menekan timbulnya penyakit
sekunder dan tersier. setelah sensitisasi. Keadaan sensitisasi diketahui dengan cara
pemeriksaan IgE spesifik dalam serum darah, darah tali pusat

DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 69


atau uji kulit. Pencegahan ini difokuskan pada bayi baru lahir lemak rendah), sehingga efek sedasi menjadi berkurang, dan
1,12
sampai anak usia 2-3 tahun. selektif terhadap reseptor H1, sehingga menghasilkan efek
Pencegahan tersier dilakukan setelah terjadi penyakit alergi samping yang sedikit karena aktivasi reseptor muskarinik,
namun belum timbul gejala asma, yang biasa terjadi 6 bulan adrenergik alfa maupun reseptor-reseptor fisiologik yang lain
14,15
sampai 3-4 tahun. Pencegahan ini bertujuan untuk mencegah juga berkurang.
dampak lanjutan setelah timbulnya alergi atau timbulnya Generasi ketiga merupakan perkembangan dari
allergic march. Allergic march merupakan perjalanan penyakit antihistamin generasi pendahulunya. Levocetirizine
alergi yang alamiah yang akan berubah sesuai dengan usia. merupakan suatu antihistamin baru dari suatu evolusi
Pencegahan ini dilakukan pada anak yang sudah mengalami antihistamin, dari buklizin ke hidroksizin dan dari cetirizine
13
sensitisasi dan menunjukkan manifestasi penyakit yang masih ke levocetirizine dalam kelompok piperazin.
dini. Sasarannya adalah bayi dan anak yang telah menunjukan
gejala klinis dari alergi atau mereka yang positif terhadap skin Cetirizine
12
prick test atau peningkatan antibodi IgE terhadap aeroalergen. Cetirizine merupakan antihistamin yang sangat kuat dan
spesifik. Cetirizine merupakan antagonis reseptor H1 generasi
Antihistamin kedua, yang merupakan metabolit aktif asam karboksilat dari
13
Terapi reaksi hipersensitivitas segera bertujuan untuk antagonis reseptor H1 generasi pertama yaitu hidroksizin.
menghambat degranulasi sel mast, melawan efek mediator sel Efek samping yang dapat muncul yaitu somnolen yang
mast dan mengurangi inflamasi. Histamin merupakan mediator bersifat dose-dependent, sakit kepala dan masalah saluran
utama dalam reaksi hipersensitivitas atau reaksi alergi. Oleh cerna. Efek sistem saraf pusat (SSP) dari antihistamin generasi
karena itu, salah satu terapi utama dalam alergi adalah kedua jarang terjadi, dibandingkan dengan generasi pertama
pemberian antihistamin. Antihistamin merupakan antagonis dan tidak berinteraksi dengan agen aktif lain di SSP seperti
reseptor histamin yang mempunyai sifat menghambat efek diazepam. Cetirizine juga tidak mempunyai efek samping
histamin. Antihistamin mempunyai struktur yang menyerupai terhadap hepar dan jantung. Metabolit cetirizine tidak diolah
13
histamin sehingga dapat menempati reseptor histamin. di hepar dan diekskresi ke urin dan feses dalam bentuk yang
(Gambar 1) tidak berubah. Penggunaan cetirizine selama 7 hari tidak
14
memperpanjang interval QTc dibandingkan plasebo.
Reseptor H1 tersebar luas di berbagai sel, seperti sel otot
polos, sel endotel, sel mast, basofil dan eosinofil. Semua reseptor
tersebut mudah dicapai dari sirkulasi darah. Oleh karena itu,
antagonis reseptor H1 tidak memerlukan distribusi jaringan
yang luas untuk aksi kerjanya. Pada sel mast dan basofil, hasil
akhirnya adalah pelepasan mediator. Target antagonis H1
adalah reseptor eksternal, sehingga efek farmakologik dicapai
tanpa penetrasi sel dan tidak memerlukan penembusan
membran sel atau sitosol. Sebagian besar antagonis H1 tidak
dapat melewati sawar darah otak, namun beberapa obat dengan
liposolubilitas yang tinggi dapat melewati sawar tersebut.
Dengan adanya volume distribusi yang rendah dari antagonis
16
H1, maka penembusan sawar darah otak dapat diminimalisasi.
Gambar 1. Mekanisme kerja antihistamin (Dikutip dengan Selain mempunyai efek antagonis terhadap reseptor H1,
modifikasi dari Church MK, 2004) cetirizine juga mempunyai efek antiinflamasi. Efek
antiinflamasi cetirizine terutama ditunjukkan melalui
Menurut jenis reseptornya, golongan antihistamin dapat penghambatan migrasi eosinofil (in vivo) ke lokasi kulit yang
dibagi 2 kelompok yaitu yang menghambat reseptor histamin- terstimulasi oleh alergen dan secara in vitro menghambat
1 (H1) dan yang menghambat reseptor histamin-2 (H2). kemotaksis eosinofil dan adhesi ke sel endotel kultur serta
11,14,15
Antagonis reseptor H1 (AH1) telah digunakan secara luas untuk aktivasi platelet, juga mempengaruhi platelet dan neutrofil.
terapi kelainan alergi. 14 Kelompok antihistamin-1 (AH1) Efek antiinflamasi cetirizine juga tercapai melalui
mempunyai tiga generasi, yaitu generasi pertama, kedua, dan penghambatan ekspresi ICAM-1 in vivo di nasal dan epitel
ketiga. Generasi pertama AH1 juga dikenal sebagai AH1 klasik konjungtiva selama inflamasi alergi dan penarikan eosinofil di
17
bersifat lipofilik yang mampu menembus sawar darah otak, kulit, hidung, mata dan paru. Efek tersebut bukan disebabkan
sehingga menimbulkan efek sedasi. Selain itu, AH1 generasi oleh kemampuan cetirizine menghambat efek histamin, karena
pertama bersifat menghambat reseptor muskarinik sehingga histamin tidak menyebabkan ekspresi ICAM-1. Oleh karena itu,
menimbulkan efek antikolinergik. Pada orang yang sensitif atau dalam hal ini efek cetirizine bukan merupakan efek antihistamin
11
orang tua dapat tampak pada gangguan penglihatan, retensi “klasik”, namun lebih menunjukkan efek antiinflamasi.
15
urin, pusing, takikardi dan gangguan kesadaran. Cetirizine dibuktikan dapat mengontrol inflamasi minimal
13
Antagonis reseptor H1 generasi kedua mempunyai indeks persisten. Antihistamin tidak berperan dalam asma,
terapetik yang lebih disukai dibandingkan generasi pertama, sedangkan cetirizine, yang dapat menghambat pengumpulan
karena tidak melintasi sawar darah-otak (kelarutan dalam eosinofil, mempunyai potensi untuk mencegah perkembangan

70 DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007


dalam efek antiinflamasi karena adanya penghambatan
18
Studi dengan menggunakan stimulasi influks eosinofil selama reaksi fase lambat.

alergen kutaneus pada subjek alergi Kortikosteroid


menunjukkan cetirizine tidak hanya Mediator inflamasi yang diproduksi pada penyakit alergi antara
lain mediator lipid, peptida inflamasi, kemokin, sitokin dan
menghambat respons awal yang faktor pertumbuhan. Selain itu, juga terdapat bukti bahwa sel
tergantung pada mediator oleh sel mast, struktural dari saluran nafas, seperti sel epitel, sel otot polos, sel
endotel dan fibroblas merupakan sumber utama mediator
namun juga infiltrasi eosinofil selama inflamasi pada asma.
respons fase lambat. Cetirizine Pada tingkat selular, kortikosteroid mengurangi jumlah sel
inflamasi di saluran nafas, termasuk eosinofil, limfosit T, sel
merupakan obat yang paling baik dalam mast dan sel dendritik. Efek ini dicapai dengan menghambat
efek antiinflamasi karena adanya rekrutmen atau penarikan sel inflamasi tersebut ke saluran
nafas melalui penekanan produksi mediator kemotaktik dan
penghambatan influks eosinofil selama molekul adhesi, serta juga menghambat keberadaan (survival)
18
reaksi fase lambat. sel inflamasi di saluran nafas, seperti eosinofil, limfosit T dan
sel mast. Oleh karena itu, kortikosteroid mempunyai efek
antiinflamasi spektrum luas, melalui inhibisi mediator inflamasi
penyakit tersebut. Berdasarkan studi Early Treatment of the dan sel inflamasi serta sel struktural (sel epitel, endotel, otot
Atopic Child (ETAC) didapatkan hasil bahwa timbulnya asma polos saluran nafas dan kelenjar mukus), sehingga berdampak
dapat dicegah melalui penggunaan cetirizine pada bayi dengan pada berkurangnya infiltrat atau aktivasi inflamasi, stabilisasi
dermatitis atopi dan terbukti tersensitisasi dengan polen kebocoran vaskular, penurunan produksi mukus dan
19,20
rumput atau tungau debu rumah. Beberapa studi menunjukkan peningkatan respons β-adrenergik. (Gambar 2)
sensitisasi terhadap polen rumput pada bayi merupakan
17
prediktor kuat terhadap onset asma.
Pada suatu studi, didapatkan potensi loratadin dalam
menghambat reaksi “wheal and flare” dan lama kerja
merupakan dose-dependent. Namun, bila dibandingkan dengan
cetirizine, loratadin membutuhkan dosis yang lebih besar
dibandingkan cetirizine untuk memberikan efek yang sama,
sehingga cetirizine mempunyai potensi sampai 6 kali lebih kuat
dibandingkan loratadin. Hal ini juga berlaku apabila cetirizine
dibandingkan dengan antihistamin generasi kedua lainnya.
Perbedaan ini disebabkan oleh proses metabolisme. Komponen
cetirizine tidak dimetabolisme di hati, sehingga efek
terapetiknya tidak tergantung pada biotransformasi. Obat lain
seperti terfenadine, secara cepat dimetabolisme di hati, dan
hasil metabolit tersebut yang memberikan efek H1. Oleh karena
itu, kemampuan metabolisme obat-obat tersebut sangat
18
bervariasi di antara setiap orang.
Studi lain juga membandingkan efek kerja klorfeniramin,
terfenadine, cetirizine, siproheptadin dan astemizol dengan
plasebo dalam bronkonstriksi yang diinduksi histamin dan Gambar 2. Peran kortikosteroid sebagai antiinflamasi19
skin wheal pada pasien asma. Semua antihistamin
menunjukkan proteksi yang bermakna terhadap Pada tingkat molekular, kortikosteroid secara difus
bronkokonstriksi. Namun proteksi terhadap skin wheal yang menembus membran sel target dan terikat dengan reseptor
diinduksi histamin hanya diberikan oleh cetirizine dan glukokortikoid di sitoplasma. Reseptor tersebut secara
terfenadine. Selain itu, efikasi protektif terhadap respons normal terikat dengan protein pengantar, seperti heat shock
saluran nafas paling tinggi dimiliki oleh cetirizine, diikuti protein-90 (HSP90) dan Fκ-binding protein, yang
oleh terfenadine. Apabila dibandingkan dengan plasebo, melindungi reseptor dan mencegah lokalisasi nuklearnya
cetirizine dan terfenadine tidak memberikan efek samping dengan cara menutupi lokasi reseptor yang diperlukan untuk
18
mengantuk dan mulut kering. transpor dari membran nuklear ke nukleus. Setelah
Studi dengan menggunakan stimulasi alergen kutaneus kortikosteroid terikat dengan glukokortikoid, terjadi
pada subjek alergi menunjukkan cetirizine tidak hanya perubahan struktur reseptor yang menghasilkan disosiasi
menghambat respon awal yang tergantung pada mediator molekular protein pengantar, sehingga memaparkan signal
oleh sel mast, namun juga infiltrasi eosinofil selama respons lokalisasi nuklear ke glukokortikoid. Pemaparan ini
fase lambat. Cetirizine merupakan obat yang paling baik menghasilkan transpor cepat kompleks kortikosteroid-

DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 71


glukokortikoid teraktivasi ke nukleus, yang akan terikat dapat diabsorbsi di saluran cerna ke sirkulasi sistemik dan
dengan DNA dan menyebabkan perubahan pada transkripsi mengalami jalur pertama metabolisme hepatik. Hasil
gen.19 bioavaiabilitas dapat mencapai 50%. Agen flutikason
Sebagian besar protein inflamasi diregulasi oleh propionat dan mometason furoat juga diserap dengan baik
transkripsi gen, yang diatur oleh faktor transkripsi di saluran cerna, namun hanya sebagian kecil yang mencapai
proinflamasi, seperti nuclear factor- κ B (NF-κB) dan sirkulasi portal dan dimetabolisme. Availabiltas sistemik
activator protein-1 (AP-1), yang biasanya teraktivasi di yang rendah tersebut penting pada anak yang sedang tumbuh
saluran nafas yang mengalami asma. Dalam mengatur dan pasien yang sudah menggunakan kortikosteroid inhalan
22
inflamasi, efek utama glukokortikoid terutama berasal untuk asma. Efek samping kortikosteroid intranasal atau
dari interaksi glukokortikoid teraktivasi dengan inhalasi dosis rekomendasi terhadap aksis hipotalamus-
transkripsi faktor nuklear NF-κB dan AP-1, yang hipofisis-adrenal atau gangguan metabolisme tulang relatif
menyebabkan inhibisi ekspresi molekul proinflamasi rendah. Selain itu, dari hasil beberapa penelitian juga tidak
(trans-reppresive), sehingga menekan gen yang didapatkan adanya retardasi pertumbuhan ataupun
mengkode protein inflamasi tersebut, antara lain gen yang glaukoma akibat penggunaan kortikosteroid tersebut. Efek
mengkode sitokin (IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, samping lokal dapat berupa iritasi nasal, kekeringan dan
IL-11, IL-12, IL-13, IL-16, IL-17, IL-18, TNF-α, GM-CSF), epistaksis. Di sisi lain, kortikosteroid sistemik mempunyai
kemokin, molekul adesi (ICAM-1, VCAM-1), enzim efek hipotensi, hiperglikemia, kenaikan berat badan,
19
inflamasi, reseptor inflamasi dan peptida. Beberapa purpura, atrofi otot dan gangguan pertumbuhan, sehingga
studi juga menunjukkan bahwa glukokortikoid juga dapat sedapat mungkin dihindari pada terapi inflamasi saluran
11
menghambat ekspresi ICAM-1 yang diinduksi oleh IL-1. nafas atas, namun risiko ini juga tergantung pada durasi
23
Dengan adanya efek penekanan produksi sitokin dan penggunaan.
pelepasan mediator maka dapat mengurangi reaksi Pada pemberian kortikosteroid oral, obat mencapai target
inflamasi alergi. Efek trans-activation di sisi lain akan saluran nafas setelah absorpsi di saluran cerna dan distribusi
menginduksi transkripsi gen yang terlibat dalam efek yang
19
tidak diinginkan dalam terapi kortikosteroid.
Pemakaian kortikosteroid pada inflamasi alergi
dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik dari segi obat maupun
Golongan triamsinolon merupakan
individu. Faktor yang berhubungan dengan obat, antara lain: kortikosteroid oral yang mempunyai
1) jenis pemakaian obat, oral atau topikal,
2) besarnya absorpsi sistemik yang dikaitkan dengan rute
rasa tidak pahit, sehingga dapat
pemberian dan efek samping klinis, berguna dalam kepatuhan anak
3) dosis, durasi dan jadwal pemberian,
4) perbedaan farmakokinetik dan farmakodinamik.
dalam berobat. Selain itu,
Sedangkan faktor yang berhubungan dengan individu, kepatuhan yang baik akan
antara lain:
1) respons penyakit terhadap kortikosteroid,
menghasilkan pengobatan
2) perubahan derajat keparahan penyakit, yang efisien, terutama dari segi
3) risiko terapi yang tidak optimal,
4) kerentanan terhadap efek samping.
21 biaya pengobatan (cost-
Pemakaian kortikosteroid topikal memberikan target yang efficient).25 Secara garis besar,
selektif pada saluran nafas, sehingga konsentrasi tinggi lokal
tidak disertai dengan paparan sistemik yang tinggi. Namun efek
pemberian kortikosteroid pada
samping yang muncul dapat berupa mulut kering, kandidiasis inflamasi alergi tergantung pada
oral, perdarahan pada penggunaan intranasal dan disfonia pada
penggunaan inhalasi. Penggunaan obat topikal juga
beberapa faktor yang menentukan
membutuhkan saluran nafas proksimal yang paten agar obat manfaat dan risiko pada tiap anak.
dapat mencapai jaringan target. Pemberian topikal lebih dipilih
pada keadaan yang kronik karena tidak memberikan efek
21
samping sistemik.
Pemberian topikal juga dapat diserap ke sirkulasi sistemik melalui sirkulasi sistemik. Distribusi ini tidak mencapai
melalui saluran cerna dan memberikan efek samping jaringan target dengan selektif, sehingga memerlukan dosis
sistemik, meskipun jarang. Hal ini tergantung pada yang lebih besar dan risiko efek samping yang besar. Namun
bioavailabilitas oral (penyerapan usus dan jalur pertama pemberian oral dapat digunakan pada keadaan akut. Untuk
metabolisme hepatik). Kortikosteroid inhalasi meliputi memperoleh manfaat yang baik pada sirkulasi sistemik, obat
beklometason dipropionat, budesonid, siklesonid, flunisonid, harus diserap di usus dan mempunyai jalur pertama
flutikason propionat, mometason furoat dan triamsinolon metabolisme hepatik (hepatic first-pass metabolism) yang
21 21
asetat. Sebagian besar agen, seperti beklometason rendah.
dipropionat, budesonid, flunisonid dan triamsinolon asetat Perbedaan golongan kortikosteroid oral terletak pada

72 DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007


aktivitas mineralokortikoid dan glukokortikoid. Aktivitas asthma, allergic rhinoconjunctivitis, and atopic eczema: ISAAC. The
mineralkortikoid tidak mempunyai efek dalam inflamasi International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC)
Steering Committee. Lancet 1998;351:1225-32
alergi dan dapat menyebabkan efek samping, antara lain
3. Munasir Z, Akib AAP, Siregar SP, et al. Epidemiology of asthma and
retensi air dan natrium yang menyebabkan edema dan allergy in early life 2006 (unpublished)
hipertensi, serta peningkatan ekskresi kalium dengan risiko 4. Siregar PS, Suyoko D, Akib A, et al. Prevalensi penyakit atopi pada anak
alkalosis hipokalemik. Hidrokortison mempunyai efek di Kelurahan Utan Kayu. Disampaikan pada Simposium Kualitas Hidup di
mineralokortikoid terbesar dan lebih banyak efek samping Perkotaan, Aspek Penyakit Alergi, Pokja Imunologi FKUI di Jakarta, 8 Maret
21 1990
dibandingkan kortikosteroid sintetik, seperti prednisolon.
5. Djayanto B. Prevalensi asma pada anak di sekolah dasar Yayasan Pendidikan
Golongan triamsinolon dan deksametason mempunyai
Islam Al-Azhar, Jl. Sisingamangaraja Jakarta Selatan. Tesis, 1991
aktivitas mineralokortikoid yang paling rendah, sehingga 6. Yunus F, Antaria R, Rasmin M, et al. Asthma prevalence among high school
berpotensi rendah dalam menyebabkan retensi natrium dan students in East Jakarta, 2001, based on ISAAC questionnaire. Med J
efek samping yang lain. Golongan triamsinolon juga Indonesia 2003:12:178-86
mempunyai durasi kerja sedang (intermediate) dan potensi 7. Chapel H, Haeney M, Misbah S, et al. Basic components: structure and
antiinflamasi yang sesuai untuk mengatasi gejala alergi function. In: Essentials of Clinical Immunology. Edisi ke-4. London: Blackwell
24 Science Ltd, 1999.p.11-17
akut. Hal menarik yang perlu diperhatikan pada pemberian 8. Fireman P. Immunology of allergic disorders. In: Fireman P, Slavin RG, editor.
kortikosteroid oral pada anak, khususnya pada penyakit Atlas of allergies. Philadelphia: J.B. Lippincott Company, 1991.p.2-23
alergi, adalah pemilihan bentuk formula dan rasa. Beberapa 9. Abbas AK, Lichtman AH. Hypersensitivity diseases. In: Basic
penelitian menunjukkan bahwa rasa obat (palatibility) yang Immunology. Edisi ke-2. Philadelphia: Saunders, 2004.p.193-200
diikuti dengan persepsi rasa yang baik akan meningkatkan 10. Rothenberg ME. Inflammatory effector cells/cell migration. In: Leung
DYM, Sampson HA, Geha RS, Szefler SJ, editors. Pediatric Allergy
kepatuhan (compliance) anak dalam pengobatan dengan
25,26 Principles and Practice. St. Louis: Mosby, 2003.p.51-9
kortikosteroid. Golongan triamsinolon merupakan 11. Bagnasco M, Canonica GW. Influence of H1-receptor antagonists on
kortikosteroid oral yang mempunyai rasa tidak pahit, adhesion molecules and cellular traffic. Allergy 1995; 50:17-23
sehingga dapat berguna dalam kepatuhan anak dalam 12. Munasir Z. The importance of early prevention of allergy disease.
berobat. Selain itu, kepatuhan yang baik akan menghasilkan Disampaikan pada KONIKA XIII di Bandung, 4-7 Juli 2005
pengobatan yang efisien, terutama dari segi biaya pengobatan 13. Munasir Z. Keamanan dan efikasi pemakaian setirizin pada anak. 2005.
25 14. Simons FER. A new classification of H1-receptor antagonists. Allergy
(cost-efficient). Secara garis besar, pemberian
1995; 50:7-11
kortikosteroid pada inflamasi alergi tergantung pada 15. Sundaru H. Antihistamin generasi kedua, apa yang ingin kita ketahui
beberapa faktor yang menentukan manfaat dan risiko pada ?. Disampaikan pada Symposium Current Opinion in Allergy & Clinical
tiap anak. Immunology, Divisi Alergi-Imunologi Klinik Departemen Ilmu Peyakit
Dalam FKUI/RSUPN-CM di Jakarta, 24-25 Juli 2003
Penutup 16. Tillement J-P. A low distribution volume as a determinant of efficacy
and safety for histamine (H1) antagonists. Allergy 1995; 50:12-6
Penyakit alergi pada anak membutuhkan perhatian khusus 17. ETAC® Study Group. Allergic factors associated with the development
karena dapat mempengaruhi kualitas pertumbuhan dan of asthma and the influence of cetirizine in a double-blind, randomised,
perkembangan anak. Pencegahan dini, penghindaran placebo-controlled trial : First results of ETAC®. Pediatric Allergy Immunol
alergen, dan kontrol lingkungan merupakan lini terdepan 1998; 9:116-24
dalam tatalaksana penyakit alergi. Adanya reaksi 18. Juhlin LA. A comparison of the pharmacodynamics of H1-receptor
antagonists as assessed by the induced wheal-and-flare model. Allergy
hipersensitivitas dan inflamasi yang mendasari reaksi alergi
1995; 50:24-30
menunjukkan bahwa penyakit alergi membutuhkan 19. Barnes PJ. Molecular mechanisms and cellular effects of
tatalaksana farmakoterapi yang mengatasi reaksi inflamasi glucocorticosteroids. Immunol Allergy Clin N Am 2005; 25:451-68
alergi terebut. Cetirizine mempunyai keunggulan 20. Lemanske RF, Busse WW, Wis M. Asthma. J Allergy Clin Immunol 2003;
dibandingkan antihistamin klasik lain karena mempunyai 111:511-3
efek antiinflamasi, terutama melalui penghambatan proses 21. Mortimer KJ, Tattersfield AE. Benefit versus risk for oral, inhaled, and
nasal glucocorticosteroids. Immunol Allergy Clin N Am 2005; 25:523-39
kemotaksis sel inflamasi. Hasil studi ETAC juga
22. Gentile DA, Shapiro G. Allergic rhinitis. In: Leung DYM, Sampson HA, Geha
menunjukkan cetirizine mempunyai efektivitas yang tinggi RS, Szefler SJ, editors. In: Pediatric Allergy Principles and Practice. St.
dengan efek samping yang minimal. Proses kemotaksis sel Louis: Mosby, 2003.p.293-6
inflamasi juga dihambat oleh kortikosteroid. Efek 23. van Cauwenberge P, van Hoecke H, Vamdenbulcke L, et al.
antiinflamasi kortikosteroid juga dicapai melalui Glucocorticosteroids in allergic inflammation: Clinical benefits in
penghambatan mediator atau sitokin proinflamasi yang allergic rhinitis, rhinosinusitis, and otitis media. Immunol Allergy Clin
N Am 2005; 25:489-509
mencegah reaksi inflamasi alergi berlanjut. Triamsinolon 24. Schimmer BP, Parker KL. Adrenocorticotropic hormone, adrenocortical
merupakan kortikosteroid oral yang dapat digunakan pada steroids and their synthetic analogs, inhibitor of the synthesis and
anak karena mempunyai efek antiinflamasi, efek samping actions of adrenocortical hormones. In: Goodman LS, Gilman A, editor.
retensi natrium yang rendah dan rasa yang tidak pahit. Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis of Theurapeutics. Edisi
ke-10. New York: Macmillan Publishing Company, 2001.p.1657
25. Hutto CJ, Bratton TH. Palatability and cost comparison of five liquid
Daftar Pustaka corticosteroid formulations. J Pediatr Oncol Nurs 1999; 16:74-7
1. Wahn U, von Mutius E. Childhood risk factors for atopy and the
26. Norton SA. Taste comparison of corticosteroid suspensions. Journal
importance of early intervention. J Allergy Clin Immunol 2001;107:567-
of Drugs in Dermatology 2006. Available at http://www.encyclopedia.com
74
Diakses tanggal 10 Maret 2007
2. Steering Committee. Worldwide variation in prevalence of symptoms of

DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 73


LAPORAN KASUS

Light Chain Myeloma


Juliani Dewi, H Budiman
Laboratorium Patologi Klinik RSU Dr. Saiful Anwar / FK Universitas Brawijaya
Malang

Abstrak. Light chain myeloma merupakan salah satu jenis multiple myeloma, di mana protein M yang terdetksi
adalah light chain protein. Kasus ini melaporkan seorang penderita laki-laki berusia 66 tahun dengan tanda-
tanda dan gejala klasik multiple myeloma disertai lytic bone lesions, tetapi gambaran elektroforesa protein
serum normal, sedangkan elektroforesa protein urine menunjukkan adanya light chain proteinuria. Dari
pemeriksaan aspirasi sumsum tulang didapatkan infiltrasi sel plasma sebanyak 95%. Kasus ini memenuhi
kriteria multiple myeloma menurut Durie & Salmon. Untuk membuktikan tipe light chain myeloma lebih lanjut
dapat dilakukan urine immunofixation test.

Kata kunci: multiple myeloma, light chain myeloma, elektroforesa protein

Pendahuluan menginvasi tulang yang berdekatan, menyebabkan destruksi skeletal


Multiple myeloma adalah kelainan sel plasma, potensial ganas, luas yang berakibat nyeri tulang dan fraktur. Anemia, hiperkalsemia
yang dihubungkan dengan proliferasi single clone of plasma cells dan insufisiensi renal adalah gambaran lain yang penting.
yang mensekresi protein homogen (monoklonal). Gambaran Penyebab multiple myeloma belum jelas. Insidennya kurang
protein monoklonal tersebut dapat dilihat melalui elektroforesa. lebih 1% dari semua penyakit keganasan dan lebih dari 10%
Sel plasma yang mengalami kelainan ini merupakan turunan seri keganasan hematologi di USA. Angka kejadiannya 4 per
sel B imunosit. Masing-masing protein monoklonal (protein M, 100.000 dan dapat terjadi pada semua ras dan lokasi geografis.
protein myeloma atau paraprotein) terdiri dari 2 rantai Insiden pada kulit hitam dua kali lipat daripada kulit putih,
polipeptida H (heavy) dan 2 rantai polipeptida L (light). Heavy lebih sering pada laki-laki daripada wanita. Median age saat
polypeptide chain terdiri dari IgG (g), IgA (a), IgM (m), IgD (d), diagnosa kurang lebih 65 tahun, hanya 2% yang kurang dari
IgE (e). Light chain types terdiri dari kappa (k) dan lambda (l).1,3 1,2
40 tahun. Pada laporan kasus ini akan dilaporkan seorang
Imunoglobulin monoklonal (protein M) yang terdeteksi pada penderita laki-laki berusia 66 tahun, dengan light chain
multiple myeloma tersering adalah IgG, yaitu pada 60% kasus. myeloma.
IgA terdeteksi pada kurang lebih 20% kasus, light chain
myeloma hanya 20% kasus, sedangkan IgM, D, E, dan lebih dari Kasus
1 protein M adalah kasus yang jarang.3-5 Pada elektroforesa Seorang laki-laki, 66 tahun, datang ke rumah sakit Budi Rahayu,
protein serum menunjukkan puncak yang tinggi dan tajam atau Blitar, dengan keluhan utama penurunan kesadaran. Dari hetero
band terlokalisir pada 80% penderita, hipogamaglobulin pada anamnesa diperoleh keterangan bahwa penderita mengalami
10% penderita dan sisanya tidak menunjukkan kelainan.3 penurunan kesadaran setengah jam sebelum dibawa ke rumah
Monoclonal light chain (Bence Jones proteinemia) jarang sakit. Di Instalasi Rawat Darurat (IRD) kesadaran sedikit
terlihat pada gel agarosa. Dipstick test untuk analisa urin tidak membaik, tapi bicara meracau, kemudian penderita dirujuk ke
sensitif untuk protein Bence Jones (monoclonal light chain dalam RSU Dr. Saiful Anwar (RSSA) Malang.
urine). Asam sulfosalisilat atau reagen Exton lebih baik daripada Dari riwayat penyakit sebelumnya diketahui 12 hari sebelum
dipstick, tapi immunofixation atau imunoelektroforesa urin masuk rumah sakit penderita merasa nyeri pada rusuk kiri,
terkonsentrasi 24 jam yang adekuat dianjurkan untuk berpindah ke kanan dan pinggang. Nyeri timbul bila penderita
mendeteksi protein Bence Jones. Suatu monoclonal light chain bergerak atau pindah posisi. Sejak 1 tahun yang lalu penderita
di nephrotic urine diduga akibat deposisi light chain. Pada sering batuk dan nyeri ulu hati, penderita sering bingung dan
kondisi tertentu, light chain diproduksi lebih banyak daripada komunikasi tidak lancar, serta bengkak di seluruh tubuh.
heavy chain. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh proliferasi Pada pemeriksaan fisik saat penderita masuk RSSA
oleh clone yang terpisah.1-3 tampak inkoheren, dengan Glasgow Coma Scale (GCS) 456
Clone of plasma cells berproliferasi di sumsum tulang, sering dan penderita tampak kurus. Tekanan darah 90/60, nadi 68

74 DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007


kali per menit, suhu axillair 36 oC dan suhu rektal 36,6o C, Lesi tulang pada multiple myeloma disebabkan oleh
serta tampak anemis. Tidak didapatkan kelainan pada kepala, proliferasi sel-sel myeloma dan aktivitas osteoklas yang
leher, thorax, dan abdomen. merusak tulang. Aktivitas osteoklas ini merupakan respon
Pada pemeriksaan laboratorium saat penderita masuk dari osteoclast activating factors (OAF) yang dihasilkan oleh
RSSA didapatkan anemia normokrom normositer dengan Hb sel-sel myeloma dengan mediator beberapa sitokin seperti
3
8,2 g/dl, lekosit normal (7.000/mm ), trombosit normal IL-1, lymphotoxin dan tumor necrosis factor. Lisisnya tulang
3
(232.000/mm ), retikulosit 1‰, dengan evaluasi hapusan ini mengakibatkan mobilisasi kalsium dari tulang sehingga
darah normal. Gula darah sesaat 105 mg/dl, ureum 174 mg/ dapat terjadi komplikasi akut dan kronik yang serius dari
dl, kreatinin 12,23 mg/dl, asam urat 13,7 mg/dl. Dari hiperkalsemia. Hiperkalsemia dapat menyebabkan lethargy,
2
pemeriksaan fungsi hati SGOT dan SGPT normal (25 mU/ kelemahan, depresi dan kebingungan. Lesi tulang diketahui
ml dan 9 mU/ml), bilirubin dalam batas normal (bilirubin karena didapatkan pembengkakan lokal, nyeri dan fraktur
direk 0,31 mg/dl, bilirubin indirek 0,26 mg/dl dan bilirubin patologis. Lesi ini terutama terjadi pada “red marrow”
total 0,57 mg/dl), albumin 3,9 g/dl, globulin 1,7 g/dl, dan seperti costae, sternum, claviculae, tulang belakang,
total protein 5,6 g/dl. tengkorak, atau ekstremitas sekitar bahu dan tulang panggul.
Dari analisa gas darah didapatkan asidosis metabolik Nyeri yang dirasakan sering berpindah-pindah, intermiten,
terkompensasi sebagian, dengan pH 7,304; pCO2 31 mmHg, pO2 lebih berat saat bergerak dan paling sering mengenai punggung,
139,2 mmHg, HCO3 15,5 mmcl/l, O2 saturasi 98,7 % dan base dada dan ekstremitas. Perubahan tulang ditunjukkan secara
excess -9,9 mmol/l. Didapatkan peningkatan anion gap, dengan radiologis, digambarkan sebagai melingkar, “punched out areas”,
hiponatremia (Na 127 mmol/l, K 4,5 mmol/l dan Cl 92 mmol/ osteoporosis, atau fraktur. Dengan menggunakan
l). Didapatkan hiperkalsemia (12 mg/dl, nilai normal 8,5–10,4 Microradiography, Computed Tomography, atau Magnetic
mg/dl) tetapi kadar fosfor masih normal (5,5 mg/dl, nilai Resonance Imaging dapat dilihat penipisan yang menyeluruh dan
3,4
normal 2,5–7,0 mg/dl). Pada pemeriksaan urin lengkap destruksi trabekulae.
didapatkan proteinuria 2+, reduksi negatif, tidak ada Gangguan fungsi ginjal adalah gambaran yang menonjol dari
bilirubinuri dan urobilinogenuri, sedimen lekosit 3-4/lpb dan kelainan ini, bahkan dapat ditemukan saat ditegakkannya
sedimen eritrosit 2-6/lpb, serta didapatkan kristal kalsium diagnosa. Prevalensi gangguan fungsi ginjal ini lebih besar pada
oksalat dan banyak kristal amorf. penderita dengan hiperkalsemia dan pada penyakit yang telah
Foto rontgen menunjukkan osteolytic bone lesion pada os lanjut. Patogenesis yang berhubungan dengan gagal ginjal sangat
tibia dan os radius serta didapatkan fraktur costae multiple kompleks, tapi ekskresi monoclonal light chain memainkan
dextra et sinistra. USG abdomen menunjukkan chronic peranan yang penting. Light chain terikat pada tubulus
parenchymatous renal disease. Hasil aspirasi sumsum tulang proksimalis pada reseptor endositotik berkapasitas tinggi dan
menunjukkan keadaan hiperseluler dengan rasio myeloid terakumulasi dalam sistem endolisosomal. Disfungsi tubuli
eritroid 6 : 1, aktivitas sistem eritropoetik menurun, aktivitas ditemukan hampir pada semua penderita dengan light chain
3,4
sistem granulopoetik baik dan aktivitas megakaryopoetik baik, proteinuria lebih dari 1 g/24 jam. Kerusakan tubulus
cadangan besi positif, didapatkan infiltrasi sel plasma sebanyak proksimalis menyebabkan kehilangan garam dan air,
95%. Elektroforesis protein serum menunjukkan gambaran dehidrasi dan penurunan clearance light chain oleh tubulus,
normal, sedangkan elektroforesa protein urin menunjukkan sehingga menyebabkan konsentrasi light chain lebih besar
gambaran light chain proteinuria. di tubulus distalis. Beberapa faktor lain yang penting dalam
menyebabkan disfungsi ginjal adalah hiperkalsemia dan
Pembahasan hiperkalsiuria akibat destruksi tulang dan imobilisasi,
Multiple myeloma adalah keganasan sel plasma matur sehingga bermanifestasi sebagai hypercalcemic
4
maupun imatur. Manifestasi klinik kelainan ini terjadi akibat nephropathy. Gambaran laboratorium manifestasi
proliferasi dan akumulasi sel plasma yang menduduki gangguan ginjal pada beberapa penderita berupa azotemia,
sebagian besar sumsum tulang. Sedangkan manifestasi tingginya kreatinin serum, clearance creatinin yang rendah.
patologik terjadi karena produksi yang berlebihan protein Dalam urine mengandung protein Bence Jones, albumin,
dan rantai polipeptida (komponen M) yang diidentifikasikan silinder, dan sel–sel epitel ginjal. Tidak umum didapatkan
4
sebagai “spike” pada elektroforesa protein serum. hematuria. Hiponatremi berat pada beberapa penderita
Dominasi sel tumor dalam ruang-ruang sumsum tulang disebabkan oleh efek kationik protein myeloma.
menyebabkan destruksi tulang dan abnormalitas Hiperprotein, dapat mencapai lebih dari 80 g/l dan kadang-
hematopoetik mayor, seperti anemia, leukopenia dan kadang 120 g/l. Tetapi pada light chain myeloma total
4
trombositopenia. Anemia yang terjadi sering dihubungkan protein serum yang rendah sering dihubungkan dengan
3 4
dengan keadaan penderita yang lemah. Defisiensi imunitas keberadaan hipoglobulinemia.
dan peningkatan risiko mendapatkan infeksi akibat Komplikasi kardiovaskular terjadi pada penyakit yang
tertekannya fungsi imunitas secara normal disebabkan oleh berat dan lama. Infiltrasi pada myokardial dengan amyloid
4
produk sel myeloma dan sel-sel intermediari lainnya. sering menyebabkan dilatasi atau restriksi kardiomyopati
4
Kemunculan gejala dan tanda-tanda klinis bergantung pada dan gagal jantung kongestif.
lama perjalanan penyakit yang bervariasi, infeksi berulang, Sebagian besar penderita multiple myeloma mengalami
kelemahan, penurunan berat badan, diikuti lesi tulang dan anemia sedang hingga berat, dengan kadar Hb antara 70–
berkembangnya penyakit ginjal kronik. 100 g/l, normokrom normositer dan rouleaux formation

DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 75


tampak jelas. Retikulosit rendah, laju endap darah yang >35g/l, IgA >20 g/l, ekskresi light chain pada
tinggi dihubungkan dengan clumping eritrosit dan rouleaux elektroforesis urin 1,0 g/24 jam tanpa amyloidosis
formation. Hal ini disebabkan karena tingginya γ-globulin, Kriteria minor
rendahnya albumin dan produksi acute phase reactans oleh 1. Plasmasitosis pada sumsum tulang dengan 10-30% sel
hepar, terutama CRP, IL-6. Suatu major growth factor plasma
diproduksi dalam jumlah besar, menghambat sintesis 2. Monoclonal globulin spike, tapi kadarnya kurang dari
4,5
albumin oleh hepar tapi merangsang produksi CRP. Hitung yang tersebut di atas
lekosit pada umumnya normal sebelum dimulainya 3. Lytic bone lesions
kemoterapi. Tidak ada kelainan pada hitung jenis. Pada 4. Normal IgM <500 mg/l, IgA <1 g/l atau IgG <6 g/l
sejumlah kecil kasus, sel plasma dapat terlihat, terutama pada Diagnosa myeloma membutuhkan minimum 1 kriteria mayor
stadium lanjut. Jika sel plasma dominan di antara lekosit dan 1 kriteria minor atau 3 kriteria minor, dan harus
4 4
sirkulasi, kondisi ini disebut sebagai plasma cell leukemia. termasuk kriteria minor 1 + 2.
Pada aspirasi sumsum tulang, didapatkan ciri khas Kasus Tn. M di atas memenuhi kriteria diagnosa Durie dan
adanya sel myeloma pada semua penderita multiple Salmon, dengan memenuhi 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.
myeloma. Pada umumnya di sumsum tulang terdiri dari Pada penderita didapatkan lesi tulang yang mengakibatkan
sedikitnya 5–10% myelomatous plasma cell. Jika jumlahnya hiperkalsemia, peningkatan kadar alkali fosfatase, dan
lebih besar dari 15 hingga 20% dapat dipastikan suatu kebingungan. Lesi tulang diketahui karena didapatkan nyeri dan
multiple myeloma. Diagnosa multiple myeloma tidak pernah fraktur patologis pada costae dan ekstremitas.
4
dibuat tanpa adanya sel plasma ini. Gangguan fungsi ginjal terjadi pada kasus ini dengan
Elektroforesis harus dilakukan pada semua kasus dengan didapatkannya peningkatan kadar ureum dan kreatinin serta
serum protein monoklonal atau diagnosa/dugaan multiple adanya albuminuri. Pada penderita juga didapatkan kelainan
myeloma, makroglobulinemia, amyloidosis atau penyakit- kardiovaskuler dengan pembesaran jantung ke kiri, anemia
3
penyakit yang berhubungan. Komponen M dan/atau protein sedang dengan kadar Hb antara 70–100 g/l, normokrom
Bence Jones tampak pada semua penderita multiple normositer. Hitung lekosit normal dan tidak ada kelainan
myeloma. Light chain lebih sulit terlihat dalam sirkulasi pada hitung jenis. Pada aspirasi sumsum tulang, didapatkan
daripada heavy chain. Ekskresi light chain dalam urin ciri khas adanya dominasi sel plasma sehingga dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tidak dipastikan suatu multiple myeloma.
seimbangnya produksi light chain dan clearance-nya oleh Light chain lebih sulit terlihat dalam sirkulasi daripada
ginjal. Light chain teridentifikasi dalam urin pada lebih dari heavy chain, sehingga tidak ditemukan monoclonal band
80% kasus. Protein monoklonal tidak terdeteksi dalam serum pada elektroforesis protein serum penderita. Walaupun
atau urin pada kurang lebih 1% kasus. Pada penderita- demikian, light chain dapat diidentifikasi dalam urin.
penderita ini selularitas, sitologi dan gambaran ultra struktur
sel-sel yang memproduksi komponen M sama dengan sel Kesimpulan Dan Saran
myeloma yang lain. Pada light chain myeloma, monoclonal Telah dilaporkan seorang penderita laki-laki, 66 tahun,
light chain hanya ditandai dengan gambaran klinis yang dengan light chain myeloma. Kriteria Durie dan Salmon
berat, gagal ginjal, lytic bone lesions, hiperkalsemia dan terpenuhi, disertai gambaran klinis dan laboratoris yang khas
4
amyloidosis. Adanya global hypo gamma globulinemia pada multiple myeloma. Tidak tampaknya monoclonal band
pada diagnosa myeloma dapat diindikasikan suatu light pada elektroforesis protein serum tapi tampak pada
chain myeloma. Pada kondisi ini tidak ditemukan elektroforesis urin mengindikasikan adanya suatu light chain
6
monoclonal band pada elektroforesis protein serum. Urin myeloma. Keadaan ini perlu ditunjang dengan pemeriksaan
tampung 24 jam diukur untuk menentukan jumlah protein lebih lanjut. Untuk itu disarankan dilakukan pemeriksaan
total yang diekskresi tiap hari. Sejumlah protein monoklonal imunofixation test pada urin.
seperti protein Bence Jones dihitung dari ukuran “spike”
pada densitometer tracing dan kandungan protein urine Daftar Pustaka
3
total 24 jam. Metode terbaik untuk mendeteksi protein 1. Kyle RA, Rajkumar SV. Plasma cell disorders. In : Goldman L, Ausiello D. Cecil Textbook
of Medicine. 22nd ed. Philadelphia, Pennsylvania: Saunders; 2004.p.1184-91
Bence Jones dalam urin adalah elektroforesis protein.
2. Longo DL. Plasma cell disorders. In: Wilson JD, Braunwald E, Isselbacher KJ,
Keberadaan Bence Jones globulin atau clonal production et al editors. Harrisons’s Principles of Internal Medicine. 12 th ed. New York:
immunoglobulin ditandai dengan puncak tajam tunggal pada McGraw-Hill; 1991.p.1410-7
globulin yang dengan imunoelektroforesis dapat ditentukan 3. Kyle RA. Multiple myeloma and related monoclonal gammopathies. In: Mazza JJ.
7 Manual of Clinical Hematology. 2nd ed. Boston: Little, Brown and Company; 1995.p.251-76
jenisnya kappa atau lambda immunoglobulin light chain.
4. Foerster J, Paraskevas F. Multiple myeloma. In: Lee GR, Foerster J, Lukens J,
Immunofixation test lebih sensitif dan merupakan metode Paraskevas F, Greer JP, Rodgers GM. Wintrobe’s Clinical Hematology. 10 ed.
th

4
terbaik untuk mendeteksi protein Bence Jones dalam urin. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 1999.p.2631-80
Sitologi, klinis dan kriteria laboratoris untuk diagnosa 5. Lichtman MA, Beutler E, Kipps TJ, et al. Myeloma. Williams Manual of Hematology.
th
6 ed. Boston: McGraw-Hill; 2003.p.367-75
multiple myeloma merujuk pada Durie dan Salmon :
6. Carrer DL. Serum protein electrophoresis & immunofixation illustrated
Kriteria mayor : interpretations. France: SA Sebia; 1994.p.29-81
1. Plasmasitoma pada biopsi jaringan 7. Henry JB, Lauzon RB, Schumann GB. Basic examination of urine. In: Henry
th
2. Plasmasitosis pada sumsum tulang dengan sel plasma >30% JB. Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods.19 ed.
Philadelphia, Pennsylvania: WB Saunders Company; 1996.p.423
3. Monoclonal globulin spike pada elektroforesa serum: IgG

76 DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007


TINJAUAN PUSTAKA

Efek Kortikosteroid Terhadap Metabolisme


Sel; Dasar Pertimbangan Sebagai Tujuan
Terapi Pada Kondisi Akut Maupun Kronik
Jan Sudir Purba
Departemen Neurologi FKUI / RSCM
Jakarta

Abstrak. Kortikosteroid yang juga diketahui sebagai glukokortikoid adalah sintetik kortikosteroid endogen
yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal melalui aktivitas aksis hypotalamic-pituitary adrenal (HPA).
Kortikosteroid dibutuhkan oleh tubuh secara vital dalam mempertahankan keseimbangan tubuh yang sehat
baik terhadap gangguan yang berasal dari dalam tubuh sendiri maupun dari luar. Pentingnya kortikosteroid
dalam kehidupan dapat dilihat jika terjadi defisiensi atau juga hiperproduksi maka muncul beberapa tanda
patologi menyangkut gangguan metabolisme sel seperti muncul alergi dan gangguan imunitas, gangguan
metabolisme protein, lemak dan mineral. Dalam penggunaanya sebagai terapi beberapa jenis kortikosteroid
bisa lebih spesifik untuk kasus tertentu. Triamcinolone merupakan kortikosteroid yang berpotensi tinggi
dalam hal imunosupresi, antiinflamasi, serta antiproliferasi. Walaupun penggunaan triamcinolone
mengandung efek terapeutik yang potent namun juga tidak terlepas dari efek negatif seperti katabolisme
baik protein dan mineral, lemak serta gangguan hormon lainnya, seperti hormon pertumbuhan pada anak
jika penggunaannya kurang tepat.

Pendahuluan pada dosis serta lamanya penggunaan yang bisa berefek pada
Kortikosteroid yang disekresi di kelenjar adrenal penting atrofi dari kelenjar korteks adrenal sampai pada glaukoma,
untuk kelangsungan hidup, sebagai hormon homeostasis gangguan keseimbangan natrium, kalium, kalsium serta
dalam mempertahankan gangguan ketidakseimbangan, baik nitrogen demikian juga sistem imunitas dan hormon-hormon
yang berasal dari biologis organisme itu sendiri maupun lainnya seperi hormon pertumbuhan.8-10
dalam menghadapi dan menyesuikan dengan lingkungan.
Kortikosteroid pertama kalinya digunakan tahun 1949 di Regulasi sekresi kortikosteroid
klinik sebagai terapi artritis reumatik. 1,2 Penggunaan ini Sekresi kortikosteroid oleh kelenjar adrenal merupakan hasil
berkembang terus sampai pada kasus dermatologi, imunologi rangkaian stimulasi corticotropin-releasing hormone (CRH)
dan onkologi. Dalam perjalanannya, penggunaan terhadap adrenocorticotropin hormone (ACTH) di hipofisis
11,12
kortikosteroid mempunyai berbagai ragam efek negatif . CRH adalah neuropeptida yang terdiri dari 41 asam
namun dengan mempertimbangkan secara mendasar amino, disekresi oleh neuron di nukleus paraventrikularis
terhadap efek positifnya, maka penggunaan kortikosteroid (PVN) hipotalamus untuk seterusnya melalui eminentia
ini tetap populer. Aktivitas biologis dari kortikosteroid mediana akan ditransportasikan lewat sirkulasi porta
umumnya bergantung pada potensi alamiah maupun sintetik hipofisis ke adenohipofisis. Stimulasi CRH di hipofisis akan
yang secara fisiofarmakologis ditentukan oleh besarnya efek mengaktivasi adenyl cyclase dengan demikian
retensi natrium dan penyimpanan glikogen di hepar serta memperbanyak cyclic AMP sehingga terjadi peningkatan
sifat sebagai antiinflamasi. 3-5 Oleh sebab itu penggunaan mRNA ACTH.4,6,7,13,14 ACTH adalah neuropeptida asam amino
kortikosteroid di klinik mendasar pada efek metabolisme dan yang tergabung dan disintesa melalui suatu prekursor
efek katabolisme, antiinflamasi, imunosupresi dan juga protein yaitu proopiomelanocortin (POMC), dan mempunyai
sebagai antiproliferasi. 6,7 Kortikosteroid mempengaruhi efek stimulasi terhadap kelenjar adrenal. Kelenjar adrenal
metabolisme karbohidrat, protein, lemak dan mineral pada yang mempunyai berat sekitar 4 gram terletak di bagian atas
sel yang berperan pada fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, ginjal. Kelenjar ini terdiri dari medula dan korteks. Medula
otot lurik dan tulang, sistem saraf dan organ lainnya. yang terdiri dari sekitar 20% mensintesis epinefrin,
Pertimbangan pemberian kortikosteroid tentu mendasar norepinefrin dan dopamin sedangkan korteks adrenal yang
pada efek positif dan efek negatif. Efek negatif bergantung terdiri dari sekitar 80% berat kelenjar mensintesis dua

DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 77


bentuk hormon steroid, yaitu kortikosteroid dan katabolisme, antiinflamasi, immunosupresan, dan juga
6,7,23,24
mineralokortikosteroid. Waktu paruh normal kortikosteroid sebagai anatiproliferasi. Efek metabolisme kortisol
dalam sirkulasi berkisar 90-110 menit. 4,6,7,14,15 terhadap karbohidrat, protein dan lemak serta ion-ion,
Kadar kortikosteroid atau yang juga disebut sebagai kortisol berperan pada otot, saraf, sistem kardiovaskular, ginjal,
secara fisiologi diatur oleh mekanisme sirkadian dimana sebagai mempertahankan keseimbangan baik fungsi maupun
pada orang sehat dewasa disekresi sekitar 15-60 mg/hari struktur. Beberapa jenis kortikosteroid berperan dominan
yang secara fluktuatif melalui sekresi vasopresin oleh nukleus terhadap keseimbangan cairan tubuh sebagai
suprachiasmaticus (SCN) hipotalamus. Kadar kortikosteroid mineralokortikoid sementara kortikosteroid dominan
tertinggi sepanjang 24 jam ditemukan pada sekitar jam 9 pagi berperan dalam hal metabolisme/katabolisme, inflamasi
sedangkan kadar minimal ditemukan pada malam hari serta terhadap sistem imun. Beberapa jenis kortikosteroid
sekitar jam 24.00.16 Tinggi rendahnya kadar ini juga diatur sintetik seperti prednison, prednisolon, triamcinolone, dan
oleh adanya proses feed back kortikosteroid terhadap betametasone termasuk pada golongan yang sangat potensial
22
hipofisa dan hipotalamus. Hal ini dapat dibuktikan melalui dibanding dengan kortisol endogen.
penyuntikan intravena CRH yang akan meningkatkan kadar Triamcinolone salah satu jenis kortisol selain digunakan
ACTH dengan demikian kortisol akan meninggi. Mekanisme untuk terapi substitusi yang berpotensi tinggi sebagai anti
feed back kortikosteroid dapat dilihat juga dari penelitian infamasi atau imunosupresi. Efek pemberian terhadap aksis
pada hewan percobaan dengan pemberian kortisol akan HPA dengan dosis antara 60-100mg akan menyebabkan
22,23
menurunkan jumlah reseptor yang aktif dari CRH di hipofisis supresi aksis HPA dalam jangka waktu 24-48 jam.
sementara pemberian 100 µg CRH secara kronik akan Mekanisme kerja dari triamcinolone adalah dengan
menyebabkan sindroma Cushing. 17-19 melibatkan lipokortin, inhibisi protein fosfolipase A2 dengan
menekan kegiatan arachidonic acid sebagai kontrol
Mekanisme Kerja Kortikosteroid biosintesis prostaglandin dan leukotrien. Dalam hal efeknya
Sampai sekarang ini masih banyak cara kerja kortikosteroid terhadap sistem imun adalah dengan menurunkan kegiatan
yang sering juga disebut sebagai kortisol yang belum dapat dari sistem limfatik, mereduksi imunoglobulin serta
dijelaskan. Secara umum mekanisme kerja kortikosteroid konsentrasi komplemen, presipitasi limfositopenia dan
mendasar pada ikatan dengan reseptor protein spesifik mengganggu ikatan antigen-antibodi. Mendasar pada
corticosteroid binding globulin (CBG), suatu α-globulin yang mekanisme kerja maka penggunaan triamcinolone ini sangat
disintesa di lever. Sekitar 95% kortikosteroid yang yang beredar luas mulai dari alergi sampai pada efek perbaikan pengaturan
disirkulasi akan berikatan dengan CBG dan sisanya sekitar 5% cairan sel otak dengan kata lain edema otak baik akibat
22,23
beredar bebas dan atau terikat longgar dengan albumin.8 Bila cedera ataupun tumor. Penggunaan triamcinolone tentu
kadar plasma kortisol di sirkulasi lebih dari 20-30 mikrogram/ juga tidak terlepas dari efek samping sebagaimana efek
dl maka CBG akan menjadi jenuh sehingga kortisol bebas ini kortisol lainnya.
berikatan dengan reseptor kompleks yang disebut juga dengan
reseptor glukokortikoid (GR) di sitoplasma. GR adalah suatu Efek Pemberian Kortikosteroid
protein yang inaktif dalam sitoplasma, yang baru aktif jika telah Efek terapeutik dari kortisol bisa paralel dengan efek
berikatan dengan kortisol. Reseptor kompleks ini akan samping terutama jika pemberian dengan jangka waktu yang
bermodifikasi yang terlihat pada peningkatan sedimen yang lama. Hal ini yang terjadi pada metabolisme karbohidrat
masuk ke nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini yang menyebabkan glukoneogenensis di perifer dan hepar.
nantinya akan mengatur transkripsi gen secara spesifik yang Di perifer, glukokortikoid menyebabkan mobilisasi asam
20-22
bermanifestasi dalam peningkatan jumlah spesifik mRNA. amino dari beberapa jaringan, merupakan efek katabolik
Hasil ikatan ini di nukleus akan menstimulasi transkrip RNA yang menyebabkan atrofi otot dan osteoporosis. Asam amino
dan sintese protein spesifik sebagai proses pengaturan berbagai yang dimobilisasi ini dibawa ke hepar digunakan sebagai
aktivitas berupa metabolisme dan katabolisme sel termasuk substrat enzim yang berperan dalam produksi glukose dan
4,6-8,14,25
sintese enzim, permeabilitas membran dan lain-lain yang glikogen. Efek terhadap katabolisme lemak dalam
nantinya berefek pada organ sasaran. Diketahui bahwa jangka panjang akan menyebabkan gangguan distribusi
kortikosteroid mempengaruhi metabolisme baik di perifer lemak seperti moon face, buffalo hump, dan lemak
6,8,14
maupun di lever. Di perifer kortikosteroid memobilisasi asam ekstremitas akan berkurang. Efek kortikosteroid terhadap
amino di sejumlah jaringan seperti limfa, otot dan tulang. keseimbangan elektrolit menyebabkan gangguan reabsorpsi
Akibatnya terjadi atrofi jaringan limfa, menurunnya massa otot, ion Na + serta sekresi K+ dan H+ di ginjal dan menghambat
6,7,14
osteoporosis. Di lever ditemukan induksi sintese de-novo dari absorpsi Ca 2+ di usus. Efek katabolisme ini perlu
sejumlah enzim yang berkaitan dengan glukoneogenesis dan terutama terhadap fungsi kardiovaskuler dan susunan saraf
keseimbangan asam amino yang nantinya berefek nyata dalam pusat (SSP) dalam mempertahankan kadar gula darah serta
8,22
hal antiinflamasi selain efek metabolik dan imunogenik. elektrolit yang secara langsung bisa berpengaruh terhadap
4,6,7,14
gangguan neuropsikiatri serta aktivitas motorik. Efek
Dasar Penggunaan Kortikosteroid Sebagai antiinflamasi dan imunosupresi berperan dalam mengurangi
Terapi aktivitas peradangan melalui peningkatan konsentrasi
Sebagaimana disebut bahwa penggunaan kortisol sebagai netrofil dan penurunan limfosit (T dan B), monosit, eosinofil,
terapi mendasar pada efek metabolisme dan efek basofil. Kortikosteroid dapat menekan timbulnya gejala

78 DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007


inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik ataupun penelitian diketahui bahwa kelainan dini yang ditemukan
26
alergen. Efek imunosupresi dari kortikosteroid mendasar pada trauma adalah terbentuknya koagulasi fibrinolisis,
pada kesanggupan untuk menginduksi limfositopenia serta pembentukan kompleks kalikrein-kinin demikian juga
28
menurunkan diferensiasi dan proliferasi limfosit. Hal ini aktivasi sistem komplemen. Pemberian kortikosteroid pada
dilakukan dengan mengganggu komunikasi intraseluler di penderita fraktur multipel membuktikan penurunan insiden
antara leukosit dengan produksi limfokin terutama IL-1, IL- emboli dan insufisiensi pulmonal sebagai manifestasi dari
27 42,43
2 dan TNF, dengan demikian menghambat fungsi makrofag. adult respiratory distress syndrome (ARDS). Ini
mungkin disebabkan oleh inhibisi agregasi granulosit dengan
Indikasi demikian menghindarkan produksi toksik oksigen radikal
43
Selain indikasi sebagai terapi substitusi terhadap defisiensi bebas yang bisa merusak sel endotel kapiler. Pengaruh
pada insufisiensi adrenal akut dan kronik atau hipoplasia pemberian kortikosteroid sedini mungkin pada penderita
adrenal kongenital maka penggunaan kortisol lebih banyak multiple thorax injury adalah sebagai preventif terhadap
bersifat empiris. Penggunaan kortisol pada artritis, korditis kerusakan membran dengan demikian pengaruhnya
31
reumatik, penyakit ginjal, penyakit kolagen, asma bronkial, terhadap edem otak. Pemberian kortikosteroid akan
alergi, kulit, tumor, syok dan edem serebral mendasar pada menurunkan respons inflamasi. Selain dari pada itu
efek metabolisme dan efek katabolisme, antiinflamasi, kortikosteroid juga akan mengurangi sifat pirogen dari
6,7,28-30 28
immunosupresan, dan juga sebagai antiproliferatif. leukosit. Dari hasil percobaan pada hewan ditemukan
Penggunaan kortikosteroid pada operasi tumor otak pada bahwa menurunnya jumlah eosinofil kemungkinan
awalnya adalah untuk mengurangi edema otak yang disebabkan oleh banyaknya eosinofil yang keluar dari
29
kemudian digunakan secara meluas pada kasus-kasus di sirkulasi.
neurologi. Ternyata bahwa keberhasilan kortikosteroid Pada infeksi otak umumnya penggunaan kortikosteroid
terhadap hilangnya edema pada otak juga bergantung pada dianggap sebagai terapi adjuvans antiinflamasi yang
kecepatan tindakan pemberian serta dosis dan jenis diberikan bersama dengan antibiotik. Biasanya diberikan
28,31-33
kortikosteroid. Edema serebral pada cedera otak dapat pada keadaan /adanya gejala-gejala: peningkatan tekanan
bersifat fokal ataupun difus yang dapat terjadi karena intrakranial, ensefalitis, arachnoiditis, defisit neurologi
gangguan membran sel neuron atau gangguan blood brain fokal, peningkatan protein atau tanda-tanda blok spinal.
34-36
barrier (BBB). Pendapat mengenai kegunaan kortisol Pada beberapa penelitian dikatakan penggunaan
pada cedera otak masih kontroversial. Beberapa peneliti kortikosteroid akan menurunkan jumlah cairan otak, resistan
menyatakan bahwa pemberian kortisol memperlihatkan CSF, tekanan intrakranial, edema serebral, laktat CSF
perbaikan klinis pada cedera otak berat, sedangkan yang (penelitian hewan) tetapi pada manusia didapatkan
34-36
lainnya menyatakan tidak ada perbaikan yang berarti. menurunnya TNF alfa, IL-1. prostaglandin, platelet
44
Sebenarnya alasan perbaikan ini dapat diterangkan karena activating factor, laktat, protein dan kadar glukosa.
pada cedera otak, sel otak sendiri rusak ataupun mati Penggunaan kortikosteroid pada bakteri infeksi otak yang
sehingga pembentukan kortikosteroid aktif melalui mendasar pada patogenesis infeksi sel neuron. Selama infeksi
mekanisme feed back tidak terjadi oleh sebab itu dibutuhkan terjadi kerusakan sel disertai inflamasi membran
37,38
pemberian dari luar. subarachinoid ruang serebrospinal, piamater dan
Pemberian metilprednisolon pada trauma kepala arachinoid dari susunan saraf pusat dan medula spinalis.
misalnya makin cepat diberikan makin baik hasilnya. Beberapa peneliti menyatakan akan terjadi komplikasi
45
Mekanisme kerja metilprednisolon terletak pada peroksidasi sebesar 50% selama infeksi dan 3-22% meninggal. Bakteri
lipid di membran sel dan sel organel. Lipid yang teroksidasi meningitis akan menginduksi sel-sel inflamasi seperti
akan merubah struktur dan fungsi membran sel. Sedangkan neutrofil pada ruang serebrospinal dan jaringan otak.
fungsi lainnya adalah mencegah terjadinya perluasan iskemia Keadaan ini akan memberikan gejala-gejala yang hampir
yang progresif sesudah trauma serta mencegah akumulasi menyeluruh pada sel otak seperti kerusakan BBB (kerusakan
kalsium intraseluler, mencegah kerusakan struktur endotelial, pinocitosis meningkat, tight junction yang
neurofilamen, menghambat proses hidrolisa lemak membran melebar), edema susunan saraf pusat disertai peningkatan
38
yang membentuk tromboksan A2 dan prostaglandin F2. tekanan intrakranial serta komplikasi serebrovaskular
Metilprednisolon adalah salah satu golongan glukokortikoid seperti gangguan cerebral blood flow, kehilangan
yang banyak diteliti dan dikembangkan terutama pada autoregulasi, vaskulitis, iskemia, vasospasmus, trombosis
5,39-41 44
trauma medula spinalis. yang mengakibatkan ensefalopati.
Pemberian kortikosteroid pada tumor di otak awalnya Efek pemberian kortikosteroid pada meningitis
adalah untuk mengurangi edema pada tumor otak sekunder/ tuberkulosis bertujuan mengurangi terjadi proses eksudasi
metastasis sehingga mengurangi pendorongan massa. yang dapat merusak pembuluh darah terutama pada
Penggunaan deksametason untuk edema vasogenik meningitis basalis. Komplikasi yang bisa terjadi adalah
44
didapatkan hasil yang baik. Secara keseluruhan hidrosefalus, kejang, stroke dan blok spinal. Prinsip
deksametason menurunkan jumlah cairan dalam otak yang penggunaan kortikosteroid pada infeksi medula spinalis
terlihat dalam perbaikan klinik Pada gambaran elektron hampir sama dengan infeksi otak lainnya hanya cara
mikroskop terlihat pengurangan pembengkakan dari pemberian kortikosteroid dapat diberikan intratekal melalui
33,43,44 46
prosesus glia, parenkim dan myelin sheat. Dari hasil punksi lumbal misalnya pada arachinoiditis.

DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 79


Daftar Pustaka 23. Almawi WY, Melemedjian OK, Rider MJ. An alternate mechanism of
1. LaRochelle GE Jr, LaRochelle AG, Ratner RE, et al. Recovery of glucocorticoid anti-proliferative effect: promotion of a Th2 cytokine-
hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis in patients with rheumatic secreting profile. Clin Transplant 1999; 13: 365-374
disease receiving low dose prednisone. Am J Med 1992; 95:258-64 24. Matas AJ, Kandaswamy R, Humar A, et al. Long-term
2. Howe CR, Gardner GC, Kadel NJ. Perioperative medication immunosuppression without maintenance prednisone, after kidney
management for the patient with rheumatoid arthritis. J Am Acad transplantation. Ann Surg 2004; 240: 510-7
Orthop Surg 2006; 14:544-51 25. American College of Rheumatology. Task Force on Osteoporosis
3. Bowman WC, Rand MJ. Texbook of pharmacology. 2 nd ed.; Guideline. Recommendations for the prevention and treatment of
1980.p.1929-43 glucocorticoid-induced osteoporosis. Arthritis Rheum 1996; 39:1791-
4. Klawans HL, Weiner WJ. Texbook of clinical neuropharmacology . 80
1981.p. 283-92 26. Jackson WL Jr, Callagher C, Myhand RC, et al. Medical management
5. Brachen MB, Shepard MJ, Holford TR, et al. Administration of of patients with multiple organ dysfunction arising from acute
methylprednidolone for 24 or 48 hours or trilazard mesylate for 48 radiation syndrome. Br J Radiol Supp 2005; 27:161-8
hours in treatment of acut spinal cord injury. JAMA 1997; 277:1597- 27.Soni A, Pepper GM, Wyrwinski PM, et al. Adrenal insufficiency occuring
603 during septic shock: incidence, outcome, and relationship to
6. Drug Evaluation Annual American Medical Association 1995; 83:1941- peripheral cytokine levels. Am J Med 1995; 98: 266-71
61 28. Bernard F, Outtrim J, Menon DK, et al. Incidence of adrenal
7. Goodman and Gilman’s. The pharmacological basis of therapeutics. insufficiency after severe traumatic brain injury varies according
McGraw-Hill Co; 1996.p.1459-85 to definition used: clinical implications. Br J Anaesth 2006; 96:72-6
8. Chrousos GP. The hypothalamic-pituitary-adrenal axis and immune- 29. Hirano T, Homma M, Oka K, et al. Individual variations in lymphocyte-
mediated inflammation. N Eng J Med 1995; 332: 1351-62 responses to glucocorticoids in patients with bronchial asthma:
9. Wolthers O, Juul A, Hansen M, et al. The insulin like growth factors comparison of potencies for five glucocorticoids. Immunopharmacol
axis and collagen turnover in asthmatic children treated with inhaled 1998; 40: 57-66
budesonide. Acta Pediatr 1995; 84: 393-7 30. Andersen V, Bro-Rasmussen F, Hougaard K. Autoradiogrphic studies
10. Soferman R, Sapir N, Spirer Z, et al. Effects of inhaled steroids and of eosinophil kinetics: effects of cortisol. Cell Tissue Kinet 1969; 2:
inhaled cromolyn sodium on urinary growth hormone excretion in 139-46
ashmatic children. Pediatr Pulmonal 1998; 26:339-43 31. Leiguarda R, Sierra J, Pardal C, et al. Effect of large doses of methyl
11. Purba JS, Raadsheer FC, Hofman MA, et al. Increased number of prednisolone on supratentorial infra cranial tumors. Eur Neurol 1985;
corticotropin-releasing hormone (CRH) neurons in the hypothalamic 24: 23-32
paraventricular nucleus in patients with Multiple Sclerosis. 32. Lundstrom S, Furst CJ. Symptoms in advanced cancer; relationship
Neroendocrinol 1995; 62: 62-70 to endogenous cortisol levels. Palliat Med 2003; 17:503-8
12. Raadsheer FC, Sluiter AA, Ravid R, et al. Localization of corticotropin- 33. Walton SJ. Brains’disease of the nervous system 9th ed 1987.p.137-
releasing hormone (CRH) neurons in the paraventricular nucleus 71
of the human hypothalamus; age-dependent colocalizationwith 34. Jennet B,Teasdale G. Mangement of head a injuries. F. A. Davis
vasopressin. Brain Res 1993; 615: 50-62 Company; 1981.p.68-146
13. Aquilera G, Harwood JP, Wilson JX, et al. Mechanisms of action of 35. Evans RW. Neurology and trauma. WB Saunders Company; 1996.p.53-
corticotropin release in rat pituitary sells. J Biol Chem 1983; 258: 90
8039-45 36. Dellen JR. Cranio cerebral trauma in neurology, In: Clinical Practice
14. Fauci AS. Glucocorticoid teraphy: Mechanisms of action and clinical 2nd ed. 1996.p.941-91
considerations. Ann Intern Med 1976; 84: 304-15 37. Barrow DL. Complication and sequelae of head injury. 1992.p.70-1
15. Guyton AC. Texbook of medical physiology. 7th edition 1986.p. 901- 38. Malkoff MD. Steroid and other measures to control ICP. AA Neurol
25 1994; 5:79-86
16. Hofman MA, Goudsmit E, Purba JS, et al. Morphometric analysis of 39. Braken MB, Shepard MJ, Collins WF, et al. A randomized, controlled
the supraoptic nucleus in the human brain. J Anat 1990; 172:259-70 trial of methylprednisolone or naloxone in the treatment of acute
17. Müller OA, Stalla GK and von Werder K. CRH in Cushing’s syndroma. spinal-cord injury: results of the Second National Acute Spinal Cord
Horm Metab Res 1987(Supp); 16: 51-8 Injury Study. N Eng J Med 1990; 322: 1405-11
18.Nakamishi S, Kita T, Taii S, et al. Glucocorticoid effect on the level of 40. Young W. Methylprednisolone treatment of acute spinal cord injury.
corticotropin messenger RNA activity in rat pituitary. Proc Natl Acad Int J Neurotrauma 1991; 8: S43-46
Sci USA 1977; 74:3283-6 41. Hall ED. The neuroprotective pharmacology of methylprednisolone.
19. Hauger RL, Millan MA, Catt KJ, et al. Differential regulation of brain J Neurosurg 1992; 76:13-22
and pituitary corticotropin-releasing factor receptors by 42. Hamrahian AH, Oseni TS, Arafah BM. Measurements of serum free
corticosterone. Endocrinology 1987; 120: 1527-33 cortisol in critically ill patients. N Eng J Med 2004; 350:1629-38
20. Funder JW. Adrenal steroid: new answers, new questions. Science 43. Van der Merwe CJ, Louw AF, Welthagen D, et al. Adult respiratory
1987; 237:236-7 distress syndrome in cases of severe trauma - the prophylactic
21. Hollenberg SM, Giguere V, Segui P, et al. Colocalization of DNA-binding value of methylprednisolone sodium succinate. S Afr Med J 1985:
and transcriptional activation function in the human glucocorticoid 67: 279-84
receptor. Cell 1987; 49: 39-46 44. Coyle PK. Corticosteroid treatment of CNS infections. The upside.
22.Godawski PJ, Picard D and Yamamoto KR. Signal transduction and Ann Neurol 1998; 13:37-62
transcriptional regulation by glucocorticoid receptor-LexA fusion 45. Barucha NE. Infection of nervous system in neurology in clinical
protein. Science 1988; 241:812-6 practice. 2nd ed; 1996.p.1181-241
22. Drug facts and comparisons. St. Luis: Facts and Comparison 46. Aminoff MJ, Greenberg DA. Clinical neurology. 3rd edition; 1996.p. 23-
1997.p.122-3 7

80 DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007


TINJAUAN PUSTAKA

Infeksi Gonore Pada Anak


AM Adam, Rizqa Haerani Saenong
Sub. Bag. IMS, Bagian Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar

Abstrak. Ditemukannya infeksi gonore pada anak, merupakan suatu petunjuk adanya penyalahgunaan
seksual. Pada bayi baru lahir, penularan dapat terjadi melalui jalan lahir yang terinfeksi organisme ini, sehingga
pada bayi baru lahir dapat ditemukan oftalmia neonatorum.

Kata kunci: infeksi gonore, N. gonorrhoeae, penyalahgunaan seksual pada anak, oftalmia neonatorum

Pendahuluan infeksi dengan Chlamydia dapat mencapai 15-20%.2,16


Ditemukannya infeksi gonore pada anak, hampir selalu Prevalensi gonore yang dilaporkan dari suatu studi
merupakan suatu petunjuk adanya penyalahgunaan seksual penyalahgunaan seksual pada anak yaitu antara 2,4-11,2%.
(sexual abuse). Identifikasi infeksi pada anak harus Risiko terjadinya oftalmia gonokokal pada bayi baru lahir dari
mendorong ke arah adanya kontak dengan orang dewasa.1-9 ibu yang tidak mendapat terapi gonore adalah sekitar 30%.10,11
Definisi anak secara medis adalah seseorang yang Dari suatu studi di Amerika ditemukan prevalensi gonore
berumur kurang dari 18 tahun dan remaja adalah seseorang yang tinggi pada anak perempuan prepubertas dengan duh
yang berusia 10-18 tahun. 10-12 Sedangkan untuk aspek tubuh. Dari 87 anak perempuan yang diperiksa di klinik
medikolegalnya adalah mengacu pada ketentuan hukum yang pediatrik dengan keluhan duh tubuh, panas, nyeri atau gatal,
berlaku, misalnya pada UU no. 23 tahun 2002 tentang ditemukan 9% dari 43 anak dengan N. gonorrhoeae. Sebelum
Perlindungan Anak, yang dimaksudkan dalam UU ini adalah didiagnosis sebagai infeksi gonokokal, penyalahgunaan seksual
seseorang yang sejak berada dalam kandungan sampai tidak dipertimbangkan pada anak-anak tersebut.17
berumur 18 tahun.13 Mengetahui bahwa penyalahgunaan seksual merupakan
Mayoritas infeksi gonore dilaporkan mengenai anak wanita masalah yang sering terjadi, harus seorang dokter harus
tetapi jumlahnya meningkat pada anak laki-laki dalam masa mempertimbangkan adanya hal tersebut, jika memeriksa
remaja dan dewasa muda. Infeksi gonokokal pada anak dapat seorang anak yang datang dengan infeksi menular seksual
menghasilkan berbagai gejala yang berhubungan dengan usia. ataupun trauma akibat garukan, lecet, laserasi atau fisura,
Penyelidikan yang luas mengenai sindrom penyakit gonokokal bekas luka pada anus ataupun introitus.6,11,18
pada dewasa telah menunjukkan adanya interaksi yang luas dan Ketika ditemukan suatu penyalahgunaan seksual, maka
akomodasi antara struktur permukaan gonokokal dan lingkungan dapat dipertimbangkan rekomendasi Clayden:17
hospes. Belum ada studi tentang infeksi gonokokal pada bayi atau 1. Riwayat yang jelas harus didapatkan, dan ini termasuk, jika
anak prepubertas yang menyelidiki interaksi antara hospes- terdapat gangguan emosional atau sang anak memberi
mikroba.4 petunjuk adanya penyalahgunaan seksual yang telah terjadi.
Hal ini merupakan suatu tanda peringatan.11
Epidemiologi 2. Deteksi infeksi yang ditularkan secara seksual sangatlah
Insiden dan prevalensi penyalahgunaan seksual pada anak penting. 13,18 Diagnosis organisme penyebab harus
sulit diperkirakan, terutama karena banyak kasus yang sulit dilakukan di laboratorium.11
dideteksi. Sekitar 80-90% anak-anak abused adalah anak 3. Jika seorang anak berbaring secara pasif pada pemeriksaan
perempuan, dengan umur rata-rata 7-8 tahun.14-16 di tempat tidur pasien dan tidak menolak pemeriksaan
Dalam 20 tahun terakhir, jumlah kasus gonore yang inspeksi anal dengan cara tightening/pengetatan levator ani
dilaporkan oleh Centers for Disease Control and Prevention atau muskulus sfingter eksternal. Maka hal ini merupakan
(CDC), telah menurun secara dramatis. Namun jumlah suatu tanda peringatan.11
penurunan kasus pada anak dan remaja kurang dramatis 4. Jika terdapat tanda relaksasi anal, maka hal ini perlu
dibandingkan kasus orang dewasa, sehingga pada remaja dan dicurigai, jika tidak terdapat distensi abdomen, terutama
dewasa muda antara usia 15 dan 24 tahun merupakan insidens jika tidak ditemukan relaksasi anal pada seorang anak
tertinggi penyakit ini.7 Penularan seksual adalah penyebab yang sedang tidak bersama dengan pelaku abused.17
utama penyebaran gonore. Dengan risiko penularan antara 20- 5. Ekskoriasi atau memar di sekitar anus atau bagian dalam
50% setiap kali kontak. Pada individu yang terkena gonore, ko- sekitar bokong atau paha.17

DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 81


Etiopatogenesis Vaginitis gonokokal adalah bentuk yang paling sering
11,14,24,25
Seperti bakteri gram-negatif lainnya maka pada N. gonorrhoeae ditemukan pada anak. Vaginitis gonokokal ini merupakan
terdapat pembungkus sel yang tersusun atas tiga komponen keluhan ringan, yang mungkin disebabkan karena hanya
makromolekular, yaitu membran luar, lapisan tengah terbatas pada mukosa superfisial. Mayoritas gejala yang
peptidoglikan, dan membran dalam sitoplasmik. Membran luar ditemukan pada anak yaitu: vagina dan duh tubuh yang agak
adalah yang paling penting pada stadium awal perlekatan dan mengeras mengotori celana dalam; sedangkan tanda lainnya
5
invasi organisme ini. Membran ini mengandung lipooligosakarida, mungkin tidak ditemukan, atau dapat merupakan suatu tanda
6 4,5
fosfolipid dan berbagai protein. Protein ini berhubungan dengan infeksi sistemik.
perlekatan, invasi seluler dan resistensi terhadap efek bakterisid.
Lipooligosakarida gonokokal memiliki aktivitas endotoksik dan Infeksi Lokal Di Luar Traktus Genital
2,20
berperan pada kematian sel-sel mukosa. Selain di traktus genital infeksi gonore jarang ditemukan dan
Infeksi primer umumnya terjadi di epitel kolumnar uretra dan infeksi tersebut dapat mengenai daerah anus, tenggorokan
duktus serta kelenjar parauretra baik wanita maupun pria, kelenjar dan mata. Kolonisasi rektal gonokokal biasanya
2
bartolini, serviks, konjungtiva dan rektum. Infeksi primer ini dapat asimtomatik, tetapi dapat ditemukan duh mukopurulen
juga terjadi pada epitel skuamosa yang lunak pada vagina anak yang tidak nyeri, atau lebih jarang lagi proktitis dengan
11,16,23,24
wanita. Perlengketan pada epitel dipengaruhi oleh bakteri dan tenesmus, pruritus, dan perdarahan rektal.
20,21
faktor lainnya. Setelah melekat, mikroorganisme ini akan Infeksi faring adalah daerah yang jarang terkena infeksi
diendositosis dan ditransportasikan ke rongga subepitel. Setelah gonokokal (<5%). Infeksi terjadi akibat hubungan orogenital.
2
itu infiltrasi sejumlah lekosit dan respon netrofil menghasilkan Biasanya asimtomatik, tetapi dapat terjadi faringitis dengan
2,5,16,20 16,23,24
terbentuknya pus dan onset gejala. limfadenopati servikal.
Konjungtivitas gonokokal biasanya didapatkan melalui
Gambaran Klinis otoinokulasi dari infeksi anogenital, dengan onset berupa
Oftalmia Gonokokokal Neonatorum konjungtivitas purulen. Serupa dengan bentuk neonatal, infeksi
8,16
Pada periode perinatal, manifestasi klinis gonore yang paling ini dapat berkembang menjadi ulkus kornea dan perforasi.
5
sering adalah oftalmia gonokokal neonatorum. Gambaran
klinis yang terlihat jelas berupa, konjungtivitis purulen yang
4
Komplikasi
terjadi 2 sampai 5 hari setelah kelahiran melalui kanal vagina. Penyakit Diseminata
Yang terinfeksi jika tidak diobati, dapat berlanjut secara cepat Infeksi sistemik pada neonatus dengan manifestasi yang jarang
2,16,24
menjadi ulkus kornea, perforasi bola mata, dan kebutaan. dan biasa, disebut infeksi gonokokal diseminata (Disseminated
Perjalanan penyakit mungkin saja lambat, dimana onset Gonococcal Infection/DGI) atau sindrom dermatitis dan artritis
dapat terjadi lebih dari 5 hari setelah kelahiran, hal ini dapat akut. Artritis gonokokal pada anak dapat menyerupai gejala
3
disebabkan oleh supresi parsial dari profilaksis oftalmik, pada orang dewasa. Penyebaran hematogen dapat mengenai
ukuraninokulum yang kecil, atau oleh karena variasi strain- kulit dan sendi (sindrom artritis-dermatitis) dan dapat
16,26
to-strain pada virulensi gonokokal. Konjungtivitis ditemukan pada 0,5-3% mereka yang tidak diobati.
gonokokokal kronis ringan yang terjadi selama 3 bulan telah Bakteremia menyebabkan ruam makulopapular dengan
4,23
dilaporkan pada seorang bayi usia 4 bulan. Pencegahan nekrosis, tenosinovitis, dan artritis.
oftalmia gonokokal semakin meningkat dengan tingginya Komplikasi lain dari gonore jarang dilaporkan pada literatur
penggunaan metode Crede yang merefleksikan menurunnya pediatrik. Sepsis gonokokal, meningitis, endokarditis,
4 3
sindrom ini sebagai penyebab kebutaan. konjungtivitis, dan hepatitis, jika terjadi pada anak dapat
4,23
berakibat fatal.
Infeksi Genital
Pada anak keluhan yang paling sering ditemukan adalah infeksi Pelvic Inflamatory Disease (PID)
4,23
genital pada uretra atau vagina. Pada anak laki-laki dengan Infeksi vaginal pada anak atau remaja wanita dapat berlanjut
uretritis, duh tubuh uretra mukopurulen dapat disertai disuria, mengenai tuba falopi atau menyebar ke pelvik, yang
dengan masa inkubasi 2-5 hari setelah kontak dengan pasangan mengakibatkan perihepatitis dan PID; pada remaja dapat
yang terinfeksi. Uretritis gonokokal ini lebih jarang ditemukan menyebabkan infertilitas dan kehamilan ektopik, dan hal ini
dibandingkan vaginitis pada anak perempuan. Uretritis ini merupakan penyebab tunggal infertilitas yang paling sering
4,23
menyerupai gejala yang terdapat pada pria dewasa. Sama pada wanita muda.
halnya dengan vaginitis pada uretritis juga terdapat piuria Faktor risiko PID dan salpingitis akut pada remaja termasuk
asimtomatik. Jika tidak diobati biasanya gejala akan hilang usia muda saat mendapat infeksi gonokokal, riwayat PID
dengan sendirinya, tetapi infeksi tetap bertahan. Umumnya sebelumnya, pasangan seksual multipel, dan penggunaan
3,4,16
uretritis dapat berlanjut menjadi epididimitis akut. kontrasepsi IUD. Sekitar 15% remaja dengan gonore akan
4,27
Pada anak perempuan prepubertas biasanya terdapat berlanjut menjadi PID.
vaginitis purulen karena epitel prepubertas vagina rentan PID merupakan kumpulan berbagai gejala yang bervariasi
16
terhadap gonokokus dan chlamydia. Masa inkubasi adalah 2 termasuk demam, nyeri abdomen bawah, disuria, sering
sampai 7 hari pada pasien simtomatik. Pada anak pubertas, berkemih, duh endoserviks purulen, dispareunia, nyeri
27,28
gambaran klinis yang ditemukan serupa dengan orang adneksa. Diagnosis PID dapat menjadi sulit, dan diagnosis
3,4
dewasa. banding pada remaja termasuk sejumlah kondisi pada perut

82 DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007


bawah, seperti apendisitis, kehamilan ektopik, adenitis Pada Neonatal. Bayi dengan oftalmia neonatorum, abses
4
mesenterik, pielonefritis dan aborsi septik. skalp, atau infeksi diseminata harus dirawat di rumah sakit.
Kultur darah, duh dari mata atau tempat lain yang terinfeksi,
Pemeriksaan Penunjang dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan menentukan
Pemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan Gram dari antimikroba yang sesuai. Tes untuk infeksi yang dapat terjadi
eksudat pada mata, vagina, uretra, lesi kulit, cairan sinovial, bersamaan seperti chlamydia, sifilis kongenital, dan HIV juga
3,23
sangat berguna dalam penilaian awal. harus dilakukan. Ibu dan pasangannya juga diperiksa dan
Isolasi organisme dimulai dengan pengambilan bahan untuk mendapat terapi gonore (lihat Gambar 1).23,24
kultur dari daerah yang terinfeksi. Adanya diplokokus gram
Dirawat di Rumah Sakit
negatif intrasel pada pewarnaan Gram diduga kuat adalah
infeksi gonokokal. Kultur darah sangat berguna pada
16,25
pemeriksaan neonatal dan penyakit diseminata. Infeksi fokal seperti oftalmia Infeksi diseminata, termasuk
neonatorum meningitis, artritis, sepsis
Karena implikasi legal dalam mendiagnosis infeksi gonore pada
anak, hanya prosedur kultur standar untuk mengisolasi N.
gonorrhoeae yang digunakan pada anak. Tes lain seperti Ceftriaxone 25-50 mg/kg, dosis Ceftriaxone 25-50 mg/kg, dosis tunggal,
IV atau IM, tidak melebihi 125 mg
tunggal, IV atau IM, tidak melebihi
pewarnaan Gram, DNA probes, Enzim Immunoassay test (EIA), 125 mg atau
4 Cefotaxime 100 mg/kg dosis tunggal, IV
Nucleic Acid Amplification Test (NAAT), tidak digunakan sendiri. atau IM
Tidak satupun dari tes ini yang direkomendasikan FDA (Badan Irigasi mata dengan larutan saline,
Pengobatan Amerika) sebagai penggunaan untuk pengambilan tidak perlu antibiotik topikal

spesimen dari orofaring, rektum, atau traktus genital seorang anak. Gambar 1. Pedoman penatalaksanaan infeksi gonokokal pada
Spesimen dari vagina, uretra, faring, atau rektum, harus pada bayi baru lahir
media selektif isolasi N. gonorrhoeae dan semua ditentukan
setidaknya dengan dua uji dengan prinsip berbeda (biokimia, Bayi yang lahir dari ibu dengan infeksi gonokokal. Jika
substrat enzim atau semua serologik). Isolat harus disimpan untuk profilaksis diberikan dengan benar, bayi yang lahir dari ibu dengan
24
uji ulang atau tambahan lainnya. infeksi gonore biasanya jarang terdapat oftalmia gonokokal.23
Menurut Siegel et al, pada anak perempuan prepubertas, kultur
N. gonorrhoeae hanya dibutuhkan jika terdapat duh tubuh saat Infeksi Diseminata. Terapi yang direkomendasikan,
29,30
pemeriksaan, atau jika anak itu beresiko tinggi mendapat PMS. termasuk untuk oftalmia neonatorum, adalah ceftriaxone (25-
Sedangkan menurut American Academy of Pediatrics 50 mg/kg, IV atau IM, dosis tunggal, tidak melebihi 125 mg).
(AAP), jika terdapat sangkaan akan penyalahgunaan seksual Bayi dengan oftalmia gonokokal harus mendapat irigasi pada
pada anak perempuan prepubertas dilakukan pemeriksaan mata dengan larutan salin fisiologis sesegera mungkin sampai
kultur pada oral, rektal uretral dan vaginal. Sementara pada anak duh tersebut tereliminasi. Bayi tersebut harus dirawat.2,5,23
laki-laki dilakukan kultur oral dan rektal, bukan kultur uretral Antimikroba topikal dapat diberikan tapi tidak terlalu berguna.4,24
kecuali terdapat duh tubuh uretra, disuria, tes esterase lekosit urin
2,29
yang positif dan atau eritema. Infeksi Nondiseminata. Terapi yang direkomendasikan
untuk artritis dan septikemia adalah ceftriaxone 25-50 mg/kg/
Penatalaksanaan hari dosis tunggal atau cefotaxime selama 7 hari. Cefotaxime
Rekomendasi terapi pada anak dengan gonore berdasarkan direkomendasikan untuk bayi dengan hiperbilirubinemia. Jika
pedoman dari Centers for Disease Control (CDC) dari terdapat meningitis, terapi harus dilanjutkan 10 sampai 14 hari.4,23
Amerika adalah sebagai berikut: pasien anak-anak/pediatrik
mencakup mulai dari sejak lahir hingga remaja. Ketika Infeksi Gonokokal pada Anak dan Remaja. Rekomendasi
seorang anak telah pubertas atau berat badan melebihi 45 terapi untuk infeksi gonokokal, berdasarkan usia dan berat
kg, maka harus diterapi dengan regimen dosis sebagaimana badan (lihat tabel 2 dan 3). Pasien dengan infeksi endoserviks
orang dewasa.4,24 yang tidak komplikasi, uretritis, atau proktitis yang alergi
Akibat prevalensi resistensi penisilin dan tetrasiklin pada dengan sefalosporin harus diterapi dengan spectinomycin (40
N. gonorrhoeae, pemberian golongan cephalosporin mg/kg, maksimum 2 g, IM dosis tunggal), jika mereka belum
direkomendasikan sebagai terapi awal pada anak. 2,16 cukup umur untuk mendapat fluoroquinolones. Doxycycline
Cephalosporin secara parenteral direkomendasikan atau azithromycin dihydrate harus diberikan jika diduga
penggunaannya pada anak-anak; ceftriaxone terbukti dapat terdapat infeksi chlamydia yang bersamaan.23,24
diberikan pada semua infeksi gonokokal pada anak 4 dan Pasien dengan infeksi gonokokal faring yang tidak
cefotaxime sodium hanya dapat diberikan pada oftalmia komplikasi mendapat terapi ceftriaxone 125 mg IM dosis
gonokokal. Antimikroba lain yang diberikan secara oral, telah tunggal. Bagi yang tidak dapat mentoleransi ceftriaxone
terbukti efektif untuk pengobatan uretritis gonokokal dan servisitis harus mendapat ciprofloxacin 500 mg, oral, dosis tunggal.
pada dewasa dan remaja yang lebih tua meliputi ciprofloxacin, Spectinomycin cukup efektif 50% untuk terapi gonore
ofloxacin dan levofloxacin. Fluoroquinolones secara umum faringeal, jadi dapat digunakan pada mereka yang tidak dapat
tidak direkomendasikan pada mereka yang kurang dari 18 menerima ceftriaxone atau ciprofloxacin, dan kultur
tahun, juga di kontraindikasikan pada wanita hamil.23 faringeal harus dilakukan dalam 3 sampai 5 hari terapi untuk
mengetahui eradikasi.23,24

DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 83


Tabel 1. Pedoman penatalaksanaan infeksi gonokokal tanpa 2

3
banyak ahli merekomendasikan perawatan di RS untuk pasien PID, terutama remaja
23 pasien dengan respon inadekuat terapi setelah 72 jam harus direevaluasi
komplikasi: terapi pada anak dan remaja kemungkinan salah diagnosis dan harus mendapat terapi parenteral
4
Penyakit Anak Prepubertas BB<45 kg Penyakit Anak BB≥45 kg dan usia > 8 thn Fluoroquinolones dikontraindikasikan untuk pasien kurang dari 18 tahun, wanita hamil
Vulvovaginitis, Ceftriaxone sodium, 125 mg, IM, Endocervicitis, Ceftriaxone, 125 mg, IM, dosis dan menyusui
cervicitis, urethritis, dosis tunggal urethritis, tunggal 5
rejimen alternatif parenteral termasuk ofloxacin atau levofloxacin plus metronidazole;
proctitis, atau ATAU epididymitis, ATAU
proctitis, atau
dan ampicillin-sulbactam sodium plus doxycycline
pharyngitis tanpa Spectinomycin,3 40 mg/kg Ciprofloxacin, 5 500 mg, oral, dosis 6
komplikasi (maximum 2 g), IM, dosis pharyngitis4 tanpa tunggal Data indikasi tentang sefalosporin spektrum luas (ceftizoxime, cefotaxime,
tunggal komplikasi ATAU ceftriaxone) dapat menggantikan cefoxitin atau cefotetan masih terbatas. Banyak
PLUS 1
Ofloxacin,5 400 mg, oral, dosis penulis berpendapat, ini juga efektif untuk terapi PID, tapi kurang aktif terhadap
Azithromycin, 20 mg/kg tunggal anaerob
(maximum 1 g), oral, dosis ATAU
tunggal Levofloxacin, 5 250 mg, oral, dosis
ATAU tunggal
Erythromycin, 50 mg/kg per hari
(maximum 2 g/hr), oral, 4 dosis
terbagi selama 14 hari
PLUS1
Azithromycin 1 g, oral, dosis tunggal
ATAU
Daftar Pustaka
Doxycycline 100 mg, oral, 2 kali
1. Feingold DS, Mansur CP. Gonorrhea. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF,
th
sehari, selama 7 hari Goldsmith LA, Katz SI, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 6 ed. New
1
Tambahan sebagai rekomendasi terapi infeksi gonokokkal, terapi untuk Chlamydia trachomatis juga York: McGraw-Hill; 2003.p.2205-9
direkomendasikan untuk dugaan adanya infeksi bersamaan.
2
2. Darville T. Gonorrhea. Pediatrics 1999; 20:125-8
Perawatan di RS dipertimbangkan, terutama untuk mereka yang rawat jalan respon gagal terhadap terapi dan
mereka yang tidak sesuai dengan terapi yang diberikan. 3. Todd G, Krause W. Sexual transmitted diseases. In: Schachner LA, Hansen RC. Pediatric
rd
3
Spectinomycin tidak direkomendasikan untuk infeksi faring. Bagi yang tidak dapat menerima ceftriaxon atau Dermatology. 3 ed. Edinburgh: Mosby; 2003.p.1195-201
ciprofloxacin, spectinomycin dapat digunakan untuk faringitis, tapi diperlukan kultur follow-up.
4
Rejimen alternatif meliputi spectinomycin (2 g, IM, dosis tunggal), ceftizoxime, cefotaxime, dan cefoxitin. 4. Gutman LT. Gonococcal diseases in infants and children. In: Holmes KK, Mardh P, Sparling
rd
Hanya ceftriaxone dan ciprofloxacin direkomendasikan untuk faringitis; pada mereka yang tidak dapat ML, Walter ES, Piot P, eds. Sexually Transmitted Diseases. 3 ed. New York (USA). McGraw-Hill;
menerima dapat diberikan spectromycin tapi diperlukan kultur follow-up.
5
Fluoroquinolones dikontraindikasikan untuk wanita hamil, nursing women, dan biasanya pada mereka yang 1999.p.1145-53
kurang dari 18 tahun. Fluoroquinolones sebaiknya tidak diberikan untuk infeksi yang didapat dari Asia, Pulau 5. Young H, McMillan A. Gonorrhea. In: McMillan A, Young H, Ogilvie MM, Scott GR, eds.
Pasifik termasuk Hawai, atau Kalifornia.
Clinical practice in sexually transmissible infections. London:WB Saunders; 2002.p.313-49
Tabel 2. Pedoman penatalaksanaan infeksi gonokokal dengan 6. Faro. Sexually transmitted diseases in women. Philadelphia:Lippincot Williams &
komplikasi: terapi pada anak dan remaja Wilkins; 2003
Penyakit Anak Prepubertas BB<45 kg Penyakit Anak BB≥45 kg dan usia > 8 thn 7. Clutterbuck D. Sexually transmitted infections and HIV. Edinburg: Elsevier Mosby; 2004
Infeksi gonokokal Ceftriaxone, 50 mg/kg per hari Infeksi gonokokal Ceftriaxone, 1 g, IV atau IM, sekali 8. Ram S, Rice PA. Gonococcal infections. Available at http://www.harrisononline.com.
diseminata (maximum 1 g/hr), IV atau IM, diseminata sehari selama 7 hari4
sekali sehari selama 7 hari ATAU Accessed April 2006
PLUS1 Cefotaxime, 1 g, IV, setiap 8 jam
Azithromycin atau erythromycin selama 7 hari4
9. Webster SB. Nontreponemal sexually transmissible diseases. In: Moschella SL,
rd
PLUS1 Hurley HJ. Dermatology. 3 ed. Philadelphia:WB Saunders; 1992.p.987-91
Azithromycin, 1 g, oral, dosis
tunggal
10. Thomas A, Forster G, Robinson A, et al. National guideline for the managementof
ATAU suspected sexually transmitted infections in children and young people. Arch
Doxycycline, 100 mg, oral, 2 kali
sehari selama 7 hari Dis Child 2003; 88:303-11
11. Thomas A, Forster G, Robinson A, et al. National guideline for the management of
Meningitis atau Ceftriaxone, 50 mg/kg per hari Meningitis atau Ceftriaxone, 1-2 g, IV, setiap 12
endokarditis (maksimum 2 g/hari), IV atau IM, endokarditis jam; untuk meningitis, selama 10-14 suspected sexually transmitted infections in children and young people. Available
setiap 12 jam; untuk meningitis, hari; untuk endocarditis, selama at http://www.bashh.org/guidelines/2002/adolescent_final_0903.pdf Accesed April 2006
selama 10-14 hari; untuk paling tidak 28 hari.
endocarditis, selama paling tidak 12. Thomas A, Forster G, Robinson A, et al. National guideline for the management of
28 hari
PLUS1
suspected sexually transmitted infections in childrens and young people. Sex
Azithromycin atau erythromycin Transm Inf. 2002; 78:324-31
Konjungtivitis5 Ceftriaxone, 50 mg/kg Konjungtivitis5 Ceftriaxone, 1 g, IM, dosis tunggal 13. Dirjen P2M Depkes RI. Pedoman penatalaksanaan infeksi menular seksual. Jakarta, 2004
(maximum 1 g), IM, dosis
tunggal 14. American Academy of Pediatrics. Gonorrhea in prepubertal children. Pediatrics 1998;
Penyakit inflamasi Lihat tabel...
pelvis
101:134-5
15. Hammerschlag M. Sexually transmitted diseases in sexualy abused children: medical and
1
Tambahan sebagai rekomendasi terapi infeksi gonokokal, terapi untuk Klamidia trakomatis juga
direkomendasikan untuk dugaan adanya infeksi bersamaan. legal implication. Sex Transm Inf. 1998; 74:167-74
2
Perawatan di RS dipertimbangkan, terutama untuk mereka yang rawat jalan respon gagal terhadap terapi dan 16. Sung L, MacDonald NE. Gonorrhea: a pediatric perspective. Pediatrics 1998; 19:13-6
mereka yang tidak sesuai dengan terapi yang diberikan.
3
Jika alergi obat β-lactam: ciprofloxacin (400 mg, IV, setiap 12 j) atau ofloxacin (400 mg, IV, setiap 12 j) atau 17. McMillan A. Some social, ethical, and medico-legal aspects of sexually transmissible
levofloxacin (250 mg, IV, setiap hari), atau spectinomycin (2 g, IM, setiap 12 j). Terapi spectinomycin infections. In: McMillan A, Young H, Ogilvie MM, Scott GR, eds. Clinical practice in sexually
memerlukan kultur follow-up jika terdapat infeksi faring. Direkomendasikan perawatan di RS.
4
Secara alternatif, terapi parenteral dapat dihentikan 24 sampai 48 jam setelah ada perbaikan dan 7 hari transmissible infections. In: McMillan A, Young H, Ogilvie MM, Scott GR, eds. Clinical practice
dilanjutkan dengan agen antimikroba yang sesuai seperti ciprofloxacin (500 mg, oral, 2 kali sehari), ofloxacin
(400 mg, oral, dua kali sehari), atau levofloxacin (500 mg, oral, sekali sehari). Fluoroquinolones in sexually transmissible infections. London:WB Saunders; 2002.p.29-44
dikontraindikasikan untuk wanita hamil, nursing women, dan biasanya pada mereka yang kurang dari 18 tahun. 18. Margesson LJ. Pediatric vulvar disorders. In: Black MM, McKay M, Braude PR, Jones SAV,
Fluoroquinolones sebaiknya tidak diberikan untuk infeksi yang didapat dari Asia, Pulau Pasifik termasuk Hawai,
atau Kalifornia. Margesson LJ. Obstetric and Gynecologic Dermatology. 2nd ed. Edinburg. Mosby; 2002.p.119-36
19. Johnson CF. Sexual abuse in children. Pediatrics 2006; 27:17-27
20. Morse SA. Neisseria, moraxella, kingella, and eikenella. Available at http://
Rekomendasi terapi penyakit inflamasi
gsbs.utmb.edu/microbook/ch014.htm Accessed April 2006
Parenteral: Rejimen A2 Ambulatory: Rejimen A3 (oral)
Cefotetan, 2 g, IV, setiap 12 j Ofloxacin,4 400 mg, oral, dua kali
21. Lau KH, Ho HF. Gonorrhea. Handbook of dermatology and venereology. Available at
sehari selama 14 hari http://www.hkmj.com Accessed April 2006
ATAU ATAU 22. Talhari S, Benzaquen A, Orsi TA. Diseases presenting as urethritis/vaginitis:
Cefoxitin, 2 g, IV, setiap 6 j Levofloxacin,4 500 mg, oral, dua kali
gonorrhea, chlamydia, trichomoniasis candidiasis, bacterial vaginosis. Available
sehari selama 14 hari
PLUS DENGAN atau TANPA at http://www.aifo.it/english/resources/online/books/other/std/-Urethritis.pdf Accessed
Doxycycline, 100 mg, oral Metronidazole, 500 mg, oral, dua kali April 2006
atau IV, setiap 12 j sehari selama 14 hari 23. Gonococcal infections. Summary of infectious diseases. Available at http://
ATAU ATAU
Parenteral: Rejimen B5 Ambulatory: Rejimen B
aapredbook.aappublications.org/cgi/content/full/2003/1/3.43
Clindamycin, 900 mg, IV, Ceftriaxone, 250 mg, IM, sekali 24. Centers for Diseases Control and Prevention. Guidelines for treatment of sexually
setiap 8 j transmitted diseases. MMWR 2002
PLUS ATAU 25. Berhman AJ. Gonorrhea. Available at http://www.emedicine.com Accessed April 2006
Gentamicin: dosis awal, IV atau IM (2 mg/kg), Cefoxitin, 2 g, IM, plus probenecid, 1
lalu dosis maintenance (1.5 mg/kg) setiap 8 j. g, oral, dosis tunggal berturut-turut
26. Brown TJ. Yen-Moore A, Trying SK. An overview of sexually transmitted diseases
Dosis satu kali sehari dapat digunakan ATAU part I. J Am Acad Dermatol 1999; 41:511-29
27. MacDonald NE, Brunham R. The effects of undetected and untreated sexually
CATATAN
Generasi ketiga parenteral lain
cephalosporin6 (eg, ceftizoxime atau
transmitted diseases: pelvic inflammatory disease and ectopic pregnancy in
cefotaxime) Canada. Can J Human Sex 1997; 6:1-9
Terapi parenteral dapat dihentikan 24 jam PLUS 28. Pelvic inflammatory disease. Summary of infectious diseases. Available at http://
setelah klinis membaik; terapi oral lanjutan Doxycycline, 100 mg, oral, dua kali
aapredbook.aappublications.org/cgi/content/full/2003/1/3.94 Accessed April 2006
harus terdiri dari doxycycline (100 mg, oral, sehari, 14 hari
dua kali sehari) atau clindamycin (450 mg, oral, DENGAN atau TANPA 29. Ingram DM, Miller WC, Schoenbach VJ, et al. Risk assessment for gonococcal and
4 kali sehari) untuk menyelesaikan total 14 hari Metronidazole, 500 mg, oral, dua kali chlamydial infections in young children undergoing evaluation for sexual abuse.
terapi sehari, 14 hari Pediatrics 2001; 107:e73-73
1
Untuk alternatif rejimen terapi, lihat CDC. STD treatment guidelines – 2002. MMWR 30. Ingram DL, Everett VD, Flick LAR, et al. Vaginal gonococcal cultures in sexual abuse
Recomm Rep. 2002; 51 (RR-6):1-80 evaluations: evaluation of selective criteria for preteenaged girl. Pediatrics 1999;99:e8-8

84 DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007


TINJAUAN PUSTAKA

Terapi Antibiotika Empiris


Pada Sepsis
Berdasarkan Organ Terinfeksi
JB Suharjo B Cayono
Bagian Penyakit Dalam RS RK Charitas Palembang

Abstrak. Meskipun teknologi diagnostik dan terapi serta perawatan suportif semakin berkembang namun
angka kesakitan dan kematian akibat sepsis berat dan syok septik masih tinggi. Manajemen sepsis berat dan
syok septik bersifat kompleks dan multidisipliner. Terapi antibiotika bukan merupakan terapi penentu dan
terapi utama. Terapi antibiotika hanya merupakan satu komponen penunjang keberhasilan dalam pengobatan
sepsis. Terapi antibiotika empirik harus segera dimulai dalam 1-2 jam pertama diagnosis sepsis berat
ditegakkan, sambil menunggu hasil pemeriksaan kultur. Karena keterlambatan dalam pemberian antibiotika
dalam waktu 24 jam setelah sepsis berat ditegakkan berkorelasi kuat dengan meningkatnya kematian dalam
kurun 28 hari. Pemilihan antibiotik secara empiris harus rasional, adekuat dan tepat. Karena pemberian
antibiotika yang tidak tepat dan tidak adekuat disamping memicu terjadinya resistensi, peningkatan biaya
perawatan, juga meningkatkan risiko mortalitas. Pemilihan antibiotika sebaiknya mempertimbangkan beberaha
hal, seperti: faktor spesifik pasien (usia, fungsi organ, organ terinfeksi dan derajat penyakit), faktor organisme
penyebab (peta kuman/pola resistensi, kuman bersifat komunitas/nosokomial) dan faktor antibiotika. Pemilihan
antibiotik empiris pada sepsis berat sebaiknya didasarkan pada pertimbangan organ terinfeksi yang mendasari
terjadinya sepsis. Pertimbangan ini penting mengingat tipikal pola kuman patogen penyebab sering tidak
sama pada organ tertentu. Contohnya: pola kuman penyebab urosepsis dengan pneumonia nosokomial
berbeda, sehingga pemilihan antibiotika juga berbeda. Tulisan ini merupakan tinjauan pustaka yang bertujuan
untuk memberikan pedoman bagaimana memilih pemberian antibiotika secara emperis pada sepsis
berdasarkan organ yang terinfeksi.

Pendahuluan dengan resusitasi cairan, dan memerlukan vasopressor dinyatakan


2,3
Sepsis berat dan syok septik merupakan komplikasi yang mengalami syok septik.
mengancam jiwa akibat suatu infeksi, dan merupakan penyebab
3
kematian tersering di perawatan intensif. Berdasarkan penelitian Tabel 1. Terminologi dan definisi sepsis
yang dipublikasikan oleh Centers for Disease Control di Amerika Terminologi Definisi
Systemic inflammatory Dikatakan SIRS bila didapatkan 2 atau lebih:
Serikat, dilaporkan bahwa insidensi septikemia meningkat dari response syndrome (SIRS)
1. Suhu >38ºC atau <36ºC
73,6 per 100.000 pasien pada tahun 1979 menjadi 175,9 per 2. Denyut nadi >90x/menit
100.000 pasien pada tahun 1987. Walaupun dukungan perawatan 3. Respirasi >20x/menit atau PCO2<32 mmHg
4. Lekosit darah >12.000/mm3 atau <4.000 mm3
pendukung semakin maju, namun angka kematian di rumah sakit
Sepsis Sindrom klinis yang ditandai dengan adanya infeksi
akibat sepsis berat dan syok septik masing masing sebesar 30% dan SIRS
dan 60%.1 Sepsis berat Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ,
hipoperfusi atau hipotensi, termasuk asidosis laktat,
Sepsis dapat diartikan sebagai respon sistemik terhadap oliguria dan penurunan kesadaran
infeksi. Apabila terjadi respon sistemik tanpa adanya infeksi Syok septik Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg
atau MAP <60) yang tidak membaik dengan resusitasi
dikenal sebagai systemic inflammatory response syndrome, cairan yang adekuat atau memerlukan vasopressor
untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi
yang ditandai dengan paling tidak 2 dari tanda berikut: suhu organ
>38ºC atau <36ºC, denyut nadai >90 kali/menit, pernafasan
>20 kali/menit atau PaCO2<32 mm Hg, dan angka leukosit Manajemen sepsis berat dan syok septik bersifat kompleks
3 3
>12.000/mm atau <4.000/mm . Seseorang dinyatakan dan multidisipliner. Berdasarkan surviving sepsis campaign
mengalami sepsis berat apabila mengalami sepsis ditambah guidelines for management of severe sepsis and septic shock
dengan adanya gagal organ multipel (tabel 1). Apabila seseorang yang dipublikasi melalui jurnal Critical Care Medicine 2004,
mengalami sepsis dengan tekanan darah <90 mmHg, atau Mean manajemen sepsis berat meliputi : resusitasi cairan, pemberian
Arteriap Pressure (MAP) <60 yang tidak memberikan perbaikan antibiotika, pengendalian fokal infeksi, penggunaan vasopressor

DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 85


pada keadaan syok septik, terapi inotropik (sesuai dengan
indikasi), pemberian steroid, pemberian recombinant human
activated protein C (rhAPC) (yang berisiko mengalami Antibiotika yang dipilih harus
mortalitas: skor APACHE >25, syok septik atau mengalami
ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome), penggunaan memperhatikan beberapa hal,
ventilator mekanik pada ARDS, pengendalian ketat kadar gula
darah, pemberian transfusi darah sesuai indikasi, terapi
seperti: (1) faktor spesifik pasien
hemodialisis sesuai dengan indikasi dan pencegahan trombosis (usia, fungsi organ, tempat infeksi
vena dalam sesuai dengan indikasi dan pencegahan perdarahan
lambung (stress ulcer) dengan H2 bloker.4 dan derajat penyakit/sepsis), (2)
Terapi antibiotika hanya merupakan satu komponen penunjang
keberhasilan dalam pengobatan sepsis. Terapi antibiotika empirik
faktor organisme penyebab (peta
harus segera dimulai dalam 1-2 jam jam pertama sepsis berat kuman/pola resistensi, kuman
ditegakkan, sambil menunggu hasil pemeriksaan kultur.
Keterlambatan dalam pemberian antibiotika dalam waktu 24 jam komunitas/nosokomial) dan (3)
setelah sepsis berat ditegakkan berkorelasi kuat dengan meningkatnya
2
kematian dalam kurun 28 hari (r = 0,72).
5 faktor antibiotika (farmakokinetik-
Pemilihan antibiotik secara empiris harus rasional, adekuat farmakodinamik, profil
dan tepat. Karena pemberian antibiotika yang tidak tepat dan
tidak adekuat (dosis, keterlambatan, dan pemberian antibiotik tolerabilitas dan keamanan,
tidak sesuai dengan kuman penyebab atau kuman sudah
resisten) di samping memicu terjadinya resistensi, peningkatan
penetrasi ke jaringan, dan asas
2,9
biaya perawatan, juga meningkatkan risiko mortalitas. biaya manfaat).
Contohnya, mortalitas akibat pneumonia akan meningkat dari 30%
6-8
menjadi 90% apabila antibiotika yang diberikan tidak tepat.
Antibiotika yang dipilih harus memperhatikan
beberapa hal, seperti: (1) faktor spesifik pasien (usia, Ventilator-Associated Pneumonia (VAP) menurut the
fungsi organ, tempat infeksi dan derajat penyakit/sepsis), American Thoracic Society and the Infectious Disease
(2) f a k t o r o r g a n i s m e p e n y e b a b ( p e t a k u m a n / p o l a Society of America yang dipublikasi dalam American
resistensi, kuman komunitas/nosokomial) dan (3) faktor Journal Respiratory Critical Care Medicine 2005; 171:388–
antibiotika (farmakokinetik-farmakodinamik, profil 416, diperlakukan sama. Pneumonia nosokomial sendiri
tolerabilitas dan keamanan, penetrasi ke jaringan, dan dapat didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi >48 jam
2,9
azas biaya manfaat). setelah masuk rumah sakit, yang tidak berada dalam kurun
Identifikasi sumber atau tempat infeksi memegang peran waktu inkubasi kuman. VAP didefinisikan sebagai pneumonia
penting dalam manajemen pasien sepsis. Berdasarkan tempat yang terjadi 48–72 jam setelah pemasangan intubasi.
terjadinya infeksi telah terjadi perubahan pola tempat infeksi Berdasarkan penelitian bakteri gram negatif seperti:
yang mendasari terjadinya sepsis dan syok septik. Pada tahun Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter sp, Acinetobacter sp,
1963-1987 tempat infeksi yang paling sering adalah abdomen gram negatif berbentuk batang bertangung jawab terhadap 55-
(27%), sedangkan pada kurun 1988-1998 yang terbanyak adalah 85% pneumonia nosokomial. Sedangkan kokus gram positif
10
bersumber dari paru (pneumonia) sebesar 36%. (terutama Staphylococcus aureus) menjadi penyebab sebesar
Tulisan ini merupakan tinjauan pustaka yang bertujuan 20–30%. Pada umumnya 40-60% bakteri penyebab bersifat
untuk memberikan pedoman bagaimana memilih pemberian polimikrobial. Virus patogen dan jamur jarang menimbulkan
11,12
antibiotika secara empiris pada sepsis berdasarkan pneumonia nosokomial.
pertimbangan sistem/organ yang terinfeksi. Secara praktis penyebab pneumonia nosokomial dapat
dibagi menjadi dua, yaitu: yang menyebabkan pneumonia
10
Tabel 2. Tempat infeksi sebagai sumber sepsis berat dan syok septik pada onset awal (early onset) ( 2-5 hari) atau <4 hari, dan
Tempat infeksi Periode 1963-1987 Periode 1988-1998 onset lambat (late onset) >5 hari (tabel 3). Pneumonia
Infeksi abdomen 27% 19%
Infeksi saluran kencing 21% 13% nosokomial yang terjadi pada onset awal umumnya tidak
Infeksi paru 17% 36% disebabkan oleh patogen yang bersifat multidrug-
Primary bloodstream infection 16% 20%
Infeksi kulit dan jaringan lunak - 7% resistant (MDR), biasanya memberikan prognosis lebih
Lain-lain 19% 5% baik karena bakteri yang mendasari masih bersifat sensitif
terhadap antibiotika. Sebaliknya pneumonia yang terjadi
Pemilihan Antibiotika Berdasarkan Organ pada onset lambat umumnya disebabkan oleh patogen
Terinfeksi yang bersifat MDR, sehingga memiliki risiko morbiditas
dan mortalitas lebih besar. Pneumonia tipe onset lambat,
Pneumonia nosokomial dan pneumonia komunitas 30–70% disebabkan oleh karena P. aeruginosa,
Secara klinis pemberian antibiotika pada pneumonia nosokomial Acinetobacter sp atau Methicillin-Resistant S aureus
11-13
dan pneumonia yang terjadi berkaitan dengan pemasangan (MRSA)

86 DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007


Tabel 3. Bakteri patogen pneumonia nosokomial/VAP Pasien dengan pneumonia komunitas (community-aqcuired
13
(ventilator associated pneumonia) pneumonia (CAP) dikelompokkan menjadi 4 golongan: (1) CAP
Pneumonia nosokomial onset awal Pneumonia nosokomial onset lambat pada pasien rawat jalan tanpa riwayat penyakit
(2-5 hari) (>5 hari)
S pneumoniae P aeruginosa kardiopulmoner, dan tidak memiliki risiko resistensi terhadap
H influenzae Enterobacter sp kuman patogen, (2) CAP pada pasien rawat jalan dengan
M catarrhalis Acinetobacter sp
S aureus Klebsiella sp penyakit kardiopulmoner (gagal jantung kongestif atau penyakit
Bakteri gram negatif enterik S marcescens paru obstruktif menahun), dengan atau tanpa memiliki risiko
E coli
Bakteri gram negatif lainnya resistensi terhadap kuman patogen, (3) CAP pada pasien rawat
MRSA inap dengan atau tanpa riwayat penyakit kardiopulmoner, dan
dengan atau tanpa memiliki risiko resistensi terhadap kuman
Tabel 4. Terapi empiris awal pada pasien pneumonia patogen, (4) CAP berat dan perlu perawatan di ICU. Kriteria
nosokomial dan VAP terjadi pada onset awal (<4 hari), tanpa pasien dengan CAP berat adalah bila dipenuhi 1 dari kriteria
faktor risiko adanya patogen MDR13 mayor (syok septik atau perlu ventilator mekanik), atau
Patogen potensial Rekomendasi antibiotika terpenuhi 2 dari 3 kriteria minor (Tekanan darah <90 mmHg,
Streptococcus pneumonia
Haemophilus influenzae Ceftriaxone pneumonia mengenai multi lobuler, Pa02/FI02 <250). 15
Methicillin-sensitive enteric Staphylococcus aureus Atau Pemilihan antibiotika pada CAP berat didasarkan pada
Bakteri gram negatif sensitif terhadap antibiotika: Levofloxacin, Mofifloxacin pertimbangan kuman penyebab, apakah kuman patogen diduga
- E coli Ciprofloxacin disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa atau bukan (lihat
- Klebsiella pneumoniae atau
- Enterobacter species Ampicillin/Sulbactam tabel 6).
- Proteus species Atau
- Serratia marcescens Ertapenem
Pemilihan antibiotika pada infeksi intra-abdomen
Pada saat diagnosis pneumonia nosokomial telah ditegakkan Apabila tidak dikelola dengan baik infeksi intra-abdomen
maka terapi antibiotika harus segera dimulai secara empiris. dengan penyulit (complicated intra-abdominal infections)
Pemilihan jenis antibiotika secara empiris perlu didasari dengan berisiko menimbulkan sepsis berat/syok septik. Manifestasi
pertimbangan waktu terjadinya pneumonia onset awal/lambat dan infeksi intra abdominal dengan penyulit yang tersering
16
berdasarkan adanya faktor risiko yang berpotensi menimbulkan adalah peritonitis dan abses abdomen. Peritonitis
munculnya patogen bersifat MDR. Pada pneumonia tipe onset awal diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: peritonitis primer,
tanpa faktor risiko adanya patogen MDR diberikan antibiotika sekunder dan tersier. Penyebab tersering peritonitis primer
monoterapi dari golongan sefalosporin III, fluoroquinolone atau adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) berkaitan
anti betalaktam (tabel 4). Sedangkan pada pneumonia tipe onset dengan penyakit hati kronis atau sirosis hati. Sekitar 90%
lambat, mengingat patogen penyebab lebih bersifat resisten maka kasus SBP disebabkan oleh monomikrobial. Kuman patogen
diberikan antibiotika kombinasi (tabel 5). Pada umumnya apabila penyebab SBP tersering adalah gram negatif, yaitu: E. coli
kuman patogen tidak resisten terhadap antibiotika respon klinis 40%, Klebsiella pneumonia 7%, Pseudomonas sp, Proteus
terapi akan terjadi pada secara signifikan pada 6 hari pertama. sp dan bakteri gram negatif lainnya sebesar 20%. Bakteri
Dianjurkan lama pemberian terapi antibiotika selama 7 hari. gram positif yang sering dijumpai, yaitu: Streptococcus
17,18
Apabila telah terjadi perbaikan antibiotika intravena dapat segera pneumonia 15%, Staphylococcus sp 3%.
diganti secara oral. Khusus pada pasien yang mendapat kombinasi
dengan golongan aminoglikosida, obat tersebut dapat dihentikan Tabel 6. Terapi antibiotika parenteral empiris pada
14 15
5-7 hari setelah memberikan respon.13 Berdasarkan studi Chastre pneumonia komunitas berat di ICU
pemberian antibiotika secara empiris pada pasien VAP selama 8 Organisme Terapi
Tanpa risiko Streptococcus pneumonia Beta laktam (cefotaxime,
hari dibandingkan 14 hari memberikan hasil yang sama. Pasien terinfeksi Legionella sp ceftriaxone)
Pseudomonas Haemophilus influenzae +
dengan VAP, mendapat antibiotika 8 hari (N=197 pasien) aeruginosa Bakteri gram negatif enterik
dibandingkan yang mendapat antibiotika 14 hari (N=204 pasien), Staphylococcus aureus Macrolide
Mycoplasma pneumonia
mortalitas antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (18% Virus atau
vs 17,2%) dan rekurensi infeksi, yaitu 28,9% vs 26% (tidak berbeda Lain-lain
- Chlamydia pneumoniae
bermakna). - Mycobacterium tuberculosis Fluoroquinolone
- Fungi
Risiko terinfeksi Semua kuman di atas ditambah Beta laktam antipseudomonas
Tabel 5. Terapi empiris awal pada pasien pneumonia
Pseudomonas Dengan Pseudomonas (cefepime, imipenem, meronem,
nosokomial dan VAP terjadi pada onset lambat (>5 hari) aeruginosa aeruginosa piperacillin/tazobactam)
13
dengan faktor risiko adanya patogen MDR +
Patogen potensial Antibiotika kombinasi Antipseudomonas quinolone
Patogen sesuai dengan tabel 4 Sephalosporin antipseudomonas (Cefepime, (ciprofloxacin)
Caftazidime) atau
Patogen MDR Atau Beta laktam antipseudomonas
- Pseudomonas aeruginosa Carbapenem antipseudomonas (Imipenem/Meronem) (cefepime, imipenem, meronem,
- Klebsiella pneumoniae β-lactam/β-lactamase inhibitor (Piperacillin-Tazobactam) piperacillin/tazobactam)
+
- Acinobacter species Atau
- Legionella pneumonia Fluoroquinolone antipseudomonas
Aminoglikosida
(Ciprofloxacin/Levofloxacin) +
Atau Makrolid
Aminoglikosida (Amikacin, Gentamicin/Tobramycin) atau quinolone nonpseudomoas
Linezolid/Vancomycin Fluoroquinolone

DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 87


Peritonitis yang sering dijumpai adalah peritonitis rumah sakit angka kematiannya hanya 1 pasien (1,9%)
sekunder. Penyebab perotinitis yang sering dijumpai dibandingkan dengan 30 pasien yang meninggal (12%) dari 252
adalah melibatkan organ: gaster dan duodenum (perforasi pasien yang belum mendapatkan terapi antibiotika. Oleh sebab
ulkus peptikum, trauma), pankreas (pankreatitis akut itu the British Infection Society Working Party mereko-
nekrotika), sistem bilier (cholecystitis gangren, mendasikan untuk segera memberikan antibiotika secara cepat
cholangitis), usus halus (iskemia usus halus, trauma, pada pasien yang diduga menderita meningitis bakterial.19
divertikulitis), apendisitis gangren/perforasi, pelvic
inflammatory disease (PID). Spektrum kuman patogen Tabel 8. Rekomendasi terapi antibiotika pada pasien dewasa
20
pada peritonitis sekunder dan abses abdomen tergantung dengan meningitis bakterial berdasarkan Gram stain
Mikroorganisma Antibiotika terpilih Antibiotika alternatif
lokasi lesi. Bakteri gram positif seperti Streptococcus, Meropenem, fluoroquinolone
Streptococcus pneumoniae Vancomycin + sefalosporin
Enterococcus dan bakteri gram negatif fakultatif sering generasi III (ceftriaxone / (gatifloxacin / mofifloxacin)
cefotaxime)
ditemukan pada lesi yang terjadi proksimal dari usus Neisseria meningitidis Sefalosporin generasi III Penicillin G, ampicillin,
halus. Sedangkan lesi yang terjadi di ileum terminal dan chloramphenicol,
fluoroquinolone, aztreonam
colon lebih sering disebabkan oleh bakteri gram negatif Listeria monocytogenes Ampicillin / penicillin G (kombinasi Trimethoprim-
(E coli) dan bakteri gram negatif anaerob (Bacteroides aminoglikosida bila perlu) sulfamethoxazole, meronem

sp). Peritonitis tersier merupakan manifestasi peritonitis Streptococcus agalactiae Ampicillin / penicillin G (kombinasi Sefalosporin generasi III
aminoglikosida bila perlu) (ceftriaxone / cefotaxime)
yang bersifat rekurensi dan persisten, yang sering disertai
dengan adanya abses, flegmon dengan atau tanpa fistula. Haemophilus influenzae Sefalosporin generasi III Chloramphenicol, cefepime,
(ceftriaxone / cefotaxime) meronem, fluoroquinolone
Dasar pemilihan terapi antibiotika pada infeksi intra
abdomen dengan penyulit adalah dengan mempertimbangkan:
(1) Apakah infeksi bersifat komunitas (community acquired) Secara prosedural apabila seseorang diduga menderita
atau diperoleh selama dalam perawatan rumah sakit (infeksi meningitis bakterial harus segera diambil kultur darah,
nosokomial/health care associated), (2) Berat ringannya punksi lumbal (bila memungkinkan) kemudian segera
penyakit (dinilai menggunakan APACHE skor, status imunitas, diberikan antibiotika secara empiris sampil menunggu hasil
kelainan kardiovaskuler). Pasien dengan infeksi intra abdomen kultur kuman. Terapi empiris didasarkan pada pola
yang diperoleh selama dalam perawatan rumah sakit umumnya kepekaan kuman patogen terhadap antibiotika, bila
disebabkan oleh patogen yang resisten, seperti Pseudomonas memungkinkan pemberian antibiotik berdasarkan penilaian
aeruginosa, Enterobacter sp, Proteus sp dan MRSA. Jenis hasil Gram stain (tabel 8 dan tabel 9). Lama pemberian
antibiotika yang diberikan pada infeksi intra-abdominal dengan antibiotika tergantung dari patogen penyebab, Neisseria
penyulit yang terjadi di komunitas dapat dilihat pada tabel 7.16 meningitidis dan H. influenza selama 7 hari, Streptococcus
Infeksi intra abdominal dengan penyulit dan bersifat berat pneumonia 10-14 hari, Streptococcus agalactiae selama 14-
akibat infeksi nosokomial perlu antibiotika kombinasi. 21 hari dan bakteri gram negatif aerob dan Listeria
Pemberian imipenem, piperacillin/tazobactam, monocytogenes selama 21 hari. 20
dikombinasikan dengan aminoglycosida dan metronidazole
memberikan hasil yang lebih efektif. Tabel 9. Rekomendasi terapi antibiotika empiris meningitis
20
purulen berdasarkan usia dan kondisi predisposisi spesifik.
Faktor predisposisi Patogen penyebab tersering Antibiotika
Tabel 7. Terapi antibiotika pada infeksi intra abdominal Usia
16
dengan penyulit yang terjadi di komunitas - <1 bulan Strep agalactiae, E coli, L Ampicillin + cefotaxime atau
monocytogenesm Klebsiella sp Ampicillin + aminoglycoside
Antibiotika Infeksi ringan sampai sedang Infeksi berat - 1 – 23 bulan Strep pneumoniae, N Vancomycin + sefalosporin
Monoterapi meningitidis, S agalactiae, H generasi III
- Beta laktam/kombinasi Ampisilin/sulbactam Piperacillin/tazobactam influenza, E coli
Beta laktam inhibitor Ticarcillin/clavulanic acid - 2 – 50 tahun N meningitidis, S pneumoniae Vancomycin + sefalosporin
- Carbapenem Ertapenem Imipenem/cilastatin generasi III
Meronem - >50 tahun S pneumonie, N meningitidis, L Vancomycin + ampicillin plus
monocytogenes, gram negatif sefalosporin generasi III
Kombinasi aerobic
- Sefalosporin Cefazolin atau Sefalosporin generasi III/IV Trauma kepala
Cefuroxime + metronidazol (cefotaxime, ceftriaxone, - Fraktur basilar S pneumoniae, H influenzae, Vancomycin + sefalosporin
- Fluoroquinolone Ciprofloxacin, levofloxacin, Ceftazidime, cefepime) Strep B hemolitikus grup A generasi III
moxifloxacin, gatifloxacin, Ditambah dengan - Trauma penetrasi S aureus, Stap epidermidis, gram Vancomycin + cefepime /
- Monobactam kombinasi dengan metronidazole Metronidazole negatif aerobic (terutama P ceftazidime / meronem
aeruginosa)
Aztreonam kombinasi dengan Post operasi bedah saraf Gram negatif aerobic (teruatam P Vancomycin + cefepime /
metronidazole aeruginosa), S aureus, S ceftazidime / meronem
epidermidis
Shunt cebrebro spinalis S epidermidis, S aureus, gram Vancomycin + cefepime /
negatif aerobic (terutama P ceftazidime / meronem
Pemilihan antibiotika pada meningitis aeruginosa), Propionicbaterium
acnes
Sejauh ini belum ada studi prospektif yang meneliti
hubungan antara waktu pemberian antibiotik terhadap
outcome klinis pada pasien meningitis bakterial, sehingga Antibiotika pada infeksi terkait kateter
belum diketahui kapan pemberian antibiotika harus Berdasarkan penyebab sepsis, bloodstream infection (BSI)
segera dimulai pada kasus meningitis bakterial. menduduki urutan kedua setelah infeksi paru. BSI dapat
Berdasarkan penelitian retrospective terhadap 305 pasien dengan bersifat primer atau sekunder. BSI bersifat primer bila infeksi
bakterial meningitis yang di rawat di Inggris, dilaporkan bahwa yang terjadi berkaitan langsung dengan intervensi sistem
dari 53 pasien yang mendapatkan antibiotika sebelum masuk vaskuler, dimana penyebab utama adalah berkaitan dengan

88 DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007


pemasangan kateter. Infeksi BSI bersifat sekunder bila infeksi Clostridium sebaiknya diberikan clindamycin
25
yang terjadi berasal dari tempat lain diluar sistem vaskuler parenteral.
(saluran kencing, sistem pernafasan, dsb).21 Secara tradisional Pemilihan antibiotik pada ulkus diabetikum yang
(BSI) diklasifikasikan menjadi tipe komunitas (community terinfeksi paling tidak didasarkan pada 2 hal, yaitu: berat
acquired) dan nosokomial (hospital-acquired). Dikatakan r i n g a n n y a ulkus terinfeksi dan kemungkinan kuman
sebagai BSI tipe komunitas bila hasil kultur darah positif penyebab. Derajat infeksi pada ulkus diabetikum dibagi
diperoleh pada saat masuk rumah sakit atau <48 jam masuk menjadi tiga, yaitu: ringan, sedang dan berat (lihat tabel 10).
rumah sakit. Kuman patogen penyebab BSI komunitas adalah Terapi antibiotika perlu diberikan pada ulkus terinfeksi,
Streptococcus pneumonia dan E coli. Sedangkan kuman namun perawatan luka termasuk debridemen, amputasi
patogen penyebab BSI nosokomial adalah Coagulase-negative (bila diperlukan) tetap harus dilakukan. Kuman patogen
staphylococci (37%), Staphylococcus aureus (13%), gram negatif dominan pada ulkus diabetikum adalah bakteri coccus
berbentuk batang (14%), E. coli (2%), P. aeruginosa (4%), K. gram positif (terutama Staphylococcus aureus). Namun
22
pneumonia (3%) dan candida spp (8%). Angka kematian lebih pada pasien dengan ulkus kronis atau yang telah
banyak terjadi pada BSI nosokomial dibandingkan tipe komunitas mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya sering
24
(37% vs 16%; p <0,001). terinfeksi dengan bakteri gram negatif, dan ulkus akibat
Pemilihan terapi antibiotik pada BSI (terutama yang terkait iskemia atau dengan gangren sering dijumpai patogen
dengan pemakaian kateter) diberikan secara empiris, dengan anaerob.
mempertimbangkan derajat penyakit pasien dan kemungkinan Pada ulkus diabetikum ringan/sedang antibiotika yang
patogen yang menginfeksi. Vancomycin dianjurkan bagi rumah diberikan difokuskan pada patogen gram positif. Pada
sakit dengan peningkatan insidensi MRSA. Apabila insidensi ulkus terinfeksi yang berat (limb or life threatening
MRSA rendah, dan tidak dijumpai penicillinase-resistant, infection) kuman lebih bersifat polimikrobial (mencakup
antibiotik nafcillin dan oxacillin dapat digunakan. Apabila BSI bakteri gram positif berbentuk coccus, gram negatif
terjadi akibat nosokomial maka terapi empiris harus mencakup berbentuk batang, dan bakteri anaerob) antibiotika harus
bakteri gram negatif dan Pseudomonas aeruginosa. Antibiotika bersifat broadspectrum, diberikan secara injeksi. Pada infeksi
yang diberikan adalah sefalosporin generasi III (ceftazidime) berat yang bersifat limb threatening infection dapat diberikan
atau generasi IV kombinasi dengan aminoglikosida. Apabila beberapa alternatif antibiotika, seperti: ampicillin/sulbactam,
dicurigai penyebab BSI adalah jamur perlu diberikan ticarcillin/clavulanate, piperacillin/tazobactam, Cefotaxime
23
fluconazole. atau ceftazidime + clindamycin, fluoroquinolone + clindamycin.
Sementara pada infeksi berat yang bersifat life threatening
Terapi antibiotika pada infeksi jaringan lunak dan ulkus infection dapat diberikan beberapa alternatif antibiotika seperti
diabetikum berikut: ampicillin/sulbactam+aztreonam, piperacillin/
Infeksi jaringan lunak seperti impetigo, erisipelas dan tazobactam + vancomycin, vancomycin + metronbidazole +
selulitis tanpa penyulit pada umumnya bersifat ringan ceftazidime, imipenem/cilastatin atau fluoroquinolone +
26,27
sampai sedang dan mudah diterapi. Namun infeksi seperti vancomycin + metronidazole.
fasitis nekrotika dan gas gangren mionekrotika bersifat
26
berat dan dapat mengancam jiwa. Fasitis nekrotika pada Tabel 10. Klasifikasi klinis infeksi ulkus diabetikum
umumnya disebabkan oleh monomikrobial (S. pyogenes, Tingkat infeksi Manifestasi klinis
Tanpa infeksi Tidak tampak tanda inflamasi atau pus pada ulkus
Vibrio vulnificus atau Aeromonas hydrophila), namun Ringan Dijumpai lebih dari 2 tanda inflamasi (pus, eritema,
dapat pula disebabkan polimikrobial terutama pada nyeri, nyeri tekan, hangat pada perabaan dan indurasi),
luas selulitis / eritema < 2 cm sekitar ulkus, dan infeksi
pasien pasca operasi atau memiliki penyakit, seperti: terbatas di kulit / jaringan subkutan superfisial, tidak
dijumpai komplikasi lokal / sistemik
diabetes melitus, penyakit vaskuler perifer. Beberapa Sedang Kriteria di atas dengan keadaan sistemik dan metabolik
gambaran klinis infeksi nekrotika: (1) nyeri yang hebat, stabil, ditambah dengan adanya >1 keadaan berikut:
(2) Bula, (3) nekrosis kulit atau ekimosis, (4) gas - Selulitis >2 cm sekitar ulkus
gangren, (5) edema, (6) anestesi pada kulit, (7) tanda - Kebocoran sistem limfatika
- Abses di jaringan dalam
toksis sistemik seperti demam, lekositosis, delirium, gagal - Gangren, dengan melibatkan jaringan otot, tulang
ginjal, (8) bersifat progresif. Mortalitas infeksi nekrotika dan tendon
Berat Pasien mengalami infeksi dengan gangguan sistemik
dapat mencapai 50-70% khususnya bila mengalami sepsis atau metabolik yang tidak stabil (demam, takikardi,
hipotensi, bingung, muntah, lekositosis, asidosis,
berat/syok septik. hiperglikemia berat, azotemia)
Infeksi gas gangren mionekrotika bersifat progresif,
disebabkan oleh Clostridium perfringens, Clostridium
septicum, Clostridium histolyticum atau Clostridium Antibiotika pada infeksi saluran kemih dengan
novyi . Baik fasciitis nekrotika maupun gas gangren penyulit
mionekrotika memerlukan tindakan bedah dan Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan penyebab pertama
antibiotika. Antibiotika yang direkomendasikan pada infeksi nosokomial rumah sakit, yaitu sebesar 40%, diikuti
keadaan tersebut adalah: ampicillin/sulbactam atau dengan pneumonia nosokomial. Sekitar 80-90% ISK
piperacillin/tazobactam+clindamycin+ciprofloxacin, nosokomial terjadi berhubungan dengan pemasangan
atau cefotaxime+metronidazole/clindamycin, atau kateter, sedangkan 5-10% berkaitan dengan manipulasi
meronem. Pada kasus gas gangren yang dicurigai akibat genito-urinary (cystoscopy, dsb). Kuman patogen utama

DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 89


pada ISK dengan penyulit (complicated urinary tract Monit 2005;11(3):RA76-85
4. Dellinger RP, Carlet JM, et al. Surviving sepsis campaign guidelines
infection) adalah: Escherichia coli (40%), Klebsiella spp (10-
for management of severe sepsis and septic shock. Crit Care Med
17%), Enterobacter spp (5-10%), Proteus mirabilis (5-10%), 2004; 32(3):858-73
Pseudomonas aeruginosa (2-10%) dan Enterococcus sp (1- 5. Tony Yu, Black E, Sands KE, et al. Severe sepsis: variation in resource
20%). Angka mortalitas akibat urosepsis sekitar 12,7%.28 and therapeutic modality use among academic centers. Critical Care
2003; 7(3):R24-R34
Pertimbangan pemberian antibiotika pada ISK dengan
6. Suharjo B Cahyono. Manajemen pneumonia nosokomial: fokus pada
penyulit adalah adanya kecurigaan kuman yang terapi antibiotika. Dexa Media 2005; 3(18): 128-31
disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa atau bukan, 7. Kollef MH, Fraser VJ. Antibiotic resistance in the intensive care unit.
derajat penyakit dan ISK diperoleh secara nosokomial Ann Intern Med 2001; 134:298-314
8. Cross JT. Therapy of nosocomial pneumonia. Med. Clin of North Am
atau komunitas. Pada ISK komunitas dan telah terjadi
2001; 85(6):1583-94
urosepsis maka antibiotika yang diberikan adalah 9. Lode H. Management of serious nosocomial bacterial infections: do
kombinasi. ISK nosokomial perlu terapi antibiotika current therapeutic meet need ?. Clin Microbial Infect 2005; 11:778-87
29
kombinasi (tabel 11). 10. Bochud PY, Glauser MP, Calandra T. Antibiotics in sepsis. Intensive
Care Med 2001; 27:S33–S48
11. Hernandez G, Rico P, Diaz E, et al. Nosocomial lung infection in adult
Tabel 11. Rekomendasi terapi antibiotika pada ISK dengan intensive care units. Microbes & Infect. 2004; 6:1004-14
29
penyulit 12. Lynch JP. Hospital aquired pneumonia: risk factors, microbiology
Kecurigaan terhadap kuman Antibiotika and treatment. Chest 2001; 119(2):373S–384S
E coli ISK komunitas - Ceftriaxone 1 gr/24 jam 13. Niederman MS, Craven DE, et al. Guidelines for the management of
P mirabilis (7-14 hari) atau
adults with hospital aquired, ventilator-associated, and healthcare-
K pneumonia - Ciprofloxacin 400 mg IV
- Ceftriaxone 1 gr/24 jam associated pneumonia. Am J Respir Crit Care Med 2005; 171:388–
(7-14 hari) 416
- Piperacillin/tazobactam 14. Chastre J, Wolff M, Fagon JY, et al. Comparasion of 8 VS 15 days of
3.375 g/6 jam IV ±
antibiotic therapy for ventilator-associated pneumonia in adults: a
gentamicin atau
- Ampicillin 1-2 gr/6 jam randomized trial. JAMA 2003; 290:2588-98
+ gentamicin 15. Niederman MS, Mandell LA, Anzueto A, et al. Guidelines for the
Pseudomonas aeruginosa ISK nosokomial - Piperacillin/tazobactam management of adults with community-acquired pneumonia.
Enterococcus spp 3.375 g/6 jam IV ± Diagnosis, assessment of severity, antimicrobial therapy, and
gentamicin atau
- Sefalosporin
prevention. Am J Respir Crit Care Med 2001; 163:1730-54
Antipseudomonas 16. Solomkin JS, Mazuski JE, Baron EJ, et al. Guidelines for the selection
(ceftazidime / cefepime) of anti-infective agents for complicated intra-abdominal infections.
+ gentamicin + Clin Infect Dis 2003; 37:997-1005
Ampicillin
17. Genuit T, Napolitano L. Peritonitis and abdominal sepsis. Updated
2004. http://www.emedicine.com/med/topic2737
18. Saber AA, Raymond DLR. Abdominal abscess. Updated 2005. http://
Kesimpulan www.emedicine.com/med/topic2702
1. Meskipun terapi antibiotika pada sepsis bukan terapi 19. The Research Committe of the British Society for the Study of Infection.
utama, namun berdasarkan penelitian keterlambatan dan Bacterial meningitis: causes for concern. J Infect 1995; 30:89-94
20. Tunkel AR, Hartman BJ, Sheldon LK, et al. Practice guidelines for the
tidak adekuat pemberian antibiotika meningkatkan risiko
management of bacterial meningitis. Clin Infect Dis 2004; 39:1267–
mortalitas bagi pasien. 84
2. Terapi antibiotika harus segera dimulai secara empiris 21. Deming WE. Health care associated bloodstream infection: a change
sambil menunggu hasil kultur, di mana dalam in thinking. Ann Intern Med 2002; 137(10):850-1
22. Grady NP, Alexander M, Dellinger P, et al. Guidelines for the prevention
pemilihan antibiotika sebaiknya mempertimbangan
of intravascular catheter-related infections. Clin Infect Dis 2002;
hal-hal berikut: faktor spesifik pasien (usia, fungsi 35:1281-307
organ, organ terinfeksi dan derajat penyakit), faktor 23. Mermel LA, Farr BM, Sheretz RJ, et al. Guidelines for the management
organisme penyebab (pola kuman setempat) serta of intravascular catheter-related infections. Clin Infect Dis 2001;
32:1249-72
faktor antibiotika.
24. Friedman ND, Kaye KS, Stout JE, et al. Health care associated
3. Pemilihan antibiotik empiris pada sepsis berat sebaiknya bloodstream infection in adults: a reason to change the accepted
didasarkan pada pertimbangan organ terinfeksi yang definition of community-aquired infections. Ann Intern Med 2002;
mendasari terjadinya sepsis. Pertimbangan ini penting 137:791-7
25. Stevens DL, Bisno AL, Chambers HF, et al. Practice guidelines for
mengingat tipikal pola kuman patogen penyebab pada
diagnosis and management of skin and soft tissue infections. Clin
organ tertentu dan jenis antibiotika yang digunakan Infect Dis 2005; 41:1373-406
sering berbeda. 26. Lipsky BA, Berendt AR, Deery HG, et al. Diagnosis and treatment of
4. Antibiotika empiris yang diberikan bersifat diabetic foot infections. Clin Infect Dis 2004; 39:885-910
27. Frykberg RG, Armstrong DG, Giurini J. Diabetic foot disorders: a
broadspectrum, baru kemudian dirubah menjadi narrow
clinical practice guideline. American College of Foot and Ankle
spectrum setelah kuman penyebab teridentifikasi. Surgeons. J Foot Ankle Surg 2000; 39:S1-60
28. Salgado CD, Karchmer TB, Farr BM. Prevention of catheter-associated
Daftar Pustaka urinary tract infections. In: Richard P. Wenzel, editor. Prevention and
1. Bochud PY, Calandra T. Pathogenesis of sepsis: new concepts and Control of Nosocomial Infections. 4 th . Lippincont Williams & Wilkins. New
implications for future treatment. BMJ 2003; 326:263-5 York, 2003.p.297-311
2. Fitch SJ, Gossage JR. Optimal management of septic shock. Postgrad 29. Hospital Medicine Concensus Reports. Complicated urinary trac infection:
Med. 2002; 111(3):53-66 risk stratification clinical evaluation, and evidence-based antibiotic therapy
3. Tsiotou AG, Sakarofas GH, Anagnostopoulos G, et al. Septic shock: year 2003 updated. Outcome-effective therapy on cUTI on emerging
current pathogenetic concepts from a clinical perspective. Med Sci resistance pattern and recent clinical studies.

90 DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007


TINJAUAN PUSTAKA

Terapi Hemorheologi (*)


Puruhito (** )
Bedah Toraks Kardiovaskular RSUD Dr. Soetomo / FK Universitas Airlangga
Surabaya

Abstract . Fluid mechanics of the blood or “hemorrheology” is the essential basic in the treatment of peripheral vascular arterial
diseases. Effort to reduce the energy of blood flow in the blood vessels depends physically by pressure energy, gravitational
energy, kinetic energy and the frictional energy. Beside those factors that affects the blood flow, shear stress and the importance
of the presence of atherosclerosis specially in the blood vessels bifurcations should be considered in the treatment of vascular
arterial diseases based on hemorrheology. Vascular lesions exhibits constellation that depends on its character, which is unique
and individual, so that the approach in hemorrheologic therapy should always obey the principles of physics and blood flow
mechanics.
Drugs or pharmacis that is used for this purpose can affect the vessel wall mechanics, the behaviour of the blood cells which
flows in the vessels, specially the red blood cells and platelets, and also the pressure of the blood which influence the speed and
the flow behaviour inside the blood vessels. Adequate knowledge of pharmacokinetics and phamacodynamics of of drugs that is
being used to treat vascular arterial diseases is oultlined and described in the paper.

Pendahuluan samping ke arah dinding berbanding terbalik secara


Definisi dari terapi hemorheologi adalah upaya pengobatan medik proporsional dengan kecepatan alirannya. Jadi apabila
agar sifat-sifat aliran darah diperbaiki. Dasar: viskositas darah kecepatan aliran darah berkurang, maka di dalam pembuluh
dapat diturunkan dengan menaikkan volume aliran darah per darah akan terjadi tekanan samping yang naik dan tekanan
satuan waktu, yaitu sesuai dengan hukum “Hagen Poiseuille”: frontal akan turun. Sangat sulit untuk membedakan kecepatan
Q = r4 . P. p pulsasi darah dengan kecepatan aliran darah, karena pulsasi
8.l.h tergantung pada elastisitas dinding arteri, yang pada
arteriosklerosis (proses penuaan/degenerasi) akan turun,
yaitu bahwa “Q” yang menunjukkan aliran darah per satuan apalagi bila terjadi aterosklerosis (penumpukan atherom pada
waktu, besarnya sepadan dengan “P” yaitu tekanan dalam dinding pembuluh darah).1
pembuluh darah yang berbanding pangkat empat dari radiusnya Pada usia tua, karena proses sklerosis dinding arteri, akan
(“r”) dan berbanding terbalik dari panjang pembuluh darah (“l”) terjadi kenaikan kecepatan pulsasi dan karena terjadinya
dan koefisien viskositas (“h”) dan konstanta “8”. Juga sesuai hambatan aliran, maka kemudian akan menurun. Selain itu,
dengan “hukum Ohm” yang berbunyi: untuk pembuluh darah juga dipengaruhi oleh inervasi vegetatif
Q = (P1 - P2) / R (”neural”) dan juga humoral (katekolamin, asetilkolin, dsb)
serta pengaruh faktor-faktor fisik lain (trauma, konstriksi atau
di mana volume aliran darah ”Q” tergantung beda tekanan robekan dinding).
(”gradient”) antara tekanan sentral dan tekanan perifer serta Menurut ”Hukum Laplace” tegangan dinding berbanding
tahanan perifer. Kecepatan aliran darah (”V”) tunduk pada lurus dengan radius dinding dikalikan ”shear stress”, yaitu hasil
rumus V = Q/A. ”V” berbanding lurus terhadap ”Q” dan tekanan terhadap dinding dan beda tekanan intravasal dengan
berbanding terbalik terhadap diameter pembuluh darah (”A”). tekanan intramuralnya. Di dalam arteri, tekanan terhadap
Hukum Bernouli mengatakan bahwa dalam suatu pembuluh dinding dan beda tekanan intravasal dengan tekanan
silindris, maka jumlah antara tekanan frontal dan tekanan intramuralnya. Di dalam arteri, tekanan intravasal ditentukan
samping adalah konstan (selalu sama) tetapi tekanan ke oleh tahanan perifer, jadi bila tahanan perifer meningkat maka
akan tercapai tekanan kritis untuk vasokontriksi, hingga
pembuluh darah akan kolaps. Hingga sesuai Hukum Laplace,
(*) Disampaikan pada : WECAN (5) – Weekend Course on Angiology,
Jakarta, Februari 16-17, 2007 maka pada pembuluh darah yang diameter (radius)-nya kecil,
(**) Gurubesar Ilmu Bedah Toraks Kardiovaskular, Universitas kejadian tersebut akan lebih cepat terjadi dibandingkan pada
Airlangga, Fak. Kedokteran pembuluh darah dengan diameter (radius) yang besar. Hal ini

DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 91


akan jelas nampak pada penyakit “Raynaud” atau “PAPO” yang kemampuan elastisitas pembuluh darah tersebut, dan hal
mengalami sumbatan (konstriksi) vasal yang akut atau cepat. Pada ini membuat pula pembuluh darah dapat “berdenyut”
daerah akral (ujung-ujung jari) tekanan kritis ini hanya sekitar 20 (pulsasi) (lihat Gambar 1)
mmHg, sehingga apabila dapat dicapai tekanan diatas tekanan 2. Energi gravitasi: dapat diamati pada penderita dengan
tersebut, maka pembuluh darah akan terbuka kembali atau tidak iskemia tungkai pada Fontaine Stadium-III (“rest pain”)
akan konstriksi.2 di mana waktu penderita tiduran, maka energi dari tekanan
gravitasi akan hilang didaerah ekstremitas bawah,
menyebabkan berkurangnya tekanan perfusi perifer dan ini
Sangat sulit untuk membedakan akan menyebabkan kebutuhan metabolik dasar jaringan
tidak terpenuhi. Rasa nyeri akan bertambah.
kecepatan pulsasi darah Bila penderita merubah posisi tungkai sedemikian hingga

dengan kecepatan aliran tekanan perfusi dapat mengembalikannya kearah jejaring


vaskular perifer, hingga energi gravitasi dirubah kembali
darah, karena pulsasi tergantung ke tekanan hidrostatik, maka perfusi ke jaringan dapat
kembali normal. Hal ini misalnya dapat dilakukan dengan
pada elastisitas dinding arteri, menggerak-gerakkan tungkai, sehingga terjadi kekuatan
sentripetal yang akan membantu tekanan gravitasi, hingga
yang pada arteriosklerosis (proses tekanan hidrostatik akan bertambah.
penuaan/degenerasi) akan turun, 3. Energi karena friksi terjadi ketika aliran darah didalam
jaringan vaskular bergerak kearah makin jauh dan kearah
apalagi bila terjadi aterosklerosis pembuluh darah yang makin kecil, akan terjadi
pengurangan dari energi friksi ini. Hal ini menimbulkan
(penumpukan atherom pada fenomena konversi energi yang diberikan oleh kekuatan
dinding pembuluh darah).1 pompa ventrikel kiri, menjadi energi panas (kalor). Selama
itu darah akan mengalir terus dan jumlah total enerji akan
makin berkurang sampai pada titik di mana jauh diperifer,
jauh dari jantung dan mencapai temapt yang energinya
rendah tetapi volumenya besar, yaitu kubangan venous
Prinsip Dasar Hemorheologi (”venous pool”). Aspek penting dari berkurangnya energi
Hukum Bernoulli memformulasi adanya konservasi enerji dalam friksi ini adalah adanya interaksi antara partikel darah
cairan yang bergerak, di mana dalam suatu aliran cairan di dalam sepanjang pembuluh darah yang berlangsung tetap, hingga
suatu tabung, jumlah enerji dari enerji tekanan, kinetik dan bila terjadi adesi molekul terhadap endotel (”endothelial
gravitasi pada setiap dua titik selalu sama. Didalam pembuluh adhesion molecule”) akan memicu penarikan kovalen antara
darah, di mana tekanan darah diberikan oleh kerja ventrikel kiri, dinding pembuluh darah dengan partikel darah tadi. Secara
adalah merupakan bentuk enerji. teoritis maka partikel darah yang dekat dengan dinding akan
mengalami daya penarikan yang lebih besar dari dinding
dan akan bergerak lebih lambat dibanding partikel yang ada
ditengah tengah pembuluh darah. Terjadi pula pengurangan
energi friksi karena terjadinya interaksi antar partikel
pembuluh darah, dan ini akan menimbulkan semacam
”lapisan” dari aliran tersebut yang bersifat ”laminer”. Maka
didaerah tengah pembuluh darah, aliran ini juga lebih cepat
dibanding lapisan yang dekat dinding. Beda ini dijabarkan
sebagai ”shear stress”, yaitu perkalian kecepatan dan beda
kecepatan aliran tersebut.

Gambar 1. Pembuluh darah bukan pipa yang kaku tetapi dapat


“berdenyut” (pulsasi) dan mengakibatkan perubahan diameter
pembuluh darah.2

Pengertian aliran didasarkan pula pada hukum fisika aliran


oleh ahli fisika Bernoulli, di mana pada setiap aliran cairan,
maka ada upaya konservasi energi untuk mempertahankan
aliran tetap ada, yaitu :
1. Energi tekanan: Secara klinis, tekanan darah dijabarkan
dalam mmHg, dan energi tekanan ini akan menunjukkan Gambar 2. Penjabaran “shear stress”.2

92 DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007


Haganbach pada tahun 1860 mengkoresi Hukum Poiseulle
untuk korelasi matematik antara beda tekanan terhadap
aliran darah, viskositas cairan/darah, panjang pembuluh
dan radius pembuluh:
DP = 8Q.L.m / p.r4

Di mana:
Q = aliran; L = panjang pembuluh; m = viskositas; r = radius
dan dapat diterjemahkan lebih mudah: DP = Q x R
di mana R adalah tahanan, yaitu 8.L.m/p.r4

Hukum Poiseulle-Haganbach ini tentunya berlaku tepat


pada pembuluh dengan aliran laminer yang tetap/ Gambar 4. Konservasi energi menurut Bernoulli
2
konstan, dengan pembuluh yang lurus/kaku. Sementara mengakibatkan tekanan pada daerah stenosis harus turun.
darah mengalir dalam pembuluh yang lemas dan berkelok
kelok, serta darah bukanlah cairan murni. Hukum 4. Energi kinetik, didasarkan pada Hukum Newton, KE
Poiseulle-Haganbach akan dapat berlaku bila diameter = 1/2 mv2 dan berlaku untuk menjabarkan adanya energi
pembuluh darah lebih besar dari 100 micron, dan dari hubungan antara kecepatan aliran dan massa cairan
terjadinya kehilangan energi tadi dalam suatu aliran yang mengalir dalam suatu pembuluh. Karena jumlah
dinamis dengan perubahan diameter pembuluh darah total nya kecil, maka energi kinetik dapat dijabarkan oleh
akan menjadi lebih rumit dijabarkan. kecepatan aliran darah saja, dan hal ini tergantung dari
Secara klinis, maka hal-hal tersebut dapat digambarkan bila perubahan radius pembuluh darah, hingga pada
ada stenosis pembuluh darah yang kritis, di mana adanya kenyataannya, perubahan kecil dari radius pembuluh
penyempitan lumen tersebut akan menyebabkan darah dapat menimbulkan perubahan kecepatan aliran
pengurangan tekanan setelah tempat stenosis tersebut. yang signifikan. Hal ini akan terkait dengan kemungkinan
Untuk aorta, stenosis yang dapat menyebabkan timbulnya lambat-aliran pada stenosis pembuluh darah
pengurangan tekanan secara hemodinamis akan terjadi bila yang menjadi pemicu timbulnya trombosis atau
stenosisnya mencapai penyempitan lumen sektional-silang pembuntuan pembuluh darah secara mendadak.
sebesar 90%, sementara untuk arteria yang lebih kecil,
iliaka, renal, karotis diperlukan stenosis lumen dengan Ringkasan: Tekanan terkait dengan tekanan darah (“tensi”)
sektional-silang sebesar 70-90%. Harus dibedakan antara yang ada pada pembuluh darah, gravitasi terkait dengan posisi
penyempitan lumen secara sektional-silang dengan seorang pasien/manusia (ortostatik atau tiduran atau posisi
persentase pengurangan diameter. Pengurangan diameter lain), friksi terkait dengan kelainan dinding pembuluh darah
sebesar 50% menimbulkan penyempitan sektional-silang (aterosklerosis, proses arteriosklerosis, aneurysma,
sebesar 75%, dan penyempitan diameter sebesar 66% (2 percabangan pembuluh darah), dan energi kinetik terkait
2
per 3) akan menyebabkan penyempitan lumen sektional- dengan hukum Newton (KE = ½ . mv ) yang dipengaruhi oleh
silang sebesar 90%. Secara klinis, yang sering dipakai densitas dan massa darah itu sendiri.
adalah pengurangan diameter sampai 60% dianggap
secara hemodinamik signifikan.3

Hukum Poiseulle-
Haganbach akan dapat
berlaku bila diameter
pembuluh darah lebih besar
dari 100 micron, dan terjadinya
kehilangan energi tadi dalam
suatu aliran dinamis dengan
perubahan diameter pembuluh
darah akan menjadi lebih rumit
Gambar 3. Korelasi penyempitan pembuluh darah dan dijabarkan.
konsekuensi pengurangan tekanan/aliran pasca stenosis dan
2
besarnya diameter: terjadi turbulensi darah.

DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 93


Penerapan Klinik Hemorheologi - Picotamide (inhibitor TxA2-synthase, TxA2-reseptor
Plaque aterosklerosis adalah keadaan dimana diameter blocker)
pembuluh darah menjadi lebih sempit atau menyempit, dan - Naftodrofuryl (antagonis 5-HT; serotonin)
hal ini penting bagi para ahli ahli angiologi dan ahli bedah - Oxypentifylline (pengurang viskositas darah)
vaskular. Terjadinya plaque biasanya pada percabangan a. - Buflomedil (adrenolytik)
karotis, aorta distal, dan a. femoralis superfisialis. Pada arteria 2. Antioksidan dan terapi khelasi (pencegah kerusakan
kecil lainnya (koroner, serebral, ginjal atau a. perifer) oksidatif, mengurangi reperfusion-injury)
penyempitan arteria akan mempunyai konsekuensi iskemia 3. Inositol nicotinate (vasodilator, fibrinolitik dan
organ yang dipasok secara lebih kronis, dan pengobatan mengurangi kadar lemak)
hemorheologik akan sangat ditentukan oleh efektivitas 4. Cinnarizine (antagonis vasokonstriktor endogen,
kecepatan aliran yang terjadi, viskositas darah, fleksibilitas angiotensin dan norepinefrin)
partikel/komponen sel darah (deformabilitas) serta 5. Levocarnitine (pencegah kerusakan mitokondria
percabangan kapiler perifer. penyebab metabolisme oksidatif)
Diameter pembuluh darah akan mempengaruhi aliran 6. Prostaglandin (vasodilator, pencegah rasa nyeri
darah terkait hukum Bernoulli, di mana bila ada daerah yang klaudikasio)
menyempit, maka kecepatan aliran darah akan meningkat 7. Immunomodulator (perbaikan kemampuan jarak jalan
sebanding pangkat dua beda radius pembuluh darah tersebut. dengan autotransfusi darah yang diekspose dengan termal,
Tekanan darah dapat meningkat karena pengaruh tersebut. ultraviolet dan stress oksidatif) (“OZON-terapi”).
Apabila ada pelebaran pembuluh darah (aneurisma,
vasodilatasi) maka akan terjadi hal yang sebaliknya, dan Secara umum skema cara kerja dan tempat bekerjanya obat-
tekanan darah dapat berkurang atau menurun pada daerah obat hemorheologi digambarkan sebagai berikut :
tersebut.
Jadi apabila kecepatan aliran darah berkurang, maka
didalam pembuluh darah akan terjadi tekanan samping yang
naik dan tekanan frontal akan turun. Sangat sulit untuk
membedakan kecepatan pulsasi darah dengan kecepatan aliran
darah, karena pulsasi tergantung pada elatisitas dinding arteri,
yang pada arteriosklerosis (proses penuaan/degenerasi) akan
turun, apalagi bila terjadi atherosklerosis (penumpukan
atherom pada dinding pembuluh darah).
Pada aliran darah venous, maka insufisiensi katup vena
merupakan salah satu faktor aliran, di mana terdapat
ketidakmampuan aliran darah vena untuk naik ke arah
proksimal, hingga setiap gerakan otot malahan akan makin
menambah jumlah darah ke arah vena profunda dan
superficialis dan menyebabkan gangguan mikrosirkulasi.
Keadaan flebosklerosis pada usia lanjut yang terdiri dari
fibroelastosis (menebalnya tunika intima) dan senile elastosis
(bertambahnya serabut elastis di tunika media) akan pula
4,5
menimbulkan atrofi dari otot-otot tungkai. Pada kelainan vena
maka terapi hemorheologi juga mempunyai tempat untuk
diterapkan.

Prinsip Pengobatan Hemorheologi


1. Menaikkan fleksibilitas eritrosit (“deformabilitas”),
kemampuan eritrosit untuk lebih lentur hingga mudah 1. Menaikkan fleksibilitas eritrosit
mengalir dalam pembuluh darah yang diameternya kecil, Eritrosit yang tidak fleksibel akan sulit masuk ke dalam
2. Menurunkan viskositas plasma, kapiler yang diameternya lebih kecil dari diameter eritrosit,
3. Menurunkan viskositas umum dari darah, meskipun bentuk eristrosit yang pipih tetapi bulat. Bila
4. Menurunkan agregasi dari trombosit karena sifat adhesinya eritrosit dapat fleksibel dan dapat merubah bentuk hingga
lentur, maka akan lebih mudah memasuki kapiler yang kecil.
Obat-obat hemorheologi terdiri dari : Oksipentifilin merupakan obat yang diyakini dapat
1. Antiplatelet: membuat deformabilitas eritrosit naik dan eritrosit
- Aspirin menjadi lebih “fleksibel” hingga viskositas darah akan
- Ticlopidine dan Clopidogrel (penghambat agregasi menurun.
platelet) 2. Menurunkan viskositas plasma
- Glycoprotein IIb/IIIa inhibitor Salah satu faktor yang membuat darah menjadi lebih viskous
- Cilostazol (inhibitor PDE-III) adalah kadar lemak total (Hiperlipidemia) yang sangat

94 DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007


dipengaruhi juga oleh kadar LDL dan HDL: pada kadar LDL 5. Menurunkan agregasi dari trombosit karena sifat
yang tinggi dan kadar HDL yang rendah akan menambah adhesinya
kemungkinan mortalitas kardiovaskular. Obat-obat golongan anti-platelet akan menyebabkan
Obat-obat golongan ”Statin” yang merupakan inhibitor perlekatan antar lekosit atau partikel darah menjadi kurang,
reduktase HMG-Co-A akan menurunkan kadar kolesterol akibatnya darah tidak terlalu ”kental”, dan membuat darah
serum. Selain hiperlipidemia, terdapatnya hiperhomo- lebih tidak viskous.6
cysteinemia (kadar homocystein serum yang tinggi) akan 6. Mencegah stase darah dan hemokonsentrasi
membuat juga PAPO, dan merupakan penyakit karena Latihan fisik secara teratur merupakan keadaan yang akan
kelainan nutrisi dan gizi. Suplemen dengan vitamin B6 dan mengaktivasi pompa otot diekstremitas, tetapi latihan fisik
B12 akan dapat menurunkan kadar homocystein serum. ini harus terprogram agar dapat dimanfaatkan untuk
Diabetes Mellitus merupakan pula keadaan yang membantu menurunkan viskositas darah. Terjadinya
menaikkan viskositas darah/plasma, dan keadaan ini harus hemokonsentrasi karena sebab apapun juga akan
diatasi dengan kontrol gula darah yang baik agar viskositas menimbulkan kenaikan viskositas darah, hingga upaya
plasma tidak tinggi. untuk melancarkan aliran darah, terutama aliran venous
3. Menurunkan viskositas umum dari darah akan juga merupakan bagian pengobatan hemorheologik.
Sesuai dengan adanya energi tekanan, maka hipertensi Khususnya pada daerah tungkai, tekanan hydrostatik dan
akan dapat secara relatif membuat viskositas darah secara adanya hambatan aliran darah vena di sebelah proximal
umum meningkat, karena tekanan yang ada pada aliran merupakan dua faktor utama yang menyebabkan stase
darah terhadap dinding, sehingga cairan/darah yang darah. Faktor hormonal (estrogen) disebut-sebut sebagai
mengalir didalamnya mempunyai koefisien viskositas yang faktor yang merangsang terjadinya hemokonsentrasi,
meningkat. Kontrol tekanan darah agar tidak tinggi melalui mekanisme ”venous pooling” akan menambah
membantu penurunan viskositas darah secara umum. mata rantai patofisiologi dan patogenesis hemokonsentrasi,
Merokok, merupakan keadaan yang menyebabkan viskoitas terutama pada wanita adalah pemakaian kontrasepsi,
7
darah meningkat, karena diduga bahwa ”ter” yang ada dalam kehamilan dan masa menopause/menarche.
tembakau yang dibakar akan mempengaruhi aterogenesis
sebagai oksidan, dan akan mempengaruhi aterom yang beredar Ringkasan
didarah sehingga viskositas darah akan meningkat secara Pengobatan hemorheologik ditujukan agar terjadi perbaikan
relatif. Menghentikan rokok merupakan hal yang aliran darah yang ada pada penyakit atau keadaan patologik
mempengaruhi penurunan viskositas darah. dimana aliran darah terganggu karena penyumbatan,
penyempitan pada pembuluh darah karena adanya aterogenesis
yang mengakibatkan gejala gejala PAPO.
Upaya pengobatan secara hemorheologik ditekankan pada
Upaya pengobatan secara penurunan viskositas darah, menaikkan fleksibilitas eritrosit,
mencegah perlekatan/agregasi komponen darah/platelet dan
hemorheologik ditekankan pada upaya untuk melebarkan pembuluh darah yang mengalami
penurunan viskositas darah, penyempitan. Secara umum menurunkan viskositas darah
karena sebab hipertensi dan hiperlipidemia merupakan bagian
menaikkan fleksibilitas eritrosit, dari terapi hemorheologi.
Pengobatan hemorheologi juga menyangkut pengobatan
mencegah perlekatan/ agregasi kelainan aliran venous, khususnya untuk menanggulangi
komponen darah / platelet dan terjadinya hemokonsentrasi dan stasis darah.

upaya untuk melebarkan pembuluh Daftar Pustaka


1. Puruhito. Pengantar bedah vaskulus. Edisi ke-3. Airlangga Univ. Press, 1983
darah yang mengalami 2. Hallet Jr. JW, Mils JL, Earnshaw JJ, Reekers JA. Comprehensive vascular
and endovascular surgery. Mosby, 2004.p.409-25
penyempitan. Secara umum 3. Zarins CK, Zatina MA, Giddens DP, et.al. Shear stress regulation of artery
lumen diameter in experimental atherogenesis. J Vasc Surg 1987; 5:413-
menurunkan viskositas darah 4.
20
Puruhito. Chronic Venous Insufficiency. Microcirculation pathology as
karena sebab hipertensi dan an approach to surgical treatment. Presented at: 5 th Congress of Asian
Society of Microcirculation. Bandung; 2000
hiperlipidemia merupakan 5. Ramelet AR, Kern P, Perrin M. Varicose veins and telangiectasias. Elsevier;
2004.p.137-200
bagian dari terapi 6. Dormandy JA. Microcirculation in venous disorders: the role of the white
blood cells. Int J Microcirc 1995; 15(suppl):3-8
hemorheologik 7. Moyse C, Cederholm-Williams SA, Michel CC. Hemoconcentration and the
accumulation of white cells in the feet during venous stasis. Int J Microcirc
Clin Exp 1987; 5:311-320

DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 95


TINJAUAN PUSTAKA

Terapi Bedah Pada Varises (*)


Puruhito (** )
Bedah Toraks Kardiovaskular RSUD Dr. Soetomo / FK Universitas Airlangga
Surabaya

Abstract. Surgical treatment of varicosis of the legs is aimed to remove unsightly varicose veins to prevent its recurrence and
also to treat the symptoms and signs that mostly affect the patients. It also treating and correct underlying abnormal vein physiology.
Prior to surgery, a complete anatomic and physiologic evaluation of the venous system is important and is mandatory to be done
by the surgeons, because it will help to support the surgical intervention.
Various techniques is used to perform the surgery of the veins of the leg, and there are several alternatives of surgical treatment
that is described in the following paper. It includes the ablation of superficial reflux, ligation and stripping of the varicosed saphenous
veins which are incompetence, as well as the endovascular ablation using radiofrequency or laser, and also some specific
techniques includes the subfascial perforator vein surgery and salvation of the leg due to chronic venous insufficiency by means
of deep valve reconstructions and autologous reconstruction pursued by venous bypass.

Keywords: varicosis, vein surgery, vascular surgery

Pendahuluan serta instrumental yang tersedia pada suatu Rumah Sakit


Indikasi pembedahan ataupun pemilihan pengobatan atau Klinik Bedah terkait. Hasil-hasil dari berbagai
dengan tanpa pembedahan merupakan kemutlakan pada alternatif bedah tersebut juga dilaporkan secara tidak
jenis varises tertentu, yang sering diabaikan oleh ahli sama di antara sentra-sentra bedah, juga tidak ada bukti
bedahnya. Pada dasarnya, vena yang telah mengalami klinis (evidence based) yang didasarkan pada studi
kerusakan berarti telah menjadi ektasi, harus dikeluarkan, multisentra dengan parameter pengamatan yang seragam
karena akan dapat memutuskan mata rantai atau penelitian dengan desain yang sama, dan masing-
patofisiologinya. Tetapi dapat pula mata rantai tersebut masing ahli bedah mengajukan sendiri pengalaman
dihentikan pada saat vena communicans mengalami pribadinya dari sejumlah kasus yang mereka tangani
insufisiensi (stadium II-III), hingga membantu dengan jumlah kasus untuk teknik bedah tertentu yang
kelancaran peredaran darah balik lagi. Menurut Stadium tidak memadai untuk suatu klinis. Di samping itu terapi
klinisnya maka mulai Stadium II sudah harus dipikirkan non surgikal 1,2 masih pula mendapatkan tempat untuk
tindakan pembedahan. Menurut jenis dan ekstensi vena pengobatan varises.
yang terkena, berarti sudah ada pada Stadium III dan IV,
maka: Definisi
- Varises truncal Stadium III dan IV Yang dimaksud dengan pembedahan varises adalah semua
- Varises reticularis Stadium II dan IV upaya pembedahan dalam menanggulangi gejala dan
harus mendapat terapi pembedahan. keluhan yang timbul karena adanya varises.
Berbagai alternatif dari cara melakukan pembedahan Istilah “STRIPPING” yang lazim dipakai adalah
merupakan pilihan dan “selera” dari masing-masing ahli pengambilan varises dengan alat stripper, sedangkan
bedah, selain tergantung dari sarana dan peralatan teknis istilah “FLEBEKTOMI” adalah pengambilan varises
dengan alat tanpa bantuan stripper.
Dasar teoritis, pembedahan varises adalah membuang/
(*) Disampaikan pada : WECAN (5) – Weekend Course on Angiology,
Jakarta, Februari 16-17, 2007 meniadakan vena-vena yang patologik (berkelok-kelok,
(**) Gurubesar Ilmu Bedah Toraks Kardiovaskular, Universitas memanjang, melebar/ekstasi), hingga baik pembedahan,
Airlangga, Fakultas Kedokteran skleroterapi ataupun ablasi endovaskular (RF atau LASER)

96 DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007


termasuk dalam satu kategori yang sama. Secara praktis, di daerah proksimalnya. Hal ini diperkuat oleh temuan
ada dua tujuan pembedahan, yaitu: Cockett dan Dodd tentang berbagai lokasi vena perforator,
1. melakukan penutupan/ligasi tempat di mana terjadi bukan hanya venae communicantes (1953). Temuan ini
refluks/aliran balik (katub insufisien) dan menjadi dasar pula dari konsep pengobatan sindroma
2. mengambil/meniadakan vena yang patologik (melebar, post-flebitik dan insufisiensi venosa kronik. Eduardo
berkelok-kelok dan ektasi). Palma di Uruguay dan Andrew Dale (USA) melakukan
tehnik bypass femoro-femoral overcross untuk
menangani obstruksi/sumbatan vena disegmen proksimal,
mendasari dan mengawali pembedahan rekonstruktif

Dasar teoritis untuk vena. Hal ini kemudian disusul oleh berbagai teknik
rekonstruksi untuk vena, baik katub maupun segmen vena
pembedahan varises yang inkompeten, tanpa harus “membuang” (Stripping)
vena safena magna. Pengalaman di Perang Dunia-II,
adalah membuang/ Perang Korea dan Perang Vietnam di mana perlukaan vena

meniadakan vena-vena banyak hanya dilakukan ligasi agar cepat selesai


pendarahan, menimbulkan konsep baru melakukan bedah
yang patologik (berkelok- rekonstruksi vena pasca ligasi vena besar tersebut dan
berkembang di antara tahun 1970-an. Bedah varises
kelok, memanjang, modern sekitar tahun 1980-an didasarkan pada

melebar/ekstasi), hingga perkembangan alat baru USG/Doppler duplex scanner


bidirectional, serta teknologi non-invasif dengan
baik pembedahan, endoskopi. Perkembangan penggunaan dan penerapan
gelombang RF untuk ablasi jaringan mendukung tehnik
skleroterapi ataupun ablasi ablasi vena safena dengan cara endovascular/endoluminal

endovaskular (RF atau LA- dan membawa harapan baru kedepan untuk alternatif
tehnik pengobatan “surgical intervensional non bedah”.
SER) termasuk dalam satu 3-5
Tehnik Dasar Bedah Varises:
kategori yang sama. 1. Ablasi refluks safenous
Cara ini didasarkan pada pendapat bahwa terjadinya
varises ditungkai (atas) adalah jkarena adanya refluks
yang disebabkan oleh insufisiensi katub di vena safena
magna. Maka bila dilakukan ligasi katub yang
Sejarah Pembedahan Varises inkompeten ini, refluks dapat dicegah, sekaligus vena
Perintis pertama pada pembedahan varises tungkai adalah yang sudah terlanjur melebar dan berkelok kelok ini
Sir Benjamin Brodie (1783-1862) 3 y a n g m e nde t e ksi dibuang.
adanya refluks atau backflow aliran vena pada tungkai a. Ligasi safena dan stripping (Exeresis)
atas/paha dan melakukan ligasi vena safena magna. - ligasi tinggi (proksimal) dan stripping VSM
Kemudian Frederich von Trendelenburgh di Jerman - ligasi dan stripping VSP
melakukan pembedahan varises pada tahun 1860 yang b. Ablasi RF vena safena
baru dipublikasikan pada tahun 1890, dan menjadi awal c. Ablasi LASER (panas)
bedah varises modern. Tes atau cara diagnostik deteksi d. Ablasi cryo (dingin)
varises serta insufisiensi vena ditulis berdasarkan e. Flebektomi local atau merusak vena superfisia
pendapat dan pengamatan kedua ahli tersebut, yaitu tes (Babcock)
Brodie-Trendelenburgh.
Kemudian Charles Mayo di USA mengembangkan 2. Ligasi vena perforator
teknik sayatan panjang untuk mengambil varises, dan Cara ini didasarkan pada temuan adanya vena
menciptakan stripper ekstraluminer untuk mengambil perforator pada berbagai tingkat ditungkai bawah,
varises yang inkompeten hanya dengan sayatan yang yang menyebabkan pelebaran vena karena refluks
sedikit dan kecil. Pembuatan stripper intraluminer oleh kearah proksimal dulu dan backflow-nya melalui vena
Keller pada tahun 1905 membawa revousi baru saat itu perorator, hingga apabila vena perforator diligasi atau
untuk stripping v a r i s e s y a n g i n k o m p e t e n , d a n a l a t dihancurkan, akan dapat terjadi aliran vena yang
intraluminer ini kemudian disempurnakan oleh Babcock normal. Hal ini juga membawa konsekuensi bahwa
dengan membuat ujung stripper berupa konus. Robert stripping vena safena magna tidak lagi dianjurkan
Linton (Boston, USA) mengembangkan tehnik ligasi dilakukan mulai dari distal (daerah pergelangan)
subfascial dari vena communicantes, dan menegaskan sampai ke paha (inguinal), tetapi cukup sampai daerah
juga pentingnya refluks dari vena perforator yang dapat lutut. Vena perforator (Dodd, Cockett, Hunter)
menimbulkan inkompetensi dan insufisiensi katub vena merupakan daerah “kebocoran” karena refluks akibat

DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 97


- Transposisi katub vena
- Transplantasi katub vena
Bedah varises modern 4. Terapi obstruksi vena profunda
Cara ini didasari pada pendapat bahwa adanya
sekitar tahun 1980-an obstruksi daerah proksimal dapat dilakukan “bypass”
didasarkan pada aliran vena dari arah/sisi lain ( kontralateral ) yang
menampung aliran vena kearah proksimal. Sering
perkembangan alat baru harus dibantu dengan pembuatan shunt arteri femoral
agar aliran vena ini dipacu mengalir ke arah proksimal,
USG/Doppler duplex dengan tehnik:
scanner bidirectional, serta - bypass safeno-popliteal
- bypass Palma-Dale (De-Palma–pubic-over-cross
teknologi non-invasif bypass)
- rekonstruksi Femoro-ilio-caval
dengan endoskopi.
Perkembangan penggunaan 5. Bedah Endoluminal/Endovaskular
- Cryosclerosis,
dan penerapan gelombang - Ablasi-RF,
- koagulasi LASER
RF untuk ablasi jaringan
mendukung tehnik ablasi Kesimpulan
1. Terapi bedah/ surgikal pada varises mutlak dilakukan
vena safena dengan cara pada varises besar atau varises lokal yang besar dengan
ancaman perdarahan atau nyeri hebat
endovaskular/endoluminal 2. B e r b a g a i a l t e r n a t i f t e k n i k p e m b e d a h a n v a r i s e s
dan membawa harapan didasarkan pada perkembangan pengetahuan tentang
anatomi vena dan katub vena serta dukungan alat-alat
baru kedepan untuk visual untuk pendekatan lebih teliti
3. Penggunan bantuan USG/Duplex-scan membantu
alternatif tehnik pengobatan kualitas pengobatan dan hasilnya, khususnya pada
“surgical intervensional non varises besar.
4. Ketersediaan alat-alat pendukung diagnostik dan alat-
bedah”. alat kelengkapan alternatif bedah varises membawa
hasil yang berbeda untuk masing masing sentra/klinik
bedah serta kemahiran ahli bedahnya.
5. Kekambuhan pasca bedah varises setelah selang waktu,
menyebabkan perlunya tehnik bedah lainnya serta
tekanan di daerah proksimal (Boyd) dan katub kemahiran tehnik yang lebih pakar
inguinal dan stripping yang panjang sampai distal 6. B e b a t k o m p r e s i d i a n j u r k a n u n t u k s e m u a c a r a
dapat mengakibatkan daerah tungkai bawah (distal pengobatan, untuk mencegah kekambuhan.
dari lutu) akan mengalami insufisiensi venosa kronik.
- tehnik terbuka Daftar Pustaka
- SEPS (Subfascial Endoscopic Perforator Surgery) 1. Puruhito. Terapi surgikal dan non-surgikal pada varises tungkai.
Simposium Penanganan Dini Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah,
Surabaya, 6 Januari 2007. Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Toraks
3. Koreksi refluks vena profunda Kardiovaskular Indonesia
Cara ini merupakan perkembangan dari upaya 2. Puruhito. Chronic venous insufficiency, microcirculation pathology
rekonstruksi vena, yang mengusahakan agar katub as an approach to surgical treatment, Presented at: 5 th Congress of
Asian Society of Microcirculation, Bandung, March, 2000
vena yang insufisien dan inkompeten dapat dilakukan
3. Raju S, Villavincencio JL. Surgical management of venous disease.
rekonstruksi agar dapat kembali kompeten, dengan Williams & Wilkins; 1997.p.221-390
tehnik bedah-plastik katub-vena yang memerlukan 4. H a l l e t J r. J W, M i l l i s J L , E a r n s h a w J J , R e e k e r s , J A , ( E d s ) .
ketelitian karena memakai endoskopi (video assisted Comprehensive vascular and endovascular surgery. Mosby; 2004.p.
45-54; 507-624
atau langsung) atau memakai tehnik ekstraluminer
5. Ramelet AR, Kern P, Perrin M. Varicose veins and telangiectasias.
dengan loupe. Elsevier; 2004.p.137-200
- Valvuloplasty (internal atau eksternal)

98 DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007


PROFIL

Prof. Dr. dr. H. Achmad Guntur Hermawan,


Sp.PD-KPTI
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Profil yang kami angkat pada syok septik. Sepsis adalah


edisi April - Juni 2007 adalah suatu sindroma klinik yang
Prof. Dr. dr. H. Achmad Guntur terjadi oleh karena adanya
Hermawan, Sp.PD-KPTI yang respon tubuh yang berlebihan
merupakan seorang yang ahli terhadap rangsangan produk
di bagian Penyakit Dalam, mikroorganisme.
sebagai Guru Besar dalam Dijelaskan pula pada saat
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas pengukuhan bahwa penyebab
Kedokteran Universitas sepsis terbesar adalah bakteri
Sebelas Maret d a n Staf gram (-) dengan prosentase 60
Pengajar Laboratorium Ilmu sampai 70% kasus, yang
Penyakit Dalam FK UNS menghasilkan berbagai produk
Surakarta. dapat menstimulasi sel imun.
Prof. Guntur lahir di Surakarta Sel tersebut akan terpacu
pada tanggal 6 Mei 1949. untuk melepaskan mediator
Sekarang ini beliau tinggal di Jl. inflamasi. Produk yang
Melati No. 18 Badran Surakarta berperan penting terhadap
Prof. Dr. dr. H. Achmad Guntur
57142. Dari istrinya (Ibu Hermani) Hermawan, SpPD-KPTI
sepsis adalah lipopolisakarida
beliau mempunyai 3 orang anak, (LPS), yang merupakan
yaitu: Bayu Ari Purnomo, ST.MSAC; dr. Darmawan Ismail, struktur dominan terdapat pada membran luar
Isa Akbar Brawijaya. bakteri gram negatif. LPS merangsang peradangan
Prof. Dr. dr. H.A. Guntur Hermawan, SpPD- jaringan, demam dan syok pada penderita yang
KPTI dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu terinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS
Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas bertanggungjawab terhadap reaksi dalam tubuh
Sebelas Maret, Surakarta tepatnya pada tanggal penderita (Belanti, 1993; Warren, 1994; Sands,
14 Juli 2003. Pada saat menyampaikan pidato 1997). Staphylococci, Pneumococci, Streptococci,
pengukuhan, judul pidato pengukuhan yang beliau dan bakteri gram positif lainnya jarang
pilih, yaitu: Imunopatobiologik Sepsis dan menyebabkan sepsis dengan angka kejadian 20
Penatalaksanaannya. Judul tersebut beliau pilih sampai 40% dari keseluruhan kasus (Bone, 1994).
disebabkan karena telah terjadi perubahan Selain itu jamur opurtunistik, virus (dengue dan
pandangan mengenai perkembangan definisi sep- herpes) atau protozoa (Falciparum malariae)
sis dari proses adanya bakteri di dalam darah dilaporkan dapat menyebabkan sepsis, walaupun
menjadi proses inflamasi imunobiologik. jarang.
Perubahan pandangan ini akan mempengaruhi Sebelum masuk ke Fakultas Kedokteran UNS,
dasar pengobatan/penatalaksanaan sepsis dan beliau menamatkan pendidikan SMA-nya di SMA

DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 55


Negeri 1 Surakarta
tahun 1967. Kemudian
beliau menamatkan
pendidikan Kedokte-
rannya di Fakultas
Kedokteran UNS
Surakarta tahun 1977.
Prof. dr. Moh. Saleh,
SpPD, SpJP (almarhum)
yang mendorong Prof.
Guntur untuk mengikuti
pendidikan spesialisasi
Ilmu Penyakit Dalam di
Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga
(UNAIR) Surabaya.
Pada tahun 1986 Prof.
Guntur menamatkan
pendidikkannya
tersebut. Selang bebe- Foto bersama Prof. Dr. dr. H. Achmad Guntur Hermawan, SpPD-KPTI
beserta keluarga besar
rapa tahun beliau juga
telah menamatkan S3
(Doktor) Pascasarjana
UNAIR Surabaya pada tahun 2001 dengan judul Fakultas Kedokteran UNS/RSUD Dr. Moewardi
disertasi: “Perbedaan Respons Imun yang Surakarta.
Berperan pada Sepsis dan Syok Septik” - Suatu Sedangkan jabatan organisasi yang beliau ikuti
Pendekatan Imunopatobiologik Sepsis dan Syok antara lain adalah sebagai Ketua PAPDI cabang
Septik pada Immunocompromise dan Non- Surakarta, Ketua PETRI cabang Surakarta, Ketua
Immunocompromise. Prof. Dr. dr. PG. Konthen, Peralmuni cabang Surakarta.
SpPD-KAI; Prof. dr. Eddy Soewandojo, SpPD- Keanggotaan profesi yang Prof. Guntur ikuti
KPTI; Prof. Dr. dr. Soehartono Taat Poetra, MS antara lain adalah IDI, PAPDI, PERALMUNI,
yang telah mengantar beliau hingga dapat Persatuan Dokter Peduli AIDS, PETRI, Critical and
menyelesaikan pendidikan Pasca Sarjana (S3) Syock Society, Perhimpunan Patobiologi Indone-
dengan waktu relatif singkat. Pada tahun 2003 sia.
beliau berhasil menyelesaikan pendidikkan Con- Prof. Guntur juga memiliki beberapa tulisan
sultant Tropical Medicine Infectiology Jakarta dan karya ilmiah baik tingkat Nasional maupun
pada tahun yang sama pula beliau meraih gelar Internasional.
Guru Besar Fakultas Kedokteran UNS Surakarta. Pada edisi ini Prof. Dr. dr. H.A. Guntur
Beberapa jabatan yang Prof. Guntur pegang di Hermawan, SpPD-KPTI berkesempatan pula untuk
Fakultas Kedokteran UNS/RSUD Dr. Moewardi memberikan artikel yang berjudul “The Role of
Surakarta antara lain: sebagai Kepala Subbagian Cefepime: Empirical Treatment in Critical Ill-
Allergi Immunologi dan Penyakit Tropik - Infeksi ness” yang menjelaskan bahwa terapi secara
Lab./SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNS/RSUD Dr. empiris pada suatu daerah, dilakukan berdasarkan
Moewardi Surakarta; Ketua Pusat Pelayanan pada pola kuman yang didapatkan pada rumah
Informasi AIDS Universitas Sebelas Maret sakit setempat berdasarkan pola kuman dan uji
Surakarta; Ketua Tim Penanggulangan HIV/AIDS kepekaan. Penelitian yang dilakukan pada infeksi
FK UNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta; Ketua Tim nosokomial di RSUD Dr Moewardi menunjukkan
Alergi - Imunologi FK UNS/RSUD Dr. Moewardi bahwa cefepime dapat digunakan sebagai terapi
Surakarta; Wakil Ketua Tim Penanggulangan DHF secara empiris. DM

56 DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007


SEKILAS DEXA MEDICA GROUP

Membangun Brand,
OTC Dexa Ikuti Fun Bike Hari TB Internasional

H
ari TB Internasional yang jatuh pada 24 Maret, RI), dipandu MC, Shanaz Haque dan Dikdoang. Hari itu,
diperingati meriah di Kabupaten Tangerang tim OTC Dexa di Tangerang tidak mau ketinggalan mo-
pada Sabtu, 31 Maret 2007 lalu, dimulai pukul 06.00 mentum, karena event tersebut dihadiri lebih dari 800
di Boulevard Raya BSD Tangerang dengan serangkaian orang, yang merupakan target market OTC, yaitu:
kegiatan diantaranya: fun bike, gebyar seni dan bazaar. keluarga, komunitas sepeda, artis dan lain-lain. OTC
Kegiatan dibuka Bapak AM Fatwa (Wakil Ketua MPR Dexa, Reach for The Stars! DM Saipul

Branding OGBdexa Saat Munas PAFI


T
im OGBdexa terus memperkuat branding dengan yang baru tahu bahwa
melakukan edukasi dan knowledge sharing kepada OGBdexa menduduki
relasi potensial agar brand OGB dexa kian peringkat 1 Nasional.
menancap dibenak para relasi. Kali ini dengan tampil di Demikian beberapa
Munas PAFI (Persatuan Ahli Farmasi Indonesia). komentar peserta di sela-
Munas sela kegiatan Munas
P A F I PAFI.
berlangsung dari Saat pembagian gim-
tanggal 5-7 April mick seperti Stapler, ada
2007 di peserta yang
Surabaya. Pada menanyakan harganya,
hari pertama, kita memberitahu bahwa
PT. Dexa Medica Stapler itu gratis. Banyak
diberikan peserta yang antusias
kesempatan untuk memperoleh gimmick-gimmick kita yang lainnya
presentasi yang seperti tas OGBdexa, block note, dan lain-lainnya.
disampaikan Branding OGBdexa kali ini, menurut pantauan kami
oleh HMS OGBdexa, Bapak Tarcisius T. Randy. Jumlah peserta berjalan sukses. Hal ini dapat dilihat dari antusias peserta
Munas PAFI lebih kurang 270 orang. Di hari ketiga jumlah peserta yang notabenenya mewakili pengurus PAFI di seluruh
bertambah lebih kurang 110 orang. Suasana diwarnai nuansa Indonesia. Banyak peserta yang menanyakan mengenai
merah karena semua peserta mendapat tas OGBdexa. OGBdexa setiap kali berkunjung ke stand Dexa (PAFI
Setelah presentasi mengenai OGBdexa, peserta Banjarmasin, PAFI Lamongan, PAFI Gresik, PAFI
ditunjukkan kecanggihan pabrik Cephalosporin Dexa Bandung, PAFI Jakarta, PAFI Kalimantan, dan lain-lain).
Medica yang baru. Banyak peserta yang terkagum-kagum Banyak juga peserta yang mengabadikan foto di depan
dengan kecanggihan pabrik Dexa. Bahkan tidak sedikit Banner OGBdexa. DM Tim OGBdexa

DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 57


SEKILAS DEXA MEDICA GROUP

Dua Tahun Berturut-Turut:


Dexa Medica Raih Employer of Choice

Dexa Medica dalam dua tahun berturut-turut, yaitu tahun 2006 ment sehingga karyawan menempati posisi tertentu sesuai
dan 2007, meraih Employer of Choice. Tahun 2007 ini, Dexa dengan kompetensinya. Menerapkan filosofi 3 P: pay for
Medica meraih predikat “5 Besar Perusahaan Ternyaman profession, pay for performance, pay for person yang
dan Terbaik 2007”. Sedangkan tahun 2006 diperingkat ke-7 terkait dengan kompetensi, mengusung kepemimpinan
Employer of Choice, yang dilakukan oleh HayGroup dengan dengan prinsip Deal with Care, Strive for Excellence,
menggunakan model Engaged Performance (EP). Act Professionally, juga Leading by Example.
Engaged Performance adalah kinerja yang dicapai 2. Talent Management: Melakukan manajemen talenta
sebuah perusahaan dengan cara menstimuli antusiasme dalam organisasi dengan melihat kinerja dan potensi
karyawan terhadap pekerjaannya, serta mengarahkannya karyawan, memberikan kesempatan kepada karyawan untuk
kepada kesuksesan perusahaan. Metode ini telah digunakan berorientasi sesuai dengan kompetensinya, sehingga tidak
oleh HayGroup untuk survei sejenis di berbagai negara. terpaku hanya di satu anak perusahaan, melakukan segmentasi
Penghargaan “Indonesian Employer of Choice 2007” untuk mencari talenta yang jadi andalan berdasarkan
diserahkan pada 10 April 2007, di Hotel Shangri-La Jakarta. kompetensi dan kinerja orang per orang, melakukan kegiatan
Lima Besar Employer of Choice 2007 adalah: 1. PT. Astra In- knowledge sharing, terutama dari hasil pelatihan, melalui
ternational Tbk, 2. PT. TNT Indonesia, 3. PT. Bank Niaga Tbk, portal yang dapat diakses oleh setiap karyawan.
4. PT. Dexa Medica dan 5. PT. Microsoft Indonesia. 3. External Business Focus: CEO cepat menangkap
Engaged Performance terdiri dari empat faktor setiap perubahan, melakukan sharing, dan kemudian
pendorong utama (key driver), yaitu: internal effectiveness memberi tantangan kepada setiap karyawan untuk
leadership (kepemimpinan efektif), talent management melakukan inovasi di setiap unit bisnis, menjadi salah
(kesempatan karyawan untuk maju), external business fo- satu dari 405 perusahaan yang mendapat Zero Accident
cus (kemampuan perusahaan merespons perubahan Award. Penghargaan ini diberikan kepada perusahaan
eksternal), internal effectiveness direction (arah perusahaan yang mengimplementasikan keselamatan dan kesehatan
jangka panjang). kerja secara optimal, melakukan berbagai kegiatan CSR
Hasil survei dari HayGroup yang bertujuan untuk melihat (corporate social responsibility) dan memiliki wadah
tingkat komitmen karyawan tersebut, diakui Ferry Soetikno yang bernama Dharma Dexa.
dapat dijadikan sarana untuk menangkap persepsi karyawan, 4. Direction: Mempersiapkan diri menjadi pemain re-
kemudian menganalisisnya untuk menjadi umpan balik yang gional mulai tahun 2006 dan pada 2015 menjadi pemain
berharga bagi perusahaan. global, guna mencapai visi dan misi perusahaan,
manajemen bekerja sama dengan berbagai perusahaan
Key Driver Dexa Medica multinasional dan nasional, berupa pemberian lisensi
Berdasarkan hasil riset tersebut di atas, ada Empat Faktor ataupun melakukan toll manufacturing, giat melakukan
Pendorong Utama (key driver) yang menjadikan Dexa riset dan pengembangan, pemenuhan standar yang
Medica sebagai perusahaan pilihan karyawan, yaitu: ditetapkan ASEAN, fasilitas produksi yang memenuhi
1. Leadership: Menerapkan competency based manage- persyaratan, serta pemasaran yang baik. DM

58 DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007


KALENDER PERISTIWA

1. Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Kesehatan Anak Telp.: 021-31900938; 3148705; 081510772557
(PIT IKA III) Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) E-mail: isma@pharma-pro.com
Tanggal: 06 - 09 Mei 2007 Contact Person: Ismayanti
Tempat: Graha Sabha, Yogyakarta 6. 3rd National Congress of ISICM - Global Challange
Sekretariat: in Intensive Care Medicine: Patient - Centered So-
Telp.: 021-55960180 lutions
Faks: 021-55960179 Tanggal: 13 - 18 Juni 2007
E-mail: risna@pharma-pro.com Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta
Contact Person: Risnawati Sekretariat:
2. The 7th JNHC & Hypertension Course: Chronic Kid- Geoconvex Office & Mailing Address
ney Disease and Its Complications Jl. Kebon Sirih Timur 4 Jakarta Pusat 10340 Indonesia
Tanggal: 18 Mei 2007 Telp.: 62-21-3149318, 3149319, 2305835
Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta Faks: 62-21-3153392
Sekretariat: E-mail: marketing@geoconvex.co.id
Sekretariat JNHC & SH 2007 - PB PERNEFRI Divisi Contact Person: Jery Londa
Ginjal dan Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit (HP: 08128586775 / 0811882080)
Dalam FKUI - RSCM, Jl. Diponegoro No. 71 Jakarta - 7. Konferensi Kerja Perhimpunan Dokter Paru Indo-
Indonesia PO BOX 1169 JKT 13011 nesia (KONKER PDPI) XI 2007
Telp.: 021-3149208; 3903873 New Perspective of Respiratory Disorders:
Faks: 021-3155551 Identifiying & Overcoming the Problems
E-mail: jnhc@cbn.net.id; pernefri@cbn.net.id Tanggal: 04 - 06 Juli 2007
Website: http://www.pernefri.org Tempat: Discovery Kartika Plaza Hotel, Bali
Contact Person: Tety, Linda, Ferdy, Bambang Sekretariat:
3. Symposium in Hypertension: Hypertension and RSU Wangaya, Jl. Kartini 133 Denpasar 80111 Bali
Target Organ - How to Prevent? Telp.: 0361-418838, 222142 pswt 110, 7458927
Tanggal: 19 - 20 Mei 2007 Faks: 0361-418838
Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta E-mail: konker11pdpibali@yahoo.com
Sekretariat: 8. Bienniel Scientific Meeting of Indonesian Psychia-
Sekretariat JNHC & SH 2007 - PB PERNEFRI Divisi try Association (PIDT PDSKJI 2007)
Ginjal Hipertensi Departemen Penyakit Dalam FKUI - “Collaboration in Psychiatry for Better Patients
RSCM Jl. Diponegoro 71, Jakarta 10430 Management in Indonesia”
Telp.: 021-3149208; 3903873 Tanggal: 05 - 08 Juli 2007
Faks: 021-3155551 Tempat: Aston Convention Centre, Palembang
E-mail: jnhc@cbn.net.id; pernefri@cbn.net.id Sekretariat:
Website: http://www.pernefri.org Sekretariat PIDT PDSKJI 2007
Contact Person: Teti, Linda, Ferdy, Bambang Jl. Imam Bonjol No. 12 Jakarta
4. Temu Ilmiah Geriatri 2007: The Truth About Aging Telp.: 021-4532202, 30041026, 3147150
and Anti Aging: Scientific Perspective Faks: 021-4535833, 30041027, 3147151
Tanggal: 24 - 27 Mei 2007 E-mail: globalmedica@cbn.net.id;
Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta pdskjijakarta@telkom.net
Sekretariat: Contact Person: Yenny/Iwan/Lenny
Sekretariat Temu Ilmiah Geriatri 2007 9. Pertemuan Ilmiah Tahunan Perkumpulan Obstetri
Telp.: 021-30041026; 31900275 dan Ginekologi Indonesia (PIT POGI) 2007 Mataram
Faks: 021-30041027; 31900275 Tanggal: 07 - 11 Juli 2007
E-mail: globalmedica@cbn.net.id, Tempat: Hotel Grand Legi, Mataram
tig_rscmfkui@yahoo.com Sekretariat:
Contact Person: Deri, Daniel, Dewi Sekretariat Panitia PIT POGI XVI SMF RSU Mataram,
5. 1st Indonesian Symposium on Colorectal Disease: Jl. Pejanggik No. 6 Mataram
A Multidisciplinary Approach Telp.: 0370-631975, 641008
Tanggal: 01 - 03 Juni 2007 Faks: 0370-631975
Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta E-mail: pitpogi16_mtr@telkom.net;
Sekretariat: p2ks_ntb@telkom.net
Sub.Bagian Digestive, RSCM Salemba Website: http://www.pitpogi16-lombok.com

DEXA MEDIA  No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 59

Anda mungkin juga menyukai