Anda di halaman 1dari 15

Review

Surg Clin N Am 92 (2012): 1403–1423


http://dx.doi.org/10.1016/j.suc.2012.08.006 surgical.theclinics.com
0039-6109/12/$ – 2012 Elsevier Inc.

RESUSITASI SYOK HIPOVOLEMIK

Leslie Kobayashi, MD; Todd W. Costantini, MD; Raul Coimbra, MD, PhD

Division of Trauma, Surgical Critical Care, and Burns, Department of Surgery,


University of California San Diego School of Medicine

Definisi Syok
Syok adalah ketidakmampuan tubuh untuk mempertahankan perfusi yang memadai
dari organ akhir. Syok hipovolemik disebabkan oleh kehilangan darah yang
seringkali dijumpai pada cedera parah. Syok hemoragik diasumsikan dapat menjadi
penyebab hipotensi pada semua pasien trauma sampai terbukti sebaliknya. Syok
adalah prediktor kuat kematian dan merupakan faktor risiko untuk pengembangan
komplikasi, terutama disfungsi multi organ. Oleh karena itu, identifikasi pasien
syok dengan cepat sangat penting sehingga resusitasi dapat dimulai sesegera
mungkin. Indikator syok meliputi peningkatan denyut jantung, tekanan darah
rendah, tekanan nadi mengecil, dan penurunan waktu pengisian ulang kapiler
(capillary refill time/CRT), ekstremitas dingin berkeringat, kulit pucat, peningkatan
turgor kulit, pengeluaran urin rendah, membran mukosa kering, dan perubahan
status mental. Pada pasien tertentu, dokter harus tetap mengingat bahwa kehilangan
darah yang signifikan dapat terjadi dengan efek sedikit pada tanda-tanda vital.
Secara khusus, pasien anak memiliki cadangan kardiovaskular sangat baik sehingga
dapat mencegah penurunan tekanan darah bahkan ketika kehilangan volume darah
yang besar. Sebaliknya, pasien lanjut usia
sering tidak dapat menaikkan respon takikardi terhadap pendarahan, atau mungkin
dalam pengobatan yang mencegah respon normal terhadap kehilangan darah.
Pasien lanjut usia juga sering mempunyai hipertensi kronis, tekanan darah yang
tampak normal bagi mereka dapat menjadi hipotensi relatif.
Klasifikasi Syok Hemoragik
Syok hemoragik diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahan syok dari kelas I
sampai dengan IV.

Syok kelas I adalah kehilangan sedikit darah, sering mengakibatkan perubahan


tidak signifikan pada tanda-tanda vital atau temuan pada pemeriksaan klinis.
Keparahan meningkat seiring dengan peningkatan volume kehilangan darah,
dengan syok kelas IV disebabkan oleh hilangnya lebih dari 40% dari volume
sirkulasi darah dan mengakibatkan hipotensi, takikardia, dan disfungsi berat organ
multisistem.

Kehilangan Darah Masif dan Transfusi Masif


Selain klasifikasi tradisional syok, subset dari pasien dengan cedera luas yang
menyebabkan perdarahan cepat dapat berkembang menjadi kehilangan darah
besar/massive blood loss (MBL), yang didefinisikan sebagai berikut:

Pasien-pasien tersebut seringkali memerlukan perubahan dalam tujuan perawatan

2
dari manajemen definitif menjadi kontrol kerusakan, dan mungkin memerlukan
pemantauan dan strategi resusitasi yang berbeda.
Pasien dengan MBL sering membutuhkan transfusi masif dalam menangani
perdarahan mereka. Transfusi masif (massive transfusion/MT) biasanya
didefinisikan sebagai 10 atau lebih unit packed red blood cells (PRBCs) dalam
periode 24 jam. Pada tingkat transfusi ini, hemodilusi fibrinogen, trombosit, dan
faktor pembekuan dapat terjadi seperti darah keseluruhan (whole blood) terus
menghilang, dan diganti dengan hanya kristaloid atau PRBCs. Pasien-pasien ini
berisiko tinggi untuk menjadi asidosis dan hipotermia karena kehilangan darah,
beban cedera, dan terkait perlunya untuk operasi multicavitas. Asidosis dan
hipotermia ini dapat semakin memperburuk koagulopati. Dari seluruh pasien
trauma, 8% sampai 11% pasien akan membutuhkan transfusi darah selama rawat
inap di rumah sakit. Hanya sekitar 3% dari pasien trauma yang kehilangan darah
akan membutuhkan MT, meskipun persentase ini dapat meningkat menjadi 8%
sampai 15% di antara pusat trauma di perkotaan besar dan di antara lingkungan
militer. Sebanyak 24% pasien yang mengalami syok akan membutuhkan MT, dan
60% sampai 70% diantaranya semua menggunakan PRBCs. Kematian meningkat
secara linear dengan transfusi PRBCs dan dapat setinggi 60% sampai 100%.

Resusitasi Klasik dari Derajat Syok


Langkah yang paling penting dalam resusitasi syok hemoragik adalah identifikasi
dan kontrol yang cepat dari sumber perdarahan, yang dapat dicapai dengan tekanan
langsung, penggunaan tourniquet, jahitan ligasi, atau operasi. Meskipun manuver
untuk mengontrol perdarahan sedang berlangsung, upaya untuk memastikan akses
intravena yang memadai harus dilakukan, yang dapat dicapai dengan menempatkan
2 kolom besar melalui infus intravena perifer, atau intraosseous atau infus sentral.
Setelah akses terjamin, resusitasi harus dimulai dengan infus segera cairan hangat
untuk mengembalikan volume darah yang bersirkulasi menggantikan kerugian dari
perdarahan. Strategi resusitasi klasik syok hemoragik menurut Advanced Trauma
Life Support (ATLS) menyarankan infus bolus 2 L kristaloid hangat jika terjadi
hipotensi, diikuti dengan penggantian cairan atau kehilangan darah berkelanjutan

3
dengan cairan isotonik dalam rasio 3:1 untuk mengakomodasi kerugian ke ruang
interstitial. Cairan resusitasi harus dipertimbangkan sebagai pengobatan, dan
seperti obat yang lain, dapat berhubungan dengan efek samping yang merusak,
termasuk eksaserbasi cedera seluler, imunosupresi, dan inflamasi. Resusitasi cairan
dapat mengakibatkan gangguan asam-basa dan elektrolit secara signifikan.
Resusitasi cairan yang ideal harus murah, aman, mudah untuk disimpan, dan
portabel, meningkatkan daya transport oksigen, memiliki sifat immuno-inflamasi
menguntungkan, dan dapat dengan cepat dan efektif meningkatkan volume
intravaskular.

Kristaloid
Normal saline dan ringer laktat adalah resusitasi cairan yang paling umum
digunakan dalam syok hipovolemik dan hemoragik. Meskipun larutan ringer laktat
secara teori lebih disarankan karena kemampuannya untuk menyeimbangkan
asidosis metabolik dan mencegah asidosis hiperkloremik terkait dengan infus
normal saline, efek menguntungkan ini hanya terlihat dengan infus masif. Studi
membandingkan normal saline dan ringer laktat pada perdarahan minimal dan
sedang menunjukkan hasil yang setara. Akibat komposisinya, secara teori risiko
hiperkalemia dikaitkan dengan penggunaan larutan Ringer laktat, yang dapat
memperburuk pasien dengan cedera ginjal akut atau gagal ginjal kronis. Selain itu,
isomer-D dari laktat mungkin memiliki sifat inflamasi dan imunomodulator yang
merugikan.

Koloid
Koloid secara teoritis dipertahankan dalam ruang intravaskular ke tingkat yang
lebih besar daripada kristaloid, yang mungkin memiliki beberapa manfaat selama
resusitasi. Pertama, volume intravaskular dapat bertambah lebih cepat. Kedua,
volume total yang cairan lebih kecil mungkin digunakan untuk mencapai perfusi
memadai. Ketiga, karena potensi ke third space lebih sedikit, risiko komplikasi
seperti edema usus, sindrom kompartemen perut (Abdominal Compartement
Syndrome/ACS), dan sindrom gangguan pernapasan akut (Acute Respiratory
Distress Syndrome/ARDS) mungkin akan menurun. Namun, banyak penelitian

4
memeriksa penggunaan koloid dalam resusitasi cedera dan penyakit kritis gagal
menunjukkan manfaat yang signifikan secara statistik. Dalam penelitian RCT
terbaru, The Saline versus Albumin Fluid Evaluation (SAFE), membandingkan
bahwa 3497 pasien yang menerima 4% albumin dengan 3500 pasien yang
menerima normal saline tidak ada perbedaan yang signifikan dalam angka
kematian, jumlah hari penggunaan ventilator, kebutuhan terapi penggantian ginjal,
atau berapa lama rawat inap di rumah sakit. Selain itu, resusitasi albumin mungkin
berbahaya pada beberapa pasien dengan trauma cedera otak dan combutio dengan
meningkatkan risiko kematian, sehingga kurang direkomendasikan untuk resusitasi
primer.
Koloid sintetis menarik sebagai cairan resusitasi karena dapat diproduksi dengan
murah, menghindari risiko infeksi melalui darah, dan secara teoritis meningkatkan
volume darah yang bersirkulasi ke tingkat yang lebih besar daripada kristaloid.
Namun, bukti yang signifikan menunjukkan bahwa penggunaan koloid mungkin
berhubungan dengan koagulopati dan peningkatan risiko cedera ginjal akut.
Penelitian pada hewan menunjukkan peningkatan signifikan perdarahan dan
koagulopati klinis dengan pati hidroksietil dibandingkan dengan produk albumin
dan darah. Bahkan, manifestasi koagulopati pada hewan berupa peningkatan
pendarahan dan kematian hemoragik tetapi tidak terkait dengan gangguan tanda-
tanda pembekuan pada pemeriksaan laboratorium, seperti protrombin time (PT) dan
activated partial tromboplastin time (aPTT). Beberapa meta-analisis menunjukkan
hubungan yang kuat antara cedera ginjal akut dan pemberian pati hidroksietil.
Selain itu, sebuah uji coba terkontrol secara acak pada pasien dengan cedera trauma
parah menunjukkan bahwa pemberian hidroksietil pati memerlukan lebih banyak
transfusi darah secara signifikan dibandingkan normal saline.

Hipertonic saline
Hipertonic saline memiliki efek imunomodulator, antiinflamasi dan teruji dalam
model hewan syok hemoragik. Model hewan menunjukkan penurunan cedera paru-
paru dan usus setelah resusitasi hipertonic saline. Pada pasien trauma, hipertonic
saline memiliki manfaat tambahan bertindak sebagai agen osmotik untuk

5
menurunkan edema serebral pada pasien dengan trauma cedera otak. Hal tersebut
dikarenakan hipertonic saline dipertahankan lebih lama dalam ruang intravaskular,
sehingga memiliki potensi untuk menurunkan risiko ACS dan ARDS. Sayangnya,
uji klinis pada manusia sampai saat ini belum ditemukan secara konsisten manfaat
hipertonic saline dibandingkan cairan isotonik pada fase resusitasi akut atau pra-
rumah sakit pada cedera akibat trauma. Penelitian multicenter sebagai tindak lanjut
RCT yang lebih besar pada pasien trauma dengan syok hipovolemik tidak
menemukan manfaat kelangsungan hidup atau morbiditas yang berbeda secara
signifikan dibandingkan normal saline.

Produk Darah
ATLS menyarankan transfusi PRC hanya jika pasien gagal untuk menanggapi bolus
kristaloid. Penggunaan komponen darah, seperti fresh frozen plasma (FFP),
trombosit, dan fibrinogen, bukan bagian umum dari resusitasi trauma awal.
Komponen tersebut yang biasanya hanya diberikan jika bukti laboratorium
menunjukkan kekurangan yang dicatat selama resusitasi yang sedang berlangsung.
Penyebab umum terapi komponen termasuk transfusi FFP untuk PT dan aPTT yang
lebih besar 1,5-1,8 kali normal, transfusi trombosit untuk trombosit kurang dari
50x109/L, dan transfusi kriopresipitat jika fibrinogen kurang dari 0,8 g/L.

Resusitasi Kontrol Kerusakan


Masalah dengan Resusitasi Klasik
Strategi resusitasi klasik memiliki beberapa masalah pada pasien dengan syok
hemoragik setelah trauma. Pertama, resusitasi cairan segera untuk tujuan
menormalkan tekanan darah dapat meningkatkan aliran darah ke luka dan tekanan
perfusi, meningkatkan risiko munculnya gumpalan, menyebabkan perdarahan
berulang, atau meningkatkan kehilangan darah berkelanjutan. Selain itu, cairan
volume besar yang diberikan pada strategi resusitasi agresif dapat mengakibatkan
third spacing secara signifikan, menyebabkan komplikasi seperti usus edema dan
kebocoran anastomosis, ACS, dan ARDS. Strategi resusitasi klasik juga
menganggap bahwa koagulopati merupakan komplikasi akhir setelah trauma.

6
Namun, beberapa penelitian telah menntang paradigma ini dan menunjukkan
bahwa koagulopati terjadi pada 24% sampai 74% pasien saat pemberian. Selain itu,
strategi resusitasi klasik dapat memperburuk pendarahan melalui induksi
pengenceran koagulopati dan memperburuk hipotermia. Beberapa studi
menunjukkan peningkatan bertahap koagulopati berhubungan dengan volume
kristaloid yang diberikan.
Sebuah studi juga menunjukkan bahwa resusitasi MBL dengan PRBCs saja dapat
mengakibatkan gangguan koagulasi dan trombositopenia yang signifikan, seperti
penggantian PRBC mendekati 12 unit atau volume satu kali peredaran darah.
Bahkan tanpa adanya koagulopati, pasien dengan MBL atau membutuhkan
transfusi masif memiliki hasil yang buruk dengan strategi resusitasi klasik, yaitu
dengan mortalitas berkisar antara 36%-62%, dan meningkat menjadi 46%-77% jika
terjadi koagulopati. Potensi memburuknya koagulopati, peningkatan perdarahan,
dan potensial komplikasi yang terkait dengan resusitasi klasik menyebabkan
diusulkannya strategi resusitasi kontrol kerusakan (Damage Control
Resuscitation/DCR).
DCR mirip dengan kontrol kerusakan pada laparotomi yang diaplikasikan pada
pasien dengan beban cedera biasa dan MBL. Strategi DCR meliputi pengguanaan
hipotensi permisif, penggunaan transfusi darah agresif awal dengan rasio 1:1:1 dari
PRC, FFP, dan trombosit, dan penggunaan hemostatik tambahan selektif. Tujuan
dari DCR adalah untuk meminimalkan pendarahan, meningkatkan perfusi organ
akhir, mencegah koagulopati, dan mengurangi risiko disfungsi organ multisistem.

Hipotensi Permisif
Strategi hipotensi permisif menahan atau meminimalkan cairan selama perfusi
serebral jelas dan tekanan darah sistolik tetap berada di atas nilai ambang 70 sampai
80 mm Hg. Strategi dengan volume rendah ini harus dipertahankan sampai
perdarahan dikontrol. Pendukung hipotensi permisif menunjukkan bahwa
pemberian kristaloid dapat memperburuk respon inflamasi, meningkatkan
kehilangan darah sebelum hemostasis definitif, dan meningkatkan kebutuhan
transfusi, yang selanjutnya dapat memperburuk peradangan awal dan imunosupresi

7
akhir. Studi telah meneliti keamanan hipotensi permisif atau strategi resusitasi ketat
tersebut pada pra-rumah sakit, departemen gawat darurat, dan perawatan fase
intraoperatif. Kelompok tertunda yang menerima tidak lebih dari 100 ml cairan
sebelum kedatangan di ruang operasi mempunyai kelangsungan hidup lebih tinggi,
komplikasi lebih sedikit, dan lama rawat inap rumah sakit lebih pendek
dibandingkan dengan kelompok resusitasi klasik.
Sebuah studi oleh Morrison et al. membandingkan mean arterial pressure (MAP)
yang lebih rendah dengan MAP klasik dengan tujuan untuk mengarahkan resusitasi
intraoperatif. MAP yang lebih rendah secara signifikan mengalami lebih sedikit
kehilangan darah, lebih sedikit transfusi, dan lebih sedikit kristaloid yang diberikan
dibandingkan dengan kelompok klasik. Kelompok dengan MAP memiliki lebih
rendah meningkatkan survival dini secara signifikan (98% vs 83%) dan menjaga
kecenderungan peningkatan mortalitas pada 30 hari. Efek yang paling signifikan
terjadi pada korban trauma tembus. Sayangnya, hanya sedikit penelitian lain yang
mampu mereplikasi efek positif, dan terus aktif debat mengenai manfaat hipotensi
permisif. Penerapannya, jika digunakan, harus dibatasi pada korban trauma tembus
pada dada.

Produk Darah
Studi mengungkapkan bahwa kelangsungan hidup pasien lebih baik saat pemberian
fresh whole blood (FWB) daripada PRBCs atau komponen terapi klasik yang
digunakan untuk resusitasi. FWB diketahui dapat meminimalkan risiko infeksi pada
populasi militer. Oleh karena itu, penelitian telah berfokus pada efek meningkatkan
rasio FFP-to-PRBC dan trombosit-to-PRBCs dalam upaya meniru komposisi FWB
untuk resusitasi pasien dengan MT. Dua studi dari militer mengungkapkan
penurunan mortalitas secara bertahap dengan peningkatan rasio plasma-to-PRBCs,
dengan hasil yang optimal mendekati rasio 1:1. Studi rasio platelet-to-PRBC telah
menunjukkan perbaikan serupa pada kematian, dengan rasio lebih tinggi di antara
pasien yang menjalani MT. Terakhir, studi penggantian fibrinogen juga telah
mendukung resusitasi pasien dengan MT. Berbeda dengan FFP dan platelet, yang
tersedia sebagai unit donor tunggal dan kumpulan saja, fibrinogen dapat dilengkapi

8
dengan menggunakan kriopresipitat untuk transfusi atau melalui pemberian
konsentrat dari plasma manusia. Setiap botol berisi antara 900 dan 1300 mg
fibrinogen lyophilized, yang dilarutkan dalam waktu 50 mL saline. Secara
keseluruhan, manfaat yang muncul dibuktikan dari tinggi rasio FFP-to-PRBC,
trombosit-to-PRBCs, dan fibrinogen-to-PRBCs selama resusitasi MBL akut atau
pasien MT. Meskipun rasio ideal masing-masing komponen masih belum diketahui,
2 percobaan prospektif saat ini mendaftarkan pasien dalam upaya lebih lanjut
mengetahui rasio ideal komponen darah untuk resusitasi.
Bahan Tambahan Hemostatik
Selain strategi transfusi seimbang, beberapa agen farmakologis dapat digunakan
sebagai tambahan untuk mengobati koagulopati, termasuk asam traneksamat,
rekombinan, faktor VIIA, dan protrombin kompleks yang mengandung faktor II,
VII, IX, X, C, dan S. Beberapa bukti menunjukkan bahwa penggunaan agen ini
dapat menurunkan angka kematian, persyaratan transfusi, dan tingkat transfusi
terkait kegagalan organ pada pasien trauma tertentu.
 Faktor VIIA
Selain untuk pengobatan hemofilia, faktor VIIA aktif telah digunakan untuk
mengobati beberapa kasus trauma, termasuk trauma yang disebabkan
koagulopati dan pembalikan antikoagulan pada pasien dengan cedera otak.
Sebuah RCT dari rekombinan faktor VIIA menunjukkan penurunan transfusi
PRBCs dan persentase pasien yang membutuhkan MT setelah trauma tumpul.
Sebuah studi tindak lanjut dari kelompok yang sama mengkonfirmasi manfaat
dari kebutuhan transfusi menurun, dan menunjukkan tingkat kegagalan organ
multisistem yang lebih rendah dan ARDS terkait dengan faktor VIIA.
Meskipun penelitian tidak menemukan peningkatan komplikasi yang terkait
dengan faktor VIIA, kedua studi tidak dapat mengkonfirmasi manfaat dalam
penurunan angka kematian. Selain itu, kekhawatiran mengenai peningkatan
komplikasi tromboemboli, terutama yang mempengaruhi sirkulasi arteri terkait
dengan penggunaan faktor VIIA. Meskipun faktor VIIA kemungkinan aman
pada pasien dengan MBL, sepertinya kurang mungkin bermanfaat dan karena
itu penggunaannya dalam DCR tidak dapat direkomendasikan.

9
 Protrombin kompleks
Protrombin kompleks dikemas dalam berbagai formulasi, yang semuanya
mengandung beberapa kombinasi faktor koagulasi vitamin K-dependent.
Formulasi tiga faktor protrombin kompleks mengandung faktor II, IX, dan X.
Formulasi empat faktor protrombin kompleks mengandung faktor II, VII, IX,
dan X. Kedua formulasi tersebut juga mengandung sejumlah variabel protein
C dan S. Beberapa penelitian telah membandingkan PRCBs dengan FFP dan
vitamin K untuk pembalikkan koagulopati farmakologis setelah cedera atau
dalam mengantisipasi munculnya operasi atau prosedur invasif. Studi ini
menemukan bahwa protrombin kompleks lebih cepat dan lebih efektif daripada
FFP dan vitamin K dalam mengoreksi Internasional Normalization Ratio
(INR) tanpa peningkatan komplikasi yang signifikan. Normalisasi nilai
laboratorium koagulasi dicapai secepat 30 menit setelah pemberian kompleks
protrombin, meskipun di beberapa contoh pembalikannya tidak tahan lama
seperti yang dicapai dengan vitamin K. Studi terbaru meneliti protrombin
kompleks pada pasien trauma memiliki kecenderungan ke arah perbaikan
mortalitas, kebutuhan transfusi menurun, komplikasi lebih sedikit, dan lama
rawat inap lebih pendek. Secara khusus, risiko kegagalan multiorgan dan
kebutuhan untuk ventilasi mekanik berkurang dengan penggunaan protrombin
kompleks. Ada kekhawatiran atas potensi protrombin kompleks untuk
meningkatkan risiko komplikasi tromboemboli yang mirip dengan faktor VIIA.
Sebuah studi meta-analisis terbaru mengenai protrombin kompleks untuk saat
ini menunjukkan tingkat kejadian tromboemboli adalah 1,4%. Namun, tidak
ada peningkatan signifikan secara statistik pada kejadian trombotik
dibandingkan kontrol dalam studi pasien trauma.
 Asam traneksamat
Asam traneksamat merupakan turunan sintetis dari lisin. Asam traneksamat
menghambat aktivasi plasminogen dan aktivitas plasmin melalui ikatan ke
binding site lisin, memblokir ikatan dengan fibrin. Tidak seperti faktor VIIA
dan protrombin kompleks, dampaknya terjadi terutama melalui pencegahan
fibrinolisis daripada koagulasi. Dua percobaan prospektif besar menunjukkan

10
manfaat yang signifikan dari penggunaan asam traneksamat melalui penurunan
kematian. Namun, manfaat hanya ditemukan jika asam traneksamat diberikan
dalam 3 jam setelah terjadi cedera, pemberian setelah 3 jam dikaitkan dengan
peningkatan mortalitas. Meskipun demikian, pada keparahan cedera lebih
tinggi, pasien yang menerima asam traneksamat memiliki penurunan angka
kematian secara signifikan. Manfaat ini bahkan lebih menonjol di antara pasien
yang menerima MT, dengan angka kematian menurun 13,7%. Berdasarkan
analisis regresi logistik multivariat, asam traneksamat terbukti menjadi
prediktor independen kelangsungan hidup.

Protokol Transfusi Masif


Standarisasi rasio transfusi dengan institusional protokol transfusi masif (Massive
Transfusion Protocols/MTP) telah meningkat popularitasnya. Tujuan dari MTP
adalah penggantian standarisasi trombosit dan faktor pembekuan dalam rasio
optimal untuk PRC, dan meningkatkan kecepatan dan efisiensi transfusi. Sebuah
MTP mungkin termasuk penggunaan protokolisasi dari hemostatik tambahan,
seperti asam traneksamat, kompleks protrombin, dan faktor VIIA. Pemilihan
pemicu MTP secara hati-hati penting untuk dua alasan utama. Pertama, identifikasi
cepat pasien mungkin memerlukan transfusi MT dan transfusi darah agresif dini,
FFP, dan platelet telah dikaitkan dengan perbaikan angka mortalitas. Kedua,
resusitasi agresif dan administrasi rasio yang lebih tinggi FFP dan trombosit, bila
diberikan kepada pasien dengan perdarahan tidak masif, menyebabkan tidak perlu
pengeluaran sumber daya dan dapat mengakibatkan hasil yang lebih buruk untuk
pasien.
Indikasi untuk MTP termasuk transfusi dan pencetus klinis. Pencetus transfusi
berkisar antara 6 dan 10 unit PRC sebagai ambang batas untuk memulai MTP.
Pencetus transfusi mudah didefinisikan dan ditaati, tetapi dapat mengakibatkan
keterlambatan dalam pemberian FFP/trombosit, karena kehilangan darah yang
signifikan harus terjadi sebelum inisiasi protokol. Variabel klinis yang umumnya
terkait dengan MT adalah trauma multicavitas, mekanisme penetrasi, tekanan darah
sistolik kurang dari 90 mmHg, denyut jantung lebih dari 120, anemia (hemoglobin

11
<10) atau koagulopati (INR> 1,5) saat pemberian, dan cairan bebas pada focused
assessment with sonography for trauma (FAST). Pencetus klinis cenderung
menghasilkan inisiasi awal MTP tapi penggunaan setiap elemen tunggal mungkin
tidak akurat. Oleh karena itu, beberapa sistem skoring telah dibuat menggunakan
beberapa elemen, termasuk skor trauma terkait perdarahan parah (Trauma-
Associated Severe Hemorrhage/TASH), skor McLaughlin, dan skor penilaian
konsumsi darah (Assessment Of Blood Consumption/ABC). Skor TASH dan skor
McLaughlin termasuk data laboratorium, seperti hematokrit, pH, dan defisit basa,
sedangkan skor ABC hanya menggunakan data klinis segera yang tersedia pada saat
pemberian, yang dapat membuatnya menjadi alat ukur lebih berguna.
Skor ABC terdiri dari 4 elemen: menembus mekanisme, FAST positif, tekanan
darah kurang dari 90 mm Hg, dan detak jantung 120 atau lebih besar. Satu skor dari
2 atau lebih memprediksi MT dengan sensitivitas 75% sampai 90% dan spesifisitas
67% menjadi 88% di awal penelitian. Bila dibandingkan dengan skor TASH dan
skor McLaughlin, skor ABC lebih akurat dalam memprediksi pasien mana yang
akan membutuhkan MT. Inisiasi dari MTP dimaksudkan untuk meningkatkan
komunikasi antara dokter bedah/ tim anestesi, laboratorium, dan bank darah, serta
meningkatkan kemudahan dan efisiensi dalam memesan produk darah. Pertama dan
terpenting, MTP tampaknya efektif dalam mencapai tujuan utama berupa rasio
tinggi FFP dan platelet-to-PRBC, dan secara signifikan menurunkan infus
kristaloid. Penggunaan MTP tampaknya menurunkan penggunaan produk darah
secara keseluruhan akibat pencegahan atau pengobatan dini koagulopati.
Beberapa studi menunjukkan bahwa inisiasi dari MTP secara signifikan
mengurangi waktu dari pemberian sampai transfusi pertama, dan waktu selesai
untuk transfusi selanjutnya.
Penggunaan MTP tampaknya menghasilkan tingkat signifikan lebih rendah pada
ACS, tingkat penurunan sepsis, terutama pneumonia, penurunan tingkat kegagalan
multiorgan, khususnya kegagalan pernafasan, dan penurunan lama rawat inap di
rumah sakit. Selain itu, beberapa bukti menunjukkan bahwa MTP mungkin secara
signifikan mengurangi biaya rumah sakit.

12
Peran Petunjuk Laboratorium
Penanda klasik koagulopati, seperti PT/INR dan aPTT, yang dihangatkan pada suhu
tubuh standar (37°C) sebelum analisis, mungkin hasilnya positif palsu dan
menyebabkan underdiagnosis koagulopati. Tes ini tidak mengatasi disfungsi
trombosit yang disebabkan oleh obat, hipotermia, atau fibrinolisis, sehingga
mengabaikan adanya koagulopati yang kurang termanifestasi secara klinis. Selain
itu PT, aPTT, dan jumlah sel darah lengkap sering membutuhkan waktu 30 menit
atu lebih sampai satu jam sebelum hasilnya tersedia, sehingga berpotensi menunda
pengobatan trauma terkait koagulopati.
Keterbatasan tersebut menyebabkan munculnya penggunaan penanda alternatif
pembekuan dan kekuatan pembekuan, seperti thromboelastography (TEG) atau
rotation thromboelastometry (ROTEM). TEG dan ROTEM bekerja sama dan
mengukur sifat viskoelastik dari sampel darah pasien. TEG/ROTEM memiliki
manfaat memberikan informasi cepat secara rinci pada kekuatan dan pembentukan
bekuan, dan dijalankan pada suhu pasien, sehingga berpotensi meningkatkan
akurasi dalam mendiagnosis koagulopati. Dalam resusitasi trauma pasien dalam
syok hemoragik yang parah, TEG/ROTEM dapat memiliki 2 aplikasi potensial,
yaitu hasil dapat digambarkan saat pemberian sehingga dapat digunakan untuk
memprediksi dan memicu MTP dan hasil serial dapat digunakan untuk
memprediksi untuk mengarahkan terapi komponen darah yang sedang berlangsung.
Selain itu, beberapa studi membandingkan hasil TEG/ROTEM
dengan hasil laboratorium standar (PT/INR dan aPTT) yang menunjukkan bahwa
TEG/ROTEM memiliki sensitivitas yang lebih tinggi untuk mendeteksi
koagulopati pada saat pemberian dan meningkatkan akurasi dalam memprediksi
transfusi, MT, dan mortalitas.

13
Efikasi
Resusitasi kontrol kerusakan, termasuk hipotensi permisif, penggunaan awal
produk darah, penggantian faktor koagulasi lebih agresif, dan MTP, tampaknya
memiliki efek menguntungkan pada hasil. Sebuah studi meninjau pasien dengan
MBL yang diresustasi dengan teknik klasik dalam periode 1970-1990 menunjukkan
bahwa mereka mengalami hasil yang sangat buruk, dengan angka kematian berkisar
antara 61%-90%. Temuan ini agak membaik dalam studi kemudian dilakukan dari
tahun 1990 sampai 2000-an, tapi kelangsungan hidup masih sedikit, mulai dari
45%-87%. Sebaliknya, tingkat kematian saat setelah memulai DCR dan MTP
berkisar dari 8% -34%.

Agen Vasoaktif
Karena morbiditas terkait dengan pemberian cairan yang berlebihan dan kurangnya
bukti yang mendukung hipotensi permisif diluar trauma penetrasi, banyak peneliti
telah mulai memeriksa peran penggunaan vasopresor dini pada pasien dengan syok
hipovolemik. Penggunaan dini vasopresor, terutama sebelum hemostasis definitif,
memiliki manfaat teoritis memungkinkan ahli bedah untuk menpertahankan MAP
yang diperbolehkan sambil menghindari kebutuhan untuk pemberian cairan volume
besar.
Beberapa model hewan menunjukkan bahwa vasopresin endogen yang diperlukan
untuk menjaga tekanan darah dalam menanggapi perdarahan, dan vasopresin
eksogen dapat bertindak sebagai vasopresor efektif, membalikkan syok hemoragik
yang berlanjut dengan lebih efektif daripada penggunaan agen lain atau pemberian
cairan. Hasil penggunaan vasopresin menurunkan secara signifikan kehilangan
darah dan meningkatkan kelangsungan hidup dalam beberapa studi.
Data menunjukkan defisit vasopresin endogen setelah syok hemoragik terkait
dengan TBI. Studi RCT dari pasien yang mengalami trauma hipotensif secara acak
mendapat terapi resusitasi cairan standar atau resusitasi dengan bolus kemudian
infus vasopresin setelah trauma menunjukkan peningkatan tidak signifikan pada
kematian.

14
Studi ini juga menemukan bahwa kelompok vasopressin menerima cairan lebih
sedikit secara signifikan pada 5 hari pertama, tetapi hal ini tidak dijelaskan
manfaatnya terkait mortalitas, morbiditas, atau disfungsi organ pada 30 hari.
Penelitian lain pada pasien dengan trauma tumpul menunjukkan bahwa
penambahan vasopresin dan hidroksietil pati untuk resusitasi standar jantung-paru
mengakibatkan peningkatan pengembalian sirkulasi spontan dan survival 24 jam.
Namun, 3 penelitian retrospektif besar pasien trauma hipotensi dan terluka parah
dikaitkan dengan pemberian vasopresin memiliki peningkatan risiko kematian
secara signifikan terlepas dari volume yang digunakan. Bukti saat ini tidak cukup
untuk merekomendasikan penggunaan vasopresin atau agen vasoaktif lainnya
sebagai pengganti resusitasi cairan agresif dalam periode akut setelah trauma.

Kesimpulan
Syok hipovolemik didefinisikan sebagai perfusi jaringan yang tidak adekuat
disebabkan oleh penurunan volume sirkulasi intravaskuler. Teknik DCR, termasuk
penggunaan hipotensi permisif selektif, menghindari resusitasi kristaloid yang
terlalu agresif dan strategi transfusi agresif dini dengan rasio tinggi FFP, trombosit,
dan PRBCs telah memperbaiki kematian. Transfusi dini dengan rasio 1:1:1 dari
FFP, trombosit, dan PRBCs diketahui berhubungan dengan perbaikan kondisi
pasien yang membutuhkan tranfusi masif. Asam traneksamat dan prothrombin
kompleks mungkin tambahan yang bermanfaat untuk resusitasi pasien syok
hemoragik.
Pemantauan fungsi koagulasi dengan tromboelastography (TEG) atau rotational
thromboelastometry (ROTEM) mungkin lebih unggul dibandingkan penanda
koagulasi konvensional pada pasien dengan syok hipovolemik. Pengujian
viskoelastik menggunakan TEG/ROTEM berguna dalam memprediksi dan memicu
MTP dan dalam membimbing resusitasi yang sedang berlangsung. MTP berguna
alat kelembagaan untuk meningkatkan komunikasi antara bank darah dan dokter.
MTP meningkatkan ketersediaan produk darah, mengurangi waktu untuk transfusi,
kemungkinan perbaikan angka kematian, dan dapat menurunkan biaya.

15

Anda mungkin juga menyukai