Anda di halaman 1dari 19

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anatomi ACL

Ligamen crutiatum memiliki peran krusial terhadap stabilitas anteroposterior sedangkan

ligamen kolateral berperan terhadap stabilitas valgus/varus. Setiap ligamen crutiate memiliki dua

buah bundel. Ligamen crutiate anterior (ACL) memiliki bundle anteromedial dan posterolateral,

sedangkan ligamen crutiate posterior (PCL) memiliki bundel anterolateral dan posteromedial.

PCL berada di antara ligamen Humprey (anterior) dan ligamen Wrisberg (posterior). Ligamen

cruciatum menghubungkan femur dan tibia, meyilang di dalam kapsul sendi tapi berada diluar

celah artikular. Ligamen cruciate melintang satu sama lain secara oblique seperti huruf X. Selama

rotasi medial dari tibia pada femur, ligamen cruciatum berputar satu sama lain sehingga jumlah

rotasi medial terbatas sekitar 10°. Karena mereka terlepas satu sama lain selama rotasi lateral,

hampir 60° rotasi lateral yang mungkin ketika lutut fleksi > 90°. Titik persimpangan dari ligamen

cruciatum berfungsi sebagai poros gerakan berputar di sendi lutut. (Moore,K et al. 2007)

Ligamen cruciatum anterior berada di dalam kapsular tapi di luar synovial. Suplai

pembuluh darah dari ACL berasal dari middle genicular artery, yang berasal dari arteri popliteal.

Arteri genikulata lateral dan medial inferior juga memvaskularisasi ACL via fat pad.(Larson, RI

et all, 1994) Ligamen cruciatum anterior (ACL), yang lebih lemah muncul dari daerah

interkondilaris anterior tibia, di posterior perlekatan meniskus medial. Ligamen ini meluas ke

superior, posterior, dan lateral untuk melekat ke bagian posterior dari sisi medial kondilus lateral

femur. ACL memiliki suplai darah yang relatif6sedikit dan membatasi rotasi posterior kondilus

femoral di tibial plateau selama fleksi, mengubahnya menjadi berputar. Hal ini juga mencegah

5
perpindahan posterior dari femur pada tibia dan hiperekstensi dari sendi lutut. Ketika sendi lutut

fleksi pada sudut yang benar, tibia tidak dapat ditarik ke anterior karena dipegang oleh ACL.

Gambar 1. Anatomi ACL

Ligamen cruciatum anterior merupakan stabilisator utama dari struktur sendi lutut. Origo

dari ACL berada pada aspek posterior dari femur yang berjalan secara medial dan akan berinsersi

pada aspek anterior dari tibia. Ligamen ini termasuk intrakapsular tapi masih berada di luar cairan

synovial. ACL berguna untuk penahan utama translasi anterior dari tibia dan juga rotasi tibia

internal.

6
2.2 Cedera pada ACL

Stabilitas dinamis sendi lutut dipengaruhi oleh tahanan pasif (ligament) dan aktif

(neuromuscular). ACL berkontribusi sebagai tahanan primer terhadap translasi anterior dari tibia

terhadap femur, selain itu berfungsi sebagai tahanan rotasional pada bidang frontal dan transversal.

Cedera ACL memiliki kemampuan yang buruk untuk sembuh dengan kegagalan sekitar 40-100%

bahkan bila sudah dilakukan repair. ACL repair merupakan suatu gold standar yang dipakai untuk

cedera ACL terutama pada usia muda dan atlet yang bertujuan segera kembali ke aktivitas.

(Kiapour and Murray, 2014). Studi di Selandia Baru menyebutkan insiden cedera ACL sekitar

36,9 persen per 100.000 orang pertahun. Cedera ACL terjadi melalui kontak pada ekstremitas

bawah yang terfiksir dengan torsi yang cukup meinimbulkan cedera. (Cimino, Volk and Setter,

2010). Sedangkan di Amerika Serikat, insiden cedera ACL meningkat antara 40%-60% per

100.000 pada tahun 2014. Cedera pada ACL terjadi melalui mekanisme nonkontak yaitu fleksi-

valgus-eksternal rotasi, fleksi-varus internal rotasi, dan external rotasi atau hiperekstensi

berlebihan. (Deehan, 2005)

Cedera ACL merupakan cedera yang sering terjadi di negara berkembang. Cedera ACL

biasanya terjadi pada individu muda, dan aktif beraktivitas. Cedera ACL biasanya terjadi pada

trauma olahraga. Cedera ACL dapat berkembang menjadi osteoarthritis pada dekade pertama dan

kedua setelah cedera. Osteoarthritis post-traumatik didiagnosis berdasarkan adanya keluhan klinis

dan pemeriksaan radiologis yang menunjukkan adanya osteofit dan penyempitan celah sendi.

Banyak macam biomarker yang dievaluasi untuk mendeteksi osteoarthritis secara dini dan

menghambat progresifitasnya. Tetapi tidak ada biomarker yang valid untuk mendeteksi perubahan

awal dari jaringan setelah cedera ACL. Berdasarkan penelitian pada minggu pertama setelah

cedera ACL, terdapat peningkatan konsentrasi IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF-α. Pada kelompok dengan

7
ACL deficit terdapat tanda kerusakan dari cartilage yang ditandai dengan adanya enzim yang

bertanggung jawab dalam degradasi proteoglikan dan kolagen (MMP-1 dan MMP-3). (Harkey et

al., 2015)

2.3 Proses Inflamasi Paska Cedera ACL

Secara umum pada pasien dengan cedera ACL akut dan kronis menunjukkan konsentrasi

IL-1α, bFGF, TGF-β, GM-CSF, IL-6 dan IL-8 yang konsisten dengan reaksi inflamasi. Level

sitokin ini sama pada pasien 4 minggu paska cedera dan pada pasien kronik yang menunjukkan

bahwa reaksi inflamasi persisten paska efusi akut. TNF-α merupakan suatu sitokin dari makrofag

yang juga menyebabkan degradasi cartilage dan mensupresi sistensi dari matriks. TNF- α juga

menyebabkan sekresi IL-6 dari kondrosit serta IL-1 dan metalloprotease dari sel synovial. Hasil

penelitian menunjukkan level yang tinggi dari IL-6 dan IL-8 sebelum 3 minggu awal dan tendensi

semakin menurun setelahnya. IL-1 beta dan TNF-α bervariasi dan terdapat penurunan selama 3

minggu paska cedera. (Cameron et al., 1994)

Penelitian oleh Batta, ditemukan peningkatan kadar IL-6, MMP-3, dan TIMP-1 pada lutut

dengan cedera ACL. TNF-α tidak terdeteksi pada lutut yang normal, namun terdeteksi 10.4 pg/ml

pada lutut dengan cedera ACL. IL-6 merupakan sitokin yang merangsang diferensiasi dan

proliferasi sel-B serta menginduksi produksi antibodi. IL-6 merupakan sitokin pre-inflamasi yang

konsentrasinya tinggi sampai 50 minggu paska cedera ACL kemudian mulai menurun setelahnya.

(Batta, 2016)

Penelitian oleh Higuchi dan kolega juga menyebutkan bahwa konsentrasi IL-6, MMP-3

dan TIMP-1 akan lebih tinggi pada individu dengan cedera ACL dibandingkan dengan sendi lutut

yang normal. TNF-α dan IL-1β juga terdeteksi pada individu dengan cedera ACL. Pada cedera

8
ACL konsentrasi MMP-3 pada cairan synovial berkorelasi postif dengan IL-6 dan TIMP-1.

Konsentrasi TIMP akan cenderung menurun walaupun kadarnya meningkat saat trauma.

Konsentrasi IL-6 akan tetap tinggi selama 50 minggu paska cedera ACL kemudian akan cenderung

menurun setelahnya. Konsentrasi rata-rata 27,617.5±23,336.6 ng/ml untuk MMP-3,

1,232.2±955.2 ng/ml untuk TIMP-1, and 1,057.5±1,435.0 ng/ml pada IL-6. Untuk mencegah

perkembangan kerusakan cartilage setelah cedera ACL, penting untuk memulai terapi cedera ACL

karena IL-6 dan MMP-3 menginduksi destruksi cartilage. (Higuchi et al., 2006)

Pada cedera ACL, synoviosit kondrosit, dan jaringan intra-artikular lain akan teraktivasi

untuk memproduksi beberapa mediator inflamasi seperti IL-1β, IL-6, IL-8, IL-10 and tumor

necrosis factor-α (TNF-α). IL-1 akan memodulasi keseimbangan metabolik cartilage yaitu dengan

cara menurunkan produksi dari komponen matriks cartilage dan merangsang ekspresi MMPs

meliputi MMP-1, MMP-3, MMP-9, MMP-10 and MMP-13. Aktivasi dari faktor transkripsi seperti

NF-κB dan aktivasi dari activator protein-1 akan menginduksi MMPs. MMPs akan berinteraksi

dengan protein secara katabolik. Lin dkk menemukan bahwa ekspresi dari MMP-3 meningkat

secara konsisten pada zona cartilage permukaan. MMP-3 dapat mengaktivasi prokolagenase yang

akan menginduksi degradasi cartilage dan mempengaruhi perbaikannya. (Li, Chen and Chen,

2014)

Cedera yang dilakukan pada sendi lutut kelinci meningkatkan ekspresi synovial dari IL-1

β, IL-6, dan IL-8 2 sampai 3 kali dalam 72 jam pasca cedera, tapi akan berkurang dalam 3 minggu.

Sedangkan studi oleh Cuellar dan kolega yang memeriksa profil sitokin paska cedera ACL akut

hanya menunjukkan 4 spesifik sitokin yang meningkat secara konsisten yaitu IL-6, IFN-γ, MCP-

1, dan MIP-1β (Cuellar et al., 2010)

9
Cedera akut ACL menimbulkan reaksi inflamasi yang berlangsung kronis setelah resolusi

efusi akut. Sitokin inflamasi sendi-lutut dapat mendorong katabolisme tulang rawan melalui

sintesis radikal bebas dan metaloprotease dan membentuk OA. Sitokin IL-6, IL-8, dan IL-1β

meningkatkan aktivitas osteoklastik dan dapat berkontribusi pada resorpsi tulang. IL-6 dan IL-8

adalah sitokin proinflamasi yang memiliki peran penting dalam kerusakan tulang rawan dan

tulang. IL-6 di lingkungan sendi mengurangi produksi kolagen tipe II, meningkatkan produksi

MMPs, dan dianggap sebagai sitokin kunci dalam degradasi tulang subchondral. IL-6 memiliki

kemampuan untuk meningkatkan produksi kemokin inflamasi, seperti IL-8 pada sinoviosit dan

monosit. Tingkat TNF-α dan IL-1β dalam cairan sinovial mengikuti pola temporal yang berbeda,

karena tidak meningkat setelah cedera ACL akut dan tetap tidak berubah dalam waktu meskipun

operasi rekonstruksi ACL. (Bigoni et al., 2013)

Witkowski dan kolega melakukan studi dengan mengukur migrasi sel dan penyembuhan

ligamen, TNF-α menurunkan recovery pada cedera ACL dan MCL yang dibuat secara

artificial.(Witkowski et al., 1997)

2.4 Manajemen Pada Cedera ACL

Manajemen dari cedera ACL meliputi banyak faktor. Keputusan untuk melakukan

tindakan konservatif atau operatif bergantung pada individu penderita meliputi usia, aktivitas

pasien, derajat instabilitas, dan derajat cedera ACL. Terapi konservatif pada jaman dahulu

dianggap sebagai suatu alternatif dari gold standar, namun dengan outcome fungsional yang

buruk. Kandidat primer untuk tindakan operatif pada cedera ACL yaitu pasien cedera ACL akut

dengan lifestyle yang aktif dan pasien cedera ACL kronik dengan instabilitas fungsional. (Larson

and Tailon, 1994)

10
Dalam teknik rekonstruksi ACL masih terdapat perdebatan mengenai waktu untuk repair

dan rehabilitasi, serta tipe graft yang akan dipakai. Berdasarkan timing atau waktu untuk intervensi

operasi, terdapat tiga macam faktor yang harus dipertimbangkan. Peningkatan insiden cedera

meniscus dan chondral akan meningkat apabila dilakukan delayed rekonstruksi ACL, risiko

terjadinya arthrofibrosis yang berhubungan dengan rekonstruksi ACL dini, serta hubungan

hilangnya kekuatan otot karena inaktivitas jika operasi terlambat. Jumlah pasien yang mengalami

robekan meniscus paska cedera ACL berkisar antara 10%-50%, sedangkan untuk lesi chondral

berkisar 20%. (Paschos, N.K., 2016)

Salah satu komplikasi dari tindakan operatif pada cedera ACL adalah kekakuan sendi.

Istilah Arthrofibrosis telah digunakan untuk mendeskripsikan kekakuan sendi yang terjadi setelah

rekonstruksi ACL. Patofisiologi yang dianggap memegang peranan yaitu proses inflamasi yang

terjadi pada fat pad dan synovium, diikuti dengan penebalan kapsul yang menghilangkan

suprapatellar pouches serta medial dan lateral gutters. Tendon patella akan menjadi memendek

sehingga terjadi patella baja dan kerusakan cartilage lebih lanjut. (Larson and Tailon, 1994)

2.5 Hubungan Cedera ACL dengan Timing Rekonstruksi

Predisposisi cedera ACL pada wanita meningkat 2 – 8 kali lipat dibandingkan dengan pria.

Hal ini berhubungan dengan laxity dari sendi, pengaruh hormonal, dimensi intercondylar notch,

dan ukuran ligament. Keputusan untuk manajemen terapi pada ACL ruptur dibuat berdasarkan

status pasien, level aktivitas, instabilitas sendi, dan cedera lain yang berhubungan. Studi dari Fu

dan kolega menyebutkan indikasi untuk ACL rekonstruksi yaitu 1) Pasien yang aktif secara atletis

yang ingin kembali beraktivitas segera, 2) Pasien dengan cedera meniscus yang dapat direpair, 3)

Pasien dengan robekan Grade III (PCL, MCL, LCL), 4) Pasien dengan instability yang menggangu

11
kehidupan sehari-hari. Studi dari Harner menyebutkan operasi rekonstruksi yang terlalu dini dapat

meningkatkan insiden arthrofibrosis dan penurunan range of motion. Direkomendasi untuk

menunggu 3 sampai 4 minggu setelah cedera (O’Connor et al., 2004)

Waktu optimum untuk ACL rekonstruksi (ACLR) merupakan keputusan klinis penting

yang dapat mempengaruhi hasil akhir dan sampai saat ini masih dalam perdebatan. Pemilihan

waktu untuk tindakan ACLR multifaktorial mencakup faktor-faktor seperti status pre-operatif dari

lutut, maupun faktor sosioekonomik seperti keluarga, sekolah dan kewajiban kerja serta persiapan

mental. Berikut adalah tinjauan bukti yang ada mengenai definisi operasional dari early vs delayed

ACL

Tabel 2.1. Definisi early dan delayed ACLR dari beberapa studi

Penelitian oleh Shelbourne dan kolega menunjukkan pasien yang menjalani rekonstruksi

pada minggu awal cedera memiliki peningkatan kejadian artrofibrosis dibandingkan yang

dilakukan pembedahan setelah 21 hari. Studi dari Almekinders dan kolega juga menunjukkan

12
bahwa pasien yang menjalani rekonstruksi kurang dari 1 bulan paska cedera memiliki keterbatasan

dalam gerakan sendi lutut baik setelah operasi atau satu tahun setelahnya. Studi dari Passler juga

menunjukkan terjadinya arthrofibrosis pada 18% pasien yang menjalani operasi dalam 7 hari

pertama pasca cedera dibandingkan dengan 6% pasien bila dilakukan 4 minggu pasca cedera.

Sedangkan studi dari Bottoni dan kolega menunjukkan tidak ada perbedaan range of motion pada

pasien yang menjalani rekonstruksi pada tahap awal cedera dibandingkan dengan 6 minggu pasca

cedera.

Studi dari Church dan Keating menunjukkan 183 pasien terjadinya peningkatan yang

signifikan kejadian robekan meniscus pada pasien yang menjalani operasi delayed sampai 1 tahun

pasca cedera menggunakan French Society of Arthroscopy (SFA) system. Studi ini juga didukung

oleh studi oleh Kennedy dan kolega yang menunjukkan hubungan timing ACLR dengan prevalensi

cedera meniscus dan defek kondral.

Walaupun tidak ada konsensus dalam literatur yang menunjukkan waktu yang tepat untuk

timing ACL rekonstruksi , beberapa penulis menyarankan agar ACLR dilakukan sebelum 3

minggu setelah cedera untuk menghindari arthrofibrosis. Selain dari waktu, kriteria objektif seperti

bengkak saat operasi, edema, hyperthermia dan ROM merupakan indikator penting untuk

menentukan kapan waktu yang tepat untuk melaksanakan operasi. Opsi untuk intervensi bedah

beberapa hari setelah injury mungkin bermanfaat untuk atlit professional atau individual yang

menginginkan untuk dapat kembali ke level fungsional secepatnya. Sedangkan, opsi untuk

delayed intervensi akan lebih menarik untuk mereka yang tidak mempunyai batas waktu atau

meinginkan waktu yang lebih banyak untuk persiapan operasi (Evans, Shaginaw and Bartolozzi,

2014)

13
Rekonstruksi akut memiliki tingkat kekakuan lutut pasca operasi yang lebih tinggi

sehingga kebutuhan untuk operasi ulangan. Namun banyak pasien ini tidak menjalani program

rehabilitasi yang menekankan pemulihan awal untuk hiperekstensi penuh, dan dalam banyak kasus

pasien tidak bergerak untuk jangka waktu tertentu. Akan tetapi, beberapa penulis juga telah

menunjukkan bahwa rekonstruksi akut dapat dilakukan tanpa peningkatan risiko kekakuan

pascaoperasi. Hunter dan kolega mengevaluasi pasien yang dioperasi pada jam ke-48, antara 3 dan

7 hari pasca-cedera, antara 1 dan 3 minggu pasca cedera, dan lebih dari 3 minggu pasca-cedera.

Meskipun hasil setara untuk pengujian KT-1000 dan fleksi pasif dan ekstensi pada follow-up 1

tahun di antara keempat kelompok, pasien yang dioperasi lebih dari 3 minggu pasca-cedera

menghasilkan lebih banyak range of motion dan lebih cepat daripada tiga kelompok lainnya.

Selanjutnya, tidak ada pasien 3 minggu pasca cedera yang memerlukan operasi berulang untuk

permasalahan gerak atau operasi revisi, sedangkan 11 pasien pada tiga kelompok lainnya

memerlukan prosedur tambahan. Manfaat teoritis untuk rekonstruksi akut adalah untuk mencegah

adanya trauma tambahan pada lutut yang bisa terjadi. Tidak ada penelitian yang dapat

menunjukkan manfaat untuk rekonstruksi akut sebelum pasien mendapatkan kembali pergerakan

penuh, risiko masalah gerak, dan kemungkinan kebutuhan untuk operasi berulang untuk mengatasi

keterbatasan gerak tetap lebih tinggi. Protokol saat ini adalah waktu operasi ketika pasien telah

kembali mendapatkan range of motion yang penuh, memiliki efusi minimal, dan telah

mendapatkan gerakan control quadriceps. Tidak ada batas waktu untuk pasien. Beberapa pasien

akan mendapatkan kembali gerakan dalam beberapa minggu, dan yang lainnya mungkin

memerlukan waktu lebih lama. (Chapman et al., 2007)

Meighan dan kolega meneliti 1 tahun setelah pembedahan, tidak ditemukan adanya

perbedaan antara rekonstruksi cepat dan lambat pada fungsi otot, luas gerak sendi, dan fungsional

14
outcome. Terdapat peningkatan angka komplikasi pada group dengan rekonstruksi cepat. Tidak

terdapat perbedaan angka insidensi robekan meniscus antara kedua grup. Disimpulkan bahwa tidak

adanya keuntungan dan kelebihan dari penggunaan rekonstruksi cepat pada robekan ACL yang

terisolasi, rekonstruksi cepat juga berhubungan dengan peningkatan angka komplikasi.

Pembedahan Rekonstruksi lambat berhubungan dengan pemulihan yang lebih cepat dari fungsi

pergerakan dan otot (Meighan, Keating and Will, 2003)

Etiologi dari loss of motion multifaktorial, meliputi kombinasi dari faktor mekanik dan

faktor biologis. Faktor risiko mayor meliputi kesalahan teknis selama intra-operatif, keparahan

cedera, waktu operasi, delay rehabilitasi pasca operasi, heterotopic ossification, infeksi, dan

imobilisasi yang lama. Arthrofibrosis mewakili suatu gangguan yang meliputi seluruh

kompartemen dari sendi lutut dan jaringan lunak ekstra articular baik secara lokal dan menyeluruh.

Delay surgery akan memberikan waktu untuk jaringan lunak sembuh, kembali ke kekuatan

normalnya, dan kembali ke range gerak normalnya. Pasien yang menjalani rekonstruksi ACL

dalam 1 minggu menunjukkan peningkatan secara signifikan kejadian arthrofibrosis dibandingkan

yang ditunda 3 minggu. Patofisiologi terjadinya arthrofibrosis dipercaya dipengaruhi oleh

transforming growth factor-β (TGF- β). Adanya cedera menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi

yang akan menginisiasi produksi reactive oxygen species (ROS). Produksi dari ROS akan

menyebabkan pelepasan dari sel mast dan proliferasi Fibroblast Growth Factor (FGF).

15
Gambar 2. Gambar progresi Arthrofibrosis

TGF- β dan growth factor dari platelet lainnya akan menginisiasi kaskade yang

menghasilkan protein matriks ekstraseluler dan protease inhibitor, serta inhibisi produksi enzim

proteolitik. Autoregulasi dari TGF- β menghasilkan mekanisme umpan balik. Overekspresi dari

TGF-β akan menyebabkan deposisi matriks dan fibrosis jaringan sehingga menyebabkan fibrosis.

Respon inflamasi yang berlebihan berkontribusi pada arthrofibrosis yang menyebabkan aktivasi

dan proliferasi sel fibroblas,yang akan memproduksi peningkatan level kolagen tipe VI dan protein

matriks ekstrasel. (Haklar et al., 2015)

16
Gambar 3. Pathogenesis Arthrofibrosis

Pada studi yang dilakukan oleh Skutek dan kolega didapatkan bahwa IL-6 dapat

menyebabkan proliferasi berlebih dari fibroblast dan sel synovial seperti yang terjadi pada

rheumatoid arthritis dan arthrofibrosis. (Skutek et al., 2001) Kemungkinan Arthrofibrosis dapat

dicegah dengan menghindari rekonstruksi pada minggu pertama cedera, dan memulai protokol

rehabilitasi pre-operatif yang tepat. Rekonstruksi dini dari ACL juga mempengaruhi recovery dari

otot kuadrisep. Setelah evaluasi selama 6 bulan, pada pasien dengan delay rekonstruksi ACL

memiliki kekuatan otot 80% dibandingkan dengan early rekonstruksi yaitu 47%. (Paschos and

Howell, 2016)

2.6 Teh Hijau

Produk teh biasanya terbuat dari pucuk muda daun teh (Camellia Sinensis). Daun teh

terbagi menjadi tiga golongan besar berdasarkan tingkat fermentasinya yaitu teh hitam, teh oong,

dan teh hijau. Teh hijau sendiri tidak mengalami fermentasi dan sering dikonsumsi masyarakat

Asia karena memiliki efek stimulant dan antioksidan. (Karlina, 2006)

Teh hijau mengandung banyak komponen biologis aktif seperti saponin, flavonoid,

vitamin, tannin. Polyphenol dalam teh hijau meliputi (–)-epicatechin, (–)-epigallocatechin, (–)-

epicatechin gallate and (–)-epigallocatechin-3 gallate (EGCG) memberikan harapan sebagai

prevensi dari progresivitas osteoarthritis. (Katiyar and Raman, 2011)

Efek antioksidan dari daun teh didapatkan dari derivat katekin EGCG (Epigallocatechin

gallate). EGCG dapat menghambat oksidasi lemak, protein, dan DNA oleh radikal bebas di dalam

17
sel. Kadar rata-rata EGCG dalam daun teh adalah 1,09 pada teh basah dan 4,53% pada daun teh

kering.

Beberapa studi terakhir banyak menyebutkan bahwa teh hijau menunjukkan mekanisme

inhibisi pada mediator inflamasi pada sel model. Sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α dan IL-6

merupakan sitokin utama yang terlibat pada patologi osteoarthritis. Sitokin ini menyebabkan

peningkatan COX-2 dan iNOS. (Jeong et al., 2015)

Publikasi pertama dari kegunaan EGCG sebagai polifenol utama yaitu pada tahun 1985.

Struktur pyrogallol pada cincin B menginduksi apoptosis dan memiliki aktivitas antioksidan yang

tinggi. Galloyl moiety pada cincin D merupakan struktur yang berguna untuk menghambat sintase

asam lemak sehingga berperan melawan sel kanker

Gambar 4. Struktur kimia dari EGCG (Mereles and Hunstein, 2011)

Efek EGCG terhadap ekspresi IL-1β yang diinduksi dari 18 gen terpilih diverifikasi oleh

real time-PCR dan efek pada produksi IL-6, IL-8 dan tumor necrosis-alpha (TNF-α) ditentukan

dengan menggunakan ELISA tertentu. Western Imunoblotting digunakan untuk menganalisis efek

18
EGCG terhadap interleukin-1 receptor-associated kinase 1 (IRAK-1) dan protein TNF receptor-

associated factor 6 (TRAF-6) pada kondrosit IL-1β. Peran nuclear factor kappa-B (NF-κB) dan

mitogen activated protein kinases (MAPKs) dalam pengaturan gen yang dipilih dan mekanisme

yang terlibat dalam modulasi dimediasi EGCG dari gen ini ditentukan dengan menggunakan

inhibitor spesifik untuk NF-κB (MG132) dan MAPKs (p38-MAPK, SB202190; JNKMAPK,

SP600125, ERK-MAPK, PD98059).

Dari 80 protein yang hadir pada array, ekspresi konstitutif dari 14% protein diubah oleh

perlakuan EGCG. Tidak ada efek stimulasi signifikan yang diamati pada protein yang terkait

dengan respon anabolik kartilago. Stimulasi dengan IL-1β meningkatkan ekspresi 29 protein.

Ekspresi semua 29 protein yang diatur oleh IL-1β ditemukan dapat ditekan oleh EGCG. EGCG

juga menghambat ekspresi TRAF-6 perantara pensinyalan pada konsentrasi 50 dan 100 uM (P

<0,05). Hasil penelitian dapat diidentifikasi beberapa target baru EGCG, termasuk epithelial

neutrophil activating peptide-78 (ENA-78), granulocyte macrophage colony stimulation factor

(GM-CSF), growth- related oncogene (GRO), GRO-a, IL-6, IL-8, monocyte chemotactic protein-

1 (MCP-1), MCP-3, macrophage inflammatory protein-1beta (MIP-1β), granulocyte chemotactic

protein-2 (GCP-2), MIP-3alpha, interferon-gammainducible protein-10 (IP-10), nucleosome

assembly protein-2 (NAP-2) dan leukemia inhibitory factor (LIF). Efek penghambatan EGCG

terutama dimediasi dengan menghambat aktivasi NF-κB dan c-Jun N-terminal Kinase (JNK) -

MAPK pada kondrosit manusia. (Akhtar and Haqqi, 2011)

2.7 Pengaruh Teh Hijau terhadap Inflamasi

Studi multipel menunjukkan efek polyphenol dalam teh hijau pada hewan coba tikus

melalui cara oral dengan mencampurkannya dalam minuman. Polyphenol yang dikonsumsi secara

19
oral akan dimetabolisme di usus dan enzim hati. Polyphenol yang diberikan secara oral dapat

mereduksi COX-2 dan TNF-α pada tikus. Pada studi in vitro didapatkan EGCG menghambat IL-

1β dan ekspresi COX-2 serta menghambat produksi NO dan prostaglandin E2 pada kondrosit.

Penghambatan IL-1β berhubungan dengan penghambatan aktivasi NF-κB sehingga menghambat

resorpsi cartilage pada sendi arthritis. (Katiyar and Raman, 2011)

Reduksi dari mediator inflamasi seperti IL-1β dan TNF-α menunjukkan efek protektif

paska cedera ACL. (Norris, Thompson and Getgood, 2012)

Konsentrasi mikromolar dari EGCG efektif menghambat MMP-1 dan MMP-13 pada

kondrosit manusia. Efek inhibisi MMP-1 dan MMP-13 diobservasi pada konsentrasi 100 uM

EGCG. Walaupun konsentrasi EGCG ini tidak bisa didapatkan fisiologis secara oral, tapi

didapatkan secara lokal. Pada studi ini menunjukkan bahwa matrix metalloproteinase yaitu MMP-

13 lebih sensitif memberikan efek inhibisi pada konsentrasi EGCG yang lebih rendah melalui

metode ELISA.

Scoring histomorfologi dari articular cartilage menunjukkan reduksi yang signifikan dari

degradasi cartilage yang mengindikasikan injeksi intraarticular dari polyphenol berikatan dengan

cartilage articular dan membuatnya resisten terhadap degradasi walaupun masih dalam proses

inflamasi. (Ahmed, 2003)

EGCG telah banyak dilaporkan dapat menghambat produksi mediator inflamasi seperti

nitric oxide (NO), prostaglandin E2 (PGE2), Cyclooxygenase-2 (COX-2), induclible nitric oxide

synthase (iNOS) dan IL-8 pada kondrosit manusia in vitro. Studi tersebut juga menunjukkan

EGCG menghambat mRNA dan ekspresi protein dari MMP-1 dan MMP-12 dan supresi IL-1β

melalui reduksi level A disintegrin and metalloproteinase with thrmbospondin motifs 1

(ADAMTS1), ADAMTS4, dan ADAMTS 5. Cathecin dalam teh hijau juga menghambat

20
degradasi proteoglikan dan kolagen tipe 2 pada cartilage manusia dan bovin. Penambahan

polyphenol teh hijau pada air minum mereduksi insiden arthritis yang diinduksi kolagen dan

menurunkan level COX-2 dan TNF-α.

Model yang digunakan dalam percobaan teh hijau yang telah dilakukan adalah tikus

dewasa berumur 5 – 6 bulan yang dilakukan transeksi pada medial meniscotibial ligament

(MMTL) pada ekstrimitas kanan. Segera setelah pembedahan, 100 ul EGCG (25mg/kg) dilarutkan

dalam salin buffer phospat dan diberikan melalui injeksi peritoneal sekali sehari selama 4 dan 8

minggu. Pada minggu 4 dan 8 post pembedahan grup control dan grup terapi diseleksi untuk

analisis. Dosis 25mg/kg dipilih berdasarkan eksperimen respon dosis menggunakan 10mg/kg –

50mg/kg.

Pada pemeriksaan imunohistokimia menunjukkan EGCG menurunkan degradasi kolagen

tipe 2 pada matriks cartilage artikular. Pada studi in vitro ini didapatkan bukti bahwa EGCG

menyebabkan erosi cartilage yang lebih sedikit dan kehilangan proteoglikan yang lebih sedikit,

peningkatan jumlah kolagen tipe 2 dan aggrecan yang bertahan, serta penurunan level MMP-13

dan ADAMTS 5. (Leong et al., 2014)

EGCG menghambat ekspresi iNOS yang diinduksi IL-1β, dan produksi NO melalui

inhibisi aktivasi dari NF-κB pada kondrosit. EGCG juga menginhibisi produksi dari prostaglandin

E2 (PGE2) melalui blok aktivitas COX-2 pada kondrosit manusia. Demonstrasi oleh Rasheed dan

kolega menyimpulkan EGCG tidak toksik terhadap kondrosit manusia dan memiliki efek inhibisi

terhadap ekspresi TNF-α dan MMP-13 melalui supresi p38-MAPK dan aktivasi JNK. EGCG juga

menghambat aktivitas phosporilasi dari IKKβ kinase dan menghambat aktivitas pengikatan DNA

oleh NF-κB melalui supresi degradasi protein inhibisi IκBα pada sitoplasma. Studi investigator

lain juga menyebutkan EGCG menghambat degradasi kolagen tipe 2 dan proteoglycan cartilage

21
serta inhibisi selektif pada A disintegrin dan metalloproteinase dengan thrombospondin motifs

(ADAMTS)1, (ADAMTS)4. Dan (ADAMTS)5. (Rasheed, 2006)

EGCG berfungsi sebagai antioksidan yang kuat, mencegah kerusakan oksidatif pada sel

sehat, agen antiangiogenic dan antitumor, serta sebagai modulator respon sel tumor pada

kemoterapi. EGCG adalah cathechin mayor pada teh hijau dan memiliki jumlah 50%-80% pada

200-300 mg/brewed cup teh hijau. EGCG juga didemonstasikan telah memiliki benefit pada

diabetes, Parkinson, Alzheimers, stroke, dan obesitas. (Singh, Shankar and Srivastava, 2011)

Fibroblas adalah sel yang bertanggung jawab untuk produksi kolagen, diferensiasi menjadi

myofibroblas dan remodeling matriks ekstrasel melalui produksi MMPs. Pada studi yang

dilakukan oleh Klass dan kolega menyimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara fibroblast

yang diberikan TGF-β1 saja dengan fibroblast yang diberikan TGF-β1 dan EGCG. Tapi pada

waktu yang berbeda setelahnya, menunjukkan EGCG secara statistik menurunkan diferensiasi

fibroblas menjadi myofibroblas. (Klass et al., 2010)

Pada studi yang dilakukan oleh Hung, EGCG dapat mempengaruhi adhesi dan migrasi

fibroblast ke beberapa matriks protein. EGCG secara signifikan dapat menginhibisi adhesi

fibroblast ke kolagen, fibronectin, dan fibrinogen. Efek inhibisi dari EGCG berhubungan dengan

interaksi integrin α2β1 dengan kolagen tipe I kemungkinan berhubungan dengan penurunan kadar

H2O2. (Hung et al., 2005)

IL-6 merupakan sitokin yang memiliki beberapa kemampuan untuk immuniregulasi,

mediasi fase akut, dan metabolism tulang. Pada studi binatang defisiensi IL-6 akan menyebabkan

resisten terhadap arthritis. Walaupun memiliki peran yang penting, overproduksi disregulasi dari

IL-6 bertanggung jawab terhadap kejadian inflamasi. Pada studi oleh Ahmed, konsentrasi dari IL-

6 pada serum mencapai puncaknya pada hari ke-16 dan koinsidensi dengan kerusakan yang terjadi

22
pada sendi. EGCG memiliki efek inhibisi terhadap level IL-6 serum dan pada homogeny sendi.

Penurunan IL-1β juga terjadi tapi hanya pada sendi. Sebaliknya TNF-α tetap tidak berubah dengan

pemberian EGCG. (Ahmed et al., 2008)

23

Anda mungkin juga menyukai