Anda di halaman 1dari 19

SEMINAR KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN CONGHESTIF HEART FAILURE (CHF)


PADA Ny.S DI UNIT INSTALASI GAWAT DARURAT RS ISLAM
GONDANGLEGI

Oleh :

KELOMPOK 14

1. Siti Auliya Ulfah (17.30.054)


2. Fajar Isdiyanto (17.30.028)
3. Kiki Putri Nirwana (17.30.034)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TA 2017/2018
LEMBAR PENGESAHAN SEMINAR

ASUHAN KEPERAWATAN CONGHESTIF HEART FAILURE (CHF)


PADA NY.S DI UNIT INSTALASI GAWAT DARURAT RS ISLAM
GONDANGLEGI
Tanggal,……………………………………

Oleh :
Mahasiswa Profesi Ners STIKes Kepanjen

Anggota :

1. Siti Auliya Ulfah (17.30.054)


2. Fajar Isdiyanto (17.30.028)
3. Kiki Putri Nirwana (17.30.034)

Malang,…………………………….

Mengetahui,

Pembimbing Institusi Pembimbing Lahan

(……….…………………) (……………..…….………)
PROPOSAL PELAKSANAAN KEGIATAN
SEMINAR
A. Latar Belakang Kegiatan
Penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan salah satu
masalah kesehatan utama di negara maju maupun berkembang. Penyakit
ini menjadi penyebab nomor satu kematian di dunia dengan diperkirakan
akan terus meningkat hingga mencapai 23,3 juta pada tahun 2030 (Yancy,
2013; Depkes, 2014). Masalah tersebut juga menjadi masalah kesehatan
yang progresif dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi di
Indonesia (Perhimpunan Dokter Kardiovaskuler, 2015). Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes RI Tahun 2013, prevalensi
penyakit gagal jantung di Indonesia mencapai 0,13% dan yang
terdiagnosis dokter sebesar 0,3% dari total penduduk berusia 18 tahun ke
atas.
Tanda dan gejala yang muncul pada pasien CHF antara lain
dyspnea, fatigue dan gelisah. Dyspnea merupakan gejala yang paling
sering dirasakan oleh penderita CHF. Hasil wawancara dengan 8 oran
pasien di rumah sakit menyatakan bahwa 80% pasien menyatakan bahwa
dyspnea mengganggu mereka seperti aktivitas sehari-hari menjadi
terganggu. CHF mengakibatkan kegagalan fungsi pulmonal sehingga
terjadi penimbunan cairan di alveoli. Hal ini menyebabkan jantung tidak
dapat berfungsi dengan maksimal dalam memompa darah. Dampak lain
yang muncul adalah perubahan yang terjadi pada otot-otot respiratori. Hal-
hal tersebut mengakibatkan suplai oksigen ke seluruh tubuh terganggu
sehingga terjadi dyspnea (Johnson, 2008;Wendy, 2010).
Atas dasar beberapa permasalahan ini banyaknya kasus CHF di
IGD RSI Gondanglegi sebanyak …%, kami ingin membahas mengenai
apa itu CHF,. Dan asuhan keperawatan pada pasien CHF
B. Nama Kegiatan
Seminar Kasus Tentang ASKEP CHF

C. Tema Kegiatan
“Asuhan Keperawatan Conghestif Heart Failure Pada Ny.S Di
UGD RS Islam Gondanglegi”

D. Tujuan Pelaksanaan Kegiatan


1. Untuk mengatahui apa itu CHF, penyebab, tanda gejala, pemeriksaan
hingga komplikasi yang timbul.
2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan kepada pasien yang
mengalami gangguan gagal jantung.

E. Petugas
1. Pemateri : Fajar Isdiyanto
2. Moderator : Siti Auliya Ulfah
3. Notulen : Kiki Putri Nirwana
4.
F. Bentuk Kegiatan
Adapun bentuk kegiatan yang akan dijalankan yaitu seminar dan
tanya jawab

G. Waktu dan Tempat


Hari, tanggal :
Waktu :
Tempat :

H. Peserta Kegiatan
1. Pembimbing Institusi :
2. Pembimbing Lahan :

I. Materi, Jurnal dan ASKEP Terlampir


J. Daftar Pustaka
Amin dan Hardhi “Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Medis dan
NANDA NIC-NOC”Jilid-1 : 2013
Ardini, Desta N. 2015. Perbedaaan Etiologi Gagal jantung Kongestif pada
Usia Lanjut dengan Usia Dewasa Di Rumah Sakit Dr. Kariadi
Januari - Desember 2015. Semarang: UNDIP
Herdman Heather. Alih Bahasa Made dan Nike “Diagnosis Keperawatan
Definisi dan Klasifikasi 2012-2014” Jakarta : EGC.2012
Udjianti, Wajan J. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba
medic
Novita Nirmalasari. 2017. Deep Breathing Exercise Dan Active Range Of
Motion Efektif Menurunkan Dyspnea Pada Pasien Congestive Heart
Failure. Yogyakarta : 2 Nopember 2017
LAMPIRAN
MATERI CHF

A. PENGERTIAN
Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu kondisi dimana jantung
mengalami kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan
sel-sel tubuh akan nutrien dan oksigen secara adekuat. Hal ini mengakibatkan
peregangan ruang jantung (dilatasi) guna menampung darah lebih banyak
untuk dipompakan ke seluruh tubuh atau mengakibatkan otot jantung kaku
dan menebal. Jantung hanya mampu memompa darah untuk waktu yang
singkat dan dinding otot jantung yang melemah tidak mampu memompa
dengan kuat. Sebagai akibatnya, ginjal sering merespons dengan menahan air
dan garam. Hal ini akan mengakibatkan bendungan cairan dalam beberapa
organ tubuh seperti tangan, kaki, paru, atau organ lainnya sehingga tubuh
klien menjadi bengkak (congestive) (Udjianti, 2010).
Gagal jantung adalah sindrom klinik (sekumpulan tanda dan gejala)
ditandai oleh sesak nafas yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi
jantung. Gagal jantung dapat disebabkan oleh gangguan yang mengakibatkan
terjadinya pengurangan pengisian ventrikel (disfungsi diastolic) atau
kontraktilitas miokardial/disfungsi sistolik (Amin dan Hardhi, 2013)
Gagal jantung adalah sindrom klinik dengan abnormalitas dari struktur
atau fungsi jantung sehingga mengakibatkan ketidakmampuan jantung untuk
memompa darah ke jaringan dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh
(Darmojo,2010 dalam Ardini 2015).

B. ETIOLOGI
1. Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung,
disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari
penyebab kelainan fungsi otot jantung mencakup ateroslerosis koroner,
hipertensi arterial dan penyakit degeneratif atau inflamasi
2. Aterosklerosis Koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran
darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan
asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya
mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit
miokardium degeneratif berhubungan dengan gagal jantung karena
kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung menyebabkan
kontraktilitas menurun.

3. Hipertensi Sistemik atau pulmunal (peningkatan after load)

Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya


mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung.

4. Peradangan dan penyakit myocardium degeneratif, berhubungan dengan


gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung,
menyebabkan kontraktilitas menurun.

5. Penyakit jantung lain, terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang


sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme
biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung
(stenosis katub semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah
(tamponade, pericardium, perikarditif konstriktif atau stenosis AV),
peningkatan mendadak after load

6. Faktor sistemik

Terdapat sejumlah besar factor yang berperan dalam


perkembangan dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju
metabolisme (missal : demam, tirotoksikosis). Hipoksia dan anemi juga
dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik atau
metabolic dan abnormalita elektronik dapat menurunkan kontraktilitas
jantung.
C. KLASIFIKASI
1) Klasifikasi menurut gejala dan intensitas gejala (Morton 2012) :
1. Gagal Jantung Akut
Timbulnya secara mendadak, biasanya selama beberapa hari atau
beberapa jam. Secara garis besar sama dengan gagal jantung kiri dan
disebabkan oleh kegagalan mempertahankan curah jantung yang
terjadi mendadak. Tidak terdapat cukup waktu untuk terjadinya
mekanisme kompensasi dan gambaran klinisnya didominasi oleh
edema paru
2. Gagal Jantung Kronik
Perkembangan gejala selama beberapa bulan sampai beberapa
tahun dan menggambarkan keterbatasan kehidupan sehari-hari. Secara
garis besar sama dengan gagal jantung kanan. Curah jantung menurun
secara bertahap. Gejala dan tanda tidak terlalu jelas dan di dominasi
oleh gambaran yang menunjukkan mekanisme kompensasi. Yang
membingungkan, sering terjadi gagal jantung kiri dan kanan
seklaigus. Biasanya, karena gagal jantung kiri kronis, menyebabkan
hipertensi pulmonal sekunder dan gagal jantung kanan.
2) Klasifikasi Menurut Letaknya (Amin dan Hardhi, 2013)
a. Gagl jantung kiri merupakan kegagalan ventrikel kiri untuk mrngisi
atau mengkosongkan dengan benar dan dapat lebih lanjut
diklasifikasikan menjadi disfungsi sitolik dan diastolic.
b. Gagal jantung kanan merupakan kegagalan ventrikel kanan untuk
memompa secara adekuat. Gagal jantung kanan dapat juga disebabkan
oleh penyakit paru dan hipertensi arteri pulmonal primer
Sedangkan menurut derajat sakitnya :

Derajat 1 Tanpa keluhan masih bisa melakukan aktifitas fisik sehari-


hari tanpa disertai kelelahan ataupun sesak nafas

Derajat 2 Ringan-aktifitas ringan menyebabkan kelelahan atau sesak


nafas, tetapi jika aktifitas ini dihentikan maka keluhan hilang

Derajat 3 Sedang-aktifitas fisik sedang menyebabkan kelelahan atau


sesak nafas, tetapi keluhan akan hilang jika aktifitas
dihentikan

Derajat 4 Berat-tidak dapat melakukan aktifitas fisik sehari-hari,


bahkan saat istirahatpun keluhan tetap ada dan semakin berat
jika melakukan aktifitas walaupun yang ringan

D. PATOFISIOLOGIS
Frekuensi jantung adalah fungsi sistem syaraf otonom. Bila curah
jantung berkurang, sistem syaraf simpatis akan mempercepat frekuensi
jantung untuk mempertahankan curah jantung. Bila mekanisme kompensasi
ini gagal untuk mepertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka volume
sekucup jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan
curah jantung (Amin dan Hardhi 2013)
Tetapi pada gagal jantung dengan masalah utama kerusakan dan
kekakuan serabut otot jantung, volume sekucup berkurang dan curah jantung
normal masih dipertahankan. Volume sekucup, jumlah darah yang
dipompakan setiap kontraksi tergantung pada tiga faktor :
1. Preload, jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung dengan
tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabur jantung.
Volume darah ventrikel pada akhir diastole, kontraksi jantung menjadi
kurang efektif apabila volume ventrikel sudah melampaui batasnya.
Meningkatnya preload dapat diakibatkan oleh regurgitasi aorta atau mitral.
2. Kontraktilitas, mengacu pada perubahan kontraksi atau kekuatan
kontraksi yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan
panjang serabut jantung dan kadar kalsium.
3. Afterload, adalah kekuatan yang harus di keluarkan jantung untuk
memompa darah keseluruh tubuh. Meningkatnya afterload dapat
diakibatkan oleh stenosis aorta, stenosis pulmonal, hipertensi sistemis dan
hipertensi pulmonal. Penyakit jantung hipertensif adalah perubahan pada
jantung sebagai akibat dari hipertensi yang berlangsung terus menerus dan
meningkatkan afterload jantung. Jantung mrmbrsar sebagai kompensasi
terhadap beban jantung dapat terjadi.

Gagal jantung merupakan sindrom, walaupun penyebabnya berbeda.


Namun, bila memiliki gejala, tanda dan patofisiologi yang sama. Curah
jantung ya ng tidak adekuat menstimulasi mekanisme kompensasi yang mirip
dengan respons terhadap hipovolemia. Walaupun awalnya bermanfaat, pada
akhirnya mekanisme ini menjadi maladaptive :

1. Aktifitas Neurohormonal
Terjadi dengan peningkatan vasokontriksi (rennin, angiotensin 2,
katekolamin) yang memicu retensi garam dan air serta meningkatkan
beban akhir (afterload) jantung. Hal tersebut mengurangi
pencegahanventrikel kiri dan menurunkan curah jantung, yang
menyebabkan aktivitas neuroendokrin yang lebih hebat, sehingga
meningkatkan afterload dan seterusnya.
2. Dilatasi Ventrikel
Terganggunya sistem sistolik (penurunan fraksi ejeksi) dan retensi
cairan meningkatkan volume ventrikel (dilatasi), jantung yang berdilatasi
tidak efisien secara mekanis. Jika persediaan energy terbatas (misalnya
pada penyakit koroner), selanjutnya bisa menyebabkan gangguan
kontraktilitas dan aktivitas neuroendokrin.
E. MANIFESTASIKLINIS
1. Gagal Jantung Kiri
Sesak napas diperberat bila berbaring (ortopnea), terutama pada malam
hari atau tengah malam (dispnea nocturnal proksimal). Tanda yang
muncul diantaranya adalah :
a. Takipnea
b. Takikardi
c. Terdengar bunyi jantung ketiga
d. Ronki paru saat inspirasi
e. Kenaikan tekanan vena jugularis
f. Edema perifer bisa ridak ada
2. Gagal Jantung kanan
Retensi cairan pada rungkai, pada kasus yang berat bisa terjasi
asites. Tanda-tanda yang ditemukan adalah kenaikan tekanan vena
jugularis dan edema perifer yang biasanya merupakan pitting edema,
hepatomegali, anoreksia dan mual, nokturia dan lemah.
Pitting edema adalah edema yang akan tetap cekung bahkan setelah
penekanan ringan dengan ujung jari.
Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen
terjadi karena pembesaran vena di hepar. Bila proses berkembang, maka
tekanaan dalam pembuluh portal meningkat sehingga cairan terdorong
keluar rongga abdomen, suatu kondisi yang dinamakan asites.
Pengumpulan cairan dalam rongga abdomen ini dapat menyebabkan
tekanan pada diafragma dan distress pernapasan.
Anoreksia (hilangnya selera makan) dan mual terjadi akibat
pembesaran vena dan statis vena di dalam rongga abdomen.
Lemah yang menyertai gagal jantung sisi kanan disesbabkan
menurunkan curah jantung, gangguan sirkulasi dan pembuangan
produksampah katabolisme yang tidak adekuat dengan jaringan.
3. Gagal Jantung Kronis
Yang berlangsung lama terjadi pembesaran jantung (kardiomegali dan
regurgitasi mitral/tricuspid sekunder). Penurunan otot skelet, bisa
subtansial dan menyebabkan fatigue, kelelahan dan kelemahan. Tingkat
berat penyakit ditentukan oleh klasifikasi dari New York Heart
Association/NYHA (Herdman, 2012)
KELAS NYHA TANDA GEJALA
Tidak ada
I
Pada aktifitas berat
II
Pada aktifitas sedang
III
Saat istirahat
IV

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dilakukan untuk menemukan penyebab, menilai beratnya penyakit dan
memantau pengobatan (Herdman 2012) :
1. Ekokardiografi : teknik esensial yang sederhana dan non invasive dalam
menegakkan diagnosis etiologi, keparahan dan menyingkirkan katup
jantung yang penting.
2. EKG : gambaran yang normal sangat jarang dijumpai pada CHF, aritmia
misalnya fibrilasi atrium
3. Foto Thoraks : pembesaran jantung, kongesti paru atau edema paru
4. Biokimiawi : elektrolit, fumgsi ginjal dan hematologi.
5. Scan Isotop Nuklir : bermanfaat untuk pengukuran fraksi ejeksi yang
akurat atau miokardium yang tidak berfungsi (otot jantung masih, namun
tidak berkontraksi akibat stenosis koroner yang hebat pada arteri yang
member nutrisi yang akan berkontraksi bila aliran darah membaik
misalnya dengan angioplasty transluminal perkutan atau cangkok bypass
arteri koroner)
6. Keteterisasi Jantung : pada semua gagal jantung yang penyebabnya
tidak diketahui untuk menyingkirkan penyakit jantung koroner kritis atau
untuk menilai keparahan penyakit jantung koroner dan pilihan
pengobatan pada mereka yang memiliki riwayat penyakit jantung
sistemik
7. Pencatan EKG 24 jam : untuk menilai adanya aritmia

G. PENATALAKSANAN\
Penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung sebagai berikut :
1. Dukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung
2. Meningkatkan kekuatan dan efiseinsi jantung dengan bahan-bahan
farmakologis
3. Menghilangkan penimbunan cairan tubuh berlebih dengan terapi diuretic
dan istirahat.
Terapi farmakologis (glikosida jantung, diuretic dan vasolodator),
berikut cara kerja dan pengawasan perawat yang diperlukan saat
pemberian obat tersebut :
a. Digitas
Meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan memperlambat
frekuensi jantung. Ada beberapa efek yang dihasilakn : peningkatan
curah penurunan tekanan vena dan volume darah dan peningkatan
dieresis yang mengeluarkan cairan dan mengurangi edema. Digitalis
lengkap atau dosis lengkap diberikan untuk menginduksi efek terapi
penuh obat ini. Biasanya diberikan pada gagal jantung yang berat.
b. Terapi Diuretik
Diuretic diberikan untuk memacu ekspresi natrium dan air melalui
ginjal. Obat ini tidak diperlukan bila pasien bersedia merespon
pembatasan aktivitas, digitalis dan diit rendah natrium.
1. Bila diuretic diberikan atau diresepkan, maka harus diberikan
pada pagi hari sehingga diurelis yang terjadi tidak mengganggu
istirahat pasien di malam hari.
2. Asupan dan haluaran cairan harus dicatat, karena pasien mungkin
menglami kehilangan sejumlah besar cairan setelah pemberian
satu dosis diuretic
3. Sebagai dasar untuk mengevaluasi efektifitas terapi, maka pasien
yang mendapat diuretic harus ditimbang setiap hari pada waktu
yang sama. Selain itu, turgor kulit dan selaput lender harus dikaji
akan adanya tanda-tanda dehidrasi atau edema, denyut nadi juga
harus dipantau.
c. Terapi Vasolidator
Obat-obat vasoaktif merupakan pengobatan utama pada
penatalaksanaan gagal jantung. Obat-obat vasolidator telah lama
digunakan untuk mengurangi impedansi (tekanan) terhadap
penyemburan darah oleh ventrikel. Obat-obat ini memperbaiki
pengosongan ventrikel dan peningkatan kapasitas vena, sehingga
tekanan pengisian ventrikel kiri dapat diturunkan dan dapat dicapai
penurunan dramatis kengesti paru dengan cepat.
Natrium nitroposida dapat diberikan secara intravena melalui
infuse yang dipantau ketat. Dosisnya harus dititrasi agar tekanan sistol
aterial tetap dalam batas yang diinginkan dan pasien dipantau dengan
mengukur tekanan arteri pulmonalis dan curah jantung, vasodilatasi
lain yang sering digunakan adalan “nitrogliserin”.
LAMPIRAN

PEMBAHASAN KASUS CHF

Berdasarkan temuan kasus CHF di IGD RS Islam Gondanglegi, penulis


ingin menguraikan tentang upaya penatalaksanaan pola nafas tidak efektif pada
pasien congestive heart failure pada tanggal 30 April 2018, penulis akan
membahas tentang resume pengkajian, pemeriksaan ABCDE, analisa data,
diangnosa prioritas, intervensi, implementasi dan evaluasi.

Pasien bernama Ny.S berumur 85 tahun beragama islam. Anak pasien


mengatakan jika Selama 7 hari Ny.S sesak nafas, kemudia Ny.S dibelikan obat di
warung tetapi tidak kunjung sembuh. Kemudian pada hari ke 8 tepatnya tanggal
30 April 2018 pukul 09.30 WIB Ny.S dibawa ke IGD RS Islam Gondanglegi,
karena anak pasien mengeluhkan jika sejak pagi Ny.S sesaknya ngongsrong dan
Ny.S sempat tidak sadarkan diri di rumah. Setiba di IGD Ny.S mengalami
penurunan kesadaran 3,4,5 dan pasien langsung ditaruh di P2. Diperiksa vital sign
dan tekanan darah 161/121 mmHg, suhu 36,9 oC, nadi 83 x/m, dan respirasi 30
kali/menit, akral keringat dingin, SPO2 91 %. Saat di IGD keadaan pasien
menutup mulutnya rapat dan menggigit giginya, pasien gelisah dan pasien masih
menghindari rangsangan, dan kata-kata pasien tidak bisa dimengerti. Tidak ada
lesi, ada oedem di kaki, rambut beruban, konjungtiva anemis, terdapat pernapasan
cuping hidung, pernafasan dalam, saat diauskultasi terdapat bungi mengi atau
wheecing.

Kemudian pasien dilakukan tindakan meposiskan semifowler, memasang


infuse Ns 20 tpm, Nebulezer farbivent, injeksi furosemid 40mg, pemasangan
kateter, dan pemasangan NRBM 12Lpm untuk memenuhi kebutuhan oksigenasi
pasien.

A. Pengkajian
Keluhan yang biasanya muncul pada pasien dengan gagal jantung
kongesif adalah munculnya edema di bagian tubuh terutama kaki dan bagian
sakrum,dypsneu atau sesak nafas karna terganggunya pertukaran oksigen dan
karbondioksida dalam alveoli yang berisi cairan, ortopneu yaitu kesulitan
bernafas apabila berbaring telentang, batuk produktif dengan banyak sputum
berbuih, kelelahan disebabkan oleh otot-otot yang tidak menerima cukup
darah karna curah jantung yang kurang, anorexia (Baradero, Dayrit, dan
Siswadi, 2008). Pada Ny.S muncul masalah RR 30kali/menit, kelelahan dan
oedem di kedua kaki.
B. Diagnosa
Diagnosa yang muncul pada Ny.S adalah ketidakefektifan pola nafas b/d
hiperventilasi (Nanda, 2015-2017). Dengan data penunjang pasien menutup
mulut rapat dan menggigit giginya dan kesadaran Ny.S menurun saat tiba di
IGD RS islam Gondanglegi GCS 3,4,5 (, RR : 30 kali/menit, Suhu 36,9 oc,
tekanan darah 161/121 mmHg, SPO2 91%., dan keluarga juga mengatakan
sesak mulai tadi pagi memberat dan Ny.S sempat ridak sadarkan diri di
rumah.
C. Rencana Keperawatan
Dalam kasus ini penulis merencanakan tindakan berdasarkan buku Nanda
(2015-2017), dengan intervensi terapi oksigen NRBM yang tujuannya untuk
membantu memenuhi kebutuhan oksigen dakam tubuh (Nugroho, 2016),
memposisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi dengan posisi semi
fowler dan menggunakan nebulizer unuk melonggarkan pernafasan.
Pemantauan EKG untuk mengetahui ada tidaknya kelainan sistem kelistrikan
jantung. Auskultasi suara nafas, memonitoring respirasi dan status O2,
monitor TTV, dan berkolaborasi dengan dokter untuk terapi farmakologis.
D. Implementasi
Implementasi yang dilakukan kepada Ny.S pada pukul 09.35-09.42 WIB,
melakukan terapi oksigen, memposisikan pasien untuk memaksimalkan
ventilasi atur posisi semi fowler dan pemberian nebulizer untuk melonggarkan
pernafasan, mengauskultasi suara nafas tambahan, pemasangan infuse Ns 20
tpm, pemasangan NRBM 12 Lpm, pemeriksaan EKG, Pemasangan kateter,
dan injeksi furosemid 40 mg sesuai anjuran dokter untuk membuang cairan
berlebih dalam tubuh.
E. Evaluasi
Dalam kasus ini, tindakan untuk pemenuhan kebutuhan oksigen pada Ny.S
kurang mencapai tujuan. Keluarga Ny.S mengatakan kalau Ny.S gelisah dan
masih sesak, tekanan darah 158/120 mmHg, suhu 36,7 oC, RR 28 kali/menit,
SPO2 90%. Masalah belum teratasi pada pukul 09.48 WIB Ny.S dirawat
inapkan di Ruang Instalasi Care Unir RS Islam Gondanglegi, intervensi
dilanjutkan obsevasi TTV, observasi pola nafas dan monitoring adanya tanda-
tanda hipoventilasi.
LAMPIRAN

ANALISA JURNAL

1. Analisis Pengaruh Sudut Posisi Tidur Terhadap Kualitas Tidur dan


Tanda Vital Pada Pasien Gagal jantung Di Ruang Rawat RSUP
Dr.Hasan Sadikin Bandung
(Ritha dan Melani 2016, STIKes Jenderal A.Yani Cimahi)
Aktivitas intervensi keperawatan yang dilakukan untuk pasien gagal
jantung diantaranya menempatkan tempat tidur yang terapeutik, mendorong
pasien meliputi perubahan posisi, memonitor status oksigen sebelum dan
sesudah perubahan posisi, tempatkan dalam posisi terapeutik, posisikan
pasien dalam kondisi body alignment, posisikan untuk mengurangi dyspnea
seperti posisi semi-fowler, tinggikan 20˚ atau lebih di atas jantung untuk
memperbaiki aliran balik.
Salah satu faktor yang berhubungan dengan gangguan tidur pada pasien
dengan gagal jantung adalah ketidakmampuan untuk mengambil posisi
tidur yang disukai karena nocturnal dyspnea (Wilkinson ,2007). Tindakan
keperawatan yang tepat dapat mengatasi gangguan tidur jangka pendek
dan panjang. Tindakan perawat Nursing Diagnosis Handbook with
NIC Interventions and NOC Outcomes menjelaskan terapi keperawatan
positioning dengan posisi tidur semi-fowler untuk mengatasi gangguan
tidur pada pasien gagal jantung karena sesak napas.
Tujuan dari tindakan memberikan posisi tidur adalah untuk menurunkan
konsumsi oksigen dan meningkatkan ekspansi paru yang maksimal, serta
untuk mengatasi kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan
perubahan membran kapiler alveolus (Amin dan Hardhi, 2013). Memperoleh
kualitas tidur terbaik adalah penting untuk peningkatan kesehatan yang baik
dan pemulihan pasien yang sakit.
2. DEEP BREATHING EXERCISE dan ACTIVE RANGE OF MATION
EFEKTIF MENURUNKAN DYSPNEA PADA PASIEN CONGESTIVE
HEART FAILURE
(Novita, 2017Prodi Ners STIKes Jenderal Achmad Yani Yogyakarta)
Dsypnea merupakan manifestasi klinis congestive heart failure (CHF) akibat
kurangnya suplai oksigen karena penimbunan cairan di alveoli. Merupakan faktor
penting yang memengaruhi kualitas hidup pasien. Penimbunan tersebut membuat
jantung tidak mampu memompa darah dengan maksimal. Dampak perubahan terjadi
peningkatan sensasi dyspnea pada otot respiratori. Penatalaksanaan non farmakologi
berupa tindakan bertujuan menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat
memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung.
Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh deep breathing exercise dan active range
of motion terhadap dyspnea pada pasien CHF. Penelitian menggunakan desain quasi
experimental pre-post test dengan kelompok kontrol melibatkan 32 responden
dengan teknik stratified random sampling.
Alat ukur penelitian menggunakan modified Borg scale. Intervensi dengan
memberikan deep breathing exercise sebanyak 30 kali dilanjut dengan active range
of motion masingmasing gerakan 5 kali. Intervensi sebanyak 3 kali sehari selama 3
hari. Waktu penelitian bulan April-Juni 2017 di RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta dan RS PKU Muhammadiyah Gamping. Analisis data menggunakan
paired t-test menunjukkan p<0,001 pada kelompok intervensi dan p=0,001 pada
kelompok kontrol. Analisis dengan Mann Withney menunjukkan hasil intervensi
deep breathing exercise dan active range of motion lebih efektif daripada intervensi
standar rumah sakit atau semi fowler dalam menurunkan dyspnea (p=0,004,
alfa=0,05). Peneliti merekomendasikan penerapan deep breathing exercise dan
active range of motion sebagai bentuk pilihan intervensi dalam fase inpatient untuk
mengurangi dyspnea pada pasien CHF.

Anda mungkin juga menyukai