Anda di halaman 1dari 5

HI TIMUR TENGAH Nama : Ika Prastia Lutfianti

Final Exam Essay NPM : 170210110108

“Revolusi Mesir dan Tekhnologi” Kelas : B

Wilayah Timur Tengah mencakup barat daya Asia dan Mesir, hal tersebut yang diakui
khususnya oleh perspektif Barat. Namun yang saya ketahui malah belakangan ini istilah
Timur Tengah telah diperluas, dengan memasukkan Afghanistan dan Pakistan di
Kaukasus dan Asia Tengah, serta Afrika Utara, hanya saja dalam beberapa konteks.
Juga sering digunakan sebagai sinonim dari Timur Dekat, oposisi terhadap Timur Jauh.
Timur Tengah yang dikenal sebagai satu dari sekian banyak trouble spot di dunia
memang terbukti layak mendapatkan predikat tersebut. Diantaranya mulai dari konflik
internal sebuah negara, konflik antar negara di kawasan tersebut hingga keterlibatan
pihak asing atau negara-negara luar (yang memiliki kepentingan) dalam konflik. Dan
herannya setiap konflik maupun sekedar persoalan yang terjadi di kawasan tersebut
sering menjadi isu internasional yang realitanya sulit dalam pencarian solusinya. Salah
satunya adalah konflik Arab – Israel, konflik tersebut telah berkepanjangan di Timur
Tengah di mana tidak hanya Palestina yang terkait dengan masalahnya, namun Negara-
negara Arab lainnya pun terlibat di dalamnya. Optimisme terkait bentuk penyelesaian
konflik di Timur Tengah, khususnya konflik Arab-Israel ini belum menemukan titik
akhirnya, dengan kata lain belum sepenuhnya terselesaikan hingga saat ini.

Kehidupan politik suatu Negara terlebih lagi sebuah kawasan memang sudah
sewajarnya mengalami pasang surut, baik diantaranya dengan isu-isu politik, militer,
ekonomi, dan budaya dalam bentuk kerjasama maupun konflik. Dalam konteks konflik,
bahkan faktor penguasa pun sangat besar pengaruhnya. Hal inilah yang menjadi salah
satu faktor yang membuat beberapa negara di Timur Tengah mengalami pergolakan
politik. Berikut ulasan mengenai beberapa faktor penyebab pergolakan:
Pemimpin Diktator : Negara-negara Timur Tengah yang menganut sistem politik “a-
demokrasi” (untuk tidak menyebut “totaliter”, “otoriter” atau “dictator”) pada
umumnya meraih kekuasaan melalui alternatif, karena warisan (monarki) atau kudeta
militer.1 Tidak dapat dipungkir bahwa mereka (Negara) yang memiliki pemimpin yang
cenderung diktator memberikan dampak yang cukup besar dan memicu adanya
pemberontakan. Meskipun biasanya kepemimpinan model ini biasanya bisa
“membungkam” warga negaranya dengan segala otoritasnya yang tinggi, seperti yang
sempat dialami Indonesia ketika kepemimpinan presiden Soeharto. Namun ketika warga
Negara sudah lelah dan merasa tidak dianggap dengan tidak bisa sepenuhnya
berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara, memicu adanya dorongan dari entitas atau
kelompok masyarakat tertentu yang kecewa akan hal tersebut. Dan biasanya mereka
akan secara radikal menyuarakan aspirasinya ketika tidak mendapat respon yang
diinginkan melalui cara yang formal dan legal. Seperti yang dilakukan oleh Mesir,
Libya, Irak dan Tunisia.

Ideologi Agama & Politik: Perkembangan politik keagamaan di Timur Tengah diwarnai
dengan gejala konflik baik dari tingkat konstruktif hingga tingkat destruktif. Bahkan
mazhab besar Islam yakni Sunni dan Syi’ah sebagai sebuah ideologi keagamaan, pada
abad 20an memicu adanya konflik. Tradisi konflik Sunni Dan Syi’ah sebenarnya sudah
terjadi pasca nabi Muhammad SAW meninggal dunia.2 Konflik Sunni – Syi’ah ini juga
dialami oleh beberapa negara seperti Iraq, Iran, Arab Saudi dan Libanon. Ada yang
berupa peminggiran kelompok Syi’ah terutama di Iraq, Arab Saudi dan ada pula
peminggiran kepada kelompok Sunni terutam di Iran, atau di bentuk rotasi kekuasaan
yang dilakukan di Libanon dimana kelompok keagamaan satu sama lain saling
membangun aliansi politik.3

Konflik Antar Masyarakat : Banyak terjadi di Negara atau wilayah yang mengalami
eskalasi konflik yang sangat tinggi. Artinya, jika suatu negara dalam kenyataannya

1
Sihbudi, M. Riza. Timur Tengah, Dunia Islam, Dan Hegemoni Amerika. Jakarta: Pustaka Hidayah,
1993. Hlm. 124
2
Suwandono. Ahmadi Sidiq, Resolusi Konflik Di Dunia Islam. Yogyakarta: Graham Ilmu, 2011, Hlm.
131
3
Ibid.
memang rawan terjadi konflik maka efek spiralnya turun langsung ke masyarakat.
Diantaranya kasus yang mengemuka terjadi di Palestina , Iraq maupun di Israel.

Masuk kepada poin yang ingin dibahas dalam essay ini yakni Negara Mesir. Evolusi
baik struktur maupun budaya politik Mesir modern secara umum serupa dengan apa
yang dialami negara Turki. Berawal dari reformasi pemerintahan, Mesir modern cukup
sering mengalami pergulatan politik yang berkepanjangan dan bertahap, dan dalam
perkembangannya, evolusi ini sempat terganggu oleh adanya Inggris yang menduduki
Mesir dalam kurun waktu tertentu yakni sekitar 1882-1952. Hingga tahun 2013,
terhitung sudah tiga kali adanya revolusi di Mesir. Dan ketiganya disebabkan adanya
ketidakstabilan pemerintahan dan politik Mesir. Pertama, Revolusi yang terjadi pada
tahun 1919 yang memberikan pengaruh dalam berbagai aspek bagi bangsa Mesir,
terutama berkaitan dengan meningkatnya identitas bangsa, dan nasionalisme.4 Kedua,
Revolusi Mesir 23 Juli 1952 yang pada akhirnya menandai berakhirnya pemerintahan
monarki Mesir, beralih menjadi negara republik. Ketiga, tanggal 26 Januari 2011,
revolusi ini dilakukan dalam rangka merobohkan Presiden Hosni Mubarak pada oleh
kalangan muda Mesir. Revolusi 26 Januari 2011 ini terbilang unik, dimana bermula dari
terjalinnya diskusi-diskusi ringan para pengguna jejaring sosial seperti Facebook dan
Twitter, yang kemudian menjadi aksi demonstrasi besar-besaran dari berbagai elemen
masyarakat. Pada akhirnya revolusi 26 Januari 2011 ini berhasil. Dengan tuntutan
awalnya untuk menurunkan Presiden Hosni Mubarak, keberhasilan tersebut juga harus
dibayar mahal dengan banyaknya kerugian yang ditanggung oleh pemerintah Mesir
pasca revolusi.5

Hal diatas membuktikan bahwa kemajuan teknologi sudah tidak dapat dihindari, dalam
hal apapun. Meskipun pro dan kontra atas perkembangan teknologi pun jelas terlihat di
semua lapisan. Fenomena media sosial menjadi salah satu efek dari kemajuan teknologi,
sepakat atau tidak memang internet telat merobohkan seluruh dinding yang membatasi
sebelumnya. Demo ataupun protes di Lapangan Tahrir (Tahrir Square) atau yang
mereka sebut sebagai revolisi jilid 1, melibatkan semua kelompok massa dan pada

4
Gershoni Israel, dan James P Jankowski, Egypt, Islam, and The Arabs: The Search for Egyptian
Nationhood, 1900-1930. Oxford: Oxford University Press, 1986, hlm. 270.
5
Ira M. Lapidus, A History of the Islamic Society, Alih bahasa oleh Ghufron A. Mas’adi, Sejarah Sosial
Ummat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999, hlm. 121.
akhirnya dapat menumbangkan rezim yang berkuasa saat itu yakni Husni Mubarak.
Tetapi, tidak butuh waktu lama setelah Mubarak tumbang dan kemudian ditahan di
Penjara Torah di Kairo, Arab Spring di Mesir kemudian menindaklanjuti dengan proses
demokratisasi. Dengan munculnya para partai politik, dan kemudian penyelenggaraan
pemilu.

Namun Arab Spring membuktikan juga bahwa demokrasi sebagai alat untuk perubahan
yang hakiki sungguh tidak pas, kaasarnya. Partisipasi umum bahkan semua pihak
memang diperbolehkan namun tanpa adanya pertimbangan terhadap apapun, termasuk
salah satunya rasionalitas. Mesir menjadi tumbal kedua dari demokrasi di mana presiden
yang terpilih secara demokratis tidak mengapa dikudeta oleh militer untuk
mempertahankan kekuatan rezim lama. Lagi-lagi masyarakat salah kaprah dengan
langkahnya yang telah diambil. Meskipun dengan tekhnologi (social media) mereka
berhasil memenangkan pertarungan sengit antara mereka dengan penguasa, namun tidak
bisa menghindari adanya legitimasi berkedok demokrasi. Alih-alih menyatakan mundur
lalu diselenggarakan pemilu yang seolah demokratis. Dan tidak lama kemudian rezim
lama akan berkuasa kembali dengan kedok mendapatkan dukungan rakyat melalui
Pemilu. Menyebabkan Negara menganggap bahwa perubahan konstitusi adalah sesuatu
yang tabu, dan sangat kompromistis. Meskipun dengan dalih demokrasi, pemilu malah
menjadi mainan oleh pihak-pihak yang menjadi pahlawan kesiangan yang bermodal
ikatan emosional serta popularitas. Sehingga rakyat terlena dan dengan mudahnya
memberikan hak suaranya untuk mereka.

Dalam revolusi Mesir tahun 2011 yang mengakhiri 30 tahun kekuasaan Husni Mubarak
ini, aktivitas politik online yang tengah meletup-letup tidak terjadi secara serta merta.
Karena media sosial bukanlah lagi menjadi hal yang baru bahkan sejak tahun 2005,
Mesir mulai menunjukkan taringnya dengan munculnya sejumlah blog, forum, dan
sejenisnya dimana para user Mesir dalam jumlah terbatas, memiliki tugas untuk
memilih dan memilah peristiwa apa yang boleh dan apa yang tidak boleh di sebarkan ke
publik6. Ini membuktikan bahwa memang mereka mulai terbuka terhaddap nilai-nilai

6
Courtney Radsh, Core To Commonplace: The Evolution Of Egypt’s Blogosphere, Arab Media Society
(2008), http://www.arabmediasociety.com/?article=692 diakses pada tanggal 10 Mei 2016 pada pukul
10.18 WIB.
baru dan sepertinya aktivis duniamaya ini yang menjadi generasi pertama penyusunan
strategi-strategi radikal yang nantinya akan mengarah pada revolusi di tahun 2011.

Meskipun dampak dari revolusi bermacam-macam namun sekali lagi tekhnologi


menyelamatkan warga Negara dari permasalahan keotoriteran Husni Mubarak juga
ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi masalah internal seperti pemusatan
ekonomi pada kalangan atas. Sebelumnya rakyat Mesir tidak mendapatkan haknya
untuk mengeluarkan pendapat secara bebas dan langsung terhadap kinerja pemerintah.
Namun kaum pemuda yang melek tekhnologi inilah yang berinisiatif mencari alternatif
lain agar memungkinkan suara mereka di dengar dan dapat berpendapat. Pilihan yang
cukup pintar dengan memanfaatkan media sosial mereka bisa mengumpulkan massa,
menyusun rencana dan mengorganisir seluruh rakyat yang tergabung disana agar
serentak melakukan perlawanan terhadap pemerintah dan lengserlah Husni Mubarak
dari kursi kepresidenan. Masyarakat yang lebih vocal akan mempengaruhi
keberlangsungan sistem politik negara tersebut, suka tidak suka pemerintah pun
patutnya menerima dan menyesuaikan dengan segala tindakan serta kebijakannya.
Mungkin dengan memberikan boundaries, namun tetap tidak menutup ruang gerak
masyarakat sepenuhnya. Masyarakat pun harus dapat menyaring segala informasi dan
mendasari tindakannya dengan wujud manusia terdidik, yang dimaksud adalah tidak
seenaknya bertindak tanpa memikirkan keberlangsungan negara kedepannya. Jika
kondisi seperti itu terwujud maka niscaya Mesir akan menjadi sebuah negara yang stabil
dan kuat dengan segala kekayaan alamnya dan kapabilitas di banyak sektor lainnya,

Anda mungkin juga menyukai